puspitaputri
puspitaputri
Puspita.P.S
284 posts
It's just a place to express my feelings, my thoughts, my expressions, my experiences and my stories.
Don't wanna be here? Send us removal request.
puspitaputri · 6 years ago
Text
Tarawangsa: Pengalaman Ekspresi Diri yang Magis dan Mistis
Penghujung Agustus 2019 merupakan hari yang cukup sibuk untuk aku dan teman-teman Komunitas Aleut. Setelah malam sebelumnya kami pulang larut selepas menunggu dekorasi untuk Bandung Historace 2019, esok paginya kami sudah stand by kembali di halaman Museum Kota Bandung untuk melaksanankan kegiatan tersebut.
Acara cukup sukses dan menyenangkan, setelah evaluasi akhirnya kami memutuskan untuk mencari makanan. Setelah makan-makan di salah satu café di jalan Naripan, tiba-tiba muncul satu wacana untuk melajutkan petualangan ke Banjaran setelah Abang melihat poster Tarawangsa Banjaran yang dikirim Mang Anggi di WAG bertajuk “Syukuran Ormatan Tarawangsa Banjaran”. Singkat cerita, wacana kali ini menjadi realita, meskipun beberapa teman memutuskan untuk pulang dan beristirahat, masih ada lima motor yang berangkat dengan personil 9 orang ke Banjaran malam itu dengan formasi Abang dan Rani, Upi dan Yasna, Gistha dan Putri, Aku dan Aip serta Tony yang sendiri.
Tumblr media
Di poster, acara mulai jam 8 hingga jam 10 malam. Takut terlambat seperti saat berniat menonton Tarwangsa di Sumedang, kami berangkat sejak sekitar pukul 7 malam. Baru saja keluar dari Jalan Pasir Jaya, di jalanan kami langsung disuguhi pawai obor yang sedang menuju Taman Regol. Di sepanjang perjalanan menuju Banajaran pun kami melihat beberapa pawai obor. Awalnya aku tidak begitu ngeh mengapa orang-orang turun ke jalanan dan berpawai obor, pikiranku cukup penuh dengan banyak hal di sekolah, di rumah dan lainnya untuk bertanya-tanya tentang apa yang terjadi di sekitarku.
Setelah perjalanan yang sunyi dari Pasir Jaya ke Cangkuang Banjaran, kami sedikit berkeliling untuk mencari lokasi Tarawangsa diadakan. Di jalan, kami melihat pawai obor dan Sisingaan yang sedang menuju ke suatu tempat. Ternyata, Sisingaan tersebut juga menuju tempat yang sama dengan yang kami tuju. Setelah bertanya pada warga lokal, kami akhirnya sampai di satu padepokan di belakang Alfamart.
Kami memarkirkan motor dan mengisi buku tamu. Sejak awal datang, yang pertama kali terasa dan terlihat olehku adalah suasana yang berbeda, bau kemenyan dan dupa sangat menyengat di seluruh area, orang-orang berpakaian menggunakan pangsi hitam dan putih serta iket khas sunda, pembawa acara memandu acara dengan Bahasa Sunda dari awal hingga akhir acara, begitu pula warga yang mengobrol, hampir semuanya berbahasa sunda. Sudah sekitar jam 9 malam, tapi acara belum dimulai, mereka masih menunggu pawai dan Sisingaan sampai di lokasi. Akhirnya kami memutuskan untuk silaturahmi ke Alfamart, sekalian membeli makanan dan minuman, juga beristirahat.
Beberapa saat kemudian, acara dimulai. Setelah pembukaan oleh salah satu ketua adat, kami dipersilahkan untuk makan. Di sana sudah tersedia nasi kuning yang ditumpeng dengan telor puyuh, ayam, bihun, tempe orek serta lalapan pakcoy yang di rebus. Aku yang merasa masih cukup kenyang memilih melipir ke pinggir lapangan untuk menulis catatan tentang apa yang ada di sekitar dan apa yang ada di pikiran kala itu, sampai Gistha yang juga melipir di sebelah memberi kode untuk ingin ikutan makan. Akhirnya aku yang menemani Gistha mengambil makanan ikutan makan juga meski sedikit, cuma Aip dan mungkin Rani dan Abang yang tidak makan malam itu. Saat itu, tiba-tiba saja seorang ibu memberikan dua buah jimat kepada Tony, biar selamat katanya, jimat tersebut berupa macam-macam bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih dan cabe yang ditusuk seperti sate menggunakan tusuk sate.
Setelah makan, kami menonton atraksi Sisingaan di lapangan sebelah padepokan. Beberapa orang memanjat dan menari sambil memanggul dua ekor singa yang sepertinya terbuat dari kayu yang ditunggangi sepasang anak kecil. Beberapa penonton menyawerkan uang kepada para pemberi atraksi. Dari percakapan di WA, Putri terkesima dengan atraksi Sisingaan yang baru ia lihat saat itu, katanya setau dia, Sisingaan biasanya hanya ditunggagi dan diarak keliling kampung. Ya, memang begitu pula yang kebanyakan diketahui orang-orang termasuk aku. Kekaguman tersebut juga bisa aku lihat dari ekspresi beberapa teman lain yang ikut menonton di sebelahku, tapi karena pikiran yang penuh, aku tidak begitu konsentrasi dan memilih menulis catatan. Sesekali aku mencoba memotret, namun karena gelap, hasil fotonya tidak cukup bagus, videopun hanya merekam suara-suara dan kegelapan, jadi kuputuskan untuk menikmati dan menulis saja.
Tumblr media
Karena Bandung dan sekitarnya sedang cukup dingin, aku merasa butuh ke toilet, akhirnya aku minta diantar untuk nebeng ke toilet warga. Setelah keluar dari rumah warga, aku melihat suasana sudah berubah hening, hanya mantra-mantra dan doa terdengar sayup-sayup tanpa pengeras suara. Warga yang semula memenuhi area sudah bubar ke rumahnya masing-masing, hanya ada para pengurus acara dan beberapa penonton, termasuk kami. Sudah sekitar pukul 10 atau 11 malam, aku yang awalnya menonton dari kejauhan di depan rumah warga akhirnya maju ketika sinjang dibagikan. Tentu saja aku ingin mencoba meskipun tidak tahu apa yang harus aku lakukan berikutnya.
Sebelumnya, setelah mantra-mantra dibacakan, musik dari kecapi dan tarawangsa (yang ternyata nama alat musik dengan dua senar) dimainkan. Seorang dengan pakaian serba putih mulai menari di tengah-tengah ruangan. Aku sempat mencatat apa yang aku lihat dalam sebuah catatan di handphone ku:
“Now, I see a man in white clothes holding two pieces of clothes, I bet those clothes will be used for Tarawangsa. He dances and move in circle, slowly, in the middle of the room. A music played slowly, only from kecapi and something like guitar with a single or two strings (like Rebab that Abah played when I was KKN in 2014).
Now the man dancing, literally dancing. Oh, this event is held to commemorate a Sundanese's new year of 1953 Saka night and also an Islamic’s new year of 1441 H night that happened in the same day, today, August 31st, 2019.”
Setelah beberapa kali disebutkan, akhirnya aku tau bahwa malam itu selain pergantian bulan masehi adalah malam pergantian tahun sunda 1953 Saka yang kebetulan juga bertepatan dengan pergantian tahun Islam 1441 Hijriyah, itulah mengapa banyak pawai obor yang kami temukan di jalanan.
Setelah prosesi pembukaan selesai dan sinjang dibagikan, aku dibantu untuk mengenakannya. Dari empat orang perempuan yang ikut saat itu, hanya aku dan Yasna yang ikut memakai sinjang, Putri memilih untuk tidak mau ikut dan Rani bahkan tidak ada di lokasi, tak kuat dengan bau dupa dan menyan katanya.
Setelah memakai sinjang, aku melihat seorang penari wanita mulai menari dengan gerakan-gerakan tradisional Sunda, dengan tangan yang gemulai mengikuti irama kecapi dan tarawangsa. Aku dan Yasna yang sudah memakai sinjang bingung harus apa, akhirnya kami diminta memilih selendang dan berdoa, lalu membakar menyan dan bersalaman sebelum ngibing atau menari bersama penari lainnya yang saat itu hanya ada satu orang saja. Awalnya, aku dan Yasna sama-sama memilih selendang warna merah. Kami menari mengikuti irama. Aku mencoba mengikuti meski masih bingung harus apa dan bagaimana. Aku melihat dua orang penari lainnya memejamkan mata. Aku juga mencoba memejamkan mata dan menari, tapi malah pusing dan takut nabrak. Akhirnya aku hanya menari biasa hingga musik melambat dan selesai.
Selanjutnya giliran penari laki-laki. Dari lima orang yang ikut, hanya Upi dan Aip yang ikut menari. Abang menemani Rani di belakang, Gistha memilih untuk mendokumentasikan sementara Tony memilih menonton sambil ketakutan. Aip dan Upi serta dua penari laki-laki lainnya dengan selendang merah putih dan selendang hitam mulai menari. Upi menari menggunakan selendang berwarna kuning dengan santai dan konsisten dengan gerakan yang sederhana. Sedangkan Aip yang menggunakan selendang hijau tiba-tiba menjadi sangat agressif. Aip menari dengan gerakan yang aneh, seperti jurus silat atau entah bela diri apa. Kemudian, Aip terlihat seperti orang berenang, atau moshing dengan posisi aneh. Aku sungguh tak kuat menahan tawa ketika melihat Aip menari, bahkan sulit berhenti tertawa, begitu juga dengan Yasna, sedangkan Tony terlihat ketakutan sambil membuat live report singkat di handphone-nya.
Tumblr media
Tak disangka, Aip yang begitu pendiam seperti memendam sesuatu yang kemudian diekspresikannya dalam tarian dengan gerakan yang aneh dan sangat agressif, seperti orang yang tak sadarkan diri. Sesekali penari lainnya mengusap kepala Aip ketika ia terlihat terlalu tak terkontrol. Setelah diusap, Aip akan terlihat lebih tenang sebelum kembali menari dengan gerakan aneh. Di perjalanan pulang, Aip juga bercerita bahwa ketika menari ia seperti tak sadarkan diri dan motoriknya tak bisa dikontrol, ia menari begitu saja hingga melihat sang pemimpin acara memelototinya barulah kesadarannya kembali tumbuh, meski yang kami lihat, ketika musik selesai, kepala Aip dipegang oleh penari lainnya, kemudian diusap seperti mengelurkan sesuatu barulah ia kembali ke kesadarannya.
Setelah selesai, kembali giliran penari wanita menari. Aku dan Yasna kembali ditanggap untuk ikut menari. Aku yang sebenarnya senang menari meski hanya menari asal di kamar tentu saja tidak akan menolak. Kali ini, kami dipilihkan selendang masing-masing. Yasna diberi selendang kuning, sedangkan Aku diberi selendang berwarna hijau. Aku yang ketika menonton Aip dan Upi menari sudah mulai menikmati dan mengerti ketukan serta tarian dan apa yang harus dilakukan dan tentu saja lebih menikmati ketika menari di sesi dua ini. Aku yang awalnya merasa masih bingung dan malu-malu mulai lebih percaya diri. Sejujurnya, dalam pikiranku kala itu selintas muncul perasaan dan pikiran seperti menjadi wanita paling cantik di dunia ketika menari. Aku mulai membebaskan diri mengikuti irama musik kecapi dan tarawangsa, yang aku rasakan ketika itu sungguh nyaman dan bebas, entah kata apa lagi yang bisa mendeskripsikannya.
Tumblr media
Di tengah-tengah tarian, seseorang menambahkan dua buah selendang di pundakku, yang satu berwarna kuning dan satunya berwarna hijau. Setelah ditambahkan, aku merasa seperti ada sesuatu menyelimutiku. Hawa hangat menjalar dari punggung ke atas. Awalnya, aku berusaha untk melawan, namun sungguh, semua itu membuatku merasa jauh lebih nyaman saat menari. Semua sensainya membuatku seolah lupa diri, aku menari sebebas-bebasnya. Akhirnya aku melepaskannya dan menikmati semua sensasi magis dan mistis yang menyelimutiku ketika itu. Aku masih ada pada kesadaranku, meskipun tak lagi ngeh tentang keadaan atau orang-orang sekitar, yang aku lakukan dan ingin lakukan saat itu hanya menikmati irama tarawangsa yang lembut dan menari mengikuti iramanya. Sungguh, semua perasaan dan sensasi tersebut adalah salah satu rasa terbaik yang pernah aku alami selama ini.
Beberapa saat setelah selendang ditambahkan, irama musik tarawangsa mulai menjadi lebih cepat ketika aku menikmati tarianku, namun, kemudian berhenti begitu saja. Terasa lebih singkat dari sesi-sesi sebelumnya. Setelah selesai, Putri mengajak kami untuk pulang, pemain musik bilang bahwa sudah selesai saja acaranya meskipun beberapa orang protes dan meminta dilanjutkan. Akhirnya kami pamitan dan pulang.
Setelah menuju tempat parkir dan mengambil motor kami mendengar irama musik kembali dimainkan, yang berarti acara belum selesai. Satu orang mengikuti kami menuju parkiran dan kembali ketika kami pergi. Setelah menari, ada perasaan lega dan nyaman menyelimuti kami, setidaknya itu yang aku rasakan dan yang Aip dan Yasna ceritakan. Sebetulanya, aku ketagihan, masih ingin menari lagi dan tak ingin melewatkan jika ada acara Tarwangsa lagi yang katanya hanya ada di tiga tempat di dunia, di Banjaran, Sumedang dan Tasikmalaya.
Di sela-sela sesi menari, kami sebetulanya sempat mempunyai beberapa percakapan dengan pengurus acara dan penari lainnya. Teteh yang menari bersama kami bilang bahwa menari diiringi tarawangsa bisa menjadi obat untuk tubuh, dan meskipun tak mengerti korelasinya aku setuju setelah mengalaminya sendiri. Selain itu, katanya menari juga bisa memperlihatkan karakter dan keadaan seseorang, seperti Aip yang katanya terlihat punya banyak pikiran dan suka musik keras (yang ini sih mungkin terlihat dari kaos The Clown yang dipakai Aip). Aku tak tahu apa yang orang lain baca ketika aku menari, salah satu percakapan yang aku dapat untuk diriku adalah bahwa aku terlihat “raoseun” ketika menari dan pertanyaan entah pernyataan tentang aku yang mempunyai karuhun yang senang terhadap seni juga kata-kata seperti “Si Teteh mah meunang rasa nya? Eta teh sesah mun hoyong kitu teh, Teh,” yang semuanya hanya aku balas dengan senyum atau jawaban sekenanya.
Di perjalanan pulang, aku dan Aip saling bercerita tentang apa yang baru saja kami alami. Pengalaman yang tidak disangka, bahkan tidak disengaja untuk dialami. Motorik kami masih sedikit kaku, aku merasa masih ingin menari, masih ada energi yang tersisa dalam tubuhku, tangan, kaki dan wajah terasa seperti kesemutan. Di jalan, aku berusaha mengeluarkan seusatu yang entah apa, yang membuat tanganku masih terus menari sesekali, yang membuatku tiba-tiba humming seperti seorang penyanyi sunda dengan entah lagu apa yang dinyanyikan. Semuanya masih terasa hingga aku tiba kembali di Pasir Jaya. Karena sebelumnya aku sudah bilang tidak akan pulang, maka aku memutuskan untuk tidur di sana dengan pakaian yang masih sama. Ketika tidur, sesekali aku terbangun dan menyadari bahwa masih ada bau menyan yang menempel di tubuh dan bajuku. Hingga esok paginya aku terbangun, barulah terasa sakit di beberapa bagian badan, tapi sungguh itu merupakan suatu pengalaman berharga untukku.
Sejak malam itu, seperti petualangan-petualangan bersama Aleut sebelumnya, membuatku jadi lebih ingin tahu, tentang apa yang dilihat dan dialami, kali ini tentang Tarawangsa. Beruntung di WAG muncul beberapa tulisan yang bisa aku baca termasuk tulisan Aip yang menceritakan dan membandingkan Tarawangsa di Cigugur dan Rancakalong sekaligus sedikt pembahasan dan hubungannya dengan shamanistic dan psychedelic. Aku pribadi mulai semakin tertarik dengan budaya Sunda yang benar-benar sarat akan makna dengan simbol-simbolnya. Budaya Sunda di mataku kini terlihat sangat eksotis dan menarik, dengan semua pengalaman magis dan bumbu mistik yang ada di dalamnya, aku merasa budaya ini perlu tetap ada dan dilestarikan. Orang-orang juga perlu mengenal dan tahu bahwa Sunda memiliki budaya yang begitu indah dan eksotis. Musik Sunda dengan alat musik tradisionalnya juga merupakan sesuatu yang sangat menarik dan magis. Semua ini sungguh membuatku bersyukur untuk lahir, tumbuh, tinggal serta diperkenankan mengenal tanah dan budaya Sunda.
P.S.
Bandung, 2 September 2019
0 notes
puspitaputri · 6 years ago
Text
Aladdin, A Magical Visualization of A Classic Fairy Tale
Today, I watched another Disney’s movie. This movie set in Arabian and directed by Guy Ritchie. Like any other Guy Ritchie’s movies, this movie contains montage that brings the story of Aladdin as a flashback scene. So, the movie starts from years after the story had a happy ending, told by a father to his children, started through a song. Yes, this movie is a kind of musical, like any other Disney’s movies which also my favorites. Like one of the children said to her father in the movie, “it’s (the story told) better when you sing.”
Tumblr media
As a girl who grew up with fairy tales, I feel so impressed by the movie. Arabian nights and days seem so colorful and fancy. The movie is fast-paced, full of temptations and surprises. Even though the story is well known but the visualization in the movie is so impressive. The movie is emotional and thoughtful but also has humor and funny parts on it. It brings me joy to watch it. The songs and dances are enjoyable and again, the visualization is so magical, so majestic. The magic feels so right and real and I don’t think I’ll be bored to watch it several times more in the future.
The fast-paced and tight temptations in the movie can’t be out of the strong characters in the movie. Aladdin, a poor orphan boy whose been underestimated as riffraff, street rat and a thief is also a person who recognizes his own potential. He believes that he is more than just a street rat, he is indeed a thief, but a clever one. He got ambitions to prove himself but still can control his will. He brings a different perspective to the princess, believe in her and strengthen her. A hard life he has looks like excitement in the movie, his kind heart was never his flaws, but his insecurity is. When he falls for the princess all he knows is he could never be with her, because he knows that the princess should be only marry a prince.
Luckily, he met a Gennie from the magic lamp, the strongest being in the movie, but his strength comes with a cost, one thing the Gennie doesn’t have is freedom, which in the end, the “minor” character gave it to him. Long life makes the Gennie wise; he sees Aladdin not only as his master but also a friend. Gennie can see the sincerity of his master. The conflict happened, but in the end, Aladdin, Gennie, Abu (the monkey) and the Magic Carpet is the best team ever in the movie.
One thing that makes Aladdin story is more interesting to me is that, unlike the other Disney’s classic fairy tales that commonly shows a girl as a minor character who seeking for a prince to have a better life, Aladdin is the vice versa. Princess Jasmine is a smart, beautiful, strong woman who lives in a cage of her father’s fear. From what I see, she seems to believe in herself to be a leader, a Sultan of the port city of Agrabah, a protector of her people and she shows it through her actions such as escaping from the palace when the first time she met Aladdin or arguing when she heard the vizier try to make her father attack her mother’s kingdom. She breaks the tradition; she knows that she is not just meant to marry some prince. She stands for what she knows is right, she told to only be seen, not heard, but she speaks up her mind. In the end, she is a leader she is meant to be.
In the movie, I see that Aladdin and Jasmine fall in love through empowerment, trust and how they open each other’s eyes, learn from different perspectives that served by one another. Even though they have to go through a lot of drama since they have to break the rule and tradition, they also need the involvement of Gennie and all the magic stuff, but love is something natural. In this story, love built-in trust, forgiveness, and acceptance for the person who sees and believes in each other’s potential by the chances to look closer to each other’s lives, experiencing some part of it to finally be together.
In the end, it might be just a fairy tale served in a magical visualization directed by Guy Ritchie, but it is truly magical. Jasmine becomes my favorite Disney’s princess with all characters attach to her. I agree that a woman is not meant to be silent, is not meant to just marry a man by only his title or wealth. A woman has right to be heard, to be with someone that believes in her potential and encourage her to explore it more, not the one who tells her to be silent just to discourage her and shows his power over her. In real life, without Gennie and all the magic stuff, things might be different. But all I learn are sometimes, we should take risks and fight for what is worth to be fighting for.
Bandung, end of May 2019.
P.S. just want to share a perspective, sorry for grammatical errors or mistakes, hope can be enough to understand for anyone who reads.
Luv, Puspita P.S.
0 notes
puspitaputri · 6 years ago
Text
Bandung Lautan Api (Ketika mundur menjadi langkah sebuah perlawanan)
Minggu, 24 Maret 2019, satu hari setelah ulang tahun peristiwa Bandung Lautan Api ke-73. Aku bangun sejak dini hari lalu bergegas menuju kamar adikku untuk membangunkannya. Seperti biasa, minggu pagi adalah saat untuk aku berkegiatan rutin sejak pertengahan Februari lalu, ngaleut. Kali ini aku mengajak adikku yang padahal sedang ujian sekolah. Tapi, biarlah, biar hari minggu tidak hanya dia habiskan untuk tidur atau bermain saja, tapi juga berolahraga, mencari pengalaman baru, bertemu orang-orang baru, dan paling penting juga, belajar. Karena adikku susah di bangunkan, kukira dia batal ikut, jadi aku bersiap saja sendiri, namun, setelah aku selesai mandi ternyata ia bangun dan ikut berisap-siap. Kami berangkat agak mepet, aku menyuruhnya memakai sepatu tapi tidak dihiraukan hingga akhirnya ia hanya memaki flat shoes. Tak apa sih, biar dia merasakan dulu saja bagaimana ngaleut kali ini.
Tumblr media
(Foto 1- Foto peserta Ngeleut BLA depan SD ASMI (stilasi ke-9))
Titik kumpul kali ini ada di Landmark Braga, aku agak bingung antara Landmark dengan Braga City Walk, hingga akhirnya aku parkir di depan BCW dan agak lari-lari ke Landmark karena acara sudah mau dimulai. Seperti biasa, acara ngaleut selalu diawali dengan perkenalan tiap orang, karena adikku belum mendaftarkan diri, ia mendaftarkan diri dulu baru setelah itu ikut bergabung dan memperkenalkan diri seperti yang lainnya. Hari itu cukup banyak peserta yang ikut ngaleut, dari yang baru memulai pertama kali hingga keluarga yang kumplit dengan anak-anaknya.
Setelah berkenalan, Irfan sebagai moderator hari itu memberi tahu bahwa akan ada beberapa orang yang menjadi pemateri untuk hari itu selain dirinya yaitu Aip, Upi, dan Ervan.  Irfan kemudian menjelaskan tentang bagaimana Kota Bandung dulu, ketika Sekutu yang diboncengi NICA mulai datang ke Bandung. Ketika itu, supaya menghindari banyaknya warga sipil yang menjadi korban saat keadaan belum stabil pasca kemerdekaan dimana Bandung menjadi kota yang sangat ramai dengan orang-orang bersenjata dimana-mana, wilayah Bandung terbagi menjadi dua, disebelah utara yang dihuni oleh Belanda dan Sekutunya, serta sebelah selatan yang dihuni oleh warga pribumi. Rel kereta yang membentang dari Cimahi sampai ke daerah Sumedang yang terlihat dari Landmark ditunjuk oleh Irfan, katanya, rel tersebut adalah pembatas wilayah utara dan selatan kala itu, berbeda beberapa meter dengan batas pembangunan masa kolonial yang juga berfokus di wilayah utara yaitu Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia-Afrika) yang merupakan bagian dari jalan yang membentang dari Anyer sampai Panarukan.
Sebelumnya, diceritakan bahwa Bandung ketika itu dipenuhi oleh berbagai laskar yang dibentuk oleh para pemuda; juga para tentara. Kala itu mulai datang tentara Inggris dengan tujuan untuk mengevakuasi warga Belanda yang ada di Bandung, membebaskan warga Belanda dari kamp interniran Jepang juga melucuti dan memulangkan tentara Jepang yang masih tersisa di Bandung. Ada satu hal yang unik dari cerita Irfan kala itu, yaitu tentang sebutan para pemuda Kota Bandung, katanya, dulu ketika Jepang dinyatakan kalah dalam Perang Dunia kedua, pemuda Bandung melakukan perlawanan, seperti di daerah-daerah lainnya, melucuti senjata tentara Jepang. Namun, tak seperti keberhasilan di beberapa daerah, di Bandung hal tersebut mengalami kegagalan, akhirnya senjata yang sudah dirampas mereka kembalikan dan pemuda Bandung mendapatkan julukan “Pemuda Peuyeum Ball,” yang sepertinya juga masih digunakan untuk menyindir peristiwa Bandung Lautan Api, ketika warga Bandung memilih untuk mundur, meninggalkan kota sesuai dengan komando Sekutu.
Setelah pembukaan dengan cerita yang cukup panjang, kami mulai berjalan ke titik berikutnya. Sebetulnya, nagleut kali ini kita akan lebih menyusuri stilasi-stilasi Bandung lautan Api yang dibuat oleh Sunaryo bekerja sama dengan Bandung Heritage. Stilasi berbentuk segitiga dengan bunga Patrakomala diatasnya ini tersebar di 10 titik di Kota Bandung. Sitlasi pertama ada di daerah Dago, didepan bekas kantor berita Domei dimana pertama kali Proklamasi diperdengarkan kepada warga Bandung, karena terlalu jauh, kami tidak memulainya dari sana. Titik pertama dimulai di stilasi kedua, di depan Bank Jabar Banten (ex-Bank Denis), bangunan bergaya art deco yang ada di jalan Braga. Disana Ervan yang gantian bercerita, katanya dulu terjadi berbagai pertempuran dan aksi tembak-tembakan di sekitar Bandung antara laskar-laskar pemuda maupun TKR dengan tentara Sekutu. Di ex Bank Denis sendiri, dulu pernah terjadi perobekan warna biru dari bendera Belanda oleh pemuda Bandung yang kala itu bekerja sebagai juru tulis di Bank tersebut. Aku baru tahu, bahwa perobekan bendera tidak hanya terjadi di Hotel Yamato di Surabaya saja, di Bandung juga terjadi hal yang serupa, bahwa pemuda Bandung juga adalah pejuang yang penuh keberanian, bukan pemuda peuyeum ball seperti kata orang-orang. Disana Aip juga menambahkan beberapa peristiwa dan kejadian disekitar Bank Denis dan sekitarnya, sebelum kita berangkat ke titik berikutnya, di jalan Asia Afrika.
Tumblr media
(Foto 2-Ervan ketika menjelaskan peristiwa di depan ex-Bank Denis.)
Di titik kedua, stilasi ketiga kami berada di seberang alun-alun Bandung, katanya dulu disitu terdapat markas TKR sebelum dipimpin oleh A.H. Nasution. Tidak lama dan tidak banyak yang diceritakan, berikutnya kami lanjut ke titik ketiga, stilasi ke-6 di Jalan Dewi Sartika, disitu Upi yang gantian bercerita bahwa dulu disana adalah markas komando Divisi III Siliwangi dibawah pimpinan A.H. Nasution. Disana juga diceritakan bagaimana sebelumnya divisi tersebut dipimpin oleh Omon Abdurrachim yang kemudian menolak perintah dari TKR pusat untuk mengamini komando sekutu untuk mundur 10-11 KM ke selatan Bandung, lalu beliau memilih untuk menyerahkan jabatannya ke A.H. Nasution dan bergabung dengan laskar para pemuda Bandung yang kemudian merumuskan peristiwa Bandung Lautan Api di stilasi ke-4, di Jalan Simpang.
Kami sedikit back track untuk mencapai titik berikutnya, stilasi ke-4 dan sayang sekali kami tidak bisa melihat langsung stilasi tersebut karena tertutup oleh pagar rumah. Kami pun melanjutkan perjalanan ke titik berikutnya di stilasi ke-5, depan SD Dewi Sartika. Dulu, SD tersebut merupakan sebuah dapur umum untuk para TKR dan para pemuda pejuang dari berbagai Laskar. Dapur umum ini diurus oleh Laswi yang berisi para pemudi yang ikut berjuang di garis belakang, selain di dapur umum, para wanita ini juga ikut kedalam pertempuran untuk menjadi pejuang medik, kalau kata Aud seperti Sakura, ninja medik di film Naruto. Upi menceritkan pula bahwa kala itu meskipun sebagian besar Laswi bergerak di garis belakang namun ada seorang tokoh bernama Willy, yang ikut berjuang ke garis depan, membunuh tentara Gurka dengan memotong kepalanya dan membawanya sebagai kebanggaan serta bentuk kesetiaannya pada Laswi.
Dari situ kami bergerak ke titik berikutnya, melewati Alfamart dan beristirahat serta membeli beberapa minuman dan makanan, di titik berikutnya, kami melewati Jalan lengkong, dimana dulu sempat menjadi daerah yang mendapati serangan udara dari sekutu karena menjadi salah satu pusat konsentrasi para pejuang dan pemuda di Bandung. Stilasi ke-7 ada di dalam sebuah perumahan di Jalan Lengkong Tengah, dulu katanya perumahan ini merupakan salah satu kamp tahanan Belanda yang ada di wilayah selatan.
Bergerak ke titik selanjutnya, stilasi ke-8, kami berhenti di depan sebuah gang yang diduga menjadi jalur komando yang digunakan para pemuda ketika terjadi pertempuran Lengkong yang kemudian bersambung ke stilasi ke-9, SD ASMI yang dulunya merupakan markas dari Pesindo. Di antara stilasi ke-8 dan ke-9 kami berpapasan dengan tukang Tahu Bulat yang kemudian beberapa dari kami berhenti untuk jajan, juga aku dan Aud yang kemudian berfoto di belokan.
Tumblr media
(Foto 3 - Aku dan Aud berfoto di belokan.)
Di stilasi ke-8 dan ke-9 diceritakan bahwa Pesindo merupakan gabungan dari 9 laskar pemuda sayap kiri yang kemudian manjadi sangat besar dan berjuang bersama laskar pemuda lainnya seperti Hizbullah, Laswi, Pemuda Banteng dan lainnya.Dari sini aku belajar bahwa meskipun dalam perjalanan pasca kemerdekaan ini kemudian terjadi selisih paham dan ideologi, namun saat itu para pemuda Bandung dengan berbagai latar belakang dan ideologi yang berbeda-beda, mereka bersama-sama menghimpun kekuatan di berbagai pertempuran dan perjuangan untuk mempertahankan Bandung, termasuk juga dengan cara melakukan pembakaran objek-objek vital dan beberapa bangunan di Bandung sebelum mundur agar bangunan-bangunan tersebut tidak dapat digunakan oleh sekutu ketika mereka mundur 10-11 KM ke arah Selatan, meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Stalasi ke-10 ada di depan sebuah gereja yang dulunya adalah stasiun pemancar yang digunankan sebagai sarana untuk menyebarkan Proklamasi ke seluruh Indonesia dan dunia kala itu. Kami kemudian mengakhiri perjalanan di museum Sribaduga untuk duduk dan sharing. Ada sedikit hal lucu waktu berjalan dari stalasi ke-9 ke stalasi ke-10, adikku, yang saat itu kelelahan memakai flat shoes membuka sepatunya dan bertelanjang kaki, seolah menghayati perjalan Bandung Lautan Api. Lucu saja rasanya, padahal di awal aku sudah menyuruhnya memakai sepatu, tapi dia malah memakai flat shoes dan kakinya hampir lecet karna itu, biarlah jadi pelajaran saja untuknya. Nagleut kali ini cukup panjang, paling panjang dari yang aku alami selama di Aleut, 8,88 KM sudah kami susuri pagi itu.
Dengan lebih dari seribu langkah kami menyusuri cerita Bandung Lautan Api pagi itu. Aku jadi tahu, bahwa Bandung Lautan Api bukan sekedar tentang Moh. Toha dan Moh. Ramdan, bahwa Bandung Lautan Api adalah sebuah strategi perang, mundur, tapi juga membumi hanguskan. Bahwa para pemuda Bandung bukanlah pemuda peuyeum ball yang mundur karena tak berani melawan, tapi pemuda yang berfikir dan berstrategi. Jika saja kala itu mereka melakukan perlawanan, sudah bisa dipastikan, dengan kekuatan dan persenjataan yang tidak memadai akan banyak korban berjatuhan dan yang didapat, hanya kekalahan.
Terkadang memang, kita harus meninggalkan, melepaskan, bahkan menghancurkan, membumi hanguskan apa yang kita jaga, apa yang kita cintai dan lindungi, justru karena kita ingin menjaganya, ingin melindunginya dari apa-apa yang bisa mengancamnya. Menjadikannya lautan api sebelum mari Bung rebut kembali.
Catatan: Terima kasih untuk Anjani yang memintaku bercerita, jadi aku menuis lagi. Lagi-lagi ini bukan cerita sejarah, hanyalah sebuah catatan perjalanan yang sebenarnya aku banyak lupanya daripada ingetnya. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan, dikoreksi lebih baik. Terima kasih untuk yang sudah membaca.
 p.s.
Bandung, 28 Maret 2019
0 notes
puspitaputri · 6 years ago
Text
Inggit Garnasih (Mengenal peran wanita di ruang privat dalam pendampingan perjuangan pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia)
Minggu, 17 Februari 2019, pagi-pagi sekali aku bangun lalu mandi, sarapan dan melakukan kegiatan persiapan lainnya. Aku bersiap untuk pergi ke pelataran Gedung Merdeka, memenuhi janji kepada salah satu temanku dari Jakarta untuk menemaninya mem-Bandung hari itu. Satu kegiatan yang kami pilih kala itu berkaitan dengan hal yang sama-sama menarik perhatian kami, mencari inspirasi.
Dua hari sebelumnya, aku tanpa sengaja menemukan suatu poster online di media sosial, kegiatan sebuah komunitas yang sebetulnya sudah pernah aku dengar namanya sejak sekitar 4 tahun yang lalu, Komunitas Aleut, komunitas wisata sejarah yang ada di kota Bandung, setidaknya itu yang aku tau. Di poster tersebut tampak wajah seorang tokoh beserta namanya, seorang wanita sunda yang tak begitu asing lagi di telinga, Inggit Garnasih, istri kedua bapak bangsa Indonesia.
Tumblr media
Perjalanan kami diawali dengan perkenalan setiap anggota, yang baru maupun yang lama. Yang ku ingat hanya nama pembicaranya, Teh Audi, lalu Kang Anggi, sisanya, aku lupa. Cukup banyak juga ternyata peminat kegiatan ini, dari berbagai usia, anak-anak, pemuda hingga ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah mulai agak berubah warna rambutnya.
Pemberhentian pertama, di jalan Ir. Soekarno, sebelah Gedung Merdeka. Disana, Teh Audi bercerita bagaimana Soekarno menjadi suami ketiga dari Inggit dan Inggit menjadi istri kedua dari Soekarno. Disana juga diceritakan bagaimana pertemuan antara Inggit dan Soekarno terjadi, kedekatan mereka hingga akhirnya pernikahan, seolah semua sudah ditakdirkan.
Aku terlarut dalam cerita sejak cerita pertama, hingga tak banyak gambar yang aku ambil dalam perjalanan ini. Setelah titik pertama, kemudian kami berjalan ke titik kedua, penjara Banceuy. Aku, orang Bandung yang hidup di kota ini sekitar 24 tahun saja belum pernah masuk kesana, merasa tidak tahu apa-apa tentang tempat yang aku tinggali. Tapi sedikit demi sedikit hal itu berubah, sejak hari itu Bandung bagiku menjadi lebih hidup. Meski telah banyak berubah, namun setiap tempat benar-benar seperti menjadi saksi sejarah, bahwa Bandung bukan hanya kota besar, tapi juga punya peran besar dalam hal-hal besar yang terjadi di negeri ini.
Di bekas penjara Banceuy diceritakan kembali bagaimana Soekarno, sosok yang tak bisa lepas dari Inggit Garnasih sebagai tokoh utama ngaleut hari itu, mulai membentuk PNI, di penjara, membuat Pledoi Indonesia Menggugat serta bagaimana Inggit dengan setia mengantar setiap perjuangannya.
Beranjak ke titik ketiga, Pendopo Walikota. Salah satu banguan karya Soekarno sebagai seorang insinyur dari THS (sekarang ITB) dengan ciri khas palu gada di atapnya. Disana diceritakan tentang karir Soekarno serta bagaimana ia belajar, berjuang, bagaimana pergerakan perjuangan di Indonesia mulai bergejolak dengan munculnya berbagai perseteruan, juga persatuan.
Titik berikutnya Gereja Rehobot, wilayah yang pernah menjadi lokasi rumah Inggit dan Soekarno yang berpindah-pindah beberapa kali, kami hanya lewat, begitupula dengan jalan Jaksa, tempat salah satu rumah yang pernah ditinggali oleh Inggit, lalu ke jalan Pungkur, daerah dimana Inggit dan Soekarno pernah tinggal juga hingga terakhir ke rumah tinggal terakhir Ibu Inggit di jalan Ciateul (sekarang Jalan Inggit Garnasih). Dari titik ke titik diceritakan bagaimana Soekarno dan Inggit berjuang, termasuk berpindah-pindah karena Soekarno di asingkan, mulai dari Ende hingga ke Bengkulu. Di rumah terakhir pula dilengkapkan cerita yang dimulai sejak awal pertemuan yang diceritakan di titik pertama hingga akhirnya berpisah karena keteguhan hati seorang Inggit Garnasih serta beberapa kejadian setelahnya sebelum Ibu Inggit wafat.
Sepulang dari kegiatan tersebut, banyak sekali hal-hal yang muncul di pikiranku, termasuk semakin penasarannya aku akan literatur-literatur menganai Inggit Garnasih. Salah satu yang aku dapatkan adalah video monolog Inggit Granasih yang diperankan oleh salah satu aktris yang aku kagumi secara pribadi, Happy Salma. Dialog tersebut seolah merangkum secara garis besar cerita yang sedari pagi hingga tengah hari tadi aku dan teman-teman komunitas Aleut telusuri.
Salah satu kata-kata Inggit dalam monolog yang diperankan oleh Happy Salma tersebut yang membekas di pikiranku, “Aku adalah perempuan yang tidak memiliki peranan apapun, tapi aku ada di dalam lahirnya sejarah paling penting tanah air.” Inggit memang, tidak berperan secara langsung dalam politik dan pergerakan perjuangan Indonesia, namun tanpa Inggit maka Soekarno tak akan menjadi Soekarno yang kita kenal saat ini.
Dua puluh tahun menjadi support system untuk seorang Singa Podium bukan perjuangan yang mudah. Bukankah katanya dibalik seorang laki-laki hebat ada wanita hebat di belakangnya. Iya, dibelakang layar, mungkin samar-samar terlihat mata namun bukan berarti tidak ada. Inggit tahu, betapa Kusno (panggilan Inggit untuk Soekarno) memiliki cita-cita yang tinggi untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Maka Inggit terlarut dalam semangatnya, terlibat di dalam perjuangannya, mendengar setiap ide dan cerita hingga keluh kesahnya, bahkan hingga menjadi penopang perekonomian keluarganya di saat-saat tertentu. Inggit, dengan tegar dan hati yang tangguh sering kali diceritakan menyembunyikan kesulitan yang dialaminya dari suaminya yang sibuk berjuang memerdekakan bangsa, menjadi sosok yang tidak ingin membebani dan merepotkan.
Dalam monolog yang diperankan Happy Salma pula, Inggit beberapa kali mengatakan “…maka aku harus pandai-pandai mengalihkan perhatiannya.” Disisi lain, Inggit juga yang melihat dan mengenal Kusno sebagai manusia yang bisa lelah dan ingin menyerah, lalu Inggit pula yang mengingatkan suaminya untuk berkata tidak, dan kembali membakar semangat yang sempat meredup di dadanya. Distraktor dan pengingat, dua peran yang harus diperankan satu orang, seorang istri, berhasil diperankan oleh Ibu Inggit dalam kehidupan Soekarno.
Seorang istri, memiliki peran yang sering kali dilupakan atau bahkan dihapuskan dalam sejarah. Padahal, bukannya para wanita yang mungkin dipandang sebelah mata hanya karena mereka berperan di ranah privasi ini lah yang terkadang menjadi pemicu semangat, pelepas lelah dan penat, pendidik anak-anak, pendukung serta pendamping setiap orang-orang hebat dalam melakukan hal-hal besar.
Kembali ke sosok Ibu Inggit sebagai contohnya, seorang istri yang mungkin tidak berpendidikan tinggi, tapi mampu mengerti apa yang harus dilakukannya dalam setiap situasi. Seorang wanita, yang mungkin tidak menguasai isi buku-buku yang ia berpuasa agar bisa ia selipkan di pertunya untuk diantar ke penjara, tapi kemudian membantu suaminya melahirkan pledoi yang mengguncang dunia. Seorang wanita yang tidak menghasilkan karya-karya besar, hanya rajutan, jamu, bedak dan rokok buatan tangan, tapi mampu membantu suaminya menyelesaikan pendidikannya.
Menemani, melayani, mendampingi, mencintai, menyayangi, mengasihi, mengingatkan, mendistraksi, menyemangati, berkorban, berusaha memenuhi semua kebutuhan seolah-olah hanya hal yang wajar yang tak perlu diukir dalam sejarah. Hal-hal kecil yang dilakukan wanita terkadang dianggap biasa saja, meski sebenarnya berefek sangat besar dalam perjalanannya. Ibu Inggit termasuk yang beruntung, masih bisa kita putar ulang kisahnya, namun banyak sekali wanita-wanita hebat lainnya yang luput dari pandangan sejarah. Tak apa, karena salah satu hal yang aku percaya menjadi kekuatan para wanita dalah ketulusan, berkorban tanpa pernah mengharapkan balasan.
Disamping semua inspirasi yang aku dapatkan dari seorang Inggit Garnasih yang berperan di ranah yang mungkin banyak luput dari perhatian orang, ada satu hal lain yang kisah Inggit Garnasih ajarkan kepadaku hari itu, keteguhan hati, kejujuran perasaan dan harga diri yang tinggi. “Oh candung? Ai dicandung mah, cadu,” tutur Inggit dalam salah satu literatur yang aku baca. Meski dengan penuh ketulusan dan kesulitan Inggit setia mendampingi dan mengantarkan Kusno hingga menjadi pemimpin bangsa sebelum merdeka, namun, dua tahun sebelum menjadi ibu negara, tetap saja, harga dirinya tidak bisa dibeli walau dengan istana, ia berani menerima kelemahannya dengan kejujuran atas hatinya, menolak dimadu olah suami yang 20 tahun didampinginya.
Lalu kisah Inggit mungkin memang berakhir dengan tragis, semua perjuangannya mendampingi Soekarno diakhiri sakit hati dengan dimulainya kisah cinta Soekarno dan Fatmawati, lalu Inggit berlalu, seolah tidak berarti. Namun bukan berarti tak ada yang bisa dipelajari, tak bisa jadi inspirasi.
Pada dasarnya, manusia, apapun yang dilakukannya, terkadang butuh ruang untuk melepas penat dan lelah dari tuntutan yang mengikatnya. Disadari atau tidak, terkadang ruang untuk rehat itulah yang pula melindungi mereka dari berbagai mara bahaya. Banyak yang menyebut ruang tersebut sebagai rumah dan pasangan sangat bisa menjadi tempat untuk kembali, pulang. Seperti Inggit bagi Soekarno, yang kemudian terkenal dengan quotenya “Hanya ke Bandung lah aku kembali, kepada cintaku yang sesungguhnya.”
Disclaimer: Tulisan ini hanya sebuah media berbagi pengalaman atas apa yang dialami, didengarkan, dilihat, dibaca dan terfikir oleh penulis, bukan untuk mempelajari fakta sejarah atau menghakimi peristiwa ataupun tokoh sejarah. Hanya sebuah pandangan dari pengalaman dan informasi yang diterima oleh penulis. Ditulis hanya supaya tidak lupa. Semoga ada manfaatnya.
 p.s.
Bandung, 18 Februari 2019
3 notes · View notes
puspitaputri · 7 years ago
Text
Rumah W.R. Soepratman (Inspirasi Legacy dari Sang Maestro)
Minggu, 26 Agustus 2018 sekitar pukul 4 sore aku dan temanku tiba di Jl. Mundu, di belakang taman Mundu di Surabaya. Kami punya satu tempat tujuan sore itu, sebuah tempat dimana aku pernah lewat karna tersasar saat bertugas.
Kami masuk kedalam gang mengikuti petunjuk arah berwarna merah dengan tulisan berwarna putih yang menuntun kami ke sebuah rumah sederhana di Jl. Mangga nomor 21. Di depan rumah tersebut berdiri dengan gagah sebuah patung pria yang sedang memegang biola, di depannya ada beberapa lansia yang sedang mengobrol dan anak-anak yang sedang bermain keluar masuk rumah.
Tumblr media
Rumah tersebut sangat bersih dan terawat, meskipun rumah tua, namun suasananya jauh dari kata suram ataupun seram.
Kami diminta masuk, melepas alas kaki dan mengisi buku tamu.
Kemudian datang Mas Arif yang menyambut kami, beliau dengan ramah menyapa dan menjelaskan sejarah singkat sang tokoh, Wage Rudolf Soepratman, Sang Maestro pencipta lagu Indonesia Raya.
Di dalam rumah hanya terdapat dua buah kamar, satu buah ruang tamu dan sebuah kamar mandi di bagian belakang. Mas Arif juga menjelaskan  bahwa dihalaman belakang ada ruangan yang dulunya dapur namun sudah beralih fungsi menjadi gudang.
Setelah penjelasan singkat mengenai sejarah serta rumah yang kami kunjungi tersebut, Mas Arif mempersilahkan kami melihat-lihat. Di dalam rumah tersebut digantung roman singkat Sang maestro sejak lahir hingga wafat. Adapula ranjang dan biola replika serta sebuah buku yang berisi sejarah Indonesia Raya. Dalam buku tersebut ada sebuah kalimat yang membuatku berfikir dan tertegun sesaat.
Kata-kata terakhir dari Sang Maestro:
“Nasibkoe soedah begini, inilah jang disoekai Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, Berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja jakin, Indonesia pasti merdeka” -Soepratman, 1938.
Kata-kata bersejarah yang tidak hanya memiliki arti bagi pengujarnya, namun juga membuatku, seseorang yang lahir bertahun-tahun kemudian setelah wafatnya, berfikir. Bahwa sebuah kontribusi dapat berupa apapun yang tak biasa. Bahwa berjuang bukan sekedar angkat senjata. Bahwa ketika kita pergi, apa yang ditinggalkan adalah apa yang kita perbuat untuk orang lain. Bentuknya, bisa apa saja. Bagi Sang Maestro, berjuang adalah menyulut semangat rakyat melalui lirik-lirik kebangsaan, dipadukan dengan notasi-notasi biola yang ia ciptakan. Resikonya, ia dipenjarakan Hindia Belanda, karena musiknya.
Namun, diamping resiko yang ia terima, perjuangan sang tokoh kelahiran Purworejo ini berbuah sejarah. Seperti yang kita tahu, buku-buku sejarah mencatat namanya, hingga hari ini, lagu ciptaannya masih dikumandangkan di setiap sekolah, di setiap upacara dan setiap acara berbau nasionalisme. Hingga hari ini, lirik dan musiknya masih membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Indonesia dimanapun mereka berada.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Kita hidup di negara yang katanya sudah merdeka. Bukan berarti kita bisa berhenti berjuang. Kita mungkin tak punya kesempatan ikut berjuang memerdekakan negara, tapi bukankah kita masih harus berjuang mempertahankannya? Lalu, apa yang telah kita perbuat?
Saat ini, rasanya setiap warga negara menjadi egois, mementingkan kepentingannya masing-masing. Seolah mereka lupa bahwa suatu hari semua orang akan pergi, lalu apa yang sudah kita perbuat? Apa yang akan diingat dari kita setelah kita pergi?
Mungkin tak semua orang akan punya kesempatan menjadi tokoh berpengaruh yang namanya tercatata di buku-buku sejarah. Tapi bagaimana kita akan diingat oleh orang-orang yang pernah mengenal kita? Apa yang telah kita lakukan untuk membuat diri kita sendiri menjadi berarti? Sudahkah kita mewariskan inspirasi, semangat, motivasi atau dukungan untuk orang-orang di sekitar kita? Akankah kita diingat sebagai orang yang menebar kebaikan, ataukah sebaliknya?
Legacy, mungkin kita tak bisa mewariskan maha karya yang diingat dan berpengaruh hingga berpuluh-puluh tahun berikutnya. Tapi, orang tua yang bijak, anak yang berbakti, teman yang menyenangkan, sahabat yang mau mendengarkan, saudara yang penyayang, pasangan yang menenangkan, rekan kerja yang kooperatif, guru yang menginspirasi, pribadi yang kuat dan bermanfaat, sudahkah kita menjadi salah satunya? Akankah kita mewarisi sesuatu yang positif saaat kita pergi untuk orang-orang yang pernah kita kenal, ataukah sebaliknya?
 Disclaimer : Tulisan ini selesai ditengah kegalauan dan kebingunganku mencari jati diri, ketika aku tak tahu apa yang akan dan harus dilakukan. Bukan untuk menggurui, hanya ingin berbagi inspirasi. Dan saat ini, setelah selesai menulis tulisan ini, aku sendiri masih bingung menentukan tujuan hidup, tapi setidaknya berusaha menjadi apa-apa yang aku tulis disini bisa cukup memberiku garis batas dan pengingat dalam menjalani hidup yang seringkali masih ugal-ugalan. Kembali ke motto hidup yang pernah kutulis sekitar setahun yang lalu, “hidup manfaat, mati enak.”
 -P.S., Surabaya, 3 Oktober 2018
1 note · View note
puspitaputri · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Udah wisuda kok (harusnya). Meski ga di sumpah di gymnas dan ga ikut acara ceremonial nya, meski ga ada yang ngasih selamat sambil bawain bunga atau apapun, tapi itu topi toga punya sendiri. Setiap orang punya pilihan dan punya jalannya masing-masing. Udah lulus juga udah alhamdulillah, setidaknya bisa nambahin populasi pengangguran di Indonesia untuk saat ini.
0 notes
puspitaputri · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Long time no play yah, make up 😁💞💄😘 #makeup
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Just another paper experiment. 😉📃📃♥ #paper #craft #love #heartshape
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Alhamdulillah si teteh ini sudah S.Pd (sarjana pengen dilamar) cnah.. Kado akhir tahun yang menyenangkan yah, gapapalah revisi mah manusiawi katanya 😂😂😂😂
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Korban banjir Bandung 😂😂 Kapan lagi main di sungai Setiabudi 😝 at Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) – View on Path.
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Kzl. – View on Path.
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Gara gara lipstick baru huft 💄
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Saksi bisu tukang curat-coret alay sejak smp sampai sekarang. Isinya random banget emang tapi banyak "rahasia" nya. Jadi kalau ada yang nemuin salah satunya jangan dibaca, balikin aja ke yang punya yah 😝 – View on Path.
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Bukan dibawah tenda biru karna yang biru itu langitnya, helmku, dan hatiku 😹 #salahfokussendiriemangtapibiarin😝
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Selamat enggagment day kakak Rima dan pasangannya.. Ditunggu kabar baik selanjutnya.. Bahagia selalu yah.. 🎉🎊💑😍💍💐👰 with Irani, Nadia, Rima Ayu, bagas, and Keni at Komplek Bumi Pakusarakan 1 – View on Path.
0 notes
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Karna ga semua orang bisa nulis rapih di kertas ga bergaris, saya juga sama. yasudahlah 😹
1 note · View note
puspitaputri · 9 years ago
Photo
Tumblr media
Put a smile, be patient. 🙏
0 notes