Tumgik
xxsukmawati · 5 months
Text
50 hari,
Genap lima puluh hari.
Setelah aku memutuskan untuk berada dalam satu hubungan, dan orangnya adalah bang Rudi, rasa bahagiaku lebih meningkat dari biasanya. Salah tingkah saat mata kita bertemu, bergandengan tangan saat berjalan menembus trotoar, juga pelukan yang dirasa semakin nyaman dan menenangkan.
Bang Rudi masih sama, walaupun baru lima puluh hari, sikap dan perlakuannya masih sama dan aku berharap akan tetap seperti ini. Pembawaan yang tenang, tutur kata yang lembut, juga perilaku yang baik saat bersamaku.
Ucapan terima kasih kepada Tuhan, Mamah dan Bapak, teman terdekat, juga masa lalu bang Rudi. Terima kasih karena sudah memberikan nasihat dan pelajaran hidup sehingga aku bertemu dengan bang Rudi yang terus mencoba untuk menjadi versi terbaik dirinya. Pengendalian emosi, pola hidup, juga pemikiran yang semakin dewasa.
Sampai akhirnya, ada satu gundukan yang kita temui di jalan.
Aku mempercayai kalau dalam hubungan bukan hanya tentang tertawa lepas di atas motor karena candaan yang spontan, bukan juga tentang selalu memberikan hadiah untuk satu sama lain, dan bukan tentang omongan-omongan manis di setiap obrolan.
Semakin bertambahnya hari, aku mulai mempelajari sedikit demi sedikit kalau ternyata dalam hubungan pun akan ada beberapa hal yang dirasa cukup berat. Air mata dan rasa kesal yang ditahan saat mencoba menjelaskan sesuatu, salah paham yang akan semakin menggerogoti pikiran jika tidak dibicarakan, dan masalah-masalah yang datang dari orang lain.
Kita berdua masih belajar tentang bagaimana mengerti dan memahami apa yang dikomunikasikan satu sama lain. Kita masih mencoba memegang prinsip untuk menciptakan hubungan yang sehat. Kita akan terus belajar setiap harinya untuk paham arti dari kata "saling".
Aku dan bang Rudi, juga sepakat untuk terus menjaga komunikasi.
Terima kasih karena sudah memutuskan untuk berjalan bersamaku untuk 50 hari pertama kita, dan tidak melepaskan gandengan tanganmu. Mari berjalan untuk 50 hari berikutnya, lalu berikutnya, juga berikutnya sampai mengetahui cerita akhir yang ditulis Tuhan.
Terima kasih untuk semua hal-hal yang kamu usahakan sebaik mungkin, bang Rudi. Mencoba menjelaskan perasaan dan pikiran yang kusut, mencoba memberikan waktu untuk bertemu dan mendatangi tempat yang ingin aku tuju, terlebih mencoba mengerti kalau ternyata aku perempuan yang cukup sulit dipahami emosinya.
Terima kasih untuk bahasa cinta yang semakin hari, terasa semakin tulus dan sungguh-sungguh.
Salam,
Sukmawati.
0 notes
xxsukmawati · 7 months
Text
R
Genap satu hari, 12 Maret 2024, aku resmi menjalin hubungan dengan seseorang. Tidak apa-apa kan merayakan satu hari jadian? Toh tidak ada standar khusus untuk perayaan suatu hubungan.
Proses pendekatan yang dirasa berjalan cukup cepat, tapi tidak terburu-buru. Aku menikmati setiap prosesnya setiap hari.
Aku mengenal bang Rudi sejak Oktober tahun lalu di tempat kerja, dan bang Rudi menjadi karyawan paruh waktu.
Semuanya terlihat biasa saja, aku sedang tidak tertarik untuk mencoba dekat kembali dengan laki-laki, sedangkan saat itu mungkin saja bang Rudi masih berkutik dengan masa lalunya.
Aku tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana interaksi pertamaku dengan bang Rudi, kalau dipaksa untuk mengingat, mungkin hanya interaksi dasar dalam ucapan halo lalu salaman pada umumnya.
Setelah dikilas balik, ternyata aku dan bang Rudi didekatkan dengan sengaja oleh supervisor kita berdua, yang dulu rekan kerja bang Rudi di tempat sebelumnya. Bisa dibilang, mak comblang. 
Aku menyimpulkan kalau bang Rudi tidak menolak.
HAHAHAHAHA
Saat itu, pertama kalinya bang Rudi ditawarkan untuk mengantarku sampai rumah dengan alasan kalau kereta terakhir tujuan Bogor sudah tidak ada, karena kami mampir untuk makan malam bersama rekan kerja yang lain. Aku sempat menolak, rumahku sangat jauh, pun rumah bang Rudi yang tidak kalah jauhnya kalau dimulai dari rumahku.
Jakarta bagian Utara.
Tapi, aku sangat berterima kasih karena malam itu bang Rudi tetap mengiyakan.
Sampai akhirnya,
Kemarin malam, oh tidak, sudah dini hari, aku dan bang Rudi berbicara cukup serius tentang perasaan kita masing-masing. Aku sempat bingung dengan perasaanku sendiri, aku tidak tahu patokan dalam menyayangi atau bahkan mencintai seseorang itu seperti apa. Di sisi lain, aku tidak mungkin menyia-nyiakan seseorang seperti bang Rudi.
Sebelumnya, aku memutuskan untuk membahas masa lalunya, yang sangat mengangguku. Bang Rudi menyimak dengan tenang, entah apa isi kepalanya. Aku melakukannya karena tidak ingin saat sudah mulai menjalin hubungan, aku menjadikan itu sebagai alasanku untuk uring-uringan dan imbasnya hubungan kita tidak baik. Kasihan pasanganku, bingung.
Si cengeng ini sempat menangis, karena alasan takut ditinggalkan ketika sudah terlanjur dan terlalu sayang, apalagi ini tentang masa lalu, dengan hubungan yang tidak sebentar pula. Aku dan bang Rudi baru kenal hampir satu bulan. Jelas akan kalah, seru pikiran dari monster di kepalaku. Alasan utamanya, karena bang Rudi mengatakan kalau dia menyayangiku dan ingin bersamaku, aku paham betul bagaimana sulitnya bang Rudi menyusun kalimat itu di kepalanya. Ternyata, aku dipertemukan dengan bang Rudi yang selalu mencoba sebaik mungkin upaya dan usahanya agar aku selalu merasa bahagia. Ternyata, rasanya diperlakukan sangat baik oleh seseorang aku dapatkan dari bang Rudi dan rasanya sebahagia dan sangat semenyenangkan ini.
Bang Rudi benar-benar yang pertama, setelah 10 tahun terakhir. Bang Rudi benar-benar memberikan semua hal baru di hidupku untuk beberapa hal terlebih perlakuan. Masalahnya ada di diriku sendiri, di awal aku sempat berpikir kalau ini akan berakhir sama perihal; komunikasi antara kita akan berhenti di tengah-tengah tanpa penjelasan apapun.
Pikiran jelek dan menyebalkan dari si monster yang ada di kepala masih terus ada, tapi aku memilih untuk tidak menghiraukan hal itu, dan lebih percaya kepada pasanganku sendiri. Toh, kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan, lalu komunikasi dan baru mengerti. Semuanya harus saling.
Sebagai penutup, ini untuk bang Rudi;
Terima kasih untuk bang Rudi, karena malam itu tetep milih buat nganter Sukma sampe depan rumah. Terima kasih karena bang Rudi udah coba usaha terbaik untuk lepas dari masa lalu, harus percaya sama bang rudi, kan?. Terima kasih karena bang Rudi udah berani ungkapin apa yang lagi bang Rudi rasain ke Sukma kemarin malam, semoga rasanya selalu sama.
Salam,
Sukmawati
0 notes
xxsukmawati · 10 months
Text
Mari tetap hidup
Sudah pukul satu dini hari dan aku masih berada di gerbong kereta jurusan Bogor, puji syukurnya aku berhasil mengejar kereta terakhir. Sedikit lucu kalau ternyata aku sudah ada pada titik mencari uang untuk tujuan melanjutkan hidupku sendiri, tandanya aku bertanggung jawab penuh dengan semua hal yang aku lakukan. Lebih lucu lagi karena di satu tahun yang lalu, aku masih sibuk meminta izin Mama untuk berpergian dari satu kota ke kota lainnya. Mama melihat jiwa bebas yang aku punya, Mama paham aku tidak bisa berdiam di kota ini untuk waktu yang lama.
Kereta berhenti di stasiun Tanjung Barat. Hanya beberapa yang turun, begitu juga yang naik. Kereta pun melanjutkan perjalanan.
Stasiun tujuan akhirku masih jauh, yang aku lakukan hanya mengotak-atik handphone, namun menaruhnya kembali karena tidak ada yang menarik di beranda sosial mediaku. Tidak lama setelahnya, aku mulai mengamati orang-orang yang tersisa di gerbong yang sama denganku.
Beberapa dari mereka memutuskan untuk mengisi kekosongan dengan mendengarkan musik, membaca buku, fokus dengan handphone di tangan, dan ada juga yang memilih untuk sama-sama mangamati sekitar. Sebagian besarnya memilih untuk memanfaatkan waktu untuk mengistirahatkan mata terlebih badan dengan tidur sejenak.
Mungkin saja sebagian dari mereka habis diserbu dengan tumpukan deadline akhir tahun demi liburan yang tenang, mungkin saja sebagian dari mereka lelah karena terpaksa mengerjakan pekerjaan senior yang sok karena ingin terus dilihat bekerja oleh atasan, mungkin saja sebagian dari mereka lelah berjalan karena tuntutan pekerja lapangan yang harus meliput sekaligus observasi satu kejadian, mungkin saja sebagian dari mereka energinya sudah terkuras karena kewalahan melayani banyaknya pengunjung ditambah dengan berbagai macam emosi yang dibawa, atau mungkin saja sebagian dari mereka hanya ingin menutup mata lalu mengajak ngobrol isi kepala yang kusut. Semakin sering menaiki kendaraan umum dan tidak jarang memutuskan untuk berjalan selepas bekerja, aku pun semakin sering memperhatikan sekitar. Sekalipun sudah menunjukan tengah malam, mereka yang masih berkeinginan untuk melanjutkan hidupnya memutuskan untuk tetap berada di jalanan dengan alasan mereka masing-masing. Mereka sama lelahnya. Mereka pun memilih untuk mengistirahatkan badannya.
Namun bukan di gerbong kereta. Mereka memilih untuk tidur di atas motor miliknya sambil menyandarkan kepala pada stang, ada pula yang menepi di trotoar untuk merebahkan badan di kursi-kursi taman namun tidak jarang di atas trotoar langsung dengan alas seadanya, aku juga sempat melihat si pembawa becak yang memilih menjadikan becaknya sebagai tempat tidur.
Tidak ada yang pernah menjelaskan sebelumnya, kalau melanjutkan hidup akan sesusah payah ini. Tidak pernah ada dalam kurikulum pendidikan bab tentang melanjutkan hidup kalau ternyata, melanjutkan kehidupan butuh pikiran dan mental yang sehat. Tidak pernah terpikirkan kalau seiring berjalannya waktu saat memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup, akan ada hal-hal yang harus dikorbankan dan itu bagian paling menjengkelkan.
Melihat apa yang ada di sekitar, aku semakin percaya kalau tidak ada yang tidak lelah perihal melanjutkan hidup, yang disambung aku pun semakin paham perihal selalu ada alasan untuk itu, untuk melanjutkan hidup.
||-Sukmawati
0 notes
xxsukmawati · 1 year
Text
Tinggal, lepas, dan lupa
Katanya, kalau di satu tempat terasa begitu menyesakkan, kamu bisa untuk berpindah ke tempat lain yang lebih terbuka. Tempat lain yang saat kamu berada di sana, kamu tidak perlu berebut oksigen dengan banyak orang, kamu tidak perlu mengalah untuk mereka, kamu juga tidak perlu bersabar karena mereka berhasil bernapas dengan leluasa sedangkan kamu harus menunggu untuk itu.
Harus sabar, katanya.
Harus mengerti, kata yang lain.
Meninggalkan dan melupakan satu hal tidak pernah menjadi urusan yang mudah, aku setuju dengan yang satu itu. Namun menjadi sakit, gila, dan berakhir mati termasuk hal yang sering ditemukan untuk kasus bertahan dengan hal-hal buruk.
Itulah mengapa ada beberapa hal yang baiknya memang ditiinggal, dilepas, dan dilupa. 
1 note · View note
xxsukmawati · 2 years
Text
Es teh manis
“Ayah! Abang mau es teh manis, boleh?” Izin bang Ikhsan kepada ayah saat kami sibuk memilih menu. Kebetulan dua hari yang lalu abang baru saja pulang dari rumah sakit.
“Boleh, tapi berdua kakak ga apa-apa ya? Abang kan baru sembuh..” Ayah mengizinkan dengan syarat. “Yes! Oke ayah!” Balas bang Ikhsan senang tertanda dua gigi kelincinya muncul bersamaan dengan senyumnya. Saat itu usiaku genap 12 tahun. Sedangkan dua adikku, Ikhsan dan Silvi, baru menginjak usia 7 dan 4 tahun. Ayah dan Ibu mengajak kami untuk makan malam ke tempat langganan kami, yang menjadi favorite bang Ikhsan dan Ibu, untuk merayakan bang Ikhsan yang baru saja masuk sekolah dasar.
Ikhsan, sebagai anak laki-laki satu-satunya, ingin sekali dipanggil abang oleh kami. Jadi, ayah dan ibu mulai membiasakan kami untuk memanggil abang Ikhsan.
Satu minggu setelah kami makan di sana, bang Ikhsan kembali masuk rumah sakit. Untuk kali ini, abang tidak bisa pulang ke rumah bersama ibu, ayah, aku, dan dek Silvi.
Kepergian bang Ikhsan sangat tidak bisa diterima dengan mudah oleh kami, terutama oleh ayah. Jagoan kecil ayah satu itu selalu memberikan tingkah lucu dan kebahagian untuk kami.
Usianya baru 7 tahun.
Rasanya tidak adil kalau Tuhan terlalu cepat merindukan bang Ikhsan dan memanggilnya untuk pulang lebih dulu, sedangkan banyak sekali mimpinya yang belum sempat diperjuangkan.
Aku pernah mengobrol dengan bang Ikhsan, obrolan anak kecil tentang mimipinya yang dipikirkan secara spontan.
“Abang, bang Ikhsan punya mimpi?” Tanyaku di depan teras rumah kala itu.
“Punya kak! Abang punya mimpi, mau jadi dokter hewan!” Jawabnya dengan antusias.
“Dokter hewan? Kenapa gak dokter manusia aja bang?” Aku menimpali dengan energi yang sama.
“Dokter manusia sudah banyak, kak! Abang mau jadi dokter hewan aja. Jadi abang bisa tolongin hewan-hewan yang sakit di jalanan.” Jelas bang Ikhsan tidak kalah antusias.
“Hahaha oke deh, semoga nanti abang bisa jadi dokter hewan! Terus, abang punya mimpi yang lain ga?” Saat itu aku belum pandai memperpanjang obrolan, jadi aku menimpali dengan bertanya kembali mimpinya yang lain.
“Hmm...” Bang Ikhsan berdiam cukup lama.
“Aku mau buka warung Es Teh, kak!” Jawab bang Ikhsan yang antusiasnya melebihi saat menjawab ingin menjadi dokter Hewan.
“Kenapa mau buka warung Es Teh bang?” Tanyaku kembali yang cukup terkejut mendengar jawabannya.
“Abang suka banget sama Es Teh, kak! Apalagi buatan Ibu. Kalau abang pulang dari rumah sakit, pasti ibu buatin Es Teh manis setengah gelas. Rasanya enak banget, kak! Abang kan gak boleh minum es teh waktu di rumah sakit. Jadi pas abang minum setelah pulang dari rumah sakit, rasanya tambah enak dan seger!” Bang Ikhsan menjelaskan dengan panjang, diakhiri dengan senyum lebar dibarengi memperagakan segarnya minuman dingin seperti iklan yang abang tonton di tv.
“Hahaha oke-okee, semoga abang juga bisa buka warung Es Teh ya.” Aku menanggapi dengan tawa dan kegemasan, juga mimpi yang aku aamiin-kan.
Sejak ibu mulai memberikan bang Ikhsan es teh manis di umur abang yang ke 5 tahun, bang Ikhsan langsung menyukai minuman yang baru abang coba kala itu. Sebelumnya, ibu hanya memberikan abang teh manis hangat, jadi es teh manis menjadi rasa baru untuk abang.
Mimpi abang untuk menjadi dokter hewan harus dikubur bersama jasadnya. Namun untuk warung Es Teh yang bang Ikhsan mau, aku akan berusaha keras untuk membukanya.
Setidaknya, ada satu mimpi abang yang berhasil menjadi nyata. Setidaknya, aku tidak membiarkan abang bersedih di dalam kubur karena mimpi-mimpinya yang ikut berhenti. Setidaknya, ada satu hal dari abang yang tidak dibawa pergi bersamanya.
||-Sukmawati
1 note · View note
xxsukmawati · 2 years
Text
Mimpi yang harus dikubur
Bekas jahitan di pelipis mataku akibat kecelekaan kerja belum sepenuhnya kering, namun tetap diharuskan untuk berangkat kerja hari ini. Air mataku jatuh tanpa sempat aku tahan.
Aku menangisi pelipisku yang robek dan masih terasa perih.
Aku menangisi keadaan yang ternyata cukup keras, aku tidak pernah diberi tahu tentang hal ini di bangku sekolah dulu.
Aku baru berusia 18 tahun, dan aku sudah diberikan tanggung jawab yang besar. Aku sudah dipercaya, aku sempat berpikir kalau ini semua lebih keterpaksaan, untuk bekerja lebih keras dari teman-teman sebayaku.
Adik harus kuliah, dan aku harus menghasilkan uang yang banyak untuk itu.
Penghasilan yang ayah dan ibu dapat sebagai tukang ojek dan penjual lauk pauk hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari. Setelah lulus sekolah, aku langsung mencari pekerjaan yang menerima lulusan sekolah menengah atas.
Aku mengayun sepedaku berkila-kilo meter. Di sebrang jalan aku melihat anak-anak seusiaku keluar bergerombol dari salah satu universitas di kotaku, dan aku berhenti sejenak.
Ternyata mereka habis melaksanan kegiatan wisuda, ada toga yang masih terpasang di kepala mereka.
Ah, memakai toga..
Mimpi yang harus kutunda untuk saat ini, atau bahkan aku kubur.
||-Sukmawati
1 note · View note
xxsukmawati · 2 years
Text
Cukup dengan tetap ada
Aku memutuskan untuk berjalan kembali. Kali ini tidak berlari. Selain karena energi terkuras cukup banyak kemarin, alasan lainnya aku cukup mendapatkan banyak luka memar di telapak dan mata kaki karena sepatu yang aku pakai sudah kekecilan. Aku juga lupa memakai kaus kaki.
Aku memutuskan untuk berjalan kembali. Setelah berhasil menepis bisikan-bisikan untuk berhenti yang lebih banyak aku dapatkan dari pada semangat. Aku tetap dapat semangat, tapi aku memilih untuk mengabaikannya dan lebih mendengarkan untuk berhenti, kemarin.
Kali ini, aku memutuskan untuk berjalan kemnbali. Kata seseorang, tidak sampai garis finish pun tidak apa-apa. Aku cukup harus berjalan saja untuk saat ini, sekalipun kaki ku sedikit pincang karena luka memar tadi.
Aku tidak mengetahui akan ada apa di depan sana. Entah aspal yang semakin terasa di dasar kaki karena alas sepatu yang semakin menipis, entah tanah becek yang terkena hujan setiap harinya, entah cipratan dari lubang yang digenangi air namun dihantam keras oleh kendaraan yang lewat, entah akan dilihat banyak orang karena aku berjalan begitu lambat sedangkan banyak yang sudah mengdahului, atau bahkan aku benar-benar menyerah sebelum sampai di garis finish.
Kalimat nyeleneh yang aku temukan di internet rasanya cocok untukku saat ini: kalau orang lain bisa, selamat untuk mereka. Aku, sangat lelah.
Tidak dengan kalimat motivasi kalau aku harus sama atau bahkan lebih dari yang lain. Karena terkadang, kalah tidak melulu tentang kesedihan. Bisa saja, olahraga marathon ini tidak begitu cocok untuk diriku. Mungkin saja, aku ahli di bidang olahraga lainnya.
Sekali pun tidak di bidang olahraga, mungkin di bidang lain.
Sekali pun tidak di bidang apa-apa, mungkin cukup di bidang tidak banyak menyakiti orang lain.
Mungkin cukup dengan tetap ada.
||-Sukmawati
2 notes · View notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Nanti, kamu harus mau kalau aku ajak muterin kota yang tujuannya buat liat langit warna pink, orange, biru, ungu, bahkan langit hitam sekalipun pertanda mau hujan deras. Kalau ada film mengejar matahari, nanti kita mengejar hujan. HAHAHA
Nanti, kamu juga harus mau aku ajak tiduran di pinggir pantai. Pantai mana aja, untuk pantainya aku serahin ke kamu. Di pinggir sungai juga boleh, atau di atas puncak gunung? Um… kayanya kita nepi di jalan dan parkir mobil terus tiduran di atap mobil juga seru!
Nanti, kamu harus mau kalau aku ajak buat liat matahari terbenam di bukit sabana. Terus kamu boleh cerita semua tentang apa yang kamu rasain, gak harus tentang aku. Kamu boleh cerita tentang kamu yang hampir jatoh dari motor, atau pas istirahat kerja bawaannya pengen pulang terus tidur, bisa juga ceritain gimana kamu pusing sama mesin-mesin motor tua kamu itu. Oh iya, kalau beruntung, kita cari sabana yang banyak banget bunga warna-warni. Gini-gini, aku suka bunga loh!
Nanti, kamu harus tetep mau ya kalau tiba-tiba jam 1 malem aku ajak berangkat naik ke gunung kecil buat liat matahari terbit dari celah-celah pohon pinus. Abis itu kita melipir buat sarapan gorengan sama teh anget. Eh, mie rebus kayanya enak, ya?
Nanti, kalau aku sama kamu jadi satu sebisa mungkin aku ajak kamu buat liat pemandangan yang bagus! Bisa di desa lain, kota lain, pelosok negeri lain juga. Pokoknya, asal sama kamu!
Aku gak tau seberapa berpengaruhnya kata “nanti”, bahkan aku kurang bisa percaya kalau kata “nanti” beneran ada buat aku sama kamu. Untuk saat ini yang aku tau; di setiap maunya aku untuk bisa nikmatin seru-serunya dunia, selalu ada nama kamu diakhirnya.
Kamu sehat-sehat ya.
Sama aku atau pun engga, kamu harus tetep nikmatin seru-serunya dunia.
Sama kamu atau pun engga, aku akan coba buat ngelakui semuanya sendiri dan akan aku ceritain ke kamu lewat tulisan.
Karena katanya, tulisan satu-satunya cara untuk kita komunikasi sama orang yang gak bisa kita gapai.
||-Sukmawati
2 notes · View notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Bangku Kereta
Dirga sudah tertidur di sebelahku sejak 10 menit yang lalu saat kereta mulai berangkat, dengan kepala menyender di sandaran kursi yang sesekali kehilangan keseimbangannya. Pundakku yang berbeda hampir 10 senti lebih rendah, tidak cukup untuk menopang kepalanya.
Perjalananku dan Dirga kali ini menuju ujung timur pulau Jawa. Menyadari akan memakan waktu sangat lama, kami sengaja memilih kelas eksekutif dan memanfaatkannya untuk mengistirahatkan diri.
Sampai malam tadi, Dirga berusaha keras menyelesaikan pekerjaannya agar tidak ada tanggung jawab yang dia lepas atau malah diserahkan ke rekan kerjanya yang lain. Sedangkan aku cukup sibuk dengan jadwal operasi sampai pukul satu dini hari.
Entah sudah berhenti di berapa stasiun, kali ini kereta yang aku tumpangi berhenti di stasiun Semarang Tawang. Karena stasiunnya cukup besar, kereta berhenti cukup lama untuk menunggu penumpang yang akan naik.
Dirga terbangun karena merasakan ramai dengan suara orang-orang, juga bertepatan dengan adanya dua pasangan tua yang akan duduk di kursi sebrang kami terdengar beradu argumen tentang letak barang yang mereka bawa setelah porter yang mereka sewa meninggalkan kabin kereta.
“Pak, harusnya tas ini juga taruh di atas aja. Nanti gak bisa lurusin kaki kalau ditaruh di bawah.”
“Ga apa-apa Bu, lagi juga Bapak gak kuat angkat ke atasnya. Nanti, ini di taruh di bawah kursi Bapak aja biar Ibu tidurnya enak.”
Obrolan dengan bahasa jawa halus dari pasangan tua itu cukup menarik perhatian Dirga. Setelah mengajakku mengobrol tentang menawarkan bantuan, Dirga menghampiri pasangan tersebut.
“Pak, Bu, maaf sebelumnya. Mungkin saya bisa bantu untuk taruh di atas? Biar Bapak juga enak tidurnya.”
Ucapan terima kasih yang tidak berhenti sejak saat Dirga menawarkan bantuan sampai Dirga kembali ke tempat duduknya, aku pun ikut melemparkan senyum kepada keduanya.
Pribadi Dirga yang peka dengan sekeliling tanpa pandang bulu menjadi salah satu alasan kenapa aku memilihnya menjadi teman hidupku, yang semoga selamanya.
Aku kembali menengok ke arah pasangan tua tadi, istrinya sudah tertidur lebih dulu dan suaminya siap-siap untuk menyusul. Ada ketenangan yang kulihat, dan pertanyaan bagian hidup terberat apa yang sudah mereka berdua lewatkan.
Usia pernikahanku dengan Dirga baru saja menyentuh tiga tahun, angka yang sangat muda jika melihat usia pernikahan pasangan di sebrangku. Angka yang sangat muda itu juga sudah memberikan banyak sekali pelajaran yang sudah kami dapat, beberapa berhasil kamu mengerti beberapa lainnya harus kami pelajari lebih rajin.
Saat melihat pasangan tua di tempat umum, pikiranku sering sekali menanyakan apa yang mereka jadikan alasan untuk tetap memilih bersama sampai tua. Katanya, cinta bukan alasan utama.
“Bi, kira-kira rahasianya apa ya bisa hidup bareng pasangan sampe selama ibu bapak di sebrang?” Pertanyaan Dirga tiba-tiba yang seolah membaca obrolan di dalam kepalaku.
“Nanti kamu bakal sama aku terus gak kalau aku udah gak bisa gendong kamu lagi karena tulang-tulang aku yang udah ga sekuat sekarang?” Pertanyaan kali ini cukup menyerang secara personal karena saat bangun tidur, aku tidak pernah absen untuk meminta Dirga menggendongku untuk turun dari kasur.
“Atau kalau aku udah kurang bisa denger suara kamu pas kamu panggil?” Pertanyaan Dirga mulai membuatku sedikit melamun karena bayangan tentang hari tuaku dengannya yang mungkin tidak akan pernah mudah dalam segi apapun.
“Kira-kira, kita sampe tua gak ya Bi?” Aku tidak menjawab. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Dirga. Bukan karena tidak percaya dengan dirinya, bahkan hampir seluruh masalah dan keresahan yang aku rasakan, aku percayakan ke Dirga.
Masalahnya ada di diri dan pikiranku sendiri. Ketakutan-ketakutan tentang hubungan kembali menyerang, tanda ada sesuatu yang belum bisa aku terima sepenuhnya.
“Bi?” Aku masih belum menjawab.
“Sabitah? Hei?” Dirga menyentuh punggung tanganku. Kali ini aku menoleh, dan memberikan senyum.
“Mungkin sesederhana punya prinsip, kalau aku maunya ya sama kamu aja, kali ya Ga?” Jawabku singkat yang dibalas dengan senyuman hangat Dirga yang selalu aku suka.
||-Sukmawati
2 notes · View notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Dua malaikat yang gugur
Ayah gugur di tangan pasukan musuh karena menjalankan tugas negara. RI nomor satu, para petinggi pemerintah, dan masyarakat umum memberikan penghormatan terakhir di pemakaman kenegaraan untuk ayah. Tanda ucapan terima kasih, ungkapan rasa bangga, juga cara menunjukan kehormatan.
Disaat yang bersamaan, ada tiga pion ayah yang semangatnya ikut gugur setelah Gugur Bunga selesai dinyanyikan. Tidak ada air mata yang keluar, tanda ikhlas. Namun rasa sesak di dada belum mau pergi. Rasanya, separuh jiwa kami memilih untuk menemani ayah dalam peti mati berbalut bendera merah putih itu.
Tiga tahun setelahnya, Tuhan menugaskan ibu untuk menyusul ayah. Kanker otak yang sebelumnya berhasil ibu lawan, ternyata malah semakin kuat menyerang balik.
Penurunan nafsu makan hingga sulit untuk tidur menjadikan tubuh ibu lebih kurus. Semua itu karena efek samping dari kemoterapi yang ibu jalani.
Sampai akhirnya, ibu memilih untuk istirahat panjang.
Mungkin ibu sudah lelah melawan sendiri tanpa dukungan dari ayah, mungkin juga ibu terlalu rindu dengan guyonan ayah yang kadang hanya mereka berdua yang paham.
Kini, hanya aku dan Tegar, adikku. Kami memilih untuk terus melanjutkan hidup, sekuat apapun bisikan untuk menyerah.
Setelah menyelesaikan pendidikan, aku memutuskan untuk melamar kerja di Jakarta. Meninggalkan pulau Sulawesi yang penuh dengan suka duka. Sedangkan Tegar memilih mengikuti jejak ayah.
Setelah kelulusannya di Menengah Atas, Tegar memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Akademi Militer TNI AU. Kini, putra kebanggaan ayah sudah menyelesaikan pendidikannya dan mendapatkan pangkat Sersan Mayor.
Beberapa kali aku menanyakan keseriusan Tegar untuk mengambil keputusannya yang satu ini. Jawabannya selalu sama; ingin melanjutkan cita-cita ayah untuk terus menjaga negara, katanya.
Padahal, seharusnya aku yang harus dia jaga. Karena hanya tinggal aku yang dia punya. Seharusnya, jiwa nasionalis Tegar tidak perlu dituangkan di militer. Aku pernah memberikan saran untuk melanjutkan saja ke universitas, dan mengambil jurusan Ilmu Sosial dan Politik.
Namun dia menakutiku dengan “Nanti, kalau Tegar terjun ke politik terus nyeleweng dari tanggung jawab abis itu kerjaannya korupsi uang negara gimana kak? Belum lagi kalau Tegar mangkir dari dinas dan milih buat liburan. Hm… atau Tegar terima uang suap dari atasan Tegar? Habis itu Tegar di penjara. Iihhh sereem~.” Dengan humor receh yang aku tahu asalnya dari ayah.
Biasanya, aku dan ibu langsung lari ke dapur untuk melanjutkan masak atau kembali menonton drama kesukaan kami, saat ayah dan Tegar sudah mengeluarkan guyonan mereka.
Lagi pula, sudah banyak sekali yang akan memasang badan untuk melindungi negara. Toh, tidak akan berdampak apa-apa kalau satu orang warga negaranya memilih untuk tidak ikut berkontribusi.
Saat itu, setelah kepergian ayah, bela sungkawa dari orang-orang hanya bertahan paling lama dua minggu. Berita-berita untuk mengenang jasa ayah di media pun bertahan paling lama satu bulan.
Dunia tetap berjalan seperti biasa disaat ada satu penumpangnya yang pergi.
Ternyata, hanya aku yang merasa dunia berhenti.
Ternyata, hanya aku yang takut bagaimana suara ayah mulai sukar didengar saat itu.
Ketakutanku semakin besar ketika Tegar, yang saat itu sedang dinas di Aceh, mengabariku kalau dia positif tumor.
“Kak… ini cuma tumor jinak. Gak akan mengarah ke kanker. Lusa aku ke Jakarta, nanti temenin Tegar ke rumah sakit ya kak.” Suaranya yang berusaha tidak membuatku khawatir, tapi aku tahu betul kalau si bungsu sangat ketakutan.
Bayang-bayang ibu yang sakitnya berawal dari tumor mulai menyerangku setelah telepon terputus. Kepercayaan diri dan bagaimana Tegar ahli dalam menenangkan orang lain didapatkan dari ibu. Ibu juga berkata kalau akan segara sembuh, dan semuanya akan baik-baik saja.
“Mana mungkin ibu ninggalin kakak sama Tegar… nanti kalau kakak mau makan cumi asam manis buatan ibu gimana? Ibu juga mau ngeliat Tegar berhasil jadi Sersan Mayor. Masih banyak yang mau ibu lakuin bareng kakak sama Tegar.” Ucap Ibu dua hari sebelum kematiannya.
Aku sudah muak dengan kalimat penenang.
Bagaiman bisa aku mencoba untuk tenang dan berpikir positif disaat pahlawan dan malaikatku dipanggil Tuhan lebih dulu, dan kini tumor sialan itu ada di tubuh Tegar.
Setelah telepon terputus, otakku memberikan sinyal kepada sendi-sendiku untuk melemaskan diri. Pikiranku kosong, dan itu kesempatan untuk memori-memori otakku untuk memutarkan kenangan manis menjadi menyedihkan.
Tidak mau kalah, rasa takut dan kemungkinan-kemungkinan buruk juga datang semakin besar yang didukung oleh pikiran-pikiran jelek, mereka bergantian untuk menyerang.
Sampai akhirnya sisa iman yang kumiliki menyadarkanku, dan aku mulai mengobrol dengan Tuhan. Mungkin, lebih tepatnya aku memaksa Tuhan untuk ikut mendengarkan obrolanku dengan diriku sendiri, yang ada Dia di dalamnya.
Tuhan…
Saat Tuhan memanggil ayah dulu, aku mencoba tegar dan melanjutkan hidupku kembali. Karena ayah akan memarahiku kalau aku menangis. Itu juga karena mendapatkan dukungan dari ibu dan Tegar.
Beberapa tahun setelah Engkau memanggil ayah, ternyata gilirannya Ibu. Mungkin ayah yang memohon kepada-Mu untuk memanggil ibu agar ayah tidak sendirian. Walaupun berpangkat Letnan Jendral, kalau tidak ada ibu, ayah suka sedih dan manja sekali saat bersama ibu.
Aku juga masih memilih untuk melanjutkan hidupku, karena masih ada Tegar yang sebisa mungkin harus aku jaga. Tegar menjadi satu-satunya alasanku untuk terus hidup, untuk terus menyusun mimpi yang saat ini pelan-pelan kuraih.
Entah sesayang dan sepercaya apa Engkau kepadaku, sampai terus-terusan Engkau beri cobaan. Kini, Engkau membuat Tegar sakit.
Tuhan…
Ibadahku belum sempurna,
Aku hanya mengingatmu ketika putus asa,
Permintaanku buru-buru ingin dikabulkan,
Dengan kata lain, aku bukan hamba-Mu yang taat.
Namun, jangan biarkan aku hidup di dunia ini seorang diri. Aku terlalu takut bahkan sudah ditahap benci dengan yang namanya kehilangan dan diditinggalkan.
Hukum aku dengan cara lain, tapi jangan dengan kepergian seseorang yang aku sayang sekaligus alasanku untuk terus tetap hidup.
Kepergian ayah dan ibu sudah cukup.
Jangan Tegar, Tuhan.
||-Sukmawati
4 notes · View notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Inti dari kehidupan
Setelah menyeduh kopi, dia memutuskan untuk duduk di teras rumah, dengan pandangan kosong tetapi isi kepalanya penuh dengan obrolan. Berpikir tentang sudah berapa lama dan jauh perjalanannya di dunia, juga tentang bagaimana dia akan mati…
…menyusul istri tercintanya yang sudah lebih dulu pergi.
Badan dan paras yang menjadi modal untuk menggaet wanita di usia 20 an, kini sudah penuh dengan keriput dan garis hitam. Kantung mata yang sama besarnya dengan bakso ukuran sedang bukti kalau selama ini tidurnya tidak pernah cukup, bahkan di masa tuanya.
Dia mengubah posisi duduknya. Kali ini tangannya menopang dagu tajamnya, dan kakinya menyila. Sesekali melihat sekitar, dan memberikan senyumnya kepada tetangga yang lewat sambil menyapa juga memperhatikan cucu laki-lakinya yang asik bermain.
Obrolan dengan diri sendiri kembali dimulai. Tentang apa saja yang sudah dia lakukan sampai setua ini, lalu kembali mengingat teman-teman semasa mudanya dulu yang berjanji untuk terus menjaga relasi. Nyatanya kehidupan tidak melulu mengikuti apa yang diinginkan.
Sudah hampir satu jam.
Matahari yang ingin istirahat dan perlahan menenggelamkan diri dari arah barat mulai memancarkan warna jingga, anak-anak kecil masih betah berkumpul dengan kawan mereka, juga mata yang dimanjakan langsung oleh puncak Kerinci.
Gunung yang sewaktu mudanya dia daki berkali-kali. Beberapa kali menemukan jejak kaki harimau Sumatra dan melihat badak Sumatra dari kejauhan sebab Kerinci adalah habitat mereka, malah membuatnya terus kembali ke gunung berapi tertinggi di Indonesia itu tanpa rasa bosan dan takut.
Menikmati masa tua di pedesaan menjadi impian banyak orang. Tidak ada suara klakson kendaraan yang memuakkan berebut jalan, knalpot hitam truk pengangkat barang yang berhasil membuat orang menggerutu, juga kebisingan orang-orang.
Sambil menyeruput kopi hitam dengan gula yang harus dua sendok, dia kembali melamun. Mulai dari cita-cita yang terpaksa harus dikubur hingga penyesalan perihal keputusan-keputusan di masa lalu.
Sampai akhirnya dia menyadari, hidup bukan tentang mencentang satu persatu keinginan yang sudah ditulis dan diharapkan. Namun lebih kepada belajar memahami dan percaya kalau penerimaan juga kelapangan hati adalah bentuk dari inti kehidupan.
||-Sukmawati
1 note · View note
xxsukmawati · 2 years
Text
Pengkhianatan
“...Dari kapan Fi?”
“Dari setengah tahun yang lalu. Pas kamu mutusin buat magang di luar kota, aku deket sama temen kantor aku... sampe sekarang.”
“Kenapa kamu baru bilang sekarang? Hari ini kita jalan empat tahun Alfian…”
“Maafin aku Naya, aku beneran minta maaf. Maaf karena aku udah khianatin cinta dan kepercayaan kamu. Maaf kalau ternyata di akhirnya aku milih dia.”
Sejak saat itu, perempuan dengan bola mata berwarna coklat dan memiliki rambut ikal itu memutuskan untuk tidak pernah percaya dengan yang namanya; pasangan, cinta, apa lagi dengan tujuan atau bahkan impian mayoritas orang-orang yaitu menikah.
Pengkhianatan yang Naya dapatkan berhasil membuat dia mengeluarkan sumpah serapah untuk laki-laki yang tidak akan pernah merasa puas dan cukup. Untuk laki-laki yang hanya memikirkan nafsu karena terlena akan datangnya orang baru yang menurut mereka lebih bisa mengerti. Untuk laki-laki memikirkan kesenangan sendiri, tanpa berpikir tentang perempuan yang dulu dia kejar-kejar cintanya.
Setelah obrolan tujuh tahun lalu, di warung kopi tempat Naya dan Alfian pertama kali kencan dan berjanjian memakai baju dengan warna senada. Menjadi sekaligus tempat mereka mengakhiri hubungan, dan Naya memilih menjalani kehidupannya kembali.
Tentu dengan tangisnya setiap malam yang didengar sudut-sudut tembok kamar kecilnya. Tentu dengan pikiran kalau semuaya tidak benar dan Alfian hanya berniat menjahilinya karena saat itu hari peringatan hubungan mereka. Tentu dengan makian dan penghakiman kepada diri sendiri karena merasa sangat bodoh.
Naya memutuskan berdamai dengan patah hatinya, dengan luka di masa lalu, dan dengan semua pengakuan menyakitkan.
Sudah tidak ada lagi sosok Alfian yang Naya lihat setiap kali dia menutup mata.
Naya tidak lagi berharap tentang Alfian yang secara tiba-tiba ada di depan rumahnya.
Bayangan tentang Alfian ketika membaca kata Americano di papan menu sudah hilang.
Mantan brengseknya itu sangat menyukai kopi pahit.
Naya menjalani hidupnya dengan sangat baik.
Tidak tahu dengan Alfian, Naya tidak mau tahu.
||-Sukmawati
0 notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Kau di liang yang satu, ku di sebalahnya
"Nanti, kalau kamu pergi duluan, terus aku gimana ya Ta..." Ucap Pandu disela-sela makan siangnya bersama Sinta. Nada serius yang keluar lebih terlihat seperti ungkapan rasa takut.
Hal yang paling sialan dalam tahap kehidupan adalah ditinggalkan, dalam bentuk apapun. Entah untuk bertemu kembali, entah untuk belajar menerima kalau kata selamanya tidak pernah benar-benar ada.
Hal sialan lainnya, harus dipaksa berdamai oleh keadaan dan orang-orang, juga dengan kesedihan pasca ditinggalkan yang nyatanya, perkataan mereka tentang harus merelakan tak semudah kata.
"Nanti, aku sisihin satu liang buat kamu persis di samping aku! Kita bakal tinggal di tengah sawah yang luaasss banget! kamu pasti suka Du!" Jawaban Sinta dengan antusias dan penuh humor perihal tempat tinggal terakhirnya.
"Oh iya, sebelum itu kita harus tanam pohon yang besar ya Du! Biar kita ga kepanasan! Hahaha." Lanjutnya.
Pandu yang mendengarnya hanya mengangguk tersenyum dan menyuruh Sinta untuk mengunyah terlebih dahulu donat tiramisu kesukaannya.
Sesekali menepuk pucuk kepala istrinya itu.
Karena apa lagi yang bisa Pandu lakukan selain mengiyakan semua perkataan Sinta, yang menurut perkataan dokter umurnya tidak akan lama lagi.
Dua tahun terakhir, Sinta rajin melakukan pemeriksaan ketika dirinya dinyatakan mengidap kanker paru-paru akibat berada di tengah-tengah kualitas udara yang buruk di tempat dinasnya terus-menerus, selama bertahun-tahun.
Rumah sakit menjadi tempat yang paling sering dia kunjungi, bergantian dengan peran coffee shop langganannya.
--
Sampai akhirnya, Pandu benar-benar ditinggal.
Perkataan Sinta tentang tempat tinggal terakhirnya di tengah sawah yang luas, benar-benar direalisasikan oleh Pandu. Tidak lupa dengan pohon besar supaya istrinya tidak kepanasan.
Tepat di samping liang kubur Sinta terdapat satu batu berukuran sedang yang ditaruh oleh Pandu, pertanda kalau tempat itu sudah ditandai untuk dirinya kelak.
Tidak ada air mata yang keluar disaat dokter memberikannya berita buruk itu.
Namun rasa marah pada keadaan bahkan tulis takdir Tuhan terus menyerangnya.
Ta, aku harap kamu denger aku di sini. Kalau pun engga, semoga Tuhan mau sampein apa yang aku obrolin di sini ke kamu nanti.
Aku ga bisa nangis Ta, tapi dada aku sakit banget. Bahkan susah banget buat ambil nafas. Rasanya, kaya lagi ada di ruangan sempit dan gelap.
Aku takut..
Sendirian..
Aku ga marah sama kamu, kalau aku marah tandanya aku ga suka kalau kamu udah ga kesakitan lagi. Aku cuma marah, kenapa waktunya cepet banget.
Kita belum ngeliat sunrise bareng di Bromo.
Kita belum muterin kota Bogor pake motor.
Kita belum cobain nasi bebek di jalan Majapahit.
Kita belum hujan-hujanan pakai jas hujan.
Kita belum duduk di pantai jam tiga pagi kaya yang kamu mau, Ta.
Ada banyak banget hal seru yang belum kita lakuin bareng-bareng...
...tapi aku ga boleh marah...
Our love will last forever ya Ta.
Semoga kamu ga terlalu kesakitan di dalam sana. Semoga pohon yang aku tanam bisa bikin kamu ga terlalu kepanasan. Semoga, aku bisa nyusul kamu, secepatnya.
||-Sukmawati
0 notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Perihal perjuangan hidup
Anak kecil itu memakai kostum badut, bersama dengan tiga teman lainnya. Mereka menepi untuk beristirahat sebentar, dan suara kendaraan dikalahkan oleh suara tawa mereka.
Di sisi lain, ada yang mengandalkan kemampuannya bermain alat musik. Gitar, Biola, juga beberapa alat musik lainnya yang membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka.
Di tempat lain, sang ayah yang menarik gerobaknya dan ibu yang membantu mendorong dari belakang, lalu para anak yang sedang tidur di dalamnya. Entah karena mengantuk, entah karena manahan lapar.
Di waktu yang berbeda, penjual balon dengan karakter hewan dan juga kartun duduk di pinggir pintu masuk pom bensin. Terlihat mengantuk, namun belum boleh pulang.
Tidak jauh dari itu, gadis kecil yang membawa karung besar di belakang punggungnya berjalan seorang diri di tengah panas dan mendungnya bulan Juni.
Di sudut kamar, remaja itu berkelut dengan tugas-tugas sialan yang tidak kunjung ada habisnya. Tidak boleh menyerah, kata mereka. Harus bikin bangga, kata yang lainnya.
Kamar mandi kantor yang menjadi pelarian para pekerja, juga tangisan yang disembunyikan dengan suara air mengalir karena hampir putusnya kepercayaan kepada diri sendiri.
Dalam macetnya jalan sore itu, ada seorang ayah yang saat di tempat kerja dimarahi habis-habisan oleh atasannya. Tetapi rasa sedihnya dia sembunyikan sesaat ada telepon masuk dari sang anak.
Rumah pagi itu cukup berantakan, semua penghuni rumah sudah pergi. Ibu yang selesai dengan tugas-tugas rumah, memakan sisa makan adik yang tidak habis sambil menyeka bulir keringat di dahinya.
Kembali ke jalanan, ada kakek yang memopong keranjang buah. Hasil panen di kebun sendiri; ada pisang, rambutan, juga jambu biji. Berjalan dengan hati-hati, berharap keranjangnya akan kosong.
Penjual makanan menawarkan masakan terbaik mereka, dengan harap bisa membantu perekonomian keluarga.
Kumpulan supir angkutan umum sedang makan siang di warung makan dekat stasiun yang aromanya bercampur dengan tempat pembuangan sampah, juga sungai yang warnanya sudah hitam.
Di sebrang stasiun, ada markas ojek online yang menunggu pesanan. Kulit mereka hitam legam karena paparan sinar matahari, saksi bisu kerasnya bekerja di jalanan.
Ada juga yang membuat pertemuan rutin dengan dokter. Kalau tidak bisa sembuh, setidaknya bisa bersiap untuk kematian. Percakapan laki-laki itu dengan dirinya sendiri.
Lagi-lagi tembok kamar yang dingin itu sudah terbiasa mendengar suara tangis yang sengaja ditahan dan juga napas yang sesak di balik selimut, kali ini masalah asmara.
Notifikasi penolakan kerja terus-terusan masuk di E-mail wanita itu. Sudah tidak ada lagi rasa kesal, karena akan percuma. Yang menjadi semangatnya hanya ucapan Ibu yang percaya kalau dia akan berhasil. Sayangnya, ibu tidak bisa memberikan bocoran kapan waktunya.
Perihal perjuangan untuk terus hidup, tidak ada kata mudah di dalamnya.
Perihal perjuangan untuk terus hidup, akan terus ada hal-hal yang di luar kendali.
Perihal perjuangan untuk terus hidup, kamu harus punya alasan kamu sendiri.
Semoga, setelah semua ini, setelah semua keringat dan air mata yang terus-terusan ditahan, akan ada hadiah. Bisa jadi berupa barang yang sudah lama diinginkan, bisa jadi ada voucher untuk makanan kesukaan, bisa jadi ucapakan terima kasih dan ucapan kebanggan dari orang tersayang, bisa jadi minuman manis yang sudah ditahan selama dua minggu, bisa jadi hadiah-hadiah kecil lainnya yang tidak disangka-sangka, akan sangat berarti.
Kamu sudah luar biasa hari ini.
Semoga tetap bertahan, sehebat apapun kamu ingin menyerah.
Kamu sudah luar biasa hari ini.
Silahkan istirahat.
Semoga para malaikat-malaikat-Nya akan terus melindungi kamu, karena Tuhan langsung yang menyuruh.
||-sukmawati
4 notes · View notes
xxsukmawati · 2 years
Text
Tentang Kamu
Namanya Dimas, laki-laki yang aku kenal saat di bangku kuliah lima tahun yang lalu. Sayangnya, satu tahun terakhir, aku dan Dimas berhenti berkomunikasi. Mungkin karena masing-masing dari kami terlalu sibuk dengan hal lain, mungkin karena perasaan juga bisa terkikis seiring berjalannya waktu, mungkin juga karena sesederhana masanya sudah selesai, atau mungkin memang bukan dia orangnya.
Aku tidak akan menulis tulisan patah hati, karena semua tentang Dimas adalah bahagia.
Jadi, mari mengulang waktu di saat aku dan Dimas pertama kali bertemu.
Laki-laki dengan perawakan yang lebih tinggi dariku dan juga pemilik kulit sawo matang ini, berhasil memberikan kesan pertama yang positif. Dia berhasil menaruh kesan, kalau dirinya orang baik, setidaknya untukku pribadi...
...atau mungkin sedari awal, aku sudah jatuh cinta.
Di awal pertemuan, kami tidak mengobrol banyak. Dimas hanya menanyakan bagaimana pengisian absen dan juga kapan kelasnya selesai. Karena saat itu kami berada di satu kelas yang sama untuk mata kuliah umum, kebetulan aku duduk di depannya. Aku dengan jurusan Sastra Bahasa Indonesia, dan Dimas yang dikenal sebagai Pak Jaksa karena saking seringnya mewakili jurusannya untuk mengikuti lomba persidangan yang tidak pernah aku mengerti bagaimana sistemnya. Iya, si anak Hukum satu itu memang lebih terlihat sebagai anak Sastra.
Rambut yang dibiarkan gondrong, pakaian yang asal, penampilan yang tidak dilebih-lebihkan, selera humor yang diterima semua orang, juga tulisan-tulisannya yang berani juga indah.
Sepertinya, jurusan kami tertukar.
Sampai akhirnya, aku dan Dimas mengobrol lebih banyak dari biasanya. Setelah kelas selesai, Dimas menghampiriku.
“Nay! Bentar-bentar!” Kata Dimas dengan sedikit berlari kecil.
“Eh Dimas , kenapa Dim? Gua ada kelas nih 10 menit lagi. Tau sendiri gedung gua di ujung. Hahaha”. Balasku tanpa bertujuan untuk menghindar, sekaligus menyuruh dua temanku yang lain jalan lebih dulu.
“Oh masih ada kelas. Gua denger-denger dari anak Mapala lu sering ke sana ya, padahal kan lu bukan anggota??” Tanya Dimas yang membuatku tidak kalah bingung karena dari mana dia mengetahui hal tersebut.
“Eh? Emang lu anggota Mapala ya Dim? Gua ga pernah ngeliat lu deh kayanya...” Aku kembali melemparkan pertanyaan.
“Gua juga bukan anggota si Nay ahahaha, gua cuma nyamperin temen gua aja, banyak yang jadi anggota soalnya. Lu gimanaa? Eh lu buru-buru ya, gua minta kontak lu aja gimana? Ada yang mau gua omongin nih tapi bakal panjang. Nanti lu telat kelas lagi.” Dimas sedikit memberikan penjelasan, dan pertanyaannya yang belum sempat aku jawab sekaligus mengiyakan permintaannya.
Bersamaan dengan tibanya aku di kelas, satu pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenal, tapi berhasil membuat senyum tipis di bibirku.
Dimas Abimanyu.
Nama lengkapnya terpampang di sana.
Setelah sedikit salam dan obrolan basa-basi, Dimas langsung membicarakan sesuatu yang sedari awal ingin dia bicarakan.
Sesuatu yang Dimas ingin bicarakan adalah, ajakan untuk mendaki gunung Merbabu bersama teman sekolahnya. Aku mengiyakannya tanpa berpikir panjang, karena sudah lama sekali saat aku terakhir mendaki.
“Oh.. gua liat gantungan kunci Semeru Nay di tas lu. Jadi gua pikir lu emang seneng naik gunung. Ternyata gua bener hehehe. Terus juga, gua tau dari anak Mapala lu sering ke basecamp. Gua pikir karena lu anggota, ternyata sama aja ya kaya gua, nemuin temen ahahaha” Jawaban sekaligus kesimpulan Dimas saat aku bertanya mengapa memilihku untuk mengajak mendaki gunung dan juga jawabanku tentang basecamp Mapala.
Sampai akhirnya; aku, Dimas, teman-teman kami di Mapala, dan juga beberapa teman Dimas dari sekolahnya memutuskan untuk mendaki di pertengahan bulan Juli. 
Tidak ingin ketemu musim hujan, kata salah satu teman saat kita rapat. Disetujui pula dengan teman-teman yang lain.
Perjalanan dari rumah Putra, teman Dimas, sampai kembali lagi ke rumahnya memakan waktu tiga malam empat hari. Kami memutuskan untuk jalan santai, karena kebetulan sedang libur semester juga perayaan selesai ujian akhir semester.
Mengambil waktu di bulan Juli bertujan menghindari hujan, ternyata tidak sesuai harap. Hujan turun cukup deras di perjalanan turun, karena mengejar waktu kami semua mutuskan untuk terus berjalan dengan memakai jas hujan. Untungnya kami tetap membawa persiapan, dan untungnya hari masih terang.
Setelah perjalanan mendakiku, aku pikir komunikasiku dengan Dimas tidak akan berlanjut. Hanya sebagai teman atau kenalan untuk mendaki gunung bersama.
Tapi ternyata, Tuhan memang sebaik-baiknya penulis.
Aku dan Dimas menjadi lebih dekat setelah pendakian.
Mungkin banyak pikiran tentang “ah, dekat dengan pendaki memang akan berakhir seperti itu. Lagi juga, tidak akan bertahan lama!”
Tapi, tahu apa mereka tentang dunia yang terlihat lebih bahagia saat aku bersama Dimas?
Lagi pula, orang yang sedang kasmaran memang buta akan kemungkinan-kemungkinan yang pahit.
Kami menjadi sering sekali bertukar cerita dan mimpi.
Kami mengetahui apa yang disukai dan tidak dari masing-masing.
Kami memutuskan untuk menjalin hubungan.
Semua kejadian di atas, berlangsung dalam waktu lima bulan. Seperti pengakuanku di awal tulisan, aku yang pertama kali menaruh rasa. Aku juga yang memutuskan untuk mengungkapkan perasaan terlebih dahulu. Puji Syukur, aku tidak jatuh cinta sendiri.
Karena tidak ada yang lebih sialan dari pada cinta sendiri, bukan?
Dengan Dimas, aku bisa menjadi diri sendiri dan tidak akan komentar atau pun penghakiman yang buruk darinya. Nama Dimas selalu muncul di saat aku ingin melakukan satu hal, sesederhana membeli balon karakter, dan Dimas selalu mengiyakan. Dimas dan Bahagia menjadi pasangan kata yang sangat pas. Bersama Dimas, untuk hal sekecil apapun, aku selalu bahagia, dan aku menyukainya.
Atau karena, aku melakukannya bersama Dimas, ya?
Sadar bukan hamba Tuhan yang taat, aku tidak berani meminta hal-hal besar.
Jadi, saat aku berbincang dengan Tuhan. Aku hanya meminta; jangan sampai Dimas tersandung saat berjalan, semoga saat Dimas buru-buru dia tidak terjebak di lampu merah, saat mengunyah semoga lidahnya tidak tergigit, semoga rem kendaraanya selalu kuat mencekam, bumbu mie kesukaannya tidak beku, jari kakinya tidak pernah terbentur kaki meja, semoga Dimas tidak pernah menangis sendirian di tengah malam, aku harap Dimas lebih banyak orang baik di sekitarnya, dan hal-hal baik juga sederhana lainnya.
Semuanya, untuk Dimas.
||-sukmawati
1 note · View note
xxsukmawati · 3 years
Text
Bulan Maret dan Hujan di Dalamnya
Sudah satu minggu, hujan di kota Surabaya terus turun dengan curah yang tidak terlalu deras, tapi juga cukup membuat badan basah kalau memaksakan untuk keluar. Puncak musim hujan memang sudah ada dibulan Januari kemarin, tapi sesekali masih menyisahkan rintiknya di bulan Maret menjadi terasa sedikit menyebalkan karena membuat beberapa orang memutuskan untuk menunda aktifitas mereka. Seperti Naura yang berniat untuk ke perpustakaan kampusnya harus gagal 2 kali berturut-turut karena cuacana yang susah diprediksi.
Naura yang sedari tadi sibuk dengan skripsinya yang tidak kunjung menemukan teknik terjemahan apa yang akan dia gunakan, menyadari kalau ada pesan yang masuk dari laki-laki yang sudah genap 2 tahun bersamanya. Randi, nama laki-laki itu Randi. Perkenalan sedikit, Naura dan Randi bertemu di sebuah toko buku daerah Manyar Kertoarjo, Surabaya. Saat itu Naura sedang mencari Novel keluaran terbaru karya Andrea Hirata dan Randi yang katanya, ingin menggenapkan koleksi komik Slam Dunk miliknya.
“Gimana? Kamu jadi pake teknik terjemahan apa?” Notifikasi pesan Randi siang itu, bersamaan dengan suara hujan yang cukup deras dari jendela ruang tamu Naura.
“Aku belum tau Ran, ini harus dianalisis dulu perkalimat. Tapi kayanya kebanyakan pake Established Equivalent sama Borrowing, deh.” Balas Naura memberikan gambaran.
“Mau aku bantu? Nanti kalau hujannya sedikit reda, aku ke rumah. Kamu juga belum makan ya dari pagi, nanti sekalian makan ya Ra.” Lanjut Randi mengirin pesan balasan.
“Aku mau makan terus main sama kamu aja deh Ran, aku pusing banget mikirin skripsi!!.” Randi tidak melihat wajah Naura tapi dia tahu betul kalau Naura sedang memasang muka melas.
“Aku juga sebenernya bingung pas tau kamu masuk Sastra Inggris, terus fokusnya Terjemahan pula. Kamu kan nyanyi Night Changes aja masih suka nanya aku artinya. Harusnya kamu ikut aku ambil Sejarah Ra.” Ejek Randi berusaha mencairkan suasana.
“Randiii!!!!! Ada juga kamu yang selalu chat aku setiap mata kuliah umum! Terus aku disuruh masuk Sejarah? Kemarin siapa yang tiba-tiba nelfon terus marah-marah karena dosen kasih nilai sedikit di mata kuliah sejarah Amerika? Terus ngedumel karena pusing sama Historiografi? Sejarah Agraria apalagi! Katanya mau balik aja jadi anak SMA.” Naura yang balik mengejek Randi tentang nilainya yang lama sekali keluar, dan ketika sudah keluar hanya dapat 75.
Ada senyum simpul dari laki-laki itu.
“Hahaha ah kamu ga seru deh, aku kan lagi godain kamu. Pokonya nanti aku ke rumah ya, selain mau bantuin ya bisa ketemu kamu juga. Kan lumayan sekali dayung dua tiga pulau terlampui.” Pesan balasan dari Randi kembali masuk.
“Aku pesen ayam geprek level 7!!!” Balas Naura dengan semangat, padahal Randi belum bertanya Naura ingin dibawakan apa.
“Enak aja, kamu kemarin udah ga bisa berdiri gara-gara makan mie pedes ya Ra, terus minum aku diabisin semua pula, level 2 aja. Lagi juga apa enaknya sih Ra makanan pedes, ga bisa dinikmatin tau.” Balas Randi memberikan omelan juga nasihat, tetapi terbaca sangat lucu dan manis bagi Naura.
“Randi itu ga pedes sama sekali… Yaudah level 5 deh.” Naura yang masih mencoba untuk bernegosiasi untuk ayam gepreknya.
“Level 3 atau ga aku bawain ayam geprek? Kamu makan burjo aja nanti aku beliin.” Mengingat Naura yang tidak suka burjo. Pernah saat pertama kali Randi membawakan burjo atau bubur kacang ijo, Naura yang awalnya terlihat penasaran tapi akhirnya hanya memakan satu sendok karena katanya, rasanya aneh. Randi tertawa melihatnya.
“Yaudah yaudah, level 3 deh aku ngalah. Kamu galak banget, masa kamu makan ayam geprek aku makan burjo yang aneh itu sih!” Balas Naura merengek yang ditambahin emotikan menangis.
“Hahaha kali ini aku yang menang! Yaudah nanti aku ke rumah ya.” Balas Randi cukup lama karena bundanya memanggil untuk dibantu memberikan makan Sing, kucing Persia miliknya.
“Okayyy, hati-hati ya! Jangan lupa bawa SIM sama STNK nanti di jalan Basuki Rahmat biasanya banyak polisi tilang terus kamu ditilang, polisinya serem-serem!!” Balas Naura sekaligus berakhirnya obrolan siang itu.
Kehidupan Naura dan Randi sebagai mahasiwa semester akhir memang banyak sekali menimbulkan cerita suka duka. Naura yang menyesal mengambil program studi Sastra Inggris dan Randi yang kesal dengan salah satu dosen mata kuliah Sejarah Amerikanya. Tetapi, mau bagaimanapun katanya hidup harus tetap berjalan dan waktu akan terus berputar. Tidak peduli apakah orang-orang di dalamnya sedang merasakan tekanan bahkan timbul keinginan untuk menyerah berkali-kali, hidup harus tetap berjalan. Sampai pada akhirnya, tanpa Naura dan Rani sadari mereka sudah ada diakhir semester dan dengan sedikit usaha yang lebih keras lagi, mereka mendapatkan gelar Sarjana.
Kadang, hidup memang terlihat sangat lucu untuk orang-orang yang dipaksa harus menerima dan menelan realita hidup, sedang sebenarnya sangat ingin berhenti, tidak peduli pahit atau manis. Kadang, hidup juga bisa terasa sangat menyenangkan untuk orang-orang yang akhirnya menerima hal baik karena tetap percaya; kalau hal buruk tidak akan bertahan selamanya.
Naura pernah membaca satu kalimat dari seseorang di sosial media: Kita memang tidak bisa terus menerus mendapatkan hal baik, tapi, hal baik akan selalu ada. Karena itu, untuk Naura pribadi dia selalu berpikir; sekacau apapun pikiran dan masalahnya, semuanya akan kembali menjadi baik, karena balik lagi, hidup akan terus berjalan dan waktu terus berputar.
Hari mulai sore dan hujan sudah mulai sedikit reda, suara klakson motor yang Naura yakini milik Randi sudah berbunyi di depan rumah memaksa untuk dibukakan gerbang.
“Nanti, kalau kamu ke sini lagi terus ga diizinin masuk sama satpam perumahan aku, aku biarin aja ya. Ga aku bantuin.” Ancam Naura yang mencoba menakut-nakuti.
“Hahaha, iya-iya ampun.” Balas Randi diiringi dengan tawa, yang jika mendengarnya Naura merasa tenang.
“Tau ga aku bawa apa?” Lanjut Randi yang langsung mengajak Naura bermain tebak-tebakan setelah memarkirkan motornya di garasi rumah Naura.
“Apa? Mana ih ayam geprek aku, aku laperrr!” Balas Naura merengek.
“TAARAAAAA!!” Jawab Randi dengan senyum yang memperlihatkan barisan giginya yang rapih.
Randi membawakan jus jambu dengan mix jeruk nipis, yang juga disambut dengan senyum riang Naura karena kebetulan Naura lupa menitip minuman. Laki-laki itu selalu melakukan hal-hal kecil untuk kekasihnya, tanda kalau cinta tidak melulu tentang kata dan kalimat manis. Jus jambu dengan mix jeruk nipis  akhir-akhir ini menjadi minuman kesukaan Naura dan dia selalu memesannya ketika mereka berdua pergi makan. Kata Naura rasanya asam segar, tapi kalau kata Randi dia lebih baik meminum air putih 2 gelas dari pada harus meminum jus itu.
Randi tidak terlalu suka minum air putih, tapi dia lebih tidak suka minuman asam. Katanya, lebih enak banana milkshake kesukannya atau Thaitea original langganannya dekat gedung Fakultas Hukum.
Mereka berdua memutuskan untuk masuk rumah, karena hujan yang belum benar-benar reda ternyata turun kembali, kali ini kembali deras. Setelah menyapa Ibu Naura dengan salam yang dibalas dengan senyuman, Randi dan Naura pergi ke ruang tamu yang sudah berantakan dengan kertas-kertas yang Naura gunakan untuk membantunya mengerjakan skripsinya. Mulai dari beberapa lembar dari para penelitian sebelumnya, lembar analisis yang Naura pakai, teori-teori terjemahan yang sangat membuat Naura pusing, sampai materi Linguistik yang memang tetap diwajibkan untuk mahasiswa Terjemahan.
“Sayang, ini berantakan banget.. kamu abis ngamuk ya?” Tanya Randi ketika baru melangkahkan kakinya di ruang tamu Naura, sedikit kaget.
“Hehehe tadi aku lagi analisis Ran, terus sekalian mau ketik buat penelitian sebelumnya karena di BAB 2 seenggaknya harus ada 2 sampai 3, terus aku baru dapet segini.” Balas Naura bersamaan dengan mengambil dan menunjukan lembar penelitian sebelumnya kepada Randi, dan senyum giginya.
Melihat Naura yang memelas, Randi mengusap kepala Naura gemas. Randi tahu betul kekasihnya sangat kewalahan, tetapi tetap ingin melaukan yang terbaik.
“Yaudah sini makan dulu yuk, nanti aja dilanjut. Ayam gepreknya udah manggil terus dari tadi. Terus pas di motor wanginya sampe idung aku tau, tadinya mau aku makan di depan tuh sama pak satpam.” Ucap Randi mencoba untuk menggoda Naura agar setidaknya tidak terlalu pusing memikirkan proposal skripsinya.
Naura tersenyum,
Randi semakin jatuh cinta.
Setelah mereka selesai makan dan membereskan bungkus-bungkus makanan dan bersantai sejenak, karena mereka benar-benar kekenyangan, Randi yang berjanji untuk membantu Naura mengerjakan proposal skripsinya akhirnya berpindah tempat duduk di depan laptop.
“Ra, karena aku ga tau cara analisisnya, ini aku bantu ketik aja ya. Jadi kamu yang bacain hasilnya. Kamu sambil tiduran aja ga apa-apa, kasian mata kamu kena laptop terus dari malem.”
“Kamu ga apa-apa? BAB 3 kamu udah selesai? Technique of data collection kamu udah? Kemarin katanya masih nyari?” Tany Naura sekaligus menanyakan juga bagaimana proses proposal Randi.
“Teknik pengumpulan data, Ra…” Jawab Randi mengoreksi.
“Hahaha iya-iya teknik pengumpulan data. Aku kebiasaan ngomong technique of data collection soalnya.” Gadis itu tersenyum lebar.
“Iya deh mahasiswa Sastra Inggris… Udah ko Ra kemarin aku dibantu sama Abi, BAB 3 aku aman. Abi juga udah selesai. Padahal kerjaannya di kampus godain adik tingkat di depan fakultas, terus kalo ke kampus pernah ga mandi Ra, cuma pake celana training sama kaos, terus sepatunya sepatu bola!” Jelas Randi yang diselipkan cerita tentang teman dekatnya dari semester satu.
“Itu kan karena kalian abis main futsal sama anak Teknik terus Abi nginep di rumah kamu akhirnya. Pasti baju sama celananya punya kamu, ko ga dipinjemin kemeja, sih?” Balas Naura menebak dengan percaya diri.
“Hahaha iya Ra abis main futsal, terus prodi aku kalah 2-5. Abi ga mau Ra, udah aku tawarin! Katanya udahlah ini aja, gua cuma satu matkul nanti langsung balik kos. Hahaha.” Lanjut Randi menjelaskan.
“Emang ya pertemanan kalian tuh….” Balasan terakhir dari Naura karena mereka kembali memutuskan untuk mengerjakan.
Suasana di ruang tamu Naura kembali sepi, hanya ada suara keyboard yang diketik dengan cepat dan lagu-lagu dari daftar lagu kesukaan yang dibuat Naura dan Randi. Naura yang membacakan hasil analisisnya sembari menyeruput Thaitea original milik Randi karena jusnya sudah habis bahkan sebelum Naura menghabiskan makanannya, dan Randi yang sesekali tidak mengerti dengan istilah asing yang baru dia dengar mencoba bertanya ulang kepada Naura dan meminta untuk membacanya pelan-pelan, sesekali minta untuk dijelaskan.
Tepat pukul 7 malam, Naura dan Randi selesai menyelsaikan (setengah) dari analisis. Tidak sadar hari sudah gelap, karena Randi tiba di rumah Naura sekitar pukul setengah 5 sore akibat Randi yang sempat mencari tempat berteduh saat hujan sedikit deras dalam perjalanan ke rumah Naura.
Naura dan Randi sama-sama tidak suka memakai jas hujan. Kalau saja Randi tidak membawa makanan, Randi memilih untuk berbasah-basahan sampai rumah Naura.
“Ra, aku baru inget. Kamu tuh udah 2 malem ya begadang terus?” Pertanyaan Randi yang tiba-tiba cukup membuat Naura kaget, karena dia tidak bisa berbohong untuk mencari alasan.
“I-iya… abisnya selain ngerjain proposal, tugas aku juga numpuk Ran. Creative Writing, History of Indonesian, terus aku ga paham kenapa aku ambil mata kuliah pilihan Export-Import, masa aku terus-terussn disuruh nulis surat ke luar negeri dan segala macem barang harganya.” Jawab Naura memberikan alasan.
“Ra, sebanyak apapun tugas kamu, jam tidur kamu ga boleh berantakan. Kebiasaan ya nunda ngerjain tugas terus akhirnya numpuk, aku aduin ke Ibu biarin aja. Nanti bisa kena asam lambung sayang, asam lambung kan bukan karena makanan pedes aja, kamu juga disuruh makan susah banget. Nanti, tidurnya jangan larut ya, kamu bisa cepet mati, ga jadi sarjana.” Omelan Randi yang terlihat lebih kepada seorang kakak yang memberitahu adik kecilnya.
“RANDDDIIIIIII KOK KAMU OMONGANNYA SEREM BANGET!!!!!!!!!!!” Balas Naura berteriak bersamaan dengan memukul lengan Randi.
“Hahaha ampun Ra, ampun. Makanya jangan begadang terus, kesehatan kamu loh.” Balas Randi halus.
Malam itu, sudut-sudut rumah Naura berisikan canda tawa dari dua insan manusia yang sengaja ditakdirkan Tuhan untuk bertemu. Berbicara perihal takdir memang cukup membuat banyak manusia berpikir; apakah benar adanya atau hanya kebetulan. Tapi Naura percaya, tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya sudah tulis tangan Tuhan.
Saat bertemu di toko buku waktu itu, Naura dan Randi memutuskan untuk mengobrol sebentar setelah Randi yang pertama kali menyadari kalau itu Naura, teman sekelompoknya saat ospek dulu. Bisa saja Naura membatalkan niatnya untuk ke toko buku 2 tahun silam karena kebetulan sepupunya dari Lombok datang, tapi Tuhan membuat Naura memutuskan untuk tetap pergi. “Aku pulang sebelum Kinan dateng Bu, janji!” Kata Naura saat meminta izin kepada ibunya. Begitupun dengan Randi, bisa saja Randi memilih pergi ke toko buku yang dekat dengan rumahnya, hanya 10 sampai 15 menit. Tetapi Randi memilih ke daerah Manyar Kertoarjo yang memiliki jarak tempuh hampir 45 menitan, sekalian jalan-jalan, batinnya dulu.
Sama dengan masa lalu yang tidak perlu lagi dipikirkan karena memang sudah lewat, masa depan pun sama. Dari pada terkesan mendahului takdir Tuhan, lebih baik fokus pada masa sekarang yang sedang dijalani. Entah akan berkahir seperti apa, tapi dalam batin Naura bersamaan dengan tawa Randi yang mengisi sudut ruangan, Naura berdoa dan meminta kepada Tuhan untuk jangan dulu ambil semestanya.
Biarkan begini saja,  biarkan Naura dan Randi tetap bisa memesan ayam geprek kesukaan mereka, biarkan mereka bertengkar karena Naura yang susah sekali diberitahu perihal jam tidur, biarkan Randi tetap bisa meluapkan emosi karena dosennya yang memberi nilai sedikit, biarkan mereka tetap melakukan hal-hal kecil namun indah, biarkan tetap seperti ini. Terdengar egois, tapi Naura tidak pernah bisa berpikir bagaimana hari-harinya tanpa laki-laki yang dengan kalimatnya, Naura merasa tenang dan nyaman.
Bulan Maret dan hujan di dalamnya. Terasa sangat manis untuk Naura dan Randi, walaupun tahun ini banyak sekali kejadian yang tidak terduka, setidaknya Naura dan Randi saling memiliki untuk paling tidak memberi semangat. Sepertinya Tuhan dan para malaikatnya ikut tersenyum melihat dua hamba-Nya saling bertukar tawa dan cerita. Hujan turun semakin deras seolah ikut menggoda dua insan ini untuk terus berdua, dingin yang menusuk kulit dan angin yang cukup besar seolah tidak ada apa-apanya ketika masuk lewat sela-sela jendela melihat Naura dan Randi masih asik berbicara.
||-sukmawati
0 notes
xxsukmawati · 3 years
Text
Hati-Hati di Jalan
Kemarin, suara [kita] di telepon menguap ke sudut-sudut ruang kamar. Sesekali karena obrolan yang tidak ada inti khusus, sesekali karena aku yang mudah sekali tertawa dan kamu yang kadang suka berguyon.
Kemarin, harapan-harapan tentang [kita] yang mungkin bisa bersama mulai muncul sedikit demi sedikit. Bersamaan dengan cerita-cerita kehidupan yang kamu bagi, karakter dirimu yang semakin hari aku pahami dan pelajari, juga mimpi-mimpi kecilmu yang aku bantu aamiin-kan.
Sampai pada akhirnya..
Dering telepon dengan nama lengkapmu yang tidak pernah absen kemarin semakin lama semakin sering bolos, dan berakhir benar-benar tidak pernah datang. Suara tawa yang menganggu semut-semut kecil yang hanya ingin tidur, sudah tidak lagi ada. Sudut-sudut kamar yang lama kelamaan menjadi dingin, karena hangatnya sudah pergi bersamaan dengan kepergian kamu yang tanpa basa-basi.
Harapan-harapan yang tadinya terbang sangat tinggi, terjatuh begitu saja. Mungkin karena angin di atas sana terlalu kencang, atau bisa jadi sayap yang dipakai kurang cocok. Kedatangan kamu yang terlalu tiba-tiba membuatku sedikit bingung, atau lebih ke lupa diri kalau [kita] juga mempunyai masa.
Seharusnya aku lebih bisa belajar tentang; ada pertemuan dua anak manusia yang hanya untuk memberikan pelajaran hidup dan memang bukan untuk jadi satu, ada banyak sekali perasaan-perasaan tidak terbalas dan sampai ke pemiliknya, dan ada realita kehidupan yang harus aku terima untuk dihadapi sekacau apapun itu dan aku tidak boleh marah.
Seharusnya aku bisa lebih paham. Mungkin saat itu kamu hanya butuh pendengar dan teman cerita, dengan percaya dirinya aku membangun khayalan kalau kau dan aku bisa menjadi [kita].
Seharusnya aku lebih bisa membaca situasi karena saat itu kamu baru saja lepas dari masa lalu dan kebetulan aku datang, atau aku lebih bisa peka kalau kamu sedang dekat dengan orang lain, dan mengendalikan diri agar tidak jatuh hati secepat ini.
Karena pada akhirnya, aku yang menyakiti diriku sendiri.
Padahal, kamu hanya bercanda ya?
Laporan tentang hari-hari yang sudah dilewati atau sekedar pertanyaan basis pun hilang bersamaan dengan aku yang mempertanyakan apakah karena sikapmu yang sulit sekali aku tebak, atau masalahnya ada di diriku sendiri.
Selepas perpisahan, ucapan hati-hati di jalan sekaligus aku yang mengharapkan agar kamu melanjutkan perjalananmu untuk merealisasikan mimpi dan harapan yang sempat kamu bagikan.
Paling tidak, hiduplah dengan baik.
Paling tidak, untuk dirimu sendiri.
Aku juga akan melanjutkan perjalananku sendiri.
Belum tahu akan ke mana, tapi yang bisa aku pastikan di setiap langkah di depan nanti, bayangan tentang kukira kita akan bersama tidak pernah hilang.
Pertanyaan-pertanyaan atau lebih terlihat seperti makian kepada dunia yang maksudnya sulit untuk dipahami terus menyerang pikiran. Kata orang-orang, semuanya perihal waktu.
Maka dari itu, semoga lambat laun rindu ini menghilang.
Untuk kesekian kalinya, maaf karena aku yang berani sekali menaruh rasa.
||-sukmawati
0 notes