gitanjalibayumurti-blog
gitanjalibayumurti-blog
Ngopi Bareng Bayu
188 posts
Jangan yang terbaik jadi mengecoh. Jangan habis waktumu karena mencari, mencari, dan mencari. Terkadang, yang terbaik itu yang diperbaiki.
Don't wanna be here? Send us removal request.
gitanjalibayumurti-blog · 7 years ago
Text
Di Pulau Solomon, penduduk setempat jika ingin membuat tempat tinggal tidak menebang pohon. Tapi berkeremun di sekitar pohon lalu berteriak dan mengumpat sepanjang hari. Beberapa hari kemudian, pohon itu akan layu dan mati kemudian.
Apakah hal yang sama bisa terjadi jika dilakukan kepada manusia? Terlebih kepada anak kecil?
1 note · View note
gitanjalibayumurti-blog · 7 years ago
Text
How to Win Friends & Influence People: Sang Penerima Pesan. (part 2)
Salah satu fungsi komunikasi terpenting atasan adalah menugasi bawahan. Sering kali kita mendengar keluhan: "Saya tidak mengerti kenapa orang-orang saya tidak bisa mengikuti perintah. Saya memberikan intruksi secara jelas kepada mereka, tetapi tetap saja mereka salah mengerjakannya."
Seberapa sering kita menyampaikan komentar seperti itu atau mendengar atasan lain mengeluhkan ketidakmampuan orang-orangnya mengerjakan tugas dengan baik. Mungkin penyebabnya bukanlah orang-orang kita tidak mampu, tetapi kita tidak memberi tugas seefektif biasanya.
Jalur Komunikasi
Dalam komunikasi, salah satu sumber utama gangguan dan distorsi adalah jalur yang dilalui oleh pesan yang dikirimkan dari penyampai ke penerima pesan. Dalam banyak organisasi besar, komunikasi harus mengalir melalui jalur-jalur komunikasi yang ada. Semakin luas jalur komunikasi yang tersedia, semakin besar kecenderungan adanya distorsi.
Orang cenderung mendengar apa yang mereka ingin dengar. Pesan yang mereka terima dikicaukan informasi yang sudah mereka terima mengenai topik itu. Jadi, jika informasi yang baru diterima berbeda dari apa yang diharapkan, bisa jadi mereka menolaknya karena menganggap hal itu tidak benar. Bukannya benar-benar menyimak pesan baru, bisa jadi mereka lebih mendengarkan apa yang ada dalam benak mereka.
Apa artinya? Orang harus dilatih untuk terus membuka pikiran. Saat seseorang memberitahu mereka sesuatu, mereka harus mengerahkan upaya ekstra untuk menyimak dan mengevaluasi informasi baru secara objektif, bukannya memblokir hal itu karena berbeda dengan anggapan awal mereka.
Saat berkomunikasi dengan orang lain, cobalah pelajari anggapan awal mereka. Kalau mereka orang yang secara rutin bekerja sama dengan kita, mungkin kita tahu sudut pandang mereka terhadap hal-hal yang kita bahas. Saat mengemukakan sudut pandang kita kepada mereka, pertimbangkan apa yang sudah mereka percayai. Jika keyakinan mereka berbeda dari keyakinan kita, bersiaplah berupaya melompati rintangan-rintangan yang ada.
Bias
Bias yang kita miliki yang mendukung atau menentang seseorang memengaruhi cara kita menerima pesan mereka. Kita mendengarkan dengan lebih saksama dan lebih cenderung menerima gagasan dari orang yang kita sukai serta hormati. Sebaliknya, kita cenderung tidak menghiraukan masukan orang yang tidak kita sukai dan menolak gagasan mereka.
Persepsi adalah realitas di benak sang penerima pesan. Jika persepsi kita dan persepsi pihak yang sedang berkomunikasi dengan kita tidak sejalan, kita memiliki tujuan berbeda.
Bias juga memengaruhi cara suatu topik diterima. Orang menulikan telinga pada sudut pandang yang bertentangan dengan hal-hal yang mereka rasa penting. Banyak orang bahkan tidak sadar dengan bias yang mereka miliki. Luangkan waktu untuk menganalisis kenapa kita mengambil keputusan-keputusan pada masa lalu. Apakah keputusan-keputusan itu amat yang dipengaruhi bias yang kita miliki?
Pemimpin Yang Sombong
Penghalang Komunikasi lainnya adalah sikap pemberi dan penerima pesan. Atasan yang sombong akan menunjukkannya lewat cara penyampaian intruksi dan informasi. Dia mungkin terlihat menggurui bawahan. Hal itu menimbulkan perasaan tidak senang, yang menghambat komunikasi. Agar bisa diterima, pesan tak hanya harus dipahami, tetapi juga diterima oleh penerima pesan. Saat rasa tidak senang terbangun, penerimaan pesan kemungkinan tidak terjadi.
Bawahan yang merasa tidak senang dengan sikap pemimpin tidak benar-benar "mendengar" apa yang dikatakan sang pemimpin. Pemimpin yang baik menghindari indikasi kesombongan, seperti kata-kata kasar, dan "menghilangkan batasan" saat berkomunikasi dengan bawahan.
Kita semua pernah mengalami hari buruk. Saat hari buruk itu salah seorang bawahan menghampiri kita dan menyampaikan gagasan baru dengan penuh semangat. Bagaimana reaksi kita? Mungkin kita berpikir, "Sudah cukup banyak masalah yang kuhadapi, mau ditambah lagi dengan ini?" Benak kita tertutup dan pesan itu tidak tercerna.
Kita tak hanya harus menyadari kondisi emosional kita saat memberi atau menerima komunikasi, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi emosional bawahan.
Selalu uji suhu air sebelum masuk ke bak kamar mandi. Saat mengumumkan penugasan baru, tegaskan bahwa apa yang sedang dikerjakannya penting, dan kita senang dengan kemajuannya. Tunjukkan alasan kita memilihnya untuk tugas baru, yaitu tugas itu tidak akan mengganggu, tetapi melengkapi pekerjaannya saat ini.
Mungkin aspek paling menantang dalam mengelola citra diri kita adalah kesulitan memandang diri sendiri seperti orang lain memandang kita.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
How to Win Friends & Influence People: Minat Orang Lain. (part 1)
Jika ingin mengetahui cara tercepat untuk mendapatkan teman, apakah sebaiknya kita bertanya kepada orang dengan jumlah pengikut terbanyak di Twiter, blogger dengan Diggs terbanyak, sales paling cerdas, atau politikus yang paling berkuasa?
Walaupun mereka semua dapat menyombongkan jumlah pengikut yang banyak, dan walaupun masing-masing kemungkinan akan menawarkan saran yang bagus, orang-orang seperti itu mungkin bukan panutan terbaik kita. Bahkan, panutan terbaik kita bisa jadi bukan orang. Mungkin anjing.
Entah keluar rumah selama dua menit atau bepergian selama dua minggu, saat kembali, anjing menyambut kita seakan-akan kita pahlawan. Anjing tidak pernah berbuat kejam kepada kita atau mengolok-olok kita atau tidak muncul saat memiliki janji dengan kita. Mereka ada untuk berteman dengan kita.
Dengan instingnya, anjing tahu bahwa Kamu bisa memiliki lebih banyak teman dalam hitungan menit jika Kamu dengan tulus tertarik dengan minat orang lain, ketimbang dalam hitungan berbulan-bulan mencoba membuat orang lain tertarik kepada Kamu. Ini bukan sekadar kata-kata basi. Ironi terbesar adalah bagaimana keinginan kita untuk menjadi berarti dalam kehidupan orang lain seharusnya mudah dicapai, tapi kita mempersulitnya: perjuangan terbesar kita adalah egoisme kita, faktor terbesar yang menghalangi persahabatan.
Minat utama kita adalah kepada diri kita sendiri. Menurut Perusahaan Telepon New York, kata ganti personal "Aku" digunakan 3.900 kali dalam 500 kali percakapan telepon. Egoisme kita, atau lebih sopannya, sikap memikirkan diri sendiri, kerap menjadi pesan moral dari fabel-fabel ternama. Bahkan sejak Adam dan Hawa, sikap egoisme sudah ada dalam diri manusia.
Kita dilahirkan dengan kecenderungan melawan atau lari. Artinya, kata-kata dan tindakan kita cenderung untuk melindungi diri sendiri. Namun, kita kerap lupa memikirkan siapa yang sebenarnya kita lawan dan kemana kita lari.
"Para individu yang tidak tertarik dengan sesama manusia," tulis psikolog terkenal dari Wina, Alfred Adler, "yang mengalami kesulitan terbesar dalam hidup dan menimbulkan kerusakan terbesar kepada orang lain. Dari individu-individu semacam itulah seluruh kegagalan manusia berasal."
Menaruh minat pada minat orang lain adalah cara paling efektif. Ada dua hal yang bisa dikatakan tentang hal ini.
Pertama, sikap mementingkan diri sendiri adalah bentuk termurni dari sifat manusia, melawan atau lari adalah sebuah fakta. Prinsip ini tidak menyangkal keberadaan sikap mementingkan diri dalam kehidupan kita. Prinsip ini malah menunjukkan bahwa sebagian besar orang sering kali melupakan orang lain. Sebagian besar orang mementingkan dirinya sendiri. Sering kali efektivitas prinsip ini tergantung pada hal-hal di luar diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka yang memilih untuk memkirkan minat orang lain dalam kehidupan sehari-hari pun menjadi berbeda. Kita mengingat orang-orang semacam itu, berteman dengan mereka, dan menjadi lebih percaya lagi kepada mereka. Kemampuan memengaruhi sangat ditentukan oleh kepercayaan, semakin besar kepercayaan yang didapat, semakin bisa seseorang memengaruhi pihak lain.
Kedua, puncak dari prinsip ini bukanlah penyangkalan diri sepenuhnya. Sadarilah bahwa prinsip ini tidak berkata, “Ganti minat anda dengan minat orang lain.” Namun, prinsip ini berkata, “Bicaralah sesuai dengan minat orang lain.” Dan itu adalah rahasia penerapannya. Saat kamu memasukkan minat orang ke dalam minat kamu, kamu mendapati bahwa minat kamu terpenuhi saat kamu berada dalam proses membantu orang lain.
Terdapat poin penting dalam prinsip ini. Hubungan manusia selalu lebih mudah jika dimulai dengan rasa suka. Intinya, kamu harus menjadi benar-benar tertarik dengan orang lain sebelum kamu mengharapkan orang lain tertarik kepada kamu. Semuanya setara. Kita menyukai orang-orang yang menyukai kita. Jadi, agar kita disukai, kamu harus menunjukkan rasa suka pada hal-hal yang orang lain lakukan dan katakan. Di zaman sekarang, koneksi dan kolaborasi yang tidak palsu/tulus bisa menular dengan begitu cepat.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Kita buru-buru keluar dari pintu dan berkata, "Hei, apa kabar? senang bertemu denganmu." Bahkan, kita tidak menatap mata orang. Kita tidak benar-benar berbicara dengan mereka. Jika kamu melakukannya, kamu akan melewatkan begitu banyak potensi dalam diri orang lain...
Manusia bukanlah sesuatu yang harus dibentuk, seperti tanah liat. Itu bukan tugasmu. Itu manipulasi, bukan kepemimpinan. Manusia bukanlah sesuatu yang harus dibentuk, manusia adalah kehidupan yang harus dibuka. Dan itu yang dilakukan oleh para pemimpin sejati. Mereka membuka kehidupan orang lain dan membantu mereka untuk meraih potensi mereka yang dianugerahkan oleh Tuhan.
Saat kita memperlakukan seseorang sesuai dengan seperti apa dirinya, kita menjadikannya lebih buruk dibandingkan dirinya saat ini. Jika kita memperlakukan seakan-akan dia sudah mencapai potensinya, kita menjadikannya dirinya yang seharusnya.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Selain sabun, belut, dan Komeng, ada yang lebih licin, yaitu Sengkuni. Selalu kagum dengan Sengkuni. Karena Sengkuni tak pernah habis. Begitu juga ketika ia ditafsirkan. Sejatinya mengenal sosok Sengkuni bukan hanya menelusuri Pandawa atau Kurawa, lebih dari itu, Sengkuni adalah sebuah selebrasi berbagai interpretasi, persepsi dan opini. Yang oleh karenanya, dibutuhkan kolaborasi untuk bisa mencapai segala hal yang lebih dari sekedar ‘menceritakan lagi’. Barat mengatakan Sengkuni mempunyai sifat licik. Timur mengatakan Sengkuni mempunyai peran penting dalam Mahabharata, kalo tidak ada Sengkuni pasti Pandawa nganggur, akhirnya Pandawa nyaleg karena gak ada kerjaan. Selatan mengatakan Sengkuni ksatria sejati, ia tak perlu dasi, tak perlu sopan santun, tak perlu hak tinggi untuk menjadi licik, cukup menjadi diri sendiri. Utara mengatakan Sengkuni pendiriannya kokoh seperti panah Pasupati milik Arjuna, ketika ia berada di pihak oposisi selamanya akan seperti itu, tidak loncat seperti kutu, karena kesetiaannya, paha Drupadi selalu bergetar dan basah ketika bertemu Sengkuni. Sisanya mungkin pernah tahu, tapi lalu keliru, simpang siur dengan cerita pewayangan lainnya. Kemudian, yang nol bertanya pada yang satu. Yang satu melengkapi yang lain. Yang lain menyempurnakan yang banyak. Bersama-sama memulai sebuah perjalanan yang tidak menuju akhir tapi justru menemukan kembali awal. Begitulah tafsiran. Njlimet seperti membedakan mana yang benar dan salah. Ternyata benar dan salah kembar siam, lahir dari rahim seorang ibu bernama basa-basi. Sungguh, untuk menemukan Sengkuni kalian tidak perlu berjudi. Kuncinya cuma dua: tinggal ajak ngobrol baik-baik dan jangan berusaha sok asik. Sisanya yang lain, biar jadi urusannya. Menghadapi Nakula yang merasa paling pintar sejagad raya, misalnya, sungguh ia tak sungkan. Ketika sudah sampai puncaknya, tekunilah fatwa Sengkuni,
“Saat kau kesulitan mematahkan sebuah ranting, maka belahlah menjadi dua agar dapat dipatahkan dengan mudah.”
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Motor yang Sendiri di Jalan Tol
Saat kami sedang melintas di sebuah jalan tol, saya dikejutkan oleh rasa kaget saya. “Ada motor!”
Kami spontan menoleh. Benar. Sepeda motor ini melaju dengan ketenangan seksama. Melihat ketenangan itu segera membayangkan beberapa asumsi. Petama ia adalah pemotor sakti yang ingin uji coba meruntuhkan dominasi jalan tol yang selama ini menolak kehadiran motor. Ia ingin mencoba menjadi orang pertama dan satu-satunya di dunia pemegang rekor ajaib ini. Sepintas lalu skenario ini meyakinkan demi melihat motor yang semula hanya mengambil jalur kiri ini mulai menganan. Melaju dengan percaya diri menyalip truk dan bus yang terengah-engah di aspal mendaki.
Tapi asumsi pertama ini segara saya gugurkan. Dari mobil yang kami kendarai mulai terlihat keadaan pemotor ini secara lebih detail.Sepasang suami-istri, pasangan sederhana, dari plat nomornya ia datang dari luar kota dan jalan raya yang ia hadapi sepenuhnya asing. Jalan baginya hanyalah berarti jalan raya. Soal ada jalan berbayar, jalan gratis dan jalan tikus, jalan tembus, jalan belakang, adalah realitas yang terlalu rumit baginya. Maka ia melaju dengan keyakinan penuh bahwa jalan yang membentang di depannya hanyalah sebidang lahan yang terbuka bagi siapa saja.
Tetapi betapapun, manusia adalah mahkluk ruhani. Ia memiliki indera perasa pada setiap keganjilan. Setelah sekian lama berkendara dan mendapati betapa sekitarnya hanya bus, truk dan mobil keluarga, ia mulai merasa ada sesuatu yang keliru. Kekeliruan pertama mungkin masih sikapi dengan geli pada diri sendiri. Saya melihat senyumnya dari jauh. Tetapi makin lama senyum itu menjadi sejenis seringai. Mungkin kecut mungkin gaduh dan mulai takut. Senyum seringai itu mengingatkan saya pada gaya kucing ajaib di Alice and Wonderland. Kucing itu punya kebiasaan menghilang dan yang tersisa hanyalah giginya yang meringis.
Makin mendekati gerbang tol makin terlihat senyum pemotor ini telah menjadi sepenuhnya rasa panik. Istrinya di belakang telah lama tegang dan berserah. Begitulah beratnya mandat imam yang di depan. Sekali salah jurusan, seluruh yang di belakang akan ikut menanggung beban.
Kini semua mata menujunya. Sirine tol menyalak dan petugas tol segera menghentikan. Ia menjadi serupa anak ikan yang terperangkap terumbu. Saat petugas melambaikan tangan ia mengangguk takzim sebagai isyarat kepasrahan total pada nasibnya.
Adegan pemotor ini membuat saya tertawa hanya pada awalnya. Selebihnya adegan ini menimbulkan ketakjuban di hati saya. Ia adalah gambaran heroisme atas sebuah kesederhanaan. Betapa mudah sebuah benteng pertahanan ditembus justru oleh sikap sederhana. Adegan ini mengingatkan saya pada remaja Amerika yang berselancar dengan pesawat Cessna dan mendarat di Tengah Pangan Merah Moscow puluhan tahun lalu. Mengingatkan tentang pemotong rumput yang menembus barikade Paspampres saat Presiden SBY saat itu berkunjung ke Bali. Orang-orang ini bukan cuma tak elok jika harus dipersalahkan melainkan harus diberi penghargaan karena ia telah menegaskan mutu sebuah sistem pertahanan.
1 note · View note
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Di dekat rumahku ada seekor burung yang tampaknya langka dan tinggal satu-satunya di wilayah kami. Warnanya coklat muda dengan saput hitam di dadanya. Pada saat-saat tertentu ia suka menampakkan diri dan mencemaskan hatiku karena masih saja banyak berkeliaran pemburu. Ramalanku, nasib burung ini tak lama lagi baik karena perubahan lingkungan maupun karena diburu. Kota-kota besar di dunia memusnahkan burung-burung dengan cara pencahayaan besar-besaran di malam hari dan pembangunan pencakar langit tempat burung-burung itu menabrakkan diri karena deprersi.
Jika malam menjelang burung coklat ini berkukuk dengan disiplin. Kakakku (Rama) yang amat menyayangi hewan-hewan selalu gelisah jika burung ini berkukuk. Ia lalu browsing dan hasil sementara adalah begini: spesies burung tertentu memang telah tinggal sendiri karena pasangannya telah punah. Saat ia berkukuk itu bukan kicauan melainkan caranya memanggil pasangan yang tak lagi akan pernah datang. Maka setiap kali burung itu berkukuk menjelang malam kami berdoa agar ia dikuatkan.
5 notes · View notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Video
tumblr
2 notes · View notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Quote
Temukan kebaikan dalam hatimu, niscaya akan kau temukan kebaikan di hati semua orang. Seseorang tak akan begitu menikmati menista orang lain, jika hatinya tak berlumur noda.
Makrifat Pagi.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Quote
apa yang memotivasi kita bergerak jika landasannya bukan iman?
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Korban
“Bahasa membawa budaya!” kata orang. Lebih dari itu. Bahasa membawa iman. Kata membawa aqidah. Kata memuat konsep dan pengertian keilahian.
Umpamannya kata ummat, itu lebih dari sekedar a community. Allah, itu lebih utuh dan mutlak dibanding konsepsi yang terkandung di belakang kata Tuhan. Juga Islam, lebih sempurna dari keselamatan. Apalagi qurban, yang selama ini “diterjemahkan” menjadi korban. Ia menjadi bukan hanya berbeda, tapi bahkan bertentangan. Dan anehnya, kita bengong saja terhadapnya.
Korban itu a victim. Kata dan konsep yang mirip dengan itu ada dalam bahasa Jawa, yakni tumbal. Misalnya, Jon dijadikan tumbal. Artinya, Jon dikorbankan, Jon di victimized. Konotasinya negatif, fungsinya tersia, posisinya buruk. Sedangkan qurban itu konotasinya positif, fungsinya bermanfaat, dan posisinya baik. Nabi Isma'il bukan tumbal, bukan disia-siakan, melainkan diuji cinta kasihnya kepada Allah, diuji kepatuhannya dan tanggung jawab kemakhlukannya, serta diberi peluang untuk sungguh qorib kepada sumbernya.
Tidak seorangpun mau dikorbankan. Tapi setiap Muslim mendambakan qurban dan di-qurban-kan. Sebab dengan iman yang bulat, terbukti yang tersembelih adah leher kambing.
Hayo gimana!
Ordinat kata dan pengertian macam itu, yang terdapat dalam Al-Quran, selama ini sering dipakai untul nama. Misalnya Burhan, Luqman, Sulthan… tapi tak ada famili kita kasih nama anaknya dengan Qurban, sebab kita merasa jangan jadi korban. Yang berbunyi ban-ban begitu kita hanya Daiban, Marhaban, Kasban.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Quote
Saat pindah tempat sangat gampang beres-beres barang, yang susah itu membersihkan kenangannya…
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Tulisan papah saya. :D
————–“ ” —————
Malam itu, sebelum tidur, anak saya yang berumur delapan tahun bertanya, “Bapak, kafir itu apa?” Saya terhenyak. Pertanyaan itu seperti sebuah pukulan yang tiba-tiba. Kegaduhan di luar ternyata telah masuk ke kamar tidur kami. Pandangan mata anak saya menunggu tapi saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Dilain hari ia juga melontarkan pertanyaan epic kepada saya,
“Rumah Tono di samping kanan rumah Tini. Rumah Tini di samping kiri rumah Tono. Di tengah-tengah antara keduanya ada rumah pak RT. Urutkan rumah dari kanan ke kiri,” katanya. Entah dari mana ia memperoleh pertanyaan tersebut, yang jelas terasa lebih gampang ketimbang pertanyaan dari mana adik bayi lahir.
“Rumah Tono, rumah pak RT, dan rumah Tini,” jawab saya tanpa ragu.
“Salah,” sergahnya dingin. Saya blingsatan. Ia sibuk melipat kertas origaminya.
“Lha kok?” Saya protes. Tak terima.
“Jawabannya hamur,” katanya sambil menunjukkan hasil lipatannya.
Saya mencoba memamah jawabannya, lalu mendebat. Ia menangkis dan menuduh bahwa saya kurang jeli dalam mencerna pertanyaan. Ia cuma ingin saya mengurutkan ‘rumah’ dari kanan ke kiri, kilahnya. Saya tak berkutik. Virus Cak Lontong dengan pertanyaan ala Teka-Teki wagunya bekerja dengan baik dalam dirinya. Kami tidak berhenti berbantah, sampai akhirnya sebuah pernyataanya membuat pertahanan saya rontok, “Bapak mikirnya kejauhan.” Saya nyaris gondok.
Duh, Gusti. Anak kelas tiga SD tentu belum diajar tentang perlunya berpikir visioner. Tapi saya tidak ingin berkelahi dengan anak saya. Apa kata istri nanti.  
Maka, ketika malam itu ia bertanya, saya waspada. Saya runut pertanyaannya kalau-kalau ada perangkap yang telah dipasang dalam baris-baris kalimatnya. Scanner saya tidak mendeteksi adanya bahaya. Barangkali kali ini ia benar-benar tulus ingin bertanya.
Keributan yang diakibatkan oleh kata tersebut belum kunjung reda. Dispanduk-spanduk kata itu ditulis dengan amarah, di televisi dan di jalan-jalan, ia diucapkan keras-keras disertai kepalan tinju. Ia pasti heran mengapa sebuah kata memicu guncangan demikian keras.
Lagipula, anak-anak seusianya meungkin memang sudah mulai mekar dengan pertanyaan-pertanyaan teologis. Ia pernah mengajukan keinginan untuk pindah agama. “Aku ingin pindah ke Hindu saja, Bapak,” katanya. Saya mendengarkan alasannya dengan saksama. Rupanya ia sedang gandrung dengan Krisna, sosok berwarna biru jelmaan dewa dalam film kartun yang selalu ditontonnya sepulang sekolah. Belakangan, tokoh Tayo berhasil menganulir keinginannya.    
Mata anak-anak adalah mata yang selalu bertanya, saya teringat kalimat tersebut, lupa dari siapa. Konon banyak penemuan besar muncul dari pertanyaan simpel anak-anak. Teori tentang lensa, umpamanya, kabarnya lahir dari pertanyaan anak-anak tentang mengapa sepasang mata yang melihat satu obyek tidak membuat gambaran yang diterima jadi dobel? Jawaban serius atas pertanyaan seperti main-main tersebut kemudian tercatat sebagai penemuan hebat.
Pertanyaan tentang apakah bumi bulat atau datar bisa jadi pertama kali keluar dari mulut anak-anak. Meski seharusnya kini lebih mudah dijelaskan, sebab orang sudah bisa memanjat ke bulan dan membuktikan jawabannya, tapi entah mengapa sekarang terasa makin rumit.
Lalu anak-anak lalu mulai berhenti bertanya. Entah karena mereka mulai terbiasa dengan dunia atau karena merasa tak kunjung mendapatkan jawaban memuaskan atau ketika orangtua, guru, dan orang dewasa lain memberi cap cerewet untuk mereka yang tak bosan bertanya.
Tapi tidak semua pertanyaan anak-anak bisa dijawab. Apa tugas malaikat Jibril sekarang jika Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, misalnya, pernah membuat kepala seorang guru SD cenut-cenut. Bahkan untuk pertanyaan sederhana. Seperti ketika suatu hari seorang guru bercerita kepada murid SD-nya tentang kisah Nabi Yusuf. Selain tampan, Nabi Yusuf juga kuat iman. Godaan perempuan tidak menggoyahkan dirinya. “Padahal, perempuan itu sangat cantik,” kata pak guru memberikan penekanan. Dia lalu mengambil jeda, tapi sebuah tangan kecil buru-buru mengacung. Pak guru mengangguk. “Pak, cantik mana perempuan itu dengan bu Atun?” tanya pemilik tangan. Pak guru tak siap. Ia oleng dan keluar kelas sambil geleng-geleng kepala. Bu Atun adalah nama istrinya yang juga mengajar di sana.
Tapi soal kafir ini saya merasa berdosa jika tidak memberikan jawaban serius. Siapa tahu bisa menjadi landasan berpijak baginya untuk memahami istilah kafir yang terlanjur menjadi isu teologis serta menjadi kutukan untuk mengusir orang atau kelompok yang dianggap tidak sejalan.
Agar mudah dia pahami, pelan-pelan saya berusaha menjelaskan istilah kafir dengan terlebih dahulu mengembalikan kepada makna etimologinya, menutupi. Seperti coverdalam bahasa Inggris yang juga diserap dari kata kafir, yang berarti sampul untuk menutupi buku.
Dalam Alquran kata berakar kafara sebagian besar menggunakan arti umum tersebut. Karena itu, ada kata kafur yang berarti kelompok yang menutupi buah (Q.S. 76: 5), ada kuffar yang merujuk pada para petani karena pekerjaan mereka menutupi benih dengan tanah (Q.S. 57: 20), dan lainnya.
Meski sering juga dilawankan dengan kata iman (percaya), yang kadang merujuk pada orang-orang sebelum maupun orang-orang yang sezaman Nabi Muhammad saw., istilah kafir juga dikaitkan dengan perilaku umat Islam sendiri yang enggan bersyukur (Q.S. 14: 7). Sikap enggan bersyukur dikatakan kufur nikmat.
Ah, apakah anak saya bakal mudeng dengan jawaban seperti ini?
Sebenarnya, saya ingin menjawab lebih banyak, dan tentu saja lebih gamblang, tentang bagaimana istilah itu berkembang lalu menjadi wacana teologis dan seterusnya. Tapi anak saya malah mendengkur. Barangkali dia benar, saya mikirnya kejauhan.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Pagi ini, saya menemukan sebuah video yang diposting di akun Twitter yang membuat saya terhenyak. Dalam video itu ada rekaman Bapak Jokowi yang sedang menceritakan pengalaman masa kecilnya yang pernah mengalami penggusuran. “…bahwa yang namanya tergusur itu sangat sakit sekali… sangat sakit sekali.” Saya percaya bahwa saat itu Bapak Jokowi berkata dengan jujur. Namun adalah fenomena yang jamak di berbagai penjuru dunia bahwa pemerintah populis akan berhadapan dengan kekuatan korporasi yang terlalu besar untuk dilawan. Seorang narasumber penelitian, seorang aktivis dari kalangan masyarakat sipil di bidang pangan yang berperan besar dalam mengorganisasi para petani agar mendukung Bapak Jokowi yang berjanji akan mewujudkan kedaulatan pangan, janji yang kian hari terlihat kian jauh panggang dari api menjelaskan situasi yang saat ini terjadi. Kurang lebih begini, “Sangat wajar terjadi pertarungan narasi di seputar presiden, ada pihak-pihak yang lebih punya bargaining position, mereka lebih intensif berada di sekitarnya, sementara kita dari masyarakat sipil tidak terlalu mendapatkan akses menyampaikan alternatif.” Jadi, ini memang perjalanan ekonomi-politik yang “biasanya”, kelanjutan dari rezim-rezim sebelumnya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, selama dua tahun masa pemerintahan Bapak Jokowi, terjadi 285 kasus konflik agraria atau rata-rata 142 kasus. Selisih ‘hanya’ 10 kasus dengan rata-rata konflik agraria per tahun selama 1 dekade masa SBY, yaitu 152 kasus. Konflik agraria adalah konflik perebutan tanah antara warga dan pemerintah. Biasanya, wargalah yang dikalahkan, tanah mereka direbut paksa, dengan berbagai jenis justifikasi. Yang membuat saya terhenyak adalah komentar di postingan video itu: “Memimpin dg hati, betul, tapi anda lupa mendisiplin. Menuruti semua keinginan krn kasihan tanpa Disiplin ??” Si komentator menilai warga yang digusur adalah mereka yang tidak disiplin. Komentar sejenis sangat banyak ditemukan di media sosial: menyalahkan korban penggusuran. Kebanyakan komentar seperti ini berasal dari kalangan kelas menengah, asumsi yang didasarkan pada data bahwa 64,7% pengguna internet di Indonesia adalah lulusan SMA, mayoritasnya pekerja dan wiraswasta (APJII, 2015). Sementara itu, Boston Consulting Group menyebutkan bahwa jumlah kelas menengah Indonesia tahun 2012 adalah 64,8 juta. Mereka terbagi dua kategori, yang pengeluaran bulanannya 3-5 juta rupiah (upper middle), dan 2-3 juta rupiah (middle). Dengan kata lain, mereka bukanlah kelompok yang dengan ongkang-ongkang kaki saja mampu membeli segala kemewahan di kawasan pantai atau bantaran sungai hasil menggusur, eh merelokasi, warga yang kelak akan dibangun oleh korporasi kaya raya. Kelas menengah zaman ini hidup dalam budaya kompetisi yang menganggap wajar bila sang pemenang mendapat jauh lebih banyak daripada orang-orang kalah. Mereka pun mudah terkagum-kagum pada hasil “pembangunan”, tanpa peduli betapa banyaknya korban berjatuhan di balik pembangunan itu. Merekalah yang dengan gagah berkata, “Para tergusur itu beruntung karena diberi ganti rugi berupa rumah susun!”, sambil memajang foto rumah susun yang dikontraskan dengan rumah kumuh di dinding media sosial. Wajar, karena dalam perspektif mereka, kebahagiaan identik dengan rumah mewah, bukan permukiman kumuh. Kelas menengah ini, yang heboh membela penggusuran, biasanya akan berargumen dengan menyodorkan link-link berita online tentang ‘betapa senangnya warga yang mendapatkan rusun’ sambil menyebut mereka yang menyebar link tentang fakta di balik rumah susun dan kisah pahit korban tergusur sebagai haters. Mereka tidak peduli bahwa ada solusi selain penggusuran, alternatif yang bahkan ditawarkan sendiri oleh Bapak Jokowi pada September 2012. Prof. Wendy Brown menyebut sebuah fenomena yang diistilahkannya neoliberalism’s stealth revolution. Secara diam-diam, ideologi neoliberalisme telah merasuk ke pikiran kelas menengah dan menghancurkan solidaritas di antara sesama mereka. Mereka mengagungkan pencapaian kemakmuran sebagai hasil kerja individu, kemenangan dalam kompetisi, dan peningkatan karir. Dogmanya, setiap individu harus bekerja keras dan menang dalam kompetisi bila ingin sukses. Kesetaraan yang esensial, demokrasi yang substansial dan partisipatif, kebaikan untuk orang banyak, adalah nilai-nilai yang semakin diabaikan oleh kelas menengah. Padahal, ibarat lomba lari, bagaimana mungkin kompetisi berjalan adil ketika garis start masing-masing pelari tidak sama? Kata Prof Brown, kelas menengah memandang bahwa penyelesaian masalah secara fundamental adalah terlalu rumit, membuang-buang waktu, tidak produktif, dan karena itu tidak ada gunanya dibahas. Fakta bahwa dalam lomba lari, beberapa pelari terjatuh kalah karena perutnya sangat lapar, tak mereka hiraukan. Fakta bahwa di balik sekian banyak penggusuran, ada korporasi-korporasi amat-sangat kaya yang meraup mega-profit, tak mereka pedulikan. Mungkin karena mereka sendiri bermimpi kelak akan menjadi bagian dari kelas kaya itu. Dalam kamus mereka, kata-kata keadilan, nilai, tujuan, kekuatan kelas, telah semakin memudar. Dan kelas menengah pun berpolitik seolah tanpa ideologi: fokus mereka adalah apa yang bisa dilakukan saat ini, secara cepat dan efisien. Meski sebenarnya, tanpa sadar mereka sedang disetir oleh sebuah ideologi yang sangat merusak kemanusiaan.
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Mobilisasi Kebencian: Salman Taseer adalah bekas gubenur propinsi Punjab di Pakistan. Dia diangkat menjadi gubernur tahun 2008. Dia dibunuh tahun 2011. Penyebabnya adalah karena dia menentang hukum penistaan agama yang amat keras di Pakistan. Penentangan itu dia ucapkan dalam satu talk-show di TV lokal. Kasus penistaan agama ini bermula dari hal yang sangat sehari-hari. Adalah sekelompok perempuan desa sedang memanen bersama. Salah satu dari perempuan itu adalah Aasiya Noreen atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Asia Bibi. Kebetulan pula, perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan suaminya buruh pembuat batu bata ini, beragama Kristen (Katolik). Sebagaimana umumnya kaum Kristen di Pakistan dan Asia Selatan, mereka berasal dari kelas dan kasta terendah. Kejadiannya berawal dari sesuatu yang sangat sepele. Bibi minum dari gelas yang sama dengan perempuan-perempuan lain yang Muslim. Terjadilah percekcokan karena mereka yang Muslim menganggap Bibi yang bukan Muslim itu kotor, sehingga tidak boleh minum dari gelas yang sama dengan mereka. Hingga disinilah muncul percekcokan, dan itu berubah menjadi soal agama. Dalam adu mulut Bibi dituduh mengatakan sesuatu yang menghina Nabi. Otomatis, ini adalah soal penghinaan dan penistaan agama. Di Pakistan, hal yang demikian ini juga berarti surat kematian yang sudah ditandatangani. Kasus ini memancing kemarahan yang meluas di masyarakat Pakistan. Provokasi terjadi dimana-mana. Mereka yang merasa saleh merasa terhina kesalehannya. Mereka yang taat pada Tuhan, yang sesungguhnya menganjurkan untuk tidak boleh membunuh, justru merasa perlu untuk membunuh. Demi membela Tuhan! Bibi pun diadili. Seperti kehendak masyarakat luas, pengadilan pun menghukum mati dirinya karena melakukan penistaan terhadap agama. Kekerasan pun meledak dimana-mana. Seorang menteri untuk urusan minoritas yang kebetulah beragama Kristen, Shahbaz Bhatti, dibunuh. Demikian juga Salman Taseer. Gubernur Punjab ini mengajukan petisi agar Asia Bibi dibebaskan. Taseer dibunuh ketika dalam perjalanan keluar makan siang bersama temannya. Pembunuhnya adalah pengawalnya sendiri, Malik Mumtaz Qadri, yang menghujani dia dengan 27 kali tembakan memakai AK-47. Proses pengadilan Malik Mumtaz Qadri pun berbelit. Dia lama tidak ditahan. Namun akhirnya pengadian memutuskan dia dihukum mati. Pada tanggal 29 Pebruari kemarin, Malik Mumtaz Qadri akhirnya menjalani hukuman mati. Reaksi publik Pakistan sangat mengejutkan. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mengiringi pemakaman Malik Mumtaz Qadri. Aatish Taseer, putra salman Taseer, kemudian menulis sebuah esei di New York Times tentang pemakaman pembunuh ayahnya itu. Ini adalah salah satu prosesi kematian paling besar di Pakistan setelah Benazir Bhutto dan si Bapak Pakistan, Muhammad Ali Jinah. Sekaligus ini mungkin adalah prosesi kematian terbesar untuk seorang pembunuh. Orang-orang ini, demikian keluh Aatish Taseer, "terdorong bukan oleh cinta mereka kepada yang mati namun kebencian mereka kepada yang dibunuh." Disini kita melihat sebuah kasus dimana negara berusaha tegak dengan akal sehatnya, yakni menghukum mati dia yang membunuh. Namun, sebagina masyarakat Pakistan memiliki kehendak lain. Untuk mereka, hukum haruslah mendukung kebencian mereka. Inilah yang mereka pertunjukkan dengan mobilisasi kebencian besar-besaran. Haruskah kita bersyukur bahwa hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia? Hei, siapa bilang tidak terjadi? Seperti di Pakistan, di sini pun kita melihat para politisi -- termasuk politisi yang berjubah agamawan -- sibuk memobilisasi kebencian. Kita terluka ketika kita diberitahu oleh para politisi itu bahwa agama kita dinistakan. Kita marah dan menumpahkan amarah itu menjadi kebencian yang teramat sangat. Namun kita lupa bahwa ada yang berpesta pora dengan kemarahan dan kebencian kita itu! http://www.nytimes.com/2016/03/13/opinion/sunday/my-fathers-killers-funeral.html?action=click&pgtype=Homepage&clickSource=story-heading&module=opinion-c-col-right-region&region=opinion-c-col-right-region&WT.nav=opinion-c-col-right-region Tulisan ini telah diposting sebelumnya pada 12 Maret 2016. Dimuat kembali dengan editing seperlunya untuk menyesuaikan dengan konteks kekinian. Photo: Reuters
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Basuh
Mungkin saat ini kau sedang berjalan menyusuri garis pantai biru disana, merasakan setiap butir pasir putih, yang terselip disela jemari kaki indahmu. Sesekali, kau juga lengkungkan senyum pada langit sore, yang menghadiahkanmu setangkup senja keemasan, lengkap dengan empat lingkar pelangi yang berwarna-warni. Tentu saja, ada juga siluet batu karang, burung berpasang-pasangan, dan perahu nelayan yang melintas di kejauhan. 
Ini masih subuh, kenangan seperti perahu-perahu letih yang mengantre berlabuh. dan kau masih seperti seorang anak kecil yang asyik melipat-lipat abad di ruang kelas yang hanya didominasi warna lupa dan putih pucat. 
Aku selalu kagum, kepada setiap ketukan detik, yang merangkak pelan-pelan pada jam dinding bundar itu. Selalu saja penuh rahasia, menyelundup diam-diam, namun tak pernah lupa menanam benih-benih cerita. Kau, aku, adalah jiwa-jiwa yang menari, berpijak dari satu titik ke titik lainnya, menebar tawa, meluruhkan air mata, melahirkan sebuah peristiwa. 
Sepertinya aku semakin sulit memahami rindu. Seketika saja aku bisa mendengar tawa yang pecah seperti hujan, lalu disaat yang sama, mendengar isakan tangis yang tertahan, semacam nyanyi hujan di kejauhan. Andai saja aku bisa menyederhanakan rindu, sesederhana mereguk segelas kopi hangat, dibawah langit yang gerimis sebuah kafe sudut jalan. 
Kamu itu lebih dari cantik. Entahlah. Dibanding perempuan lain, wajahmu adalah yang ternyaman di mataku. Tapi boleh aku kasih sedikit masukan? Menurutku, cantikmu akan lebih terlihat cerah jika kau ada di samping aku. 
Ya, kita adalah dua kepala yang sama keras, dua hati yang sama rasa. Kita seperti gerbong-gerbong kereta kosong yang melaju cepat tak tahu arah. Mungkin esok atau lusa kita akan bertengkar, tetapi suatu hari akan aku isi gerbong yang kosong itu dengan mimpi, harapan, dan doa bersama kamu.
To: Rahasia Tuhan
0 notes
gitanjalibayumurti-blog · 8 years ago
Text
Bagaimana cara saya takut kepada Allah sekaligus mencintai-Nya? | Adakah ketakutan yang lebih besar dari pada seorang pecinta yang sangat takut berpisah atau jauh dari Kekasihnya? | Saya sekarang paham.
0 notes