Tumgik
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 27 :
.. to be continue..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
#Hidden Truth#7
Pada masa awal awal kuliah. Di sisi lain kehidupanku, ibuku yang sudah sangat membaik mulai mendapatkan kembali rasa percaya dirinya. Aku yang semakin membaik secara psikis, adiku yang nyaman bersekolah (Adiku sekolah di SMA yang sama denganku). Itu membuatnya memiliki keinginan khusus..selanjutnya akan kuceritakan..
Jadi suatu hari aku pulang dari kampus. Setiba dirumah, aku melihat ibu sedang tersenyum senyum sambil menelpon. Aku pikir mungkin menelpon temannya. Fyi aku saat awal kuliah memang sering pulang larut malam karena sibuk masa awal kuliah dan organisasi. 
Aku masuk ke kamar ku setiba dirumah, berganti pakaian lalu ke meja makan untuk makan malam. Saat itulah ibuku selesai menelpon dan mengajak ku bicara. Awalnya hanya ngobrol biasa tentang kuliah. Kemudian ku tanya iseng, “Tadi telpon temen mamah yang mana?”, tanyaku. Ibuku tersenyum dan mulai bercerita. Disitu aku baru tahu bahwa ibu sedang bertelepon dengan kawan lama nya, ya ia laki laki. Disini tanggapanku mulai berbeda. Ternyata benar saja, ibuku sedang dekat dengan seorang pria. Aku sejujurnya masih trauma dengan kejadian sebelumnya urusan pernikahan.
“Nak, kan mamah belajar dari kesalahan mama sebelumnya, mama kali ini mau minta kamu nilai dulu orang ini, mama akan ikut dengan keputusan apapun yang kamu ambil nanti yah”, begitu jelas ibuku. Aku hanya mengiyakan tanpa banyak komentar. “Yaudah... itu hak mama, cuman..kali ini aku mau dia ketemu dulu, undang kerumah aja sini aku mau liat”, begitu ujarku. Ibuku mengiyakan.
Selang seminggu, orang itu akhirnya datang berkunjung kerumah. Dari kesan pertama, aku melihat ia orang yang sederhana. Berbeda dengan suami ibuku yang sebelumnya. Ia juga tidak banyak bicara, ia senang bermusik dan suka sekali bermain band. Wah menarik ujarku. Dibalik itu, ia juga memiliki wawasan agama yang cukup kuat. Aku memang bukan orang yang pahamsoal pernikahan apalagi calon suami, tapi dari kriteria diatas asalkan ia benar menyayangi ibuku, aku tidak masalah. Fyi, ia pernah menikah sebelumnya dan dikaruniai 3 anak. 2 anaknya sudah menikah, sisa si bungsu yang masih smp. Namun hal pahit menimpanya, istrinya meninggal dunia karena sakit. Well aku turut berduka atas kehilangannya. Setidaknya, aku tahu orang ini setia pada istrinya sampai ajal menjemput. Dan ia hanya ingin melanjutkan hidup bersama anaknya.
Singkat cerita aku memberikan lampu hijau pada ibuku perkara calon suaminya. Setelah berunding dengan keluarga. Digelarlah pernikahan kecil kecilan dirumahku. Aku mengundang kawan kawan ku juga kerumah. Termasuk Sahabat ku Ms.T dan Ms.F(sahabat Ms.T semasa SMA, aku juga mengenalnya dan akan kuceritakan di chapter yang akan datang).
Suasana haru meliputi rumahku. Aku serasa mimpi, menyaksikan orangtua ku menikah. Lazimnya kan aku menikah dan disaksikan oleh orangtua ku, tapi ini malah aku yang menyaksikan haha, agak awkward memang tapi aku bersyukur. Mama terlihat sangat bahagia. Aku bersyukur, kini ada yang melindungi ibu dan keluarga ku. Keluarga ku semakin besar, kawanku makin banyak. Aku mensyukuri nikmat saat itu walau hidup dalam kesederhanaan.
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 26 : Kehidupan kampus awal kuliah
Di awal masa kuliah. Aku mulai aktif di suatu organisasi di kampusku selain belajar di kelas. Aku mengenal banyak kawan baru disana, fyi organisasi itu memang bertajuk untuk mahasiswa domisili bandung sekitarnya. Maklum, di kampusku orang bandung sendiri merupakan minoritas. Kebanyakan mahasiswa berasal dari seluruh indonesia, dari daerah yang berbeda beda. 
Masa awal kuliah ku lalui dengan mulus. Aku sangat fokus dikelas. Nilai akademik mu dapat kuraih maksimal. Bahkan saat itu ada matakuliah Kalkulus (matematika tingkat lanjut), pernah kubilang sebelumnya kalau aku benci matematika. Tapi karena aku ingin memulai sesuatu dari awal, aku berusaha keras memahami Matematika itu sendiri, dan alhasil aku malah semakin mahir disana. Ternyata segala sesuatu yang diusahakan sekeras mungkin bisa berbuah hasil.
Kehidupan ku di organisasi kampus juga mewarnai hari hariku, kami melngsungkan berbagai program. Selain itu kami juga melaksanakan berbagai Event yang merupakan agenda rutin di sana. Senang rasanya, aku selama sekolah tidak pernah ada pengalaman organisasi sama sekali, disinilah aku belajar banyak tentang itu. Kawan ku semakin banyak, jumlah nya malah sangat banyak. Terbanyak selama aku hidup, mengingat aku dulu jarang berkawan dengan orang lain. Ditambah saat itu, ada salahsatu mahasiswa di organisasi ku mengetahui bahwa aku lumayan bisa diandalkan untuk urusan akademik. Maka dari itu, kakak kakak senior ku menunjukku untuk membantu mengajari teman temanku matakuliah tambahan agar mahasiswa organisasi ku bisa unggul dalam akademik juga. Aku senang sekali, tidak disangka sangka aku bisa berbakti pada kawan kawanku, aku merasa sangat berguna bagi orang lain kala itu, bagiku ini lebih baik dari saat aku di masa SMA pernah membagikan contekan ke sesama siswa sekelasku kupikir.
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
#Hidden Truth#6
Sejak kecil, aku sudah mahir berbahasa inggris. Itu berkat kebiasaanku dirumah yang pernah kuceritakan di Chapter awal cerita ini. Selain itu, aku sangat suka sekali memasak. Ibu pernah bilang padaku, dengan kemampuan bahasa ku yang diatas rata rata dan hobi ku memasak, suatu saat ibu ingin aku melanjutkan studi di sekolah Memasak (Sekolah Perhotelan). Namun saat itu, ayahku melarangnya, ia melihat sisi lain dari diriku yakni suka membantu orang lain. Ia malah mengarahkan ku untuk jadi dokter, namun karena aku takut jarum suntik sejak kecil, ia mengambil alternatif lain yakni mengarahkan ku menjadi seorang Insinyur. Itu bukan tanpa dasar, kawan ayah yang seorang insinyur ternama. Bahkan Rektor Pertama Kampus ku adalah kawan ayahku semasa kuliah. Maka dari itu, ayahku yang keras selalu memacu karir akademik ku semasa sekolah.
Ya, sejujurnya biarpun aku orang yang cuek, terutama sebelum mengalami masa sulit, aku sejak kecil senang membantu orang lain yang kesusahan. Hal tersebut didukung dengan perkataan guru guru ku semasa sekolah, mereka bilang sebenarnya jiwa sosialku tinggi, rasa empati terhadap orang lain bahkan sangat tinggi. Aku orang yang tidak tega bila melihat orang lain kesulitan, aku selalu ingin membantu entah bagaimana caranya, meskipun aku melakukan itu tanpa banyak orang tahu, bagiku melakukan sesuatu yang tidak diketahui banyak orang merupakan kepuasan tersendiri.
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 25 : Welcome University
Di masa liburku, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Aku juga mulai sering bermain bersama kawan kawan baruku. Mereka berasal dari SMA ku juga. Namun anehnya, aku tidak banyak mengenal mereka semasa sekolah. Wajar saja..karena saat sekolah aku tidak banyak bergaul, hanya sering belajar dan sisanya aku berbagi waktu dengan Raisa. 
Dari kawan baruku ini, aku mengenal sisi lain dari anak anak SMA ku semasa sekolah. Saat mereka bercerita tentang kenangan masa sekolah SMA, aku mendengarkan dengan seksama, mempelajari hal hal yang aku lewatkan. Ternyata banyak sekali momen yang asik mereka saat sekolah, mereka sangat dekat biarpun berasal dari kelas yang berbeda beda. Dari mereka aku mendapat banyak pelajaran baru, tentang hidup, tentang arti pertemanan, tentang cinta dan masih banyak lagi. Luka dihatiku sedikit demi sedikit tertutupi oleh kebahagiaanku bersama mereka. Kami sempat juga liburan bersama ke suatu pantai. Dan momen itulah yang membuat ku menjadi akrab dengan mereka. Terimakasih yaTuhan, aku merasa tidak sendirian saat bersama mereka. Aku bersyukur atas setiap kejadian, dunia memang berputar. Aku kehilangan Raisa, tapi Kau ganti dengan kehadiran mereka, sungguh bersyukur aku saat itu. 
“Momen kebersamaan aku dengan mereka masih berlanjut hingga hari ini, aku berniat menceritakan kisah kami di tulisanku yang lain. Karena momen dan memori kami sangat banyak”
Singkat cerita, hari pertama ku kuliah pun tiba. Beberapa dari kawan baruku yang kuceritakan tadi juga ternyata kuliah di kampus yang sama denganku, wah senang rasanya. Aku jadi bisa punya teman lebih awal melewati masa masa orientasi.
Di Kampus baruku, aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Inilah momentum dimana aku bisa memulai semua dari awal, setelah melalui berbagai rintangan yang mengubah diriku. Sudah saatnya aku menata kembali hidupku, dan mengatur kembali cita citaku. Fyi aku berkuliah di Jurusan teknik Elektro saat itu. Selain di kelas, aku juga mendaftar ke sebuah organisasi di kampus bersama dengan kawan kawan ku dari SMA yang berkuliah disini. Kisahku di himpunan (organisasi) ini akan kuceritakan kemudian..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 24 : Keluarga Baru Ku
Bandung, Pertengahan 2013
Aku mulai terbiasa dengan keadaanku saat ini. Menghabiskan waktuku di rumah, merawat ibu yang saat itu sakit. Ia menderita penyakit vertigo dan sakit kronis di lambung, aku melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, aku hanya seorang diri, aku tidak memiliki asisten rumah tangga sudah lama sekali. Aku juga tak jarang memasak untuk adik ku, menyiapkan segala sesuatunya untuk sekolah. Well adik ku memang tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, cuci piring dan lainnya, aku memaklumi itu, biar jadi tugasku saja.
Keadaan fisik ibuku semakin membaik, aku juga sering mengobrol dengannya. bertukar pikiran, membangun kembali ikatan kami. Senang rasanya, meskipun tidak lengkap dan suasana di rumah tidak sama lagi. Biarpun pertanyaan besar dan kekecewaan masih tertanam di hati kecil ku, aku tidak menghiraukannya, dia tetap ibuku.
Singkat cerita aku lulus dari SMA. Waktu ku sangat banyak, banyak luangnya. Saat itu aku libur selama 3 bulan menunggu waktu masuk kuliah, oiya btw aku tidak lolos tes di Universitas Negeri, aku memilih untuk kuliah di kampus swasta daerah bojongsoang. Kampus swasta itu adalah kampus yang aku datangi untuk test bersama Raisa waktu dulu. Raisa kabarnya diterima di Universitas Padjajaran, aku bangga mendengarnya. Aku turut berbahagia akan hal itu dan selalu mendoakan yang terbaik untuknya. 
Fyi, keadaan ekonomi kami sedikit membaik kala itu. Setelah ibu semakin sehat, aku dan ibu membangun kembali usaha kami. Ibu memiliki beberapa lokasi yang dibangun menjadi tempat kost. Jumlahnya kalau ditotal sebanyak kurang lebih 80 kamar. Jumlah yang besar saat itu. Kami membangun usaha itu dari hasil menjual Villa yang ayah beli di daerah Ciamis, kami juga menyewakan GOR (Gedung Olah Raga) kami kepada pabrik setempat (daerah rumahku banyak sekali pabrik tekstil). Sedikit demi sedikit kami merangkak, harapannya nanti suatu saat ibu ingin bisa buka catering kembali. Berdua bersama ku, itu mimpi ibu saat ia jatuh sakit. 
Sejak saat itu pula, aku dapat uang tambahan dari hasil kost untuk menghidupi ayah. Aku sering mengunjunginya seperti biasa, terkadang bila tak sempat aku transfer uang bulanan untuknya hingga hari ini. Alhamdulillah keadaan semakin baik saat itu, biarpun masih banyak sisa sisa hutang kami saat masa sulit , tapi tak apa kami jalani dengan ikhlas.
Di waktu luangku, aku terkadang pergi keluar rumah sendiri, untuk mencari tempat sepi. Kemanapun yang aku mau. Tak jarang juga aku mengunjungi tempat bimbel ku dulu (jadi sekolahku itu Yayasan nya juga pemilik bimbel terkemuka diBandung). Disana aku sempatkan belajar untuk persiapan kuliah. Banyak teman sekolahku yang bimbel disana juga, seiring waktu aku makin akrab dengan mereka.. 
Tak pernah kuduga, dari kebiasaan itu..Ternyata mereka lah teman teman yang semula tak kukenal, tapi mereka menjadi keluarga ke 2 ku hingga hari ini..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Audio
I...do...
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 23 : Jembatan Pasupati
Aku menjalani hariku bagai mayat hidup. Bagai robot tak berjiwa. Pikiranku hanya dua, antara kosong dan sedih. Beban yang kupikul terasa sangat berat, berat dikepalaku. Ibu kini mulai sakit sakitan, ia menjadi semakin sensitif semenjak bercerai untuk ke 2 kalinya. Ia jarang bicara dengan aku dan adikku. Adik ku pun semenjak itu jarang sekali keluar kamar. Mengurung diriya seharian selepas sekolah. Aku merasa sendirian. Keluarga besarku yang lain seakan acuh tak acuh, entah bagaimana tapi itu yang aku sendiri rasakan. Ayah berada di rumah yang berbeda, biarpun ayah sudah tak dirumah ini, karena ayah dahulu orang yang keras menyisakan trauma mendalam bagiku untuk sekedar ingin curhat atau mengunjunginya. 
Otak, ego, jiwa, dan batinku berperang satu sama lain. Menerima segalanya sekaligus dalam satu waktu bukan hal yang mudah. Dalam kesendirian, aku merenung. Jujur saja, aku tergolong orang yang lemah. Aku sadar sekarang. Aku tidak lebih kuat dari apa yang kupikir. Aku hanya anak sombong yang belum tahu rasanya pedih sejak kecil, memang kisahku tak sepedih anak lain yang tak seberuntung aku. Tapi.. tak punya kawan dekat, malu untuk bercerita pada sahabat, takut akan stigma sosial bahwa aku anak broken home sekarang, aku melarat, semua itu membuat aku hilang kesadaran. Iman yang kupegang tak sekuat itu..
Selepas ku menelpon Raisa di cerita yang lalu, aku mengendarai motorku tanpa arah. Saat itu mendung, siang hari. Aku melihat jembatan pasupati dari jauh. Entah kenapa aku ingin keatas sana, bergegaslah aku kesana. Pikiran ku gelap saat itu. Menangis pun sudah tak berguna, semua usahaku hanya membawa ku ke jurang kehancuran yang lebih dalam. 
Tiba ditengah jembatan. Saat itu ku menepi. Turun dari motorku. Melepas helmku. kutaruh di atas motorku, dan membiarkan kuncinya menggantung disana. Aku tak melepas jaketku. Entahlah..saat itu aku sangat ingin...mengakhiri ini semua. Ku ingin  melompat dari sini. Terjun bebas. 
Tapi setelah kulihat, jembatan ini tidak terlalu tinggi. Karena sebetulnya Pasupati adalah jalan raya fly over 2 arah. Kendaraan disana melaju kencang hampir seperti di jalan TOL. Aku memilih untuk berdiri ditengah jalan menghampiri mobil mobil yang melaju ke arahku..berjalan dengan tatapan kosong.. 
1 per 1 mobil mengklakson ku dan menghindari aku yang berjalan kearah mereka. Aku melawan arah, berjalan langsung kearah mobil mobil yang melaju kencang ke arahku. Tak sedikit yang membuka kaca, dan hampir memarahiku, tapi aku tak dengarkan, mereka pun tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya begitu melihat tatapan ku kosong. Ada 2 mobil yang hendak menepi saat itu. Aku pikir aku harus segera menabrakan diri ke salah satu kendaraan. 
Yang terlintas di pikiranku saat itu..aku teringat masa kecilku, aku ingat sosok ayah dan ibu. Aku teringat Raisa, semua teman teman ku. Masa bahagia ku.. Hingga tak sadar jalanan menjadi padat, dan kendaraan melambat. Aku tersadar saat itu. Usaha ini tidak akan berhasil,. Aku bergegas berlari ke motorku, seperti orang linglung dan segera tancap gas. Di ujung fly over aku berhenti, dan entah kenapa, aku menangis..disitu aku membuka hp ku yang bergetar, tanda ada suara telpon masuk. Aku tak mengangkatnya. Selang berapa lama, ada sms muncul. Itu dari teman lama ku, Ms.C, ia bertanya dimana aku berada saat itu. Aku menelpon balik, saat itu dia mengangkat dan berkata “Abang dimanaa...Ihh sombooong banget sekarangg. Aku ulangtaun ga kan ngucapin nih? aku lagi nyisha nih di ******. Kesini dongg”. Aku mengiyakan saat itu, pergilah aku kesana. 
Tiba disana, aku melihat ia sedang duduk bersama seorang temannya. Aku menyapa dan bergabung. Aku berpura-pura tidak terjadi apaapa, berlagak biasa saja. Aku bertanya, “Mana si ***** (pacarnya) ?”. Ms.C hanya diam, lalu menggelengkan kepala, disitu aku paham mereka tidak bersama lagi. Dengan mata berkaca kaca, dia bilang, “Bang dari sini kemana? Boleh pulang bareng ngga?”, tanya nya. Aku mengiyakan. Ini hari ulangtahunnya, dan aku tak tega membiarkannya karena rumahnya jauh. Kebetulan rumahnya dekat dengan rumahku. 
Sore hari tiba, aku pulang bersama Ms.C. Tiba di rumahnya saat maghrib. Ia pun masuk kerumah sambil berkata, “Santai kan? Aku bikin kopi dulu sama ambil rokok, si mamah lagi ke Tasik, aku nunggu si kaka pulang, temenin yah? aku mau cerita..”. Aku mengiyakan permintaannya. Dipersilakan masuklah akusaat itu. Lalu kami bercerita apa saja yang terjadi selama kita tak saling kontak. Saat itu aku ceritakan kondisi keluargaku, FYI Ms.C juga mengalami hal serupa jauh sebelum aku mengalami kehancuran. Ia yang mengenal orangtuaku percaya tak percaya, ia langsung memelukku saat itu. 
Tak sadar aku meneteskan airmata. Memang betul..pelukan dapat mematahkan segala ego dalam hati, dapat meruntuhkan dinding palsu yang kubangun agar terlihat tegar... Hingga tengah malam dan kakak nya tiba, aku pamit pulang dan ia memintaku berjanji bila ada apaapa jangan lupa mengabari Ms.C karena rumahnya dekat juga.. Bersyukur sekali saat itu
0 notes
bukuhitam · 4 years
Audio
Bye Raisa
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
#Hidden Truth#5
Di masa sekolah, sebelum putus hubungan dengan Raisa pacarku, selesai bersekolah saat itu aku mulai mencari uang tambahan dengan bekerja sampingan di sebuah counter handphone di suatu pusat berbelanjaan khusus elektronik (BEC). Aku mendapat pekerjaan itu darii teman di SMA lama ku. Lumayan dapat menambah sedikit uang ku, untuk makan, dan terkadang ada rasa ingin untuk pergi bersama raisa. Aku bekerja setiap pulang sekolah, 3 hari seminggu.
Sebelumnya, terkadang di hari minggu aku berjualan makanan kemasan buatan temanku. Aku menjajakannya di acara car free day saat itu. Aku menjajakannya tanpa pengalaman berdagang sedikitpun. Sedikit saja yang laku, terkadang pulang dari sana, aku berkeliling ke warung warung untuk menitipkan daganganku, asal laku saja, terkadang harganya aku diskon. Alih alih mendapat untung, terkadang aku menjual secara rugi ke warung agar hanya bisa membeli bensin dan pulsa.. 
sedih sekali kalau kuingat kembali. Aku yang biasa tak pernah kesulitan uang, sekarang harus mengalami ini. Memang, aku sadar dunia berputar..
Semua itu kulakukan tanpa sepengetahuan Raisa dan keluargaku, aku tak ingin ia malu dan merasa iba padaku. Aku hanya ingin membahagiakannya seperti aku biasa lakukan di awal hubungan kami..
Di ujung kisah ku dengan raisa, ingat yang kuceritakan saat Raisa meminta bertemu di saparua pada chapter sebelumnya? Disitu kami berkomunikasi via chat, saat itu aku menggunakan handphone Blackberry sama sepertinya. Aku saat itu berpikir dia akan mengajaku bermain, tapi aku sadar aku tak memegang uang sedikitpun. Hanya tersisa Rp7.000 aku ingat. Aku yang sedang kerja sampingan di counter hp pun berpikir untuk menjual handphone ku itu, menggantinya dengan handphone yang murah kisaran Rp200.000 saja, asal bisa telpon sudah cukup. Uang sisa jualnya kupegang. Bahkan saat itu aku masih BBM-an dengan raisa terakhir kalinya didepan penjual hp yang akan membeli hp ku. Setelah selesai chat menentukan tempat bertemu, langsung ku jual hp ku.. Miris bila kuingat. Di kemudian hari aku ditanya olehnya, kemana hp Blackberry ku, aku menjawab hp ku hilang. Aku berbohong padanya, aku tak mau ia tahu aku sedang benar benar sulit saat itu. Maafkan aku yah. Ia tak pernah tahu sampai saat cerita ini kutulis tentang kejadian ini.
Memang Raisa tidak pernah bergantung padaku urusan uang apalagi saat kita pergi bersama. Tapi aku memang terbiasa ingin dia tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun, itu sebaga wujud terimakasih ku bahwa dia selalu ada di sisiku. Maafkan aku, aku tidak bermaksud men dewa-kan uang diatas segalanya, maksudku hanya ingin kau senang..Biarpun semua itu harus berakhir. Aku tak menyesal bertemu denganmu. 
Terimakasih Raisa
 (Aku harap aku bisa menyebut nama aslimu, sudahlah kusebut dalam doa saja ya..)
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 22 : Usai Disini
Hari silih berganti. Waktu ujian semakin dekat. Aku masih berusaha menjalani hariku dengan terlihat tegar. Aku hilang arah, tak punya tempat bernaung dengan pikiranku yang melahap akal sehatku. Aku banyak menghabiskan waktu sendiri. Tak ada kabar dari kekasihku Raisa.Kami memang 1 sekolah, tapi seakan kami berada di dua belahan dunia yang berbeda. Sesekali aku melihatnya, tapi seakan ia baik baik saja tanpaku. Seolah aku ini tak pernah ada di dunia. Tak ada lagi senyumnya yang menghapus luka ku. 
Aku merenungi semua yang telah kita lalui. Aku berpikir, ia tak akan pernah kembali. Mungkin dia hanya..merasa bahwa memang harus usai disini, namun tak cukup berani untuk berkata sejujurnya padaku.
Dengan rasa berat hati, aku menelpon nya waktu itu. Aku berkata padanya, mempersilakan dia untuk pergi selamanya dengan suara ku yang bergetar menahan tangis. Tak sedikitpun nada ragu yang diucapkan oleh Raisa saat berbicara di telepon. Aku memang bukan pilihannya lagi. 
Aku rasa, keputusanku sudah tepat. Hanya saja, baginya mungkin ia hanya kehilangan seorang laki-laki. Namun bagiku,  aku kehilangan satu satunya harapan yang kupunya, cahaya terakhir yang kupunya.. 
Aku hanya berharap, apa yang kulakukan dapat membantunya mengambil keputusan. Mempermudah segalanya untuk dia. Agar dia bisa kembali menjalani hidupnya mengejar mimpinya dengan tenang. Tanpa aku, yang menyusahkan ia dan keluarganya. Ku harap, engkau bahagia selalu, tanpa hadirnya diriku di hidupmu. Terimakasih Atas Jasa Jasa mu, dan keluarga mu yang bak Malaikat di tengah kekacauan hariku.
Ku kehilangan sosok yang bisa kupercaya. Pertama, keluargaku, kini engkau pun menyusul pergi.. Aku bertanya pada Tuhan, apa lagi yang Dia inginkan dariku. Kebanggaanku, kebahagiaanku, keluargaku, kepercayaanku, kekasihku, semua Kau ambil.. Aku hilang arah.. Aku Hilang Arah
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 21 : Aku dan Ibu, Patah Hati
Hari hari semakin tak menentu buatku. Raisa tak ada di sisiku untuk sementara waktu. Ibuku kondisinya semakin parah. Ia mulai menangis dirumah, sering kali ia berteriak teriak. Seperti orang stress kupikir. Itu pemandangan yang menyayat hati, ibuku tak pernah seperti itu sebelumnya. Aku terseok seok menjalani hidupku saat itu
1 minggu sebelum digelar Ujian Test Perguruan tinggi Negeri. Aku masih berkomunikasi baik dengan raisa, namun tak sebaik dulu. Di saat saat genting ini, terjadilah hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya..
Aku saat itu sering pulang kerumah lebih awal karena aku mulai khawatir dengan sikap ibu. Suatu hari aku pulang,saat hendak masuk ke garasi, kulihat ada mobil jazz merah. “Ah mau apa si bang$at itu kemari”, pikirku. Aku bergegas masuk kerumah, dan memarkirkan motorku. 
Begitu masuk keruang tamu, kulihat ibuku sedang menangis. Saat itu ada suaminya, namun bersama dengan seorang wanita (ada ibu ibu gaes). Aku yang melihat hal itu terdiam. Saat itu tak lama datang nenek ku, pamanku dan 2 saudaraku yang lain. Aku bertanya tanya ada apa gerangan. Tak selang berapa lama. Mereka mulai berdebat, aku tak ingat persis, karena bingung dengan apa yang terjadi. Setelah ku menyimak. Ternyata suami ibu datang untuk menceraikan ibuku. Dan mengejutkannya adalah, wanita yang tadi kusebut adalah istri pertama si Bang$at itu. Demi Tuhan, aku marah besar saat itu. 
Kupikir kurang ajar sekali ada pria yang tega mempermainkan perasaan ibuku, dan keluarga ku hanya diam saja. Memang si bang$at ini orang yang berada, tapi bukan berarti bisa seenaknya memperlakukan ibuku seperti itu. Aku marah se- edan edan nya. Saat itu tanpa pikir panjang, ku lari ke kamar, mengambil samurai pemberian dari temanku semasa SMA yang lalu, dan bersiap mencabik binatang yang tega menyakiti ibuku. Disitu semua orang kaget dengan yang kulakukan. Aku gelap mata, amarah sudah mengambil alih kesadaranku. Belum aku sampai ke dekat nya, paman paman ku dengan sigap meringkus ku bak seorang maling. Aku berteriak seperti orang gila yang kerasukan. Sumpah serapah tak henti keluar dari mulutku. Ibuku yang melihat itu ikut menangis dan berteriak meminta ampun sambil menutup telingnya dengan kedua tangannya dan seraya berteriak. Sedangkan si Bang$at itu dan istrinya diamankan melalui pintu samping rumahku. Aku digotong dan dimasukan kekamarku, dikunci dari luar. Aku tak bisa keluar saat itu. Aku berusaha berbagai cara agar bisa keluar. Namun tak bisa. aku hanya bisa menangis meraung raung seperti orang gila..hingga lemas dan darisitu aku seperti tidak merasakan apaapa. Melayang. Waktu tak terasa berjalan. Aku mendengar suara mobil keluar dari garasi, aku pikir semua sudah berakhir. 
Tak lama, pintu kamarku dibuka dari luar. Itu ibuku..dengan mata sembab menangis memelukku. Yang kuingat saat itu, ibu hanya meronta dan berteriak sambil memelukku , “MAAFIN MAMA..MAAFIN MAMA..MAMA JAHAT SAMA KAMU SAMA ADIK, MAMA JUGA GAK TAU KALAU DIA UDAH PUNYA SUAMI..MAMAH MENYESAL YA ALLAH.. TOLONG”.. Ibuku pingsan. Dibawanya lah oleh saudara saudara ku ke kamar ibuku. Akuhanya bisa menangis di kamar, serasa tak punya tenaga bahkan untuk bangkit. Aku hanya berbaring di lantai kamarku, mengunci pintuku, dan menangis hingga tertidur. Hanya itu yang kuingat tentang kejadian malam hari itu..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 21 : Saparua terakhir
Menjalani hari hari saat itu semakin kurasa sulit. Raisa yang mulai menjauh dan acuh, ditambah kondisi Ibuku yang memburuk. Seperti dihantam dari segala sisi. Luar dan dalam, perut yang lapar dipadukan dengan otak yang harus berpikir keras untuk belajar, Ah sulit rasanya untuk sekedar fokus mengejar cita cita. 
Hubunganku dengan Raisa kian memburuk, ia mulai menghilang, bersikap sangat berbeda, seakan aku bukan lagi pilihannya. Pernah sekali, saat itu ku menduga, apa ada orang lain. Aku jauhkan pikiran itu dari otak ku, aku tahu Raisa takan setega itu padaku. Namun pertanyaan di benak ku mulai terjawab. Suatu hari, di masa minggu minggu sebelum Ujian Perguruan Tinggi digelar, Raisa mengajakku untuk bertemu di tempat favorit kami, di lapang saparua. Itu tempat yang berkesan bagi ku, kami pertama kalinya menghabiskan waktu berdua disana, dan selalu jadi tempat favorit kami. Duduk di tribun berdua, jajan jajan dan bercanda tawa tentang kehidupan, ah manis rasanya kala itu sebelum semua ini menimpaku. 
Singkat cerita, kami pergi ke saparua dari sekolah. Disana kita duduk bersama seperti biasa. Hari itu raisa terlihat berbeda, aku tak bisa jelaskan apa bedanya, yang jelas aku merasa ia berbeda. Kami duduk dan berdiam diri, tak bicara. Hingga akhirnya, ia berkata padaku, “Maaf sebelumnya...aku sejujurnya bingung harus gimana bilangnya..perasaanku mulai tak tentu, aku gamau kehilangan kamu. Tapi.. aku harus istirahatkan diri sejenak..Boleh kah kalau aku minta break sementara..?”. Mendengar hal tersebut, aku merasa kalang kabut. Darah seakan mengalir deras dari kepala hingga ujung kaki. Aku tak bisa apaapa saat itu. Aku bisa saja bersikukuh, karena Raisa tidak memaksa. Namun, aku pikir..kasian juga dia sudah merasa kelelahan dan mungkin bingung harus menyampaikan nya dengan cara apa padaku. 
Akhirnya dengan berusaha tegar, aku iyakan permintaannya. Pertimbanganku, dia sudah berusaha sekuatnya, mencurahkan segalanya untuk ku, ya itu porsi yang besar untuk ku Tapi.. aku hanya membalasnya saat itu dengan tangisku, aku memohon mohon untuk tidak ditinggalkan. Yang kulakukan memang membuat ia malu karena itu didepan umum. Namun, percayalah.. aku hanya memiliki dia seorang.. benar benar hanya dia, sahabatku Mr.H dan Ms.T sudah lama ku tak bercengkrama dengan mereka. Aku tak punya teman dekat selain dia. Dia adalah pacar sekaligus partner hidupku saat itu. Hanya dia yang aku percaya untuk kuceritakan segala keluh kesah dan drama kehidupanku..
Keputusannya saat itu, akhirnya aku tetap membiarkan ia pergi sejenak, berharap ia akan berpikir ulang. Toh hanya sementara ia bilang, semoiga masih ada kesempatan baik..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 20 : Ambang kehancuran kedua
Hari hari menjelang ujian nasional kujalani seperti ceritaku sebelumnya. Disaat semua terasa buruk, masih ada hal yang membuat ku bahagia. Menghabiskan hariku dengan Raisa. Ya, memang diriku kian hari kian berubah. Keadaan keluarga ku yang makin tak menentu, ditambah aku masih dalam tahap adaptasi dengan kondisi baru kami membuat sikap ku berubah. 
Aku lebih sensitif terhadap semua hal. Bahkan bila suatu waktu aku sedang di berjalan dengan Raisa, aku melihat orang lain yang jalan jalan bersama keluarganya, ayah ibu dan anak lengkap, aku merasa iri. Iri pada semua orang. Pikiran negatif dan rasa kecewa mulai melahap diriku. Tak jarang aku lebih sensitif terhadap perlakuan Raisa, padahal ia tak salah..
Aku semakin ketergatungan dengan kehadiran Raisa dan keluarga nya. Aku merasa sendirian, tak percaya dengan keluarga ku, sedangkan keluarga Raisa membawa kehangatan bagi hari hariku. Aku tanpa sadar, memfokuskan semua yang kulakukan hanya untuk raisa, dengan harapan aku suatu saat akan keluar dari mimpi buruk ini, mungkin dengan berkeluarga suatu hari nanti dengan Raisa.
Namun, Tuhan berkata lain.. Aku sadar perubahan drastis ku dari segala sisi memang ekstrim. Tidak semua orang bisa menghadapinya, termasuk Raisa. Dia lah satu satunya orang yang disampingku dan membawa ku untuk bangkit. Namun layaknya seorang manusia, kita semua tidak luput dari yang namanya salah. Setiap orang memiliki batasannya masing masing. Aku tak bisa terus hidup bergantung pada Raisa. Aku yakin, seorang Raisa yang tak kenal lelah pun akan kewalahan pada akhirnya bila aku terus begini. 
Semakin hari, perlakuan Raisa padaku berangsur berubah. Jarak mulai memisahkan kami, waktu mulai tersita oeh maasing masing kesibukan kami. Wajar saat itu kami menghadapi ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi. Raisa bercita cita ingin berkuliah di ITB, pilihan ke 2 nya adalah suatu jurusan di UNPAD. Pernah aku dan dia berkeliling kampus, untuk melihat suasana disana. Merasakan auranya agar kami lebih terpacu untuk masuk kampus yang kami inginkan. Aku yang dulu sangat bercita cita masuk Jurusan teknik mesin ITB merasa cita citaku ini harus direalisasikan. Biarpun dengan keterbatasan yang ku miliki saat ini. Tak apa, aku merasa masih lebih beruntung dari orang orang lain diluar sana yang untuk sekolah dan sekedar makan pun susah setengah mati.
Kondisi dirumahku semakin tidak stabil. Suami baru ibuku saat itu jarang mengunjungi ibuku, bahkan menafkahi pun seadanya. Padahal suami nya adalah seorang kepala sekolah di daerang Tangerang, dan ia tinggal disana. Janji janji manisnya pada ibuku, tidak terealisaasi dengan baik. Kondisi ibuku semakin memburuk secara fisik. Ia lebih sering murung, jarang dirumah dan berubah. Ia tak peduli dengan aku dan adiku. Aku jadi lebih sering di rumah untuk mengurusi adikku yang memang saat itu kondisi kesehatannya memang tidak normal, klep jantungnya mengalami kelainan.Aku yang semula tidak mengurusi urusan rumah, kini mengurus semua hal nya menggantikan sosok ibu. Memasak, mencuci, dan lainnya menjadi hal biasa. Dihimpit pula dengan kondisi ekonomi kami yang benar benar buruk.. Aku hanya bisa menangis sendirian di malam hari. Itu yang kualami tanpa banyak orang tahu..
Hal itu berdampak pada kondisi psikisku, aku mulai banyak melamun, lebih parah dari sebelumnya. Hal ini tentu berdampak pada track record akademis ku, dan pada Raisa. Kami jadi lebih sering bertengkar.. Aku sangat sedih saat itu
Ujian nasional akhirnya tiba, dan kulalui sebisaku. Tidak terlalu kupikirkan, yang penting lulus sudah cukup buatku. Aku juga pergi test masuk perguruan tinggi swasta untuk berjaga jaga, itupun aku test bersama raisa atas rekomendasi orangtuanya. Dan Alhamdulillah kami lolos tes. Setidaknya ada jaminan bahwa kami dapat melanjutkan kuliah.
Hari demi hari selepas Ujian nasional kami lalui dengan banyak nya waktu luang. Sebagian besar kami gunakan waktu untuk persiapan menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Raisa sibuk dengan studinya. Disinilah mulai sering terjadi kesalah pahaman antara kami. Aku mengakui, akulah orang yang banyak berubah,tidak seperti masa dimana kami bertemu. Aku harap ia paham kondisinya, namun hidup bukan hanya tentang aku. Ia juga punya cita cita, dan punya orangtua yang perlu dibahagiakan. 
Aku sangat mencintai raisa dengan seluruh hal yang kumiliki. Aku sangat ketakutan apabila harus kehilangan satu satunya orang yang memahami ku mengarungi semua ini. Ketakutanku itu justru membuatku semakin bertingkah aneh, dan malah membawa kami kearah yang aku takutkan. Ya..Raisa mulai lelah denganku, bukan salahnya, ini semua salahku. Jarang sekali kami menghabiskan waktu berdua, bercanda tawa, bercerita, semua tinggal kenangan. Ia menjauh, bersikap berbeda. Disaat itu aku panik setengah mati. Aku yang saat itu labil, benar benar ketakutan kehilangan orang itu. Dan itu mengacaukan semuanya..
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 19 : Ibu kedua ku
Sepulang sekolah, aku sering sekali mampir di rumah Raisa ketika jadwal pulang sekolah tidak terlalu sore. Karena searah dengan rumahku, aku seringkali ber iringan dengannya pulang (dia bawa motor juga). Aku selalu mengantarnya sampai depan pagar rumahnya hampir setiap hari. Singgah sebelum melanjutkan perjalanan pulangku malam hari. Dia tahu bahwa aku sangat benci untuk pulang kerumahku dikala matahari belum terbenam, karena aku tidak suka lagi keadaan rumahku dikala para penghuninya beraktifitas. Aku suka saat ku pulang semua orang sudah tidur, agar tak ada yang menggangguku dirumah.
Dari sini aku lebih mengenal sosok ibu nya, namanya Ibu Yeni. Ibunya sangat baik padaku, entah karena alasan apa ia jadi lebih terbuka dengan kehadiranku dirumahnya. Lagipula dirumahnya saat itu hanya ada Raisa dan Ibunya. Adik lakilakinya sering bermain diluar rumah, dan abangnya sibuk kuliah. 
Setiap berkunjung, ibunya selalu menawariku untuk makan bersama. Aku saat itu malu malu menolak. Tapi karena Raisa tau aku belum makan seharian, ia memaksaku makan terkadang. Percaya lah..itu momen momen dimana aku merasa ditolong oleh Tuhan melalui mereka. Tanpa ku perlu bilang bahwa aku tidak memiliki cukup uang untuk makan, mereka memberiku makan dan teh hangat. Aku terkadang meneteskan airmata mengingat hal ini, bahwa momen itu tak akan terulang kembali. Selepas makan, aku dan Raisa belajar bersama. Tak jarang aku Shalat maghrib di mesjid komplek rumahnya. Aku semakin dekat dengan keluarganya saat mulai akrab dengan adik dan Abangnya. FYI, ayah Raisa bekerja di jakarta, jadi hanya pulang saat hari jum’at sore saja.
Lambat laun, aku mulai terbuka bercerita kepada ibu raisa, menceritakan hal yang kualami saat ini. Beliau mendengarkan dan menanggapi seperti layaknya seorang ibu dan anak. Aku merasa sangat dianggap, merasa hangat rasanya ada disana. Aku sering sekali ngobrol dengan ibunya. Ibunya asyik, kami banyak ngobrol tentang apapun. Dari mulai mengupas tuntas tentang Raisa, sampai membahas tukang sayur komplek rumahnya pun gas gas aja haha. Kami suka bercanda canda kala itu. 
Aku sungguh berterimakasih pada Tuhan, mempertemukan aku dengan Raisa dan keluarganya. Tanpa adanya mereka, aku mungkin sudah berada diluar sana mengarahkan diriku ke hal hal gelap nan negatif. Terimakasih Raisa,Ibu Yeni dan keluarga. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
#Hidden Truth#4
Di masa masa aku baik baik saja, seperti yang kuceritakan di chapter <14, aku jarang mengalami drama drama yang mengganggu hidupku secara langsung. Aku tidak pernah merasa kesulitan memenuhi kebutuhanku, begitupun aku tidak memikirkan keluarga ku karena kami benar benar stabil secara finansial. Biarpun mulai ada pertengkaran-pertengkaran orangtuaku dirumah sesekali. 
“Hati yang Hancur, dompet yang kosong , dan perut yang lapar adalah pelajaran yang akan mengubahmu seumur hidup”
Kata bijak diatas sungguh mendefinisikan aku saat itu. Bayangkan, aku kala itu bepergian dengan motorku yang bisa dibilang termasuk mahal untuk seorang anak SMA. Otomatis orang menyangka aku memang tidak bermasalah dengan keuangan, kan. Uang saku mengalir seperti sungai. Tidak ada masalah. Urusan perut tidak masalah jelas.
Tiba tiba hidupku digulingkan oleh realita pahit. Aku yang sehari bisa menghabiskan +- Rp 70.000 hanya untuk jajan, dan +- Rp.30.000  untuk bensin. Kini dipaksa untuk bisa bertahan hidup dengan Rp 30.000 saja.  Memang terdengar masih besar untuk jajan anak SMA. Tapi perlu diketahui, aku hanya memiliki motor ku yang boros ini untuk transportasi, sekolahku jaraknya 27km lebih dari rumah. Itu berarti sekitar 50km++ pulang pergi yah. Kegiatan sekolahku padat mampus, dari set7 pagi hingga 9 malam (itu plus bimbel). Mau tak mau aku harus memutar otak, agar aku bisa makan dan membayar ongkos transport. 
Aku mengutamakan transportasi saat itu, karena motorku boros. Kuisi bensin Rp20.000 sehari (fyi saat itu harga pertamax Rp11.000/liter, dan premium Rp.5500/ltr) , aku terkadang mengisi bahan bakar motor ku dengan tipe premium agar lebih murah dan aku bisa makan. Sisa uangku adalah Rp10.000 harus bisa bertahan sampai malam dari pagi.
Aku sungguh sadar saat itu, aku terjebak dalam gaya hidup dan penampilan mewah, tapi sesungguhnya dompetnya kering parah bos.. Siapa yang percaya kalau ternyata anak sombong yang membawa motor sport ke sekolah setiap hari hanya mengantongi uang Rp10.000 perhari. Aku merasa disiksa oleh penampilanku, aku beraharap aku tidak pernah memiliki motor itu kalau tau begini jadinya. Malah menyiksaku dengan cibiran orang orang jadinya.
Mengapa tidak dijual saja motornya? aku simpan agar bisa membayar uang kuliahku nanti.. aku tidak yakin akan masuk kampus negeri saat itu semua terjadi. Lagipula..itu pemberian ayahku yang terakhir..biarpun aku tidak mengeluarkan uang untuk membelinya, tapi aku memeras keringat otak ku untuk itu...
0 notes
bukuhitam · 4 years
Text
Chapter 18 : Hidupku berubah
Semenjak kejadian yang menimpaku, serta dikit demi sedikit fakta terungkap, tak sadar diriku mengalami perubahan. Aku yang semula berada di tiitik terbaik versi diriku, kini kian tak menentu. Aku semakin sensitif terhadap hal apapun yang menggangguku, padahal dulu aku orang yang lurus lurus saja dalam menghadapi situasi apapun. Ditengah krisis finansial yang melanda, membuatku semakin terpuruk. Kemanapun aku pergi selalu terbayang hal hal sedih yang menimpaku, menyeretku untuk menyadari bahwa keadaan berubah drastis sekarang. Aku berusaha menutupinya dengan terlihat baik baik saja.
Aku, adalah orang yang individualis. Aku dididik seperti itu, begitupula adik ku. Aku tidak memiliki banyak teman dekat, aku terbilang sombong, ego ku tinggi, aku hanya anak manja yang patuh pada orangtua. Bukan tanpa sebab, aku tidak pernah merasakan kesulitan finansial sebelumnya. Aku tidak terbiasa untuk berkawan, aku dibesarkan dengan kasih sayang yang sebagian besar wujudnya berupa pundi pundi rupiah. Memang orangtua ku mengajarkan hal lain juga tentang hidup serta agama, tetapi kini semua lebih real. 
Aku yang semula tidak terlalu peduli sekitar, kini mulai menyadari. Dulu sering kudengar cerita dari kawan ku yang mengalami broken home dan lika liku hidup, aku hanya memahami nya dengan logika ku, sisanya aku tidak merasakan dengan hatiku tentang apa yang terjadi di hidupnya. Sulit memahami rasanya, namun ketika ini menjadi nyata dalam kisahku. Aku paham apa yang mereka rasakan.
Bahkan,Raisa pun merasakan perbedaan yang terjadi pada diriku. Sejujurnya, dialah saksi hidup pertama yang menyaksian 2 sisi diriku yang berbeda. Dimana aku pernah menjadi Aku yang Seutuhnya dan sisi dimana aku mulai berubah. Hanya didepan nya aku menangis, tak jarang ia menghiburku dengan segala cara yang ia bisa. Itu sangat membantuku setidaknya melewati hari hari ini. Ditambah saat itu waktu ujian Nasional SMA semakin dekat. Raisa pun mulai sibuk mempersiapkan diri untuk ujian. Sedangkan aku, saat itu aku pikir ,” Aku sudah tidak selera lagi dengan kompetisi ini, nilai bagus,kampus negeri dan semua hal itu tidak membuat ku bersemangat lagi”.
Raisa orang yang tidak terlalu banyak berbicara. Dia lebih sering memendamnya. Dengan sabar ia mendampingi ku melewati ini semua. Tak jarang Ia mengajaku untuk singgah ke rumahnya, ia selalu khawatir bila aku ada di luar sana tanpa arah selepas pulang sekolah. “Di rumah aku aja yuk, kita belajar. Kata mamah aku, kerumah ceunah. Mamah masak lho”, sesekali Raisa membujuk ku untuk singgah kerumahnya. Memang baik sekali dia. Aku tidak menyangka ia masih bertahan denganku padahal dia saat itu juga sibuk. Tapi masih bisa mencari cara agar bisa tetap fokus belajar dan bisa mendampingi ku.
Singkat kata, aku mengiyakan tawarannya. Semenjak Itulah aku sering menghabiskan waktu dirumahnya dan mulai mengenal lebih jauh sosok ibunya..
0 notes