Tumgik
safierakariri · 3 years
Text
Aku Hilang--Lagi
Akhirnya, aku hilang lagi. Setelah beberapa waktu menemukan diriku, lini hidup kembali mengkhianati. Bagaimana tidak? Jika tidak ada hal yang konstan selain ketidakkontanan itu sendiri, maka benar, aku belum siap dengan segala yang berubah.
Hidup berjalan. Hidupku, hidupnya, dan satu kehidupan kecil lagi yang baru hadir sebagian--yang selalu kusemogakan untuk menjadi utuh. Dan, ketika hidupnya mulai bergerak maju, aku merasa di langkah yang tidak bergerak. Ia dengan dunianya kembali bercengkrama mesra. Dunia yang tidak kumengerti.
Bukan, bukannya aku tidak ingin mengerti. Aku ingin. Sangat. Tetapi, segala yang terbatas dari diriku merasa sulit untuk tenggelam bersamanya. Aku, yang hanya tahu sedikit saja tentang apa-apa, merangkak pelan ketika melihatnya berlari kencang. Ia hebat. Dan aku? Hanya putaran yang melambat.
Rasanya, aku hilang lagi. Aku kehilangan diriku. Aku kehilangan hari-hari dan akal sehat yang sejengkal demi sejengkal memudar dari tulang belakang yang kedinginan. Aku... lelah.
Hilang, dan ditemukan. Hilang, dan menemukan. Hilang, lalu bertemu. Rasanya tidak sanggup lagi. Aku ingin pulang. Aku ingin tidak hilang lagi.
Benarkah, bahwa hilang adalah siklus yang harus dilalui berkali-kali?
Bagaimana jika aku sudah terlalu jenuh?
Bagaimana jika aku terlampau jatuh?
Jika begitu, mengapa aku tidak pernah menjadi kuat?
Ah, aku ingin hilang dan tidak ditemukan.
Karena ditemukan rasanya melelahkan, jika harus menjadi hilang lagi.
Sfa.
28/03/2022
0 notes
safierakariri · 3 years
Text
Aku Bernilai, Aku Hanya Berada di Dunia yang Salah
Setiap kali aku membuka kotak pos elektronik, aku ingat pada cerita tentang seorang ayah yang memberikan sebuah mobil tua kepada anak laki-lakinya. Dalam cerita itu, si ayah mengajak si anak untuk menjual mobil tuanya. Ketika tiba di toko mobil bekas, harga yang diberikan untuk menjual mobil itu sangat rendah. Ketika mendatangi toko mobil mewah, mereka malah ditertawakan. Hingga akhirnya, ketika tiba di toko barang antik, justru mereka menawarkan harga yang tinggi untuk mendapatkan mobil itu. Pesan moral dari cerita yang disematkan oleh entah siapa penulis pertama kisah itu, adalah bahwa kita bukan tidak bernilai, hanya saja kita berada di tempat yang salah.
Mungkin itu adalah bersitan pikiran yang mampir di benakku pagi ini. Setelah berkali-kali mendapatkan penolakan--atau ketiadaan jawaban--dari surat lamaran pekerjaan yang kukirimkan ke berbagai intansi, perusahaan, sebut saja, aku merasa putus asa. Bagaimana tidak? Sudah puluhan, mungkin ratusan, aplikasi kerja kusampaikan ke penjuru negara, tetapi selalu mendapat penolakan, entah karena pengalaman yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau hasil tes--bidang pekerjaan--yang di bawah rata-rata. Kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan--untuk mendapatkan gaji bulanan yang tetap--adalah prioritas saat ini, hal yang beberapa waktu lalu sama sekali tidak ingin menjadi bagian dari hidupku. Maksudku, keadaan memaksaku harus bergerak seperti itu. Maka, setelah mendapatkan gelar Magister Akuntansi, aku bergerilya untuk mendapatkan posisi dalam sebuah struktur organisasi bisnis.
Aku merasa hilang arah. Bayangan tentang bekerja dengan jadwal yang tetap--kurasa--adalah sebuah stagnansi yang membuat hidupku membosankan dan membatasi ruang gerakku. Dengan kata lain, aku tidak ingin melakukan apa yang sebagian besar orang lakukan. Dan segala penolakan itu, membuatku merasa tidak bernilai, setinggi apapun gelarku, sebanyak apa buku yang aku baca, semahir apa aku menyusun penelitian. Penolakan itu sama halnya dengan harga murah dan tertawaan dari toko mobil yang dikunjungi si ayah dan anak ketika menjual si mobil tua.
Lalu, pada suatu pagi yang tiba-tiba, aku mendapat kabar untuk bertatap muka dengan dosen pembimbing penelitianku waktu S2 kemarin, setelah selang waktu lama kami tidak bertukar kabar. Ketika bertemu secara daring, ia tidak bertanya lagi tentang detil tulisan ilmiahku, yang berarti ia sudah sangat hafal dan penelitianku menorehkan kesan di benaknya. Tanpa basa-basi, ia langsung mengarahkanku menuju halaman web yang berisi penelitian-penelitian lain yang serupa denganku, yang menjelaskan betapa berharganya penelitian yang sedang kukerjakan. Alasannya ingin melanjutkan proyek penulisan ilmiah dari ide yang kukembangkan adalah bahwa ide itu, dan aku, adalah sangat bernilai. Ia tidak ingin nilai yang kumiliki dibiarkan sia-sia saja tanpa dunia, dan orang-orang hebat lain dalam laman web itu, mengenalku dan mendengar gagasanku.
Saat itu aku mengerti, bahwa aku bukannya tidak bernilai; aku hanya salah tempat! Ketidakpunyaan sertifikat brevet pajak, ketidakmampuan mengoperasikan SQL, dan ke-"tidak-tidak"-anku yang lain tidak berlaku di sini. Di sini, aku adalah seorang periset dengan nilai yang tinggi, dengan gagasan yang berharga. Aku sudah menemukan seorang "kolektor barang antik"-ku, dan di tangannya, mobil tua sepertiku memiliki harga yang tinggi. Aku sudah menemukan jalan setapak menuju dunia riset, di mana aku dan kapabilitasku dihargai.
Aku tahu, berada di dunia ini tidak akan serta-merta memberikan nominal yang tetap ke rekeningku setiap bulan, tetapi--dengan idealisme yang masih goyah karena semua keadaan dan perihal orang dewasa ini--aku percaya, bahwa aku akan menemukan jalanku untuk menyeimbangkan antara idealisme dan saku celana yang nyaris kering; sebagaimana penelitianku berkata. Aku akan menemukan arah, di mana nilaiku akan berbuah selain pengakuan.
Kejadian akhir-akhir ini menyadarkanku atas nilai yang kumiliki, atas tempatku seharusnya berada. Bahwa potensi yang kumiliki tidak terbatas hanya nilai tes rekrutmenku. Bahwa pikiranku, adalah berharga bagi mereka yang mengetahui harganya. Bahwa aku adalah bernilai, aku hanya tersesat ke dunia yang salah.
Sfa.
24/04/2021
1 note · View note
safierakariri · 4 years
Text
kekosongan itu berengsek
tidak naif
tidak polos dan baik saja seperti yang dikata
penyamun yang datang untuk kepala
dan meninggalkan tubuh porak-poranda
kekosongan itu bajingan
merampas sisa separuh malam
menghempas setengah potong doa
kekosongan itu
tidak pernah isi
S.
#puisitwitter
2 notes · View notes
safierakariri · 4 years
Text
Mas,
malam ini kemejamu
melingkari tubuhku,
biasanya lenganmu
selimut berlagak jadi bahasa celoteh kita
yang mengantar tawa pada jam-jam separuh mata
sisa aromamu masih ada
meronta minta diseka
Mas,
biasanya asap tubuhmu ada di kursi
tapi sekarang, memenuhi ruangan ini
S.
#puisitwitter
1 note · View note
safierakariri · 4 years
Text
Tumblr media
Mas,
aku kangen kopi hitam buatanmu
yang kau seduhkan sebagai teman
huruf-huruf di papan ketik
kadang kau tambahkan gula,
karena kau hafal dengan lidahku
seringnya aku keluhkan rasa pahit
dan selalu kau tawarkan dengan manis bibirmu
Mas,
aku kangen,
tapi bukan pada kopimu.
S.
10/12/2020
1 note · View note
safierakariri · 4 years
Text
Tumblr media
Kesempatan seperti ini selalu memutar kembali memorabilia dulu, awal pertama memasuki kehidupan Fikri. Februari 2020, bertepatan pada medio kepusingan sidang tesis. Malam setelah sidang, adalah kali pertama bersapa lewat telepon. Lalu setelahnya tidak mudah untuk tidak saling bertukar kabar. Hampir setiap hari aku ke kafe untuk menulis penelitianku, memesan minuman, lalu mengerjakan revisi hingga sore. Malamnya aku pulang, makan malam dan mengobrol di meja makan bersama teman-teman di rumah kos, sambil menunggu Fikri pulang kerja untuk menelepon. Biasanya pada larut malam baru ada panggilan darinya, dilanjutkan obrolan sampai pagi.
Iya. Suasana kafe dan langit mendung dengan beberapa rintik gerimis di sana-sini selalu bisa mengeluarkan kembali kenangan itu dari dalam kotaknya. 
Ah, Fikri. Dia adalah keajaiban di usia ke-27-ku.
Mungkin benar aku telah bunuh diri, atau mengalami kematian seperti mereka di klub 27 yang menjadi obsesiku. Karena aku telah membuhuh diriku yang lama, hidupku yang usang, menjadi lembar-lembar baru yang ditulis ulang.
Selalu, dan ingin selalu aku ucapkan ribuan terima kasih padanya.
Fikri, terima kasih...
0 notes
safierakariri · 4 years
Text
Sebelum aku menulis lebih banyak, mari biarkan aku bercerita perihal ini.
Beberapa pertanyaan dan keterkejutan muncul ketika aku memutuskan untuk menikah. Pasalnya, mungkin beberapa orang melihatku sebagai perempuan independen yang menjunjung tinggi feminisme. Atau sebagai manusia bebas yang tidak ingin terikat pada hal semacam perjanjian seumur hidup. Pun ada yang mengira bahwa aku memiliki idealisme kuat dan berambisi untuk mengejar pendidikan lebih dari apapun. Well, sepertinya aku harus mengecewakan pemikiran semacam itu, karena, di sini lah aku, berdiri di altar tanpa mengindahkan apa yang mereka anggap tentangku.
Jadi, bagaimana yang terjadi padaku? Mari, perbolehkan aku sedikit bercerita.
Tumblr media
Pertama-tama, mari kita establish sosokku sebagai karakter yang biasa saja. Aku bukan villain, bukan juga pahlawan. Setidaknya dalam ceritaku sendiri. Visualisasikan seseorang yang diam berdiri di tengah keramaian, orang berlalu lalang, dan kendaraan yang saling berkejaran. Itu aku.
Pakaianku biasa saja. Aku bukan orang yang paling baik atau paling taat dalam menjalankan agamaku, tapi aku ingin sekali mampu. Pakaianku biasa saja. Aku berusaha menutup bagian-bagian tubuh yang diperintahkan oleh agamaku untuk menutupnya. Belum sempurna caraku melakukannya. Penampilanku mungkin mengecoh orang-orang dari bagaimana caraku berpikir, bagaimana aku berprinsip, dan apa yang menjadi keseharian perilakuku. Pada dasarnya, yang kuinginkan dalam hidup adalah untuk menjadi manusia yang tepat porsi.
Tumblr media
Ya. Itu aku. Sedang dengan impulsif berdandan seperti Fikri Kariri, pria yang memasangkan cincinnya di jariku bulan Agustus lalu.
Kurasa itu cukup sebagai pembuka dalam apa yang ingin kusampaikan tentang pemikiranku ketika ada yang bertanya tentang, “mengapa kamu menikah?” dan selingkar pertanyaan lain mengenai, “apa sih, idealnya tujuan menikah itu?”.
Mari kujawab.
Perihal pandanganku, tentang keputusanku untuk menikah.
Bukan, aku bukan feminis. Kalimat itu semoga menjadi pembuka yang cukup tentang bagaimana aku memandang diriku sebagai perempuan. Segala cara pandangku tentang perempuan berdasar pada apa yang agamaku ajarkan padaku. Itu saja yang perlu kukatakan.
Tujuan ideal menikah? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, tujuanku menikah adalah untuk beribadah. Terdengar cliché? Tapi ketika aku mendalami pemikiran itu, banyak hal yang mengejutkan dan menguatkanku.
Ketakutan untuk menikah pernah melingkar-lingkar di kepalaku. Bagaimana jika pernikahan tidak seindah yang kubayangkan? Bagaimana jika aku selalu beradu argumen dengan pasanganku? Bagaimana jika aku tidak bisa menjadi diriku sendiri? Bagaimana jika aku lalai dalam mendidik anak-anakku? Dan, bagaimana jika aku tidak bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin terasah oleh rasa trauma yang aku alami ketika menjalin hubungan kasih dengan orang yang bersamaku sebelum kehadiran Fikri. Bahkan, ketika pertama kali Fikri menyatakan keseriusannya padaku, aku menolaknya. Tapi, dasar gigih--atau keras kepala--Fikri tidak menyerah untuk ada untukku. Ia membantuku melalui masa-masa sulit itu, hingga pada akhirnya, aku pun mantap untuk berkata ‘ya’ padanya.
Lalu, apa yang menggerakkan otot bibirku untuk mengeluarkan jawaban itu?
Allah.
Segala ketakutanku lenyap ketika aku menyadari bahwa hidup adalah dari-Nya, untuk-Nya dan milik-Nya. Maka, aku tidak lagi khawatir tentang apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku hanya ingin beribadah, dan dalam berlaku baik tentu akan bertemu masalah dan kesulitan. Jika pun nantinya aku bertemu rintangan dalam perjalanan pernikahanku, itu semua adalah bagaimana Allah menyayangiku dan ingin aku ‘naik kelas’.
Tidak jarang aku melihat dan mendengar cerita yang beraneka ragam tentang bagaimana orang-orang bertemu dengan ujian dalam rumah tangganya. Tentu itu menakutiku pada awalnya. Tapi, ketika aku mengembalikan semua pikiranku kepada Allah, hatiku kembali merasa lapang dan tenang.
Semua itu tidak terlepas dari kedua orang tuaku yang selalu menanamkan untuk selalu kembali pada-Nya, dan hanya pada-Nya kita mempercayakan segala sesuatu. Untuk tidak meragukan janji-Nya, dan untuk selalu berserah.
Itu lah bagaimana aku memutuskan. Itu lah bagaimana akhirnya aku dalam hitungan detik merasa bebas untuk berkata ‘ya’. Lepas dari semua ketakutan dan ‘bagaimana kalau’ yang beragam.
“Pernikahan itu berat. Ibarat kata, kita sedang ‘mencari masalah’, karena dalam menikah, isinya hanya masalah saja,” kata Fikri ketika menyatakan keseriusannya pada awal pertama dulu. “Tapi, itu caranya supaya kita naik kelas. Sebagai manusia, dan sebagai hamba.”
“Menikah adalah bukan perintah Mama, bukan kata Papa, bukan tuntutan di masyarakat. Menikah adalah perintah dari Allah sendiri. Jangan sepelekan,” kata Mama suatu ketika.
Kebahagiaan, ketenangan, adalah bonus yang Allah berikan ketika kita memilih untuk menjalankan perintah-Nya. Mereka bukan tujuan. Mereka fana. Bukankan tidak ada yang tahu apa arti kebahagiaan yang sesungguhnyai?
Karena, jika kebahagiaan yang dicari dari sebuah pernikahan, nantinya kita akan dikecewakan pada kesimpang-siuran dari makna bahagia itu sendiri. Apa itu bahagia? Sampai saat ini pun aku tidak tahu. Fikri pun tidak. Ia masih saja melontarkan pertanyaan yang sama. Tapi, semua perasaan tenang dan damai yang dihibahkan oleh Allah selama menjalani pernikahan adalah pecahan surga atas ketaatan kita pada salah satu perintah-Nya. Dan masalah yang datang di dalamnya adalah cara-Nya untuk mendekatkan kita surga yang sesungguhnya.
Sesederhana itu aku memandang pernikahan. Seyakin itu aku menjawab, bahwa yang ingin aku cari dari pernikahan adalah satu saja:
ridho Allah.
(Safiera, 03 Oktober 2020)
0 notes
safierakariri · 4 years
Quote
Bukan alasan untuk tidak menulis lagi ketika merasa dikerdilkan. Tapi nyatanya, memang itu yang terjadi pada kesempitan pikiranku selama beberapa waktu. Halaman-halaman digitalku mulai berornamenkan sarang laba-laba dan aku diam saja. Well... kawanku, kediaman itu akan 'ku akhiri hari ini. Aku ingin menulis lagi.
Regards,
dariku, yang malam tadi mendengar ‘aku ingin kamu menulis lagi’ dari seorang versi laki-laki dari diriku, yang pagi ini masih terlelap tidur di ranjangku.
0 notes