Tumgik
rumahdina · 3 years
Text
Untuk apa menyelamatkan wajah di hadapan manusia, sementara di hadapan Allah masih sama? Bukankah Allah yang Maha Kuasa?
-D. Ibrahim-
1 note · View note
rumahdina · 3 years
Text
Hai, Mel.. Aku rindu.
Karena terkadang
Apa sebaiknya aku tidak bertemu orang?
Karena terkadang kata dapat melukai
Karena terkadang sikap dapat menyinggung
Karena terkadang….
Apapun yang kulakukan justru mendzalimi
View On WordPress
1 note · View note
rumahdina · 6 years
Quote
Sebenarnya aku cukup mengerti siapa diriku. Yang tidak pernah aku mengerti, mengapa kau memilihku.
5 notes · View notes
rumahdina · 6 years
Quote
Sungguh, hidup dalam ketidakpercayaan diri adalah penyiksaan. Jika itu terjadi sepanjang waktu, maka kau tersiksa sepanjang waktu.
0 notes
rumahdina · 6 years
Quote
Situasi serba salah itu mengajarkan kita cara mengambil sikap. Aku sering berada di situasi itu, tapi aku tidak belajar.
1 note · View note
rumahdina · 6 years
Quote
Aku sadar menjadi orang bodoh itu menyengsarakan. Apalagi bodoh di hadapanmu.
2 notes · View notes
rumahdina · 6 years
Quote
Romantis memang tak harus melalui kata Karena ia bermain dalam rasa Tapi wanita memenangkan indera Terasa semakin indah jika nyata Romantis dalam kata kerap ditunggu jua
2 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Quote
Pasrah adalah satu elemen penting dalam mencintai. Pasrah tentang kehadirannya, juga ketiadaannya. Pasrah tentang keterbalasan, dan besarannya. Pasrah tentang penjagaan oleh-Nya.
7 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Quote
Kadang kita yang menggoda syaithan, dengan kibr kita, dengan dengki kita, dengan hasad kita.
Salim A Fillah
0 notes
rumahdina · 7 years
Photo
Tumblr media
Entah sudah berapa skenario Allah rancang hingga sampai pada titik ini. Titik berat tapi selalu ada keringanan, titik sulit tapi selalu ada kemudahan, titik harap lalu terbentang jalan. Hingga suatu hari diri terjebak pada tujuan hidup kebanyakan orang; bahagia, kaya, hidup mulus dan tenang. Lalu ujian datang, menyadarkan bahwa "tidak menyentuh neraka" diraih tidak cuma-cuma. Ada amal baik yang entah diterima atau tidak, sementara maksiat jelas menabung dosa. Ada doa yang menjadi senjata dan menolong secara bersahaja. Ada ridha orang tua, ridha suami, ridha kawan, atas laku kita. Ada saksi waktu dan ruang atas kebermanfaatan dan kesia-siaan. Ada kebodohan yang terencana menciptakan kezhaliman. Ada dunia dan kehinaannya yang menggoda. Ada syaithan yang membisik tak berjeda. Hidup tak semudah tugas akhir; cukup buang banyak variabel untuk memudahkan penelitian. Merancang akhir hidup yang bahagia tak semudah membuat happy ending dalam novel, sebaliknya, merancang akhir hidup penuh duka akan lebih mudah daripada membuat sad ending dalam novel. Maka, tiada tempat mengadu dan menggantung harap selain pada-Nya, di setiap skenario yang membentang tak kasat mata. Bantu aku mengingatnya... (at Kampus 3 UAD)
3 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Quote
Mencintai berarti memahami. Mencintai ialah menerima. Mencintai itu memerhati. Mencintai maka berlapang dada.
9 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Text
Senin Terakhir
Pernikahan bukan hanya tentang dunia, yakni juga tentang akhirat. Sehingga ujiannya yang hadir mengguncang jiwa, dan mengajarkan taat. Semoga ujiannya terlalui dengan hati yang tenang.
11 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Text
SANGKA
Ini bukan sekali yang kurasa. Lagi-lagi pikirku bertengkar, menyusun sangka yang salah. Salah karena diturutkan nafsunya. Tidak. Ia tak mungkin mengkhianatiku. Dan semua sangkaku adalah kebohongan rasa. Berat kupandangi bayang-bayang pukaunya. Mereka menari lalu perlahan memudar, menguat kembali, dan memudar lagi. Kusandarkan kepalaku di atas meja jahit. Dan bulir itu menelisik keluar, mengubah ketenanganku menjadi isakan. Haruskah aku bertanya? Siapa yang kamu temui hari itu? Tidak. Apakah kamu bertemu seseorang? Atau apakah kamu bertemu dengannya? Pertanyaan demi pertanyaan menderas. Meski kutahu aku tak mungkin menanyakannya. Aku seperti si bodoh yang pasrah. Dan seakan hilang kenalku tentangnya. Bodoh. Dia akan selalu menjadi dia. Dia yang kamu kenal. Dia yang kamu tahu. Dia yang kamu rasa. Bermenit-menit isakku bertahan. Mengubah setiap kenangan menjadi genangan. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Dia akan selalu menjadi dia. Hingga hilang sadarku. *** Aku mengerjap. Merasakan sisa-sisa air mata yang menggenang. Aku menangis? Ya ampun. Aku sudah berjanji tidak ada lagi tangisan bersebab lelaki yang belum tertakdir untukku, dan aku menangis? Perlahan sisa-sisa kesedihan itu berubah menjadi tawa. Hey, kamu bukan siapa-siapanya. Masa lalunya pun bukan. Adakah hakmu memintanya sesukamu? Bahkan menyangka pun kamu tidak berhak. Lucu. Hahaha. Lucu. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kuhembus perlahan. Ini tentang rasa yang menguat. Tapi kuingat, seperti kain yang harus kusatukan dengan benang di atas meja jahit ini, rasa itu harus terjalin sempurna dengan ikatan suci. Maka tentang rasa yang menguat, kurasa ini masih berupa sisa-sisa mimpi tadi malam. Bayangannya yang begitu dekat. Ah, apa yang sedang kukhayalkan? “Mala, makan siang dulu! Dari tadi Emak panggil kok ya gak nyautin?!” suara Emak menambah kesadaranku. Dua hari ini Emak mudah marah. Bersebab aku yang tidak tahu diri membatalkan secara sepihak pernikahan malam itu. “Eh, maaf, Mak. Gak dengar..” aku segera beranjak meninggalkan meja jahit. Dan segala kesedihan yang tak tahu dari mana sumbernya. Aku harus bahagia. *** Di meja makan, lagi-lagi Bapak menatapku dengan tatapan sinisnya. Sudah lima kali ia menatapku seperti itu sejak malam itu. Kuambilkan sepiring nasi untuknya, juga untuk Emak. “Kamu itu maunya apa? Tiba-tiba kabur, balik-balik nangis. Menggagalkan seluruh rencana. Memalukan Bapak dan Emak,” katanya. Aku terdiam, tak sanggup kutatap wajah Bapak, dan kesedihan tak bersumber itu kembali menyeruak. Ini sudah ketiga kalinya Bapak mengulangi perkataan yang sama. Seakan-akan ingin menyadarkanku, bahwa aku telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kepalaku sakit. Kembali bulir-bulir itu membasahi pipiku. Dan untuk pertama kalinya aku ingin angkat bicara. “Pak,” panggilku. Aku mengangkat wajah dengan sisa-sisa keberanianku. Bapak dengan geramnya masih menatapku dalam-dalam, “apakah dulu Bapak menikahi Emak karena cinta?” Kulihat alis Bapak yang terangkat, kuteruskan, “Mala lihat Ilham tidak tulus ingin menikahi Mala. Dan Mala pun tidak memiliki ketulusan barang setitik pun untuk menikah dengannya..” Bapak kemudian memalingkan wajahnya ke arah Emak. Lalu menatapku lagi, “apa yang kurang dari diri Ilham?” Aku terdiam. “Kalau kamu tidak mau, seharusnya sejak awal kamu bilang, bukan mengulur-ngulur waktu, kemudian menyerahkan kepada Bapak. Lalu akhirnya dengan seenaknya kamu kabur begitu!” Isakanku semakin keras, tapi aku berusaha berbicara sejelas mungkin, “Mala juga gak tahu, Pak. Tiba-tiba Mala seperti tidak bisa menerima kenyataan itu. Dan…karena Mala sudah mencintai lelaki lain.” “Siapa?” tanya Bapak. Aku masih terisak sampai Bapak menanyakannya tiga kali. “Ia kenalanku, namanya Yahya,” ucapku pelan. “Lalu? Cintamu bertepuk sebelah tangan?” tanya Bapak lagi. Pertanyaan itu menghunjam tepat di jantungku. Aku menunduk. Meremas bajuku di balik meja, “gak tahu, Pak.” “Kamu ini lho, datang yang pasti kok nyarinya yang gak pasti,” ujar Bapak. Emak memegang lengan Bapak, mengisyaratkan agar kita makan terlebih dahulu. *** Aku memutar kembali ingatanku. Ketika aku berlari ke stasiun, dan langkahku tertahan melihat sosok yang kunanti. Lalu bergerak mundur setelah menyadari ada seseorang yang membersamainya. Dress-nya yang berwarna peach, nampak anggun, dan kurasa aku mengenalnya. Tidak salah lagi, aku mengenal perempuan itu. Lalu sedang apa mereka? Aku menggelengkan kepalaku. Bahkan yang kutahu selama ini hanya ada aku dalam benaknya. Keyakinan itu yang membuatku bertahan pada rasa yang semakin tersemai. Disemai pula olehnya yang dengan beraninya menghubungiku kemarin sore. Membuka percakapan hangat. Dan rasaku semakin menganga karenanya. Oh, Tuhan… Aku merapikan helaian benang yang berserak di lantai. Tertiba pintu terbuka; Emak. “Neng, ngobrol sama Emak, ya? Sini..” perintahnya. Aku duduk di samping Emak di kasur, disambut dengan rangkulan hangatnya. Sungguh, ini jarang sekali terjadi. Emak jarang sekali mendidikku dengan kelembutan sentuhan fisik. Kali ini aku mengerti, Emak ingin aku berbagi masalah dengannya, ia ingin menjadi penguatku, dan ia ingin mengerti apa yan sedang kualami. Aku menunduk, bersiap mendengar apa yang akan ia sampaikan. “Mala, rencana Allah itu indah. Emak yakin apa yang terjadi kemarin adalah satu hal dari rencana Allah yang akan merangkai satu takdir yang indah pula nantinya. Hal yang kamu rasa buruk, jangan kamu ulangi lagi. Tapi jangan menyesali takdir ini. Berat memang mengingatnya, tapi ini sudah terjadi. Yang Emak inginkan sekarang adalah kamu ceritakan masalah yang sedang kamu hadapi, dan kita cari solusinya bersama,” aku tak menyangka Emak bisa berbicara sebegitu bijaknya. Tapi, apakah aku harus bercerita tentang perasaanku padanya? Ah, memalukan. Emak menunggu ceritaku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menghilangkan rasa cemas dan mengembalikan jiwa kekanakanku. Aku sedang berbicara dengan seorang Ibu. Lalu mengalirlah cerita itu. Pertemuan pertama kami, obrolan kami, bagaimana sikapnya padaku, dan segala definisi rasa yang terjadi dalam relungku. Juga pertemuan di stasiun malam itu. Emak mendengar dengan seksama. Aku seperti melihat wajah yang berbeda. Emak sedang berusaha menjadi sahabat bagiku. “Neng, yang harus kamu ingat. Sampai ijab qabul belum terjadi, maka takdir itu belum jatuh. Kamu tidak bisa memaksakan kehendakmu, karena yang Maha Menetapkan segala kebaikan adalah Allah. Dia Yang Maha Tahu segala yang baik dan segala yang buruk untukmu. Jika laki-laki itu baik untukmu, jalan takdirnya akan dibuka. Maka jangan pernah berprasangka terhadap perasaan manusia, karena yang tahu hanyalah dirinya dan Allah,” kata Emak dengan penuh penekanan. Aku menatap lamat-lamat ujung kakiku. Menyadari betul bahwa akulah yang telah menodai perasaanku sendiri dengan segala sangkaan. Bodohnya aku. PING! Kulirik ponsel di samping kananku, dan kalimat itu lagi-lagi terpampang jelas. kalimat itu lagi-lagi terpampang jelas. Mendesirkan hatiku. Hai, Bimala :)
1 note · View note
rumahdina · 7 years
Quote
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
QS. Al-Baqarah [2]: 153
8 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Photo
Tumblr media
When they keep cheering you up, you feel great, peaceful, and thankful with the destiny.
1 note · View note
rumahdina · 7 years
Quote
Maka, ketika Tuhan menghendaki, jalan pasti Dia bentangi, langkah dimampukan tuk tapaki.
7 notes · View notes
rumahdina · 7 years
Quote
Aku mengenalnya dengan pengetahuanku yang berbatas. Penglihatan yang selintas. Komunikasi yang tak pernah tuntas. Aku mengenalnya dengan pertemuan yang serba singkat, terbantukan oleh media yang merakyat. Bincang-bincang yang membingungkan. Obrolan yang tak pernah terarah. Bahasan yang terlalu imajinatif. Bahasa pertemanan yang kelewatan. Komentar dan kritik yang kadang menghunjam, namun tak pernah menyisakan kesal berkepanjangan.
Note: Minus Satu
5 notes · View notes