Tumgik
nabilzuhdy · 4 years
Text
Emang nih temen gua. Gut dah nep (y)
Pantun
Lampu rumah punya si nana
Ingat beli di kota aceh
Nggak mau kena korona
Gak usah keluar rumah deh
Hati hati sama si abah
Abah suka pergi ke rawa
Yang mudik keluar rumah
Anda sedang melelang nyawa
Barang barang tumpah ruah
Udah gitu ditimpa baja
Saya ikut pemerintah
Anda mending di rumah aja
7 notes · View notes
nabilzuhdy · 4 years
Text
study from home
oke, ini udah hari keenam gua di rumah. berawal dari plot twist yang gak ketebak banget dan singkat cerita gua udah berada di rumah. pulang emang selalu jadi istimewa buat anak boarding, apalagi buat anak rantau kek gua. bagi gua, pulang selalu istimewa, karena gua bisa dengerin lagi keributan keempat adek gua dan kehebohan kakak gua. sebagai anak golongan tua tentunya gua punya kewajiban buat nemenin mereka main dan bantuin mereka buat ngerjain tugas seabrek yang guru mereka kasih selama liburan. gua yang tinggal menghitung hari menuju un ternyata gak terlepas dari tugas-tugas yang kalo ditumpuk bakal jadi bukit (gak juga sih). mulai dari simulasi un, soal-soal un tahun-tahun sebelumnya, sampe bimbel online di wa tiap malem yang asik gak ada abisnya. 
liburan (isolasi mungkin lebih tepatnya) kali ini ternyata berbeda dengan liburan-liburan sebelumnya. bukan karena gak boleh keluar main basket ama ortu, ternyata belajar online dari rumah (study from home) gak semenarik kedengarannya. ternyata belajar dengan suasana kelas yang super berisik jauh lebih menyenangkan daripada berkutat berjam-jam di depan layar laptop. ternyata main basket di aula umar jauh lebih memuaskan daripada naik rank ml atau chicken dinner di pubg. tentu, yang membuat semua itu keliatan menyenangkan adalah kehadiran teman-teman yang asik gak ada abisnya. kadang ada aja bahan yang bisa buat diketawain bareng. suka bingung kadang kita ngetawain hal yang sepele banget, dan itulah yang bikin gua jadi pengen ngumpul bareng mereka lagi. ngeliatin angkatan sebelah yang keknya pada kangen banget amat curhatan dan keributan angkatan mereka di tumblr, dengan caption-caption kangen dan lainnya. sedangkan angkatan gua keknya adem ayem aja ama liburannya. 
jadi gini gaes (eaa), gua tau kok kalemnya temen-temen gua sebenarnya sama kek yang gua rasain. selain karena kita emang maennya gak di tumblr, laki-laki lebih cenderung menyembunyikan perasaannya (eaa wkwk). tapi kita, laki-laki, emang gak butuh semua kata-kata itu, karena kita tahu kita sampai kapanpun satu tubuh dan bagai bangunan yang kokoh. semangat rendezvous! zeniusnya jangan cuma di donlot doang, hayu ah study from home!
8 notes · View notes
nabilzuhdy · 5 years
Text
Ombak Penuh Hikmah
Deringan beker membangunkanku. Melenyapkan mimpi-mimpi indah semalam. Usai sepenuhnya mengumpulkan nyawa, kukucek mata dan beranjak dari kasur empuk tempat tidurku. Dengan gontai aku melangkah menuju kamar mandi dan mengambil wudu. Sayup terdengar azan mulai berkumandang, tanda waktu subuh telah tiba.
Setelah mengganti pakaian dengan kemeja rapi dan sarung bercorak, aku keluar dan tidak lupa mengunci pintu sebelum berangkat ke masjid. Di perjalanan menuju masjid, aku bertemu beberapa tetangga di sekitar rumahku yang juga ingin ke masjid. Kami pun berjalan bersama-sama di tengah kesejukan subuh.
Sesampaianya di masjid, aku langsung salat dua rakaat dan memanjatkan doa diantara azan dan iqamah. Iqamah didengungkan, aku pun salat subuh berjamaah dengan khusyu’. Selepas salat pun aku tak lupa berzikir dan melantunkan doa-doa yang dianjurkan Nabi di pagi hari. Setelah mengahabiskan waktu cukup lama untuk bernujat kepada Allah, aku kembali ke rumah dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Itulah rutinitasku setiap paginya.
 ***
 Mobil melaju dengan tenang saat pesan masuk di telepon selulerku. Kugapai ponsel dan sekilas melirik isinya. Jangan lupa untuk hadir di kantor tepat waktu. Pandanganku beralih ke jam yang ada di dashboard mobil, masih jam 7.50, pikirku. Aku masih punya banyak hingga rapat dimulai.
Hari ini tepat tanggal 26 Desember, dan kota Banda Aceh seperti hari-hari biasanya, ramai dengan kendaraan yang lalu lalang di jalanan kota. Sedikit macet di perempatan jalan sudah biasa di jam-jam kerja seperti sekarang.
Di tengah kemacetan dan suara klakson yang saling menyahut, hal-hal aneh pun mulai terjadi. Hiasan gantung yang mengalungi kaca di dashboard mobilku mulai bergoyang dengan sendirinya. Awalnya hanya goyangan kecil hingga akhirnya mobilku ikut bergoyang dan mengaduk-adukku di dalam. Gempa bumi berkekuatan besar mengguncang Banda Aceh. Suara klakson yang saling bersahutan kini  berubah menjadi jeritan manusia-manusia yang berusaha menyelamatkan diri. Orang-orang meninggalkan kendaraannya dan berlari histeris tak tahu arah.
Aku berusaha untuk teteap tenang dan duduk di jok mobil. Walaupun sudah berusaha semampu mungkin untuk tenang, gempa yang besar itu tentu saja dapat membuat ngeri semua orang. Aku terhantam ke kanan dan kiri. Kepalaku membentur bagian atas mobil dan membuatku mual dan pusing. Hanya zikir dan istigfar yang bias kulantunkan. Berharap Allah memberikan pertolongannya kepadaku.
Gempa itu ternyata berlangsung sangat lama. Terlalu lama untuk membuatku mual dan mengeluarkan isi perutku. Setelah kesadaranku kembali dengan sempurna, aku melihat ke sekeliling dan menyaksikan Banda Aceh yang sudah porak poranda dihantam gempa. Aku semakin melancarkan zikir dan istigfar.
Yang kupikirkan saat ini bukan lagi tentang rapat, kantor, dan urusan duniawi lainnya. Aku hanya memikirkan keselamatan diriku. Aku keluar dari mobil dan segera mencari tempat aman terdekat. Dengan tergopoh-gopoh aku berusaha menggapai masjid Baiturrahman yang berada tidak jauh dari posisi kendaraanku. Sesekali aku melompat kecil untuk menghindari kendaraan-kendaraan yang sudah tidak bertuan dan jalanan kota yang mulai retak.
Berhasil sampai di masjid, kekhwatiran yang justru menghampiriku. Gulungan air yang sangat tinggi meluncur dengan cepat menyapu seluruh isi kota. Tsunami yang datang melengkapi gempa besar yang terjadi sebelumnya. Aku dan sekian banyak orang-orang yang berlindung di masjid hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Allah. Desiran ombak yang menghantam disertai dengan jeritan dan tangisan orang-orang yang hanya bisa melihat seluruh kota tersapu bersih oleh air.
Rumah Allah yang saat ini menjadi tempatku bernaung menjadi satu-satunya tempat yang paling aman. Tsunami yang menerjang seakan enggan menghantam masjid Baiturrahman. Hingga berjam-jam lamanya, tsunami baru benar-benar selesai. Setelah memastikan semuanya sudah aman, manusia berhamburan keluar masjid dan berusaha mencari harta dan sanak kelurganya yang masih tersisa.
Ratusan manusia terdampar tak berdaya di jalanan-jalanan kota. Kendaraan dan benda-benda bermacam rupa tergeletak berantakan. Tsunami ganas telah meluluhlantahkan kotaku.
“Setiap peristiwa selalu ada hikmahnya, nak” aku dikagetkan dengan seorang kakek tua yang berdiri di sampingku.
“Lalu menurut kakek, apa hikmah di balik ini semua?”
“Bisa berupa ujian atau sebuah peringatan yang Allah timpakan kepada kita. Kau akan tahu jawabannya,” setelah kembali menengok ke samping, kakek tua itu sudah hilang dari hadapanku. Ada sebab ada akibat. Ada tindakan maka ada konsekuensi. Apapun yang terjadi hari ini tidak akan kulupakan, bahkan dunia. Tamat.
12 notes · View notes
nabilzuhdy · 5 years
Text
Harap
Aku dapat merasakan detakan jantungku berdegup kencang. Hari ini tepat hari bersejarah bagiku. Mengenakan seragam ini membuatku berkeringat hingga membasahi bagian dalam pakaianku.
“Kau tidak apa-apa, Chris?”
“Aku hanya sedikit basah disini,” kusambung dengan tawa kecil. Wanita muda di hadapanku ikut tersenyum.
“Tak apa. Saat sudah mengudara kau akan terbiasa dengan seragam itu”.
Mau tidak mau aku harus mengenakan seragam astronot ini. Beratnya yang mencapai lebih dari 60 kg ini memang dirancang agar para astronot yang berada di luar angkasa mampu bertahan hidup. Seragam ini juga mampu menyesuaikan tekanan dan suhu bagi tubuh manusia.
Perasaanku saat ini antara perasaan senang dan takut. Aku sangat senang saat terpilih menjadi satu-satunya orang yang akan menjadi saksi sejarah sebagai manusia pertama yang menjelajahi luar angkasa seorang diri. Di lain sisi, aku merasa sangat takut, pengembaraan yang hanya kulakukan seorang diri ini lebih seperti misi bunuh diri. Menjelajahi antariksa yang tak terbatas seorang diri nyaris mustahil untuk dilakukan. Dengan pikiran-pikiran itu, sekali lagi kucoba untuk meyakinkan diri sendiri.
“Kau sudah siap, Chris?” suara Prof. Jeffrey mengagetkanku.
“Tentu, Prof,” jawabku dengan mantap.
“Baguslah. Jangan lupa untuk mengaktifkan portal tepat pada waktunya”.
Tentu saja aku tidak akan lupa. Aku telah mengingat semua intruksi yang diberikan kepadaku dengan sempurna. Beberapa menit pun berlalu dengan cepat. Semakin dekat pada momen peluncuran penjelajah antariksa pertama di dunia. Itulah aku.
Tiba waktunya keberangkatan, kulangkahkan kaki menuju pesawat di hadapanku. Sekilas, kutengok ke belakang, kepada orang-orang yang selalu mendukungku hingga saat ini. Anna selalu yang menarik perhatianku. Wanita muda itulah yang tanpa lelah selalu menyemangatiku. Dari balik seragam, kulambaikan tangan kepadanya, dan kepada mereka semua. Aku pun berbalik dan dengan yakin memasuki pesawat. Selang beberapa saat setelah pintu tertutup, keadaan di sekelilingku terasa lengang.
Setelah masuk, aku langsung mengambil posisi duduk senyaman mungkin di kursi kemudi. Layar dan tombol-tombol di hadapanku sangat meriah memenuhi kendali kemudi. Di bagian atas, tuas-tuas kemudi bergelantung dengan kokohnya.
Dari arah luar, sayup kudengar hitungan mundur peluncuran terdengar. 7, 6, 5, 4,.. jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang.
3, 2, 1,… beberapa saat menjadi keheningan yang sangat mencekam. Kurang dari sedetik, tubuhku bergetar hebat dikarenakan getaran mesin roket bertenaga super. Roket pun terbangdan  semakin menjauhi bumi. Tubuhku terdorong. Semakin tinggi, bagian-bagian pendorong roket mulai terlepas hingga hanya menyisakan badan pesawat yang kutumpangi.
Semakin lama getaran mesin mulai berkurang hingga nyaris tak terasa lagi. Itu artinya aku telah melewati masa-masa kritis saat peluncuran. Melalui jendela di sampingku, aku dapat melihat jelas Planet Bumi dan Bulan yang mengitarinya. Di baliknya, cahaya matahari menembus jendela menyilaukanku. Pemandangan inilah yang selalu kuimpikan sejak kecil.
Terlepas dari itu semua, aku harus fokus pada tugasku disini. Pergi ke Planet Gliese 667Cc merupakan yang pertama bagi umat manusia. Planet ini sudah lama menjadi objek penelitian antariksawan-antariksawan dunia. Planet ini dinyatakan sebagai planet yang paling menyerupai  Bumi karakteristiknya , dan paling menjanjikan sebagai planet berpotensi layak huni, Gliese 667Cc terletak di zona layak huni bintang induknya dan hanya berada 22 tahun cahaya jauhnya dari Bumi, yang berarti berada di lingkungan kosmik kita.
Angka di layar kemudi pun terus menghitung mundur. Waktu pengaktifan portal tinggal beberapa menit lagi. Di saat yang tepat, aku harus menekan tombol pengaktifan, tidak boleh terlalu cepat atau terlalu lambat, atau hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Portal itulah yang nantinya akan membawaku jauh ke Planet Gliese 667Cc. Ilmuwan dunia menamakan portal itu dengan “Lubang Cacing” atau “Wormhole”. Aku lebih senang menyebutnya dengan portal ruang dan waktu. Portal itu memungkinkanku untuk berpindah ke galaksi yang jauh hanya dalam hitungan menit bahkan detik.
Sesampainya disana, aku harus meneliti dan memastikan bahwa Planet Gliese 667Cc layak huni dan mampu ditempati makhluk hidup. Saat ini, ilmuwan dunia tengah berusaha mencari dan meneliti planet-planet yang mampu ditinggal manusia. Para ilmuwan memprediksi Bumi tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi untuk ditinggali. Layaknya makhluk hidup, planet juga memiliki umur yang suatu saat akan habis. Oleh karena itu, misi yang kujalankan ini menjadi sangat penting, karena menyangkut keberlangsungan hidup manusia. Tanpa sadar, diriku yang penuh dengan banyak pikiran mulai terlelap. Dunia di sekitarku menjadi gelap.
 ***
 Perlahan aku terbangun dari tidur. Kontrol kemudi dan tombol-tombol lah yang pertama menyambutku. Mendadak kantukku hilang dalam sekejap. Layar di hadapanku yang tadinya menghitung mundur kini berbalik menghitung maju. Disertai lampu merah yang berkedip-kedip dia atasnya, angka di layar kini menunjukkan hitungan maju yang sudah melebihi beberapa menit. Aku terlambat mengaktifkan portal.
Setengah panik, buru-buru aku menekan tombol pengaktifan. Selama beberapa detik menegangkan itu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Aku hanya bisa menahan napas. Selang cukup lama, portal pun aktif dan membuka di hadapan pesawat. Tanpa pikir panjang langsung kumasuki portal dan tenggelam ke dalamnya.
Selama beberapa menit aku mengarungi lorong panjang tanpa ujung hingga pada titik tertentu berhasil keluar dari dalamnya. Mungkin sekarang aku sudah semakin dekat dengan Planet Gliese 667 Cc. Untunglah aku dapat keluar dari lorong dengan selamat. Kupikir, aku akan terjebak karena keterlambatanku.
Kujalankan pesawat dengan kecepatan sedang dan lancar. Aku berhasil, pikirku.
 ***
 Pesawat masih terus terbang dengan kecepatan sedang. Cukup aneh, seharusnya aku sudah sampai sekarang. Keluar dari portal, navigasi dan komunikasi pesawat mendadak tidak berfungsi. Menganggap ini hanya gangguan teknis, aku tidak terlalu ambil pusing. Tetapi, gangguan yang berkepanjangan ini lama-lama membuatku panik. Sampai saat ini aku hanya terbang tak tahu arah di angkasa yang luas.
Semakin jauh pesawatku terbang, aku dikagetkan dengan pemandangan yang terhampar di hadapanku. Tepat di depanku tampak planet yang begitu kukenali. Dengan bulan yang setia mengitarinya, Bumi yang ada di hadapanku tidak seperti yang kukenal sebelumnya. Bumi penuh dengan satelit-satelit yang mengitarinya. Aku bahkan tidak ingat manusia pernah menerbangkan satelit hingga sebanyak ini.
Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain mendarat karena navigasi dan koneksiku yang terputus. Langsung saja aku mendekati Bumi dan mencari tempat untuk mendarat.
Semakin mendekati Bumi aku semakin heran. Pemandangan yang ada di hadapanku tidak seperti yang kukenal sebelumnya. Aku yakin sekali aku mendarat di Kota New York, tapi yang kulihat hanya jejeran gedung-gedung tinggi berarsitektur futuristik yang sangat modern. Sebuah perubahan yang sangat drastis sebelum aku meninggalkan kota kelahiranku ini. Yang kukenali dari kota ini sekarang hanyalah Patung Liberty yang masih berdiri kokoh layaknya dahulu kala. Hampir tidak ada satu pun orang di kota ini.
Aku pun terus terbang rendah untuk mencari keberadaan manusia yang ada. Hingga sampai di sebuah lapangan rumput yang luas, aku melihat beberapa remaja tanggung tengah bermain sepak bola. Aku pun segera merapatkan pesawat berbadan besar ini dan mengambil posisi mendarat yang sesuai. Para remaja yang tengah bermain itu pun tampak kaget dan berlari tunggang langgang saat melihat pesawatku mencoba mendarat. Mereka terlihat sangat ketakutan dan bersembunyi di balik pepohonan di sekitar lapangan.
Setelah memastikan pesawat mendarat dengan sempurna, aku pun langsung keluar pesawat dan melepaskan seragam astronotku.
“Angkat tangan atau kau akan kami tembak!!” salah seorang remaja dari balik pohon mengarahkan pistolnya kepadaku. Diikuti oleh remaja yang lain yang ikut mengarahkan pistol kepadaku. Aku hanya pasrah dan mengangkat tangan.
“Apa yang kau lakukan disini , manusia tamak?” timpal remaja yang lainnya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi disini,” jawabku agak panik.
Salah satu dari mereka mulai menelitiku dari ujung kaki hingga kepala. “Kau tahu sekarang tahun berapa?”
“2087?” satu alisku terangkat.
“Sepertinya kau tertinggal 150 tahun yang lalu,” tambah remaja yang lainnya.
“Apa maksudnya?” aku semakin kebingungan.
“Sekarang kau berada di tahun 2237, kawan”.
“Apa? Benarkah? Oh tidak. Sepertinya aku telah terjebak selama 150 tahun di dalam lubang cacing”.
“Apa yang kau lakukan dengan lubang cacing?” tanya remaja itu dengan sinis.
“Aku sedang dalam tugas penting dan rahasia. Maaf tidak bisa memberitahukannya pada kalian,” balasku tak kalah sengit.
“Tapi apa yang terjadi disini? Kenapa kota ini sangat sepi?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang semakin panas itu.
Dengan enggan salah seorang dari mereka menjawab, “beberapa tahun yang lalu, manusia yang sudah lama membicarakan keberadaan planet yang menyerupai Bumi pun akhirnya mencapai puncaknya. Setelah memastikan Planet Gliese 667Cc mampu ditempati makhluk hidup, perusahaan-perusahaan transportasi antariksa mulai menjual tiket kesana dengan harga yang sangat mahal. Dengan embel-embel “Bumi Akan Musnah” pun menyebabkan manusia melakukan migrasi besar-besaran. Akan tetapi tentu saja hanya orang-orang yang mampu membayar tiket lah yang bisa pindah. Orang-orang kaya dan pejabat-pejabat pemerintah terbang meninggalkan orang-orang yang tak mampu membayar tiket.”.
Aku hanya diam membisu. Kalau mereka tahu aku merupakan bagian dari penelitian itu mungkin mereka akan marah dan membunuhku. Aku tidak memikirkan akan sampai sejauh ini sebelumnya.
“Terjadi pertentangan besar-besaran dari seluruh warga dunia”.
“Mereka hanyalah orang-orang yang tamak. Selalu berpikiran bahwa Bumi akan musnah. Di lain sisi, mereka tidak pernah menjaga Bumi dengan polusi dan pencemaran yang mereka lakukan,” mereka saling menimpali.
Yang mereka katakan mungkin memang benar. Aku pun manggut-manggut mengiyakan.
“Akan tetapi ada satu hal yang kami syukuri adalah kami dapat memulainya dari awal kembali. Dengan menjaga lingkungan dan planet kita tercinta”.
Dengan energi pesawat yang sudah habis, mungkin aku tidak dapat kembali lagi ke masa sebelumnya. Aku tidak akan sedih tidak dapat kembali ke masa sebelumnya. Tidak ada yang perlu disesali. Saat ini aku dipenuhi dengan perasaan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Harapan.
11 notes · View notes
nabilzuhdy · 5 years
Text
Sahabat Lintas Waktu
          Malam itu seperti malam-malam biasanya di ibu kota. Diantara komplek gedung-gedung bertingkat berdiri sebuah kelab malam dengan angkuhnya. Sebuah kelab malam yang meyimbolkan dunia malam ibu kota ini tampak sepi dari biasanya. Sebuah penerangan yang memadai dan arsitektur gedung yang mumpuni juga menambah kesan elegan dari kelab malam tersebut.
           Di dalamnya seorang remaja tanggung telah menenggak habis botol kedua dari birnya. Ditemani seorang penghibur wanita di sampingnya menambah kegembiraan malam remaja itu. Kini tampaknya remaja tersebut sudah sepenuhnya kehilangan kesadaran. Ia mulai meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami. Wanita yang menemani malam remaja itu kini mulai merasa terganggu dengan tingkahnya, ia pun melepaskan rangkulan remaja itu dan beranjak pergi meninggalkannya.
           Kini tinggal sang remaja sendirian bersama dunia fantasinya. Ia masih asik meracau dan bertingkah aneh hingga penjaga kelab malam mengusirnya karena sudah terlalu larut. Remaja tanggung tersebut mulai berjalan tanpa arah. Ketidaksadaran sudah sepenuhnya mengendalikan dirinya. Sang remaja masih saja tertawa bahagia, seakan hari ini bukan hari yang berat dalam hidupnya.
           Selang beberapa jam yang lalu, kematian sang ayah sempat membuat Bayu terpukul. Ia merasa sangat sedih hingga tak tahu kemana lagi ia harus menumpahkan kesedihannya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah peribahasa yang paling pantas menggambarkan keadaan Bayu sekarang. Berita kematian ayahnya ini menambah kegalauannya sejak dikeluarkan dari sekolahnya beberapa hari yang lalu.
           “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar, Nak. Jangan pernah berhenti untuk berharap kepada Allah. Segala yang terjadi di dunia sudah berada dalam ketetapan-Nya”.
           Kalimat yang diucapkan ibunya ini tidak dihiraukan olehnya. Ribuan nasihat tidak ada yang pernah membekas.
           Keesokan harinya, Bayu terbangun dari tidur panjanganya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata memandangi langit-langit kamar. Ia mendekatkan arloji yang melingkar di tangan kirinya, dan memperhatikan jarum jam yang terus bergerak tanpa henti. Arloji casio hitam itu kini menunjukkan jam 9 lebih beberapa menit. Setelah sepenuhnya mengumpulkan nyawa dan kesadarannya kembali, ia paksakan dirinya bangkit dari kasur dan berjalan menuju dapur.
           Ia mendapati ibunya tengah sibuk memasak sarapan. Bayu langsung menarik kursi meja makan dan mengambil posisi duduk yang nyaman.
           “Akhirnya kamu bangun. Ibu lagi masakin makanan kesukaanmu nih,” sapa Ibu yang menyadari kehadiran Bayu. Bayu hanya membalasnya dengan anggukan lemah dan tatapan kosong ke depan.
           Ibu yang tengah sibuk memasak kini mengambil sedikit kuah capcay dari wajan menggunakan sendok kecil. Ia tampak mengangguk tanda capcay yang ia masak sudah siap dihidangkan. Usai mematikan kompor, Ibu menuangkan capcay ke sebuah piring bercorakkan bunga dan mengantarnya ke meja makan.
           “Spesial untuk yang baru bangun,” seraya menghidangkan makanan, Ibu terkekeh dengan leluconnya sendiri. Bayu hanya membalasnya dengan senyum hambar. Ibu mengambil posisi yang berlawanan arah dengan Bayu, dan kini mereka berada di posisi yang saling berhadapan. Tanpa perintah, keduanya mulai makan. Suara dentingan sendok dan piring mendominasi sarapan pada hari itu. Selebihnya, hanya kesunyian yang menemani sarapan pagi mereka.
           “Tadi malam teman kamu ya?” tanya Ibu yang memecah keheningan. Bayu yang sedang makan kini terhenti dan sedikit melirik Ibunya. Satu alisnya terangkat meminta kejelasan dari apa yang diucapkan Ibunya. “Bukannya saat kamu mabuk tadi malam teman kamu yang ngantarin ke rumah?” sontak Bayu kaget mengetahui bahwa Ibunya mengetahui dirinya sedang mabuk tak sadarkan diri tadi malam.
           “Maafkan aku Ibu,” Bayu tertunduk dalam dan merasa tak mampu melihat wajah Ibunya. Ibu hanya tersenyum kepadanya.
           “Ibu yakin suatu hari nanti kau akan berubah,” kini senyum Ibu semakin merekah membuat Bayu semakin dalam tertunduk. “Lalu, siapa orang yang mengantarmu tadi malam?” lanjut Ibu masih dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
           “Teman?” kini Bayu mengangkat wajahnya dengan raut wajah yang tidak bisa digambarkan.
 ***
             Suara riang anak-anak terdengar riuh. Keadaan taman hari ini tampak bahagia. Seorang pemuda tampak berjalan lambat dan masih asik dengan pikirannya sendiri. Mungkin ia masih memikirkan ucapan Ibunya saat sarapan pagi tadi. Orang mana yang mau nganterin gua coba. Bayu yang tidak sadarkan diri tadi malam hanya bisa berprasangka tentang orang yang dimaksud Ibunya. Selagi masih sibuk dengan banyak dugaan, tanpa sadar Bayu dihampiri oleh seorang remaja tanggung yang mengenakan putih polos dengan celana chino hitam yang tampak cocok ia kenakan. Sekilas dari yang dilihat, remaja itu tampak ramah dan ceria dari segala sisi.
           “Bayu, gimana pagi lu?” suara serak remaja itu kini mengagetkan Bayu dari lamunannya. Bayu yang merasa terganggu dengan kehadiran remaja itu hanya mengabaikannya dan lanjut berjalan. “Gua yang nganter lu tadi malem. Gak usah sibuk mikirin”.
           Seakan bisa membaca pikirannya, Bayu yang sudah berjalan cukup jauh kini tampak menoleh ke belakang. Perhatiaan Bayu kini sepenuhnya tertuju pada remaja di hadapannya. Membaca kebingungan Bayu, remaja tersebut berjalan menghampiri Bayu dan menepuk bahunya.
           “Kenalin, gua Fajar. Teman setia lu,” remaja itu tersenyum lebar yang justru semakin membuat Bayu penasaran.  
           “Fajar siapa sih? Sok kenal banget lu ama gua,” kini remaja yang bernama Fajar itu terkekeh mendengar tanggapan Bayu
           “Nanti lu juga tau kok siapa gua,” Fajar langsung pergi meninggalkan Bayu dengan teka-teki besar di benaknya.
 ***
             Wanita paruh baya itu tampak duduk dalam kecemasan di ruang tamu rumahnya. Bukan kali ini ia merasa cemas, bahkan beberapa bulan terakhir ini ia selalu dihantui kecemasan dan kekecewaan. Kematian suaminya menambah beban berat yang harus ia tanggung, seorang anak remaja yang harus ia besarkan sendiri. Sebuah tantangan tersendiri membesarkan seorang remaja laki-laki di zaman serba bebas ini, apalagi ditambah tanpa kehadiran sang suami.
           Di tempat yang berbeda, sang anak telah menghabiskan batang rokok terakhir dari bungkus yang baru ia beli. Tak lupa kopi hitam turut menemani malamnya di warung Mpok Imah malam itu. Bayu melamun memandangi langit malam.
           Tak selang beberapa lama Bayu dikagetkan dari lamunannya dengan kehadiran beberapa remaja seumurannya yang menghampirinya dengan cepat. Mereka berjumlah 4 orang dengan tatapan yang sepenuhnya tertuju pada Bayu. Bayu yang mengetahui benar apa yang terjadi kini segera berdiri dari tempat duduknya dan hendak melarikan diri. Sebelum sempat ia melarikan diri, kerah bajunya sudah berada dalam cengkraman salah seorang dari mereka yang berbadan paling besar. Bayu tak tinggal diam. Dia mencoba melawan dan berusaha melepaskan cengkraman remaja tersebut dari kerah bajunya.
           “Ngaku aja. Lu kan yang ngambil duit kita?!” bukannya mengendurkan, justru remaja itu semakin kuat mencengkram kerah baju Bayu. Kini 3 orang yang bersama remaja itu mulai mengerubungi Bayu dan mulai memukulinya. Bayu dapat dengan jelas merasakan berbagai pukulan yang bersarang di tubuhnya. Sebuah pukulan kini tepat mengenai rahang bagian bawahnya. Bayu pun tumbang dan ia merasakan kini dunianya perlahan mulai gelap hingga ia sepenuhnya hilang kesadaran.
 ***
           Sri masih sibuk membersihkan luka memar yang kini menghiasi wajah anaknya.  Perasaannya bercampur aduk antara iba dan kecewa. Seraya perlahan mengambil kain yang sudah basah terkena air hangat, ia dengan hati-hati membersihkan luka-luka pada wajah anaknya.
           Bayu yang terbaring di kamarnya itu kini perlahan membuka matanya. Kamar yang bercatkan abu-abu dengan kehadiran sang Ibu di sampingnya menjadi pemandangan pertama yang dilihat Bayu setelah terbangun. Ibunya yang melihat ia sudah sadarkan diri tersenyum seperti biasanya.
           “Jangan dapaksain gerak dulu. Kamu sih macam-macam aja kerjaannya,” Bayu tampak tertawa hambar mendengar Ibunya.
           “Untung temanmu mau ngantarin lagi kamu balik,” sambung Ibu.
           Teman? Dia lagi? Sejenak Bayu kembali teringat pada remaja tanggung yang kemarin menghampirinya di taman.
           “Iya nih,” Bayu kembali terkekeh mencoba mengalihkan perhatiannya.
           Setelah semua lukanya sudah dibersihkan, Bayu mencoba untuk bangkit dari kasurnya. Setelah mendapatkan izin dari Ibunya, ia berjalan-jalan keluar rumah untuk mencari udara segar. Ia langsung menuju taman yang sama yang ia datangi kemarin. Taman itu terletak hanya beberapa langkah dari rumah Bayu. Setiap harinya anak-anak yang tinggal di komplek rumahnya menghabiskan waktu bermain disana. Bagi Bayu, taman ini selalu special dan menjadi pilihan yang tepat di saat ia merasa bingung atau dihadapkan pada suatu masalah. Suasananya yang masih asri dan rimbun dapat membuat siapa saja merasa nyaman selama berada disana.
           Dari kejauhan, Bayu dapat dengan jelas melihat seorang pria yang begitu ia kenal tampak duduk santai di kursi taman. Bayu terus berjalan mendekatinya. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping remaja tersebut. Remaja itu yang dikenal Bayu sebagai Fajar menyadari kehadiran Bayu.
           “Gimana luka-luka lu? Udah enakan?’ Fajar kini menoleh menatap Bayu. Ia memelototi Bayu seakan coba menerawang keadaan Bayu
           “Santuyy,” Bayu tertawa kecil mendengar jawabannya sendiri. Fajar yang berada di sampingnya kini ikut tertawa. “Lu lagi yang nganterin gua balik?”
           “Iya,” jawab Fajar singkat. “Gua kan teman setia lu’.
           “Gua gak tahu lu ngomong apaan, tapi makasih ya selama ini udah bantu gua”.
           “Santuyy,” balas Fajar yang mengikuti jawaban Bayu. Kini keduanya saling tertawa. Setelah itu obrolan mereka berlanjut dengan sekali-kali mereka tertawa bersama.
 ***
           Bukan hal yang mudah bagi pecandu rokok dan minuman keras untuk berhenti dari kebiasaan buruknya, begitu juga yang terjadi pada Bayu. Berusaha memenuhi hasrat yang kian membara, kini ia dengan botol minuman keras yang tinggal setengah di tangan kanan dan batang rokok di tangan kiri tampak setengah sadar dan mulai meracau tak tentu arah.
           Bayu masih terduduk setengah sadar di samping jalan protokol perkotaan. Orang-orang yang melalui jalan tersebut hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan Bayu yang tak tahu diri itu. Mata Bayu yang setengah kabur karena mabuk itu tampak melihat segerombolan pria berbaju hitam polos tampak berlari ke arahnya. Belum sempat bertindak, Bayu sudah ditarik kabur ke sebuah gang kecil lalu berlari di tengah pemukiman padat warga ibukota.
           “Berhenti oy. Gua mual, gak tahan lagi,” tiba-tiba Bayu menghentikan langkahnya. Orang yang menariknya lari menoleh ke belakang. Itu Fajar.
           “Ayo kita harus kabur. Kalo gak polisi-polisi tadi bakal nyusul kita,” kini Fajar masih berusaha menarik tangan Bayu untuk terus berlari.
           Dari belakang polisi-polisi itu tampak mengejar dan semakin mendekat. Bayu yang tidak punya pilihan lain terpaksa mengikuti Fajar yang membawanya semakin jauh dari keberadaan polisi-polisi yang mengejarnya. Setelah dirasa aman dari kejaran polisi, akhirnya mereka bisa bernafas lega.
           “Gua heran ama lu, mau aja nolongin gua,” masih dengan nafas terengah-engah, Bayu bertanya pada Fajar.
           “Karena gua teman setia lu,” Fajar seakan bisa membaca kebingungan di raut muka Bayu, ia kembali melanjutkan, “Gua tau lu bingung sama semua omong kosong gini. Gua sahabat lu. Gua datang dari masa depan buat ngubah hidup lu yang sekarang jadi lebih baik,” kini Bayu semakin kebingungan dengan apa yang diucapkan Fajar.
           “Sekarang gua minta lu pejamin mata lu. Lu pegang erat tangan gua. Apapun nanti yang bakal lu rasain jangan pernah buka mata lu. Paham?” Bayu sempat ragu-ragu sebelum akhirnya ia mengangguk mengiyakan.
           Mengikuti apa yang diperintahkan Fajar, Bayu menutup matanya dan memegang erat tangan Fajar. Selang beberapa lama, Bayu merasakan sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya. Ia merasakan pening dan mual yang tak tertahankan. Ia hampir saja membuka matanya, tetapi ia teringat kembali perkataan Fajar yang melarangnya membuka mata apapun yang terjadi. Hal itu ia rasakan selama beberapa lama hingga mual yang ia rasakan sudah benar-benar berhenti.
           “Sekarang lu bisa buka mata lu,” suara Fajar mengagetkan Bayu. Bayu perlahan membuka matanya dan mendapati dirinya sudah berada di tempat yang berbeda. Kini ia tengah berdiri di suatu ruangan berukuran sedang dengan dinding yang berwarnakan putih seluruhnya. Di dalamnya terdapat sofa dan meja yang beralaskan kaca. Diatas meja tampak ornamen bunga yang memperindah tampilan ruangan itu. Ini rumah sakit.
           Selagi sibuk melihat sekeliling ruangan yang ia tempati sekarang, ia mencari keberadaan Fajar. Ia menemukan Fajar sedang berdiri mematung menatap ke orang yang terbaring pada ranjang yang berada di sampingnya. Bayu pun mendatangi Fajar dan berdiri tepat di sampingnya. Ia melihat apa yang Fajar lihat. Bayu melihat pemandangan yang mengerikan sekaligus iba. Tampak seseorang tengah terbaring lemah diatas ranjang dengan selang infus yang ada di tangan kirinya. Mukanya sangat tirus dan sudah tidak ada sehelai rambut pun yang menempel di kepalanya.
           “Dokter memvonis lu yang sekarang sedang sekarat ini akan wafat dalam beberapa hari ke depan,” sekarang wajah Fajar tampak serius. “Dengan kebiasaan yang lu lakuin sekarang, lu bakal berakhir kaya lu di zaman ini. Gua gak mau kehilangan lu buat selamanya Bay,” kini Bayu memandangi Fajar yang mulai terisak.
           Bayu membuang muka tak tahan melihat Fajar yang menangis semakin keras. Kini di pikirannya bukan lagi pertanyaan tentang bagaimana cara ia hingga sampai ke waktu yang sekarang, atau berbagai hal lain yang masih membingungkannya. Kini ia benar-benar merasa terpukul dengan apa yang ada di hadapannya sekarang. Dirinya di waktu yang akan datang tampak terbaring tak berdaya. Hidup segan mati pun tak mau.
           Keheningan mulai melanda membuat suasana semakin canggung diantara mereka berdua. Kini Bayu sibuk dengan pikirannya sendiri. Seiring berjalan waktu, tangisan Fajar mulai mereda dan mulai kembali tenang.
           “Ayo, kita harus balik, keburu ada yang liat,” Fajar yang sudah mulai tenang kini menghapus air matanya. “Dimensi waktu memiliki waktu yang sangat terbatas, sini tangan lu! Jangan lupa tutup mata!” Bayu hanya bisa menaati perintah Fajar, dengan enggan ia menggapai tangan Fajar yang menjulur ke hadapannya.
           Semua itu berlangsung sangat cepat. Kini Bayu telah kembali ke waktu seharusnya ia berasal. Ia telah kembali tapi tidak dengan Fajar. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Satu hal yang Bayu yakini, teman bisa pergi tapi tidak dengan kenangan.
 ***
             Matahari pagi telah menyingsing di ufuk timur, sebuah minggu pagi cerah seperti biasanya. Usai melaksanakan sholat Shubuh, Bayu membaca beberapa dzikir pagi sesuai anjuran Nabi. Setelah selesai melaksanakan rutinitas paginya itu, Bayu langsung menggapai sepatu running yang tersusun rapi di raknya.
           “Bu, aku berangkat dulu ya,” teriak Bayu kepada Ibunya yang tengah sibuk memasak di dapur.
           “Iya, hati-hati. Jangan terlambat pulang buat sarapan ya,” Ibu menyahut dari arah dapur.
           Usai memasang sepatu dan melakukan beberapa peregangan, Bayu mulai jogging mengelilingi komplek. Di tengah perjalanannya ia melihat seseorang yang sangati ia kenal. Spontan Bayu langsung berlari ke arahnya
           “Hai. Kenalin, gua Bayu. Teman setia lu,” sebuah senyum tulus dan uluran tangan yang Bayu berikan. Orang yang berada di hadapannya tampak bingung dan menyambut uluran tangan Bayu, “Gua Fajar,” sebuah senyum balasan yang tidak kalah tulusnya. Hari itu semuanya terbukti, seorang sahabat tidak akan benar-benar meninggalkanmu. End.
17 notes · View notes
nabilzuhdy · 5 years
Photo
Tumblr media
Infografis Tsunami Aceh 2004
6 notes · View notes
nabilzuhdy · 5 years
Photo
Tumblr media
Bingung buat penggunaan tanda seru? Sokin!!
7 notes · View notes