Text
REKAYASA SOSIAL
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa manusia cenderung menghindari konflik dan rekayasa sosial memanfaatkan situasi tersebut.
Pasca harga BBM naik, antrian di SPBU belum juga normal. Jika dilihat di berbagai tempat khususnya di Kota Bandung, hampir semua pom pengisian BBM jenis Pertalite untuk motor mengular sampai jalan raya.
Tempat pengisian bensin satu buah dan selangnya pun sama. Tapi motor yang hendak mengisi dua baris. Otomatis antrian panjang tidak bisa dihindarkan.
Apakah hal tersebut sebagai strategi marketing yang dilakukan Pertamina? Dimana kebijakan pemerintah yang ingin mensejahterakan rakyatnya?
Kemunculan Bjorka di dunia maya memang menghebohkan negara. Seorang peretas atau hacker yang membuat sebagian masyarakat mendukung aksinya. Bagaimana tidak, beberapa data pejabat tinggi pemerintahan berhasil ia sebarkan.
Apakah kemunculan Bjorka sang peretas perlu dirayakan? Atau hanya pengalihan isu kasus pembunuhan yang melibatkan petinggi Polisi dan tentunya kenaikan harga BBM?
Ada sebuah korelasi antara fenomena antrian pengisian bensin dan aksi Bjorka di dunia maya.
Film yang berjudul Who Am I, menggambarkan aksi sekelompok peretas yang dicari oleh negara. Salah seorang dari anggota tersebut pernah berkata bahwa manusia cenderung menghindari konflik.
Antrian BBM Pertalite khususnya motor di SPBU adalah salah satunya. Antrian dibiarkan memanjang agar mereka yang tidak mau menunggu lama antrian, bisa beralih ke BBM jenis Pertamax yg harganya sedikit mahal di atas Pertalite, dan dari segi antrian pun cenderung tidak ada.
Mungkin begitulah cara kerja rekayasa sosial, yang celakanya kita setengah sadar akan hal tersebut.
Bandung, 15 September 2022. Perjalanan pulang dr Indogrosir menuju Cibiru Hilir
0 notes
Text
Antara Ada dan Berada
Kejadian itu sekira tiga atau empat tahun yang lalu. Selepas sholat magrib di Masjid Babussalam, seorang anak perempuan usia 4 tahunan, memeluk si ayah dan bilang "sayang papap".
Meskipun momen tersebut hanya terlihat oleh pojok mata, sontak dalam hati berkata "yaallah, semoga kelak bisa ngerasain juga kayak gitu".
Alhamdulillah dan ternyata doa sederhana yang bersuara di hati kecil tersebut, diijabah oleh Sang Maha Kuasa. Si kecil celemeng (kalo kata kakeknya dari jagabaya) sudah bisa memeluk papapnya sambil berkata mirip dengan yang dikatakan anak perempuan diatas.
Hal-hal kecil yang membuat kami bahagia dan haru, bersatu menjadi sebuah energi yang dapat menguatkan keluarga kecil ini.
Memang kami belum "berada", cukup dengan "ada" meskipun tidak seberapa. Tidak banyak namun berkah dan manfaat.
Bismillah Ngeureuyeuh Nyikreuh (:

0 notes
Text
Eskatologi dalam Islam: Tantangan dan Sikap Kita atas Bencana
Sepanjang satu dekade terakhir, tokoh superhero dunia perfilman didominasi oleh karakter-karakter komik Marvel seperti Iron Man, Captain America, Hulk, dan lain-lain. Ada satu tokoh yang film sequelnya akan tayang beberapa bulan ke depan yaitu Thor. Ia merupakan dewa petir dari tradisi Nordik. Di film terdahulu yang berjudul Thor: Ragnarok, diceritakan bahwa ia harus kembali ke Asgard untuk menghentikan Hela dan tibanya ragnarok yaitu kiamat atau akhir dari peradaban Asgard.
Holywood sebagai gudang film dunia, tentu telah memproduksi berbagai banyak judul film yang bertemakan kehancuran dunia; bencana alam, benda luar angkasa yang menabrak bumi, wabah yang melanda umat manusia dan lain sebagainya.
Inspirasi para penulis naskah, di samping dari fakta tentang keadaan bumi yang telah sepuh, salah satunya yaitu dari nubuwat (peristiwa-peristiwa yang akan terjadi tetapi telah dikabarkan) dan juga dari eskatologi (bagian ilmu ketuhanan dan filsafat tentang kejadian-kejadian masa depan umat manusia serta nasib akhir dunia).
Kiamat atau hari akhir banyak dibahas di berbagai agama dan kebudayaan, di antaranya agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam), Hindu, Buddha, serta mitologi-mitologi Yunani atau Nordik (masyarakat Eropa Utara), yang pada umumnya, berbagai tradisi dan agama tersebut menyebutnya sebagai armagedon; akhir zaman atau bencana apokaliptik besar dan dahsyat.
Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang eskatologi, khususnya tentang kiamat?
Para ulama, membagi kiamat ke dalam dua bagian; kiamat shugra (kecil) dan kiamat kubra (total). Matinya setiap manusia dan terjadinya bencana-bencana alam, termasuk ke dalam kiamat kecil. Sedangkan hancurnya dan berakhirnya seluruh fisik dan hukum dunia fana, merupakan kiamat total.
Kematian dan Wabah Sebagai Kiamat Kecil
Salah satu ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa setiap yang berjiwa akan mati. Kematian dalam Islam, sebagaimana yang telah disinggung di atas, merupakan kiamat kecil; bentuk peringatan kepada manusia yang masih hidup, agar selalu mempersiapkan diri untuk mengarungi kehidupan abadi di akhirat kelak nanti.
Frithjof Schuon dalam karyanya yang berjudul Transfigurasi Manusia: Refleksi Antrosophia Parennialis mengatakan, momen kematian adalah ketika manusia tidak lagi memiliki pilihan apa pun, karena semua keputusan ada di Tangan Tuhan. Jika manusia menjalani kehidupan saat ini dengan baik, maka kematian pun akan menjemput manusia dengan baik. Jika manusia bersama Tuhan hari ini, ia akan bersama Tuhan pada momen kematian nanti. Mengingat Tuhan adalah merasakan kematian dalam hidup. Ia akan layaknya kehidupan dalam kematian.
Burhanudin Agus dalam bukunya Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama mengatakan bahwa penyakit dan kematian adalah tantangan yang pada umumnya dialami oleh setiap orang. Dengan kemajuan kehidupan di abad modern seperti sekarang ini, karena kemajuan ilmu dan teknologi, tantangan dan bahaya yang dihadapi manusia tidak kalah banyak dan dahsyatnya dibanding masyarakat primitif.
Peperangan terjadi di berbagai belahan dunia; yang terbaru invasi Rusia terhadap Ukraina dan para netizen meyakini akan terjadinya Perang Dunia Ketiga (peperangan Armagedon?). Pencemaran lingkungan hidup; limbah, asap pabrik yang merusak lapisan ozon, betonisasi area-area hijau dan resapan air, pembakaran hutan untuk dijadikan perkebunan sawit. Berbagai jenis penyakit; dari penyakit orang kaya maupun penyakit orang miskin, wabah yang melanda dunia (kurang lebih sudah dua tahun manusia diteror oleh virus Covid 19). Berbagai jenis bencana alam; gempa bumi, gunung meletus, angin topan, longsor, banjir (daerah Dayeuh kolot dan daerah-daerah lain selalu terkena dampak banjir ketika musim hujan). Semua contoh-contoh tersebut, selalu meneror manusia modern dan kehidupannya.
Lebih lanjut, Burhanudin mengatakan bahwa manusia berhadapan dengan kehidupan yang nyaris penuh dengan ancaman, misteri dan teka teki. Maka, kebudayaan, agama, dan berbagai ideologi tampil dalam sejarah manusia, di antanya dimaksudkan untuk memberikan kiat-kiat bagaimana manusia dan masyarakat yang bersangkutan memahami, menanggapi, dan bersikap terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan.
Bumi dan Bencana Alam yang Mengintainya
Serial Loki garapan rumah produksi Marvel Studios, dalam salah satu episodenya menceritakan tentang bencana besar yang melanda Bumi di tahun 2050, atau film Aquaman tentang kemurkaan dewa-dewa penghuni samudera terhadap umat manusia karena pencemaran lingkungan, dan film-film lain bergenre sains-fiksi yang berkaitan dengan eskatologi, terfokus kepada keprihatinan nasib bumi di masa depan.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya 22 April setiap tahunnya, diperingati sebagai hari bumi. Perayaan tersebut sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang menjadi tempat tinggal manusia. Peduli lingkungan serta menjaga kestabilan alam merupakan contoh kecil dalam melestarikan bumi
Jika kita tarik ke masa lalu, orang-orang prasejarah menyadari ketergantungan mereka pada kekuatan alam untuk kelangsungan hidup mereka. Alam menyediakann tumbuhan dan hewan untuk makanan mereka. Manusia purba belajar memancing dan berburu untuk makanannya. Kemudian manusia Neolitik menemukan bahwa bertani menyediakan persediaan makanan yang melimpah daripada memancing dan berburu. Tidak peduli bagaimana manusia mengamankan makanannya, mereka percaya bahwa karunia tersebut berasal dari Tuhan atau alam, dan mereka belajar untuk bersyukur dan menghormati dewa alam untuk itu.
Menurut Charles R. Monroe dalam bukunya World Religions: An Introduction, Ibu pertiwi, sumber langsung makanan dan tempat tinggal, adalah dewi pertama yang disembah. Sebagai sosok wanita, dewi bumi dipandang sebagai sumber segala ciptaan, bahkan reproduksi manusia. Konfigurasi alami bumi, gunung, lembah, sungai, dan lautan, dipandang sebagai kekuatan yang menghasilkan kehidupan. Ibu pertiwi adalah simbol kesuburan bagi orang-orang prasejarah. Dewi bumi digambarkan dalam bentuk patung sebagai wanita hamil dengan payudara dan perut kembung.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa bumi diciptakan untuk makhluknya. Dalam tafsirnya terhadap surat Ar-Rahman ayat 10 ini, Al-Qurtubi mengatakan bahwa arti dari kata anaam adalah manusia atau segala sesuatu yang merayap di muka bumi.
Kerusakan bumi yang menjurus kepada bencana alam yang terjadi baik itu di daratan maupun di lautan dari perspektif Islam (dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 41), disebabkan oleh tangan-tangan manusia. Ibnu Katsir menjelaskan, yang menukil perkataan Abu Al-Aliyah, barang siapa mendurhakai Allah di muka bumi, maka ia telah merusak bumi. Karena kebaikan, yang diberikan, bumi dan langit adalah melalui ketaatan.
Maka dari itu, sebagai manusia yang telah disediakan segala sesuatunya, sudah seharusnya selalu taat kepada Sang Pencipta dan selalu menjaga kelestarian bumi.
Sebuah Refleksi?
Pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah, bukan berarti masyarakat tidak ikut berkontribusi, harus selalu tanggap terhadap potensi terjadinya bencana; pra, ketika, dan pasca. Meskipun harus diakui bahwa pengetahuan masyarakat di berbagai daerah mempunyai pengetahuan tersendiri tentang bencana (pengalaman berinteraksi dengan alam, kearifan lokal, mitos, atau agama), namun pengetahuannya tersebut masih terbatas.
Kemudian apa jadinya jika manusia abai terhadap keberlangsungan bumi? Salah satu contohnya adalah krisis iklim. Pemanasan global yang menyebabkan siklus cuaca tidak menentu, mencairnya bongkahan es abadi di kutub utara yang menyebabkan tingginya permukaan air laut (Jakarta bagian utara terkena dampak dari meningginya permukaan air laut), serta bencana-bencana alam lain yang akan menyebabkan kehancuran dunia.
Cibiru Hilir, Ramadhan 2022
0 notes
Text
Aku memanggilnya si perempuan ittadakkimaa. Jarang balanja. Sukanya makan sushi lada. Minumnya shoda gumbira

1 note
·
View note
Text
Mimpi Yang Tak Terjadi
Pagi itu, Gadis berumur sekitar kepala dua, bangun dengan tidak biasa. Matanya terbuka, namun pikirannya masih melayang entah dimana. Tubuhnya terbaring di atas kasur berselimut gambar angsa. Ia sadar ia telah terjaga. Namun sejurus kemudian ia bangkit disertai dentuman kecil dalam kepala. Disibakkan olehnya gorden penutup jendela. Matahari telah tinggi menyala. Dilihatnya para petani berjalan menuju sawah melewati barisan pohon kelapa. Ia tersenyum gembira. Hidupnya akan kembali seperti biasa.
***
Jika diibaratkan, Utee merupakan reinkarnasi seorang Marylin Monroe berdarah Sunda. Kecantikannya buah bibir dimana-mana. Semua tingkatan pria, takluk oleh pesonanya; remaja, pemuda, duda, lelaki bejat maupun alim bijaksana, suami beristri dua, dan tidak ketinggalan juga si aki-aki tua.
Meskipun lahir di era milenia, Utee tidak pernah mengeluh di sosial media. Dengan hape jadul tipe nokia, sehari-hari ia masih bisa bahagia. Kehidupannya nyata bukan maya. Keadaannyalah yang membuat ia kuat menghadapi kerasnya dunia. Tumbuh dalam keluarga sederhana, kembang desa yang beranjak dewasa secara karakter biasa-biasa saja. Pendidikannya pun hanya sampai tarap SMA. Sebenarnya ia ingin lanjut kuliah S1 sampai S3. Namun apa kuasa, masalah biaya selalu menghantuinya.
“Mak, Utee kepingin kuliah di kota” pintanya suatu waktu. Ibunya hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Dalam benak ibunya memang ada keinginan untuk menyekolahkan Utee ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, setelah kepergian ayahnya yang entah ke mana, kebutuhan sehari-hari pun berada di pundak ibunya.
***
Sore itu, hujan turun pertama kalinya dalam enam bulan terakhir. Bau tanah menyengat hidung. Di teras rumah, laki-laki paruh baya bersiap-siap pergi. Sang istri memegang pundaknya berharap segera kembali. “Tanah disini sudah tidak bisa ditanami” kata si suami pada istri. “Bapak mau cari kerja. Kebetulan Pak Jaja menawarkan pekerjaan yang menjanjikan”.
Istrinya cemas. Sikap dan nada bicaranya tidak seperti biasa. “Bapak mau ke mana, Pak? Kerja dimana? Lihat.. hujan sudah turun. Air pasti banyak lagi, Pak”
“Tolong jaga si kecil dengan baik-baik. Kalau sudah ada hasil, Bapak akan segera pulang”
Dengan tekad yang bulat, akhirnya laki-laki itu meninggalkan rumahnya, istrinya, dan anak perempuannya yang masih berumur lima tahun. Pak Jaja menunggu. Mereka berdua bermotor meneroboh hujan dengan laju. Jalan tanah yang basah, sangat licin sekali. Kendaraan yang mereka tumpangi, ngepot goyang kanan kiri. Istrinya melihat mereka dengan geli. Tapi rasa sedih kemudian menghampiri, dan lebih kuat sesaat setelah sang suami menghilang pergi.
Hari pun telah berganti tahun. Terdengar kabar, bahwa laki-laki yang pernah ikut bersama Pak Jaja dinyatakan meninggal dunia. Berita duka tersebut disampaikan oleh Pak Jaja sendiri. Diceritakannya bahwa dia telah bekerja di pertambangan emas ilegal. Tempat dia mencari logam mulia teramat jauh ke mana-mana. Dia bersama temannya ditempatkan di bagian penggalian, di perut bumi yang lumayan dalam. Upah yang diberikan setiap kali dia melakukan pemboman tidak seberapa. Namun sedikit demi sedikit, hasil tersebut dia kumpulkan bersama-sama untuk membeli sebuah lubang. Para pekerja menyebutnya Goa Macan, di sela kaki Gunung Dara di tempat mereka bekerja. Lubang tersebut telah ditinggalkan oleh yang punya. Menurut mereka, meski kandungan emasnya masih melimpah, goa macan sering menelan korban.
Ada beberapa peraturan yang telah disepakati bersama oleh para para pekerja. Setiap pemilik lubang, harus menyetorkan 2:10 hasil mereka kepada pemilik daerah tambang atau biasa disebut jawara. Sistem kepemilikan di pertambangan emas ilegal tersebut memang seperti sebuah hirearki; pemilik daerah tambang atau jawara membawahi para pemilik lubang, pemilik lubang membawahi para pekerja yaitu penggali dan kuli angkut. Transportasi dari kaki gunung ke tempat pengepul dikontrol oleh jawara yang dibantu oleh beberapa aparat nakal.
Kecurangan maupun saling menghianati kerap terjadi. Salah satunya di goa macan milik Pak Jaja dkk. Ketika itu, emas yang dihasilkan oleh mereka sangat banyak. Para kuli bisa mengangkut 20 karung setiap hari. Para pemilik lubang lain tidak iri, karena hal tersebut wajar terjadi jika mereka mau terus menerus menggali. Jawara pun menganggap biasa, namun orang-orang yang dekat dengannya menaruh harapan busuk terhadap mereka.
Pada suatu malam di akhir bulan ramadhan, beberapa orang dengan membawa senjata api masuk ke dalam goa macan. Pak Jaja sedang beristirahat di sudut goa yang sengaja dia lubangi sendiri. Beberapa pekerja yang sedang menghitung hasil emas yang didapat hari itu, sedikit kaget dengan kedatangan mereka. Tidak biasanya orang-orang bersenjata masuk ke sana malam hari. Perbincangan pun terjadi. Semakin lama, nada suara mereka semakin meninggi. Baku hantam tak terelakkan lagi. Salah seorang pekerja memukul kepala anggota aparat dengan sekop hingga terkapar hampir mati. Tidak terima, beberapa orang dari mereka mengeluarkan senjata api. Mereka menembaki para pekerja tambang kecuali dua orang kuli. Mayat-mayat bergelimpangan disana sini. Empat karung emas mereka bawa pergi. Dan Pak Jaja melihatnya dengan jelas bagaimana peristiwa itu terjadi.
***
Utee pergi ke Pasar Minggu. Bersama ibunya, Ia membeli baju, sendal serta sepatu. Besok Ia akan pergi ke kota ikut bersama sang paman. Sebenarnya, ajakan itu datang empat hari pasca lebaran. Namun Ia menolak karena masih ragu untuk meninggalkan kampung halaman. Setelah dipikir-pikir secara matang, Ia pun memutuskan. Ibunya merelakan. Hari senin adalah hari keberangkatan.
“Kamu hati-hati ya, di kota. Jaga diri baik-baik” ibunya berpesan. Setetes air mata keluar tanda kesedihan. “Iya Mak, Utee akan selalu ingat nasehat-nasehat Emak. Tenang, ada paman”. Kemudian mereka berpelukan.
Di kota, Utee tinggal bersama pamannya membantu beberapa pekerjaan rumah. Tiap pagi, Ia menjalankan rutinitas barunya dengan dedikasi tinggi; mencuci, menyapu, mengepel lantai, serta memasak. Pamannya mempunyai seorang anak, hasil dari pernikahannya dengan sang istri yang telah tiga tahun pergi. Bukan maksud untuk menodai kesucian sebuah ikatan, namun pamannya mempunyai alasan kenapa istrinya diceraikan. Ia seorang publik pigure. Seorang artis berparas anggun nan menawan. Pamannya masih menyayangi tapi tidak bisa mengimbangi. Gaya hidup glamor menjadi beban, di tengah-tengah usaha yang pas-pasan. Toko pakaian adalah usaha yang sedang dirintis dan sedang dikembangkan. Sebelum menikah, pamannya merupakan seorang juragan kulit. Seiring populasi domba semakin sedikit, maka dia pun membuka usaha baru meski harus menelanan pil pahit. Disamping itu, kini pamannya sedang melakukan pendekatan, tentunya dengan seorang perempuan. Dan bagi Utee, hal tersebut sangat melegakan.
Toko pakaian pamannya selalu ramai oleh pembeli, setiap sore sampai malam saban hari. Maklum, orang-orang di kota tersebut termasuk dalam kategori masyarakat shock culture. Untungnya toko sang paman selalu up to date dalam hal model pakaian. Setiap sore, Utee selalu membawa anak pamannya jalan-jalan atau pergi ke toko untuk sekedar membantu pekerjaan. Tetapi sang paman tetap saja kewalahan.
Seiring membludaknya orderan, pamannya berinisiatif untuk mencari seorang karyawan. Dia membutuhkan sopir untuk mengantarkan barang-barang pesanan. Karena selain berjualan di toko, dia pun menjual pakaiannya secara online. Memang barang-barangnya bisa dia kirim lewat paket. Tetapi, agar tokonya tersebut menunjukkan sisi manusiawi yaitu adanya interaksi secara langsung, dia pun rela untuk mengirimkan barang-barangnya dengan perantara si karyawan. Pernah suatu ketika ada pesanan skala besar dari luar kota, dia dengan sengaja menutup sementara tokonya dan pergi mengirim dan menemuinya. Pemesan itu berasal dari Magelang. Seorang perempuan, dan dari sanalah dia memulai perkenalan serta pendekatan.
Karyawan baru toko sang paman merupakan seorang pemuda yang biasa dipanggil Okod. Dia hanya mampu lulus hingga SMA. Utee tidak berkeberatan dengan keberadaannya tinggal satu rumah dengan dia. Tapi pamannya khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Tabiat buruk yang dimilikinya menjadi alasan kuat kenapa pamannya mencarikan sebuah kontrakan. Seminggu dua minggu hubungan karyawan dan Utee terlihat aman. Namun lama kelamaan hampir lima bulan, keduanya melakukan pekerjaan diluar dugaan. Pamannya tidak menaruh kecurigaan. Sampai pada suatu malam menjelang pagi, sang paman mendapati Utee pulang dengan jalan sempoyongan. Dia tidak marah, dia biarkan Utee beristirahat. Setelah bangun, barulah sang paman mengintrogasi.
Pertanyaan bermunculan dari mulut sang paman yang sesekali menyeruput kopi. Utee hanya diam menyesali. Kemudian dia menceritakan pengalamannya selama lima bulan. Pamannya tercengang. Utee yang begitu polos, ternyata terbawa arus pergaulan. Si Okod mengajak Utee untuk bekerja di sebuah karaoke, menjadi seorang Pemandu Lagu. Minum minuman keras sudah barang biasa. Pemakaian obat serta perbuatan asusila, meskipun dibayar berjuta-juta, Utee dengan tegas menghindarinya. Sempat diajak bekerja sebagai pramuria, dia pun menolaknya. Dari awal, tujuannya pergi ke kota bukan untuk itu semua, tapi untuk mengejar impian dan membahagiakan orang tua di desa.
Pamannya bingung. Karyawannya itu masih dibutuhkan, sedangkan Utee masuk dalam kubangan. Si kecil perlu kasih sayang. Maka, dia pun mengambil keputusan; Si Okod tetap menjadi sopir dengan upah setengah kerja, Utee dicarikan pekerjaan baru di pinggiran kota, dan dia segera menikahi perempuan Magelang yang didekatinya. Dia berjanji, jika kejadian seperti itu terulang lagi, maka jangan salahkan jika dia menaruh mereka ke panti rehabilitasi.
***
Utee memasukkan lamaran kerja ke sebuah pusat perbelanjaan yang belum dibuka. Toko Waralaba itu membutuhkan karyawan perempuan sebagai kasir. Ia sudah terbiasa. Dulu ia sering membantu pamannya.
Di hari pembukaan, pusat perbelanjaan tersebut didemo besar-besaran. Utee duduk di dalam pelataran gedung mendengarkan sambutan-sambutan dari direktur utama maupun dari jajaran pemerintahan. Suasana di luar memanas dan terdengar suara tembakan. Utee bersama karyawan yang lainnya berhamburan. Ia lari ke belakang gedung sendirian. Sore menjelang malam, ia dihampiri oleh seorang pemuda. Sembari pulang, mereka saling bercerita. Kemudian makan berdua hingga waktu memisahkan mereka.
Telah sebulan Utee bekerja. Jeda libur ada di hari Selasa. Hingga tiba-tiba datang kabar tentang penutupan Toko Waralaba dengan paksa. Ia dan yang lainnya mendapatkan imbasnya. PHK.
Utee bingung mau kerja apa lagi. Ia curhat pada pamannya. Tidak ada solusi selain motivasi. Teman senasibnya di pusat perbelanjaan mengajaknya berdagang ikan atau sayuran. Utee menolaknya dengan gelengan dibarengi senyuman. Kemudian temannya menunjukkan selebaran dan mengatakan: “Utee, kenapa nggak ikut audisi aja? Ini lihat, baca. Dicari perempuan duta kota”. Pandangannya menatap selebaran, muka teman, dan langit biru sedikit awan. “Kamu kan cantik, punya daya tarik. Tinggi lumayan, soal bentuk tubuh? Jangan ditanyakan” temannya menambahkan.
Seminggu sebelum seleksi, Utee sangat rajin merawat tubuh mempercantik diri. Pamannya menyokong dana untuk biaya kosmetik berharga tinggi. Hari Sabtu adalah hari audisi. No 57 adalah nomor Utee mengantri. Padahal Ia datang sedari pagi. Menjelang siang Ia lapar karena tadi hanya makan sepotong roti. Dibukanya bungkusan nasi. Belum sempat menghabisi, Ia dipanggil oleh Dewan Juri. Mereka adalah pakar-pakar di bidang kecantikan dan ahli psikologi. Utee memasuki ruangan menghampiri. Berjalan seperti alunan melodi, Utee tampak cerminan seorang dewi. Sesama juri saling berbisik kanan kiri. Salah seorang dari mereka menyuruh Utee untuk berhenti sejenak dengan memandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian Utee dipersilahkan duduk di atas kursi.
Pertanyaan pun muncul dari Dewan Juri silih berganti. Setelah selesai, mereka berdiskusi. Utee melihatnya dengan gusar hati. Hasilnya adalah sebuah diskualifikasi. Utee tertunduk lemas dan langsung berdiri kemudian pergi. Menguaplah semua mimpi.
Keesokan harinya, Utee pulang ke desa ke kampungnya yang indah. Ia berpamitan pada pamannya dan berkata bahwa Ia sudah tidak betah. Diantarkannya ke terminal dengan mobil berwana merah. Dalam perjalanan, Ia terus memikirkan keputusan Dewan Juri yang menurutnya terbilang parah. Faktor kenapa Utee tidak lolos seleksi adalah: bahwa Ia bukan putri asli daerah. Selain itu, Ia dianggap berpengetahuan rendah. Sedangkan nama asli Utee ialah Kokom Jubaidah.
Ya sudahlah....
0 notes
Text
BUKAN PENULIS KAWAKAN
Ada sebuah ungkapan yang berbunyi: jika manusia membuat sejarah, itu karena manusia sendiri tidak dibuat oleh sejarah. Kata-kata tersebut keluar dari hasil buah pemikiran seorang eksistensialis yang bernama Jean Paul Sartre, yang dikutip oleh Ucing alias Usep Cuningham, yang disampaikan kepada kawan sekaligus lawan bicaranya.
***
Sore itu, saya mendapatkan tawaran menjadi seorang partner bisnis skala kecil-kecilan. Ucing adalah orangnya. Di kampus, dia menjelaskan kepada saya bagaimana dia, dalam lima bulan terakhir, cukup sukses terkait usaha barunya. Mekanisme dalam bisnis tersebut terbilang mudah. Hanya dengan mencari beberapa partner lain yang baru, kita akan mendapatkan income lebih atau pemasukan tambahan. Mula-mula saya tertarik dengan bisnis tersebut. Tapi seiring penjelasan Ucing yang terlalu menggebu-gebu, minat saya pun mulai meredup. Mimpi Ucing terlalu tinggi. Saya menyebutnya bukan mimpi, tetapi obsesi.
Kami pun pulang ke kosan masing-masing. Sebelum berpamitan, Ucing mengajak saya untuk minum kopi malam nanti bersama teman lamanya. Saya pun meng-iya-kan, karena ngopi sudah menjadi tradisi kami di perantauan. Sekedar mengisi kekosongan di sela-sela padatnya kegiatan, yang dibumbui dengan diskusi ringan, cerita-cerita kehidupan, atau curhat mengenai perasaan.
Malam itu, saya dan Ucing pergi ke sebuah kafe. Jika dilihat dari bangunannya, kafe tersebut terbilang setengah elit. Maksudnya, hanya dikunjungi oleh orang-orang level menengah ke atas. Nama kafe tersebut adalah Particular Coffee dengan slogannya Now or Never, yang berada di samping jalan raya serta di samping rel kereta. Sebenarnya saya merasa canggung dengan suasana kafe tersebut. Maklum, kafe yang selalu saya kunjungi bukanlah kafe yang berpajak bangunan, tapi kafe layaknya warung kopi biasa. Tempat golongan menengah ke bawah berada.
Setelah motor terparkir, kami pun memasuki kafe tersebut. Ucing melihat sekeliling seisi ruangan. Saya berusaha menyesuaikan. Ucing melambaikan tangan, dan temannya itu balik membalas. Kami pun menghampiri. Ucing menjabat tangannya dengan erat kemudian berpelukan ala lelaki jantan. Saya juga bersalaman tapi tidak ikut-ikutan. Dia memperkenalkan diri. Namanya Septian Pribadi Budi Utama, dan Ucing memanggilnya SPBU.
Ucing dan temannya itu saling tanya kabar. Sudah hampir lima tahun, terhitung selepas SMA mereka tidak pernah bertemu. Anggapan saya, dulunya mereka pasti sangat akrab. Itu terlihat di raut wajah mereka yang berseri-seri. Saya hanya bisa diam dan sesekali mamandang ke arah perempuan yang duduk dalam dekapan. SPBU datang dengan kekasihnya. Dia cantik namun kurang manis. Matanya teduh dengan sebuah lesung pipi yang mau tidak mau pasti nampak jika dia tersenyum. Merasa bosan, perempuan itu hanya menggeser-geserkan menu smartphone-nya. Saya tahu dia dilanda rasa tidak nyaman. Dengan sedikit manja ala kucing anggora, dia meminta SPBU mengantar pulang. SPBU pun pamit kepada kami. Sebentar katanya. Dia pun pergi diikuti sang kekasih hati.
Dari Ucing, saya mengetahui pacar SPBU. Perempuan berambut panjang itu berasal dari daerah Cawas, Kabupaten Klaten. Seorang mahasiswi jurusan farmasi. Nama lengkapnya Citra Sri Dewi Rahayu. Ucing maupun SPBU memanggil dia Ciu. Saya cukup memanggilnya Cau.
***
Setengah jam saya dan Ucing menunggu SPBU. Rokok tinggal beberapa batang. Sayang jika inti obrolan belum pada puncaknya, sedangkan “si teman ngopi” telah habis. Ucing mengeluarkan handphone-nya, mengetik pesan, lalu mengirimnya kepada SPBU. Ucing berkata kepada saya, jika bosan, di samping kafe biasanya ada pertunjukan. Saya pun melangkahkan kaki ke sisi lain kafe tersebut. Masih satu bangunan, tempat itu merupakan ruangan yang cukup luas. Beberapa meja bundar berjajar rapi di samping tembok. Pencahayaannya tidak terlalu terang. Remang.
Dari lorong masuk, saya melihat ke dalam. Muda-mudi sedang asyik berduaan. Ada pula yang duduk semeja bertiga. Satu laki-laki dan dua wanita. Kemudian pandangan saya tertuju kepada sesosok perempuan berkurudung abu-abu yang sedang bernyanyi melantunkan lagu berjudul “ jet”. Suaranya tidak asing lagi. Saya pun bertanya kepada pelayan kafe. Maklum, meskipun mata saya minus, tapi soal pendengaran masih lumayan bagus. Pelayan itu mengatakan bahwa yang sedang perform itu adalah band indie dari Kota Kembang. The White Crater.
Seolah tidak percaya antara nyata dan mimpi, saya pun menampar pipi. Si pelayan hanya tertawa dengan menunjukkan gigi. Saya langsung pergi. Kembali ke tempat ngopi. Ternyata SPBU sudah kembali. Saya langsung duduk dengan mereka dan ikut ngobrol lagi.
***
Pertemuan dengan SPBU pada malam itu, bagi saya memberikan banyak makna. Dia bercerita tentang dirinya dan tentang kehidupannya. Kepribadian yang dimilikinya menurut saya sangat unik. Kuliah di salah satu perguruan elite swasta di daerah Yogyakarta, tidak membuatnya susah bergaul dengan siapa saja yang ditemuinya. Orangnya pemalu dan jika diajak bicara, dia selalu tersenyum. Gaya bicaranya santai tapi sekilas seperti terburu-buru. Salah satu hobinya photograpy dan sangat tertarik dengan dunia seni khususnya musik.
Ada suatu kejadian yang membuat saya terkesan pada SPBU, yaitu ketika dia memesan air minenal botol. “Mas, ada air mineral?” kata SPBU. “Ada, Kak” kata si pelayan yang di tangan kanannya memegang sebuah nampan. “Tapi kalo bisa jangan merek @#$%” kata SPBU lagi. “Kebetulan, disini merek itu gak ada, Kak” kata si pelayan kafe. “Ya udah, sip. Pesan satu. Sekalian sama bill-nya ya”.
Saya heran dan bertanya, kenapa SPBU tidak mau merek @#$%. Kemudian dia bercerita. “Kamu tahu penyanyi Campur Sari yang namanya hampir mendunia? Di desanya sedang terjadi krisis. Air sebentar lagi akan habis. Bukan karena musim kemarau, tapi karena sumber mata air milik warga dikuras. Sawah-sawah mengalami kekeringan. Penyebabnya adalah perusahan air mineral @#$% yang si penyanyi itu sendiri menjadi bintang iklannya. Ironis bukan?”. Saya menganggukan kepala. Dari cerita tersebut saya berasumsi bahwa SPBU memiliki rasa empati yang tinggi, khususnya bagi orang-orang bawah yang sedang tertindas.
Contoh lain ketika Ucing menawarkan rokok SPM (Sigaret Putih Mesin), SPBU menolaknya. Dia lebih baik tidak merokok dari pada harus menghisap penderitaan para buruh rokok yang terkena dampak mesinisasi. Sehari-hari SPBU hanya memakai rokok SKT (Sigaret Kretek Tanpa Mesin). Menurutnya itu lebih manusiawi. Bukan dibuat oleh mesin tapi diracik oleh tangan-tangan yang terampil berpengalaman tinggi. Saya sedikit menyela perkataannya. “Bukankah mesin-mesin pabrik rokok itu juga digerakkan oleh tangan manusia? Dan bukankah pabrik-pabrik itu, sahamnya sudah dikuasi oleh modal asing?”. SPBU berkata: “Beda. Itu lain lagi cara kita memandangannya”. Sebenarnya, dia sangat kukuh dengan pendiriannya. Kukuh dalam mempertahankan pemikiran yang sedang disukainya.
Iseng-iseng saya bertanya lagi tentang celana, kaos, serta sepatu yang dipakai olehnya. “Itukan produk luar semua. Apakah harus menggunakan cara pandang yang lain juga? Pandangan yang beda?”. Dia hanya tertawa dan berkata, “Sudahlah, ganti topik saja lahh”. Dan Ah, ternyata saya masih melihat sebuah paradoks dalam dirinya. Inkonsisten yang nyata, yang nampak di depan mata.
“Oh Iya. Ini ada beberapa tulisan. Aku sendiri yang menulisnya”. SPBU mengeluarkan beberapa lembar kertas dan memberikannya kepada Ucing. Saya minta satu.
“Tulisan-tulisan tentang apa ini, Bud?” tanya Ucing.
“Ada Esai, Cerpen, Puisi, Opini dan lain-lain, Cing”. SPBU menjelaskan sembari memberikan lembaran-lembaran itu kepada saya. “Coba dibaca satu dua artikel. Aku pengen beberapa masukan. Biasalah, masih tahap belajar menuju kesempurnaan, he-he-he”. Saya pun langsung membacanya secara acak, maksudnya tidak secara detail.
SPBU memberi tahu kepada kami bahwa tulisan-tulisannya tersebut ingin dia dipublikasikan dalam bentuk buku. Dia ingin Ucing menerbitkannya. Percetakan serta penerbit yang sedang dirintis oleh Ucing, memberikan peluang besar bagi SPBU dalam mewujudkan keinginannya. Meskipun minat baca tulis menurutnya terlambat panas, serta jurusan yang diambilnya merupakan teknik mesin bukan sastra atau bahasa, tapi perhatiannya terhadap berbagai buku dan karya-karya sastra sangatlah besar. Usahanya itu ingin dikenang oleh setiap orang. Dia ingin menciptakan sebuah sejarah. Setidaknya untuk dirinya sendiri.
Saya bertanya sebelum mengomentari. “Kenapa tiba-tiba muncul keinginan untuk menulis?”. SPBU berkata: bahwa dengan tulisan, sesuatu itu akan tetap hidup.
Tulisan-tulisan SPBU khusunya cerpen, menurut pendapat saya sangat abstrak, tidak berpola tapi cukup berkarakter. Abstrak karena basic dia bukanlah anak bahasa ataupun sastra. Terkadang dia menggunakan sudut pandang orang ketiga atau sudut pandang orang pertama. Berkarakter karena dalam cerpennya itu, dia selalu mengupayakan kalimat-kalimat bersajak. Nama-nama tokoh dibuatnya secara akronim. Ruang dan waktu ditempatkan dengan acak, agar pembaca bisa merangkainya sendiri secara kronologi. Selain itu, Tema tentang kehidupan juga banyak ditemukan. Baginya, kehidupan dalam cerpen-cerpennya itu merupakan perbenturan yang keras antara harapan, angan-angan, kehendak subjektif yang kuat, dengan realitas serta kekuatan eksternal objektif yang jauh lebih kuat.
Mengenai beberapa esainya, SPBU menitikberatkan pada masalah-masalah kekerasan struktural, krisis sosial yang dipadukan dengan pengalaman pribadi secara melodis. Analisis serta tafsirannya cukup lumayan. Opini yang dibangunnya sudah kuat. Adapun tentang puisi-puisinya, saya tidak banyak mengomentari.
***
SPBU sangat berterima kasih kepada kami. Kepada Ucing dia menaruh harapan perihal penerbitan. Dari saya, dia mendapat beberapa masukan. Dia tidak terlalu peduli dengan berbagai cibiran yang akan menghampiri. Tidak mengharapkan apresiasi. Menurutnya, lebih baik membuat tulisan tandingan, berkarya secara sehat dan meningkatkan kualitas, daripada berkomentar kesana-kemari tidak jelas.
Sebelum berpisah, saya bertanya untuk terakhir kali kepada SPBU. “Semua cerpen, puisi, serta berbagai tulisan tadi, sebenarnya dapat ide dari mana? Apakah benar, jika ingin memunculkan sebuah cerita, kita harus menderita?”
“Kata siapa, ha-ha-ha?” SPBU balik bertanya sambil sedikit tertawa. “Tapi ada benarnya juga sih, meskipun sedikit. Seorang teman dari Kedungreja pernah mengatakan demikian, dan itu, lihat!, ini semua tulisan mengenai penderitaan, bukan!?”
Ternyata, Karya-karya SPBU terinspirasi dari pengalaman hidup yang telah dia lalui, berbagai peristiwa yang dibedakannya antara fakta dan fiksi, serta yang terpenting menurutnya adalah pengoptimalan daya imajinasi. Saya pun sadar, saya pun memahami: bakat menulis yang menjadi potensi diri serta lambat laun menjadi hobi, bukan hanya untuk sekedar dikicaukan di Twtr atau dituliskan di status Fb. Namun, tumpahkan dan wujudkan dalam berbagai bentuk karya sendiri.
Man is nothing else but that which he makes of himself – J.P Sartre
2 notes
·
View notes
Text
Setelah Hancurnya Jembatan
Bandung Utara di Selatan Bosscha, obrolan tentang kehidupan menguap menjadi cerita. Raut wajah seorang arsitek menampakkan penyesalan. Jembatan yang pernah dia dirikan, telah hancur berantakan. Penyebabnya bukan banjir bandang atau pergeseran lempengan bumi, tapi karena memang jembatan itu sudah tidak diperlukan lagi. Dua penguasa, yang mengambil kebijakan ini semua. “Jembatan itu alat penghubung. Sebuah bangunan, fondasinya harus kuat menahan beban. Tahan goncangan!” “Percuma design-nya bagus, kalau bawahnya mudah goyah. Hancurkan!!!” Hampir setahun setelah kejadian, hubungan diantara dua pemangku kekuasaan tidak berjalan. Sang arsitek heran. Hanya gara-gara ambruk, interaksi antar keduanya memburuk. Padahal menurut berita, sebelum kejadian, dua penguasa itu sudah seperti saudara. Dalam lubuk hati sang arsitek ada keinginan untuk membangun kembali, dengan tetap menjaga ikatan tali silaturahmi. Bukan jembatan yang pernah mereka harapkan serta impikan. Namun jembatan kali ini adalah jembatan persaudaraan berlandaskan keagamaan. Manusia sebagai perencana, Tuhan-lah arsitek sebenarnya... Ujb - sepuluh, empat, tujuhbelas
0 notes
Quote
Percuma punya paras jelita, kalau ngulek aja nggak bisa....
Dadna Darhusen
0 notes
Text
RAUNGAN ULAR BESI
Selepas tengah malam, di dalam kamar berukuran pas-pasan bagi bujangan, seorang kawan menawarkan rokok herbal self-made. Kopi hitam yang dibuat satu jam setengah kurang dua menit yang lalu, dalam gelas bening berkuping, menampakkan garis radikal antara isi dan kosong. Print kertas beberapa naskah syair Charles Baudelaire masih dalam genggaman tangan, hingga ruang keberadaan melebar menyempit menuju kegelapan. *** Rahma & Rahmi merupakan dua perempuan yang dilahirkan ke dunia fana ini hanya selihih dua menit. Keluar dari rahim yang sama, keduanya mirip namun tidak identik. Suara emas sang Ayah turun ke dalam pita suara Rahma yang membuatnya hobi bernyanyi. Sedangkan Rahmi, bakat menggambar adalah anugrah yang dimiliki. Tumbuh dewasa adalah kenyataan bagi mereka berdua yang tidak bisa ditolak. Ketertarikan terhadap lawan jenis pernah mereka rasakan. Treck Record mereka dalam hal percintaan, tidak pernah ada gesekan ataupun persaingan, karena mereka memang tidak pernah jatuh hati pada pria yang sama. Tidak ada konflik. Mereka rukun dan damai layaknya negara tanpa kegaduhan politik. Tanpa harus berkompromi pada waktu, akhirnya mereka berpisah. Rahma memilih jalan karir sedangkan Rahmi menempuh hidup baru dengan menikah. “Emang enggak apa-apa Ami duluin, Mbak?” Tanya si adik pada kakaknya. Rahma hanya tersenyum tak menjawab. Dirinya terdampar dalam kegalauan ketika orang tuanya menawarkan dua pilihan, dua kemungkinan. Antara melanjutkan studi magister atau mengajar di sekolah milik keluarga. Dengan kecerdikannya, Rahma memilih untuk fokus merajut karir bernyanyi. Mempunyai suara diatas rata-rata, Rahma selalu mengolah teknik vokalnya. Aliran musik yang digandrunginya bergenre Pop dan Jazz. Dengan potensi yang dimilikinya tersebut, dia bersama kawan-kawannya yang pernah satu kampus, membentuk sebuah band bernama The White Crater. *** Februari di tahun itu, suasana pemberitaan dalam negeri sedang tidak menentu. Terasa lebih panas ketimbang dingin. Setiap hari, masyarakat disuguhkan berbagai peristiwa oleh media; persidangan kopi sianida, kasus penistaan agama, aksi damai dimana-mana sampai berita tentang wanita menjambak-jambak polisi yang terekam hape kamera. Namun malam ini, suasana terasa dingin. Hujan yang turun dari langit gelap sangat lebat. Di tengah-tengah sebuah pertunjukan yang sedang berlangsung di dalam gedung, seorang pria duduk sendiri di kursi paling belakang. Takjub dengan penampilan yang dibawakan oleh seorang perempuan yang dia sendiri hampir tidak mengenalinya. “Bang, masih di Jogja? Nanti malam bisa datang enggak ke pameran buku di JEC? Ada pertunjukan musiknya juga, Aku mau tampil”. Melalui aplikasi chatting, begitulah kira-kira ajakan Rahma padanya. Jogja memang lekat dengan buku. Label kota pelajar tidak salah disematkan pada daerah istimewa tersebut. Acara-acara bertemakan perbukuan terlalu sering diadakan, setidaknya sebulan dua kali di tempat-tempat berbeda. Bedah buku, launching buku, ataupun pameran buku. Bagi para mahasisiwa si kutu buku, berkunjung ke tempat-tempat tersebut layaknya seorang pangeran yang ngebet berburu rusa berbulu abu-abu. *** Riuh tepuk tangan dari penonton seakan mengalahkan suara derasnya air yang jatuh dari langit. Pertunjukan telah usai, satu persatu yang hadir beranjak pulang. Namun tidak bagi pria yang duduk sendirian dibelakang. Dia sedikit gelisah, apakah wanita yang mengundangnya tersebut mengetahui kehadirannya?. Sejurus kemudian, dia langsung mengeluarkan handphone lalu mengirim pesan kepada Rahma: "Selamat ya,, barusan perform-nya bagus (:" Cukup beralasan kenapa pria tersebut memujinya. Disamping agar perempuan tersebut senang, lagu yang dibawakannya pun sangat pas dengan suara yang dimilikinya. Malam itu Rahma membawakan lagu yang berjudul My Funny Valentine dari Paola Casub. Musik berirama santai yang dipadukan dengan suara tinggi sesekali rendah, membuat siapa pun yang mendengar suara dan melihat penampilannya akan langsung terpesona. "Abang liat ya? Sekarang posisi dimana Bang?". Sebuah pesan muncul di layar handphone. "Iya nonton kok, duduk paling belakang". Pria tersebut langsung membalas, tapi tidak ada pesan yang masuk lagi setelah itu. “Kirain gak dateng, sendirian aja?”. Dengan tersenyum malu, Rahma menyapa dan menghampiri pria tersebut. “Iya sendirian”. Si Pria menjawab dan membalas senyumannya sambil meletakkan tangan kanannya di atas sandaran kursi yang berada di sebelahnya. Sebuah kode agar Rahma duduk dan ngobrol lebih lama dengannya. Namun semua itu diluar yang diinginkan. Rahma tetap memegang tangan sahabatnya sembari memperkenalkan. “Ini temen Rahma. Kenalin namanya Nia, soulmate dari dulu. Iya gak?”. Rahma menoleh ke temannya tersebut dan Nia langsung mengangguk. *** Cuaca sepanjang tahun kemarin hingga awal tahun ini seperti lukisan surealis, abstrak tak berpola yang hanya mampu ditafsirkan oleh sebagian manusia yang memahaminya. Pagi cerah, siang panas, sore mendung, dan malam hujan. Atau sebaliknya. Pagi hujan, siang mendung, sore mendadak cerah, malam tanpa hujan. Dari atap kosan, terlihat rembulan malu-malu kucing di balik awan. Pada siang hari yang terik di luar dan sangat gerah di dalam kamar, salah seorang mahasiswa magister studi perdamaian sedang asyik membaca buku Purgatorio. Salah satu trilogi Komedi Ketuhanan karya Dante Alighieri. Entah ada angin apa, akhir-akhir ini dia begitu khusuk membaca puisi wiracerita tersebut. Ada kesamaan antara apa yang diceritakan buku dan apa yang dialami oleh Anu. Anugrah Nugraha. Pagi tadi, setelah ngopi dan makan sepotong roti, Anu menerima sebuah pesan dari orang yang pernah dia kenali. Isi pesan tersebut adalah sebuah ajakan untuk hadir dalam pertunjukan musik. Anu sempat terkejut sedikit. Menurutnya ini tidak masuk akal. Hampir dua tahun keduanya hilang kontak tidak saling menghubungi. Sempat dua kali bertemu dan keduanya “hampir” dekat, namun wanita pengirim pesan tersebut tidak pernah memberi labuhan bagi bahtera Anu. Layaknya perjalanan imajiner Dante yang dipandu oleh Virgil melewati Inferno dan Purgatorio, serta dilanjutkan oleh Beatrice melewati Paradiso, keadaan yang sedang dialaminya pun hampir sama. Meskipun hal yang mengganjal pikirannya tersebut sempat dilupakan, memori masa lalu selalu muncul ke permukaan. Dan Rahma, menurut Anu seperti Beatrice yang menuntun Dante menuju Empyrean. Singgasana Tuhan. Tapi bagi Anu, bukan singgasana Tuhan yang menjadi tujuan, melainkan kursi pelaminan yang diharapkan. *** “Meskipun membawakan satu lagu, penampilan Rahma tadi sungguh luar biasa”. Anu membuka percakapan. “Makasih Bang” Sahut Rahma simple dibarengi dengan senyum malu. “Mmm., tadi judul lagunya apa, Ma?” “Judulnya My Funny Valentine Bang. Gimana, lagunya enak gak?” “Enak, tapi ada tapinya. Heuheu” “Apa Bang?” Dijelaskannya oleh Anu, kenapa Rahma kurang cocok menyanyikan lagu beraliran jazz tersebut. Bukan tidak enak didengar, namun faktor suasana lah yang menjadikannya kurang pas untuk dibawakan di acara pameran buku. “Iya Bang, tadinya mau bawain lagu yang bergenre Blues, Cuman belum ada persiapan”. Sesal Rahma sambil menundukan kepala ke arah bawah. “Santai aja Ma, Cuma pendapat aja kok” Anu menyenggol pundak Rahma dengan pundaknya sendiri. Di pinggir pantai diatas bangku kayu, mereka berdua duduk menghadap laut gelap setelah tadi siang –mereka anggap- pasti biru. Entah bagaimana caranya, setelah pertemuan di acara yang berlangsung tadi, keduanya sekarang berada di tempat yang bagi Anu tidak asing lagi. Dua kali pernah dia kunjungi. Hamparan pasir masih terasa basah. Langit disinari rembulan yang sesekali ditutupi awan hitam. Pohon kelapa tinggi-tinggi. Berjajar warung berlampu remang tanpa pembeli. Sepi dan hanya suara gulungan ombak yang terdengar melawan sunyi. Ketika Anu melihat ke arah belakang, dia merasa aneh dan bertanya-tanya dalam diri. “Kenapa di tempat seperti ini ada rel kereta api?” Untuk mengusir keanehan yang dirasakan, Anu melanjutkan percakapan yang sempat terhenti. Ngobrol lagi ke sana ke mari. Sesekali ketawa ketiwi. Rahma dan Anu mendadak akrab kembali, tidak menghiraukan masalah yang dulu pernah mereka alami. Gelombang jiwa, pantai asmara Tempat berlabuh, hatimu kasih... Sepenggal lirik lagu Nike Ardilla keluar dari mulut Rahma dengan suaranya yang khas. Jeda iklan di tengah percakapan yang terhenti sesaat. Tiba-tiba, terpikir oleh Anu untuk mendeklamasikan sebait puisi. Dewi asmara duduk diatas tengkorak Kemanusiaan Diatas takhta seorang tak beriman Tertawa tak tahu malu Meniup gelembung bulat dengan riang Terbang ke udara Seolah-olah akan kembali ke bumi Dari ujung langit “Judulnya L’Amour et le Crâne karya Charles Baudelaire kan Bang?”. Potong Rahma dengan senyum tanpa dosa. Sekonyong-konyong Anu pun heran. Mana mungkin Rahma tahu bahwa itu puisi Baudelaire. Padahal sepengetahuan Anu, Rahma tidak suka puisi. Dalam hidupnya yang ada hanyalah nyanyi, nyanyi dan nyanyi. "Kalau menurut Aku sih, endingnya kurang bagus Bang. Sereeem”. Apakah Rahma bermaksud ingin membalas pendapat Anu tentang penampilannya bernyanyi di acara tadi?. Anu pun hanya tersenyum sambil mengacungkan duo jempol ke arah Rahma. Dengan buru-buru, pikiran negatif tersebut dia singkirkan. Moment seperti ini harus berakhir dengan kebahagiaan. Di ufuk timur, cahaya kemerahan mulai tampak. Fajar akan segera menyongsong. Keresahan dalam hati Anu belum sempat dia tumpahkan melalui kata-kata. “Jalan yuk, dari tadi disini terus”. Anu mengambil inisiatif cepat dengan sebuah ajakan sambil bangkit dari tempat duduknya. Rahma mengikuti langkah Anu dari belakang yang tertinggal dua langkah. Anu menghentikan langkahnya sejenak. Dan kini mereka berjalan bersampingan. “Kapan Rahma mau pulang ke Bandung?” Tanya Anu seakan masih ingin berlama-lama. “Jam sembilan pagi Bang. Istirahat sehari, hari Senin mau langsung terbang. Ada acara di Singaparna” Jawab Rahma dengan lemah suara. Anu menghentikan langkah. Begitu juga Rahma. Dipandanginya wajah cantik nan jelita yang tersorot lampu alam semesta. Rahma balik menatap Anu sembari mengankat alisnya yang tipis dan bertanya. “Ada apa Bang? Kok berhenti?” Gugup, khawatir, resah, dan hasrat yang terpendam. Akhirnya Anu memberanikan diri mengutarakan keinginannya tanpa melihat konsekuensi yang ada di hadapan. “Meskipun Rahma udah punya pacar, boleh gak Abang peluk Rahma, walau hanya sekali?” *** Belum sempat menerima jawaban dari Rahma, tiba-tiba sebuah kereta api muncul dari arah Barat dengan sangat cepat. Klakson yang memekakan telinga, membuat sebuah kejutan yang tak terduga. Sontak, Rahma pun merangkul Anu dengan erat. Namun dunia mendadak buram, hasil hempasan angin kereta api berasap hitam. Samar-samar dari kejauhan, terdengar teriakan yang mengatakan: Nu.., bangun woy, udah pagi!!! *** Alunan melodi. Sisa kopi. Rokok herbal buatan sendiri. Lembaran-lembaran puisi. Imajinasi diri. Dan apakah episode mimpi bisa dilanjutkan lagi dengan tidur kembali? Ditulis di Jogja 14 Maret 2017. Direvisi di Ujungberung 8 April 2017.
0 notes
Text
GADIS REMBANG SENJA
Sebuah ketegangan telah terjadi di daerah pinggiran kota. Para warga berbondong-bondong melakukan unjuk rasa di depan bangunan yang sebentar lagi akan diresmikan. Mereka membawa spanduk berbagai tulisan yang berisi tentang protes, penolakan, maupun penuntutan keadilan. Semuanya terekam jelas dan masih lekat dalam ingatan seorang pemuda bernama Kaelani Murtado.
***
Kemod alias Kaelani Murtado sudah tiga tahun berada di kota. Rumahnya yang jauh nun di desa telah ditinggalkannya, demi penghidupan yang lebih baik. Bukan tanpa alasan kenapa Kemod pergi merantau. Tempat dilahirkannya memang jauh dari mana-mana. Sejauh mata memandang, hanya sawah dan sedikit perbukitan yang terlihat. Jika dibandingkan, jarak tempuh kantor daerah lebih jauh dari pada jarak ke laut. Meskipun masih satu pulau dengan pemerintahan negara, pesisir selatan belum mendapatkan perhatian dari para wakil rakyat. Daerah tersebut terbilang pelosok, namun masyarakat sangat taat aturan. Tidak pernah terlambat dalam membayar pajak bangunan maupun pajak kendaraan. Sebuah kebingungan bagi segelintir orang. Dan itu terasa jika melihat kondisi jalan tanpa perbaikan. Di kota di tempat kini dia berada, Kemod ikut bersama saudaranya yang telah lebih dulu hijrah dari desa. Ada harapan yang timbul dari benaknya. Dia ingin buka usaha seperti saudaranya. Menjadi pedagang kaki lima pun tak apa. Namun cita-citanya tersebut belum terlaksana. Dia masih bekerja di kios karena keterbatasan biaya. Pasar tradisional dimana kios saudaranya berada, sangat ramai setiap paginya. Maklum, pasar tersebut telah menampakkan kehidupannya mulai dari pukul dua malam. Para pedagang menggelar jualannya di atas bangku-bangku yang telah tertata. Sayuran, buah-buahan, daging ayam, daging sapi, ikan, beras, dan lain sebagainya. Sedangkan kios milik saudaranya, berjualan klontongan yang mulai buka pukul sembilan pagi setelah bangku-bangku telah diangkat oleh kuli dan suasana pasar semakin siang semakin sepi. Meskipun saudaranya tidak mengikuti arus utama, dalam artian tidak buka dari sebelum subuh, kios tersebut tetap ramai oleh pembeli yang sengaja datang ke pasar pagi atau sore hari.
***
Pagi itu sebelum berangkat ke kios, diseruputnya kopi hitam pekat oleh Kemod. Hembusan asap rokok bercampur dengan segarnya udara dan pancaran cahaya mentari, menjadikannya sebuah ritual tersendiri. Sesampainya di pasar, dibukanya papan-papan penutup kios. Berantakan. Barang-barang berserakan di lantai hitam yang tertutup oleh tumpahan-tumpahan kecil terigu, tepung kanji, gula, minyak kelapa, dan lumpur pasar yang terbawa oleh sendal. Rokok, susu kaleng, kecap botol, obat nyamuk, semuanya tidak pada tempatnya. Kopi dan sabun colek hampir semuanya telah dilubangi. Tidak heran lagi, pelakunya jelas dan pasti. Tikus semalaman telah melakukan agresi. “Dasar si monyong.... udah dikasih racun, tetap aja masih hidup. Coba bereskan barang-barang yang jadi korban, Mod. Itu sekalian disapu lantainya sebelum datang para pembeli” gerutu saudara Kemod. “Sabar Mang, tikus juga makhluk hidup. Butuh makan” Kemod menenangkan. “Kan sama Mamang udah dikasih mentimun” kilah saudaranya. “Tapi mentimunnya dikasih racun tikus kan, sama Mamang?” tanya Kemod. “Iya biar pada mati” saudaranya kesal nada tinggi. “Mang, tikus jaman sekarang udah pada pinter. Mereka tau mana yang harus dimakan dan mana yang harus ditinggalkan. Meskipun dikasih perangkap, tetap aja mereka hidup bebas berkeliaran” ujar Kemod. “Tikus itu hama, Kemod.... harus diberantas” “Sama seperti orang-orang yang korupsi?” Kemod bertanya lagi. “Udah cepet beresin barang-barangnya. Disapu yang bersih” saudaranya mengakhiri. Kemod pun melakukan apa yang diperintahkan oleh saudaranya dengan teliti, kemudian pergi dengan menjinjing karung ke tempat pengumpulan sampah. Sesampainya di kios, Kemod langsung melayani satu dua pembeli. Setelah lumayan sepi, saudaranya bercerita tentang suatu kejadian yang tidak tiap hari selalu terjadi.
***
Meskipun hanya mampu tamat SMA, pemikiran Kemod sangat kritis. Jika melihat suatu fenomena yang tidak sesuai dengannya, setidaknya dia akan sedikit gusar. Keterbatasan waktu yang terampas oleh kerjaannya di kios membungkusi miyak atau terigu, tidak membuat minat bacanya berkurang. Dia sempatkan curi-curi waktu. Setiap selasa sore selepas pekerjaan di pasar beres, dia pergi ke kawasan toko buku-buku bekas. Sekedar membuka-buka halaman daftar isi. Jika sesuai dengan hati, dia akan beli. Jika tidak, dia akan meletakkannya kembali. Buku-buku Kemod sangat berarti. Jika di pasar khususnya di kios saudaranya dia mengangkuti barang-barang pembeli, ada uang jajan yang selalu diberikan. Dengan uang tersebutlah Kemod membeli buku bekas. Bukan hanya buku yang selalu dibeli, majalah pun dia beli jika isinya sesuai dengan apa yang sedang dicari. Dan kebetulan, sore itu Kemod mencari bahan bacaan tentang permasalahan sosial. Sebuah fenomena yang hampir setiap hari dia lihat di pasar di tempat dia bekerja, di kota di tempat dia tinggal bersama saudaranya, di negara di tempat dia merasa bahwa bangsanya sedang terseret sebuah arus.
“Yang ini berapa harganya, Pak?” Kemod memegang sebuah majalah sambil ditunjukan kepada penjual buku. “Lima rebu, Den”. Tanpa pikir panjang dan tanpa penawaran, Kemod pun langsung mengeluarkan uang dari saku celananya. Setelah tidak ada lagi yang perlu dicari, pulang adalah langkah yang pasti.
***
“Mau Cerita apa, Mang?” Kemod bertanya setelah kios lengang. “Setelah beberapa tahun terakhir Mamang perhatikan, di samping pekerjaan, kamu makin ke sini makin banyak perubahan. Ada perkembangan.” Saudaranya menjelaskan. “Maksudnya gimana, Mang?” Kemod keheranan. “Eh Mod, tiap hari kalo pulang dari pasar suka lewat alun-alun gak?” “Iya”. “Suka liat orang-orang di depan kantor kecamatan gak, pake baju serba hitam, berdiri berjam-jam? Biasanya sih dari siang sampai sore pas waktu kita pulang”. “Gak ada ah Mang. Tiap hari?” “Hari Selasa doang, Mod” “Kalo hari selasa jarang lewat, Mang. Soalnya pasti ke toko buku dulu, terus jalan pulangnya muter dikit. Ada apa emang?” Kemod duduk siap mendengarkan. Saudaranya pun mulai bercerita. “Sudah hampir tiga tahun warga yang terkena dampak pembangunan pusat perbelanjaan atau grosir, tidak mendapatkan hak-haknya. Pihak grosir belum melunasi pembayaran tanah sawah yang dibeli dari para warga. Pembebasan tanah yang alot, membuat jajaran pemerintahan turun tangan menyelesaikan konflik tersebut. Warga dipaksa untuk melepaskan tanah mereka. Sebagian dari mereka setuju dengan syarat bahwa tanah harus berharga tinggi. Dengan modal yang besar dan potensi keuntungan yang akan didapatkan, pihak grosir dengan mudahnya membebaskan tanah. Para warga dan petani yang menolak tanahnya dijual, melakukan unjuk rasa menuntut keadilan. Proyek pembangunan diberhentikan namun perjuangan warga tetap berjalan. Mereka melakukan aksi berdiri di depan kecamatan. Hari ini akan dilaksanakan unjuk rasa besar-besaran. Bukan hanya dari warga sekitar perusahaan, tapi para pedagang pasar juga akan ikut bersama mereka. Bagaimana menurutmu Mod?”
***
Kemod duduk di atas kasurnya. Kamar yang disediakan oleh saudaranya berukuran dua kali dua meter persegi. Sempit memang. Namun Kemod masih bersyukur dan berterimakasih karena status dia berada di rumah saudaranya adalah menumpang. Dipegangnya majalah yang tadi sore dia beli. Sebuah majalah musik GALLERY 666E dengan sampul depan bergambar empat orang yang masing-masing berada dalam bingkai kotak, berlatar belakang wanita berambut panjang sedang tersenyum, dan dibawahnya tertera tulisan: AMMY WINEHOUSE SANG PRIMADONA (KEMATIANNYA MENAMBAH ANGGOTA CLUB 27 DI SORGA). Tajuk utama majalah musik dua tahun lalu tersebut fokus membahas kematian penyanyi asal Amerika yang meninggal dunia di usia relatif muda yaitu 27 tahun. Selain itu, dibahas pula daftar penyanyi atau artis yang takdir hidupnya seperti Ammy yang telah mendahuluinya. Seperti para legenda musik Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morrison dan Kurt Cobain. Tidak lupa Robert Johnson dan lain-lainnya juga. Kemod mulai membuka halaman perhalaman. Belum menarik perhatian. Dibukanya lagi daftar isi. Dia mencari kolom opini. Dia menemukan di halaman 107. Artikel tersebut berjudul PINK FLOYD DAN KECEMASAN KONDISI SOSIAL yang ditulis oleh seorang mahasiswa magister studi perdamaian di Yogyakarta. Isi tulisan dalam kolom opini yang sedang dibaca oleh Kemod kurang lebih berkaitan dengan sejarah berdirinya band rock asal Inggris tersebut. Selain itu, dipaparkan pula muatan filosofis dalam lyric-lyric lagu, keterpengaruhan ideologi para anggota band, serta analisis singkat penulis berkenaan dengan relevansinya terhadap kondisi sosial-ekonomi yang ada di Indonesia. Di akhir artikel tertulis: untuk lebih lanjut silahkan lihat dalam dunz57.tumblr.com Dicernanya tulisan tersebut baik-baik oleh Kemod. Ditarikya beberapa kesimpulan: Masyarakat sedang dieksploitasi berbentuk penindasan dan pemerasan oleh sistem ekonomi kapitalis . Produk-produk lokal lambat laun akan ditinggalkan oleh barang-barang bermerek global. Apa kabar pasar tradisional?. Sebuah kekhawatiran sosial.
***
Kemod dan saudaranya bergegas menutup kios. Buka setengah hari. Dari pasar, mereka langsung bergabung dengan teman-temanya yang telah berangkat terlebih dahulu ke alun-alun kecamatan. Sembari menunggu datangnya massa yang lebih banyak, salah seorang ketua ormas melakukan orasinya. Beberapa lembar kertas di tangan kanannya dan tangan kirinya dikepalkan diacung-acungkan ke langit. Bicaranya lantang. Sesekali berteriak diiringi tepuk tangan massa pengunjuk rasa. Polisi berjaga-jaga. Tentara dari Batalion Zenit Tempur Unit 57 dikerahkan juga. Matahari semakin tinggi. Massa yang terkumpul sudah banyak. Dari berbagai organisasi masyarakat. Sore hari, para pendemo bergerak menuju glosir pusat perbelanjaan yang beberapa jam lagi akan diresmikan oleh Pak Walikota dan dibuka untuk pertama kalinya. Jarak alun-alun kecamatan dengan pusat perbelanjaan kurang lebih sekitar tiga kilometer. Dengan kendaraan yang ada; motor, mobil bak terbuka, truck, serta beberapa angkot, pengunjuk rasa diangkut. Sesampainya di tempat tujuan, para pengunjuk rasa yang berjumlah seribu kurang beberapa puluh orang, ditempatkan di seberang jalan. Bendera-bendera dikibarkan; Merah dengan gambar didalamnya berwarna kuning, biru langit bergambar globe bumi, serta hitam bergambarkan A dalam lingkaran. Spanduk-spanduk dibentangkan. Tuntutan keadilan, mereka teriakan. “Kami menuntut ganti rugi, tanah kami dibeli, tapi dompet kami belum terisi” “Pusat Perbelanjaan ini produk globalisasi. Kapitalis merajalela di dalam negeri. Selamatkan generasi bangsa ini” “Jangan rampas hak-hak kami. Jangan rampas para pelanggan kami” “Segera tutup kembali grosir ini. Silahkan kalian angkat kaki. Barang-barangnya serahkan pada kami” “Batalkan peresmian. Batalkan pembukaan” Semua tuntutan, semua teriakan seolah tidak ada tanggapan. Para pengunjuk rasa kesal. Mereka memberanikan diri menyebrangi jalan mendekati pagar grosir yang dijaga ketat oleh aparat. Kemod dan saudaranya pun ikut mendekat. Sementara itu di pelataran gedung yang cukup luas dan bisa dijadikan parkiran, Pak Wali sedang berpidato di atas panggung kehormatan. Direktur utama beserta jajaran duduk paling depan. Para staf dan pegawai grosir duduk di kursi belakang yang telah disediakan. Mereka mendengarkan wejangan tanpa menghiraukan aksi besar-besaran di luar, yang sewaktu-waktu bisa melakukan terjangan.
Di tengah kerumun aksi, Kemod larut dalam orasi. Mukanya selalu melihat ke atas kepada orang yang sedang berargumentasi. Matanya memandang sinis ke dalam pelataran gedung sekali-kali. Tumbuh rasa benci. Ikut berteriak lagi. Dan kali ini pandangannya tertuju pada sesosok gadis pegawai grosir yang sedang duduk diatas kursi. Baku hantam terjadi. Massa mulai kesal tuntutannya tak dipenuhi. Aparat dengan tongkat memukuli mereka agar mundur dan tertib kembali. Massa maju lagi. Tembakan ke udara keluar dari pistol salah seorang polisi. Tak ayal, suasana di luar tak terkendali. Di dalam pelataran gedung, direktur utama dan pak wali menyuruh satpan untuk memanggil ketua aksi berdiskusi. Melakukan inisiasi.
Kemod keluar dari kerumunan, melangkahkan kaki ke sisi lain dari gedung grosir. Dia mencari gadis yang duduk tadi. Setelah lima belas menit tak membuahkan hasil, dia pun kembali ke tempat aksi. Saudaranya mengajaknya pulang. Unjuk rasa dibubarkan. Telah terjadi kesepakatan. Telah usai perjuangan. Namun dalam diri Kemod, belum ada kepuasan. Disamping masyarakat kalah oleh pemilik modal asing yang dekat dengan pemerintahan, dirinya pun kalah membendung perasaan. Rasa ingin tahu terhadap gadis menawan belum terwujudkan dalam bentuk perkenalan. “Mamang pulang duluan aja, ada urusan yang belum terselesaikan” Kemod mempersilahkan saudaranya. “Kamu ini gimana, kan demonya udahan” saudaranya berkata dengan raut wajah kelelahan. “Ya udah, gimana kamu aja” menambahkan. Kemod tidak pulang. Dia menunggu di seberang jalan duduk di samping pohon beringin yang rindang. Lewat pedagang minuman. Berdiri, berjalan, jajan dan duduk lagi dengan hati yang masih penasaran.
***
Selepas magrib, senja masih terlihat mempesona. Jalanan telah sepi, tidak seramai sore tadi. Sampah plastik, daun kering, dan botol minuman menghiasi jalanan. Sesekali mobil angkot atau mobil pribadi lewat. Beberapa orang keluar dari halaman parkiran gedung grosir. Ada yang bermotor dan ada juga yang berjalan kaki. Kemod memperhatikan mereka satu persatu. Dan akhirnya dia menemukan apa yang dinanti-nanti. Dalam dirinya masih berkecamuk antara hati dan ideologi. Dipikir-pikirnya lagi. Tidak ada kesempatan kedua yang akan menghampiri.
Gadis itu pulang sendiri. Setengah berlari, Kemod menyeberangi jalan mengikuti. Dari arah belakang Kemod mendekati. “Ehmm, Maaf mau tanya, boleh?” Kemod mengulurkan tangan bermaksud menyalami. “Nama saya Kaelani”. Dengan perasaan kaget bercampur was-was, gadis tersebut tidak berlari melainkan menghentikan langkah kaki. Dia Menatap wajah laki-laki yang memperkenalkan diri. Setelah dirasa semuanya akan aman terkendali, dia pun menyambut tangan Kemod dengan hati-hati. “Ohh iya. Boleh kok” Keduanya menyusuri trotoar jalan. Langit dengan sedikit warna jingga masih menyisakan keindahan. Angin malam mulai terasa dingin di badan. Namun suasana menjadi hangat karena obrolan. Mereka menuju alun-alun kecamatan. Makan.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Tak terasa sate yang dipesan telah habis mereka telan. Waktu terasa begitu sangat cepat dari awal pertemuan hingga perpisahaan. Meskipun masih ingin ngobrol-ngobol dengan dibumbui candaan, gadis tersebut harus lekas pulang khawatir dicari sang paman.
***
Kemod terbaring di atas kasurnya. Resah mendera jiwa. Malam itu hampir tidak ada suara. Yang terdengar hanya tik-tok jam mengarah pukul dua. Matanya masih terbuka. Yang terlihat hanyalah bentangan cakrawala dan wajah si gadis secantik permata. Kemod tidak tahu nama si dia. Memang tadi ngoborol kemana-mana, tapi lupa bertanya. Besok sore Kemod akan pergi ke luar kota. Tidak lagi tinggal bersama saudaranya. Kerja di warung makan Sunda, di Yogyakarta. Gadis tak bernama itu masih menghantuinya. Mau tidak mau, Kemod harus meninggalkannya. Dia sudah pesan tiket kereta, tidak mungkin bisa ditunda. Besok adalah hari selasa dan gadis itu tidak masuk kerja. Kemod tidak mempunyai no hapenya. Alamat rumah pamannya pun tak tahu dimana. Meminta bantuan pak camat atau walikota, akan sia-sia. Sebuah kesialan yang nyata. Pikiran dan hatinya meronta-ronta. Antara pindah ke Jogja dan kesempatan membangun rumah tangga. Memang usia Kemod baru lewat dua lima tambah tiga. Tapi dia tidak mau disebut pemuda stok lama oleh sesamanya. Kemod bangun dan mengambil sebuah pena. Ditulisnya di atas tembok di samping kaca. Sebuah pesan untuk si dia.
Keyakinanku tidak bisa meniadakan kesempatan, tapi kesempatanku bisa menjelaskan keyakinan. Keyakinanku tidak memperbolehkanku menunggu kesempatan dan kesempatan tidak memberiku keyakinan yang cukup. Kemudian aku membaca bahwa kehidupan pribadi adalah sebuah panggung, hanya saja aku memainkan banyak peran yang lebih kecil dan aku tetap memainkanya. Aku menderita, aku percaya, dan itu benar. Tapi di saat bersamaan aku tahu ada kemungkinan ketiga, seperti kanker atau kegilaan, tapi kanker dan kegilaan mengubah realita.
Untuk si Dia, Gadis asli SINAREJA (gradaSI warNA REmbang SEnja)
1 note
·
View note
Text
Bukan Di Luar Negeri
Hayu atuh ngopi. Di Cinunuk samping pombengsin sebelah kiri. Walau hanya sekali. Kita ngawangkong (lagi) kesana kemari. Hihihi... She said to me: I can't see. It's only fantasy... #suwi *goreng nasi, hujan ngerecek dari tadi, cerita beberapa halaman lagi, dan besok kudu ngantor sebelum pagi. Ujung Berung malam ini...
0 notes
Text
Tulislah Sebuah Tulisan Meskipun Akhirnya Jadi....
Ketika Nick berusaha menumpahkan seisi pikirannya, dokter memintanya untuk dituliskan, karena menulis memberikan kedamaian bagi Nick. “Itu tak membuat orang lain damai”, sanggah Nick kepada sang dokter. “aku tak pandai menulis”, lanjutnya. Tapi, apa kata dokter tersebut kepada Nick?. “(tulisanmu) tak perlu dibaca oleh siapa pun, kau bisa membakarnya”. Apa sebenarnya yang harus ditulis oleh Nick?. “Apa saja. Apa pun yang membuatmu tenang (damai). Kenangan… gagasan… sebuah tempat….”
Tulisan, nyanyian, lukisan, dan apa pun itu yang berbentuk karya, ternyata bisa memberikan efek kedamaian. Dari sebuah kenangan, terbit banyak karya tulisan. Dari sebuah gagasan, tercipta banyak lagu nyanyian. Dari sebuah tempat, terpampang banyak gambar lukisan.
Dan apakah dari sebuah karya ilmiah berbentuk tesis bisa memberikan kedamaian, bagi penulis atau bagi pembaca; di Jogja, Indonesia, bahkan Dunia? Ada dua macam ending dari tulisan ilmiah, yang biasanya menjadi sarat untuk lulus kuliah, skripsi maupun tesis, bahkan desertasi?. Pertama, Happy Ending, yaitu ketika karya ilmiah tersebut mendapatkan nilai pujian dari tim penguji, masuk jurnal, atau dipresentasikan pada seminar-seminar. Kedua, Sad Ending, yakni ketika karya ilmiah yang susah payah dalam penyusunannya, berakhir di tangan para pedagang yang dijadikan bungkus sayuran, gorengan, bahkan mendoan ):
0 notes
Text
Jembatan
Saya mengarang sebuah cerita…
Dulu, long time ago, ada dua kerajaan yang dipisahkan oleh sungai yang sangat dalam dan lebar. Kerajaan tersebut mempunyai karakter kekuasaan serta kebijakan yang sangat berbeda.
Kerajaan Atu mengendalikan pemerintahan dengan otoriter, tanpa kompromi, dan anti kritik. Rakyat dibuat sengsara oleh kebijakan raja yang banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat sang ratu yang tidak lain adalah istri dari pemimpin mereka. Sedangkan kerajaan Uwa, mengendalikan pemerintahan dengan cara-cara yang lebih manusiawi, perdagangan begitu pesat dengan banyaknya jaringan yang telah dirintis sejak 20 tahunan silam.
Singkat cerita –karena ini bukalah novel-, agar hubungan kedua kerajaan tersebut menjadi dekat; rakyat dengan rakyat, pejabat dengan pejabat, keluarga kerajaan dengan keluarga kerajaan, maka kerajaan Atu merencanakan pembangunan sebuah jembatan untuk mempersatukan dua wilayah yang terpisah. Mereka merencanakan sebuah proyeki masa depan.
Pertemuan dilakukan, kesepakan dilaksanakan, dan megaproyek jalinan keluarga kerajaan -dalam bentuk MoU rahasia- pun siap mereka jalankan. Dalam mengerjakan pembangunan, dua kerajaan tersebut memiliki konstruktor masing-masing. Memang masterplan dalam bentuk maket telah disepakati diawal pertemuan dua kepala kerajaan, namun ketidakcocokan, kesalahpahaman, komunikasi yang buruk, hingga life style kedua konstruktor yang diberi amanat tersebut, menjadi kendala tersendiri dalam pembangunan jembatan masa depan.
Konstruktor dari kerajaan Atu dan dia merupakan seorang perempuan terkenal, selalu mengeluh atas ketidakcocokan bahan-bahan bangunan; batu, kayu, pasir, semen, dll. Namun keluarga kerajaan selalu menolak keluhan tersebut dan selalu mengatakan kepada kontruktornya bahwa mau bagaimana pun, kamu harus sejalan dengan konstruktor dari kerajaan Uwa, karena kami –kerajaan Atu- yang menginginkan adanya jembatan. Demi masa depan. Sedangkan kontruktor dari kerajaan Uwa dan dia merupakan seorang laki-laki pemalu, terkadang menerima apapun yang diinginkan oleh konstruktor kerajaan Atu, asal komunikasi keduanya tanpa terhambat oleh sesuatu. Yang menjadi kendala kontruktor kerajaan Uwa adalah masalah tenaga kerja; rakyat yang tidak begitu banyak menjadikan kepala kerajaan khususnya konstruktor harus memutar otak. Namun keluarga kerajaan selalu memberi motivasi tinggi dan selalu bilang kepada konstruktornya bahwa dengan pembangunan jembatan ini, kerajaan kita tidak akan lagi dipandang sebelah mata, derajat kerajaan kita akan naik, maka dengan itu kerjakan dan jalankan. Demi masa depan.
Setelah 2 tahun lebih, pembangunan tetap dikerjakan, meskipun banyak permasalahan yang banyak berdatangan. Permasalahan selalu timbul di kedua konstruktor yang mengerjakan proyeksi masa depan.
Seiring dengan berjalannya waktu –dan biasanya sang waktu lebih kuasa dari apa yang direncanakan-, pembangunan jembatan pun diambang kegagalan. Entah angin apa yang membuat proyek tersebut berhenti secara tiba-tiba di tengah jalan. Dua kerajaan mengadakan pertemuan, dan kedua konstruktor pun diberi waktu berbicara untuk menjelaskan apa yang terjadi belakangan. Ada sebuah kongklusi, namun semuanya kabur seperti gula yang larut dalam adukan kopi. Permasalahan jelas, namun kesepahaman belum\tidak jelas.
Kerajaan Uwa beserta konstruktornya merasa kecewa, padahal banyak kerajaan lain mengajukan proposal pembangunan jembatan kepada konstruktor Uwa, dan itu ada meskipun tanpa sepengetahuan raja atau kalangan keluarga. Proposal-proposal yang diterima konstruktor Uwa dalam membangun jembatan dengan kerajaan lain harus dikorbankan demi kerajaan Atu, demi proyek masa depan, demi segelintir keuntungan, dan demi kehormatan di mata manusia yang masih hamba Tuhan.
Kini, tidak/belum ada jembatan lagi yang akan digarap oleh konstruktor Uwa. Konstruktor kerajaan lain yang menyerahkan proposalnya sepenuh hati sepenuh jiwa telah dan ada yang menjadi korban; sebuah rencana yang berhenti di tengah pertigaan, sebuah angan dalam proyeksi masa depan…
0 notes
Text
Antara Papringan dan Sawah Harapan
Aku hanya piguran
Aku bagai robot yang dimainkan
Aku layaknya bumi tandus di musim penghujan
Lingkaran memori kelam hadir di hadapan
Tempatku bukan di dataran tinggi
Maka, biarkan aku kembali
Asalku memang bukan dari tempat suram
Maka, terbanglah wahai engkau putri malam
Jauh menembus awan
Bersamanya, jauh membawa keranjang harapan
Dengannya, jauh menuju masa depan
Kalkulasi bentuk angan-angan
0 notes
Photo

tak ada yang berjalan dengan kaki tanpa tujuan dan tak satu nyawa pun akan dibinasakan atau dibuang sebagai sampah ke dalam kehampaan, ketika tumpukan itu telah tuntas dicipta Tuhan (Alfred “Not Riedl” Tennyson)
*masih di Indonesia bukan di Inglish, Walanda atau Norwegia. hanya di gunung kidul Yogyakarta dan bukan di negeri Arabiya atau Alaska Amrikiya :}
#sukasisuka
0 notes
Text
Hujan dan Kopi: seorang teman dan harga yang pasti
Terlintas dalam ingatan, kala itu di pertengahan bulan November, intensitas hujan malam di Kota Kembang memang berada pada level yang tinggi. Untuk sebagian orang yang telah bekerja dari pagi hingga sore hari, istirahat dirumah sambil makan mie lebih nikmat daripada harus jauh-jauh mencari tempat untuk ngopi.
Di ruang public di tempat manusia mencari bahan makanan, percakapan yang kami lakukan adalah sebuah ancaman; prasangka buruk dari semua orang bisa membuat tidak tenang, akan dipenuhi kecurigaan. Dan Pertemuan kami untuk pertama kali, layaknya kisah Wilson dan Julia dalam mahakarya George Orwell: 1984. Terlalu banyak teleskrin dimana-mana, terlalu banyak resiko yang bisa membuat situasi biasa menjadi bahaya.
Perkenalkan, warga asli namun blesteran dan dia adalah seorang perempuan. Tidak banyak yang bisa digambarkan darinya serta tidak ada pujian baginya kecuali sesosok manusia hasil kesempurnaan ciptaan.
Apa yang telah dituturkannya pada malam itu, tidak lepas dari tiga rahasia Tuhan yang telah ditetapkan sebelum kami dilahirkan. Ah biarlah sang waktu yang menunjukan arah dan tujuan, dan kami sebagai makhluk hina hanya bisa berdoa, berusaha untuk mewujudkan.
Dalam keluh-kesahnya, suasana di pinggiran kota menjadi berbeda. Dalam ratapan wajahnya, kepastian akan sesuatu pasti ada. Dalam isi kepalanya, dia bertanya-tanya siapa yang akan membayar ini kopi semua??? :{
0 notes