Tumgik
#UU nomor 39 Tahun 1999
realita-lampung · 10 months
Text
Optimalisasi Pengawasan Pemilu, Bawaslu Tanggamus Undang Lembaga Pers dan Elemen Masyarakat
Tumblr media
Dalam Rangka Optimalisasi Pengawasan pada Pemilihan Umum tahun 2024, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kabupaten Tanggamus mengundang 15 Wartawan dan berbagai elemen masyarakat. Udangan itu mengusung agenda “Rapat Koordinasi Publikasi dan Dokumentasi Pengawasan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota” di Urbanview Hotel Ratu Kuring Gisting, pada Rabu (5/12/2023). Hadir dalam kegiatan tersebut, Ketua KPU Tanggamus Angga Lazuardy, Sekdis Kominfo Tanggamus Derius Putrawan, dan 70 orang para undangan. Dengan Pemateri, Ketua PWI Lampung Wirahadikusumah, dan Direktur Eksekutif Lampung Demokrasi Studies Een Riansah. Di kesempatan itu Wirahadikusumah memaparkan, sejauh mana keterlibatan media pers dalam Pemilu yang tercantum di Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers berbunyi “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. "Selain memberi informasi, pers berperan untuk mengedukasi masyarakat, termasuk dalam momen penting Pemilu 2024, adapun terkait aturan Iklan kampanye Pemilu sendiri diatur melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 15 tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu dari pasal 39-45," ujar Ketua PWI Lampung. Sementara Een Riansah menegaskan bahwa peran serta Organisasi Kepemudaan dan Pers, sangat dibutuhkan ole Republik. "Secara konstitusional ada dua lembaga yang mempunyai tanggungjawab etis terhadap proses pemilu, yaitu Penyelenggara/KPU dan partai politik, keduanya bertanggungjawab terhadap pendidikan politik Demokrasi kepada seluruh masyarakat," tegasnya. Ditempat yang sama, Ketua KPU Tanggamus Angga Lazuardy, menjelaskan Penyelanggara Pemilihan Umum pada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tanggamus berjumlah 30 orang. Dengan rincian sebagai Anggota KPU berjumlah 5 orang, Sekretariat KPU berjumlah 25 orang, Pejabat Struktural berjumlah 5 orang, PNS berjumlah 8 orang, Tenaga Kesekretariatan berjumlah 12 orang, Badan Adhoc Penyelenggara Pemilu di Kabupaten Tanggamus, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), berjumlah 100 orang, Panitia Pemungutan Suara (PPS), berjumlah 906 orang, Sekretariat PPK berjumlah 60 orang, Sekretariat PPS berjumlah 906 orang Dan Tenaga Pendukung PPK berjumlah 40 Orang. Lanjutnya, jumlah TPS dan DPT kabupaten tanggamus Kecamatan berjumlah 20, Jumlah TPS : 1.887 terdiri dari 1882 (TPS Reguler) dan 5 (TPS Khusus),Total Jumlah pemilih: 451.682 Terdiri dari Laki –laki : 233.325 dan Perempuan : 218.357. Dan TPS Lokasi Khusus ada 5 rincian, 2 di Lapas dengan jumlah pemilih 359, di rutan dengan jumlah pemilih 322 ,di SUPM dengan jumlah pemilih 184. TPS Kategori TPS 3 T. ( Terpencil, Terluar, Tersulit) berjumlah 148 TPS. Jumlah DPTb Kabupaten Tanggamus pertanggal 22 November 2023, Pemilih pindah masuk 169, Pemilih pindah keluar : 198," tutup ketua KPU. Acara tersebut dibuka dan ditutup secara resmi oleh pihak bawaslu. Dalam sambutannya, Ikhwanudin mewakili Najih mustofa, menyampaikan bahwa terimakasih kepada semua peserta yang hadir dan Bawaslu Tanggamus sangat mengharapkan partisipasi peran serta dari dari berbagai elemen untuk selalu mengawasi tahapan-tahapan pemilu “Tanpa partisipasi maka Bawaslu bukan siapa-siapa,” tutupnya. Kegiatan tersebut, selain mendengarkan paparan dari Pemateri, para peserta pun dipersilahkan untuk tanya jawab dan ditutup dengan Foto bersama. (Hadi Haryanto) Read the full article
0 notes
almayhindri · 2 years
Text
UU Perlindungan Data Pribadi dan Tantangan Implementasinya
Tumblr media
Setelah menunggu sejak 2019, akhirnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disetujui untuk diundangkan kemarin (20/9). Pengesahan ini bertepatan dengan kian banyaknya kasus kebocoran data pribadi penduduk.
Seperti dimuat dalam pertimbangannya, UU ini berfungsi untuk menjamin hak warga negara atas perlindungan diri pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya perlindungan data pribadi.
Undang-undang ini diharapkan menjadi payung hukum yang kuat bagi tata kelola dan perlindungan data personal warga negara dan para penyelenggara pemerintahan.
Perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari perlindungan diri pribadi. Perlindungan diri pribadi ini tercantum dalam Pasal 28G UUD 1945. Perlindungan diri pribadi atau privasi ini bersifat universal, dalam arti diakui banyak negara.
Sejak Mei 2018, sebanyak 28 negara anggota Uni Eropa (UE) menerapkan General Data Protection Regulation. Angka ini terus bertambah sejalan dengan kebutuhan untuk melakukan perlindungan data warga negaranya.
Di Indonesia, sebelum UU ini disahkan, pengaturan perlindungan data pribadi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013.
Industri 4.0 telah mendorong perkembangan dunia digital di Indonesia. Hingga saat ini, data Hootsuite (We are Social) 2022 menunjukkan 204,7 juta penduduk Indonesia menggunakan internet dan 93,5 persen di antaranya aktif sebagai pengguna media sosial. Perkembangan dunia digital juga melahirkan beberapa budaya dan perilaku baru, mulai mengunggah apa pun hingga transaksi online.
Kondisi tersebut belum diikuti kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk melindungi data pribadi. Padahal, pengungkapan data pribadi tanpa kendali terbukti menimbulkan banyak risiko beragam tindak kriminalitas.
Perundungan, ancaman, penipuan, hingga pembobolan akun menjadi hal yang tidak terhindarkan. Yang paling baru adalah peretas Bjorka yang mengaku telah memiliki data pribadi milik warga Indonesia, termasuk beberapa pejabat publik.
Tantangan Implementasi
Banyak tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan UU PDP ini. Meminimalkan risiko adalah tanggung jawab bersama, tetapi beban di pundak pemerintah jauh lebih berat. Data personal penduduk banyak dikelola pemerintah untuk kebutuhan pelayanan publik.
Ada yang karena paksaan, masyarakat menyerahkan identitas seperti nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga. Ada yang bersifat sukarela, misalnya untuk melamar sebagai aparatur sipil negara. Terhadap hal ini, ada dua hal penting yang harus digarisbawahi: bagaimana menjaga keamanannya dan bagaimana pemanfaatannya. Jangan sampai informasi yang ada kemudian menjadi komoditas ekonomi.
Tantangan kedua adalah kelembagaan. Dalam UU ini disebutkan, penyelenggaraan perlindungan data pribadi dilaksanakan lembaga yang ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Belum ada pengaturan tentang kedudukan dan struktur kelembagaan serta otoritas yang diberikan kepada lembaga ini.
Tantangan berikutnya yang paling dekat akan dihadapi adalah Pemilu 2024. Banyak politikus yang sudah siap-siap bertarung memperebutkan kursi, baik sebagai presiden, kepala daerah, maupun anggota dewan. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, beragam upaya dilakukan, termasuk mencari informasi seperti apakah latar belakang para kandidat.
Bagi masyarakat, informasi tersebut mungkin dapat menjadi dasar apakah kandidat itu pantas dipilih atau tidak. Terhadap situasi ini, para pengendali dan prosesor data pribadi harus hati-hati karena bisa jadi pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 6 miliar menanti. Bisa jadi informasi yang ada disalahgunakan, bahkan diperjualbelikan.
Terakhir, terkait dengan perilaku masyarakat yang dengan mudahnya berbagi data pribadi. Untuk itu, sosialisasi berupa literasi digital harus dilakukan secara masif agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Tata kelola kolaboratif (collaborative governance) perlu didorong untuk mempercepat tujuan perlindungan data diri.
UU PDP bukanlah akhir dari perjuangan melindungi data pribadi. Masih panjang pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk membuat aturan pelaksanaannya sesegera mungkin. Terutama dalam mendefinisikan beragam konsep pengejawantahannya yang masih sangat umum, memastikan pelaksanaan dan pengawasannya berjalan dengan benar, serta sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
Contoh kasus yang pernah terjadi di indonesia Kebocoran Data Bank Indonesia
Pada Januari 2022, kasus kebocoran data menimpa Bank Indonesia alias BI. Setidaknya terdapat 16 komputer di Kantor Cabang BI di Bengkulu yang mengalami kebocoran dan telah dibenarkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN.Namun, pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, menyebutkan bahwa data yang bocor tidak hanya dari Kantor Cabang Bengkulu, tetapi juga dari 20 kota lainnya dengan jumlah dokumen lebih dari 52 ribu dan berasal dari 200 komputer dengan ukuran sebesar 74,82 GB.
Tumblr media
Cara Mencegah Kebocoran Data Pribadi
1. Waspadai Wifi Umum Langkah pertama mencegah kebocoran data yaitu menghindari penggunaan Wifi umum. Ketika anda di ruang publik wifi umum biasanya tidak diketahui keamanannya. Salah satu cara menghindari kebocoran data yaitu mengaktifkan VPN ketika mengakses internet. Hindari menggunakan wifi umum ketika anda mengakses mobile banking, berbelanja online, dan webmail. Selain itu anda bisa pergi ke pengaturan untuk tidak memberikan izin perangkat mengingat detail login. Cara lain yaitu menghapus titik akses Wifi ke pengaturan jaringan perangkat seluler, setelah memakai hotspot Wifi publik.
2. Pakai Software Asli Langkah kedua yaitu menghindari pemakaian software bajakan yang rentan malware. Anda bisa membeli atau mengunduh aplikasi resmi untuk perangkat komputer atau Hp. 3. Hindari Situs Phising Langkah ketiga yaitu menghindari website berbahaya. Anda bisa menggunakan aplikasi antivirus atau fitur Webroot Web Threat Shield untuk mencegah phising dan scam.
4. Ganti Password Serangan siber bisa terjadi ketika anda menggunakan kata sandi yang sama untuk berbagai akun. Contohnya saja email dan kata sandi sama untuk mobile banking, media sosial, dan pin ATM. Sebaiknya anda menggunakan password yang sulit ditebak dan dideteksi. Misalnya menggabungkan nomor, huruf kapital, dan angka untuk password. Anda bisa menggunakan kata sandi yang berbeda di setiap akun.
1 note · View note
lintangalamcerita · 2 years
Text
Perlindungan Data Pribadi
Tumblr media
Perlindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari perlindungan diri pribadi. Perlindungan diri pribadi ini tercantum dalam Pasal 28G UUD 1945. Perlindungan diri pribadi atau privasi ini bersifat universal, dalam arti diakui banyak negara.
Di Indonesia, sebelum UU ini disahkan, pengaturan perlindungan data pribadi tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013.
Industri 4.0 telah mendorong perkembangan dunia digital di Indonesia. Hingga saat ini, data Hootsuite (We are Social) 2022 menunjukkan 204,7 juta penduduk Indonesia menggunakan internet dan 93,5 persen di antaranya aktif sebagai pengguna media sosial. Perkembangan dunia digital juga melahirkan beberapa budaya dan perilaku baru, mulai mengunggah apa pun hingga transaksi online.
Kondisi tersebut belum diikuti kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk melindungi data pribadi. Padahal, pengungkapan data pribadi tanpa kendali terbukti menimbulkan banyak risiko beragam tindak kriminalitas.
Perundungan, ancaman, penipuan, hingga pembobolan akun menjadi hal yang tidak terhindarkan. Yang paling baru adalah peretas Bjorka yang mengaku telah memiliki data pribadi milik warga Indonesia, termasuk beberapa pejabat publik.
Tantangan Implementasi
Banyak tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan UU PDP ini. Meminimalkan risiko adalah tanggung jawab bersama, tetapi beban di pundak pemerintah jauh lebih berat. Data personal penduduk banyak dikelola pemerintah untuk kebutuhan pelayanan publik.
Ada yang karena paksaan, masyarakat menyerahkan identitas seperti nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga. Ada yang bersifat sukarela, misalnya untuk melamar sebagai aparatur sipil negara. Terhadap hal ini, ada dua hal penting yang harus digaris bawahi: bagaimana menjaga keamanannya dan bagaimana pemanfaatannya. Jangan sampai informasi yang ada kemudian menjadi komoditas ekonomi.
Tantangan kedua adalah kelembagaan. Dalam UU ini disebutkan, penyelenggaraan perlindungan data pribadi dilaksanakan lembaga yang ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada presiden. Belum ada pengaturan tentang kedudukan dan struktur kelembagaan serta otoritas yang diberikan kepada lembaga ini.
Tantangan berikutnya yang paling dekat akan dihadapi adalah Pemilu 2024. Banyak politikus yang sudah siap-siap bertarung memperebutkan kursi, baik sebagai presiden, kepala daerah, maupun anggota dewan. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, beragam upaya dilakukan, termasuk mencari informasi seperti apakah latar belakang para kandidat.
Bagi masyarakat, informasi tersebut mungkin dapat menjadi dasar apakah kandidat itu pantas dipilih atau tidak. Terhadap situasi ini, para pengendali dan prosesor data pribadi harus hati-hati karena bisa jadi pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 6 miliar menanti. Bisa jadi informasi yang ada disalahgunakan, bahkan diperjualbelikan.
Terakhir, terkait dengan perilaku masyarakat yang dengan mudahnya berbagi data pribadi. Untuk itu, sosialisasi berupa literasi digital harus dilakukan secara masif agar masyarakat memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Tata kelola kolaboratif (collaborative governance) perlu didorong untuk mempercepat tujuan perlindungan data diri.
UU PDP bukanlah akhir dari perjuangan melindungi data pribadi. Masih panjang pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah untuk membuat aturan pelaksanaannya sesegera mungkin. Terutama dalam mendefinisikan beragam konsep pengejawantahannya yang masih sangat umum, memastikan pelaksanaan dan pengawasannya berjalan dengan benar, serta sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.
1 note · View note
herripermana7107 · 2 years
Text
Menanti UU Perlindungan Fakir Miskin , Anak Yatim dan Anak Terlantar
Masalah fakir miskin, anak yatim hingga anak terlantar hingga saat ini masih saja belum tuntas. Padahal fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab utama pemerintah Indonesia. Hal ini bahkan sudah tercantum dalam UUD 45 pasal 34.
Sayangnya meskipun sudah dicantumkan dalam UUD 45, hingga saat ini masih belum ada payung yang jelas dalam bentuk Undang-Undang. Padahal payung hukum ini penting sebagai bentuk dasar atau pelindung yang jelas.
Isi Pasal 34 UUD 1945 
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hukum dasar tertulis di Indonesia yang artinya sangat penting dalam mewujudkan kehidupan bangsa serta bernegara. Bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk pemerintah.
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang fundamental dan yang akan menjadi legitimasi bagi aturan perundang-undangan yang dibuat setelahnya. Dalam UUD 1945 ini telah disebutkan akan siapa yang bertanggung jawab atas fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Terdapat empat ayat dalam Undang-Undang 1945 ini yang bisa dicermati.
(1)  Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2)Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pasal pertama bisa dilihat bahwa negaralah yang bertanggung jawab memelihara baik itu fakir miskin dan anak-anak terlantar. Kemudian pada pasal nomor empat diteruskan yakni pelaksanaannya yang harus diatur dalam undang-undang.
Itu artinya bagaimana atau apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam untuk memenuhi tanggung jawabnya tersebut lebih diperjelas dalam undang-undang. Sayangnya sampai saat ini masih belum ada undang-undang yang meneruskan maksud dari pasal 35 UUD 1945 ayat 1 tadi.
Adakah UU Turunan Pasal 35 UUD 1945 Ayat 1?
Jumlah fakir miskin, anak yatim dan terlantar di Indonesia masih saja terus meningkat. Bahkan jumlah anak terlantar di Indonesia menurut Kementerian Sosial di tahun 2020 saja sudah mencapai 67.368 orang.
Jumlah ini seharusnya bisa lebih menurun jika pemerintah memberikan perlindungan yang benar mengacu pada UUD 1945 pasal 3 ayat 1 dan turunannya. Hingga saat ini UU turunan dari UUD tersebut masih sangat terbatas bahkan bisa dikatakan belum ada.
Alasan utama yang kerap dijelaskan pemerintah adalah sulitnya memperoleh data anak di jalanan. Tanpa data itulah pemerintah mengalami kesulitan untuk memberikan rehabilitasi sosial. Padahal jika sudah dibentuk undang-undang upaya penanganan seperti ini bisa jauh lebih mudah. Anak terlantar maupun yatim bisa mendapat pengasuhan lebih baik.
Sampai saat ini UU sayangnya masih belum berkaitan dengan UU perlindungan fakir miskin, anak yatim dan terlantar yang dibutuhkan. Berikut UU dengan isi mengenai perlindungan anak serta fakir miskin..
1.      Undang Undang Perlindungan Anak
Pembahasan perlindungan anak telah dijelaskan dalam UU nomor 23 tahun 2022. Dalam UU dibahas secara mendalam lebih kepada hak dan kewajiban anak. Sedangkan peran pemerintah hanya dibahas di bagian kedua dari pasal 21 hingga 24 saja.
Pembahasan UU di sini lebih ke arah umum yang menjelaskan bahwa pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak. Begitu juga pemerintah yang mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
2.      Undang Undang Hak Asasi Manusia
Ada juga UU nomor 39 tahun 1999 yang mengatur mengenai hak asasi manusia termasuk anak. Pada bagian kesepuluh UU ini banyak dijelaskan apa saja hak anak sebagai masyarakat Indonesia.
Lagi-lagi penjelasan mengenai peran pemerintah untuk memberikan perlindungan pada anak terlantar masih cukup ambigu. Hal ini bisa dilihat dalam bagian sepuluh pasal 58 ayat satu yaitu :
‘Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut’.
Perlindungan yang diberikan pemerintah di sini hanya dalam bentuk perlindungan hukum. Namun bagaimana perlindungan hukum tersebut diterapkan masih belum ada penjelasannya.
3.      Undang Undang Penanganan Fakir Miskin
Ada juga UU nomor 31 tahun 2011 yang membahas mengenai penanganan fakir miskin. Dibandingkan kedua UU sebelumnya, kali ini penjelasan bagaimana pemerintah harus menangani fakir miskin cukup jelas.
Mulai dari penyediaan pangan dan sandang, pelayanan perumahan, pengembangan potensi diri, pendidikan, akses kesempatan kerja, dan masih banyak lagi. Namun lagi-lagi isi dari UU ini hanyalah bagaimana cara menangani, bukan melindungi.
Pasalnya sampai saat ini pun masih banyak isi dari pasal tersebut yang belum dijalankan dengan baik. Sama seperti sebelumnya, pemerintah beralasan kesulitan soal pendataan.
Mengintip RUU dalam Prolegnas 2022
Setelah melihat dari segi UU turunan yang ada bisa dikatakan bahwa dari zaman kemerdekaan sampai sekarang pun masih belum ada upaya pembentukan payung hukum berupa UU. Hal tersebut juga bisa dilihat dalam Rapat Panitia Kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Padahal dalam Prolegnas 2022 ini, terdapat 40 RUU yang diprioritaskan dan tidak ada satupun yang berkaitan dengan perlindungan fakir miskin, anak yatim dan terlantar. Isi dari Prolegnas 2022 antara lain:
RUU mengenai Energi Baru dan Terbarukan
RUU mengenai Pengawasan Obat dan Makanan
RUU mengenai Praktik Psikologi
RUU mengenai Penghapusan Kekerasan Seksual
RUU mengenai Larangan Minuman Beralkohol
RUU mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
RUU mengenai Bahan Kimia
RUU mengenai Masyarakat Hukum Adat
RUU mengenai Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama
RUU mengenai Kesejahteraan Ibu dan Anak
RUU mengenai Perlindungan Data Pribadi
RUU mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
RUU mengenai Hukum Acara Perdata
RUU mengenai Ibu Kota Negara
RUU mengenai Daerah Kepulauan
RUU mengenai Badan Usaha Milik Desa
Masih banyak lagi RUU yang membahas mengenai perubahan UU dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan perlindungan fakir miskin, anak yatim dan terlantar.
Lalu mau sampai kapan fakir miskin hingga anak terlantar bisa mendapat perlindungan yang benar dari pemerintah? RUU saja masih belum masuk ke dalam pembahasan di DPR.
Payung Hukum Berbentuk Peraturan Pemerintah dan Permensos
Jika menilik pada ketiga UU Perlindungan Anak, Hak Asasi Manusia dan Penanganan Fakir miskin, masih belum bisa dikatakan sebagai turunan dari UUD 1945 pasal 3 ayat 1. Sampai saat ini payung hukum yang meneruskan UUD 1945 pasal 3 ayat 1 hanyalah berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) saja.
Adapun Peraturan Pemerintah dan Permensos yang membahas mengenai perlindungan tersebut adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 1952
Pada Peraturan Pemerintah ini telah ditetapkan bahwa urusan pemerintah pusat dalam lapangan sosial akan diserahkan kepada pemerintah Provinsi. Hal-hal yang berkaitan dengan urusan sosial ini mencakup banyak hal termasuk fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang terlantar.
Hal tersebut bisa dilihat dari isi Peraturan Pemerintah tersebut Bab II Tentang Hal Urusan Sosial Pasal 2. Berikut bunyinya:
Selama Kabupaten/Kota-Besar belum menyelenggarakan tugas atau sebagian tugas dalam urusan sosial, maka kepada Provinsi diserahkan dengan hak otonomi hak mengadakan usaha-usaha untuk :
memberikan pertolongan kepada orang-orang fakir-miskin,
menyelenggarakan pemeliharaan anak-anak yatim-piatu,
memberikan pertolongan kepada orang-orang terlantar.
Dengan “pertolongan” dimaksudkan semua jenis bantuan, baik moril maupun materil, yang diserahkan kepada yang dibantu dengan tidak memandang, apakah mereka ada diluar atau didalam asrama.
Dengan “pemeliharaan” dimaksudkan bantuan yang diberikan dengan menyediakan asrama kepada orang-orang yang diberi bantuan, dengan menyediakan segala keperluan hidupnya.
Berdasarkan isi dari pasal ini sudah sangat jelas bahwa pemerintah Provinsi memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi fakir miskin, anak yatim piatu dan terlantar.
Permensos tentang Rehabilitasi Sosial Dasar bagi Anak Terlantar
Ada juga Permensos nomor 40 tahun 2020 yang mengatur soal Rehabilitas Sosial Dasar bagi Anda Terlantar. Isi dari Permensos ini sangat lengkap memulai dari apa itu rehabilitasi untuk anak terlantar, bagaimana cara memberikannya sampai kriteria dari anak yang terlantar itu sendiri.
Berikut ini salah satu isi dari Permensos tersebut pasal 2 mengenai rehabilitasinya.
(1) Rehabilitasi Sosial Dasar bagi Anak Terlantar meliputi: a. Rehabilitasi Sosial dasar di luar Panti Sosial; dan b. Rehabilitasi Sosial dasar di dalam Panti Sosial.
(2) Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial dasar di luar Panti Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi tanggung jawab bupati/wali kota.
(3) Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial dasar di dalam Panti Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi tanggung jawab gubernur.
(4) Panti Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik Pemerintah Daerah provinsi maupun masyarakat.
Permensos tentang Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu untuk Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu
Permensos nomor 15 tahun 2018 ini lebih ke arah pembahasan soal Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT). Sistem ini berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan serta keluhan fakir miskin dan orang tidak mampu.
Berdasarkan sistem ini jugalah, fakir miskin dan orang tidak mampu nantinya bisa memberikan keluhan, pemerintah mendapatkan data yang jelas sampai ke mekanisme penanganannya. Tujuannya adalah supaya masalah bisa teratasi tepat sasaran.
Nantinya fakir miskin bisa mendapat rujukan dan penanganan akan masalah yang mereka hadapi. Hal ini juga berkaitan dengan UU nomor 31 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Sampai saat ini pemerintah baru menyediakan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah dan Permensos soal perlindungan fakir miskin, anak yatim dan anak terlantar saja. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab mengapa masalah kemiskinan dan anak terlantar saat ini belum saja tuntas.
Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tugas dari pemerintah dalam memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Sehingga pendataan, alur penanganan sampai dengan penyaluran dapat dilakukan dengan lebih baik.
Sampai saat ini permasalahan yang selalu muncul adalah pendataan yang tidak kunjung selesai. Padahal masih banyak langkah yang harus dilakukan sehingga fakir miskin, anak yatim dan anak terlantar bisa hidup lebih sejahtera.
Sampai kapan masyarakat Indonesia yang termasuk dalam kelompok fakir miskin dan anak terlantar menunggu UU perlindungan ini dibuat? Butuh kesadaran dari orang-orang di pemerintahan agar bisa memulainya.
0 notes
dianadlnr · 2 years
Text
PEMBANTAIAN ENAM LASKAR FPI ATAU TRAGEDI KM 50 TERMASUK PELANGGARAN HAM?
Diana Lutfiah Nur Ramadhani
Dosen Pengampu : Dr. Ira Alia Maerani, S.H, M.H.
Pembantaian 6 syuhada laskar FPI pengawal imam besar Habib Rizieq Shihab atau dikenal dengan sebutan tragedi KM 50 merupakan kasus pelanggaran HAM?
Enam pengawal Rizieq Shihab tewas akibat tembakan senjata api oleh polisi yang terjadi di Rest Area Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, Desember tahun 2020 silam. Kasus tersebut bermula ketika adanya iring-iringan yang mengawal Rizieq Shihab dikuntit sejumlah mobil. Pengawal Rizieq yang dinamakan Laskar FPI melakukan perlindungan kepada Rizieq Shihab. Atas insiden tersebut, kontroversi mengemuka. Ada perbedaan pernyataan antara pihak FPI dan kepolisisan mengenai sebab musabab penembakan. Polisi kukuh mengatakan bahwa mereka diserang dengan senjata api dan melakukan tindakan tegas sehingga menewaskan pengawal Rizieq Shihab. Sedangkan pihak FPI membantah klaim polisi tersebut. Mereka mengatakan bahwa tak ada pengawal Rizieq Shihab yang membawa senjata api. Kemudian mana pernyataan yang benar?
Karena mendengar pernyataan polisi yang dianggap telah memutar balikan fakta, maka Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam laskar FPI menyampaikan bukti adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus Km 50. TP3 mengaku memiliki bukti-bukti tersebut. "Sebagian besar, 90 persen, data sudah kami miliki," kata Ketua TP3 Abdullah Hehamahua. Mantan Penasihat KPK itu juga mengungkapkan TP3 selanjutnya akan menyerahkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat yang dimilikinya kepada kejaksaan, Komnas HAM, hingga kepolisian. Mahfud Md sebelumnya juga meminta TP3 membawa bukti yang dimilikinya ke kejaksaan dan Komnas HAM jika ragu akan profesionalisme kepolisian. Kembali kepada peristiwa penembakan diatas, peristiwa penembakan yang diduga dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan kepolisian tersebut merupakan sebuah pelanggaran HAM dimana telah terjadi penghilangan nyawa beberapa orang dengan cara yang tidak manusiawi dan dilakukan di ruang publik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, telah membentuk Tim Penyelidikan untuk melakukan investigasi atas kasus tersebut sesuai dengan mandat Komnas HAM Pasal 89, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Merujuk pada kasus tersebut, ada beberapa ketentuan mengenai pelanggaran HAM berat, diantaranya yaitu :
Amandemen UUD 1945 telah dilakukan 4 kali, yakni pada 1999, 2000. 2001, dan 2002. Sebelum amandemen, persoalan HAM diatur sebagai hak dan tugas warga negara yang memuat nilai-nilai hak asasi manusia dan termaktub dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 UUD 1945, juga dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia. Sebagai tindak lanjut pasal-pasal dan TAP MPR tersebut, pada 23 September 1999 ditetapkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM) .
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya Pasal 1 angka 6 mengatur mengenai pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Pelanggaran HAM sendiri terdiri dari dua jenis, yakni ringan dan berat. Apa saja jenis pelanggaran HAM yang termasuk di dalamnya? Jenis pelanggaran HAM pada umumnya dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu:
1). Pelanggaran HAM ringan, yang biasanya cukup disebut sebagai pelanggaran HAM. Jenis pelanggaran HAM ringan adalah pelanggaran yang tidak mengancam nyawa seseorang namun merugikan orang tersebut.
2). Pelanggaran HAM berat, yaitu meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Terdapat empat jenis pelanggaran HAM berat, yang dimana keempat jenis pelanggaran HAM berat tersebut berdasarkan Statuta Roma dan Undang-undang RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu antara lain : Kejahatan Genosida (Genocide), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity), Kejahatan Perang (War Crimes), dan Kejahatan Agresi (Aggression).
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kelompok bangsa, kelompok etnis, kelompok agama, dan ras. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan atau kehancuran secara fisik baik seluruh maupun sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Sementara itu, kejahatan kemanusiaan seringkali diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang meluas dan sistematis. Adapun serangan yang dimaksud ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
a). Pembunuhan.
b). Pemusnahan.
c). Perbudakan.
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan.
f). Penyiksaan.
g). Pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pelacuran secara paksa, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h). Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, kebangsaan, ras, budaya, etnis, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
 i). Penghilangan orang secara paksa.
 j). Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atau kelompok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Bila ditelusuri lebih jauh istilah HAM memang tidak disebutkan secara tersurat dalam Alquran, akan tetapi bila dilihat dari perspektif makna dan orientasinya dalam Alquran terdapat banyak istilah yang mengarahkan kita pada pengertian HAM. Menurut Said Aqil Siroj, HAM dalam perspektif Islam dikenal dengan sebutan al’adl (keadilan). Al-‘adl berarti keseimbangan, harmoni dan keselarasan. Esensi agama Islam adalah teciptanya keadilan. Dan umat Islam dirodong untuk menegakkan keadilan.
Mengenai keadilan dapat dilihat di antaranya dalam Q.S. An-Nahl/16 : 90.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Hak untuk melenyapkan hidup seseorang itu oleh Allah hanya diberikan kepada kekuasaan negara (pemerintah) saja, sesuai dengan hukum tindak pidana. Kepentingannya ialah semata-mata untuk kemaslahatan masyarakat dan melindungi hidup setiap jiwa yang ada. Dalam Q.S. Al-Baqarah/2 : 179, dijelaskan “Dan dalam qishas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. Pelanggaran atas kehidupan seseorang tanpa haq adalah merupakan pelanggaran terhadap seluruh masyarakat. maka dari itu adanya balas atau qishas daripada si pelanggar tadi untuk melindungi kehidupan masyarakat seluruhnya”.
Maka dari itu, hak menghidupkan dan mematikan memang hanya di tangan Allah, dan kehidupan itu sendiri menjadi hak manusia yang telah dianugerahkan Allah SWT yang tak seorangpun diizinkan untuk dilanggar, terkecuali ada sebab-sebab tertentu yang menurut syariat dapat diizinkan seperti adanya hukum qishas.
1 note · View note
himpunid · 3 years
Text
Dasar Hukum Terkait Hak Atas Air di Indonesia
Dasar Hukum Terkait Hak Atas Air di Indonesia #HimpunID
Oleh: Emmanuel Ariananto Waluyo Adi, S.H. HIMPUN.ID, OPINI – Hak atas air tidak diatur tersendiri di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, hak atas air adalah bagian dari terpenuhi dan terlindunginya hak untuk hidup, sebab air adalah komponen terpenting untuk memenuhi dan melindungi hak untuk hidup yang merupakan hak mutlak dan tidak bisa dikurangi. Hak asasi manusia atas…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
carilahmas · 3 years
Text
Komnas HAM Keberatan Bidang Pengkajian dan Penelitian Diintegrasikan ke BRIN
Komnas HAM Keberatan Bidang Pengkajian dan Penelitian Diintegrasikan ke BRIN
OtoMobile.id – Komnas HAM menyatakan keberatan fungsi kajian dan penelitian diintegrasikan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan keberatan tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI. Menurut Taufan, berdasarkan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM memiliki mandat melakukan kajian dan penelitian…
View On WordPress
0 notes
rockrzone · 3 years
Text
Perbedaan Antara Barang Bukti dan Alat Bukti
Berikut adalah beberapa perbedaan substantif antara barang bukti dan alat bukti dalam hukum acara pidana:
1. Definisi KUHAP tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai definisi barang bukti maupun alat bukti. Akan tetapi, Pasal 39 (1) KUHAP menguraikan mengenai benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu: a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 46 ayat (1) KUHAP menyatakan benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa barang bukti adalah benda yang disita dan diajukan ke persidangan untuk keperluan pembuktian.
Menurut saya, definisi alat bukti adalah segala objek yang ditentukan secara limitatif dalam UU untuk membuktikan seseorang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Alat bukti yang diakui KUHAP hanya restriktif dalam wujud: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; dan e) keterangan terdakwa.
Selain alat bukti dalam KUHAP, Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menambahkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagai perluasan dari alat bukti yang sah. Di samping itu, bukti elektronik juga tercantum pada Pasal 26 A UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor "dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana". Saya menafsirkan bahwa khusus dalam perkara tipikor yang bersifat lex specialist, alat bukti elektronik harus dimaknai sebagai alat bukti petunjuk, sedangkan dalam perkara selain tipikor, alat bukti elektronik dimaknai sebagai alat bukti keenam selain: a) keterangan saksi; b) keterangan ahli; c) surat; d) petunjuk; dan e) keterangan terdakwa.
Dalam hal hakim menilai perbuatan yang didakwakan tidak terbukti sah dan meyakinkan, maka penilaian tersebut wajib berdasarkan pula atas alat bukti sesuai ketentuan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Kondisi ini merupakan konsekuensi atas penerapan teori pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) yang dianut KUHAP.
2. Wujud Barang bukti selalu berwujud benda materi konkret yang berhubungan dengan suatu tindak pidana. Misalnya adalah gawai, TV, dan uang tunai yang merupakan hasil dari tindak pidana pencurian; pisau, pistol, dan tali yang digunakan untuk menghilangkan nyawa; kunci duplikat, surat palsu, dan seragam palsu yang khusus sengaja dibuat untuk menipu; serta sidik jari, cairan sperma, selongsong peluru dan segala hal yang memiliki hubungan dengan tindak pidana. Wujud barang bukti tidak ditentukan secara limitatif dalam UU selama ia memiliki relevansi dengan perkara pidana.
Alat bukti umumnya tidak memiliki wujud dan bersifat abstrak, kecuali surat yang memiliki wujud fisik. Keterangan saksi, keterangan ahli, beserta keterangan terdakwa tentu tidak berwujud, walaupun keterangan tersebut pasti diberikan oleh orang berwujud di dalam persidangan. Pasal 184 KUHAP menentukan bahwa yang merupakan objek alat bukti adalah keterangan yang diberikan oleh orang tersebut, dan bukan orang yang menerangkan itu sendiri sebagai subjek.
Sebagai tambahan, Pasal 162 KUHAP menyatakan apabila saksi tidak bisa hadir di persidangan untuk memberikan keterangan karena alasan yang sah, maka keterangan saksi yang disumpah dalam berita acara penyidikan (BAP) "disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang." Artinya, walaupun BAP memiliki wujud fisik sebagai surat, akan tetapi dalam situasi tertentu Pasal 162 KUHAP mengakuinya sebagai alat bukti keterangan saksi. "Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin" serta "orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali" tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai keterangan saksi, akan tetapi Penjelasan Pasal 171 hanya mengakuinya sebagai "petunjuk".
3. Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht) Barang bukti sama sekali bukan merupakan objek yang dapat menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Artinya, ia tidak memiliki kekuatan pembuktian. Secara teori, hakim bisa saja memutus seseorang bersalah tanpa adanya barang bukti yang diajukan oleh penuntut umum, misalnya dalam perkara tipiring berupa delik penghinaan ringan. Syaratnya tentu saja selama telah terpenuhi bewijs minimmum berupa dua alat bukti yang menimbulkan keyakinan bagi hakim. Meskipun demikian, ius constituendum dalam Pasal 175 Rancangan KUHAP sepertinya memang menghendaki diakuinya barang bukti (physical evidence/real evidance) untuk menjadi bagian dari alat bukti seperti pada sistem common law.
Alat bukti merupakan seluruh objek yang diakui dalam Pasal 184 KUHAP untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Barang bukti bukanlah objek yang dapat menerangkan dengan sendirinya suatu kejadian tertentu, maka dari itu ia disebut sebagai corroborating evidence. Contoh: dalam suatu kasus pembunuhan ditemukan barang bukti berupa pisau yang masih menancap di perut korban. Dalam kasus tersebut, barang bukti pisau sama sekali tidak memiliki kekuatan pembuktian di hadapan hakim. Akan tetapi, ketika diteliti oleh ahli forensik dan dibuat surat pencocokan sidik jari atau diajukan keterangan ahli yang menjelaskan di persidangan bahwa ternyata sidik jari pada barang bukti pisau cocok dengan sidik jari terdakwa, maka secara tidak langsung barulah barang bukti tersebut dapat "menerangkan" terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Artinya, barang bukti perlu "ditransformasikan" terlebih dahulu menjadi alat bukti yang sah dalam UU agar dapat membuktikan seseorang bersalah melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, Pasal 181 KUHAP mengamanatkan kepada hakim untuk memperlihatkan terdakwa segala barang bukti dan menanyakan apakah ia mengenalinya.
4. Penyitaan Agar dipertimbangkan oleh hakim, seluruh barang bukti yang diajukan penuntut umum di persidangan harus terlebih dahulu disita dan telah dilampirkan pula persetujuan atau izin sita dari ketua pengadilan negeri dalam berkas. Barang bukti yang diperoleh dengan misalnya penyadapan ilegal, penggeledahan yang tidak memiliki izin ketua pengadilan negeri dan tidak dihadiri saksi tentu saja menjadi tidak sah (perihal bewijsvoering) serta dapat menjadi objek dari pra peradilan. Hal ini merupakan wujud dari perlindungan hak asasi manusia dan berhubungan pula dengan status barang bukti dalam amar putusan: apakah ia akan dikembalikan, dimusnahkan/dirusakkan, dirampas untuk negara atau masih diperlukan dalam perkara lain. Hakim tidak perlu mempertimbangkan barang bukti yang tidak memperoleh izin/persetujuan sita terlebih dahulu dari ketua pengadilan negeri.
Alat bukti yang diajukan dalam persidangan tidak memerlukan penyitaan terlebih dahulu. Oleh karena itu, amar putusan hakim tidak akan pernah menentukan status mengenai alat bukti.
0 notes
jbmnews · 4 years
Text
Mastiwa, SH: Pemko Dumai Wajib Perhatikan UU No 22 Tahun 2009 Dalam Melakukan Pungutan Retribusi Parkir
Mastiwa, SH: Pemko Dumai Wajib Perhatikan UU No 22 Tahun 2009 Dalam Melakukan Pungutan Retribusi Parkir
JBM.co.id, Dumai – Pemerintah Kota Dumai melalui Dinas Perhubungan melakukan pemungutan Retribusi Parkir di area UPT (Unit Pelayanan Terpadu) kecamatan Dumai Selatan. Pemungutan Retribusi yang berada di wilayah kelurahan Bukit Timah dan Mekar Sari jalan Gatot Subroto tersebut diduga melanggar Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dan Undang-Undang nomor 22 tahun 2009…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
lahatupdate · 4 years
Text
Tumblr media
June 22, 2020
admin
No Comments
Lahat,Beritalahat.com – Masifnya pembukaan lahan dan exploitasi sumber daya alam di Kabupaten Lahat tidak serta merta menjadikan masyarakat bumi Seganti Setungguan terlepas dari belenggu kemiskinan. Bahkan, ditahun 2019 dari data Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan, salah satu Kabupaten tertua ini dinyatakan sebagai Kabupaten termiskin nomor tiga di Sumsel.
Selain tidak banyak membantu peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta merusak ekosistem sumber daya alam akibat aktivitas pertambangan, banyaknya perusahaan tambang di Kabupaten Lahat juga sering memicu terjadinya konflik sosial antara warga desa dengan pihak perusahaan. Salah satu contohnya adalah pertambangan batu bara yang ada di wilayah Kecamatan Merapi.
Bahkan di wilayah Kecamatan Merapi Barat, banyak sekali perusahaan pertambangan yang aktivitasnya tidak jauh dari sungai Lematang atau anak sungai Lematang. Salah satu contohnya yang terjadi di sungai kungkilan.
Berdasarkan hasil investigasi WALHI Sumatera Selatan tahun 2019 dengan metode AMDAL Kijang (Analisis lingkungan dengan kaki telanjang) salah satu disposal perusahaan pertambangan batubara milik PT.Muara alam Sejahtera (MAS) sangat berdekatan dengan Sungai kungkilan. Hal ini sangat berpotensi terjadinya penurunan kualitas baku mutu air karena ketika hujan limpasan Air akan mengalir ke sungai kungkilan. “Faktanya sudah 10 tahun ini masyarakat tidak lagi mengkonsumsi air dari sungai kungkilan. Masyarakat harus terpaksa membeli air kemasan atau menggunakan air isi ulang,” kata Ketua umum WALHI Sumsel M Hairul Sobri melalui Manager Kampanye Energi, Kars dan Pertambangan Febrian Putra Sopah, Senin (21/06/2020). Atas kondisi tersebut, lanjut Febrian, sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas untuk melakukan pemulihan kondisi sungai kungkiln. Karena berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam pasal 9 ayat (3) menegaskan: setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sumber dan selengkapnya: https://beritalahat.com/2020/06/22/walhi-sumsel-kerusakan-sungai-lematang-akibat-aktivitas-pertambangan/?fbclid=IwAR27VCGs0Abt6cugW2jND1lGYZnmHbY4mxSb
#lahatupdate
0 notes
ingatnews · 5 years
Photo
Tumblr media
Menilik Implementasi UU Nomor 39 tahun 1999, Jelang Peringatan HAM Internasional ke-71 KBRN, Jakarta : Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan setiap 10 Desember, sebagai peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional sejak 1948 lalu.
0 notes
harianpublik-blog · 7 years
Text
Ahok Harus Minta Maaf Ke Warga Miskin
Ahok Harus Minta Maaf Ke Warga Miskin
Tumblr media Tumblr media
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus meminta maaf kepada warga miskin dan warga Jakarta secara keseluruhan. Permintaan maaf harus disampaikan secara terbuka di berbagai jenis media nasional.
Demikian disampaikan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan SH, MSi, melalui pesan elektronik yang diterima redaksi, Minggu (14/5). Permintaan ini sudah disampaikan Fakta dalam sidang mediasi yang digelar di PN Jakarta Pusat, Senin, 8 Mei 2017.
Gugatan dilayangkan Fakta kepada Ahok selaku Gubernur DKI atas tuduhan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM dalam penggusuran warga ibukota yang dilakukan rentang tahun 2014-2016. 
“Kami meminta permintaan maaf secara terbuka di minimal enam media cetak nasional, enam televisi nasional dan enam radio nasional dalam jangka waktu satu bulan setelah putusan,” kata Tigor.
Azas Tigor menyampaikan permintaan maaf Ahok kepada seluruh masyarakat miskin kota Jakarta harus sesuai dengan redaksi yang disiapkannya. Yakni, “Saya sebagai gubernur DKI Jakarta dengan ini menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada seluruh korban penggusuran di Provinsi DKI Jakarta serta menyatakan moratorium terhadap penggusuran di wilayah provinsi DKI Jakarta sampai dengan adanya peraturan terkait standart operasional prosedur penggusuran.”
Dalam mediasi, pihaknya juga meminta Pemprov DKI melakukan moratorium atau pemberhentian sementara penggusuran. Dia juga meminta segera dibuatkan standart operasional penggusuran Provinsi DKI Jakarta yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Gugatan diajukan Fakta karena menganggap penggusuran yang dilakukan Ahok adalah perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KHUPerdata, melanggar UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (2), serta tak sesuai ketentuan internasioal yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur agar setiap pemerintah memberikan tempat tinggal yang layak.
Dari catatan Azas Tigor, selama tahun 2014,  ada 26 kasus penggusuran dengan korban sekitar 3.751 kepala keluarga atau 13.852 jiwa warga ibu kota.
Pada tahun 2015 telah terjadi penggusuran 41 kasus di 5 wilayah kotamadya DKI Jakarta dengan korban 5.805 keluarga keluarga atau 24.817 jiwa. Adapun di tahun 2016 terdapat 24 kasus panggusuran dengan korban sekitar 3.899 kepala keluarga atau 15.599 jiwa.[dem]
rmol
Sumber : Source link
0 notes
iqrapatandean-blog · 8 years
Text
Hak atas tanah adalah HAM.
Tumblr media
Tanah adalah hak asasi bagi setiap manusia. Baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, memiliki serangkaian keterkaitan untuk langsungan hidupnya melalui tanah tersebut.
Tanah dalam konteks ini adalah tempat, lokasi atau ruang yang dijadikan sumber keberlanjutan kehidupan bagi setiap orang. Baik untuk tempat tinggal(rumah), tempat untuk membangun kehidupan sosial(keluarga, komunitas), memiliki sejarah, tempat bercocok tanam(pekerjaan), tempat mengambil kebutuhan hidup(kesehatan, air, udara bersih), tempat untuk kelestarian alam(flora dan fauna). Penting bahwa, tanah memiliki hak kepemilikan, dengan berbagai dasar hukum(hukum adat dan hukum nasional).
Undang-undang Dasar 1945 mengakui hak atas tanah dalam berbagai kepentingan. Seperti sebagai hak milik yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang, hak untuk tempat tinggal. Demikian juga dengan berbagai aturan perundang-undangan lainnya yang mengakui hak atas tanah. hak atas tanah terkait dengan :
Pertama, hak atas kepemilikan Tanah adalah kepemilikan, baik kepemilikan atas tanah maupun kepemilikan akses terhadap tanah yang ada untuk berbagai kepentingan dan keperluan orang-orang yang mengaksesnya.
Sementara hak kepemilikan (yang bukan sekedar akses), terdiri dari berbagai jenis hak (hukum); seperti hak milik, hak masyarakat adat, hak guna pakai, dan berbagai hak lainnya. Jenis hak ini secara tegas diatur dalam Konstitusi Indonesia, Pasal 28H ayat 4 UUD 1945. Demikian juga dengan Perjanjian Internasional atas Hak Sipil dan Politik pasal 2 ayat (1) tentang hak milik.
Kedua, hak atas rumah, kediaman dan pemukiman Hak atas rumah merupakan hak dasar manusia yang termasuk dalam kebutuhan primer setiap manusia. Hal tersebut diakui dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28H ayat 1 yang menjelaskan, bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir, batin, bertempat tinggal, (…)”. Jaminan serupa juga dapat dilihat pada UU No.39/1999 tentang HAM (pasal 40), UU No.11/2005 tentang Pengesahan Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (pasal 11 ayat 1), serta UU khusus perumahan yaitu UU No.1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman (pasal 5 (1) dan pasal 19).
Oleh karena itu negara atau pemerintah (lokal) juga harus menyediakan aspek pendukung dalam hak atas perumahan yaitu wilayah/tanah, di mana tanah tersebut sebagai tempat didirikannya bangunan atau rumah untuk kebutuhan papan (hak atas rumah) setiap manusia. Atau setidak-tidaknya, tanah yang bisa digunakan secara bersama-sama, seperti rumah susun (UU No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun).
Bahkan akses dan kepemilikan tanah bagi perumahan dan pemukiman juga mensyaratkan adanya keteraturan, yang salah satu tujuannya, untuk menciptakan situasi yang sehat (pasal 129a, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman), dan terjangkau serta aman (pasal 89 ayat 1, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun).
Ketiga, hak atas keluarga Terkait dengan hak atas rumah, kediaman dan pemukiman, hak atas tanah juga relevan dilihat dari perspektif hak atas keluarga. Hak atas tanah bersama hak atas ketersediaan perumahan dan kediaman yang nyaman dan aman serta sehat menjadi pra syarat bagi keluarga yang sehat.  Dalam UU No.12/2005 tentang hak sipil dan politik pasal 17 dan pasal 23 mengatur tentang hak atas keluarga.
Selain itu, hak atas tanah relevan bagi keluarga yang menggantungkan hidupnya pada profesi atau mata pencaharian di sektor pertanian, perkebunan, pengelolaan pesisir pantai, perniagaan atau perdagangan. Jenis pekerjaan ini adalah jenis pekerjaan yang banyak didapati dimasyarakat Indonesia.
Keempat, hak atas lingkungan hidup Hak atas lingkungan hidup adalah hak di mana setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan. Hak ini sudah diakui oleh Sidang Komisi HAM pada April 2001. Di Indonesia, hak atas lingkungan diadopsi dalam amandemen UUD 1945, pasal 28H ayat (1) yang menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatam”. Jaminan ini kemudian tercermin dalam, baik UU soal HAM pada UU No.39/1999 tentang HAM pasal 9 (3) maupun UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ‘hak untuk lingkungan hidup membutuhkan tanah yang di atasnya hidup dan terdapat pepohonan (….)”. Bahkan hak masyarakat atas kualitas lingkungan hidup yang baik juga diakui bersumber dari hutan (pasal 68 ayat 1, UU nomor 41 tahun 1999). Demikian juga dengan UU No 8/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang menyatakan bahwa “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh hutan; serta pemanfaatan hutan" (pasal 58 a dan b).
Kelima, hak atas kesehatan UUD 1945 mengatur Hak atas kesehatan pada pasal 28H menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.
Sedangkan pada pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia  menyatakan : “Setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan, tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang penting”.
Keenam, hak atas pangan Menurut pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) “setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya”.
Hal tersebut juga terdapat pada pasal 11 UUNo.15/2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang tertulis “Negara-negara penandatangan konvenan mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak untuk diri dan keluarganya…”, pada ketentuan-ketentuan di atas terdapat istilah “Standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan” yang juga dapat dipahami termaksuk pangan, sandang, dan papan (perumahan). Pangan merupakan HAM, sebagaimana pangan yang merupakan kebutuhan dasar setiap menusia untuk menjalankan kelangsungan hidup yang sehat dan sejahtera. Hal-hal itu sering disebut juga sebagai Hak Atas Pangan.
0 notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Tampang Salamat Sianipar, Pasien COVID-19 yang Diikat & Dipukuli Warga karena Mau Menulari
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Seperti inilah tampang Salamat Sianipar (45 tahun), pasien COVID-19 yang diduga diikat dan dipukuli oleh warga di Desa Sianipar Bulu Silape, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Sumut), pada Kamis (22/7/2021). Dalam sebuah fotonya yang dibagikan oleh akun Instagram @joshua_lubis, ia terlihat bersembunyi di semak-semak tanpa mengenakan baju. Joshua, yang mengaku sebagai keponakan Salamat, menyebut bahwa tulang-nya (bahasa Batak: Om) melarikan diri setelah apa yang dialaminya pada hari Kamis lalu. Menurut Joshua, tulang-nya itu takut untuk bertemu dengan orang-orang dikarenakan kejadian hari itu. Tulang-nya ditemukan oleh organisasi PBB TOBASA di sawah di daerah lewat Sipitupitu, Sumatera Utara. "Kami pihak keluarga meminta keadilan dituntut seadil-adilnya untuk para pelaku," ujar Joshua. Sebelumnya, Joshua mengungkapkan bahwa tulang-nya diminta oleh dokter untuk isolasi mandiri di rumah. "Tetapi Masyarakat tidak terima , akhirnya dia dijauhkan dari kampung bulu silape. Dia kembali lagi kerumahnya tetapi masyarakat tidak terima. Malah masyarakat mengikat & memukuli dia. Seperti hewan & tidak ada rasa manusiawi," ungkap Joshua. Joshua menyebut bahwa pihak keluarga tidak terima atas perbuatan warga terhadap Salamat. "Kejahatan kemanusiaan ini diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Hukum Indonesia juga tegas melarang penyiksaan. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak untuk bebas dari penyiksaan juga tertuang dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," tulis Joshua melalui akun instagram-nya. "Kami berharap Keadilan Ditegakkan Setegak-tegaknya Kepada Presiden & Wakil Presiden , Pemerintah & Aparatur Negara untuk menindaklanjuti Kejadian ini," tambah Joshua. Namun, belakangan terungkap bahwa Salamat diperlakukan demikian karena diduga hendak menulari warga dengan mengejar dan memeluk warga setempat. "Tidak ada niatan dari perangkat desa maupun warga untuk melakukan kekerasan maupun penganiayaan. Dengan segala keterbatasan alat yang ada, mereka (warga) berusaha mengamankan pasien yang sudah dinyatakan positif terpapar COVID-19," ujar Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi kepada wartawan. [indozone]
from Konten Islam https://ift.tt/3i1HGpu via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/07/tampang-salamat-sianipar-pasien-covid.html
0 notes
papuabaratonline · 4 years
Text
Komnas HAM Didesak Selidiki Kasus Penembakan di Kawasan Perkantoran PT. Freeport Indonesia
MANOKWARI, Papuabaratonline.com – Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan terhadap kasus penembakan di kawasan perkatoran PT. Freeport Indonesia, di Kuala Kencana City (30/03/2020).
“Mandat bagi Komnas HAM jelas diatur dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU RI Nomor…
View On WordPress
0 notes
kemocengrapi · 6 years
Text
RUU Penyadapan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
SENANDUNG, dawainusa.com – Undang-Undang (UU) no 15 tahun 2003 tentang penyadapan diklaim belum maksimal dan memiliki banyak kelemahan oleh DPR RI. Atas dasar itu badan legislasi (Baleg) DPR sudah mulai menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) baru sebagai revisi dari UU yang lama.
Dalam salah satu poin RUU itu disebutkan, dalam setiap kegiatan penyadapan yang dilakukan aparat penegak hukum, harus terlebih dahulu dikoordinasikan dan mendapat Izin lembaga peradilan. Lembaga peradilan yang dimaksud dalam hal ini yaitu Pengadilan Tinggi.
Kemudian, dalam pasal 7 ayat (1) draft RUU itu menyebut, pelaksanaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum sebagaimana dimaksud dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Selanjutnya dalam pasal 2 disebut, salah satunya berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Baca juga: Ruang Siber dalam Moncong Politik Kepentingan
Dalam konteks upaya pemberantasan korupsi, RUU ini – khusunya klausal yang mengharuskan aparat penegak hukum mendapat Izin pengadilan untuk melakukan penyadapan menarik untuk dicermati.
Komisi pemberantasan korupsi (KPK), sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyadapan dalam kasus korupsi tentu tidak akan efektif kinerjanya jika keharusan mendapat Izin pengadilan untuk melakukan penyadapan benar-benar diterapakan.
Hal ini cukup beralasan mengingat kontribusi penyadapan terhadap proses penegakan hukum di KPK sangat besar. Buktinya, adanya 93 operasi tangkap tangan (OTT) dengan jumlah tersangka sebanyak 324 orang. (Hukumonline.com, Senin, 1/10).
Selain itu kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dengan nilai yang fantastis banyak terungkap lewat penyadapan oleh KPK. Hal lain yang menjadikan penyadapan oleh KPK menuai polemik adalah pelanggaran HAM yang rentan terjadi dalam aksi penyadapan.
Hal itu pernah diungkapkan oleh anggota komisi III DPR RI Asrul Sani. Ia berseloroh, jika selama ini wewenang melakukan penyadapan oleh tiap lembaga negara, ternyata tidaklah sama, dan semuanya harus memerlukan izin dari Hakim.
Yang menjadi ‘ganjalan’ bagi anggota dewan perwakilan rakyat ini adalah penyadapan yang dilakukan KPK tak pernah melalui izin Hakim. Asrul mengacu pada RUU KUHAP Pasal 83, dimana disebutkan bahwa, “…tak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris.”
Sementara dalam prakteknya, KPK berjalan dan melakukan penyadapan sebelum izin turun dari Hakim komisaris. Inilah awal para anggota DPR menyebut langkah penyadapan KPK sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Penyadapan Sebagai Upaya Luar Biasa
Harus diakui, tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime) sehingga penangaannya juga harus luar biasa. Karena itu, KPK sebagai lembaga yang menangani kasus korupsi diberi kewenangan cukup besar untuk melaksanakam tugas dan fungsinya melalui penyadapan.
Sementara itu, Menghadapi polemik HAM dengan wewenang KPK melakukan penyadapan, harus dilihat dan dimaknasi secara komprehensif. Rooseno, seorang peneliti hukum dan HAM dari Kemenkumham pada 2017 lalu, pernah mengingatkan, Pihak DPR tak perlu ‘mengkhawatirkan’ aksi penyadapan yang dilakukan KPK, sebab ada dua jenis HAM yang bisa dipakai untuk menghadapi penyadapan KPK.
Baca juga: Post-Truth dan Fenomena Hoaks dalam Cyber Space di Indonesia
Rooseno menjelaskan bahwa HAM punya dua sifat, yakni non-derogable rights dan derogable rights. Non derogable rights adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (seperti yang termaktub dalam UUD 1945, Pasal 28I Ayat 1).
Sementara derogable rights adalah HAM yang dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam hal, kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat melalui sarana komunikasi elektronik maupun non elektronik, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (seperti yang termaktub dalam UU No 39/1999 Pasal 32, International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR Article 17 Ayat 1).
Dengan demikian, ketika berhadapan dengan ‘pelanggaran’ HAM karena penyadapan, kuasa KPK bisa dipayungi oleh ketentuan HAM derogable rights. Kekuatan tersebut ditambah dengan ketentuan Siracusa Principles, yakni negara dapat mengambil langkah-langkah pengurangan HAM ketika menghadapi situasi bahaya yang luar biasa dan aktual, serta dapat mengancam kehidupan bangsa.
Sementara korupsi, menurut Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 halaman 5, sudah dinyatakan sebagai mara bahaya terhadap sekuritas negara. Korupsi dapat merusak fungsi pelayanan sosial, merusak mental pejabat publik, dan mereka yang bekerja di dalam wilayah kepentingan umum.
Dengan demikian, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai tindak kejahatan biasa, namun kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan demikian, penyadapan KPK yang dilakukan tanpa seizin hakim dan pengadilan sangat dimungkinkan dan diperbolehkan terjadi.
Korupsi merupakan kejahatan yang tak main-main, maka memerlukan tindakan ‘luar biasa’ pula untuk menangkalnya. Karena itu Jika pihak DPR masih berkubang pada wacana pelanggaran HAM, terhadap aksi penyadapan KPK, maka tak menutup kemungkinan jika itu merupakan bentuk ketakutan, alih-alih kepedulian soal HAM.
Menghambat Pemberantasan Korupsi
Seperti sudah dipaparkan di atas, Keberhasilan KPK dengan OTT-nya lebih didasarkan pada kewenangan penyadapan, maka perizinan sudah pasti akan menjadi faktor penghambat.
Apa lagi, Di tengah iklim peradilan yang masih dipenuhi dengan cara-cara mafia peradilan, maka perizinan penyadapan (melalui pengadilan tinggi) akan tidak menjadi efektif dan justru akan menjadi komoditi sendiri.
Karena itu, bagi lembaga semacam KPK seharusnya dimintai laporannya saja setelah melakukan penyadapan. Selain itu RUU baru ini nantinya akan menjadi kontraproduktif karena KPK telah mempunyai undang-undang sendiri yang bersifat khusus yaitu UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang juga mengatur mengenai penyadapan.
Baca juga: Pos Islamisme Sandi, Akankah Toleran Terhadap Non Muslim?
Atas dasar itu, seharusnya tidak ada lagi aturan hukum lain yang mengharuskan KPK meminta izin lembaga peradilan dalam melakukan penyadapan. Kalaupun DPR menginiginkan ada lembaga khusus yang mengawasi penyadapan, hemat saya, bentuknya harus lebih menitikberatkan pada pelaporan ketimbang perizinan yang dapat justru berpotensi menghambat pemberantasan korupsi.
Dari sejumlah fakta ini, sulit untuk mengatakan bahwa wacana-wacana revisi UU yang berkaitan dengan tugas KPK itu muncul dengan sendirinya tanpa ada kaitan dengan kasus politik dan hukum yang terjadi dalam skala nasional.
Pada juli 2105 lalu misalnya, saat Presiden Joko Widodo membatalkan rencana pemerintah membahas revisi UU KPK, seluruh fraksi di DPR tiba-tiba sepakat untuk memasukan revisi UU KPK dalam prolegnas prioritas 2015.
Bahkan, ada lima isu krusial dalam naskah revisi UU KPK, yaitu pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan kolektif kolegial, dan pengaturan Pelaksana Tugas (Plt) pimpinan.
Hal ini seolah menggambarkan bahwa tidak ada semangat yang sama untuk pemberantasan korupsi antara eksekutif dan legislatif. Bahkan terkesan UU KPK digunakan sebagai sarana politik antara DPR dan pemerintah untuk saling menekan.
Karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan Pembatasan wewenang KPK melalui revisi UU yang berkaitan dengan tugas KPK merupakan wacana untuk menggeser KPK menjadi lembaga pencegahan korupsi. Harus diakui, revisi UU KPK adalah sebuah upaya untuk melemahkan lembaga ini.
Jika jadi direvisi, maka hal tersebut adalah kemunduran yang luar biasa besar bagi semangat pemberantasan korupsi. Mungkin bagi bangsa ini lebih mudah untuk memberantas prostitusi ketimbang memerangi korupsi.
Pada akhirnya, kita harus mengakui kebenaran kata-kata Karl Kraus, dan kalau memang ingin adil, mengapa tidak tutup saja lumbung koruptor itu?
Oleh: Rian Agung* (Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul)
Selengkapnya: RUU Penyadapan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
#dawai
0 notes