Text






alice in wonderland lockscreens
reblog or like if u save it
4K notes
·
View notes
Photo

Terry Smith/ Time Life Pictures, via Getty Images “When you are faced with the possibility of an early death,” he recalled, “it makes you realize that life is worth living and that there are a lot of things you want to do.”
3 notes
·
View notes
Quote
MENGAPA

Apa tujuan paling fundamental dari kehidupan? Rumi mengumpakanya dengan bila kita tengah diutus raja mengunjungi suatu desa hanya untuk satu tugas. Namun, kita telah mengerjakan banyak hal dan lupa akan perintah dari sang raja, berarti kita tidak mengerjakan apapun. Rumi menyimpulkan sejatinya manusia hidup untuk satu tugas tertentu. Sebetulnya jelas yang dimaksud Rumi mengenai tujuan manusia mengapa dilahirkan. Bila bertanya pada Gandhi ia beranggapan bahwa hidup adalah pesan. Dan juga jelas seperti maksud Rumi, pesan yang mengandung value untuk dicipratkan pada sesama dan pada akhirnya bermanfaat.
Politik, yang diambil dari bahasa Yunani dan berati berkaitan dengan warga negara. Bila menurut Aristoteles dalam teori klasiknya, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Keduanya menjadi pengartian yang salah bagi penerapan di Indonesia. Di tahun 2009 pernah terjadi koalisi antara Megawati Soekarnoputri dan Probowo Subianto menjelang Pilpres 2009. Entah, adakah yang masih mengigat berhubung kedaan situasi politik sekarang keduanya seperti Tom & Jerry. Menurut kubu mereka, koalisi tersebut adalah simbol perjuangan rakyat yang diharapkan dapat membangkitkan perekonomian rakyat atau bisa menjadi simbol yang lain mungkin? Kembali pada beberapa bulan lalu, spekulasi koalisi Prabowo muncul setelah pertemuanya Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Bila diperjelas, di tahun 2009 adalah dimana masa kemenangan SBY yang membuat Megawati-Prabowo berkoalisi mengalahkan pihak yang menang, sedangkan pertemuan SBY dan Prabowo bisa jadi koalisi kedua mantan jenderal meskipun hanya sebatas spekulasi. Jelas, keduanya tak akan mendukung pemerintahan Jokowi malah sebaliknya. Kedua pengamatan tersebut melambangkan perlawanan politik Indonesia hanya sekedar melawan yang menang tak dilandasi simbol perjuangan rakyat. Banyak rakyat tertipu akan hal itu. Ada juga dengan agenda kampanye dengan sekedar acara hiburan semata yang membuat rakyat terhibut. Visi misinya terlupakan, hiburan menjadi komoditas agenda kampanye penguasa. Masalah ini sama bahanya dengan feodalisme bekas Jepang.
1 note
·
View note
Text
PERDJOENGAN KITA


Dalam penulisan politik indonesia pertama setelah era proklamasi berjudul "Perdjeangan Kita", Sjahrir menuturkan revolusi harus mempunya dua corak. Corak pertama, merupakan revolusi nasional yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pihak kedua merupakan revolusi kerakyatan yang bertujuan untuk mengubah struktur sosial dalam masyarakat. Ia menuturkan revolusi ini wajib dipimpin oleh golongan demokrais yang revolusioner. Golongan demokrais revolusioner yang bersih dari noda-noda yang telah terjual pada fasis jepang. Entah, siapa yang dimaksud Sjahrir dalam tulisan tersebut, akan tetapi banyak orang berspekulasi bahwa yang dimaksud adalah Soekarno dan tokoh-tokoh yang mempunyai hubungan khusus dengan penguasa Jepang. Masih relevan kah masalah feodalisme tersebut bagi masa sekarang?
"..Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin."
Inilah tuturan yang jelas sangat relevan bagi masa sekarang. Sebagai pemuda saya juga turut merasakan akan hal itu, masalah leadership. Sjahrir menegaskan generasi muda tak cukup dengan modal semangat kobar-kobar kebangsaan, haruslah terisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarkatan bila ia tak mau menemui jalan buntu. Kebanyakan, melakukan suatu kegiatan yang berhubungan dengan bangsa tak dilatari oleh semangat kemasyarakatan maupun kerakyatan. Segalanya hanya sebatas ekonomi, tren, dan popularitas yang fana. Jiwa nasionalisme hanya sekedar menancap pada dada. Untuk menancapkan lebih dalam menembus jantung hanya dapat terdorong oleh semangat kemasyarakatan dan kerakyatan.
Di zaman peralihan tahun 1969, masalah tersebut dialami teman seperjuangan Soe hok gie yang tengah duduk nyaman menikmati kursi Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPR GR) sehabis perjuangan menumbangkan Soekarno. Lantas, Gie mengumpulkan barang tak lazim untuk dimilikinya seperti gincu, bedak, dan kutang. Semua barang tersebut ia bagikan pada teman-temanya sesama aktivis '66 sebagai bentuk pertanyaan perjuangan kemanusian mereka dan rasa kemanusian pada tragedi pembantaian mengerikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun seringkali menghadiri diskusi anti-PKI Gie yang antikomunis tetap menjunjung kemanusiaan setinggi-tingginya. Ia berani mengungkapkan pembantaian kepada mereka yang dituduh terlibat dengan PKI. Beberapa kali mendapat ancaman dan tekanan namun, Komitmenya terhadap kemanusiaan masih terikat erat pada jantung hatinya. Lain dengan teman seperjuanganya, rasa kemanusian yang terhenti oleh jabatan dan kemewahan.
2 notes
·
View notes
Text
TAQLID

Nongkrong, kata yang sempat terbang menuju Amerika serikat dan tertempel pada salah satu artikel New York Times yang berbunyi, “In many ways, the convenience store’s evolution was a given in a country like Indonesia, where the penchant for hanging out runs so deep that there is a word for sitting, talking and generally doing nothing: nongkrong.” Doing nothing? kata tersebut melekat pada kegiatan tak produktif atau sia-sia. Subyektif memang, tapi tidak salah. Generasi muda Indonesia dibilang mengalami krisis identitas sedang galau. Padahal, generasi muda adalah jantung dari sebuah negara yang menentukan kearah mana negara tersebut.
Human resources is the big part of great country. Pada sumber manusia terdapat masalah mentalitas dan mindset ikut-ikutan tanpa mengetahui apa dasarnya menjadi pedang yang menusuk pada jantung generasi muda saat ini. Tak menemukan kebenaran ataupun jati dirinya dalam diri sendiri malah menemukanya dalam perkenalan dunia luar yang sangat mungkin tak cocok pada dirinya sendiri. Jati diri dan kebenaran seolah dijual belikan layaknya tren. Mengeluarkan fatwa dalam kondisi awam meludahi dan menertawakan setiap jati diri dan keyakinan. Menjalani hidup tanpa keyakinan fundamental menentang kebenaran mayoritas dan menjadi anarkis kritis seakan akan tahu bagaimana kebenaran sejati. Berpikir kritis bukan sekedar mengikuti tren atau ingin mendapat cap kritis tapi harus menempatkan keyakinan kebenaran sejati pada pikiran. Bagaimana bisa mempunyai kebenaran sejati bila tak menempatkan keyakinan pada kepalanya?
Bersenang senang inginya, menjadi hedon atau kasarnya menajdi objek pasar konsumsi. Tak heran bila Indonesia dari dulu tak pernah mendapat kesempatan menjadi Big player in global world dan kenyataanya menjadi objek yang tercambuk produk luar atas nama tren. Natural resources menjadi tak penting bila tak diikuti dengan human resources dengan baik. Bila Negara mempunyai human resources yang baik maka seluruh natural resources yang terdapat pada seluruh bumi bukan tidak mungkin menjadi miliknya. Istilah "Indonesia NOW market" bukan hanya angan-angan bila masalah krisis identitas generasi muda dapat diatasi dengan baik.
1 note
·
View note
Text
GENIUS

Banyak orang terpikir nama-nama sohor seperti David Beckham atau Cristiano Ronaldo bila mendengar Manchester United. Orang tak musti bisa melupakan setiap lesatan indah yang masuk ke jaring gawang dari kaki Cristiaono maupun Beckham. Padahal keduanya pernah menciderai hati fans Manchester United dengan hengkang ke klub asal Spanyol Real Madrid. Beda musim, Beckham hengkang pada tahun 2003, Criastiano pindah pada pertengahan 2009. United telah membesarkan mereka, Keduanya didepak oleh Fergie, banyak fans terciderai akan kepergian mereka. Namun, si Genius disini bukan untuk Cristiano atu Beckham, bukan pula Fergie. Fergie memang genius, Paul Scholes juga tak kalah jenius. Tak ada yang mencolok darinya selain rambut merahnya. Scholes tak suka gaya selebritis yang telah membuat rekanya David Beckham didepak oleh Fergie. Ia lebih nyaman dibilang sebagai pemain sepak bola daripada selebritis atas raihan trofinya bersama United.
Rambutnya merah, tubuhnya mungil, wajahnya pucat. Scholes dapat menunjukan antara loyalitas dan kualitas secara bersamaan. Fergie dapat tidur nyenyak bila memikirkanya. Wajahnya seolah-olah permainan adalah miliknya, umpanya lebih akurat daripada ramalan cuaca, gol-golnya lebih spektakuler dari penampilan sulap. Dimana penggila bola menyebutkan nama Zinedine Zidane bila ditanya soal playmaker terbaik, lucunya Zidane sendiri menganggap Scholes lah playmaker terbaik. Bila kita tanyakan pada Samir Nasri “seperti apa Scholes?” Ia menjawab the English Zizou. Tak hanya pemain belakang lawan yang kesusahan merebut bola darinya wartawan pun kesusahan mewancarainya. Tak pernah ada yang tahu mengapa, ia tak pernah menjelekkan, mencela, mengkritik.
Sempat main, pensiun, main kembali, lalu pensiun lagi. Pada tahun 2011 Scholes memutuskan pensiun. Pertandangin terakhirnya menggilas klub New York Cosmos dengan skor 6-0. Kata “Genius” tertulis pada koreografi fans United. Awal tahun 2012 kembali, layaknya pahlawan yang siap membantu, Scholes main lagi setelah memutuskan pensiun pada tahun 2011. Pemain berambut merah, berseragam merah ini membantu United meraih gelar liga Inggris pada musim 2012/2013. Legenda hebat Brazil Socrates tak segan-segan memujinya bagai melamarnya. "Dia lebih dari cukup untuk bermain bersama timnas Brasil," katanya. "Saya selalu menyukai cara bermainnya, melihatnya melakukan umpan, seorang bocah berambut merah dengan seragam berwana merah."
2 notes
·
View notes
Text
IDEALISME (2)

Idealisme. Satu-satunya kemewahan yang dimiliki pemuda kata Tan malaka, yang tumbuh disetiap jiwa muda yang bisa sama atau beda dengan pemuda yang lainya. Chairil anwar, penyair sekaligus seniman bombastis, pelopor angkatan 45, yang semasa hidup tak pernah dihargai oleh para kritikus sastra. Identik dengan nilai sastra dengan bahasa yang lugas dan tak sedikitpun dihias-hias, seolah merusakkan nilai sastra itu sendiri. Lain lagi setelah binatang jalang ini wafat, tak ada kritikus yang tak memuji-muji setengah mati sampai mengakui sebagai peolopor pembaruan seni sastra di Indonesia. Memulai karirnya pada masa penjajahan jepang, diinterogasi, disiksa sampai wajahnya penuh luka tak terlihat punya siapa. Menolak tawaran hidup bersama ayahnya yang telah memadu ibunya. Sastrawan yang tak bisa terdiam sunyi melihat apapun yang ia lihat. Tak seperti yang lain, Chairil lebih memilih mekonsumsi buku ketimbang nasi.
Chairil tak hanya mengolah sastra Indonesia namun, ia adalah sumber dari sastra Indonesia. Menjadi penyair Indonesia menurut Aan Mansyur harus menjadi Chairil, disisi lain bila tak mau jadi Chairil hanya ada satu pilihan, melawan Chairil. Disaat penyair lain dizamanya dengan senang menikmati faislitas-fasilitas yang diberi Nippon, Chairil malah meludahinya dengan tak ikut serta. Kemerdaan bukan hanya sekedar kata-kata yang terucap baginya, kemerdekaan menjadi puncak Everest dalam kata-kata pada semangat kapalnya yang berlayar pada uratnya. Pada saat dimana semua orang bekerja tetap, berangkat pagi jam tujuh dan pulang jam dua, Chairil lebih memilih hidup melepas bebas karena “Sekali berarti, sudah itu mati.” Chairil pernah sekali menulis sajak pada Bung Karno yang berbunyi :
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh Ia tak hanya dipanggan oleh api, ia yang membakar dirinya sendiri. Chairil adalah kuda paling binal, berbulu putih dan berlali di pusat kota Jakarta. Ia tak peduli pada yang ada di sekelilingnya, dia meringkih alangkah dahsyatnya, menapak dan menyepak alangkah merdekanya. Dunia ini seolah cuma menjadi miliknya dan sekaligus seolah dia berbicara :
Aku
Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
2 notes
·
View notes
Photo

SEJARAH
Seabad lalu, setahun lalu, sebulan lalu, kemarin, dan sedetik yang lalu baris urut memperkokoh sejarah. Saya tidak tahu, apakah sejarah dapat dipercayai kebenaranya dan saya juga tidak tahu sejarah apakah sebuah keyakinan? ataukah hanya kejadian yang terjadi begitu saja lalu, lupakan saja. Karl R. Popper menuliskan dalam A pluralist Approach to the philosophy of History filsafat sejarah berhubungan dengan 3 pertanyaan besar yaitu “1. What is the plot of history, 2. How to write the history or what is the method of history and, 3. What is the use of history?". Seluruh pertanyaan tersebut adalah hal yang fundamental namun, "The use" disini menjadi bagian yang paling vital dari tiga pertanyaan tersebut. Kebenaranlah harusnya jadi hal yang sangat fundamental dalam sejarah, saya juga tak tahu persis benar yang seperti apa. Jika filsafat Hegel menyatakan “Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real”. Tidakkah aneh? Seringkali saya menemukan sejarah yang bersifat irasional.
Sebagaimana seseorang beranggapan sejarah harus dibumbui sesuai kepentingan. Apakah bumbu tersebut adalah rasionalitas? pernyataan itu membuat kita tidak dapat menolak bahwa sejarah dapat diselewengkan untuk kepentingan keadaanya. Belum lagi, pernyataan "Sejarah ditulis oleh yang menang" bisa saja benar. Bisa jadi yang memberi bumbu-bumbu adalah si pemenang. Lantas, masih pantaskah sejarah yang kita pahami dapat dipercaya?
Sejarah bukan sekedar kejadian masa lampau, tetapi pemahaman masa lampau yang didalamnya mengandung berbagai dinamika, mungkin berisi problematik pelajaran bagi manusia berikutnya. Bagaimana bisa jadi problematik bagi generasi selanjutnya jika sejarah tersebut sudah dibumbui dan diragukan lagi kebenaranya. Sejarah sudah mengkhianati keyakinan dan kebenaran. Yang semula tidak berpihak, keberpihakan sejarah pada pemenang sudah nampak jelas. Namun, satu hal mau tidak mau kita tak boleh berhenti memplejari sejarah. Sejarah tumbuh dan berkembang layaknya mahluk hidup.
1 note
·
View note
Text
O gamis.
Saya seorang muslim. Bukan radikal maupun liberal. Pangkal dari memusuhi pun beragam. Bisa berawal dari perbedaan sehingga munculnya rasa benci. Norma-norma agama tidak dijalankan penuh tidak juga dijadikan pedoman dengan benar. Ketika sudah memenuhi norma A bukan berarti sudah memenuhi seluruh norma agama. Masih ada norma B-Z. Nilai-nila agama yang kian luntur menjadikan kata "Tuhan sudah mati" relevan menggambarkan keadaan masa sekarang. Umat muslim yang menggelar kericuhan dituding sebagai Islam radikal cikal bakal teroris. Mengenakan atribut gamis dan bercelena cekak dituing menjadi ciri khas dari muslim radikal. Yang beragama non-muslim seakan-akan menjadi manusia terkutuk yang tinggal di neraka selama-lamanya. Saya pernah sholat di masjid di suatu daerah kota saya yang mayoritas jamaah nya menganut paham salafiyah. Tak jarang juga faham ini dituding sebagai islam radikal. Saya sholat diwaktu kurang tepat pada jam 19:30 an tinggal seorang mungkin sudah berkepala 4 sendirian. Beliau mengenakan kopiah berwarna putih. Jelas beliau pasti berjanggut yang tebal dan dilengkapi dengan busana gamis, Beliau adalah orang yang bertugas untuk memastikan baitullah yang bernama ibnu khaldun aman, bersih dan siap dikunci. Namun saya menjalankan sholat diwaktu beliau akan mengunci pagar. Begitu beliau melihat saya ingin menjalankan ibadah isya' beliau mengurungkan niat untuk mengunci pagar dan langsung tersenyum kepada saya. Tak usah menanyakan apa yang saya akan lakukan beliau langsung membuka pintu masjid dan menghidupkan lampu masjid. Saya menyegerakan wudhu dan beliau duduk mungkin sedang berdzikir menyebut asma Allah dalam hati. Seusai menunaikan ibadah sholat isya' saya sempat berbincang-bincang. Beliau orang nya ramah dan murah senyum padahal saya tidak tahu jika sepatu saya menginjak lantai yang bertuliskan SUCI. Beliau tidak menegur sama sekali kepada saya malah kata "Hati-hati" yang terucap dari lisan beliau. Pada long weekend orang tua saya mengajak jalan-jalan ke mall ternama di kota Malang. Ayah dan ibu saya megunjungi salah satu toko yang menjual buku-buku agama kristen. Mengetahui ibu saya mengenakan jilbab si penjaga toko bilang dengan nada yang lembut dan senyuman hangat bahwa di toko hanya menjual buku-buku agama kristen. Sesuatu yang berbeda akan tetapi menimbulkan kesan baik dan hangat jika diingat. Jika ada pribadi yang salah jangan menyalahkan agama, ras, golongan, maupun keluarganya tapi ingatkanlah pribadi tersebut.
4 notes
·
View notes
Text
Pendidik yang sebatas kewajiban.
Saya manusia yang hidup di era 2000-an. Dimana manusia dimanja dengan teknologi yang maju dan canggih. Sosial media dijadikan medan tempur perang pendapat dari golongan manapun. Teknologi yang canggih sudah merubah nasi menjadi bubur. Siswa tak harus lagi belajar di sekolah, mereka dapat belajar pada internet. Pendidik dan kurikulumnya tak luput dari salah satu yang menjadi bubur. Tentu, saya sendiri tak tahu persis pendidikan di era tahun 80-an maupun 90-an.
Kurikulum yang baru menuntut siswa lebih aktif daripada sang guru. Aktif bukan berarti guru tersebut tinggal memberi soal dan duduk manis begitu saja dan juga bukan menerangkan apa yang harus diterangkan lalu tak acuh pada murid yang tidak mengerti. Pada dasarnya semua siswa itu bodoh, kalau tidak bodoh mereka sudah tidak perlu bersekolah lagi. Bahkan, tidak jarang pula disaat saya memandang sosok guru saya merasa seperti kaum proletar yang sedang memandang kaum borjuis. Perasaan minder pun muncul sehingga membuat siswa takut salah dan merasa yang paling bodoh. Sang pendidik juga tak bisa mengutuk siswa yang nakal begitu saja. Pada dasarnya semua siswa sama saja guru tidak boleh membedakan perlakuan dari siswa satu dang yang lain. Tindakan tersebut jelas mengundang perasaan minder.
Ratusan ribu sekolah disibukkan mengejar reputasi baik untuk sekolahnya masing-masing. Korban dari realita tersebut sudah pasti mereka yang tidak acuh pada aturan sekolah tersebut. Tidak perduli kemanusiaan maupun hak asasi manusia lagi. Mereka diasingkan menuju sekolah yang kualitasnya jauh lebih buruk dari sekolah sebelumnya. Kecerdasan setiap individu membentuk kelas dalam pendidikan. Mereka yang pintar dari yang lain dapat menyombongkan diri menempuh pendidikan dengan kualitas yang bagus sedangkan mereka yang dianggap bodoh harus mengalami deskriminisi pendidikan.
"Guru bukan dewa selalu benar, dan murid bukan kerbau", Soe hok gie.
3 notes
·
View notes