Tumgik
namadankisah ¡ 6 months
Text
Dita dan nasibnya yang tertukar (dengan nasibku)
Namanya Dita, anak baik-baik paling manis dalam hidupku. Keibuan dan pintar pun tak cukup untuk menggambarkan dirinya. Yang jelas, sosok dan karakternya kian menonjol saat dia bersamaku. Maklum, aku adalah manusia yang berkebalikan dengannya. Lucunya, kami betah bersama. Tak cukup sekampus, kami sekamar di kos selama tiga tahun lamanya.
Di malam-malam "perantauan yang nanggung" kami di Depok, Dita dan saya suka bertukar cerita dan asa. Bahkan dalam tataran kata dan frasa, kami sedemikian berbeda. Cerita Dita biasanya tak jauh dari soal keluarga dan teman SMA-nya. Cerita saya biasanya tak jauh dari kisah teman-teman dan dinamika kehidupan di BEM.
Perbedaan di antara kami memuncak kalau sudah membahas asa karir. Dita dulu bercita-cita mulia menjadi ibu rumah tangga sebagaimana ibunya. Cita-cita Dita sungguh sesuai dengan karakternya. Saya dulu sering bayangkan Dita jadi ibu yang super sabar, lembut, dan tentunya pintar. Sementara cita-cita saya yaaa...mirip ibu saya: wanita karier berbaju kantoran, kerja delapan jam sehari dan asik dinas keluar kota.
Namun agaknya kita harus berhati-hati dengan kata-kata sendiri. Lepas 16 tahun dari malam-malam penuh asa itu, aku dan Dita kembali bertemu. Ya, anak kami sekarang yang satu sekolah. Sungguh kebetulan yang menggelikan. Oh ya. Ibuku dan ibu Dita pun dulu satu SMA.
Apa yang berbeda setelah 16 tahun? Nasib kami tertukar! Asa karirku menjelma jadi nasib Dita; asa Dita termanifestasi dalam pekerjaanku. Dita sekarang justru menjadi ibu karir super sibuk. Sudah jadi bu bos dengan segambreng bawahan. Kerja kantoran delapan jam sehari, bolak balik luar kota dan luar negeri. Sebaliknya, aku yang akhirnya menjemput asa Dita. Dengan pekerjaanku sekarang, aku bisa lebih banyak menjalankan peran domestik. Peran yang diimpikan Dita sejak ia berusia 19 tahun.
Saat bertukar cerita soal pekerjaan kami sehari-hari, kami cuma bisa saling menertawakan nasib yang tertukar ini. Kok bisa-bisanya di antara sekian banyak perbedaan antara saya dan dia, kami akhirnya disatukan oleh permainan nasib. Termasuk nasib dipertemukan kembali dalam lintasan-lintasan waktu dan ruang yang tak terduga.
0 notes
namadankisah ¡ 6 months
Text
Zane: mabuk menabrak pintu
Namanya Zane. Campuran Iran Rusia. Anak jurusan teknik sipil. Tak ada yang spesial tentangnya kecuali satu: kalau sudah mabuk kelakuannya tak karuan.
Jika pemabuk pada umumnya komat kamit pas on high, Zane punya ciri khasnya sendiri: menabrak pintu. Tak hanya sekali dua kali tapi hampir di segala situasi mabuknya.
Terakhir saat kami berkumpul di rumah Crissie, dan aku hanya satu-satunya Muslim--tentu tidak minum alkohol, Zane dan delapan teman lainnya mabuk wine habis-habisan. Pesan Zane padaku kala itu cuma satu: thank god we have you here, the only Muslim among us. We need Muslims to keep our sanity intact. Dikatakannya pesan itu sambil menegak sebotol red wine. Ya... Aku paham dan sudah biasa jadi si paling waras di antara yang lain terbuai CnH2n+2O.
Buatku biasa saja. Justru kadang aku iba jika meninggalkan mereka di saat on high. Karena terakhir di rumah Crissie saat itu, aku lagi-lagi jadi orang yang memandu mereka menyeberang ke halte bis terdekat utk mereka pulang. Tapi Zane selalu paling parah. Tak cukup diantar sampai halte bis. Jalannya harus kutuntun agar ia tak menabrak-nabrak pintu. Dan ya, seperti yang sudah kuduga. Dia menabrak pintu lagi. Kali itu pelipis kirinya yang menghantam pintu sampai lebam.
Oh Zane. Ada apa kamu dengan pintu? Tak bisakah reaksi mabukmu sekadar bernyanyi semalam suntuk?
0 notes
namadankisah ¡ 2 years
Text
Rossie dan sambal cobek.
Rosie adalah teman dari teman kampus saya dulu. Gadis tuli keturunan New Zealand-Indonesia. Dengan darah Manado yang mengalir dari garis ibunya, Rosie beberapa kali mengunjungi Indonesia dan cintanya pada Indonesia kian tumbuh di tiap kunjungannya.
Saat diperkenalkan oleh teman saya, Rosie menunjukkan ekspresi bahagia karena menurutnya ia selalu ingin menambah lingkar pertemanannya dengan orang Indonesia. Tak hanya untuk menegaskan darah Indonesianya, bagi Rosie, segala berbau Indonesia sangatlah menarik. Mulai dari tarian, baju, hingga makanan. Rosie tergila-gila pada itu semua. Saya yang lahir sebagai WNI saja tidak pernah mencicipi ragam tarian dan baju tradisional Indonesia.
Sekali waktu Rosie main ke rumah saya di Kelvin Grove. Dengan alasan "pengen ngobrol", Rosie ternyata datang membawa misi mulia: belajar nyambel! Rupanya ia ingat kalau saya selalu sedia sambal dan menyambal sendiri dengan cobek.
Tanpa berlama-lama, Rosie bertanya halus,"can we start nyambal now?" Posenya lebih siap daripada yayuk-yayuk yang hendak mengulek bumbu pecel. Rambutnya yang terurai segera diikat ekor kuda. Lengan bajunya yang panjang segera ia lipat sepertiga. Tak pakai sungkan, ia duduk di lantai menunggu saya memindahkan cobek batu ke lantai.
"Rosie, let's nyambel on the floor so you have more force to crush the chillis and shallots."
"Yes, mam! Not a problem! Bring it to me!"
Grak gruk..srak sruk... Suara cobek beradu dengan lantai rumah. Sesekali Rosie menyeringsut ingus dan menyeka air mata yang keluar akibat sadisnya bawang merah. Tak kenal menyerah meski sudah ditawarkan untuk bergantian mengulek.
Sambal cobek Rosie siap. Ia mencocolnya dengan satu jari. Dan seketika itu teriakannya pecah, "Oh God! That's so hot! Can I have milk, please?" Rupanya ia tak berekspektasi kalau sambalnya sepedas itu. Oh, poor Rosie!
Oia, Rosie memang tuli. Tapi ingat dia tumbuh besar di negara maju. Alat bantu dengar sudah terpasang sejak ia masih kecil sehingga ia bisa mendengar dengan cukup jelas selama alat itu terpasang di telinganya. Soal bicara, meski volume dan vokal hurufnya agak menantang untuk dimengerti, tapi rupanya mudah bagi saya untuk mengerti maksud Rosie sebab dia memang ekspresif. Terutama ketika ia kepedasan. Jelas, sambal cobek bukan untuk separuh lidah New Zealand-nya.
0 notes
namadankisah ¡ 2 years
Text
Karena seni melembutkan jiwa
Sepekan lalu saya berkenalan dengan seorang ibu, sebut saja namanya Binar, anak salah satu tokoh nasional. Kami sama-sama diminta menjadi pembicara dalam sebuah seminar parenting dan sama-sama ditanya mengenai “solusi kecanduan gadget pada anak.”
Kami berdua memiliki jawaban yang agak berbeda namun bermuara pada tujuan yang sama. Buat saya pribadi, gadget bukan lagi hal yang mutlak harus dihindari. Gadget, dengan penggunaan yang tepat, sebenarnya merupakan instrumen yang efektif untuk belajar. Tinggal kita sebagai orang tua menemukan cara “menggunakannya dengan tepat”. Tak mudah, tapi bukan berarti tidak dapat diakali. 
Bagi saya, selain dengan pembatasan waktu penggunaan gadget, orang tua dapat memanfaatkan gadget untuk aktivitas yang mendorong perkembangan dan mengasah jiwa seni anak, seperti menekuni hobi gambar (misal: menggunakan wacom), mendalami teknik menyusun musik digital (misal: dengan adobe audtion). Intinya, energi dan kreativitas anak perlu mendapatkan penyaluran yang tepat tanpa perlu menihilkan penggunaan gadget.
Binar memiliki jawaban yang agak konvensional. Menurut dia, anak juga membutuhkan aktivitas yang sama sekali tidak melibatkan gadget. Seperti bersepeda, menggambar di atas kertas, mematung dan mengukir. Menurut Binar, gadget sebenarnya cuma akan jadi pilihan anak jika mereka sudah tidak punya pilihan aktivitas gerak fisik lainnya. Walaupun jawabannya cukup ekstrem, Binar benar.
Akan tetapi baik Binar maupun saya sepakat, bahwa seni merupakan kegiatan alternatif yang paling efektif untuk mengalihkan perhatian anak dari gadget. Seni tak sekadar mengasah daya kreasi. Seni adalah ilmu yang melembutkan jiwa. Seni membuat kita tak berjarak dengan diri kita sendiri dan waktu yang sedang kita lalui. Seni, apapun bentuk ekspresinya (bernyanyi, menggambar, memasak, bercocok tanam, mengukir hingga menari), pada dasarnya mengajak kita kembali menyensasi kerja panca indra, menakar rasa dan menimbang awas. Seni juga jalan tengah antara menjadi berani sekaligus hati-hati. Keberanian dimanifestasikan dalam bentuk mencipta ide dan merancang bangun. Sedangkan kehati-hatian terwujud dalam eksekusi. Sebuah lukisan yang indah berani menggunakan berbagai warna, tapi detil dan rapih dalam setiap sapuannya. Sepiring masakan lezat, akan sangat kaya citarasa yang tercipta dari detilnya takaran dan penyajian. Begitulah seni kemudian melembutkan jiwa: membuat kita terseret ke dalam arus ide yang membawa kita hanyut ke dalam diri kita sendiri, sekaligus mengapresiasi inspirasi-inspirasi kecil yang menuntun kreasi.
0 notes
namadankisah ¡ 3 years
Text
Bukan tentang dia yang di Brisbane
Tulisan kali ini saya persembahkan untuk sosok misterius zaman saya masih SMA. Karena masih misterius, saya jadi sulit membuat nama samarannya. 
Sosok misterius ini selalu muncul dalam benak setiap saya mendengar lagu-lagu The Cranberries, seperti Linger yang saya sedang dengarkan sekarang.
Betapa tidak. Pada sebuah pagi yang cerah ceria, saya mendapati CD album the Cranberries di laci meja saya. Tak ada pesan khusus di sana. Hanya tertulis: “Selamat menikmati, Inka!”
Dengan pesan alakadarnya, saya nyaris berpikir kalau CD album itu mirip besek yasinan yang biasanya bertuliskan “selamat menikmati”.
Pagi itu saya bertanya ke seisi kelas, siapa yang kasih CD album tersebut. Seperti yang diduga, tak ada yang mengaku. Kalau ada yang mengaku, tentulah sosok ini tak lagi misteri.
Yang menarik untuk saya tuliskan adalah tentang bagaimana sosok-sosok di masa silam dalam lini kehidupan kita bisa menjadi berarti, sekalipun ia adalah sosok misterius. Bayangkan saja, karena CD album the Cranberries, saya jadi makin gandrung dengan aliran rock-alternatif yang pada saat saya masih SMA pilihannya masih sebatas Green Day, Silverchair dan beberapa band lawas lainnya. Maka praktis, sejak saat itu, The Cranberries masuk ke dalam daftar band dan lagu kesukaan saya.
Sosok penuh misteri yang tingkah polahnya saja tidak signifikan masih bisa saya kenang, maka bagaimana dengan mereka yang berpeluh keringat memperjuangkan kebahagiaan saya? tentulah mereka-mereka pejuang kebahagiaan saya ini menambah deret nama yang masuk daftar doa. Mereka yang tiap kalimatnya menjadi pelajaran dan pegangan hidup, penuntun babak-babak kehidupan baru.
0 notes
namadankisah ¡ 3 years
Text
Greg berpayung biru: "Don't get wet today!"
Namanya Greg, anak jurusan kimia. Tak ingat persis kapan kali pertama berkenalan dengan Greg. Jumpa Greg juga hanya sesekali di kampus kota. Itupun hanya kalau saya pas ngopi di kafe Merlo--Greg suka kopi dan kafe Merlo adalah andalannya untuk melepas kantuk.
Siang itu kota Brisbane diguyur hujan deras dadakan. Paginya terik, siangnya penuh petir. Banyak orang, termasuk saya, khilaf tak membawa payung. Tapi Greg bukan bagian dari jamaah khilaf itu. Baginya, payung sewajib kopi. Harus tersedia. Maklum saja, kesibukannya di laboratorium seringkali memaksanya lembur sampai malam, dan pulang dengan keadaan berpasrah pada berbagai kondisi cuaca.
Sudah 10 menit lamanya saya menunggu hujan agak reda siang itu. Posisi saya di koridor depan musholla sangat tidak memungkinkan untuk menerobos hujan menuju ruang kerja. Saya tak boleh kehujanan sebab jikalau basah, saya mesti masuk angin dan ujung-ujungnya malah tak jadi lanjut menyelesaikan paper.
Beruntung di menit ke 11, saya jumpa Greg! Dengan payung birunya, Greg seolah membaca harapan saya menerobos hujan tanpa kebasahan.
"Oh Love! The rain won't stop anytime soon! Come on! Let me cover you and we can conquer the rain!" Tawarnya macam superhero bersenjata payung.
"Oh Greg! What a lifesaver you are!" Tak pikir panjang, tawaran Greg saya iyakan dan dalam sekejap kami sudah berlindung di bawah payung birunya.
Sampai di ujung koridor kantor, Greg "melepaskan" saya dari jangkauan payungnya. Ia pun pamit kembali ke kafe Merlo yang arahnya berlawanan dengan ruang kerja saya. Iya, Greg sesuperhero itu: menaungi dan mengantarkan saya ke tempat yang tidak menjadi tujuannya dan bahkan berlawanan arah di tengah hujan!
"Don't get wet today!" Greg pamit seraya menjauh bersama payung birunya. Bayangnya pun menghilang terhalang tumpahan hujan.
0 notes
namadankisah ¡ 3 years
Text
Julie dan sepotong sepi
Julie adalah salah satu rekan kerja saya sesama pengawas ujian di kampus. Kali pertama kenal Julie adalah ketika koordinator ujian memasangkan saya dengan Julie dalam sebuah ujian kelas besar.
Selama mengawas kami sesekali colongan ngobrol. Julie banyak tanya soal studi dan keluarga saya. Menurutnya cerita-cerita saya soal studi bersama keluarga membuatnya kembali terkenang masa mudanya yang bergelora. Ia menyelesaikan studi masternya sambil merawat tiga anak, suami dan segala urusan domestik.
Sayangnya, di usia 70-an Julie kerap dilanda sepi. Meski memutuskan tinggal di retirement village dan dikelilingi banyak pensiunan lainnya, Julie sering rindu anak-cucunya yang tinggal berjauhan. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun silam, dan anak-cucunya tak bisa sering-sering menengoknya.
Julie bilang bahwa masih ada satu putra bungsunya yang melajang. Julie sendiri berharap anak bungsunya bisa mempersunting gadis Asia.
"You know what, Inka? I always think Asian ladies are way much better at taking care of their families. I wish my son could find a spouse, even an Asian one is better!"
Menurut Julie, perempuan Asia itu tangguh, mandiri tapi tak abai ada keluarganya. Julie sering dengar sekaligus iri beberapa kawannya di retirement village yang memiliki menantu orang Asia sering mendapat perhatian khusus dari menantunya. Mereka sering dijenguk, bahkan tak jarang dibujuk tinggal bersama anak dan menantunya.
"Sometimes I am a bit jealous of my friends getting a lot of care and attention they need from their children and daughter in law. I feel like my kids even don't really notice how bad I am missing them."
Seorang peserta ujian mengangkat tangan minta izin ke toilet di tengah ujian. Sambil mengedipkan sebelah mata, Julie pun menutup curahan hatinya dengan sebuah sponsor:
"If you know a single Asian lady, like Indonesian or Vietnam and you think they're good enough for my son, please let me know. Maybe I can introduce her to my son."
So... Anyone?
0 notes
namadankisah ¡ 3 years
Text
Crissie: sahabat kedua dalam pertemuan pertama
Blog ini mungkin akan cukup sering mengulas kisah tentang Crissie. Sahabat saya asal Afrika Selatan yang rasanya paling sering berinteraksi dengan saya selama studi baik secara tatap muka maupun virtual. Kami masuk di tahun dan fakultas yang sama. Namun kami tidak pernah benar-benar berbagi ruang kerja, apalagi topik penelitian: dia anak media, saya anak desain--kala itu di tahun pertama.
Perjumpaan dengan Crissie adalah perjumpaan “di balik punggung”. Saat kelas orientasi, ia duduk persis di depan saya. Dengan rambut yang super cepak, dada bidang, otot lengan yang padat, postur tubuh tinggi, dada yang (maaf) terlihat nyaris rata, saya sempat mengira dia laki-laki; sampai akhirnya dia menoleh menghadap saya di belakangnya, sambil bertanya,”I am sorry, am I blocking your view back there?”. Setelah terdiam sekian detik karena terkejut kalau dia perempuan, saya pun menjawab datar, “Nah... I am good.”
Tidak lama kemudian tutor meminta kami bekerja secara berpasangan. Crissie yang benar-benar masih jetlag kala itu langsung “menyosor” saya, 
“Sorry, do you mind if we team up? I  just arrived in Brisbane this morning, and I think I am super jetlag at the moment. I could not digest what the tutor said at all, and I think you look very sharp to help me out today.” Crissie menyerocos tak kasih saya kesempatan memberikan pertimbangan. Saya pribadi saat itu sebenarnya lebih memilih berkelompok dengan sesama Asia. Crissie meski asal Afrika, dia adalah warga kulit putih. Pikir saya, mungkin akan lebih “mudah” jika bekerja dengan orang dengan kultur serupa, well... setidaknya sesama Asian.
Karena Crissie nampak sangat fragile siang itu, saya yang keibuan (eh?) ini pun tak berdaya menolak ajakannya. Dan benar saja, sepanjang kelas orientasi berlangsung, nyawa dan pikiran Crissie benar-benar tersangkut entah dimana. Tapi saya bersyukur mengiyakan tawaran singkat-padat-jelas-maksa Crissie siang itu. Sejak siang itu Crissie menjadi sahabat kedua saya. Dia pun mengaku sangat merasa nyaman berkawan dengan saya, dan merasa seperti sedang di rumah saat makan sambil mengobrol dengan saya. 
Crissie pernah beberapa melontarkan justifikasi rasa nyamannya dengan saya, sambil membawa-bawa sejarah Konferensi Asia-Afrika (KAA), “You know what Inka! we are meant to work together! our nations did great in the past when they worked together!”. Menurut dia, orang Afrika punya utang besar pada Indonesia dalam mengalahkan kolonialisme. Oleh sebab itu, menurut Crissie, berteman dengan orang Indonesia macam saya berarti turut merajut kelekatan dua benua sejak masa silam. Saya pribadi tidak begitu ingat sejarah KAA. Buat saya, kisah pertemanan dengan Crissie akan menjadi sejarah manis tersendiri tentang Brissie*.
*Brissie adalah sebutan "slang" untuk Brisbane.
0 notes
namadankisah ¡ 3 years
Text
Warren dan kisah rendang yang tertunda
Namanya Warren, pria tua berbadan besar. Keterampilannya sebagai tukang kayu membawanya pada pekerjaan dan penghasilan yang sangat cukup di hari tuanya.
Warren siang itu datang ke rumah saya. Mengetuk pintu sambil terbatuk kencang,”Good afternoon! I come to repair your door as requested by the landlord.” Sekilas wajahnya sangar. Namun ketika Warren bergegas melepas sepatunya sebelum masuk rumah saya, asumsi saya langsung berubah. Dia pria yang peka, tahu aturan, dan sensitif budaya. Seketika itu juga saya mengapresiasi kepekaannya,”I really appreciate you putting off your shoes. It’s hard sometimes to cue white peoples about the culture we have at our home.”, saya berujar sambil tertawa sedikit. Semoga Warren tidak tersinggung.
Warren bilang ini rumah muslim kedua dalam sepekan yang ia datangi untuk keperluan reparasi. Sebelumnya ia datang ke rumah yang dihuni oleh orang Indonesia di St Lucia, “Don’t worry! I know the rules. The Indonesian lady I visited last time expected me to put off my shoes too! I think it’s sensible if someone wants their home clean at all times.”, Warren membalas sambil  menenteng alat perkakasnya masuk ke dalam rumah.
Sepanjang mereparasi pintu rumah, Warren banyak berkomentar. Ia memuji rumah yang saya huni. Kata Warren, rumah saya ini bagus sekali desain, lokasi, dan sirkulasi udaranya. Ia bahkan tak mengira kalau saya hanya membayar sewa 350 dollar untuk rumah sebaik dan selayak ini. Menurut Warren, rumah sebaik ini biasanya disewakan sekitar 400 dollar. Harga yang lebih murah ini patut disyukuri, “You are lucky to live here!”.
Di sela-sela bekerja, Warren pamit beristirahat sambil duduk di kursi balkon rumah saya. Pujiannya tentang rumah yang saya sewa ini makin bertambah.
“Ah... what a fresh air you’ve got here!”
“This balcony is huge! you can set up a bbq party too here!”
Saya mulai terbiasa mendengar Warren berkomentar. Tak semua komentarnya saya balas lagi. Saya sibuk merendang. Dan rendangnya harus siap sebelum anak bujang pulang sekolah. 
Rupanya, wangi rendang turut ambil peran dalam pujian Warren.
“What do you cook? it smells heaven!”, tanya Warren sambil mengintip ke dapur dari arah balkon.
“Oh.... it’s rendang--Indonesian curry. Have you tried rendang before?"
“Not yet, but I heard it’s very popular in Indonesia and Malaysia. I really wanted to try it one day.”
“Yes, you should try it one day. Actually, my rendang will be completely cooked by 2 pm. I can share a plate if you’re keen.”
“Too bad... I’ll finish in a couple of minutes. I cannot stay a bit longer because another client is waiting for me. Oh but I’ll keep my mind of the rendang. Thanks for offering”.
Warren selesai bekerja pukul 1 siang. Dengan wajah agak menyesal ia pamit sebelum rendang mengeluarkan dedaknya. Alih-alih saya yang berujar terimakasih, Warren lebih dulu mengucapkan terima kasih.
“Thank you for the chit chat. I really enjoy working here and sniffing the rendang! See you next time!”
“I hope nothing is broken again so I won’t need another repair”, saya membatin.
1 note ¡ View note