Tumgik
#peradaban bangsa arab pra islam
haratdzul · 6 years
Text
Baitul Hikmah, Senja Antara Sains dan Agama
Senja menjadi lebih indah karena ia adalah peleburan antara dua perbedaan: siang dan malam. Dulu, di sebuah negeri yang berdiri antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat, pada sebuah masa yang sering disebut Zaman Keemasan, senja itu bernama Baitul Hikmah.
Awal tahun 2019  ini, selain melakukan rutinitas harian, saya menghabiskan waktu dengan membaca buku Origin-nya Dan Brown lalu Lost Islamic History-nya Firas Alkhateeb. Sekilas, dua buku tersebut memang kontras. Kelihatannya memang ga ada hubungannya. Tapi, ternyata saya menemukan sebuah benang merah yang menarik dari dua buku tersebut.
Apa hubungan keduanya?
Baik, kita mulai dari Origin terlebih dulu. Masalah dalam Origin bermula ketika Edmond Kirsch, seorang ilmuwan, ingin membenturkan teori sains dengan agama lewat penemuannya. Ia berpendapat bahwa dogma agama-agama yang ada tentang penciptaan manusia, termasuk Islam, tidak sesuai dengan teori sains. Tapi, kali ini saya ga akan membahas tentang pertentangan teori tersebut.
Hal yang ingin saya highlight justru ada di bagian awal Origin, yaitu ketika kilas balik percakapan antara Robert Langdon dan Edmond Kirsch. Saat itu Langdon berkata:
“Well, science and religion are not competitors, they’re two different languanges trying to tell the same story. There’s room in this world for both.”
Di buku selanjutnya, Lost Islamic History, membahas tentang perjalanan sejarah Islam mulai dari masa pra-kelahiran Rasulullah hingga masa modern sekarang. Dalam bab 5: Intellectual Golden Ages, dijelaskan tentang periode keemasan intelektual Islam pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Oke, kita bahas sedikit tentang periode keemasan ini.
Pada masa Dinasti Umayyah, sebelum Abbasiyyah, Islam menjadi begitu ekspansif dan getol melakukan ekspedisi militer lintas wilayah. Islam mencapai Spanyol di ujung Barat dan India di ujung Timur. Hal ini membuat Islam masa itu menjadi peradaban dalam sejarah dunia dengan bentang wilayah terpanjang. 2/3 dunia, kawan.
Pada masa Dinasti Abbasiyyah, intensitas ekspansi militer mulai berkurang. Arah ekspansi Islam mulai berganti arah, dari intervensi fisik menjadi intervensi pemikiran. Ekspansi intelektual.
And this is the main course.
Khalifah Abbasiyyah ketujuh, Al Ma’mun, mempunyai perhatian yang lebih terhadap ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa peradaban yang terdiri dari masyarakat yang berasal dari berbagai agama, ras, dan golongan dapat kokoh dan maju dengan tingginya budaya keilmuan. Oleh karenanya,  Al Ma’mun mengembangkan Baitul Hikmah atau The House of Wisdom.
Sebenarnya, Baitul Hikmah ini telah berdiri sejak zaman Harun ar Rasyid, Khalifah sebelum Al Ma’mun. Namun, pengembangan Baitul Hikmah menjadi begitu progresif sejak pemerintahan Al Ma’mun.
Secara sederhana. Baitul Hikmah adalah sebuah perpustaskaan yang kemudian menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hari ini, kita mungkin mengenal Library of Congress atau British Library sebagai perpustakaan terbaik dunia. Namun, dulu predikat itu disandang oleh Baitul Hikmah. Ya, sebuah perpustakaan yang didirikan oleh muslim di sebuah negeri Islam untuk kemajuan peradaban Islam.
Tapi, Baitul Hikmah tidak menjadi sekadar perpustakan, ia menjelma menjadi sebuah kampus, pusat penerjemahan bahasa, dan pusat riset. All in one. Al Ma’mun memang memberi perhatian lebih terhadap literatur. Buku-buku dari berbagai penjuru dunia diterjemahkan ke bahasa Arab. Konon, Al Ma’mun akan membayar penerjemah dengan emas sesuai dengan berat buku yang diterjemahkannya. It’s such a great effort, kawan. Hal ini menjadi pewajaran jika saat itu bahasa Arab menjadi bahasa global dan intelektual.
Adanya Baitul Hikmah membuat Bagdad menjadi pusat peradaban dunia. Jadi, bisa dibayangkan ketika seorang yang sangat berprestasi dari penjuru di dunia ditanya, “Kemana kau ingin melanjutkan studi?”, dengan semangat ia akan menjawab, “Bagdad!”.
Apa kira-kira yang membuat Baitul Hikmah dapat semaju itu?
Jawabannya adalah hal yang paling tidak disukai oleh orang sekular: karena Islam, agama yang menjadi pedoman saat itu, berjalan seiringan dan tidak bertentangan dengan sains.
Dinasti Abbasiyyah, yang dijalankan berdasarkan pedoman dan hukum Islam (setidaknya), menjadi pembeda dengan peradaban/negara teokratis lainnya yang terkesan memisahkan sains dan agama. Ga ada sejarahnya Islam memaksakan dogma ketuhanannya dan menutup pintu inovasi pengetahuan, selama hal tersebut sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah. Bahkan penemuan-penemuan ilmiah kerap bermula dari ayat-ayat Al Qur’an. Dampaknya, ilmu-imu seperti matematika, astronomi, geografi, kedokteran, dan fisika berkembang pesat.
Bahkan, tidak hanya di Bagdad, semangat keilmuan tersebut juga terbawa sampai ke Dinasti Umayyah II di Spanyol. Spanyol bahkan menjadi pusat pengetahuan ketika negara Eropa lainnya mengalami Masa Kegelapan. Selanjutnya, ilmu-ilmu yang berkembang di Bagdad dan Spanyol menjadi titik mula bangkitnya Renaisans Eropa. Ya.. walaupun kini periode Bagdad dan Spanyol tersebut tak jarang menjadi missing link sehingga orang awam kerap mengira Renaisans Eropa adalah titik mula dari kemajuan intelektual modern.
Maka, setidaknya ada 3 hal yang membuat Baitul Hikmah atau The House of Wisdom menjadi menarik
Baitul Hikmah meruntuhkan tembok pembatas teritori sebuah wilayah.
Sebelum adanya Baitul Hikmah, orang dari ujung Barat Afrika tidak mempunyai alasan untuk berpergian jauh ke Bagdad. Tapi, setelah Baitul Hikmah, orang-orang dari penjuru dunia berbondong-bondong untuk dapat belajar di Bagdad.
Bahasa Arab menjadi pemersatu kaum intelektual dari berbagai bangsa.
Dengan semakin banyaknya buku-buku ilmiah yang diterjemahkan ke bahasa Arab, maka tingkat pengguna bahasa Arab pun meningkat. Sekat-sekat antar bangsa yang biasanya disebabkan karena bedanya bahasa, diminimalisir dengan penggunaan bahasa Arab yang semakin umum.
Hubungan erat antara sains dan agama.
Tingginya derajat orang yang berilmu dalam Islam dan terbukanya peluang eksperimen ilmiah yang luas membuat para ilmuwan Islam semakin terpacu untuk berkembang. Bahkan, menuntut ilmu dijadikan salah satu bentuk ibadah yang semakin mendekatkan diri dengan Allah. Tidak jarang, penemuan-penemuan ilmiah justru berawal dari tadabbur ayat Al Qur’an. Hal inilah yang kemudian menjadikan Islam pembeda yang jelas dengan paham lainnya.
.
Membaca kembali sejarah Islam versi Lost Islamic History tepat setelah membaca Origin, menurut saya seperti sebuah kebetulan yang pas banget. Segala kesangsian tentang dikotomi sains dan agama pada Origin terjawab dalam bukti konkret sejarah Islam. Argumen defensif Robert Langdon tentang kemungkinan sains dan agama untuk berjalan beriringan pun ternyata memang benar adanya.
Baitul Hikmah benar-benar menjadi sebuah senja. Pelebur dan penyelaras antara dua perbedaan, siang dan malam. Indah adanya ketika sains dan agama melebur dalam satu kesatuan. Tapi, ternyata senja juga punya arti lain: pemutus antara keterangan siang menuju kegelapan malam. Begitupun ternyata Baitul Hikmah. Karena pasca pasukan Mongol menghancurkan bangunan beserta isinya tak bersisa, masa keemasan intelektual Islam pun terputus dan belum pernah sejaya saat itu lagi.
One day we will, Insyaa Allah
2 notes · View notes
amaradinda · 3 years
Text
Puisi Sebelum Kedatangan Perancis
Sebelum kedatangan Prancis, masyarakat Arab ini sangatlah mahir dalam bidang bahasa dan sastranya. Adapun karya yang diwariskan oleh bangsa Arab ini misalnya seperti syi’ir atau puisi. Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh bangsa Arab dalam bidang bahasa dan sastra nya, menjadikan mereka memiliki peran dalam perkembangan dan penyebaran islam. Maka dari itulah Philip K. Hitti turut memberikan pernyataannya bahwa, “Keberhasilan penyebaran islam diantaranya didukung oleh kekuasaan bahasa Arab, khususnya bahasa al-qur’an.”[1] Banyaknya ilmuan dan sastrawan yang kagum dengan karya sastra sebagai warisan Arab ini membuat Phillip K. Hitti (2002) juga berpendapat bahwa “No people in the world manifest such enthusiastic admiration for literary expression as the Arabs,” yang berarti ‘tidak ada satu pun penduduk di dunia ini yang sanggup menandingi kegairahan ekspresif dalam bersastra dibanding orang Arab’.
Puisi atau syi’ir menjadi genre sastra yang sangatlan istimewa, kuat, dan menjadi yang tertua, dibuat sebagai suatu media kesadaran estetis bangsa Arab. Pada masyarakat Arab, tidak ada karya sastra lainnya yang setara untuk mengarungi dasar keterkaitan dengan jiwa, terutama pada masa pra-Islam (Umar, 1992 : 70-71). Mereka sangat terharu ketika mendengar puisi, meski terkadang mereka tidak mengetahui makna dari puisi tersebut. Tradisi genre puisi ini nyatanya dapat membentuk sistem konvensi yang kuat. Pada masa pra-Islam sampai abad ke-20, sistem puisi Arab sangat sulit untuk melepaskan diri dari konvensi yang telah berakar dalam kebudayaan Arab.
Adapun konvensi Arab yang dimaksud adalah : ‘adad al-bait (jumlah bait), aqsam al-bait (bagian-bagian bait), al-‘arud : al-wahdah al-shautiyah (kesatuan bunyi), al-taf’ilah (struktur pengulangan kesatuan bunyi dalam penggalan bait, al-bahr (metrum), dan al-qāfiyah (struktur bunyi akhir suatu bait atau rima).
Dari masa ke masa, akibat dari peradaban membuat sastra Arab semakin berkembang dan mulai dipengaruhi oleh sastra Barat. Setelah beberapa abad mengalami kemunduran, sastra Arab mulai bangkit kembali karena masuknya era modern yang disebut masa ‘Asr al-Nahdah yang mana mulai berkembang genre baru dalam sastra Arab, yakni prosa dan drama.
Pola perpuisian yang berusaha untuk mencoba lepas dari tradisi dan konvensi perpuisian Arab lama dipengaruhi oleh dua faktor, yakni  faktor internal yang berupa suatu dorongan yang muncul dari kesadaran masyarakat itu sendiri terhadap kondisi yang ada. Dan faktor eksternal berupa suatu dorongan yang muncul karena adanya sentuhan dengan kebudayaan bangsa lain. Contohnya seperti interaksi antara budaya Arab dan Barat.
Adanya keterkaitan antara segala bidang kegiatan manusia dan saling mempengaruhi antara tiap bagian masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, secara historis, segala bentuk usaha, tujuan, dan hasil yang telah dicapai dalam pembaruan puisi Arab sebagai titik awal pertumbuhan sastra Arab modern tidak bisa dipisahkan dari usaha, tujuan, dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembaruan masyarakat Arab oleh para pemikir Arab modern dan kontemporer. Sebagai contohnya, Al-Barudi, ia mendorong dirinya untuk mengadakan pembaruan dalam bidang sastra. Pembaruan yang dirintis al-Barudi selanjutnya lebih dipertegas lagi oleh Khalil Mutran, melalui karya-karyanya yang juga mendapat pengaruh dari kebudayaan Barat.[2]
[1] Moch Yunus, “SASTRA (PUISI) SEBAGAI KEBUDAYAAN BANGSA ARAB”, https://ejournal.inzah.ac.id/index.php/humanistika/article/download/127/104, tanggal :24-05-2021, pukul : 00,33
[2] Taufiq A. Dardiri, Jurnal Perkembangan Puisi Arab Modern, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
[1] Taufiq A. Dardiri, Jurnal Perkembangan Puisi Arab Modern, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
[1] Moch Yunus, “SASTRA (PUISI) SEBAGAI KEBUDAYAAN BANGSA ARAB”, https://ejournal.inzah.ac.id/index.php/humanistika/article/download/127/104, tanggal :24-05-2021, pukul : 00,33
[1] Moch Yunus, “SASTRA (PUISI) SEBAGAI KEBUDAYAAN BANGSA ARAB”, https://ejournal.inzah.ac.id/index.php/humanistika/article/download/127/104, tanggal :24-05-2021, pukul : 00,33
[2] Taufiq A. Dardiri, Jurnal Perkembangan Puisi Arab Modern, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
1 note · View note
kadaryanto97 · 4 years
Photo
Tumblr media
Sejarah Peradaban Islam Penulis : Syamrudin Nasution Penerbit : Rajawali Pers ISBN : 978-602-425-656-2 Halaman : 314 hlm Ukuran : 15 x 23 cm Tahun : 2019 Original Harga Rp113.000 diskon 15% Rp96.050 Sinopsis Agama yang disampaikan oleh Allah Swt. kepada manusia melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., kini telah berusia lima belas abad yang tersebar luas dalam berbagai kawasan yaitu kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol Islam), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Islam dan Negara-negara Islam di Asia Tenggara), kawasan pengaruh kebudayaan Turki, kawasan pengaruh kebudayaan India Islam, kawasan Asia Tenggara dan kawasan Afrika Selatan dan Afrika Tengah. Tentu saja menjadi suatu keharusan bagi umat Islam, khususnya mahasiswa UIN, IAIN, dan STAIN untuk mengetahui Sejarah Perdaban Islam di berbagai kawasan tersebut di atas. Dalam buku ini, agar pembahasannya lebih terfokus akan dibatasi pada kawasan Arab, meliputi Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol Islam dengan pendekatan periodisasi yaitu pada masa periode klasik dan periode pertengahan sedangkan dalam periode modern membutuhkan buku tersendiri. Maka kajian dalam buku ini dimulai membahas tentang sejarah peradaban bangsa Arab pra-Islam yang pada awalnya masih rendah kemudian Rasulullah berhasil mengangkat mereka menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi berakhlak mulia dalam rentang waktu yang relatif singkat dilanjutkan dengan usaha khulafa’ al-Rasyidin memperluas wilayah Islam ke fron utara, barat dan timur teristimewa keberhasilan Umar ibn Khattab menghancurkan kerajaan adikuasa Persia di Timur digantikan dengan negara Islam menjadi salah satu negara adikuasa di masa itu bersama dengan kerajaan Romawi di Barat. #peradabanislam #sejarahislam #khilafah #peradaban #islam #hijrah #kajianonline #investasisyariah #ngajionline #pemudahijrah #yukngaji #kajianislam #sejarah #newnormal #dirumahaja #mercusuarummat #mercusuar #cahayaperadabanislam #sirahnabawiyah #nopriadihermani #kaffahchannel #ulama #dakwah #hijrahquote #kebangkitanislam #liqosyawwal #event #kajian #buku #islamrahmatanlilalamin https://www.instagram.com/p/CBYY1Fah3Ud/?igshid=smk003ehpojr
0 notes
gealukman · 6 years
Text
Tumblr media
The Guardian mengabarkan VS Naipaul meninggal dunia hari ini di London pada usia 85 tahun.
Beliau contoh penulis yang membenci asal-usul dan akar budayanya sendiri. Lebih kanan, anglophile, dan mensinisi Dunia Ketiga melebihi orang Inggris itu sendiri (mirip Ayaan Hirsi Ali ya). Sepertinya beliau membenci kulit gelapnya sendiri, dan seandainya bisa niscaya memilih terlahirkan sebagai manusia kulit putih Eropa.
VS Naipaul adalah penulis berdarah India yang lahir di Hindia Barat -Trinidad-Tobago tepatnya- dan kemudian mengenyam pendidikan tinggi di Inggris, tempat di mana ia menghabiskan sisa hidupnya. Berbagai novel dan kisah perjalanan non-fiksi ia lahirkan sampai di tahun 2001 mendapat ganjaran Nobel. Bahwa beliau penulis hebat itu tak diragukan lagi.
Tak banyak bukunya yang saya baca. 'Rumah untuk Tuan Biswas' terbitan Jalasutra tak khatam terbaca saat saya mahasiswa. Gara-gara terjemahan yang buruk seingat saya. 'Among the Believers' (1979) dan buku lanjutannya, 'Beyond Belief' (1998) adalah dua kisah perjalanan beliau yang membekas di kepala saya.
Membekas secara tidak enak...
Buku-buku itu bercerita, secara tidak simpatik, tentang Islam dan komunitas Muslim di negeri-negeri Dunia Ketiga non-arab; Indonesia, India/ Pakistan, dan Iran. Secara muram dan suram Naipaul membahas mulai dari Iran pasca revolusi hingga kelahiran ICMI yang dimotori Habibie (Gus Dur dan Dewi Fortuna Anwar ia gambarkan secara sinis). Dari tulisan-tulisan Naipaul para pembaca akan membayangkan hanya keterbelakangan, inkopetensi, kemiskinan, dan kebodohan saja yang melingkupi Dunia Ketiga.
Peradaban Islampun ia anggap destruktif karena selalu mensyaratkan penghapusan memori kolektif dan akar budaya yang sudah ada sebelum kedatangannya. Budaya Persia, India, dan Nusantara terhapus sempurna gara-gara kedatangan Islam. Islamisasi dibayangkan oleh Naipaul sebagai Arabisasi. (Hal ini serupa dengan masa pra-Islam di semenanjung Arabia sendiri yang distigma sebagai masa kegelapan alias jahiliyah. Padahal di Petra bangsa Nabatea pra-Islam mampu mengukir istana dari cadas batu; jauh dari kebahlulan sebenarnya.)
Naipaul menutup mata pada akulturasi, pada islam versi lokal yang lebih jinak dan bersahabat. Ia tak paham bahwa perjumpaan islam dengan budaya setempat bersifat dialogis, bukan monolog; resiprokal, bukan searah; saling memperkaya, bukan menihilkan. Islam dan budaya lokal pada akhirnya melahirkan sintesa. Islam yang dibayangkan Naipaul adalah islamnya Aurangzeb dan Timurleng, bukan islam sinkretik Sultan Akbar, Syah Jahan, atau Dara Shirkoh. (Karena pandangan kelirunya itu iapun membenarkan penghancuran Masjid Babri oleh ekstrimis hindu.)
VS Naipaul secara tak sadar memainkan peran sebagai anglophile kebablasan yang mencintai barat dan Eropa sambil membenci akar budayanya, asal usulnya, ke-india-annya dan ke-negara dunia ketiga-annya. Edward Said mengatakan bahwa Naipaul berperan sebagai saksi yang memberatkan dalam sidang tuntutan Dunia Barat pada Dunia Timur. Ironis karena itu semua persis seperti muslim non-arab yang kearab-araban yang Naipaul sindir sendiri dalam buku-bukunya.
Apapun itu Naipaul sudah memperkaya dunia dengan tulisan-tulisan berkelasnya. Diskursus menjadi meriah dengan pandangan dan analisa tajamnya.
Scripta manent, verba volant. Karena tulisannya, Naipaul abadi.
0 notes