Sulap Berwujud Kamu
….“gak semua yang kamu benci itu salah, begitupun sebaliknya. Tuhan menciptakan semua hal didunia ini untuk diterima, termasuk perpisahan.” kata-katanya selalu saja bijak, manusia macam apa laki-laki didepanku ini, yang tak pernah membicarakan perihal benci membenci, maki-memaki, ataupun sumpah serapah. Tak pernah aku dengar sekalipun dari mulutnya selama kenal 20 tahun ini, selain memaki dirinya sendiri dan menyebutnya bajingan gila. Yang ada hanya kata-kata untuk memaafkan, membahagiakan diri sendiri, bicara soal musik jazz klasik kesukaannya, atau hal-hal lucu lainnya.
***
Waktu sore setempat, tempatku hujan beriringan gerimis manis, sosoknya hilang ntah kemana, biasanya selalu muncul saat sore menjelang. Aku sibuk merapikan buku-buku usang diruang tengah, buku-buku lawas peninggalan eyang uti, lukisan ayah yang mulai berdebu dan piano tua mengisi ruangan yang cukup besar itu, diterangi cahaya temaram dari lampu sudut ruang yang mengusang sudah tua, tempatku memang peninggalan jaman dulu, yang tak pernah dipugar atau diubah, hanya diperbarui sisi yang rusak.
Suara gesekan sepatu terdengar, aku mendorong badan kebelakang, menengok kearah pintu ruang tamu yang kubiarkan terbuka lebar, sosok laki-laki mengenakan jaket jeans denim lusuh, bercelana serupa, mententeng tas hitam berisi violin kesayangannya, rambut panjang terkuncir asal-asalan kebelakang, langkahnya sampai diteras rumah, dia lepas sepatu converse 70s hitam yang lusuh bercampur debu jalanan maupun lumpur dengan kasar, lebih terlihat dibuang daripada dilepas.
“hai,” sapanya seadanya, tubuhnya merebah disofa jengki panjang berlapis kulit diruang tamu.
Aku mendekat, ditanganku menggenggam buku and still I rise milik Maya Angelou, bersampul biru, covernya hampir copot dan usang. “dari mana?” tanyaku akhirnya, “bawa makanan gak,” lanjutku,
“tuh,” dia melirik sesuatu yang terbungkus tas hitam, lalu memejamkan mata lagi, dia terlihat lelah, meski tubuhnya bersandar pada tubuh kursi, tapi terlihat tak bertulang, melorot tak karuan, risih melihatnya.
“aku kudu makan violin maksudnya?” ucapku, selain dia suka menyebut dirinya sendiri bajingan gila, terkadang dia memang agak gila, saking capeknya ngadepin laki-laki aneh ini sampai aku pernah bilang kediri sendiri, kapan sih dia pergi jauh biar jarang ketemu, lebih banyak makan ati.
Posisinya masih sama, “coba lihat dulu deh,” singkatnya. Seperti enggan menjelaskan lebih panjang.
Aku turutin ide gilanya, kuangkat tas hitam dari sampingnya, kubuka resleting dengan kasar, definisi laki-laki gila adalah dia, jelas isinya hanya violin lengkap dengan bow usang, gak ada yang lain. “oke zonk, nipu.” jawabku sewot.
Matanya masih tertutup, bibirnya tersenyum, sekian detik terkekeh, dia merogoh saku jaket jeans, mengeluarkan dua buah mie instan kuah, “bim salabim,” tubuhnya menegak, dia tergelak, tertawa, aku miris melihat diriku sendiri, terlihat seperti anak kecil yang berhasil ditipu dengan mudah, kubanting tas hitam berisi violin diatas kursi, dia panik sekian detik melotot, raut mukanya berubah memelas.
“sorry,” ucapnya, hanya sepatah, ingin rasanya memukul kepalanya biar dia sedikit waras, “violin itu hartaku satu-satunya, jangan kasar,” wajahnya berubah sedih, aku tau itu akting, soal hidup berat atau tidak, baginya hidup selalu mudah.
“ngeselin, dasar laki-laki gila,” umpatku kesal,
“sorry, makan yuk,”
“oke,” aku bangun dari tempatku, menyahut dua buah mie instan ditangannya, dia menyusul dari belakang, bak itik yang membuntuti induknya.
Langkahnya berhenti diruang tengah, disebelah meja bacaku, sebuah piano besar yang usianya sudah tua, sama seperti rumah ini, salah satu barang kesukaannya dirumahku. Dia tarik kursi kayu didepannya, seperti manusia jatuh cinta, matanya selalu berbinar ketika melihat piano peninggalan eyangku, sama seperti violin tua miliknya, katanya dua benda itu sakral, dia seperti manusia bijak yang banyak ilmu, menciptakan nada indah disetiap sentuhannya, bagiku kata-katanya berlebihan.
“sini dulu,” ajaknya, dia menyeret kursi disamping badan piano.
Aku menurut, duduk menyilang kaki, jemarinya mulai menyentuh tuts piano dengan lembut, seperti menyentuh bayi, takut menyakitinya, aku geli melihat tingkahnya. Tangannya mulai memainkan tuts dengan nyaman, berpindah-pindah dari tuts satu ke tuts lainnya, beriringan. Dia mainkan sudah dua hari ini mendung Gardika gigih dengan apik, mengisi ruangan yang sunyi dan lembab, menghangatkan tembok-tembok yang saling memeluk sebab udara dingin sore ini. Berhasil menyihir telingaku, menyihir diriku, seketika hatiku hangat, dia menatapku, tersenyum sungging. Aku menatapnya, baru kali ini dia terlihat sepenuhnya laki-laki didepanku, aku terpaku, menikmati keindahan senyum maupun permainan pianonya. Setelah beberapa detik aku diam, dia mengakhiri dengan nada yang panjang.
“hei,” dia melambaikan tangan didepan mataku, seperti hampir menyoloknya, aku kaget, salah tingkah, “malah ngelamun,” dia geser kursinya disampingku, tepat dibawah jendela, dibukanya jendela kayu dengan kedua tangannya, udara dingin hujan seketika menusuk tulang, “nah gini kan seger udaranya,” dia rogoh kretek disaku celananya, “aku ngerokok ya?” aku mengangguk sebagai tanda iya.
“kamu jago main piano ya,”
“sebatas bisa,” dihisapnya kretek yang sudah menyala ditangan kirinya, “kenapa berhenti main piano, waktu SMA dulu kamu jago main piano.” pertanyaannya membuat jantungku gak karuan,
“aku emang lagi fokus yang lain,” jawabku sekenanya, “tapi tadi beneran keren sih,” aku lebih ingin membahas hal lain selain menjawab pertanyaannya.
Dia tatap pekarangan yang basah, dengan air yang masih menyatu diatas rumput, dia hisap kretek ditangannya, membuang asapnya keluar kuat-kuat seperti membuang sebuah masalah, “tanpa aku jelasin, kamu udah tau, benci terlalu dalam itu sama seperti menancapkan pisau ke diri sendiri,” tatapannya masih keluar, tak beralih kepadaku, yang ku tatap adalah pundaknya,
“sakit, terbunuh pelan-pelan,” sahutku, “tapi kenapa aku gak mati,”
“hati dan kesadaranmu yang mati,” timpalnya cepat, “kapan aku bisa ketemu kamu?” tanyanya, seketika dia balik tubuhnya, menatapku, tersenyum tipis.
Aku mengangkat alis, “maksudmu,” kita sama-sama terdiam beberapa detik.
“yang aku temui amarah dan benci, bukan kamu.” telaknya, dimatikannya kretek yang hampir habis, dibuang keluar jendela, sisa apinya seketika padam terkena tetesan air dari genting.
Aku tersenyum miris, “mau gimana lagi,”
“kamu maunya gimana.” dia malah balik bertanya, nyebelin. “mau hidup memelihara benci atau mendamaikan diri sendiri,” kedua tangannya terlipat depan dada, seperti orangtua yang sedang menasehati anaknya, tapi aku bukan anak kecil yang butuh dinasehati, sejak kejadian menyedihkan dan menyakitkan, aku benci nasehat dari orang-orang, tapi tidak darinya.
“hidupku masih sama, gak berubah, kamu berlebihan, aku jutek tiap hari bukan berarti aku benci ke diri sendiri.” sekenanya aku membela, aku benci disudutkan, sepertinya memang benar bahwa hatiku sudah mati, susah mendengar saran dan penilaian dari siapapun.
“gak semua yang kamu benci itu salah, begitupun sebaliknya. Tuhan menciptakan semua hal didunia ini untuk diterima, termasuk perpisahan.” kata-katanya selalu saja bijak. Dia berdiri, melangkah kearah rak buku yang tertata rapi, menyentuh debu-debu halus yang mencumbui sisi-sisinya, “kamu tidak bisa memaafkan tanpa mencintai,” celetuknya tiba-tiba.
“saat aku memaafkan, maka aku selesai dengan masalah itu,” sambungku, kutipan dari salah satu penulis terkenal, Maya Angelou.
Pandangannya beralih padaku, matanya bulat teduh, aku menatapnya penuh, mata bertemu mata, saling berbicara perihal maaf dan cinta, perihal hidup dan mati sama saja, akan sama-sama membawa tanggung jawab atas diri sendiri.
Dia mendekat, menyentuh tanganku, duduk setengah berjongkok didepanku, tubuhnya mendekat, tangannya melebar, memelukku hangat meski tak erat, dia elus punggungku lembut, air mataku meledak dipundaknya, “perempuan seperti kamu bisa bahagia, akupun begitu, bahagia sudah mengenalmu,” bisiknya.
7 notes
·
View notes