Tumgik
Text
Penggusuran dan Dampaknya bagi 'Kita': Tolak Penggusuran Pedagang Spiral UNJ!
Sebuah Universitas didirikan bukan tanpa sebab. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat diharapkan mampu menjadi sebuah oase di tengah gurun pasir yang kering. Lahirnya ribuan orang terdidik dari dalam kampus membawa kita pada sebuah kesimpulan, bahwa negeri ini tak kekurangan orang-orang pintar untuk “mengubah keadaan”. Secara hakikat, universitas memang didirikan untuk memberi solusi atas permasalahan negeri. Ia ada di tengah-tengah masyarakat agar kaum terdidik dari dalam kampus itu mampu mengeluarkan bangsa ini dari lubang keterbelakangan. Itulah kenapa banyak negara yang mulai “menggratiskan” pendidikan di negaranya karena mereka menyadari betul bahwa pendidikan merupakan kunci untuk memajukan bangsanya. Lantas, kita perlu bertanya, sudahkah kampus menjalankan perannya di tengah-tengah masyarakat? Kontribusi apa yang sudah diberikan oleh kampus UNJ untuk masyarakat di sekitar Rawamangun? Apakah pengabdian masyarakat hanya diartikan secara sederhana sebagai sebuah program singkat mahasiswa ke desa, membuat “plang jalan”, lalu pulang, dan merasa sudah memberikan perubahan? Apakah penggusuran terhadap pedagang di parkiran spiral oleh Kampus UNJ merupakan solusi terhadap permasalahan? Atau justru menimbulkan permasalahan baru, yakni semakin merajalelanya tingkat kemiskinan? UNJ berkabung. Pedagang-pedagang di Parkiran Spiral UNJ dan mahasiswa yang langganan beli makan dan minum baru saja kehilangan salah satu rekan mereka (Uda) penjual nasi padang yang lebih dulu pulang ke pangkuan Sang Pencipta. Hanya gerobak yang ia tinggalkan untuk istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil. Sebelum meninggal, ia kerap kali melontarkan harapannya agar bisa berdagang di areal parkiran spiral UNJ, ia tak tahu bagaimana nasib anak dan istrinya kelak jika penggusuran itu benar-benar datang, hingga ajal menjemput beliau. Kawasan Pedagang Parkiran Spiral UNJ, yang rencananya akan digusur oleh rektorat memiliki kontribusi yang besar. Kontribusi tersebut antara lain tersedianya berbagai macam makanan dan minuman dengan harga yang relatif lebih murah, dengan alasan itu pula banyak mahasiswa dari berbagai Fakultas datang ke Kantin Spiral untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tak jarang, karyawan-karyawan dan birokrat UNJ pun sering kedapatan sedang menyantap makanan dan minuman di areal Kantin Spiral UNJ. Dengan adanya banyak pengunjung dari berbagai fakultas, maka Kantin Spiral juga memiliki kontribusi sebagai tempat berkumpul mahasiswa UNJ di sela-sela kesibukan aktivitas kuliah. Karena itu penghancuran lapak pedagang di kawasan parkiran spiral UNJ bisa diartikan juga sebagai upaya penghancuran ruang-ruang publik tempat mahasiswa berkumpul. Rencana penggusuran Pedagang Spiral UNJ tertuang dalam Surat Keputusan Rektor No.2491/UN39.2/PL/2017 dimana Rektor UNJ melalui Wakil Rektor II memerintahkan agar seluruh pedagang mengosongkan tempat berjualan dengan kondisi bersih dan rapih karena aka nada pembangunan parkiran. Tak lupa, di akhir surat pihak UNJ mengancam akan mengerahkan petugas Satpol PP jika pedagang tetap tidak mengosongkan kawasan dagang tersebut. Namun, hadirnya surat ini tak dibarengi dengan kepastian kabar bahwa pedagang bisa berjualan lagi di sekitar area kampus jika pembangunan parkiran telah rampung. Padahal dalam denah Master Plan “Agenda Besar Pembangunan” parkiran spiral UNJ, terdapat rencana pembangunan kantin di Lantai 1. Pertanyaannya, jika pembangunan parkiran sudah jadi, untuk siapakah lapak dagang kantin di Lantai 1 tersebut? Mengingat, rektorat tak memberi kepastian kepada pedagang-pedagang yang tergusur untuk berdagang kembali setelah pembangunan selesai. Berbagai jalan pun ditempuh oleh Pedagang Spiral UNJ agar mereka tetap bisa berdagang di lingkungan kampus. Merasa pernah dibohongi oleh pihak kampus yang hanya memberikan janji-janji kosong, kali ini Pedagang Parkiran Spiral UNJ tak mau lagi dibohongi. Mereka terus melakukan dialog dengan pihak UNJ demi mencapai suatu kesepakatan hitam di atas putih bahwa mereka diperbolehkan kembali berdagang di sekitar kampus UNJ. Namun, perjuangan mereka pun tidak berbuah manis. Malahan dalam proses dialog, pihak pengembang (swasta) lebih dominan berbicara ketimbang birokrat UNJ. Beberapa pedagang pun merasa kata-kata yang keluar dari pihak pengembang sangat intimidatif. Dominasi swasta dalam forum cukup memberikan kita sebuah pandangan bahwa rektorat mengeluarkan kebijakan sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan pihak swasta. Sedangkan pedagang-pedagang spiral tetap tak diperbolehkan berdagang di lingkungan UNJ entah itu selama proses pembangunan parkiran, ataupun setelah pembangunan itu selesai. Lagi-lagi, kita perlu bertanya, lantas kantin di Lantai 1 itu diperuntukan untuk siapa? Sebutan tak resmi dan pedagang liar saat ini ditujukan oleh rektorat kepada pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar parkiran spiral. Kami katakan disini bahwa benar, mereka tidak resmi. Tetapi ketidakresmian mereka berdagang di kampus bukan semata-mata karena mereka sengaja tak mau membayar uang sewa, atau tak mamu memberikan kontribusi kepada kampus. Mereka terus menempuh berbagai cara agar mereka diresmikan dan mendapat legalitas berjualan dari pihak kampus, tetapi kampus menolak hal itu. Kami katakan sekali lagi, pihak kampus UNJ menolak memberikan “legalitas” kepada para pedagang spiral UNJ. Padahal pedagang-pedagang tersebut tidak datang dengan tangan kosong, tetapi membawa “iuran” sebagai bukti keseriusan mereka untuk menjadi pedagang resmi di kampus. Namun, yang mereka dapatkan hanyalah penolakan dan penolakan. Artinya, persoalan legal atau tidak legal bukan lagi terletak pada pihak pedagang, tetapi kepada pihak kampus UNJ yang memang tidak bersedia memberikan predikat “legal” kepada para pedagang yang sudah belasan tahun menjadikan area parkiran spiral sebagai sumber penghidupan mereka. Dan melakukan pembiaran terhadap status “liar” tersebut. Dari pola penggusuran ini kita dapat melihat bahwa terdapat proses pengusiran paksa pedagang oleh pihak UNJ dengan bukti surat rektorat yang akan melibatkan Satpol PP jika pedagang spiral tetap menolak untuk angkat kaki. Dan ada pengambilalihan “pasar” pedagang kecil dimana UNJ melihat spiral yang ramai merupakan kawasan empuk untuk dijadikan lahan bisnis. Maka dalam Master Plan pembangunan parkiran, pihak pengembang akan membangun kantin di lantai 1, tetapi kantin itu tidak diperuntukan bagi pedagang kecil, dengan bukti tak adanya bukti tertulis kalau pedagang bisa berdagang kembali setelah pembangunan parkiran rampung. Jika benar pihak Rektorat akan menggusur Kantin Parkiran Spiral maka berbagai dampak pun akan muncul. Yang pertama adalah nasib pedagang Pedagang Parkiran Spiral itu sendiri. Seluruh pedagang Spiral UNJ menggantungkan kehidupan mereka pada mata pencahariannya sebagai pedagang, sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan utama mereka maka kebutuhan dari keluarga para pedagang tidak dapat mereka penuhi. Sebut saja Pak Sukari, seorang pedagang Mie Ayam yang tak berhenti memikirkan nasib istri dan anak-anaknya yang masih SD jika penggusuran benar-benar terjadi. Ia bingung kemana lagi harus mencari uang untuk menyekolahkan anak dan memberi makan keluarga jika lapak dagang mereka sudah tidak ada. Begitupun dengan kondisi pedagang-pedagang lainnya. Seperti Ibu Ratna, istri almarhum uda (pedagang nasi padang) yang tak berhenti menangis di ruma kontrakannya karena bingung kepada siapa lagi Ibu dari anak-anak yang masih kecil tersebut harus menggantungkan hidupnya. Penggusuran tentu berdampak pada pemiskinan masyarakat di sekitar UNJ yang sebelumnya berjualan di kampus, karena hilangnya sumber mata pencaharian yang selama ini menjadi tumpuan hidup keluarga mereka. Alih-alih ingin member solusi, penggusuran pedagang parkiran spiral UNJ justru akan memunculkan permasalahan baru, yaitu kemiskinan dan bertambahnya tingkat putus sekolah anak-anak pedagang. Dampak yang tak kalah penting dari penggusuran pedagang parkiran spiral adalah fungsi kantin spiral itu sendiri akan hilang. Seperti yang dikemukakan di atas, Kantin Spiral UNJ memiliki banyak kontribusi, salah satunya sebagai pemusatan pedagang-pedagang kecil yang sebelumnya berdagang di sepanjang jalan masuk pintu depan kampus UNJ. Usaha pihak kampus pada tahun 2014 untuk mendorong pedagang-pedagang tersebut agar mau dipusatkan ke samping parkiran spiral UNJ pun akan menjadi usaha yang sia-sia pada tahun 2017 ini dan setelahnya. Karena penggusuran yang tak dibarengi dengan pemindahan akan berdampak pada tindakan nekat sebagian pedagang untuk tetap kembali berdagang di sekitar UNJ, termasuk di sepanjang jalan masuk kampus melalui pintu depan. Fenomena tersebut tentu akan terjadi karena pedagang tak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, selain berdagang. Mereka akan melakukan itu sekalipun harus “kucing-kucingan” dengan petugas keamanan UNJ yang berjaga-jaga. Hal ini mengindikasikan bahwa penggusuran pedagang tanpa lahan pengganti bukanlah solusi, tetapi justru akan memunculkan permasalahan baru. Sedangkan dampak yang akan dirasakan oleh Mahasiswa UNJ adalah mereka harus merogoh kantong lebih dalam karena mahasiswa telah kehilangan Kantin di Spiral UNJ yang selama ini menyediakan makan dan minuman dengan harga yang relatif murah. Selain itu, tidak tersedianya lagi ruang-ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh Mahasiswa UNJ untuk berkumpul dan berdiskusi di sela-sela waktu kuliah. Mahasiswa UNJ yang selama ini berkumpul di area parkiran spiral, sedikit demi sedikit akan meninggalkan lingkungan tersebut karena tak ada lagi penjual makanan dan minuman yang biasa bercengkrama dengan mahasiswa, dan menyediakan makan dan minuman murah untuk kalangan mahasiswa. Dampak yang tak kalah penting juga akan dirasakan oleh Mahasiswa dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Fakultas MIPA, yaitu akses yang cukup jauh untuk menuju kantin-kantin lain di UNJ, dibandingkan akses menuju ke kawasan parkiran spiral. Hal ini tentu berdampak pada ketidakefektifan waktu mahasiswa tersebut untuk mengatur waktu istirahat dan perkuliahannya. Selain itu, kantin-kantin seperti Blok M ataupun Kantin G akan dipenuhi lautan mahasiswa di jam-jam istirahat, sehingga suasana kantin yang panas, akan semakin sumpek dan gerah karena semakin tidak tersedianya kantin-kantin di UNJ yang bisa dinikmati oleh mahasiswa. Dari pemaparan di atas cukup kiranya bagi kami untuk memberi kesimpulan bahwa Penggusuran Pedagang di Parkiran Spiral bukanlah solusi yang tepat terhadap pembenahan lingkungan kampus Universitas Negeri Jakarta. Penggusuran itu justru akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dan memberi dampak negatif yang cukup besar terhadap dinamika masyarakat sekitar dan aktivitas kemahasiswaan di kampus UNJ. Harapan kami, kehadiran Universitas Negeri Jakarta di tengah-tengah masyarakat harus seperti oase di tengah gurun pasir yang kering. Kampus ini harus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan bangsa. Pembangunan itu bisa dimulai ketika kita bersedia membantu masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka melalui pemberian lapak dagang. Karena Kampus UNJ akan terkenang oleh masyarakat dari apa yang sudah kita berikan untuk mereka, bukan dari apa yang telah kita hancurkan. Maka kami Mahasiswa UNJ sepakat untuk Menolak Penggusuran Pedagang Parkiran Spiral UNJ dengan usulan kepada Rektorat UNJ sebagai berikut: 1. Pedagang di Parkiran Spiral tetap diizinkan berjualan di lingkungan Kampus UNJ selama proses pembangunan parkiran dan setelah pembangunan parkiran tersebut selesai 2. Selama proses pembangunan parkiran, mahasiswa mengusulkan kepada rektorat UNJ agar para pedagang diberikan “Lapak Sementara” di belakang Gedung Fakultas Ilmu Pendidikan, mengingat jarak lapak tersebut tidak jauh dari lapak sebelumnya sehingga memudahkan mahasiswa untuk menuju Kantin tersebut 3. Dan setelah pembangunan parkiran selesai, Rektorat UNJ harus tetap memperbolehkan pedagang untuk berjualan kembali di sekitar Parkiran Spiral UNJ dengan menetapkan biaya sewa yang mampu dijangkau oleh pedagang kecil Atas nama, Tim Advokasi Pedagang Forum Militan dan Independen Universitas Negeri Jakarta Narahubung: Andika Ramadhan Ferbiansah (089651537550)
8 notes · View notes
Text
Rawamangun Kampus Perjuangan
Tribute to FMI dan seluruh Mahasiswa UNJ 
Tumblr media
Rawamangun, 1978 – “Bung! Kudengar tentara sudah mengepung kampus Salemba. Militer-militer itu mendobrak pagar, mengitari lorong-lorong kampus, mereka menodong rekan-rekan kita dengan senjata, dan menangkap mahasiswa-mahasiswa yang masih ada di UI pada jam-jam 7 malam tadi. Kita harus siaga bung!” Teriak seorang mahasiswa kepada kawan-kawannya yang kelihatannya sedang sibuk memenuhi poster-poster kosong dengan tulisan dan warna.
“Aku sudah mendengar itu” temannya menanggapi.
“Kau tak perlu takut, ayo bantu tempel poster ini. Penuhi dinding-dingin kampus dengan poster dan spanduk yang sudah kita coret sebelum fajar benar-benar tiba. Tunjukan kalau basis perjuangan di Rawamangun masih ada.”
Beberapa mahasiswa itu bertahan di kampus IKIP Jakarta Rawamangun untuk berjaga-jaga di sekitar sekretariat Dewan Mahasiswa – yang belum lama ini dibubarkan oleh petinggi militer dengan tuduhan kalau Dewan Mahasiswa bertindak subversi dan ganggu keamanan. Mereka juga berada dalam bayang-bayang pemenjaraan, karena pada mas itu, berani mengkritik penguasa artinya harus siap merasakan masuk dalam penjara rezim Orde Baru.  
Raut muka mahasiswa-mahasiswa pada tengah malam itu benar-benar terlihat gugup. Bukan hanya was-was akan kedatangan tentara, dalam kesunyian di antara pepohonan yang daunnya rindang, salah seorang dari mereka bertanya,
“Bung, bagaimana seandainya tentara benar-benar datang dan menangkapi kita?” Rekan-rekannya yang mendengar hanya diam dan menunduk.
Anak-anak muda yang biasanya bernyali dan sangat keras menentang rezim kini terlihat murung dan jatuh dalam kegelisahan yang sama. Membayangkan wajah orangtua mereka di rumah yang sudah mulai ringkih, sedang bertani, jadi kuli cuci, atau yang panas-panasan nyopir angkot agar anaknya bisa lanjut kuliah dan jadi sarjana.
Ingatan-ingatan itu mengantarkan salah satu di antara mereka kembali ke kurun waktu yang cukup lama, betapa harunya, betapa tak terpikirkannya, ingatan yang membawa anak muda itu melakukan perjalanan waktu ke masa-masa akhir sekolahnya, melihat Ibu dan Bapak yang sudah mulai keriput, mengantar kepergiannya ke kota..
“Nak, Ibu titip kepercayaan padamu. Sing apik kuliahe le di Jakarta. Nanti kalau kau sudah sarjana, kau jangan malu jika ibu dan bapak menjemputmu pakai becak di acara wisuda..” Ucap Ibu.
Ia membalas ingatan akan pesan ibunya dalam hati, “Pak, Bu. Aku sudah berusaha membahagiakan kalian dengan menepati janji kalau aku akan kuliah dengan benar. Namun menjadi orang benar di negara ini justru membuatku menjadi celaka.”
Seketika, ingatan akan pesan ibu itu pecah di tengah jalan karena teriakan seseorang dari kejauhan.
“Tentara! Ada tentara bung!” seorang mahasiswa datang dengan berlari-lari dari arah gerbang kampus Rawamangun, nafasnya terpogoh-pogoh. Ia memberitahu rekan-rekannya kalau Panser-panser dan Tank-tank militer sudah mengepung areal kampus Rawamangun.
Melihat mimik muka kawan-kawannya yang mulai gugup dan panik, ketua Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta berusaha menenangkan mereka dengan merangkul satupersatu bahu mereka..
“Jangan takut kawan, tak ada kata jera dalam perjuangan. Kampus kita ini menjadi ujung tanduk perjuangan kebenaran, perjuangan rakyat miskin dan perjuangan orang-orang yang menderita. Maka kukatakan jauh lebih terhormat hari ini kita ditangkap dan menjadi narapidana di sebuah republik yang presidennya adalah seorang Tiran dan pencuri.”
Angin Rawamangun berhembus begitu kencang, menembus kulit dan menusuk tulang anak-anak muda yang berhadapan dengan Tank-tank dan Panser-panser militer. Mahasiswa-mahasiswa itu coba berdamai dengan kegelisahan, ketika tentara mulai menendang pagar dan mendobrak pintu-pintu kampus, mencopot paksa poster-poster dan spanduk protes. Disusul dengan pemburuan dan penangkapan besar-besaran mahasiswa di seluruh area kampus Rawamangun.
Di tengah proses perburuan dan penangkapan mahasiswa di Rawamangun, muncul dua orangtua dari balik selimut kegelapan. Yang satu adalah Rektor IKIP Jakarta, Winarno Surakhmad, yang satunya lagi bernama Mahar Mardjono, Rektor UI. Kedatangan mereka ibarat sebuah lilin yang memecah kegelapan. Terlihat tangan-tangan paruh baya itu dibentangkan selebar-lebarnya untuk menghalangi tentara yang ingin mengangkapi mahasiswa-mahasiswa mereka dari kampus Rawamangun.
Mahasiswa-mahasiswa itu patut berbahagia! Karena mereka hidup pada zaman dimana Rektor-rektor, dekan-dekan dan dosen-dosen di kampus rela berkorban untuk mahasiswa dan siap pasang badan untuk melindungi mahasiswanya dari berbagai ancaman.
Namun, sekuat apapun Rektor-rektor itu menghalangi, tetap saja sepatu lars tentara dan kepalangan tangan militer jauh lebih kuat. Mahasiswa-mahasiswa di Rawamagun pun ditangkap dan digiring ke rumah tahanan.
Pengadilan bagi para mahasiswa yang dituduh pemberontak segera digelar. Di dalam pengadilan, salah seorang perwakilan mahasiswa membacakan pledoi pembelaannya.
“Kami tidak akan melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh banyak tahanan, yaitu meminta kebebasan sebagai terdakwa. Hukum lah kami, adalah suatu kehormatan bagi kami disini jika harus dipenjara di sebuah negeri yang pemimpinnya adalah seorang kriminal dan pencuri.” Ia membuka kembali lembaran pledoi berikutnya, lalu melanjutkan.
“Kalaupun bedil-bedil senapan itu menembus tubuh kami, kalian hanya membunuh anak-anak manusia. Karena ide-ide dan keberanian kami akan tetap hidup. Keberanian itu akan tumbuh dalam jiwa-jiwa generasi berikutnya. Seperti bunga-bunga di pekarangan Rawamangun yang meski hancur karena dilindas oleh Tank-tank dan Panser militer, ia pasti akan tumbuh dan berkemaran kembali di atas tanah yang sama. Kalian tak akan pernah bisa menghalangi datangnya musim semi. Ingatlah, kalian tak akan pernah bisa menghalangi datangnya musim semi”
Musim semi di Rawamangun benar-benar datang..
Dua puluh tahun setelahnya, pada tahun 1998, jalan-jalan Rawamangun menjadi salah satu pusat gerakan mahasiswa bersama mahasiswa seluruh Indonesia yang berperan dalam meruntuhkan rezim Orde Baru.
19 tahun setelah Reformasi, di Rawamangun lahir Forum Militan dan Independen, aliansi mahasiswa, dosen dan warga UNJ yang terbentuk atas dasar keresahan terhadap masalah Komersialisasi Pendidikan dan Demokratisasi Kampus.
 8 Juni 2017
Oleh: Andika Ramadhan Febriansah
*Tulisan ini terinspirasi dari peristiwa sejarah di Rawamangun dan Salemba tahun 1977-1978 yang memang benar-benar terjadi, dengan narasi tulisan yang dibumbui dengan kreasi penulis.
6 notes · View notes
Text
Indonesia (pernah) dihormati dunia
Tumblr media
Jika kau berkeliling kota Washington dan menyusuri jalan-jalan di kota Moskow, mampir ke negeri kincir angin, atau berpose depan bangunan Piramida Mesir, setidaknya kau tidak akan malu-malu amat terlahir sebagai seorang anak Indonesia.
Mereka pasti menghormatimu, karena dari negeri asalmu pernah lahir seorang pemimpin yang dielu-elukan dan ditakuti oleh Barat. Pernah ada pemimpin bernyali yang membentuk Gerakan Non Blok sebagai pesaing USA dan Soviet. Dan lewat gagasannya tentang New Emerging Force, ia berhasil menggetarkan perasaan tokoh-tokoh nasional Asia Afrika yang datang ke Bandung dan mengajak pemimpin Asia Afrika itu agar segera memerdekakan negeri-negeri mereka dari belenggu kolonialisme.
Itulah kenapa banyak orang-orang yang mengatakan kalau dia bukan sekedar bapak proklamator Indonesia, tetapi ia adalah Bapak Asia-Afrika.
Tapi matinya dikhianati, disuguhi dokter hewan oleh tentaranya sendiri. Ya, dia mati dalam suasana pengkhianatan. Ia menangis, terbujur kaku di dalam tanah, terisak-isak meratapi negerinya dihabisi dan dirampok oleh asing. . Semua karena Presiden setelahnya, semua ulah The Smiling Jendral yang membuka keran kapitalisme lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Akibatnya amatlah memalukan, emas dan minyak kita dikuasai Amerika, mineral kita dikuasai Prancis, beras kita impor dari negeri lain.
Kami akan kembalikan. Kami akan berjuang untuk merebut kedaulatan dan kemandirian bangsa. Karena kami memegang amanahmu bung: Revolusi Indonesia belum selesai!
Sebuah tulisan untuk mengenang kelahiran Soekarno. Selamat hari lahir. Dari seorang pemuda yang amat mengagumimu.
Cibubur, 6 Juni 2017 Andika Ramadhan F
11 notes · View notes
Text
Musim Semi di Universitas Negeri Jakarta
Tumblr media
Sebuah surat cinta yang sederhana untuk kawan-kawan UNJ*
Sepuluh, bulan lima. Sebuah konsolidasi besar kembali hadir di UNJ. Ratusan wajah baru yang tak pernah kulihat sebelumnya datang berbondong-bondong, hingga berdesak-desakan mengisi lantai-lantai kosong di Arena Prestasi Fakultas Ilmu Sosial. Mereka yang datang mayoritas adalah angkatan-angkatan muda; mulai dari 2014, 2015 sampai angkatan 2016.
Untuk angkatan baru 2016, kuucapkan selamat datang di kampus impianmu. Tempat yang akan menemanimu berpetualang menimba ilmu, bergulat dengan ide-ide, dan memberitahumu sebuah pengertian kalau tugas seorang terpelajar bukan hanya untuk mengejar IPK dan jadi Sarjana. Melainkan ikut berperan dalam memecahkan permasalahan bangsa, juga jadi bagian untuk menciptakan perubahan.
Bertemu dengan wajah-wajah baru seperti kalian membuatku mengembalikan sehelai potret yang sudah lama lusuh dan masih tersimpan di dalam ingatan. Maka izinkan aku bercerita tentang sesuatu, masa dimana aku pernah menjadi sepertimu. Memasuki gerbang pendidikan tinggi dengan wajah lugu dan polos, menggenggam sejuta harapan, hingga keyakinan kalau hidup akan berubah setelah kita masuk dan studi di dalam kampus ini.
Tahun 2012 masa dimana aku diterima kuliah di Jurusan Sejarah FIS UNJ. Sajadah Masjid alumni jadi saksi bagaimana sujud syukurku menempel di atasnya, karena hasil pengumuman menyebutkan Andika Ramadhan lolos di kampus UNJ. Namun, impian kuliah di UNJ hampir saja kandas ketika aku mengetahui nominal biaya UKT yang harus kubayarkan cukup besar, dan kuyakin besarannya tak akan bisa dilunasi oleh anak-anak yang berlatarekonomi tak mampu.
Kalimat ala motivator tentang kau lahir miskin bukan salahmu terbantahkan ketika dibenturkan dengan fenomena ini. Kau itu miskin, salahmu lahir dalam keluarga miskin, kau tak akan bisa kuliah di tempat yang layak, karena kalau mau layak harus kuat bayar. Disinilah aku mulai melihat pendidikan hampir mirip seperti jalan tol; siapa yang membayar, maka ia yang diberikan jalan.
Kala itu kampus belum seperti sekarang, belum seramai sekarang. Isu-isu elitis di tataran nasional jauh lebih diminati, ketimbang mahasiswa di kampus ini mengajukan sebuah pertanyaan ke Rektor mereka; jika tujuan Uang Kuliah Tunggal ialah untuk keadilan, lantas kenapa masih ada anak-anak miskin yang terhambat kuliah karena tak bisa bayaran?
Cita-cita kita pada akhirnya hanyalah setinggi tanah, ketika yang melangit adalah biaya kuliahnya. Pada saat-saat genting seperti ini kau harus ingat mendiang dari Paulo Freire, tanggungan pendidikan yang mahal hanya akan melahirkan kaum-kaum terpelajar yang mau membantu dan menolong sesama jika dibayar mahal pula.  Karena pendidikan yang mahal hanya akan melahirkan sarjana-sarjana yang individualis, mereka berusaha mengembalikan modal yang mereka bayarkan semasa kuliah.
Maka tak perlu heran kenapa masih banyak orang-orang miskin yang mati karena tak mampu berobat, anak-anak desa yang semakin bodoh karena sekolahnya kekurangan guru, hingga kilang minyak dan tambang yang tak pernah bisa kita kelola secara mandiri. Negeri ini jeblos dalam lubang kemunduran bukan karena kekurangan sarjana.
Pendidikan kita harus terjangkau! Bahkan mungkin gratis, pendidikan yang rusak harus segera diperbaiki, agar sarjana-sarjana kedokteran siap membantu sesama tanpa perlu memikirkan balik modal, sarjana pendidikan rela mengajar di desa-desa demi mencerdaskan anak-anak bangsa, dan juga lulusan-lulusan teknik-tambang tak hanya bercita-cita bisa kerja di Freeport dan Chevron, tapi punya cita-cita agar segera menasionalisasinya!
Tahun 2012, di UNJ benar-benar tak ada keramaian – ketika ribuan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto melempari gedung Rektorat mereka dengan bom Molotov karena mahasiswa disana menganggap Rektor mereka sudah kehilangan nurani dan berkhianat kepada mahasiswa karena telah menerapkan UKT yang jelas-jelas malah menutup kesempatan banyak orang susah untuk kuliah.
Itulah yang membuat gerakan di UNJ tak pernah besar dan selama beberapa waktu berjalan di tempat. Karena kita amatlah ego, menganggap mahasiswa adalah mesiah bagi masyarakat tanpa sadar kalau mahasiswa UNJ telah mengalami kekalahan besar di kampus nya sendiri.
Pernahkah diajak memilih Rektor sendiri? Pernahkah dilibatkan dalam pengambilan keputusan? Kita tak pernah sadar kalau kita tak tahu apa-apa. Level pengambilan keputusan amatlah jauh dan rahasia.
Pemilihan Rektor yang tak pernah melibatkan mahasiswa adalah bukti bahwa kekuasaan masih menganggap kalau mahasiswa hanyalah anak-anak, sadarkah kawan kalau kita tak berdaulat atas kampus sendiri? Efek tak dilibatkannya mahasiswa dalam pemilihan Rektor adalah kebijakan-kebijakan Rektor bukanlah cerminan keresahan mahasiswa, karena ia tak pernah merasa dipilih oleh mahasiswa. Itulah barangkali yang menyebabkan Rektor ambil jalan pintas ketika kekurangan anggaran; yaitu dengan cara menaikan biaya kuliah mahasiswa.
Gerakan Mahasiswa di UNJ mulai-mulai bangkit dari tidur panjangnya di tahun 2015, berbekal pengetahuan tentang kasus perkosaan dan besaran biaya kuliah yang mahal, konsolidasi-konsolidasi besar dibuat. Rapat-rapat mahasiswa di kampus digelar. Puncak dari tuntutan-tuntutan mahasiswa ialah di Drop Out nya Ketua BEM UNJ di awal tahun 2016, sebagai respon penguasa kampus terhadap gerakan mahasiswa UNJ.
Kawan-kawan yang tercium sebagai pelopor gerakan dipanggil satu persatu oleh petinggi kampus, dipaksa meminta maaf kepada Rektor jika tak mau dipolisikan. Ada yang memilih minta maaf, tak sedikit pula yang menolak. Mereka yang menolak minta maaf memilih menjadi martir, karena tak pernah merasa melakukan kesalahan.
Satu persatu kawan-kawan UNJ dipanggil ke polisi karena dilaporkan oleh kampusnya sendiri. Suasana UNJ yang terik ketika itu mendadak mendung, ia menjadi kelabu. Seraya langit ikut bertanya; masih pantaskah UNJ mengejar-mengejar status World Class University jika kebebasan berpendapat saja sangat dibatasi?
Sebuah puisi dari Wawan, aktivis mahasiswa yang mati tertembak di Tragedi Semanggi kupersembahkan untukmu, kawan;
“Jangan takut, Ibu! Jangan mau digertak, Jangan mau diancam, Karena ketakutan meningkatkan penjajahan. Jangan sampai sungai waktu menghanyutkan ingatan-ingatan yang meranggas.”
(Aku bermimpi tentang Reformasi dan Demokrasi – Wawan, Puisi 1998)
Rektor UNJ hari ini seharusnya mau belajar dari Prof. Conny Semiawan, yang juga pernah menjabat sebagai Rektor UNJ di era-era 1980-an. Pada era kepemimpinannya di UNJ, Prof. Conny pernah memasang badannya untuk melindungi mahasiswa ketika militer masuk ke kampus untuk menangkap mahasiswa-mahasiswa IKIP Jakarta yang demonstrasi untuk menentang rezim Orde Baru. Namun hari ini, di tanah yang sama, di atas kampus yang sama, menyalakan kebenaran justru bisa mematikan kehidupan. 
Kita bisa menilai kalau pelaporan pak Ubaedillah Badrun karena kritiknya terhadap kampus lewat tulisan berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?” ke polisi adalah kematian nurani Rektor, sekaligus kematian kultur akademis di kampus UNJ. Laporan terhadap dosen ini ialah rangkaian dari laporan belasan dosen UNJ yang sudah lebih dulu dipolisikan oleh pihak kampus. Mereka dilaporkan bukan karena korupsi atau bertindak cabul, tetapi karena mengkritik kampus yang membuat telinga kekuasaan memerah.
Melihat permasalahan ini, hanya kata-kata Edward Said yang ada di benakku; Kau adalah seorang intelektual. Intelektual itu adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir, dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan. Kalau kau ingin menjadi Intelektual sejati, kau harus siap risiko dibakar di tiang, dikeluarkan dari komunitas, atau disalibkan. 
Sayyid Quthb mati di tiang gantung, Che Guevara dan Hasan Al Banna mati ditembak, Jose Rizal dieksekusi oleh rezim kolonial Filiphina, Munir diracun di udara, Wiji Thukul dihilangkan tanpa jejak. Sementara Mohamed Bouazizi, seorang aktivis di Tunisia memilih membakar dirinya untuk memprotes rezim tiran di negerinya, yang kelak tindakannya membakar kemarahan rakyat di negeri-negeri Arab untuk menggelorakan Arab Spring.
Nyatanya memang seperti itu, di masa pergerakan nasional, Soekarno, Agus Salim, Sutan Sjahrir hingga Tan Malaka pernah merasakan diasingkan, dipenjara dan dijauhkan dari keluarga mereka, dari lingkungan mereka.
Penjara, kelaparan, ancaman pembunuhan hingga pukulan pernah dirasakan oleh mereka yang sepanjang hidupnya diabdikan untuk memerdekakan orang lain. Mereka menolak menjadi pragmatis, tidak mau bekerja untuk pemerintahan Belanda, berapapun gajinya. Masa muda mereka digunakan untuk menolong bangsa-nya yang dihina sebagai “monyet” dan “kerbau” oleh Belanda.
Menyaksikan petani-petani kurus dan buruh-buruh tambang yang di tembak oleh penjajah membuat Soekarno Muda ketika itu bertekad untuk mengeluarkan bangsanya dari kekejaman kolonialisme.
Maka datanglah ke pojok-pojok kantin, parkiran belakang, tongkrongan spiral dan sudut-sudut Musolah. Masuklah ke dalam warkop-warkop dan caffe. Kabarkan kawan-kawan yang sedang mentoring di Masjid maupun yang sedang diskusi di bawah pohon-pohon rindang. Bahwa jarak kemenangan itu hanya berkisar antara kening dan sajadah. Hasta La Victoria Siempre, Haya Alal Falah..
Di tahun 1977’78 militer pernah memasuki kampus IKIP Jakarta (UNJ), mereka memburu aktivis mahasiswa, mengawasi gerak-gerik mahasiswa agar tak melakukan demonstrasi di jalan, hingga menangkap dan memenjarakan mahasiswa IKIP Jakarta, dan kampus-kampus besar lain selama beberapa waktu. 
Sungguh menyedihkan, ketika melihat aksi-aksi protes yang datang dari mahasiswa justru ditanggapi dengan cara kekerasan oleh pemerintahan saat itu. Anak-anak muda terbaik diculik, dipukuli, dipenjara hingga dihilangkan paksa untuk menebar ketakutan agar tak ada lagi gerakan protes terhadap rezim yang berkuasa. Mahasiswa saat itu mengubur dalam-dalam cita-cita kemapanan dan imajinasi menjadi young urban professional. Sebagai gantinya, mereka justru tumpah-ruah ke jalan dan berbaur bersama kaum marjinal yang saat itu dilupakan oleh rezim Orde Baru. Mereka tidak takut berdiri di hadapan moncong senjata aparat negara sekalipun, tanpa satu bendera primordialisme di belakang mereka. Anak-anak muda itu bersinar bagai seberkas cahaya di malam hari.
Maka kusimpulkan kampus ini sudah terbiasa dengan ancaman. Justru gerakan di UNJ akan terus membesar seiring dengan makin kerasnya sikap penguasa terhadap mahasiswa. Kampus ini seperti hidup dalam sebuah prosa dari seorang kawan di Yogyakarta;
“Kau boleh saja menghancurkan taman bunga, tapi kau tak akan bisa menghalangi datangnya musim semi..”
Aktivis-aktivis di UNJ tak akan pernah bisa dihilangkan dengan mudah. Satu hilang, seribu terbilang. Musim semi akan segera datang, ia akan menumbuhkan bunga-bunga baru yang aromanya tercium harum sampai ke luar. Jangan takut kawan, jangan pernah takut! Karena Wiji Thukul pernah berucap kalau ketakutan hanya akan memperpanjang barisan perbudakan. 
Angkatan dan generasi selanjutnyalah yang akan meneruskan perjuangan angkatan-angkatan sebelumnya. Dan kami tak akan pernah bisa dikalahkan dengan mudah. Akan hadir mahasiswa-mahasiswa dalam sosok baru, wajah baru, juga spirit perjuangan yang baru, yang siap berdiri untuk menentang penguasa yang lalim, meruntuhkan kekuasaan yang dzalim. Selamat datang Musim Semi Universitas Negeri Jakarta. Jadilah bunga-bunga yang bersemi..
Andika Ramadhan Febriansah Cibubur, 17 Mei 2017
9 notes · View notes
Text
Ini Yang Aku Ajarkan
Tentang Studi Merdeka dan Imajinasi Pendidikan Yang Menyenangkan
Tumblr media
Saya masih ingat ketika pertama kali saya bertemu dengan anak muda yang unik di lapangan SMAN 13 Depok pada pertengahan Agustus 2016. Belakangan saya lihat, ia adalah siswa kelas XII di sekolah yang memiliki kebiasaan tak lazim; ia bisa baca buku berjam-jam ketika anak-anak lain sibuk dengan gadget, ia sering ajak saya berdiskusi, dan berdialog tentang pendidikan, politik sampai urusan kenegaraan, ketika anak-anak seusianya lebih suka meluangkan waktu mereka untuk jalan ke Mall atau tempat-tempat yang sering dikunjungi anak SMA seperti apa yang digambarkan oleh sinetron.
Anak muda inilah yang kelak menjadi Sub-Commandante, semacam pimpinan/koordinator tertinggi di Studi Merdeka, organisasi pelajar yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Organisasi yang dilarang keberadaannya karena dianggap illegal, organisasi yang dikafirkan oknum tertentu dengan tuduhan macam-macam. Maka tulisan ini saya tulis untuk menceritakan kenapa Studi Merdeka dibentuk, sekaligus mengajak antum sekalian untuk tabayun terlebih dahulu. Karena kita diberikan dua telinga dan satu mulut, agar dalam hidup ini kita lebih banyak mendengar, dibandingkan berbicara.
Sorotan terhadap Studi Merdeka bermula ketika kabar pemberhentian saya dari status guru di SMAN 13 Depok jadi buah bibir di kalangan masyarakat. Melalui berbagai kesaksian, saya menyatakan kekecewaan saya karena pihak sekolah memberhentikan saya tanpa adanya pemanggilan dan pemberitahuan terlebih dahulu. Impian saya sejak awal liburan semester yang berharap semester ini dapat jam mengajar tambahan di kelas 11 IPS dan kelas 12 kandas, ketika saya tak lagi melihat nama saya di daftar pengajar tahun ajaran semester genap.
Saya datang pertama kali untuk mengajar dengan niat baik, dan diberhentikan sebagai pengajar dengan cara yang tidak baik. Wajar jika saya begitu kecewa setelahnya. Saya tekankan bahwa saya bukanlah guru magang. Status saya sebagai Guru Honorer SMAN 13 tertera dalam Surat Keputusan Kepala SMAN 13 Depok dengan nomor surat: 421.5 /11_p /Kepeg /2016. Dengan keterangan bahwa saya diangkat menjadi Guru Honorer sejak 18 Juli 2016 dan berakhir pada tanggal 17 bulan Juli 2017, bukan bulan Januari.
Alih-alih menyuruh saya untuk fokus skripsi, pihak sekolah justru melakukan kesalahan fatal, ia mengintimidasi anak didik saya yang tergabung dalam Studi Merdeka dan terus melalukan upaya agar organisasi ini bubar; orang tua mereka dipanggil, mereka dipojokan dan dituduh macam-macam, sampai pada tanggal 12 Januari 2017 Kepala Sekolah menyuruh anak didik saya yang tergabung di Studi Merdeka untuk menandatangi kesepakatan “pemberhentian” saya, agar terbangun kesan yang ingin mengeluarkan saya adalah anak-anak, bukan sekolah*
Saya tak tahu kenapa Kepala Sekolah begitu takut dengan organisasi yang bahkan isinya adalah anak binaannya sendiri. Anak didik kita di Studi Merdeka bukanlah kriminal! Mereka tidak mabok atau menggunakan obat-obatan, mereka berkumpul dan guyub untuk belajar. Dimana letak kesalahan mereka? Sejak awal berdiri, mayoritas anggota Studi Merdeka adalah anak didik saya yang sering berkumpul di luar jam pelajaran sekolah.
Mereka tumbuh dalam kebiasaan yang sering dilakukan pelajar biasanya; nongkrong di Caffe atau Warkop, atau ngobrol-ngobrol di rumah kerabat. Dengan latarbelakang yang saya miliki, saya coba masuk ke dunia mereka dan memahami apa yang mereka mau.
Dari tongkrongan itulah saya berusaha ubah kebiasaan mereka yang biasanya hanya main gitar, yang biasanya hanya ngobrol-ngobrol, menjadi komunitas dan perkumpulan yang membahas film, pendidikan, politik sampai urusan-urusan ke negaraan. Dan ternyata mereka suka, silakan kalian lihat anggota Studi Merdeka sekarang. Mereka boleh saja tak serapih atau seganteng anak-anak didik saya yang lain, tapi hasrat ingin tahu mereka terhadap pengetahuan mulai tumbuh.
Mereka jadi terbiasa dengan buku-buku bacaan tebal yang tersimpan di dalam tas-tas mereka. Pada akhirnya, tuduhan kalau anak didik saya yang aktif di Studi Merdeka sering berbuat ulah dan melanggar aturan sekolah, terbantahkan.
Dengan pengalaman belajar bersama anak-anak, saya pun akhirnya tahu apa yang mereka mau dan mereka sukai. Maka saya mulai menerapkan Metode Ajar yang asik, berusaha menumbuhkan minat belajar tanpa ada unsur paksaan, menumbuhkan kesukaan terhadap pelajaran sejarah dengan menjelaskan apa pentingnya sejarah untuk hidup mereka saat ini.
Berkali-kali di dalam ruang kelas saya bertanya kepada mereka; “apa gunanya pelajaran sejarah untuk kalian? kalian harus mencari jawabannya!” Semua orang tentu akan sendirinya makan dan minum tanpa harus disuruh ketika mereka tahu aktivitas itu dapat mengurangi rasa lapar dan haus yang mereka alami. Semua orang akan tidur tanpa disuruh, ketika mereka tahu bahwa tidur bisa membantu mereka mengurangi rasa lelah.
Begitupun dengan pelajaran. Saya mungkin bisa saja memaksa mereka belajar di kelas, tetapi apa jadinya ketika mereka ada di rumah yang jaraknya jauh dengan saya?
Maka saya tekankan pentingnya seorang guru memberitahu apa gunanya sekolah bagi kehidupan mereka, dan apa gunanya pelajaran-pelajaran di sekolah bagi kehidupan mereka sehari-hari. Melalui media film seperti October Sky sampai 3 Idiots, saya memberikan pemahaman itu, pendekatan dari hati ke hati, bukan dengan paksaan.
“Historia Vitae Magistra! dan adik-adik, sejarah adalah guru kehidupan!
"Kau lihatlah di film October Sky ada anak bernama Homer yang hidup puluhan tahun lalu. Dia mampu menang Olimpiade Nasional di Amerika Serikat dan ia mampu menciptakan Roket ketika umurnya masih seusia kalian. Homer bukan berasal dari sekolah favorit, Homer bukanlah anak konglomerat. Ia sama seperti kalian, melalui sekolah yang sederhana Homer dan kalian memupuk impian, merawat impian-impian itu agar mampu terbang tinggi ke angkasa. Dengan kondisi Homer yang bukan berasal dari sekolah favorit, masihkah kalian takut memiliki impian setinggi langit?”
Itulah yang saya ajarkan ke anak didik saya di luar pelajaran-pelajaran sejarah. Minggu ini nonton film, minggu depan belajar materi, begitu seterusnya. Ruang kelas saya buat seasik mungkin, sebahagia mungkin, karena setiap anak didik yang datang ke sekolah selalu berharap mendapatkan pengetahuan, pemahaman dan wawasan baru dari guru mereka!
Karena mereka bukan robot, mereka bukan mesin yang kerjanya hanya menghafal dan mengulang-ngulang apa yang sudah ada di dalam buku pelajaran. Jika tugas seorang guru adalah mendidik, salahkah saya memberikan pengetahuan dan pemahaman di luar apa yang selama ini hanya mereka dapat dari buku pelajaran?
Tentang evaluasi pembelajaran, saya tidak menghilangkan PR seutuhnya, saya bahkan mengevaluasi hasil pembelajaran melalui PR, bukan ulangan. Namun, saya memang tipikal guru yang jarang memberikan PR dan tugas untuk anak didik saya, karena itu adalah bagian dari upaya saya memberikan waktu luang agar anak-anak mengembangkan bakat mereka di luar aktivitas sekolah.
Sebagai seorang guru yang juga pernah merasakan sekolah, tanpa sadar pasti kita semua menyadari bahwa PR dan tugas sering membebani pekerjaan kita di rumah.Bahkan, tak sedikit anak didik saya yang stress karena harus mengerjakan tugas yang begitu banyak. Maka tugas dari saya untuk mereka adalah PR yang sangat sederhana;
“Tolong luangkan waktu lebih untuk berbicara dengan orang tua di rumah, membantu orang tua di rumah. Luangkan waktu untuk istirahat, luangkan waktu kalian untuk mengembangkan bakat dan luangkan waktu untuk bermain. Karena manusia seutuhnya tak boleh anti sosial, masa depan segera datang maka kalian harus berjejaring dengan banyak orang, bukan malah menjadi individualis karena disibukan dengan PR dan tugas-tugas.”
Kedengarannya mungkin hal itu seperti sesuatu yang konyol, tapi cobalah kalian lihat model pendidikan di negara-negara Eropa sekelas Finlandia. Finlandia adalah negara dengan peringkat pendidikan terbaik di dunia, dengan waktu sekolah yang jauh lebih pendek, tanpa adanya PR dan Ujian.
Tentang tuduhan saya tak suka diatur dan tak suka dengan aturan itu tidaklah benar. Jika kalian membaca dengan jeli di tulisan saya yang berjudul “Pendidikan kita memang kacau, adikku” saya hanya mengkritik aturan-aturan di sekolah yang seringkali hanya berlaku untuk siswa, tetapi tidak untuk guru. Saya tak mengatakan semua guru yang ada telah melanggar aturan, tetapi kita harus mengakui terkadang “kita” para guru sering melanggar aturan-aturan yang ada.
Contoh paling kecil adalah semua guru tidak menyukai siswa yang datang telat masuk ke kelas, tetapi terkadang ketika guru-guru telat, hukuman itu tidak berlaku. Guru tak suka melihat murid tidur di kelas, tetapi berdasarkan laporan dari murid saya, ada oknum guru yang sering tidur ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Kita sebagai guru harus mengakui bahwa kita sering kali kebal terhadap hukuman dan aturan yang ada. Guru bukanlah dewa yang selalu benar. Guru juga bisa salah.
Itulah yang sering dikeluhkan oleh murid-murid kepada saya. Salahkah seorang guru mencoba menggunakan kedua telinganya untuk mendengar apa yang selama ini jadi keluhan banyak anak?
Kembali lagi ke Studi Merdeka, dimana tuduhan macam-macam datang menyerang organisasi yang hobby berdiskusi ini. karena saya ingin menanggapi berbagai kekeliruan yang dituduhkan ke organisasi ini.
Salah satu tuduhan yang datang adalah bahwa Studi Merdeka menolak diadakannya penarikan Infaq Jumat karena SMAN 13 bukanlah sekolah Islam. Tuduhan ini sangat tidak berdasar dan tak bisa dipertanggungjawabkan.
Secara kelembagaan tak pernah ada upaya Studi Merdeka untuk memboikot infaq atau menolak bayar infaq, tidak pernah sama sekali. Yang saya sering dengar dan saya sukai dari anak didik saya di Studi Merdeka adalah mereka menawarkan sistem alternatif yaitu dimana “Infaq Jumat dikelola secara transparan” Misal seperti apa pengelolaannya, kemana alokasinya, berapa jumlah setiap minggunya.
Mereka menawarkan sistem ini karena terinspirasi dari pengurus-pengurus Masjid di dekat rumah mereka yang selalu memberikan informasi kepada warga berapa total jumlah infaq yang terkumpul, sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap masyarakat yang memberikan Infaq ke Masjid.
Lokasi sekretariat Studi Merdeka kebetulan juga dekat dengan Musola dan aktivitas komunitas ini tentunya tak pernah lepas dari suara adzan yang selalu menyejukan telinga.
Tuduhan bahwa Studi Merdeka tidak sepakat adzan di sekolah menggunakan sound adalah fitnah yang ditulis oleh orang yang bahkan tak mengetahui Studi Merdeka seperti apa.
Bahkan, jika saja organisasi ini tak diintimidasi dan diancam dibubarkan, mulai minggu ini harusnya kita sudah mendorong “pengajian rutin” dengan warga sekitar, juga mengadakan sanggar belajar untuk menunjang pembelajaran anak-anak di sekitar Beji. Tapi semua rencana itu kandas pasca pemanggilan orang tua anggota Studi Merdeka dan tuduhan macam-macam yang ditujukan ke organisasi ini.
Selebihnya, tentang tuduhan bahwa Studi Merdeka menolak Aksi #SaveAleppo sampai menolak adanya KPMD (Kesatuan Pelajar Muslim Depok) itu tidak benar.
Kebetulan dulu ketika masih SMA, saya sempat beberapa kali mengikuti agenda yang dibuat oleh KPMD, hingga mempelopori bergabungnya Sekolah Master (sekolah saya ketika SMA) agar tergabung dalam KPMD, sehingga sampai hari ini saya masih akrab dengan ex. petinggi-petinggi KPMD ketika saya masih SMA dulu, seperti Mahardhika Zein dan Fahmi Islami Kaffah. Jadi tak mungkin saya menolak keberadaan organisasi tersebut.
Beberapa kali pula di Instagram saya memposting pentingnya kita menyuarakan keselamatan dan perdamaian untuk Aleppo, Palestina dan wilayah-wilayah konflik lainnya. Tak jarang pula dari pengetahuan saya akan konflik itu, saya mengajarkan anak didik saya perlunya kita bersyukur hidup di sebuah negeri yang tak dilanda perang dan konflik senjata.
Karena ketika hari ini kalian berharap bisa dibelikan kendaraan dan gadget, anak-anak di wilayah konflik sana hanya bisa berharap agar mereka mampu sampai ke sekolah, dan berharap agar bisa hidup lebih lama.
Tapi inilah serunya lika-liku kehidupan. Selalu ada kritik yang dibalas lagi dengan kritik. Ada tulisan yang dibalas dengan tulisan. Orang yang tak mau dikritik seharusnya jangan melalukan apa-apa, jangan bicara apa apa.
Dengan adanya tulisan ini, saya tak bermaksud mengatakan bahwa semua guru itu salah dan sayalah yang paling baik. Bukan, bukan itu maksud saya Ibu Bapak Guru. Sebagai seorang guru muda, saya pun tentunya memiliki kelemahan-kelemahan dan pastinya pernah melakukan kekeliruan.
Saya hanya belajar bagaimana caranya menjadi seorang pendidik yang tugasnya benar-benar mendidik, bukan cuma mengajar dan mengajak anak-anak menghafal, dan mengulang-mengulang apa yang sudah ada di dalam buku pelajaran mereka.
Maksud saya, guru memegang peranan penting di negeri ini. Guru adalah pekerjaan mulia yang tak bisa ternilai dengan apapun. Marilah kita mendidik dengan hati dan gunakan kedua telinga kita untuk mendengarkan suara-suara anak didik kita. Kita harus hadir di mimpi mereka dan tak lagi mendikte mereka sesuai dengan apa yang kita mau.
Semua yang saya tawarkan di tulisan ini mungkin terlihat seperti impian yang aneh dan tak lazim. Namun, bukankah segala sesuatu yang hari ini kita yakini, dulu di awal kemunculannya pun dianggap tidak lazim?
Andika Ramadhan Febriansah Guru anak Bangsa
37 notes · View notes
Text
Pendidikan kita memang kacau, adikku
"Sebuah surat cinta yang sederhana untuk siswa-siswi SMAN 13 Depok" Halo adik-adik. Apa kabar? Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman saya mengajar selama 5 bulan di sekolah kalian. Saya masing ingat, ketika pertama kali saya mulai menginjakan kaki di SMAN 13 Depok pada akhir juli 2016 dengan santun, lugu, ramah dan senyum-sapa kepada siapapun yang saya temui. Melihat kondisi sekolah yang jauh dari kata layak, jelas saja membuat saya prihatin, dan bertanya; bagaimana mungkin sebuah kota yang dipenuhi dengan Mall dan Apartemen masih ditemui sekolah yang kondisinya memprihatinkan, bahkan mirip kandang ayam? Barangkali mereka yang ada di lingkaran kekuasaan sana menganggap bahwa membangun Mall dan Apartemen, mengizinkan pendirian properti dan berbagai bisnis di sepanjang jalan Margonda jauh lebih penting dibandingkan membangun sekolah di Pasar Cisalak. Alangkah indahnya bukan? Hidup di sebuah negeri yang pemerintahnya tak pernah peduli terhadap pendidikan dan nasib anak-anak yang dididik di dalamnya. Tapi, keresahan saya terhadap kondisi gedung sekolah yang memprihatinkan sedikit demi sedikit hanyut ketika saya bertemu dengan kalian; bercanda, bercengkrama, tersenyum bersama, bahagia sama-sama. Ketika saya melangkahkan kaki saya ke dalam kelas, saya melihat pandangan kalian yang tajam, gestur tubuh kalian yang menggugah semangat dan wajah kalian yang anggun dan energik. Di waktu itu pula saya berucap kecil di dalam hati; "Aku tak akan menjadi guru yang dulu tidak aku sukai ketika masih jadi murid di sekolah, tak ingin jadi guru yang menyeramkan dan lebih mirip sipir keamanan ketimbang seorang pendidik. Aku ingin jadi guru seperti apa yang dulu aku inginkan ketika dulu aku masih menjadi seorang murid. Guru yang kedatangannya ditunggu dan dinanti, suaranya dirindukan, sosoknya yang selalu menggugah semangat, jalan hidupnya yang selalu memberikan inspirasi, dan aku ingin jadi guru yang kepergiannya pantas untuk ditangisi banyak orang." Pelan-pelan akhirnya kita saling mengenal, saling mengerti satu sama lain. Cuma satu yang ingin saya perjuangkan di sekolah ini; membuat sekolah kalian bukan hanya sekedar menjadi rumah kedua, tetapi menjadi taman, taman dan seperti taman! Saya ingin kalian bahagia ketika datang ke sekolah dan merasa sedih ketika bell pulang sekolah berbunyi. Bisakah kita memulainya adik-adikku? Semua itu bisa diwujudkan ketika sekolah kita mau belajar, tidak kolot dan berwawasan sempit. Kenapa saya katakan sempit? Karena cara pandang sekolah kita melihat pendidikan sangatlah sempit. Apakah mungkin tindakan mengeluarkan anak-anak yang bermasalah dari sekolah dapat dikatakan mendidik? Jika tugas sekolah adalah mendidik, kenapa anak-anak yang dianggap bermasalah justru dikeluarkan bukan malah dididik? Bisakah sekolah-sekolah di negeri ini menjawabnya? Detik, menit dan hari-hari pun sudah lalu. Masa dimana hampir satu bulan saya menjadi pendidik di sekolah, saya terus melihat apa yang dulu saya benci, kini dilakukan oleh rekan-rekan saya sesama pendidik. Rupa-rupanya ajaran generasi lama masih dianut oleh segelintir guru, seperti menggunakan kekerasan verbal untuk menertibkan siswa. Hingga kelas bukan menjadi ruang debat dan bicara pengetahuan, tapi lebih mirip penjara dan guru sebagai sipir keamanan. Di sekolah, berkali-kali saya lihat siswa yang mondar mandir dengan baju tidak dimasukan diteriaki oleh guru mereka. "Bajunya masukin, mana lokasinya? mana logo sekolahnya? mana dasinya? mana topinya?" Sisa-sisa Orde Baru, dimana deretan pelajar disuruh diam dan patuh. Seakan-akan kepatuhan adalah gambaran pelajar ideal. Dulu di zaman Orde Baru, pemerintahan Suharto, semua orang disuruh menghafal Pancasila tanpa diajari apa makna Pancasila bagi kehidupan mereka? Begitupun yang terjadi dengan pelajar pelajar di sekolah, mereka disuruh menggunakan topi yang bertuliskan Tut Wuri Handayani, disuruh menghafal nama bapak Pendidikan tanpa diajari apa makna Tut Wuri Handayani dan pendidikan macam apa yang dicita-citakan bapak pendidikan kita? Ki Hadjar Dewantara itu punya cita-cita bahwa pendidikan kita harus menyenangkan dan menggembirakan. Siswa harus bahagia ketika sampai di sekolah mereka layaknya sedang bermain di taman, bukan malah ditekan seperti di dalam penjara. Beberapa kali pula saya melihat para pendidik mendorong kalian untuk bersaing agar menjadi yang terpintar di kelas. Gambaran siswa terbaik di mata beberapa guru adalah mereka yang nilainya bagus, tak peduli anak ini peduli lingkungan dan temannya atau tidak. Karena gambaran siswa yang ideal adalah yang paling individualis. Tak jarang kalian melihat mereka yang juara di kelas adalah orang-orang yang kurang bergaul. Karena kalian hanya didorong untuk bersaing, saling menerkam layaknya kumpulan srigala, tanpa diajari bahwa hakikat menjadi manusia adalah menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Sudahkah kalian mencintai teman sebangku kalian, teman sekelas, teman satu sekolah? Karena bagi saya, kalian pantas dibilang spesial dan favorit ketika kalian saling mencintai dan mengasihi, kalian harus, harus dan harus menyayangi mereka yang lemah! Bukankah sejak kecil kita selalu diajarkan untuk menggunakan sebelah tangan kita untuk mengobati tangan lain yang terluka? Bagaimana mungkin sebuah negeri bisa dibangun dengan logika kompetitif, sedangkan untuk membangun masa depan, negeri ini membutuhkan manusia-manusia yang mampu bekerjasama agar kita bisa mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan. Belum lagi tentang pungutan uang gedung, uang seragam, uang remedial, sampai fotocopyan yang dibebankan kepada siswa tak sesuai dengan harga asli. Saya sering coba membicarakan masalah ini ke pihak berwenang tapi jawabannya jelas sangat tidak memuaskan. "Sudah, biarkan saja pak Andika, itu kan sistem yang guru itu bangun. Kita tak bisa intervensi" "Kita tak akan bisa berbuat apa-apa pak Andika, susah. Kita bukan siapa-siapa" Geram mendengar jawaban tersebut, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengkritik guru bersangkutan. Kekecewaan saya memuncak di momen ini karena saya tak melihat lagi keberanian dan nyali para pendidik ketika melihat sesuatu yang tidak beres. Ketika ada murid yang bajunya keluar, rambutnya gondrong dan tak mengerjakan PR pasti kena hukum, sedangkan ada guru yang melanggar hukum dan aturan, berani kah para guru menghukumnya? Atau membiarkan murid-murid untuk menegur? Bagaimana mungkin negeri ini bisa terbebas dari korupsi jika murid-murid yang resah terhadap pungli sekolah malah disuruh diam dan tutup mulut? Apakah ajaran di instansi pendidikan hanya melulu soal seragam, dasi ataupun penampilan, sedangkan para pendidik tak sama sekali melatih murid-murid mereka agar memiliki keberanian? Tentu keberanian itu bukan hanya jadi sekedar omongan yang kosong. Adik-adik, dulu ketika saya masih SMA, saya sering membaca buku tentang tokoh-tokoh dunia. Dari buku-buku itulah saya mengenal tokoh sekaliber Voltaire, Gandhi, Sukarno, Tan Malaka, Socrates, Fidel Castro sampai Abraham Lincoln. Dari sana pula kekaguman saya muncul ketika membaca kisah hidup Ahmadinejad, Presiden Iran yang rela hidup menderita karena ia menyumbangkan seluruh gajinya untuk orang-orang miskin. Karena baginya menjadi pemimpin artinya menjadi pelayan rakyat, bukan malah jadi perampok. Dari merekalah saya belajar melatih nyali dan keberanian agar tidak takut melawan kezaliman. Terinspirasi dari kisah Presiden Iran itu, maka secara sadar saya akan menyumbangkan seluruh "uang buku" yang saya terima kemarin untuk mereka yang membutuhkan. Beberapa waktu lalu, guru-guru di sekolah dapat uang dari hasil penjualan buku ke murid dan hingga detik ini saya meyakini kalau uang yang saya pegang ini bukanlah hak saya. Secara resmi sumbangan ini akan saya berikan ke Kelompok Studi Merdeka, komunitas yang saya bentuk di SMAN 13 Depok yang beranggotakan murid-murid saya untuk di kelola menjadi Uang Milik Bersama. Kelak, jika ada di antara kalian, siswa-siswi SMAN 13 Depok yang tak bisa beli seragam ataupun buku, semoga uang yang dikelola KSM itu dapat membantu kalian. Saya tak ingin ada anak yang tak bisa sekolah ataupun malu datang ke sekolah hanya karena tak bisa membeli seragam. Hanya inilah yang bisa saya tuliskan untuk kalian. Adik-adik, generasi kitalah yang kelak akan mengeluarkan bangsa ini dari lubang keterpurukan, kitalah yang akan membangunkan bangsa kita yang selama ini berjalan dalam keadaan tertidur. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu kembali untuk memperjuangkan perjuangan yang sama. Sampai berjumpa di sekolah! sampai berjumpa di tulisan-tulisan berikutnya ya! Dari guru mu, Andika Ramadhan Febriansah Presiden Republik Indonesia 2035 (Aminin dek) wkwk
150 notes · View notes
Text
Al Quran yang membesarkan kita
Eric Fromm di dalam bukunya pernah mengatakan kalau setiap orang di dunia ini akan tersinggung ketika keyakinan mereka dinafikan. Karena itu, sangatlah wajar ketika arogansi Ahok yang menyatakan kalau umat Islam dibohongi oleh Surat Al Maidah memancing kemarahan khalayak. Seperti umat lainnya, orang-orang Muslim di negeri ini sangat menjunjung tinggi kitab agama mereka. Al Quran rasanya sudah hidup dalam keseharian umat Islam. Ayat-ayat suci itu dibaca oleh ribuan Muslim setelah sholat, saat mengaji, ataupun ketika senggang. Melalui toa masjid kapanpun, dan di wilayah manapun kalian bisa dengar ayat-ayat itu terbang mengudara, masuk ke dalam dada, menyejukan kita. Bahkan ketika saya masih kecil, hampir setiap hari saya mendengar nenek saya melantunkan ayat-ayat Quran. Saat itu, saya yang masih polos sering abai dan tak peduli dengan kebiasaan nenek saya itu. Tapi tanpa sadar saya terbentuk menjadi seorang Muslim yang terbiasa dengan suara-suara lantunan ayat Quran. Ketika saya kuliah, saya mulai berkenalan dengan ideologi dan ajaran di luar ajaran agama saya, seperti Kristen, Yahudi ataupun ideologi macam liberal, anarkisme ataupun komunisme. Dan ada sesuatu yang menarik ketika saya membaca buku-buku kiri, utamanya tentang PKI yang selama ini dicap anti-Tuhan oleh buku sekolahan. Bahwa komunisme Indonesia bukanlah komunisme Soviet ataupun yang diilustrasikan Orba dengan amat menyeramkan dan dituduh tidak beragama. Aidit dan Muso yang merupakan petinggi di PKI justru semasa kecilnya dibesarkan oleh lingkungan yang sangat islami. Aidit itu seorang muadzin dan penghatam Al Quran sewaktu masih kanak-kanak di kampungnya. Muso dibina dan dibesarkan oleh organisasi agama bernama Sarekat Islam. Bahkan seorang kiri bernama Tan Malaka pernah dikritik petinggi Komunis Internasional karena ia ingin Islam dan Komunisme di dunia bersatu untuk melawan penindasan. Latarbelakang dan masa kanak-kanak para pejuang itu menandakan masyarakat kita sangat lekat dan dekat dengan agama yang hidup sewaktu masa kanak-kanak mereka. Tak heran ketika mereka besar, mereka menjadikan ajaran di dalam kitab agama mereka sebagai alat perjuangan dan membangkitkan spirit melawan penjajahan, walaupun sudah ada ideologi lain yang mempengaruhi jalan berpikir mereka. Hari ini, setiap kali saya menggerakan lidah saya untuk membaca satu persatu ayat Quran, bukan hanya Tuhan yang hadir dalam ingatan dan perasan saya, namun membaca Quran juga membantu saya untuk menghadirkan kembali ingatan saat masa kanak-kanak dulu; belajar solat bersama nenek ataupun ketika saya baru pertama kali mengeja satu persatu huruf IQRA dengan terbata-bata. Ucapan pak Gubernur pantas dilawan, karena ucapan itu sangat melukai perasaan orang-orang Muslim. Hal ini harus jadi pelajaran bagi semua. Bukan hanya Al Quran dan Islam, jika ada orang-orang yang menistakan ajaran dan kitab agama-agama selain Islam wajib ditindak tegas oleh pihak berwenang karena hal itu dapat menghancurkan semangat kebhinekaan. Saya mendukung aksi tanggal 4 November selama tujuan besarnya adalah agar Ahok di proses di meja hukum. Hari ini, supremasi hukum di negeri kita dipertaruhkan. Siapapun; mau dia tukang cendol ataupun anggota dewan, siswa kere ataupun kepala sekolah korup, mau anak pemulung ataupun anak presiden, kalau sudah melanggar hukum dan menafikan keyakinan agama lain harus ditindak tegas, apalagi Ahok adalah seorang pimpinan tertinggi di DKI yang harusnya menjaga dan memelihara keberagaman. Dan saya menyerukan kepada seluruh umat Muslim yang berdemo agar menyampaikan aspirasi dengan baik. Hindari kalimat-kalimat SARA seperti Ahok Cina, Ahok Kristen. Karena jika kalimat-kalimat itu keluar dari mulut setiap demonstran, tandanya mereka yang berdemo tidak berbeda dengan Ahok; sama-sama tidak toleran terhadap perbedaan dan menghina agama lain. @Tangerang 4 November 2016 Andika Ramadhan Febriansah
14 notes · View notes
Text
Sepercik Harapan di Pinggir Terminal
Tumblr media
Masih teringat dalam benak ku, kala itu cuaca kelabu, aku duduk di stasiun menunggu kereta untuk menimba ilmu di sekolah tercinta, sekolah yang mungkin sangat besar peranannya dalam membentuk diriku menjadi seperti sekarang ini. Karena di sekolah inilah aku dapat belajar tentang segala hal yang sebelumnya hanya bisa ku pelajari lewat buku.
Kereta pun datang dari arah utara, aku segera bergegas masuk ke dalamnya, ku lihat di dalam kereta ada beberapa pelajar sekolah lain yang sedang asik membaca buku. Dengan seragam rapi yang dikenakannya tentu mereka bingung melihat aku yang hanya memakai celana abu-abu dengan atasan kaos oblong dan kaki yang beralaskan sandal jepit. Aku hanya menunduk ketika pandangan heran mereka tertuju ke arahku.
Dalam perjalanan menuju sekolah, kereta yang kutumpangi harus melewati 10 stasiun dengan jarak yang cukup jauh antara satu stasiun dengan stasiun lainnya. Tak jarang pikiran ku melayang saat berada di dalam kereta, aku sering berimajinasi diiringi dengan indahnya pemandangan yang kulihat dari balik jendela kereta Api.
Setelah lama berdiam diri, aku sampai di stasiun Depok, aku bergegas turun, dan berjalan ke arah Terminal, ya Terminal, disanalah tempatku menuntut ilmu dan merangkai cita-cita, kurangkai semua mimpiku di tempat yang penuh dengan kebisingan, hiruk pikuk dan keramaian.
Terkadang aku dan teman-teman sering kesulitan dalam belajar ketika harus dihadapkan dengan para supir angkutan umum yang berlomba membunyikan klaksonnya. Dari luar mungkin seseorang akan mengira bahwa sekolahku adalah sebuah perkampungan kecil di pinggir terminal. Tapi inilah sekolahku, Sekolah masjid terminal (Master) yang berada di sudut kota Depok, Jawa Barat.
Setelah sampai di sekolah, aku mengetuk pintu kelas yang bentuknya sangat sederhana, sambil mengucap salam, aku masuk dan duduk disamping temanku yang sepertinya sedang asik memperhatikan pelajaran. Hari itu pelajaran Sejarah, dan aku begitu mencintai pelajaran ini.
Tumblr media
Kelasku sungguh sederhana, sederhana tanpa jendela kaca dan tembok yang terbuat dari kayu triplek. Di dindingnya terlihat ada beberapa hiasan yang dibuat oleh para siswa-siswi di sekolah ini. Kami biasa belajar tanpa kursi dan duduk dilantai, terkadang kamipun harus siap menerima tetesan air yang jatuh dari langit-langit ketika hujan deras melanda. Hal ini tidak menyurutkan semangat kami untuk terus belajar, karena kami yakin bahwa mimpi kami jauh lebih besar daripada keadaan kami saat ini.
Aku memiliki guru-guru yang hebat di sekolah ini. Rasanya segala keterbatasan infrastruktur terbayar ketika kami melihat para pengajar yang begitu semangat mengajar kami. Kedekatan antara guru dan murid membuat siswa-siswi di sekolahku begitu nyaman berada di sekolah ini. Tidak ada batasan-batasan yang terlihat antara pendiri, guru, dan murid. Aku dan teman-teman disini merasa memiliki guru yang sekaligus menjadi Ayah dan Ibu.
Selain peran guru-guru di Master, kami juga dibantu oleh para Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang mempunyai program bernama Master FEUI. Sebuah pengabdian nyata para Mahasiswa FEUI untuk sekolah ini. Master FEUI adalah sebuah program dimana para mahasiswanya melakukan bimbingan belajar untuk para pelajar di master. Para pengajar FEUI mulai mengajar ketika waktu pulang sekolah. Sekitar jam 5 sore aku sering melihat para pengajar berlari atau datang dengan tergesa-gesa. Begitu ikhlasnya mereka mengajar hingga harus berlari-lari menuju sekolah ini. Sekali lagi aku menemukan sepercik harapan yang timbul dalam sela-sela program belajar mengajar Mahasiswa FEUI.
Hari ini, telah tiba saatnya dimana aku harus melepas sandal dan menggantinya dengan sepatu, ketika aku harus melepas seragam dan menggantinya dengan almamater. Ketika aku harus duduk di bangku dan ruang kelas yang serba lengkap, ketika aku harus berucap salam kepada terminal yang dulu menjadi rumah dan sekolahku, sungguh hanya satu yang aku inginkan. Aku ingin mengucapkan terimakasih untuk para guru dan pengurus di sekolah MasterI yang terus memberiku dorongan untuk meraih impian ketika aku masih berada di sekolah ini.
Teman ketahuilah, aku begitu merindukan masa dimana aku dapat belajar dan merangkai semua mimpiku di pinggir terminal.
Jakarta, 23 November 2013
Andika Ramadhan Febriansah
8 notes · View notes
Text
Munir: Keberanian yang tak pernah padam
Tumblr media
7 September 2004, terjadi peristiwa yang sangat memilukan, Munir Said Thalib meninggal di pesawat ketika ia ingin melanjutkan studinya di Utrecht dalam perjalanan Jakarta – Amsterdam. Munir sudah lebih dulu menyiapkan calon tesis tentang “penghilangan orang secara paksa” untuk dibahas di Belanda, tetapi sang pejuang Hak Asasi Manusia itu tak pernah sampai ke Belanda hidup-hidup, di atas udara dalam ketinggian 35 ribu kaki, Munir menghembuskan nafas terakhirnya. Awalnya, tak ada yang mengetahui apa yang menjadi penyebab kematian Munir. Apalagi, banyak anggota keluarga Munir yang memang meninggal pada usia muda. Namun, sejumlah anggota keluarga dan kawan almarhum pejuang hak asasi manusia, Munir SH, meyakini bahwa Munir meninggal dunia karena diracun arsenikum. Hal itu sesuai dengan hasil otopsi Institut Forensik Belanda (NFI).[1] Berdasarkan hasil autopsi jenazah Munir oleh otoritas Belanda, ditemukan sejumlah besar elemen arsen dalam kadar sangat mematikan. "Dari hasil autopsi, kami ketahui ada kandungan arsen sebanyak 460 miligram (mg) dalam lambung Munir. Jumlah itu belum termasuk yang sudah terserap tubuh Cak Munir," ujar Ketua Bidang Operasional Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Edwin Partogi.[2]
Kepergian Munir ditangisi oleh banyak kalangan, peringatan kepergian pejuang hak asasi manusia ini dihadiri para aktivis HAM, keluarga korban orang hilang, buruh-buruh pabrik dan beberapa selebriti. Mereka menangisi dan ikut mengiringi kepergian sang Martir ke pangkuan Sang Pencipta. Bagi mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Munir adalah sosok yang ikut memengaruhi pemikiran dan perjuangannya dalam menegakan demokrasi di Indonesia. Munir adalah seorang pemberani yang konsisten dalam ucapan maupun tindakannya. Ketika Abdurrahman Wahid berpidato dalam peringatan 40 hari meninggalnya Munir yang diselenggarakan Kontras di Jakarta, ia mengatakan bahwa ucapan dan tindakan Munir selalu klop, disaat banyak orang yang muluk-muluk bicara tetapi tidak mampu bertindak.[3] Tak pernah bertele-betele, Munir memang lebih suka membantu mereka yang lemah dibandingkan hanya memperdebatkan teori keadilan dan kemiskinan. Karena itulah, Munir dikenal bukan sebagai akademisi, tetapi sebagai seorang pejuang HAM.
Sejak kecil, Munir sudah dikenal sebagai seorang pemberani. Kondisi fisiknya yang kecil tidak pernah menjadi halangan baginya untuk melawan hal yang menurutnya tidak benar.[4] Semua itu tak terlepas dari peran ayah dan ibunda  Munir yang telah menanamkan sifat keberanian dan nilai kerja keras kepada anak-anaknya sejak dini. Didikan semasa kecil itulah yang kelak membentuk Munir di masa mendatang sebagai seorang yang tak pernah takut melawan kelaliman sekalipun harus berhadapan dengan negara. Rekan-rekan Munir semasa studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, mengenang Munir sebagai seorang sahabat yang memiliki kepedulian kepada teman-temannya. Para buruh mengenang sosok Munir sebagai orang yang  peduli pada nasib buruh karena rela meluangkan waktunya berjam-jam dalam satu hari untuk mengorganisir dan mendengarkan keluhan mereka. Keluarga orang hilang, mengenang Munir sebagai sesosok manusia yang mampu menjadi tempat bagi mereka untuk mengadu ketika mereka tak tahu harus mengadukan kepada siapa lagi ketika ada anggota keluarga mereka yang menghilang tanpa jejak.
Munir memang sosok yang dikenal nekat sekaligus berani. Ia tak segan-segan menunjuk hidung dan menyebut nama-nama orang yang terlibat dalam kasus penculikan dan pelanggaran HAM ketika sedang diwawancarai. Keberanian itulah yang membuat nama Munir begitu dikenal. Bahkan, ketika pada masa Orde Baru, dimana Munir pertama kali menjejakan karirnya sebagai advokat, ia dianggap nekat karena begitu keras mengkritik militer yang dianggap telah menjadi dalang dari kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, Talangsari, peristiwa 27 juli 1996, pembunuhan aktivis buruh Marsinah, hingga penculikan aktivis pada tahun 1998. Munir disebut sebagai orang nekat dan berani karena dia hidup ketika rezim pada masa itu bisa kapanpun menghilangkan orang-orang yang berlawanan dengan pemerintahan tanpa jejak.  Sebagai konsekuensi atas kritik kerasnya terhadap rezim, Munir beberapa kali harus berhadapan dengan ancaman seperti teror bom ketika berada di kediamannya, hingga ancaman-ancaman pembunuhan jika Munir masih saja bersuara. Kendati sering mendapatkan ancaman dan intimidasi, teriakan Munir dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan justru semakin mengeras. Dinyatakan oleh sahabat Munir bernama Khairul Anam, intimidasi atau teror yang diterima Munir justru semakin meyakinkan dirinya bahwa memang ada yang salah. Malahan, seandainya tidak ada terror, Munir akan bertanya-tanya apakah yang ia kerjakan itu betul atau tidak.[5]
Sejak kelahiran pemerintahan Orde Baru di akhir tahun 1960-an, rezim Orde Baru memang sudah menggunakan kekerasan sebagai cara efektif untuk membungkam suara-suara yang berlawanan dengannya. Orde Baru bisa dengan entengnya memukul, menendang bahkan memenjarakan hingga menghilangkan orang-orang yang mengkritik rezim. Ricklefs berpendapat bahwa Orde Baru mirip seperti rezim kolonial karena memberlakukan hukuman penjara politik untuk menyingkirkan lawan-lawan politik mereka. Di samping itu, Orde Baru mengizinkan penyiksaan terhadap narapidana politiknya.[6] Nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Yap Thiam Hien dan Wiji Thukul sudah pernah merasakan dinginnya penjara Orde Baru, siksaan hingga penghilangan paksa karena mereka tak pernah berhenti mengkritik rezim yang lalim. Diharapkan kekerasan dapat meredam segala opini yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Kekerasan juga disinyalir digunakan untuk menjaga dan memuluskan masuknya kepentingan modal asing yang ingin kembali menancapkan kepentingannya di Indonesia.
Selama berkuasa, Orde Baru tak pernah berhenti melemahkan gerakan-gerakan sipil yang mengkritik keputusan politik Orde Baru yang ingin memuluskan masuknya modal asing ke Tanah Air tanpa perlawanan. Tebukti pada tahun 1967, ketika Orde Baru baru saja satu tahun berkuasa, Orde Baru langsung mengeluarkan Undang-undang No.1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Setelah itu, langkah pemerintahan Soeharto yang lain adalah menjalin hubungan baik dengan IMF dan Bank Dunia, dengan alasan pemerintah ingin membuka diri terhadap Komunitas Internasional.[7] Alih-alih ingin memperbaiki citra Indonesia di mata dunia, Soeharto justru melakukan kesalahan yang sangat fatal; menjerumuskan Indonesia dalam cengkraman modal asing dan pembangunan neo-liberal. Dampak terbesar dari keputusan-keputusan tersebut ialah terbukanya keran kapitalisme di negeri ini yang membuat BUMN-BUMN dan pelayanan jasa di negeri ini diprivatisasi, penghilangan subsidi dalam berbagai sektor, hingga penyerahan pusat-pusat sumberdaya alam seperti minyak, emas, batubara hingga hutan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk dikuras habis dan dirampok.
Selama berkuasa, Negara Orde Baru lebih mirip dengan lembaga pelindung korporasi-korporasi raksasa yang ingin menancapkan kepentingannya di Indonesia. Orde Baru merupakan kepanjangantangan kapitalisme global. Seperti yang dikatakan oleh Vedy R. Hadiz, bahwa liberalisasi ekonomi di Indonesia tidak dibarengi dengan demokrasi politik. Liberalisasi justru diikuti dengan penyelamatan dan penataan kembali kerangka otoritarian korporatis yang ada, demi kepentingan koalisi para birokrat politik yang berkuasa beserta keluarga mereka dan perusahaan-perusahaan konglomerat.[8] Akibatnya, siapapun yang mengkritik pembangunan dan keputusan politik Orde Baru maka dia harus dimusnahkan. Tak peduli omongan orang itu benar atau tidak, Suharto tak segan-segan menghabisi orang-orang yang melakukan tindakan perlawanan terhadap kekuasaannya.
Peristiwa 15 Januari 1974 merupakan tonggak pemusnahan gerakan sipil kedua – setelah pembantaian orang-orang yang dituduh PKI pada tahun 1965 – yang dilakukan oleh Orde Baru untuk meringkus siapapun yang dianggap bersebrangan dengannya. Pada tahun ini, rezim Orde Baru mulai menampakan wajah aslinya, dimana tindakan represif dilakukan oleh rezim yang berkuasa untuk memuluskan masuknya investasi asing yang berkedok dengan menjaga stabilitas keamanan dan stabilitas pembangunan. Tindakan represif itu dilembagakan dalam berbagai aturan dan undang-undang. Pers diberangus dan diawasi ketat. Kegiatan politik menjadi barang haram di kampus-kampus.[9] Orde Baru juga berupaya memisahkan masyarakat dengan kehidupan politik, dimana masyarakat dilarang terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik. Masyarakat dilarang mengkritik, apalagi terlibat aktif dalam organisasi politik di luar bentukan rezim, dimana ketika itu Orde Baru membentuk wadah tunggal organisasi massa sebagai cara jitu untuk mematikan gerakan masyarakat, seperti membentuk organisasi kepemudaan KNPI (Kesatuan Nasional Pemuda Indonesia), organisasi perempuan Kowani (Kongres Wanita Indonesia), organisasi petani HKTI (Himpunan Keurukunan Tani Indonesia) dan organisasi buruh BSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia). Pembentukan wadah tunggal yang dilakukan Orde Baru bertujuan memudahkan kontrol dan menyatukan kepentingan.[10]
Apa yang telah dibangun oleh Orde Lama tentang kebebasan berserikat, bahwa masyarakat harus mengerti politik dan terlibat dalam penentuan keputusan negara akhirnya kandas dibawah kendali Suharto. Apa yang dicita-citakan Sukarno dalam sosio-demokratis, dimana masyarakat harus berdaulat atas aset-aset ekonomi dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan politik rasanya tinggal jadi cerita. Era kekuasaan tiran perlahan-lahan mulai muncul, dimana rezim Orde Baru membalas segala bentuk suara yang berbeda dengan pemukulan, penghilangan paksa, bahkan penghilangan  nyawa. Atas nama stabilitas, represi dilakukan untuk menopang kekuasaan Suharto hingga 24 tahun kemudian.
Pada mulanya, tindakan  represi tidak begitu mendapatkan penolakan dari masyarakat karena Orde Baru berhasil mengkontrol kesadaran masyarakat melalui politik bahasa. Sebagai contoh, pemerintah selalu melakukan pembenaran bahwa tindakan kekerasan memang harus dilakukan untuk menjaga stablitas nasional. Orde Baru dapat dengan mudahnya menuduh mereka yang berdemonstrasi sebagai komunis, menuduh mereka yang mengkritik rezim sebagai neo-PKI ataupun segala tuduhan yang dianggap merusak, agar masyarakat tak mendukung dan bersimpati terhadap aksi-aksi mereka, sekaligus membenarkan tindakan aparat negara yang memukul dan memenjarakan mereka. Namun lambat laun, masyarakat mulai menyadari tindakan represif Orde Baru tak bisa terus menerus dibiarkan. Semakin lama, citra kekerasan yang dilakukan oleh negara  menciptakan “hororisme” di kalangan masyarakat. Kondisi demikian membuat ciut nyali mereka yang ingin melakukan perubahan. Akhirnya, sebagian besar anggota masyarakat lebih memilih diam dan bersikap sangat hati-hati dalam menanggapi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah. Maka dimulailah budaya diam masyarakat sebagai pertanda matinya kehidupan demokrasi di ruang-ruang publik.
Sementara di sisi lain, orang-orang yang sejak lama secara konsisten melakukan kritik dan juga perlawanan terhadap kekuasaan telah menyadari strategi politik bahasa yang dijalankan oleh Orde Baru untuk membungkam aspirasi publik. Maka mereka juga menggunakan bahasa sebagai alat untuk melawan rezim. Gerakan Mahasiswa yang ketika itu konsisten melakukan kritik dan perlawanan memanfaatkan media kampus, selebaran dan forum-forum diskusi, bahkan dalam sidang untuk men-deligitimasi semua politik semiotika rejim Orde Baru. Selain itu, mahasiswa juga memanfaatkan momen momen tertentu, seperti pentas seni di kampus, peringatan hari-hari besar, serta demonstrasi untuk menarik perhatian massa.[11] Namun perlawanan demi perlawanan jusrtu ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintahan saat itu, anak-anak muda terbaik diculik, dipukuli, dipenjara hingga dihilangkan paksa untuk menebar ketakutan agar tak ada lagi gerakan protes terhadap rezim yang berkuasa.
Penjara, penculikan hingga ancaman seperti sebuah konsekuensi menjadi orang yang berani di negeri tiran. Anak-anak muda terbaik ketika itu mengubur dalam dalam cita-cita kemapanan dan imajinasi menjadi young urban professional. Sebagai gantinya, mereka justru turun ke jalan dan berbaur bersama kaum marjinal yang dilupakan oleh rezim Orde Baru. Mereka berani berdiri di hadapan moncong senjata aparat negara sekalipun, tanpa satu bendera primordialisme di belakang mereka. Anak-anak muda itu bersinar bagai seberkas cahaya di malam hari.
Deretan peristiwa memilukan seperti penculikan dan pelanggaran HAM itu yang membuat Munir terpanggil untuk terlibat aktif mengadvokasi hak-hak warga negara agar bisa leluasa dan bebas menyuarakan kritik mereka terhadap negara.  Dalam hal ini, kita mengetahui bahwa Munir tak hanya memperjuangkan HAM, tetapi juga coba memperjuangkan demokrasi. Bagi Munir, semua orang tak boleh diintimidasi dan berhak mendapatkan perlindungan ketika mereka menyuarakan kritik di jalanan atau dalam bentuk tulisan. Kritik terhadap pemerintahan juga sangat diperlukan sebagai sebuah koreksi ketika pemerintahan mulai menyeleweng dari cita-cita kemerdekaan. Biar bagaimanapun, Suharto dipilih oleh masyarakat melalui keterwakilan MPR kala itu. Artinya, kritik dari masyarakat begitu diperlukan untuk mengkontrol jalannya roda pemerintahan. Pemerintahan yang tak suka dikritik berpotensi melakukan korup. Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat diperlakukan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi. Kritik diperlukan untuk menghidupkan sebuah negara demokrasi.
 Kiprah Munir dalam menegakan Demokrasi dan HAM di Indonesia tak pernah lepas dari hal-hal yang terkait langsung dengan pihak militer. Hal ini dapat dipahami karena orang-orang yang dibela dan didampingi oleh Munir merupakan korban tindak kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak militer. Sejak di daerah Jawa Timur, ketika Munir berjuang bersama para buruh, pihak militer telah menjadi “rival” yang akrab. Bahkan dalam kasus Marsinah, Munir tak segan menjadi kuasa hukum pengungkapan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang diduga dilakukan oleh aparat militer.[12] Ketika pindah ke Jakarta, Munir mulai menggeluti kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal di Tanjung Priok yang terjadi di Jakarta pada tahun 1984 dan kasus-kasus penculikan aktivis mahasiswa sekitar tahun 1998.
Penculikan dan tindakan represif negara yang semakin massif, akhirnya mulai mendapat pertentangan dari masyarakat sipil. Ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 serta KKN yang merajalela di tataran pemerintahan semakin membuat masyarakat tak lagi percaya terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Gerakan-gerakan perlawanan sipil yang dipelopori oleh mahasiswa mulai bermunculan dan jumlahnya kian hari kian membesar. Mereka menuntut diturunkannya Soeharto dari bangku kepresidenan. Bukannya ditanggapi dengan dialog, aksi-aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa itu justru dibalas dengan dentuman senjata. Korban pun berjatuhan, dari Trisakti hingga Semanggi. Namun, tindakan represif militer terhadap mahasiswa tak pernah membuat mereka mundur, hal itu malah semakin membuat perjuangan mereka semakin mengeras, yang akhirnya berujung pada kejatuhan pemerintahan Soeharto yang telah lama berdiri kokoh selama 32 tahun di puncak kekuasaan sejak 1966 hingga 1998. Rezim tiran kini sudah tumbang.
Semua orang bersorak-sorai merayakan kejatuhan Soeharto. Tirani berhasil diruntuhkan dan Reformasi sudah di depan mata. Di tengah kegembiraan dan euforia masyarakat, Munir yang sejak awal konsisten melakukan advokasi terhadap korban penculikan dan pelanggaran HAM, tak pernah berhenti menyuarakan pentingnya menyelesaikan kasus-kasus penculikan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru berkuasa. Munir melihat, kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 tak lantas membuat pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara itu terselesaikan. Sebagai risiko dalam memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus itu, Munir harus kembali berhadapan dengan militer yang diduga telah menjadi dalang kasus-kasus pelanggaran HAM berat selama Orde Baru berkuasa.
Berhadapan dengan pihak militer tak pernah membuat Munir takut dan gentar. Munir membuat siapapun, termasuk Jenderal sekalipun dan mereka yang menghiasi negeri ini dengan setumpuk pelanggaran HAM, tidak bisa tidur nyenyak. Tidak ada yang dikecualikan oleh Munir. Siapa bersalah harus diajukan ke pengadilan. Keadilan harus ditegakkan. Perilaku Munir yang kelewat berani tentu saja membuat pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM ketar-ketir. Banyak petinggi militer gerah oleh tindak-tanduk Munir. Di antaranya mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus dan Deputi V Badan Intelijen Negara, Muchdi Purwoprandjono – yang kelak namanya terseret dalam kasus pembunuhan Munir karena Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir menemukan jejak yang menghubungkan pilot Pesawat Garuda yang bernama Pollycarpus dengan Petinggi BIN, Muchdi Purwoprandjono.[13]
Munir dibunuh di pesawat Garuda ketika ia ingin melanjutkan studinya di Belanda pada 8 September 2004. Pejuang HAM itu diracun oleh sekelompok orang yang bersekongkol untuk melenyapkan Munir selama-lamanya. Munir sama halnya dengan Socrates; keduanya menjadi martir karena kebenaran; keduanya sama-sama mati diracun karena mengobrak-abrik kepalsuan zaman. Kasus pembunuhan Munir seperti sebuah sinyal; jangan berani berani mengkritik rezim jika belum siap kehilangan nyawa. Ahmad Syafi’i Maarif  menyebut Munir sebagai Duta Universalitas Islam Indonesia untuk penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (rahmatan lil’ alamin). Di dalam Munir, Islam secara arif dapat dijadikan sandaran yang terpercaya bagi kelompok-kelompok yang ditindas dan dipikirkan.[14]
Pembunuhan Munir seperti sebuah konsekuensi bagi seorang pemberani yang tak pernah takut berhadapan dengan rezim demi tegaknya keadilan. Ia dihilangkan paksa, dibungkam selama-lamanya oleh orang-orang yang tak ingin namanya terseret dalam pengadilan kasus pelanggaran HAM. Di saat gerbong aktivis yang selamat dari pembunuhan dan penculikan rezim Orde Baru kini duduk empuk menjadi intelektual televisi atau menjadi elite politik, Munir sekali lagi menunjukan nyali; dia berjuang untuk menuntut pertanggungjawaban rezim terhadap kasus pembunuhan dan penculikan aktivis, hingga dirinya harus berhadapan dengan terror, ancaman, sampai pembunuhan di dalam pesawat Garuda. Munir sekali lagi menegaskan kepada kita; Orang Baik Harus Berani.
Setelah kematian Munir, tak sedikit orang-orang yang takut untuk menyuarakan kebenaran. Bahkan menurut Asvi Marwan Adam, hal tersebut menimbulkan pesan yang negatif bagi aktivitas penegakan HAM dan Demokrasi. “Jangan terlampau kritis, nanti Anda akan bernasib seperti Munir.” Walaupun disampaikan dengan nada bercanda, ucapan “ancaman” semacam ini sering terdengar di pelbagai pertemuan. Jelas kondisi ini kurang kondusif bagi penegakan HAM di Tanah Air.[15] Namun tak sedikit pula orang-orang yang tak pernah berhenti meneruskan perjuangan Munir. Mereka inilah orang-orang yang kelak meneruskan keberanian yang sejak lama dipupuk oleh Munir. Deretan perjuangan kasus pelanggaran HAM, perampasan tanah rakyat seperti di Papua, Pegunungan Kendeng, Teluk Jakarta dan Desa selok awar-awar semakin menandakan bahwa orang-orang yang berani itu tak pernah habis, mereka tidak pernah mati, malah terus tumbuh dan lahir di setiap zaman. Mati satu tumbuh seribu.
Ketika reformasi sudah berjalan selama 18 tahun, kasus-kasus pelanggaran HAM dan penculikan aktivis yang dulu pernah diperjuangkan Munir, hingga kini tak pernah terselesaikan – dan tak pernah ada niat negara untuk menyelesaikannya. Bahkan justru malah bertambah.  Kasus pembunuhan Salim Kancil – petani yang memprotes tambang liar – di Desa Selok Awar-awar pada akhir tahun 2015 lalu, menjadi bukti bahwa tindakan represif masih menghantui masyarakat yang berani melakukan kritik terhadap penguasa. Krimininalisasi 26 aktvivis buruh, mahasiswa dan penegak hukum LBH Jakarta pada tahun 2015 juga menandakan bahwa teror dan ancaman masih digunakan oleh negara untuk mematikan gerakan sipil. Tak lupa, di awal Januari 2016 kasus Drop Out ketua BEM UNJ dan tindakan represif lainnya terhadap mahasiswa yang mengkritik kampus juga digunakan oleh petinggi kampus Universitas Negeri Jakarta sebagai cara-cara untuk membunuh militansi gerakan mahasiswa.
Susilo Bambang Yudhoyono, saat menjabat mengatakan kasus pembunuhan Munir sebagai ”a test to our story”. Namun, Yudhoyono sayangnya gagal melewati “ujian sejarah” itu. Kini orang berharap Presiden Joko Widodo tidak mengulangi kegagalan yang sama.  Maka kasus Munir bukan hanya penting untuk diselesaikan, tapi juga pantas dikatakan sebagai pertaruhan supremasi hukum di Indonesia. Selama kasus pembunuhan Munir tidak pernah diselesaikan dan para pembunuh Munir tidak ditangkap, maka selama itu pula keberadaan orang-orang di negeri ini akan terancam setiap kali mereka menyuarakan kebenaran.
oleh: Andika Ramadhan F.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Redaksi LP3ES. Api dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Muni. Jakarta: LP3ES. 2007
Said Thalib, Munir: Gerakan Perlawanan Buruh. Malang: Intrans Press. 2005
Manan, Munafrizal. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book. 2005
Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKiS. 2005
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi. 2005
Umarhadi, Yoseph. Jebakan Liberalisasi: Pragmatisme, Dominasi Asing, dan Ketergantungan Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Cakrawala Institute. 2010
AS Hikam, Muhammad. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES. 1996
Pemerintah segera tangkap pembunuh Munir, dalam Kompas Jawa Timur, 13 November 2004
Munir sosok pemberani yang konsisten, dalam Kompas, 22 November 2004
[1] Lihat, “Pemerintah segera tangkap pembunuh Munir”, dalam Kompas Jawa Timur, 13 November 2004, hlm.2
[2] Lihat, “Munir sosok pemberani yang konsisten”, dalam Kompas, 22 November 2004, hlm.6
[3] Ibid. hlm.2
[4] Tim Redaksi LP3ES, Api dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir (Jakarta: LP3ES, 2007) hlm.26
[5] Ibid. hlm.55
[6] M.C. Ricklefs,  Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (Jakarta: Serambi,2005) hlm.559
[7] Yoseph Umarhadi, Jebakan Liberalisasi: Pragmatisme, Dominasi Asing, dan Ketergantungan Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Cakrawala Institute,2010) hlm.28
[8] Ibid. hlm.53
[9] Lihat “Rezim Represi Setelah Malari”, dalam Majalah Tempo “Massa Misterius Malari”, No. 4246, Januari 2014 (Jakarta: Tempo, 2014), hlm.29
[10] Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945 – 2004 (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm.175
[11] Benny H. Hoed, dkk, “Bahasa Sebagai Arena Pertarungan”, dalam  Bahasa Negara V.S Bahasa Gerakan Mahasiswa (Jakarta: LIPI Press, 2004) hlm.3
[12] Lihat “Bermula dari Pembelaan buruh”, dalam Majalah Tempo, “Fakta Baru Pembunuhan Munir” No. 4341, Desember 2014 (Jakarta: Tempo, 2014), hlm.111
[13] Ibid. hlm.84
[14] Ahmad Syafi’i Maarif, “Munir: Duta Universalitas Islam di Indonesia,” dalam Bunuh Munir (Jakarta: KontraS, 2006) hlm.13
[15] Lihat “Penegakan HAM Pasca Munir” Asvi Marwan Adam, Kompas 10 Desember 2004, hlm.40
19 notes · View notes
Text
Bangkitlah Mahasiswa UNJ!
Tumblr media
“Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?”
-Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah
Ribuan mahasiswa itu memenuhi gedung-gedung kampus. Orasi dilayangkan, gerendang digaungkan. Kampusku hari ini ramai sekali. Keramaian itu hadir bukan karena ada pejabat politik isi ceramah di Masjid, bukan juga karena ada syuting sinetron di dalam kampus. Raisya dan Isyana datang? bukan. Lautan manusia itu menyusuri tiap sudut kampus; fakultas, tongkrongan, tempat ibadah dan kelas-kelas, semua mereka masuki, mereka santroni. Solidaritas! Mereka katakan solidaritas, karena izin satu hari tak masuk kelas jauh lebih baik dibandingkan terus menerus mendiamkan kezhaliman terjadi. Mereka membentangkan spanduk, mengepalkan tinju ke langit, juga memegang bendera kuning sambil berucap; Inalillahi Wa inalilllahi Rojiun, buat Universitas Negeri Jakarta. Kampus kembali menaikan UKT di tahun 2016, juga mencederai prinsip UKT itu sendiri. Tunggal ada Uang Pangkal sebesar 15 Juta, dimana logikanya? dimana tunggalnya? UNJ berduka, ribuan mahasiswa bersorak-sorai, merayakan kematian nurani petinggi kampus yang sudah sekian kali menutup akses orang susah untuk berkuliah.
Suasana yang amat terik mendadak mendung ketika ribuan mahasiswa UNJ sampai di depan Gedung Rektorat. Hamparan langit yang kelabu seperti berpesan; alam semesta sedang menangis melihat segala bentuk ketidakadilan di atas bumi, Maka kalaupun bumi ini berguncang, keadilan harus tetap ditegakkan. Ribuan mata dengan sorotan tajam tak bersuara menatap orator dan gedung di hadapan mereka. Bendera Kuning dilambaikan, deretan bendera di depan Tugu UNJ diturunkan setengah tiang; bendera Indonesia, Universitas sampai Fakultas. Indonesia berduka, sorotan mata dan suara itu bertanya, mengapa orang-orang susah tak pernah diberikan kesempatan untuk sekolah dan berkuliah? Mereka yang ada di dalam gedung-gedung itu seharusnya bisa ingat, dulu mereka bisa kuliah karena apa jika bukan karena murah? Untuk kesekian kalinya, janji kemerdekaan telah dikhianati oleh para pejabat di negeri ini sendiri.
Dengan dalih otonomi kampus, negara telah menarik kewajibannya dan tak lagi mau bertanggungjawab dalam membiayai pendidikan. Semua itu bisa terjadi karena pembangunan Indonesia menginduk pada agenda neo-liberal, yang tujuan besarnya adalah membebaskan negara dari kewajibannya memenuhi hak-hak warga dalam memperoleh pendidikan yang layak, mendapatkan layanan kesehatan, mengakses sumberdaya alam, serta hak-hak dasar lainnya, atas nama demi kepentingan pasar bebas! Jangan heran ketika melihat sumberdaya alam di negeri ini tak mampu kita kuasai, serta melihat rumah sakit dan pendidikan yang harganya mahal sekali. Menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar sama halnya dengan memberikan bayi kepada seorang kanibal. 
Kini status UNJ adalah BLU (Badan Layanan Umum), ketimbang lembaga pendidikan, UNJ lebih mirip dengan perusahaan dagang. Dengan Status BLU, UNJ ada di bawah kendali Kementrian Perdagangan. Sikap para petinggi negara yang telah menyulap pendidikan menjadi barang komoditas adalah sebuah pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan. Meminjam pendapat Darmaningtyas dalam buku Melawan Liberalisme Pendidikan; 
“Dimasukannya pendidikan ke dalam daftar bidang usaha (yang terbuka untuk penanaman modal asing) secara eksplisit mendeklarasikan bahwa pendidikan bukan merupakan hak warga negara, melainkan sebagai bidang jasa yang diperdagangkan. Ini sungguh-sungguh pengkhianatan terhadap konstitusi negara secara legal formal.” 
Ketika ada orang yang menggunakan paradigma bahwa pendidikan itu harus bayar, tanpa sadar orang itu terjebak dalam paradigma liberal. Mereka bukan lagi melihat pendidikan sebagai hak dasar tiap manusia, melainkan melihat pendidikan sebagai komoditas, sebagai barang yang bisa diperjualbelikan. Sekolah dan tempat kuliah makin mirip seperti jalan tol; siapa yang bayar maka ia yang diberikan jalan. Dengan dalih subsidi negara yang menurun akibat otonomi kampus, UNJ kembali menaikan biaya kuliah dan menerapkan Uang Pangkal di tahun 2016. Maka aksi hari ini menjadi jawaban dari mahasiswa yang tak mau lagi menjadi korban dalam agenda liberalisme pendidikan.
Di atas mimbar orasi depan Gedung Rektorat, seorang mahasiswa bersuara dengan lantang: “Kini kita kembali mendatangi Gedung Rektorat setelah kampus dibuat mati pasca kasus Drop Out Ketua BEM! Saya katakan kepada orang-orang yang ada di dalam gedung ini, bahwa hari ini mahasiswa UNJ sudah tidak takut lagi dengan ancaman Drop Out!” Teriak lelaki itu dengan orasi sederhana yang ditutup dengan pembacaan sajak perlawanan. Di kampus ini orang yang mengkritik bisa menjadi kriminal, mahasiswa yang bersuara bisa dengan mudah diberhentikan status kemahasiswaannya.
Aku terlarut di dalam aksi hari ini, sambil berpikir sejenak kenapa sekarang aku ada disini? Bukankah seharusnya aku ada di dalam kelas, kuliah dengan wajar, menatap proyektor, ber-IPK tinggi biar kelak aku tak lagi susah bayar kuliah dan mampu hidup secara wajar? Bukankah dosen-dosen di kelas serta mahasiswa-mahasiswi di kantin mengajarkan kita kalau tak mau terbebani kuliah mahal lebih baik kuliah yang benar agar cepat lulus dan terhindar dari biaya kuliah yang mahal? 
Aku pernah hampir ditolak oleh UNJ ketika baru saja diterima melalui jalur seleksi karena tak mampu membayar UKT di awal kuliah. Aku hampir saja tak bisa berkuliah jika saat itu orang-orang terdekatku tidak membantuku membayar UKT di tahun 2012. Maka aku katakan kepada orang-orang yang melarang kita untuk terlibat aksi hari ini; tidak! Aku tidak akan berdiam diri di dalam kelas. Aku pernah merasakan sulitnya membayar uang kulliah, maka aku tak akan membiarkan mimpi anak-anak lain yang ingin berkuliah terbengkalai hanya karena mereka tidak bisa membayar. Aku harus tetap ada di dalam barisan ini, aku harus ada di dalam aksi ini agar kelak pendidikan bisa dirasakan oleh semua orang, agar kelak tidak ada lagi anak-anak yang bernasib sama denganku; terbebani biaya kuliah yang besarannya tak manusiawi! Bagiku, prestasi itu bukan tentang pencapaian diri sendiri, tak sesempit pencapaian indivual, prestasi adalah ketika kehadiran kita di dunia ini dapat dirasakan oleh orang lain. Beruntunglah mereka yang ada di dalam aksi hari ini, tandanya mereka masih punya rasa, masih punya cinta. Berbahagialah kalian, karena nyatanya tak semua orang memiliki itu.
Jauh sebelum hari ini, dua bulan lebih aku dan kawan-kawan lain berkumpul dan bicara soal nasib mahasiswa. Di pelataran kampus, di bawah pohon rindang, di ruang-ruang terbuka, berdialog dengan mahasiswa dari satu fakultas ke fakultas lain. Tujuan kami sama: Pendidikan untuk semua. Kita meyakini bahwa pendidikan adalah salah satu jalan yang mampu mengeluarkan bangsa ini dari lubang keterbelakangan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Eko Prasetyo: melalui pendidikan, negara kita akan mendapatkan komunitas masyarakat yang jauh lebih cerdas dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kecerdasaan masyarakat merupakan elemen terpenting bagi kemandirian suatu bangsa. Lewat kecerdasan dan daya kritis masyarakat maka kita dapat mendorong munculnya keputusan yang kritis, berani, dan cermat. Bekal pendidikan ini yang membuat masyarakat tidak mudah dibohongi oleh pejabat atau menteri kita yang mengatakan kalau tidak ada hutang maka bangsa ini bisa tenggelam.
Maka hari ini seperti puncak kekecewaan mahasiswa terhadap sikap para petinggi kampus yang tak lagi mau mendengar. Kerap kali orang-orang yang ada di dalam gedung ber-AC itu menutup mata dan telinga mereka terhadap fenomena mahasiswa miskin yang putus kuliah karena tidak bisa membayar. Namun, pemimpin tertinggi kampus sepertinya terlalu takut dengan mahasiswa. Ia enggan menemui massa. Ini merupakan bukti bahwa Rektor UNJ sudah tidak merakyat di kampusnya sendiri. Hari ini, ia lebih memilih menemui pejabat Dikti ketimbang menemui mahasiswanya sendiri. Perlukah kita tanya lagi, Rektor macam apa yang tak mau menemui mahasiswanya?
Makin senja, gaungan orasi semakin keras, suasana semakin memanas tatkala Rektor tak mau menemui mahasiswa. Ribuan tangan mengepal ke atas langit sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang tak memiliki nurani. Lalu Zuhur, Ashar hingga Magrib sudah dilalui, di sela-sela peribadatan mahasiswa, aku meyakini; mereka sama-sama berdoa agar aksi hari ini mampu menelurkan kebijakan penghapusan Uang Pangkal dan penurunan besaran UKT untuk angkatan 2016. Karena memperjuangkan kuliah murah juga merupakan bagian dari Jihad, bagian dari perjuangan menegakan keadilan agar orang-orang tak berpunya juga diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan. 
Langit hitam mulai memeluk Bumi. Aksi mahasiswa berlangsung hingga malam hari. Gelapnya malam tak jua membuat ribuan mahasiswa ini mundur dan membubarkan diri. Mereka masih berdiri di hadapan Gedung Rektorat, tanpa takut dengan ancaman penjatuhan sanksi akademik ataupun ancaman Drop Out sekalipun, tanpa satu bendera primordialisme di belakang mereka. Ribuan anak-anak muda itu bersinar bagai seberkas cahaya di malam hari. Mereka adalah orang-orang yang mampu menerangi dunia dari kezhaliman yang nampak. Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa maka matilah sebuah bangsa. Begitu kata Pramoedya. Soal rasa, soal cinta terhadap bangsa sendiri yang membuat ribuan mahasiswa bertahan hingga malam hari.
Tak lama setalah itu, pejabat kampus keluar dengan tujuan membacakan hasil kesepakatan negosiasi dengan perwakilan mahasiswa. “Uang Pangkal untuk angkatan 2016 ditiadakan, UKT untuk golongan 3 dan 4 tahun ini diturunkan” ucapnya di atas mimbar orasi. Sontak seluruh mahasiswa bersorak sorai, teriakan mereka memecah gelapnya malam. Mereka berteriak bahagia merayakan keberhasilan aksi hari ini. Walaupun beberapa hasil kesepakatan dirasa masih merugikan mahasiswa, namun ribuan mahasiswa tetap bangga dengan pencapaian mereka karena mereka mampu membuktikan bahwa aksi mahasiswa mampu menjungkirbalikan kebijakan agar pro terhadap orang miskin. Mahasiswa UNJ bersepakat bahwa aksi hari ini bukanlah puncak dari segala perjuangan. Nafas harus panjang. Masih banyak permasalahan yang harus sama-sama diselesaikan. 
“Malam ini aku bisa tidur nyenyak! mungkin ini yang dulu dirasakan oleh angkatan 98’ setelah berhasil menjatuhkan rezim Soeharto” sahutku kepada seorang kawan. Aku larut dalam teriakan kebahagiaan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku begitu bangga bisa menjadi bagian dari aksi sebesar hari ini yang baru satu kali terjadi di kampus UNJ semenjak aku kuliah disini. Semua ini berhasil karena ribuan mahasiswa mengesampingkan ego dan kepentingan kelompok mereka. Musuh mereka cuma satu; Komersialisasi Pendidikan. Aku sangatlah bangga karena bisa menjadi salah satu orang di dalam barisan yang berhasil menurunkan besaran UKT dan menghapuskan Uang Pangkal. Generasi sekarang memang belum berhasil menghapuskan UKT yang menjerat Pendidikan Tinggi. Tetapi aku yakin, kelak angkatan dan generasi selanjutnyalah yang akan meneruskan perjuangan untuk menghapuskan UKT dan mendorong kebijakan pendidikan untuk semua kalangan. Biar aksi hari ini menjadi peletup semangat dan api perlawanan yang dipupuk ke angkatan selanjutnya. Merekalah yang kelak akan berjuang agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua orang, dapat dirasakan oleh semua kalangan.
Ditutup dengan Sumpah Mahasiswa, ribuan anak-anak muda terbaik yang pernah dimiliki Universitas Negeri Jakarta itu membubarkan diri. Wajah puas terlihat dari paras mereka. Dalam diam, aku menatap kerumunan mahasiswa yang mulai membubarkan diri. Sambil berucap kecil, aku katakan kepada mereka; Kawan, jangan pernah lupa hari ini kita pernah berjuang bersama, pernah memenangkan perjuang sama-sama!
oleh: 
Andika Ramadhan Febriansah
Mahasiswa Sejarah UNJ
10 notes · View notes
Text
Beli ilmu setinggi langit
Baru-baru ini, kampus UNJ dikejutkan dengan informasi mengenai biaya UKT untuk calon mahasiswa baru yang nominalnya makin tak manusiawi. Ketimbang institusi pendidikan, kampus kita lebih mirip dengan keripik maicih, ada level dan golongan, tentu saja yang levelnya paling pedas harganya semakin mahal. Semenjak diberlakukannya UKT di UNJ pada tahun 2012, kebijakan ini memang sudah menuai polemik. UKT yang seharusnya diterapkan pada tahun 2013, justru diterapkan di UNJ pada tahun 2012. Kampus lain yang juga curi start adalah UNS dan UNSOED, tetapi di UNSOED, UKT pada tahun 2012 berhasil dihentikan ketika ribuan mahasiswa UNSOED yang tergabung dalam #SaveSoedirman menuntut pihak kampus agar mentaati hukum. UKT merupakan kebijakan yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dengan harapan persoalan mahalnya biaya kuliah di PTN bisa terselesaikan. Tujuan adanya UKT adalah agar pendidikan itu bisa dirasakan oleh semua kalangan, tak hanya dirasakan orang-orang yang punya uang. Namun, tujuan ini bertolak belakang dengan kebijakan yang menyatakan bahwa golongan miskin dan sangat miskin hanya dijatah 5% di tiap universitas. Alokasi ini tentunya terbilang kecil bila niat awal UKT adalah untuk membuka akses orang miskin agar bisa berkuliah. Apalagi jumlah mahasiswa miskin di tiap universitas sudah pasti lebih dari 5%. Jika terdapat 40% mahasiswa miskin di UNJ, maka hanya 5% yang bisa masuk dalam golongan 1 dan 2 yang harganya relatif murah, sedangkan 35% nya lagi dihadapkan pada dua pilihan; menjadi mahasiswa UNJ namun pasrah menerima nominal UKT yang sangat tinggi dengan golongan 3-8, atau memutuskan untuk mundur karena tak menyanggupi membayar uang kuliah yang sangat mahal. UKT yang disebut-sebut sebagai solusi untuk membantu memperluas akses orang miskin agar bisa berkuliah akhirnya tinggal jadi dongeng. Alih-alih membantu orang miskin agar bisa berkuliah di PTN, UKT justru mengubur dalam-dalam impian anak-anak tak mampu di negeri ini yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya itu, dalam mengelola UKT, pihak kampus UNJ juga pernah membandel. Jatah 5% yang terbilang sangat kecil untuk menolong mereka yang miskin pernah diselewengkan pada tahun 2013. Merujuk bank data TIM Pengembang UKT UNJ, hanya ada 67 orang mahasiswa baru UNJ tahun 2013 yang masuk ke golongan 5%. Padahal, pada tahun 2013 UNJ menerima 5200 mahasiswa baru, artinya seharusnya ada 260 mahasiswa yang masuk golongan 5%, bukan hanya 67 mahasiswa. Setahun setelahnya, tercatat pula ada mahasiswa Jurusan Sejarah angkatan 2013, yang berhenti kuliah pada semester 2 karena tak mampu lagi membayar UKT. Hal ini membuktikan bahwa pengurangan jatah golongan 5% itu bukan karena mahasiswa miskin di UNJ jumlahnya kurang dari 5%, tetapi justru melebihi angka 5%. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena tak ada transparansi pengelolaan keuangan yang jelas, yang akhirnya membuat PTN bisa seenaknya mengurangi jatah 5% untuk golongan tak mampu, serta menaikan nominal UKT setiap tahunnya kepada mahasiswa baru. Jika mendengar kritik mengenai UKT, pihak kampus kerap kali berdalih bahwa kampus mengalami defisit anggaran karena biaya BOPTN yang dialokasikan oleh pemerintah jumlahnya tidak besar. Kekurangan anggaran memang sering kali dijadikan alasan oleh pihak kampus untuk meninggikan biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa tiap tahun. Padahal setiap tahun BOPTN tak mungkin menurun. Harga pendidikan tinggi yang kian mahal juga merupakan dampak dari pendidikan kita yang kini sudah di lempar kepada mekanisme pasar. Sejak diberlakukannya otonomi kampus pasca reformasi, pemerintah sudah tak lagi bertanggungjawab membiayai operasional PTN. Kebijakan ini digulirkan oleh pemerintah karena adanya intervensi lembaga keuangan Internasional seperti IMF, World Bank dan WTO agar Indonesia segera meliberalisasi berbagai bentuk sektor jasa, termasuk pendidikan. Ketika pemerintah sudah tak lagi berkewajiban membiayai PTN, maka PTN dipaksa mencari uang sendiri, termasuk dengan cara bekerjasama dengan industri agar bisa mendapat anggaran. Maka disulaplah lahan kampus sebagai barang dagangan. Inilah mengapa terdapat Niaga Parking di UNJ; Botani Square di IPB dan Starbucks serta Indomaret di UI. Jika anggaran yang didapatkan dari kerjasama dengan industri dianggap masih kurang, maka kampus akan menempuh cara instan; menaikan biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Inilah kenapa akhirnya UKT tiap tahun harganya makin melonjak. Padahal, pembiayaan gedung dan investasi kampus bukanlah tanggungjawab yang harus dibayarkan oleh mahasiswa, melainkan harus ditanggung oleh subsidi pemerintah. Setelah dikeluarkannya UU PT pada tahun 2012, memang mulai ada bantuan subsidi dari pemerintah dalam bentuk BOPTN untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh mahasiswa selama kuliah. Namun, subsidi yang diberikan pemerintah kepada kampus pun tidak pernah adil. Besar kecilnya subsidi dari pemerintah terhadap kampus itu ditentukan dari apakah kampus terkait bekerjasama dengan industri atau tidak. Jika kampus bekerjasama dengan banyak industri, maka subsidi dari pemerintah akan semakin besar sebagai bentuk apresiasi. Hal ini semakin memperjelas bahwa negara ini tak lagi berpihak kepada rakyatnya. Melainkan tunduk dan berpihak pada industri. UKT yang semakin mahal sudah semestinya kita tolak, karena dampaknya bukan hanya menutup akses bagi orang miskin untuk bisa kuliah, melainkan juga membawa efek berkepanjangan. Biaya kuliah yang tinggi hanya akan mendorong para lulusan kampus agar bisa memperoleh uang sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan selama mereka kuliah agar kembali dengan jumlah yang berlipat ganda, setelah mereka lulus kuliah. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai "Pendidikan Gaya Bank" Bayangkan jika seorang lulusan kedokteran terdorong untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya setelah lulus kuliah karena modal yang mereka keluarkan untuk kuliah tidak sedikit, mau tidak mau dengan cara menjadikan pelayanan kesehatan sebagai lahan bisnis. Dampaknya adalah semakin banyak orang-orang miskin yang tidak tertolong nyawanya karena tak mampu berobat ketika mereka sakit. Begitupun dengan seorang sarjana pendidikan. Selama berkuliah mereka telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, maka setelah lulus para lulusan itu akan terdorong untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan selama mereka berkuliah. Apapun caranya akan ditempuh, termasuk dengan cara mendirikan sekolah dengan harga bayaran yang sangat mahal, ataupun terdorong menjadi guru PNS bukan untuk mendidik, melainkan agar bisa mendapatkan gaji yang tinggi. Dampaknya ialah akses pendidikan bagi orang-orang miskin semakin menyempit karena tak ada lagi pendidikan murah serta semakin sedikit orang berpendidikan yang mau mengajar tanpa dibayar. Harga pendidikan yang tinggi dan tak manusiawi harus sama-sama kita lawan. Semua itu harus diperjuangkan, harus kita menangkan. Pendidikan harus terjangkau oleh semua kalangan, bukan hanya untuk mereka yang punya uang. Tiap-tiap jiwa yang hidup di negeri ini berhak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali. Selamatkan UNJ, sama hal nya dengan berjuang untuk menyelamatkan Indonesia agar mampu keluar dari lubang keterbelakangan. Andika Ramadhan Febriansah Mahasiswa Sejarah UNJ
7 notes · View notes
Text
Beli ilmu setinggi langit
Baru-baru ini, kampus UNJ dikejutkan dengan informasi mengenai biaya UKT untuk calon mahasiswa baru yang nominalnya makin tak manusiawi. Ketimbang institusi pendidikan, kampus kita lebih mirip dengan keripik maicih, ada level dan golongan, tentu saja yang levelnya paling pedas harganya semakin mahal. Semenjak diberlakukannya UKT di UNJ pada tahun 2012, kebijakan ini memang sudah menuai polemik. UKT yang seharusnya diterapkan pada tahun 2013, justru diterapkan di UNJ pada tahun 2012. Kampus lain yang juga curi start adalah UNS dan UNSOED, tetapi di UNSOED, UKT pada tahun 2012 berhasil dihentikan ketika ribuan mahasiswa UNSOED yang tergabung dalam #SaveSoedirman menuntut pihak kampus agar mentaati hukum. UKT merupakan kebijakan yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi dengan harapan persoalan mahalnya biaya kuliah di PTN bisa terselesaikan. Tujuan adanya UKT adalah agar pendidikan itu bisa dirasakan oleh semua kalangan, tak hanya dirasakan orang-orang yang punya uang. Namun, tujuan ini bertolak belakang dengan kebijakan yang menyatakan bahwa golongan miskin dan sangat miskin hanya dijatah 5% di tiap universitas. Alokasi ini tentunya terbilang kecil bila niat awal UKT adalah untuk membuka akses orang miskin agar bisa berkuliah. Apalagi jumlah mahasiswa miskin di tiap universitas sudah pasti lebih dari 5%. Jika terdapat 40% mahasiswa miskin di UNJ, maka hanya 5% yang bisa masuk dalam golongan 1 dan 2 yang harganya relatif murah, sedangkan 35% nya lagi dihadapkan pada dua pilihan; menjadi mahasiswa UNJ namun pasrah menerima nominal UKT yang sangat tinggi dengan golongan 3-8, atau memutuskan untuk mundur karena tak menyanggupi membayar uang kuliah yang sangat mahal. UKT yang disebut-sebut sebagai solusi untuk membantu memperluas akses orang miskin agar bisa berkuliah akhirnya tinggal jadi dongeng. Alih-alih membantu orang miskin agar bisa berkuliah di PTN, UKT justru mengubur dalam-dalam impian anak-anak tak mampu di negeri ini yang ingin melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Tak hanya itu, dalam mengelola UKT, pihak kampus UNJ juga pernah membandel. Jatah 5% yang terbilang sangat kecil untuk menolong mereka yang miskin pernah diselewengkan pada tahun 2013. Merujuk bank data TIM Pengembang UKT UNJ, hanya ada 67 orang mahasiswa baru UNJ tahun 2013 yang masuk ke golongan 5%. Padahal, pada tahun 2013 UNJ menerima 5200 mahasiswa baru, artinya seharusnya ada 260 mahasiswa yang masuk golongan 5%, bukan hanya 67 mahasiswa. Setahun setelahnya, tercatat pula ada mahasiswa Jurusan Sejarah angkatan 2013, yang berhenti kuliah pada semester 2 karena tak mampu lagi membayar UKT. Hal ini membuktikan bahwa pengurangan jatah golongan 5% itu bukan karena mahasiswa miskin di UNJ jumlahnya kurang dari 5%, tetapi justru melebihi angka 5%. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena tak ada transparansi pengelolaan keuangan yang jelas, yang akhirnya membuat PTN bisa seenaknya mengurangi jatah 5% untuk golongan tak mampu, serta menaikan nominal UKT setiap tahunnya kepada mahasiswa baru. Jika mendengar kritik mengenai UKT, pihak kampus kerap kali berdalih bahwa kampus mengalami defisit anggaran karena biaya BOPTN yang dialokasikan oleh pemerintah jumlahnya tidak besar. Kekurangan anggaran memang sering kali dijadikan alasan oleh pihak kampus untuk meninggikan biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa tiap tahun. Padahal setiap tahun BOPTN tak mungkin menurun. Harga pendidikan tinggi yang kian mahal juga merupakan dampak dari pendidikan kita yang kini sudah di lempar kepada mekanisme pasar. Sejak diberlakukannya otonomi kampus pasca reformasi, pemerintah sudah tak lagi bertanggungjawab membiayai operasional PTN. Kebijakan ini digulirkan oleh pemerintah karena adanya intervensi lembaga keuangan Internasional seperti IMF, World Bank dan WTO agar Indonesia segera meliberalisasi berbagai bentuk sektor jasa, termasuk pendidikan. Ketika pemerintah sudah tak lagi berkewajiban membiayai PTN, maka PTN dipaksa mencari uang sendiri, termasuk dengan cara bekerjasama dengan industri agar bisa mendapat anggaran. Maka disulaplah lahan kampus sebagai barang dagangan. Inilah mengapa terdapat Niaga Parking di UNJ; Botani Square di IPB dan Starbucks serta Indomaret di UI. Jika anggaran yang didapatkan dari kerjasama dengan industri dianggap masih kurang, maka kampus akan menempuh cara instan; menaikan biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Inilah kenapa akhirnya UKT tiap tahun harganya makin melonjak. Padahal, pembiayaan gedung dan investasi kampus bukanlah tanggungjawab yang harus dibayarkan oleh mahasiswa, melainkan harus ditanggung oleh subsidi pemerintah. Setelah dikeluarkannya UU PT pada tahun 2012, memang mulai ada bantuan subsidi dari pemerintah dalam bentuk BOPTN untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh mahasiswa selama kuliah. Namun, subsidi yang diberikan pemerintah kepada kampus pun tidak pernah adil. Besar kecilnya subsidi dari pemerintah terhadap kampus itu ditentukan dari apakah kampus terkait bekerjasama dengan industri atau tidak. Jika kampus bekerjasama dengan banyak industri, maka subsidi dari pemerintah akan semakin besar sebagai bentuk apresiasi. Hal ini semakin memperjelas bahwa negara ini tak lagi berpihak kepada rakyatnya. Melainkan tunduk dan berpihak pada industri. UKT yang semakin mahal sudah semestinya kita tolak, karena dampaknya bukan hanya menutup akses bagi orang miskin untuk bisa kuliah, melainkan juga membawa efek berkepanjangan. Biaya kuliah yang tinggi hanya akan mendorong para lulusan kampus agar bisa memperoleh uang sebanyak-banyaknya untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan selama mereka kuliah agar kembali dengan jumlah yang berlipat ganda, setelah mereka lulus kuliah. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai "Pendidikan Gaya Bank" Bayangkan jika seorang lulusan kedokteran terdorong untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya setelah lulus kuliah karena modal yang mereka keluarkan untuk kuliah tidak sedikit, mau tidak mau dengan cara menjadikan pelayanan kesehatan sebagai lahan bisnis. Dampaknya adalah semakin banyak orang-orang miskin yang tidak tertolong nyawanya karena tak mampu berobat ketika mereka sakit. Begitupun dengan seorang sarjana pendidikan. Selama berkuliah mereka telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, maka setelah lulus para lulusan itu akan terdorong untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan selama mereka berkuliah. Apapun caranya akan ditempuh, termasuk dengan cara mendirikan sekolah dengan harga bayaran yang sangat mahal, ataupun terdorong menjadi guru PNS bukan untuk mendidik, melainkan agar bisa mendapatkan gaji yang tinggi. Dampaknya ialah akses pendidikan bagi orang-orang miskin semakin menyempit karena tak ada lagi pendidikan murah serta semakin sedikit orang berpendidikan yang mau mengajar tanpa dibayar. Harga pendidikan yang tinggi dan tak manusiawi harus sama-sama kita lawan. Semua itu harus diperjuangkan, harus kita menangkan. Pendidikan harus terjangkau oleh semua kalangan, bukan hanya untuk mereka yang punya uang. Tiap-tiap jiwa yang hidup di negeri ini berhak mendapatkan pendidikan, tanpa terkecuali. Memperjuangkan biaya kuliah agar terjangkau oleh semua kalangan, sama hal nya dengan berjuang untuk menyelamatkan Indonesia agar mampu keluar dari lubang keterbelakangan. Tabik! Andika Ramadhan Febriansah Mahasiswa Sejarah UNJ
6 notes · View notes
Text
Namaku adalah Keadilan
Tumblr media
“Gantung Pria ini! Berani-beraninya dia menuduhku mencuri uang penduduk.” sahut Putra Mahkota di singgasana kerajaan.
Dahulu terdapat sebuah negeri nun jauh disana, dimana tak ada satupun rakyat yang boleh melawan ketika keluarga Raja mencuri dan mengambil paksa tanah, harta dan sanak keluarga mereka.
Bedil-bedil itu akan menembak siapapun yang protes pada Istana. Pasukan kerajaan yang berjumlah ribuan akan dikerahkan jika ada penduduk yang melawan ketika tanahnya direbut paksa,
Penduduk dilarang mengeluhkan pajak yang kian hari kian meninggi. Bahkan sekedar mengeluhkan nasib mereka, itu pun dilarang.
Negeri itu bernama Tirani.
Dimana terdapat jutaan penduduk yang mati kelaparan, karena tanah yang selama ini menghidupi mereka direbut paksa atas nama mentaati aturan kerajaan!
Sesungguhnya aturan-aturan itu dibuat tanpa melibatkan penduduk. Tentu saja aturan itu dibuat untuk memuluskan kepentingan Istana dan Tuan-tuan tanah
Sementara di Singgasana Kerajaan, seorang Raja dan Putra Mahkota seperti tak punya telinga melahap makanan dan bermandikan berlian dari hasil penjualan tanah-tanah yang direbut dari tangan penduduk.
Tiba-tiba di depan Istana, terlihat seorang ibu-ibu tua berjalan dengan langkahnya yang pincang, ia menerobos pengawalan pasukan kerajaan yang melarangnya bertemu Raja dan Putra Mahkota.
Sambil terisak dan berlinang air mata, ia nekat ingin menjual ginjalnya kepada Raja agar bisa membeli gandum untuk anaknya.
“Tuan Yang Mulia, tanah, gerobak dan rumahku sudah kau rebut paksa. Kau kerahkan pasukanmu bukan untuk melindungi penduduk di negeri ini tetapi untuk membunuh rakyatmu sendiri.. Yang melawan kau habisi, yang protes kau gantung. Aku sudah tak mampu lagi menghidupi hidupku dan anakku. Ini ambil ginjalku, ambil jantungku jika memang ini yang bisa membuat anakku bisa terus hidup dan tumbuh..” teriak sang Ibu-ibu tua di depan istana.
Mendengar teriakan Sang Ibu, Raja, Putra Mahkota dan Tuan Tanah yang sedang berpesta makanan di dalam kerajaan tak jua keluar. Ia tak peduli jika ibu-ibu tua itu harus mati. Di negeri ini nyawa tak semahal berlian, nyawa tak semahal harta kerajaan.
Seorang pasukan yang iba menghampiri sang Ibu. Mencoba menahan air mata dan kesedihannya. Sambil menyuruh Sang Ibu pulang, ia pun bertanya, siapakah namamu Ibu?
Dengan wajah pucat dan tubuh yang hampir ambruk, ia menjawab..
“Namaku adalah Keadilan..”
Seluruh pasukan yang hadir di sekitar ibu itu terlihat keheranan, lalu seorang pasukan lanjut bertanya: “dimanakah anak-anakmu bu?”
Sang Ibu menjawab dengan nada gemetar “Yang pertama mati diracuni, Yang kedua diculik pasukan Istana, Yang ketiga mati digantung dan Yang keempat belum lahir..
Anakku Yang Keempat, Anak Keadilan akan segera lahir.. Kelahirannya akan menjadi kutukan dan mimpi buruk bagi orang-orang di Istana. Kesewenang-wenangan Raja, Putra Mahkota dan Tuan Tanah akan segera berakhir karena anakku sebentar lagi akan lahir dan tumbuh..”
Andika Ramadhan Febriansah Mahasiswa Sejarah UNJ
11 notes · View notes
Text
Mereka Ini Harus Bagaimana?
Tumblr media
Kau bilang miskin karena malas Mereka dagang malah kau larang Mereka melawan kau bilang itu kekerasan Mereka meminta malah kau pandang hina
Mereka ini harus bagaimana?
Becak, bemo dan gerobak sudah kau rebut Stasiun dan jalanan sudah kau kuasai Sambil menulis fatwa bahwa mencari rezeki di pinggir jalan itu haram kau berkicau di televisi Mereka bikin macet, bikin resah pejalan kaki
Tapi produksi mobil murah tak pernah berhenti
Mereka ini harus bagaimana? Atau kau yang harus bagaimana?
Kau bangun pasar modern di atas puing-puing lapak pedagang miskin Tak lupa kau bangun KFC di stasiun Manggarai Dan kau bangun Seven Eleven di pinggir jalan Rawamangun
Mereka ini harus bagaimana?
Dibunuh perlahan-lahan Tak mampu bayar kontrakan Menangis dan mati karena badan sudah seperti lidi
Yang selamat cuma jadi buruh Tidur terkapar-kapar seperti ikan di lapak-lapak pasar
Atau menjadi kriminal Dan kau tawari yang bernyali agar bergabung dengan Ormas
Kau berikan mereka seragam Kau dandani mereka bagai tentara untuk memuluskan penggusuran pedagang di kampung sebelah
Cibubur, 21 April 2016
Andika Ramadhan Febriansah
9 notes · View notes
Text
Mengenang Natsir
Tumblr media
Islam bukanlah semata-mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dan Allah, dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dari politik, begitu kata Natsir.
Mohammad Natsir dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di sebuah kota Sejuk, Alahan Panjang, Sumatera Barat. Lahir dalam lingkungan keluarga yang sederhana membuat Natsir sempat ditolak menjadi siswa Holland Inlandse Shool (HIS) Padang.Ia pun akhirnya memasuki HIS Abadiyah (swasta) yang diperuntukan untuk anak-anak pribumi. Setelah lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) dan lamarannya pun diterima. Di MULO padang inilah Natsir aktif dalam organisasi. Mula-mula ia masuk dalam Jong Sumatranen Bond dan juga bergabung dengan Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap dari aktifitas pendidikan yang didapatkan di sekolah.Selain itu, organisasi juga merupakan arena dan sarana bagi dirinya untuk menggembleng kemampuannya dalam berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Karena tidak ingin bebal dengan ilmu yang ada dikepalanya, maka ia pun berusaha untuk merealisasikan ilmu pengetahuannya untuk membenahi permasalahan umat. Pada tahun 1927 ia dan A. Hassan merintis kegiatan Studi Islam (Persis) di Bandung.
Minat Natsir semakin besar terhadap persoalan keislaman dan kemasyarakatan, hingga tawaran untuk melanjutkan studi dalam bidang hukum di Belanda pernah ia tolak karena ingin fokus membangun gerakan keislaman di tanah air. Natsir pun aktif menuliskan pemikirannya tentang Islam dan permasalahan sosial melalui Majalah Panji Islam.Untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan, ia mendirikan sekolah-sekolah pribumi mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai pendidikan tinggi. Dengan pendidikan, ia berharap api perjuangan kemerdekaan Indonesia terus menyala-nyala.
Pada masa pendudukan Jepang, organisasi Islam di Indonesia dibubarkan kecuali organisasi Islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Natsir pun bergabung di dalam Majelis tersebut.Yaitu, NU, Muhammadiyah, PUI, dan PUII. Empat organisasi itu itu yang kemudian bergabung dalam satu wadah yang bernama MASYUMI, penjelmaan baru MIAI.Bersama Masyumi, Natsir aktif dalam membangun lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah. Karir politik pasca kemerdekaan dimulai ketika Natsir menjadi Menteri Penerangan pertama dalam sejarah kabinet di Indonesia.Ia pun pernah menduduki posisi sebagai Perdana Menteri pada saat RIS baru saja kembali kepada NKRI. Namun, kabinet Natsir ternyata hanya seumur jagung.Terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Perdana Menteri Natsir dengan Presiden Soekarno menyangkut sistem pemerintahan. Soekarni menginginkan bahwa Presiden memiliki peran dalam menentukan kebijakan pemerintahan. Sementara Natsir berpendapat bahwa sebagai Perdana Menteri ia memiliki peran dalam menentukan kebijakan pemerintahan seperti yang diatur dalam UUD Sementara tanpa harus ada campur tangan dari Presiden. Inilah awal perseteruan anak bangsa yang pada mulanya berjuang bersama-sama mengusir penjajah.
Dalam Sidang Majelis Konstituante untuk menentukan Dasar Negara RI (1957-1959) Natsir dengan jelas mengkritik gaya Soekarno yang cenderung menginginkan adanya pemisahan antara kehidupan beragama dengan politik. Dengan lantang, ia mengemukakan gagasannya yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar Negara. Satu persatu argumen yang keberatan dengan sistem pemerintahan Islam pun berhasil ia patahkan. Dalam bukunya yang berjudul Islamsebagai Dasar Negaraia menyampaikan keprihatinan yang mendalam karena Pancasila cenderung dilegitimasikan oleh para nasionalis sekular sebagai sistem sekular.Proses pembentukan Pancasila pun melanggar prinsip demokrasi, dimana diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal adalah bahwa golongan yang berkuasa harus mendapatkan persetujuan dari golongan terbesar (mayoritas) untuk menentukan sistem republik yang baru saja berdiri. Tidak bisa lain, negara harus mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup sebagian besar rakyatnya. Selain itu, prinsip-prinsip tersebut juga memberi ruang hidup bagi golongan minoritas yang memiliki pendapat berbeda dengan mayoritas.Menurut Natsir Pancasila dipaksakan oleh golongan penguasa untuk memenangkan semua pihak, sedangkan dalam demokrasi pasti selalu ada pihak yang tidak menang.
Natsir cukup vocal dalam mengkritik Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang hanya didasarkan pada pemahaman manusia soal baik dan buruk.Umat Islam yang merupakan masyarakat mayoritas harus meninggalkan pegangan hidup yang selama berpuluh-puluh keturunan telah menjadi landasan bagi kehidupan mereka dan menggantikannya dengan ideologi Pancasila.Memang tidak bisa disangkal, bahwa dalam Pancasila itu terdapat ide-ide yang baik.Tetapi keterangan-keterangan yang di dapat dari pendukung Panasila itu sendiri, menunjukan bahwa mereka itu sendiri tidak dapat menentukan apa isi Panasila yang sebenarnya, apa urutannya, apa asalnya, apa intinya dan apa hubungannya satu sama lain.
“Jangan dipakai Islam sebagai dasar negara, sebab Islam itu dalam satu paham hidup yang didukung hanya oleh satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di Indonesia ada pula golongan lain yang bukan Islam.” Alasan-alasan itulah yang sering didengar oleh Natsir dari orang-orang yang menolak Islam sebagai dasar Negara.Golongan Islam yang tidak mau menerima Pancasila juga sering dituduh tidak mau bersatu.Natsir pun menjawabnya dengan lugas, “Apa alasannya umat Islam harus menerima Pancasila yang sesungguhnya juga hanya dimiliki satu golongan saja, yang tidak mewakili golongan-golongan lain yang ada di Indonesia ini? Sebab, paham hidup kami, umat Islam tidak dijamin oleh Pancasila.”
Bagi Natsir, Marx hadir menawarkan hal yang baik, yakni menawarkan ajaran untuk menuju masyarakat sosialisme. Namun ada kelemahan pada diri Marx bahwa dia tidak menawarkan nilai dan normayang terus hidup dalam jiwa manusia. Sedangkan agama sudah jelas mengaturnya.Dunia hanya akan menjadi ruang hampa jika meninggalkan kehidupan keagamaan. Karena hukum yang dibuat manusia tidak mengenal kebenaran yang mutlak.Sistem sekular menganggap bahwa baik dan buruk adalah sesuatu yang relatif.Artinya bisa berubah kapanpun.Dampaknya terhadap kehidupan ialah tidak ada pandangan hidup yang jelas. Antara lain ada yang berpendapat bahwa hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan tidak melanggar kesusilaan. Negara pun melegalkan hal tersebut, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang jelas dan terang.Pendeknya, di dalam kehidupan, pikiran, perasaan, tindakan dan lain-lain agama memberikan tuntunan.Islam pula yang mengajarkan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang harus diproduksi untuk mempertinggi kemakmuran masyarakat banyak.
Natsir menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar negara bukan hanya karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, tetapi karena dalam sistem Islam, terdapat peraturan untuk melindungi bahkan mempertaruhkan nyawa bila perlu untuk menjaga kehidupan agama-agama di luar Islam.Jika dalam praktiknya tidak demikian, singkatnya umat Islam belum secara penuh mengamalkan ajaran-ajaran Islam.Karena ajaran Islam tidak pernah membenarkan sesuatu hal yang melanggar batas-batas perikemanusiaan.Natsir menginginkan Indonesia menggunakan Islam sebagai dasar negara tanpa embel-embel “negara Islam”.Perbedaan pendapat di Konstituante terus berlarut.Presiden Soekarno pun membubarkan Konstituante dan mengganti UUDS dengan UUD 1945.Lahirnya Demokrasi Terpimpin diwarnai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 60 tahun 1960 yang memuat pembubaran Partai Masyumi dan PSI.Kedua Partai itu pun menjadi Partai terlarang.Beberapa petinggi Partai mendekam dalam tahanan tanpa proses peradilan.
Dalam berpolitik, Natsir menjadi teladan karena imperatif etiknya, dimana perbedaan sikap dan pandangan politik tidak mengurangi hubungan secara pribadi dengan tokoh politik lainnya.Ia sangat menentang keras ideologi dan sikap politik PKI, mereka berdebat keras di dalam siding-sidang parlemen. Namun, di luar sidang, Natsir kerap terlihat duduk-duduk dan makan bersama dengan D.N. Aidit dan tokoh-tokoh PKI lainnya.
Selebihnya, Natsir adalah sosok yang telah memberikan tauladan kepada bangsa Indonesia bagaimana seorang Muslim berkiprah dalam politik dan pemerintahan. Melalui tangannya telah lahir perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia dan corak perpolitikan umat Islam dalam pemerintahan di Indonesia. Dalam diri seorang Natsir masih sempat kita temukan jejak ontentisitas warisan pemikirannya seperti dalam Kapita Selekta dan buah pemikiran lainnya. Maka kita perlu bertanya, jejak pemikiran apakah yang kita dapat dari politisi abad ke-21 kecuali hanya perbincangan tentang merk jam yang digunakan, mobil senilai miliaran rupiah yang dikendarai, jas mahal yang dipakai dan seluruh aksesori yang digunakan?
Natsir mengajarkan kita bahwa menduduki posisi pemerintahan bukan untuk mengejar kekayaan, tetapi untuk memperbaiki nasib umat. Ketika ia menduduki posisi pemerintahan, ia bukan bertambah kaya, malah justru bertambah miskin dan hidup menderita. Pilihan untuk berpihak kepada rakyat kecil membuat Natsir terus hidup dalam keadaan miskin. Bahkan pada waktu menjabat sebagai Perdana Menteri, rekan-rekannya sesama anggkota kabinet kerap melihat Natsir memakai jas tambalan yang dijahit dengan tangannya sendiri, suatu pemandangan yang tak akan mungkin kita lihat dalam sosok para politisi saat ini. Pada akhir jabatannya sebagai Perdana Menteri, Natsir dengan sukarela menyerahkan kendaraan dinasnya kepada negara tanpa menuntut, tanpa minta komisi, kemudian ia pulang ke rumah dengan mengayuh kembali sepeda tua miliknya.
*Tulisan satu tahun yang lalu yang kontennya sedikit saya perbaiki
Andika Ramadhan Febriansah Mahasiswa Sejarah
5 notes · View notes
Text
Trier, Prussia 1818
Tumblr media
Aku adalah seorang buruh pabrik tekstil di Barmen, Jerman. Aku hidup ketika feodalisme di Eropa mulai terkikis. Ketika itu, pembangunan mulai terpusat di kota-kota besar, industrialisasi meningkat tajam, kian lama, pabrik-pabrik di Jerman bertumbuh pesat, tenaga-tenaga kerja pun dibutuhkan, akibatnya terjadilah urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota, dimana para petani dipaksa meninggalkan lahan pertanian mereka untuk beralih profesi menjadi seperti aku; buruh. Kemiskinan, penggusuran dan alienasi yang marak terjadi karena cepatnya perubahan yang terjadi. Di desa, ketika pertanian masih menjadi mata pencaharian masyarakat, semua orang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, mereka saling bertegur sapa, tak jarang pula mereka bertukar hasil panen untuk menjalin kerukunan, semua orang di desa bekerja untuk kehidupan, bukan untuk mendapatkan uang. Namun, zaman telah berubah, kini di pabrik kami semua bekerja bukan untuk kehidupan, melainkan untuk mendapatkan upah, maka kami harus menuruti apa yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mengupahi kami, termasuk merelakan waktu 12 Jam satu hari untuk bekerja di pabrik. 
Aku bekerja di pabrik milik seorang terkemuka bernama Johann Caspar. Dia memiliki seorang cucu, usianya masih muda, sekitar 23 tahun. janggutnya tebal, tatapannya tajam, gaya hidup dan pakaiannya sangatlah sederhana. Walaupun dia adalah keturunan para pemilik pabrik tekstil, ia tidak pernah malu untuk bertegur sapa dengan para pekerja, bahkan sesekali ia mengajak kami mengobrol tentang keresahannya melihat kondisi para pekerja di pabrik milik keluarganya. Dialah Frederick Engels, seorang anak muda cerdas yang begitu peduli dengan nasib kaum buruh. Bagi Engels, kelas pekerja rela bekerja belasan jam dalam satu hari di pabrik karena para pemilik pabrik membangun sistem “depedensi” pada tiap orang. Artinya, setiap buruh yang bekerja di pabrik dibuat sedemikian ketergantungannya dengan para bos-bos pabrik. 
Suatu ketika salah seorang buruh di pabrik protes, ia tak terima ketika dirinya dipecat dengan alasan usianya yang sudah terlalu tua. Ia telah menghabiskan masa mudanya untuk  bekerja di pabrik, anak dan istrinya butuh makan, maka tak heran jika ia melakukan protes. Para pekerja yang lain hanya diam, ada yang pura-pura tak tahu dan ada pula yang berusaha menenangkan pekerja yang dipecat. Mereka yang peduli akhirnya sama seperti aku; tak berdaya melihat pemecatan. Jika kami terlibat dalam protes, maka akan terjadi pemecatan yang lebih besar. Dua hari kemudian, Engels menemui para buruh, aku yang ketika itu sedang bekerja sejenak menghentikan pekerjaanku untuk mendengarkan Engels, ia menyatakan keprihatinannya atas pemecatan buruh yang dilakukan oleh pabrik milik keluarganya kemarin. Menurut Engels, kaum buruh harus berani melawan “ketergantungan”. Ia pun mengatatakan kepada kami;
“Siapa yang bisa memberi jaminan pekerjaan pada kalian, siapa yang bisa menjamin hal itu jika tiba-tiba dengan alasan apapun atau tanpa alasan sama sekali tuan atau majikan kalian memecat kalian besok? Walaupun hari ini kalian memiliki mata pencaharian, belum tentu besok kalian tetap memilikinya.” Apa yang dikatakan oleh Engels adalah benar. Dahulu ketika masih bertani kami bisa memproduksi kebutuhan kami tanpa harus mengikuti aturan orang lain. Kami bisa menanam apapun untuk asupan makanan tanpa harus khawatir dengan pemecatan. Sawah milik kami, jadi tak mungkin ada pemecatan. Namun sekali lagi, zaman telah berubah, sawah kami dihabisi untuk membangun pabrik-pabrik, sisanya dibeli oleh tuan-tuan tanah untuk membangun bisnis pertanian dan menjadikan orang-orang miskin di desa sebagai buruh tani. Kami semua sangat bergantung kepada para pemilik pabrik dan sawah. Kami adalah seorang buruh yang tidak merasa menjadi apa-apa, kami merasa tak menjadi manusia, hanya menjalankan fungsi seperti hewan; makan, minum, dipaksa bekerja, dan memiliki keturunan yang nantinya akan menjadi hewan seperti kami.
PERJALANAN KE PARIS Pada tahun 1844, Engels mengajaku menemui temannya di Prancis. Kami naik kereta menuju Paris, setibanya disana, aku dan Engels memasuki sebuah caffe di Paris. Ketika baru saja memasuki pintu caffe, aku melihat seorang anak muda berjanggut tebal seperti Engels, namun penampilannya sangat acak-acakan. Namun tak lama setelah itu, aku melihat Engels melambaikan tangan dan menyapa lelaki itu dari kejauhan “Hei comrade..” lelaki berpenampilan acak-acakan itu pun tersenyum. Aku sangat terkejut ketika mengetahui bahwa lelaki itu adalah temannya, akan sangat mengherankan melihat seorang anak dari keluarga yang mapan malah memilih berteman dengan lelaki urak-urakan, seperti anak muda ini. Anak muda itu bernama Karl Marx, lelaki berjanggut tebal yang kelihatannya memiliki kepribadian unik. Benarlah pikirku, Marx adalah seorang anak pengacara dari Trier, Prusia. ia dilahirkan di keluarga yang memberikan nuansa kehidupan kelas menengah perkotaan. Engels memuji Marx sambil mengenalkannya kepadaku, bahwa pada tahun 1841 anak muda ini sudah mampu memperoleh gelar doktor filsafatnya dari Universitas Berlin pada usia 21 tahun. Menakjubkan!
Lantas Engels memperkenalkanku kepada Marx; “Marx, lelaki ini adalah seorang pekerja di pabrik tekstil milik keluargaku, dialah seorang buruh yang aktif mengkritik kinerja sistem pabrik-pabrik di Barmen.” Setelah saling mengenal, aku pun banyak cerita kepada Marx tentang kondisi para pekerja di Jerman. Tentang pekerja yang dipecat sewenang-wenang, pekerja pabrik sepatu yang hidupnya sangat miskin hingga seorang buruh tani yang mati kelaparan di atas ladang gandum milik tuan-tuan tanah. Marx memandangku dengan tatapan iba, ku lihat matanya berkaca-kaca sambil terus memperhatikan apa yang aku bicarakan. Setelah aku selesai berbicara, aku melihat Marx mengeluarkan buku catatannya, ia mengatakan bahwa zaman feodalisme di Jerman sudah berakhir, sekarang kita hidup di zaman Kapitalisme. Marx menambahkan “Zaman Kapitalisme melahirkan dua tipe masyarakat, yaitu proletariat dan kapitalis. Aku akan menjelaskan mulai dari proletariat..”
Menurut Marx, proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki alat-alat produksi sendiri, seperti aku dan para pekerja lainnya di pabrik milik keluarga Engels. Proletariat tidak memiliki sarana-sarana sendiri dan pabrik-pabrik sendiri. Karena mereka tidak memiliki sarana-sarana untuk memproduksi kebutuhan mereka, maka mereka harus menggunakan upah yang mereka peroleh untuk membeli apa yang mereka butuhkan. Maka dari itu proletariat tergantung sepenuhnya pada upahnya untuk bertahan hidup. Hal inilah yang membuat proletariat tergantung pada orang yang memberi upah. Orang-orang yang memberi upah itu adalah kaum kapitalis. Jelas, kapitalis adalah orang-orang yang memiliki alat produksi. Sambil menyeruput segelas kopi, Marx mengatakan “sebelum aku menjelaskan sepenuhnya tentang kapitalis, kamu harus mengerti terlebih dahulu apa itu kapital.” Berdasarkan pengamatan Marx, kapital adalah uang yang diinvestasikan, bukan uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Ada dua tipe sirkulasi komoditas, sirkulasi pertama adalah ciri kapital, yaitu Uang – Komoditas – Uang (dengan jumlah yang lebih besar) = (M1-C-M2). Sirkulasi ini memiliki tujuan “Membeli untuk Menjual” agar menghasilkan lebih banyak uang. Disini seorang pemilik toko akan menggunakan uang (M1) untuk membeli ikan © untuk menjualnya kembali demi mendapatkan lebih banyak uang (M2). Sedangkan sirkulasi bentuk kedua bukanlah ciri kapital, yaitu Komoditas – Uang – Komoditas (C1-M-C2). Disini seorang nelayan menjual ikan hasil tangkapannya (C1) dan kemudian menggunakan uang (M) untuk membeli roti (C2). Artinya, kapital adalah penumpukan uang yang menghasilkan lebih banyak uang. Kelas kapitalis adalah mereka yang hidup dari keuntungan kapital dengan cara mengeksploitasi kerja-kerja buruh. Sangatlah wajar ketika rekan-rekanku, para buruh di pabrik tak berani protes dengan upah rendah dan jam kerja yang sangat eksploitatif. Jika mereka mengeluhkan upah dan jam kerja, maka mereka akan dipecat. Aku pikir itu benar, para buruh benar-benar tak mampu menjadi seorang manusia, bahkan untuk mengkritik dan mengeluh mereka tak mampu, mereka harus menuruti bos-bos pabrik yang telah mengupah mereka, kaum kapitalis tak boleh diprotes dan dikritik, mereka tak pernah salah layaknya Tuhan. 
Waktu sudah menunjukan pukul 23.00 pagi, tak terasa obrolan kami begitu menarik, sehingga aku sangat terlarut dalam dialog bersama Marx dan Engels. Karena besok pagi aku harus bekerja, maka aku mengajak mereka berdua untuk segera pulang. Engels mengajak Marx untuk menginap di rumahnya, di Barmen. Kami bertiga pun segera keluar dari pintu caffe dan melangkahkan kaki menuju stasiun kereta api untuk segera melanjutkan perjalanan pulang menuju Jerman..
MARX BERKUNJUNG KE PABRIK Pukul 08.00 aku dan buruh-buruh di pabrik mulai bekerja, memproduksi barang-barang untuk mengejar target “satu hari 3000 produksi”. Aku bekerja dalam keadaan penuh sesak di bawah lampu neon berjarak 30cm bersuhu 40’C. Dengan bagian luar yang kelihatan sangat mewah, kondisi di dalam pabrik lebih mirip kandang ayam ketimbang tempat manusia bekerja. Ku lihat wajah rekan-rekanku sangat lesu dan kelelahan. Di depan pintu pabrik, aku melihat Marx dan Engels. Mereka datang bukan untuk mengawasi dan menyuruh kami bekerja lebih keras tetapi berkeliling untuk menyapa seluruh buruh-buruh di pabrik.
Pada saat jam istirahat, Marx menghampiri para buruh. Ia menyapa kami dengan senyuman hangat. “Bagaimana, apakah kalian semua merasa bahagia bekerja di pabrik?” tanya Marx kepada kami. Aku hanya diam, rekan-rekanku pun tak mampu menjawab. Marx mulai melanjutkan pembicaraan “Aku paham bahwa ada hubungan yang nyata antara kerja dan sifat dasar manusia. Tetapi apakah kalian merasa bahwa kerja-kerja kalian telah membuat kalian menjadi manusia seutuhnya?” semua buruh langsung menggelengkan kepala, pertanda bahwa mereka tak merasa menjadi manusia, melainkan terpaksa bekerja untuk mencari uang agar bisa makan dan melanjutkan kehidupan.
Marx mengajak kami agar kami tak sekedar menjalankan fungsi-fungsi hewaniah. Ia mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan unik yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Sebagai contoh, seekor laba-laba mampu menjadi seorang penenun dan seekor lebah mampu membuat malu seorag arsitek karena sarang yang dibuatnya. Namun, inilah  yang membedakan arsitek dengan lebah, bahwa seorang arsitek sudah membayangkan seperti apa bentuk bangunan yang akan mereka buat di dalam imajinasi sebelum mereka membangunnya di dalam kenyataan. Pertama, yang membedakan manusia dengan hewan adalah bahwa kerja-kerja manusia mampu mewujudkan suatu realitas konkret yang sebelumnya hanya ada di dalam imajinasi. Berdasarkan sudut pandang Marx, karya seni merupakan imajinasi yang sebelumnya ada di alam pikir seorang seniman. Kedua, kerja manusia bersifat material. Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material kita. Pemenuhan kebutuhan bisa membawa manusia pada penciptaan kebutuhan baru. Misalnya, produksi mobil-mobil akan membawa kita pada kebutuhan akan jalan raya. Ketiga, kerja mentransformasikan sifat dasar manusia.
Aku terpana melihat penjelasan Marx, sangat detail dan mengagumkan, dengan usia semuda itu ia merupakan anak muda yang memiliki pemikiran yang sangat brilian. Rekan-rekanku pun merasakan hal yang sama, semenjak berbincang dengan Marx, mereka semua mampu memahami sistem kerja kapitalisme yang telah menyelewengkan sifat dasar manusia 30 menit sebelum waktu istirahat habis, Marx mulai melanjutkan pembicaraan. Seluruh pekerja langsung memperhatikan dengan pandangan yang cukup serius. “Hubungan kerja dan sifat dasar manusia yang telah diselewengkan oleh kapitalisme aku sebut sebagai alienasi, dimana manusia tidak lagi melihat kerja mereka sebagai sebuah ekspresi dari tujuan mereka” begitu penjelasan Marx. Menurut Marx, alienasi terdiri dari empat unsur dasar. Pertama, kaum pekerja tidak lagi memproduksi objek-objek berdasarkan ide-ide mereka, pekerja tak lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, tetapi mereka bekerja untuk kapitalis, yang memberi mereka upah untuk menyambung hidup. Aktivitas produksi bukan lagi menjadi ajang ekspresi ide-ide manusia, tetapi sudah dikontrol dan menjadi milik para kapitalis. Hal itulah yang akhirnya menjadikan kerja-kerja di pabrik kami menjadi sarana-sarana yang amat membosankan dan mematahkan semangat para pekerja.
Kedua, Marx berpendapat bahwa para pekerja teralienasi dari produk-produk yang telah mereka buat, dimana produk-produk kerja bukan menjadi milik mereka, melainkan menjadi milik para kapitalis. Marx benar, bayangkan saja, jika kami menginginkan barang-barang yang kami produksi di pabrik, kami harus membelinya seperti orang lain. Kami menjadi seorang produsen sekaligus konsumen. Bahkan salah seorang buruh di pabrik roti ada yang mati kelaparan karena tak mampu membeli roti yang ironisnya mereka buat sendiri. Kondisi yang sama juga dialami oleh para buruh petani yang mati kelaparan karena mereka tak mampu membeli gandum yang mereka produksi sendiri.
Ketiga, sistem kapitalisme membuat para pekerja teralienasi dari sesama pekerja. Ketika Marx berusaha melanjutkan penjelasannya, ada seorang pekerja melambaikan tangannya ke arah Marx, “Hai tuan, aku sepakat dengan pendapat anda” begitu kata pria tersebut, perhatian Marx dan para pekerja tertuju kepada laki-laki itu.  Namanya adalah Terkel, ia berusaha memperjelas apa yang ia bicarakan dengan mengatakan bahwa para pekerja bisa berdampingan dengan seseorang selama beberapa bulan tanpa mengetahui namanya. Satu hal yang diketahui oleh para pekerja bahwa mereka terlalu sibuk untuk sekedar berbicara. Begitulah, bahkan untuk berbicara, para buruh tidak memiliki waktu. Suara Telker yang sangat lantang membuat suasana di dalam pabrik begitu hening. Marx pun memberikan senyuman dan apresiasi terhadap laki-laki ini, Marx mengatakan bahwa apa yang dibilang Telker harus menjadi renungan bagi seluruh kaum buruh di Jerman, tidak hanya di pabrik tekstil milik Engels. Marx mengatakan bahwa para buruh dipaksa untuk berkompetisi, bukan bekerjasama. Maka tak heran jika banyak pekerja yang berusaha mencari muka di hadapan bos-bos pabrik demi mendapatkan imbalan dan tidak disingkirkan atau dipecat. Siapa yang bekerja lebih cepat, bersedia dieksploitasi dengan memproduksi lebih banyak, dan siapa yang berhasil menyenangkan atasannya, maka dialah yang mendapatkan imbalan.
Yang terakhir, Marx mengatakan bahwa kelas pekerja teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri. Kerja bukan lagi sebagai wujud ekspresi dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, tetapi malah membuat manusia tidak menjadi dirinya sendiri. Hal itulah yang menurut Marx membuat para pekerja seperti di pabrik ini akan merasa nyaman ketika tidak bekerja dan merasakan gelisah dan tidak nyaman ketika sedang bekerja. Oleh karena itu kerja-kerja buruh tak lagi bersifat sukarela, melainkan terpaksa; dipaksa bekerja.
Waktu sudah menunjukan pukul 13.00, para pekerja terlihat gelisah dan satu persatu dari mereka mulai berpamitan kepada Marx untuk memulai kembali aktivitas produksi mereka. Lalu, sebelum aku kembali bekerja, aku bertanya kepada Marx, “tuan Marx, bagaimana cara mengubah ini semua? mungkinkah kami para buruh akan terus dieksploitasi layaknya hewan dan terus bergantung kepada kaum kapitalis sehingga kami tidak bisa merdeka atas diri kami sendiri?”
Marx langsung menjawab “Kekejaman sistem kapitalisme akan melahirkan lebih banyak kelas pekerja yang menderita akibat tereksploitasi, dan orang-orang yang tereksploitasi seperti kalianlah yang kelak berpotensi sebagai aktor yang akan mengakhiri kapitalisme melalui revolusi kelas pekerja.” Marx mengucapkan kata-kata itu dengan penuh harap dan kepercayaan bahwa kelak kaum buruh mampu memutus sendiri rantai penderitaan mereka. Tak lama setelah itu, Engels yang sedari tadi memperhatikan dan ralut dalam penjelasan menambahkan apa yang dikatakan oleh Marx “Untuk melakukan sebuah revolusi demi terbentuknya tatanan dunia yang lebih adil, maka kaum buruh se-dunia bersatulah!”
Belum puas dengan jawaban Marx dan Engels, aku kembali bertanya “Tuan, lalu masyarakat seperti apa yang akan lahir ketika zaman kapitalisme berhasil diakhiri oleh sebuah revolusi?”
Marx menjawab dengan tenang “Masyarakat tanpa kelas”. Dimana menurut Marx, akan hadir suatu zaman yang lebih baik dibandingkan pada saat ini, dengan berakhirnya kepemilikan pribadi, eksploitasi, dan kelas sosial demi terwujudnya kemerdekaan umat manusia. Semua orang hidup dalam bingkai kesetaraan, tak ada yang saling mendominasi, tak ada diskriminasi, tak ada lagi perbudakan, tak ada lagi penghisapan dan penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Tahapan zaman itu bernama komunisme, dimana semua orang memiliki hak yang sama untuk merealisasikan diri dan berpartispasi aktif dalam segala bentuk kehidupan sosial.
Aku sangat berterimakasih kepada Marx karena ia berhasil menyadarkan kaum buruh terhadap penindasan dan penghisapan yang mereka alami. Walaupun banyak yang mengkritik Marx, bagiku kita semua harus melihat Marx dengan adil. Kelahiran Marx dan buah pemikirannya harus disambut dengan perasaan bahagia. Ajaran-ajaran Marx telah menginspirasi seluruh buruh di Eropa, bahkan kelak di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang kejam. Perbudakan harus dihapuskan dan pembebasan umat manusia harus diperjuangkan.
Setelah satu jam berbicara dengan Marx, aku dan para pekerja lainnya kembali bekerja. Aku melihat Marx perlahan-lahan meninggalkan ruangan pabrik, lalu Engels segera menyusul di belakangnya, mereka keluar melalui pintu utama pabrik ini.. Selamat jalan Marx, Engels..
Andika Ramadhan Febriansah
Mahasiswa Sejarah UNJ 2012
DAFTAR PUSTAKA Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2011. Teori Marx dan Berbagai Macam Teori Neo-Marxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Fromm, Erich. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Eagleton, Terry. 2011. Why Marx Was Right. Yale University Press Mulyanto, Dede, et al. 2015. Di Balik Marx: Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Jakarta: Marjin Kiri.
7 notes · View notes
Text
Komunisme Tak Sesederhana Tulisan Antum
Kehadiran tulisan Mega merupakan fenomena yang unik. Ia lahir di tengah kering dan mandulnya budaya baca-tulis di kalangan mahasiswa UNJ. Tak bisa dipungkiri, tulisan Mega mampu membuat empat orang sekaligus, termasuk saya dan para penyanggah untuk untuk melahirkan sebuah tulisan. Kiranya kita perlu mengapresiasi dan menyambut tulisan mega dengan perasaan gembira, terlepas kita menyepakati tulisannya atau tidak. Suka atau tidak. Yang perlu diakui, Mega menulis dan berusaha menampilkan referensi bacaan sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Seperti sebuah makanan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia, tulisan pun tak mungkin dibuat tanpa alasan. Pasti ada maksud, ada sebuah peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya sebuah pemikiran dan tulisan. Jika kita cermati, Mega memulai tulisannya dengan menuliskan keresahannya melihat pembubaran Belok Kiri Fest yang dilakukan oleh sekelompok ormas. Karena resah dan muak melihat tindakan pembubaran, lantas mega menulis dan berusaha mendamaikan kedua kelompok yang dianggap sangat berlawanan; Islam dan Komunisme.
Seorang mahasiswi yang baru saja menginjakan kakinya di kampus selama satu tahun dengan tegas dan berani, berusaha mendamaikan kedua kelompok yang selama ini dianggap saling bertentangan. Bukankah ini suatu kedewasaan berpikir? Tak penting kalian berasal darimana, yang terpenting adalah kalian tidak diam melihat sebuah penindasan. Mega seraya berpesan; yang harus dilawan oleh Islam dan Komunisme adalah penindasan, kezaliman dan kesewenang-wenangan. Bukan malah bertengkar satu sama lain.
Saya pikir tulisan Mega juga mampu menampar fenomena perpolitikan di kampus. Dimana orang sudah tak lagi memperdulikan mana yang baik dan yang buruk. Anti kemajemukan dan cenderung rasis. Melihat orang lain dengan menggunakan kacamata kuda; dari golongan mana orang itu berangkat.
Kita perlu belajar dan memaknai tulisan Mega dengan baik. Ia berupaya memperkecil perbedaan di antara kelompok kelompok yang saling bertikai. Komunisme dan Islam memiliki perbedaan itu betul, tapi tak sedikit pula keduanya memilik persamaan. Persamaan yang paling jelas ialah keduanya mampu menelanjangi segala bentuk kezaliman sehingga tak mudah menindas kaum muslim dan pengikut ajaran komunis karena mereka berpotensi untuk melakukan perlawanan. Persamaan yang ada harus diakui, bukan malah menghilangkan persamaan dan menonjolkan perbedaan yang mencolok. Hal itu sangatlah memaksa.
Tentang Tulisan Daus
Yang paling fatal dari tulisan Daus adalah dia berusaha mempersempit komunisme dengan memberikan sample Rusia untuk mengkritik komunis. Komunisme adalah Rusia, komunisme adalah Yugoslavia, yang berusaha digambarkan oleh Daus sebagai sosok keji, sadis dan mengurangi populasi umat Islam. Tanpa sadar, stereotipe itu mirip seperti stereotipe yang dibangun oleh Orde Baru untuk membendung suara protes petani, buruh dan pelajar dengan mengatakan mereka komunis! Sampai hari ini ternyata stereotipe itu masih melekat, bahkan di tulisan seorang daus yang merupakan mahasiswa sosiologi, Daus tidak bisa membedakan mana Soviet (Rusia) yang dipimpin oleh Stalin dan mana Soviet yang dipimpin oleh Lenin. Mana komunis dari yang sangat agraria (Marhaenisme) sampai yang sangat tekno (cyber marxism) dari komunisme ala Lenin sampai pada zapatista dan bolivarian di Amerika Latin. Bagi Daus, komunisme adalah ajaran kejam, tanpa mampu menjelaskan pemikiran marxis yang mana yang sebenarnya ia kritik.
Data yang disajikan daus tentang populasi umat Islam yang menurun di negara-negara komunis kurang kuat. Dia tidak menampilkan sumber dan pada periode apa penurunan populasi itu terjadi. Pembantaian umat Muslim di Bosnia yang digambarkan oleh daus pun bukan terjadi pada masa Yugoslavia, tetapi ketika Yugoslavia runtuh, penyerangan yang dilakukan oleh Serbia ke Bosnia tak terbendung. Negara Komunis anti Islam? Ingat bung di era 2000an negara-negara komunislah yang sangat keras menentang pendudukan Israel atas tanah Palestina. Hanya Fidel Castro, Ahmadinejad dan Hugo Chavez yang berani mengusir kedutaan besar Israel dari negara mereka. Itu pertanda bahwa negara-negara komunis tak anti dengan Islam.
Pemahaman sejarah Daus tentang Perang Dunia pun sangat kabur. Ia mengatakan bahwa kedua Perang Dunia itu berlatarbelakang ketegangan antara Komunisme dan Kapitalisme. Hal ini sangat mudah dibantah karena pada Perang Dunia I, melalui Komunis Internasional Lenin melarang para buruh Eropa untuk terlibat dalam perang, karena perang itu dianggap oleh Lenin sebagai peperangan antarnegara “Imperialisme”. Begitupun di Perang Dunia II, Kapitalisme dan Komunisme bersatu melawan Fasisme. Saya positif aja mungkin daus khilaf, barangkali yang dimaksud dia itu Perang Dingin.
Selain itu, kesimpulan tentang buku Samuel Huntington juga tidak seperti yang antum gambarkan. The Clash of Civilization itu merupakan hipotesis Huntington mengenai sumber utama konflik di dunia baru, bukanlah ideologi maupun ekonomi. Melainkan budaya yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia. Negara bangsa masih menjadi faktor dominan, namun konflik utama politik global akan terjadi antara negara dan kelompok peradaban yang berbeda; Slavik, Islam, Konghucu, Jepang, Barat, Hindu, Amerika Latin dan Afrika merupakan 8 peradaban yang akan saling berbenturan. Bukan seperti yang dikatakan oleh Daus bahwa buku itu menekankan bahwa musuh Barat dan Timur adalah dunia Islam.
Sosialisme Utopis?
Saya tidak mengerti Daus mengkritik Komunisme yang mana. Yang saya lihat dia tidak bisa membedakan mana Marxisme pada tataran konsep berpikir. Komunisme pada tataran kelas dalam masyarakat dan Marxis-Leninis pada tataran Komunisme sebagai negara. Dia pula mengartikan masyarakat tanpa kelas secara sembrono. Masyarakat tanpa kelas diartikan sebagai sebuah masyarakat tanpa struktur yang anti kepemilikan pribadi.
Masyarakat tanpa kelas merupakan cita-cita untuk membatasi terjadinya penghisapan antarmanusia dan menghilangkan sekat-sekat sosial. Mendorong upaya agar negara tidak lagi membeda bedakan masyarakat berdasarkan dari kelas mana orang itu berangkat. Sebagai contoh: di Kuba rakyat dari kelas miskin tidak akan diusir dari Rumah Sakit karena tidak mampu membayar. Negara komunis seperti Kuba bahkan menggratiskan Rumah Sakit dan Pendidikan sebagai upaya memenuhi hak dasar manusia dan menghapus diskriminasi kelas dalam lembaga pendidikan dan kesehatan. Bukankah ini yang diajarkan oleh Islam? Tak membeda-bedakan pelayanan kesehatan, pendidikan dan akses lain berdasarkan kelas dan golongan? Seharusnya kita mampu belajar dari negara-negara komunis yang berani menggratiskan pendidikan untuk semua kelas. Karena pendidikan bukan pabrik, ia bukan dagangan.
Lain halnya dengan Uni Soviet. Jika daus bilang bahwa komunisme menyalahi fitrah manusia, justru Marxisme lahir karena berhasil menelanjangi Kapitalisme yang sudah mempermainkan fitrah manusia. Lenin pernah mengeluarkan kebijakan NEP (New Economic Policy) ketika memimpin Soviet. Sistem itu dinamakan oleh Lenin sebagai “Sosialisme Negara” dimana pemerintah memegang kendali atas keuangan, industri dan transportasi, tetapi di bidang-bidang ekonomi lainnya dikembalikan pada usaha individu, termasuk pertanian. Tidak ada larangan berdagang. Yang dilarang adalah menjadi kaya dengan cara memiskinkan orang lain. Mananya yang menyalahi fitrah?
Yang harus jadi catatan ialah negeri ini hancur karena kapitalisme, bukan karena komunisme. Negeri ini dirampok, dikuras kekayaannya karena kita menghamba pada ekonomi pasar dan neoliberal, bukan karena ekonomi sosialisme. Memang tidak perlu menjadi seorang komunis untuk melawan kezaliman, tetapi harus diingat, Islam dan Komunisme sama sama “melawan kezaliman.” Islam dan Komunisme memang tak sepenuhnya sama. Tapi jangan nafikan persamaan diantara keduanya. Jangan memperuncing perbedaan. Ini sangat memaksa. Islam melawan Penindasan, komunis pun melawan itu. Islam melawan segala bentuk kezaliman, komunis pun melawannya. Islam menolak riba, komunis pun melakukan hal yang sama.
Sudah saatnya kita belajar dari negara-negara komunis seperti Venezuela yang berani menasionalisasi tambang minyak untuk kesejahteraan rakyatnya. Begitu pun dengan Bolivia yang berani bermusuhan dengan Amerika demi membela keberlangsungan hidup petani koka di negaranya. Belajar dari Kuba agar bisa menggratiskan sekolah dan rumah sakit.
Di era yang sangat terbuka ini seharusnya bung Daus menyempatkan diri membaca literatur-literatur tentang Marxisme dan teks-teks aslinya. Sekaligus mencari tahu tentang perlawanan-perlawanan masyarakat dunia yang terpengaruh dengan ide ide Marxisme. Saya sarankan membaca terlebih dahulu agar bisa memberikan kritik yang tepat terhadap -gagasan Marxisme, bukan malah melakukan serangan-serangan sporadis tanpa akar sejarah yang jelas. Atau minimal banget kalo mau mengkritik baca dulu buku Manifesto Komunis yang lebih tipis.
Karena komunisme tak sesederhana tulisan antum, begitupun tak sesederhana tulisan saya. Salam pembebasan kamerad!
11 Maret 2016 Andika Ramadhan F.
2 notes · View notes