Suka duka seorang ibu dalam mempersiapkan sekolah dan bersekolahh lagi :)
Last active 60 minutes ago
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Perjalanan mencari jawaban
Kemarin aku mencoba banyak ngobrol tentang empati ke orangtua bersama chat GPT. Di kala semua manusia hidup bertahan dan psikolog yang jadwalnya jauh sekali, jujur chatGPT sangat membantu karena sebenernya kubutuh temen ngobrol yang bs membantuku refleksi.
Aku mencoba mengambil beberapa momen konflik dengan ayahku yang kuabadikan di dalam buku "Tentang Hubungan-Hubungan yang Kita Miliki." Kemudian aku meminta chatGPT untuk membantuku melihat kenapa sih ayahku bisa seperti itu, sampai ketemu lagi tulisanku di 2021 tentang bagaimana Tazkiyatun Nafs bisa jadi jalan untuk membasuh luka pengasuhan.
Dan aku mulai menyadari, bahwa mungkin aku tidak pernah benar-benar genuine meminta kepada Allah untuk aku bisa melihat secara utuh orangtuaku. Aku hanya berfokus pada what did they do, bukan utuh kepada manusianya (insight dari chatGPT juga).
Dan malam ini, aku atas izin Allah aku bangun dan sengaja ngajak ngobrol Allah buat bantu aku melihat secara utuh ayahku. Aku mencoba melihatnya di masa kecil, tapi rasanya cuman seperti serpihan kecil aja karena aku baru menyadari bahwa ayahku jarang sekali bercerita masa kecilnya. Masa sebelum SMA. Dia hanya banyak cetia masa setelah bapaknya meninggal (kelas 2 SMA).
Aku jadi bertanya-tanya, kenapa ya?
Was it too painful to remember?
Was it too hard to revisit that moment?
Aku berusaha untuk empati.
Serpihan-serpihan kecil masa kecil ayahku yg aku tau, hanyalah dia SD di Sukabumi. Kemudian masa SMP di Jakarta. Potongan cerita dari kakaknya ayahku kalau nenekku (ibunya ayahku) juga sering dipukulin sama suaminya. Kemudian ayahnya yang jarang datang karena nenekku istri kedua.
Udah. Aku gak pernah mendengar part itu secara utuh.
Dan kalau dari ceritanya, memang ibu seperti pusat semestanya. (Ayah yg jarang datang, ibu dengan 4 anak, ayah yang meninggal saat ia masih sekolah).
Dan aku seperti berpikir bahwa memang mungkin _dunia terlalu jahat padanya_ sampai dia pun akhirnya harus keras pada diri sendiri untuk bertahan, dan terlalu lama, akhirnya hanya itu satu-satunya cara untuk survive di dunia, tanpa tahu bahwa kita harus gentle kepada diri sendiri dan orang lain.
Yang akhirnya menjadi abnormalitas mengungkapkan cinta (seperti misalkan keras karena sayang, padahal kami anak-anaknya terluka) karena dia tidak pernah tahu bahwa kasih sayang itu lebih bisa diterima dengan berlemah-lembut.
Akh!
Selain mulai mencoba melihat ayahku sebagai manusia yang utuh (dari masa kecil yg menyakitkan juga & persepsi dia terhadap hidup) aku juga mulai coba menyelami kenapa tinggi hatiku ini muncul dan aku sulit sekali berempati kepada orangtuaku dalam perjalanan memaafkan ini.
Aku tetiba menemukan jawabannya, karena selama ini sebelum tahun 2017 aku merasa dewasa (dan punya otoritas sendiri untuk pergi ke psikolog), aku selalu memendam dan menyimpan semua rasaku terhadap orangtuaku karena aku beranggapan bagaimanapun mereka aku tetaplah anak yang harus banyak bersyukur karena mereka telah membawaku sampai titik ini.
Aku-adalah-anak. Sudah-bersyukur-saja-karena-orangtuamu.
Gak punya otoritas lebih. Aku merasa gak punya kontrol atas semua, karena aku adalah anak.
Dan ketika aku berproses bersama psikologku, aku ikut SIAWARE, aku membaca banyak sekali informasi tentang relasi orangtua dan anak, aku jadi merasa bahwa aku ternyata punya kontrol. Aku bisa bangkit dari perasaan yg kupendam bertahun-tahun di kotak pandoraku.
Dan itulah yang akhirnya membuatku merasa *Aku punya kontrol* dan malah kebablasan, padahal mungkin benar aku punya kontrol tapi amat sangat terbatas, dan tentu yang maha kuasa yang paling punya kontrol segalanya: takdir memiliki orangtua yang seperti itu (yang gak bisa diubah), Alhamdulilah ketemu psikolog sebelum menikah, belajar untuk memaafkan sambil juga menjadi orangtua, menjadi generasi pendobrak untuk memutus intergenerational trauma tapi pasti nggak akan sempurna juga jadi orangtua.
Padahal, kita perlu tahu persis sampe sejauh apa otoritas dan kemampuan kita. Dan sebesar apa pula kuasa Allah yg maha membolak-balikkan hati dan juga penulis naskah terbaik kehidupan ini. Jadi, tidak perlu selamanya tinggi dan keras karena berserah dan pasrah, bukan berarti kamu lemah tapi kamu rendah hati dengan keterbatasanmu sebagai manusia.
Melbourne, 21 Agustus 2025
4.16 pagi
4 notes
·
View notes
Text
Mencari lagi jawaban
Kemarin aku bertemu dengan orangtuanya temanku yang baru kukenal di Melbourne. Jujur rasanya kaya agak aneh, soalnya kita beda kewarganegaraan, tapi islam-lah yang menyatukan kita. Jadi beberapa waktu lalu, aku pernah whatsApp bapaknya dan aku tanya, apakah beliau bisa membantuku untuk menemukan jawaban, kenapa aku tak kunjung bisa memaafkan orangtuaku?
akhirnya hari yang dinanti tiba. Kami (Aku, suami, bapaknya temenku dan ibunya temenku) berdiskusi di salah satu restaurant di Melbourne. Kami makan siang bersama, dan aku memang lebih ingin mendengar perspektif dari orangtua karena aku gak pernah bisa mendengar orangtuaku dengan segala bias dan prejudice-ku.
Aku tau, ini semua bukan tentang orangtuaku. Ini tentang diriku yang belum bisa menerima apalagi memaafkan. Aku gak pernah berharap orangtuaku mengatakan apa-apa, toh tidak bisa menghilangkan luka itu, jadi memang semua ini tentang diriku.
Dalam obrolan itu, mereka menyampaikan bahwa mereka juga bukan orangtua yang sempurna, bahkan anak-anak mereka juga pergi ke psikolog atas ketidaksempurnaan mereka di masa lalu. Disini aku sadar, bahwa kedekatan dan intensitas hubungan itu emang matters banget dalam membuat gesekan dalam hubungan, pun bagi keluarga yang aku lihat oke banget.
Kemudian mereka juga menyampaikan bahwa mungkin anak-anak punya childhood trauma, tapi orangtua juga punya parenting trauma. Tekanan, circumstances, life events yang terjadi during the parenting itself ataupun intergenerational trauma mereka yang belum solving.
Terus aku ditanya, kamu tau kenapa ayah kamu sebegitu abusive kepada kamu dan ibumu? dan aku selalu bilang sama semua orang bahwa aku TAHU ayahku kaya gitu, karena dia adalah anak dari istri kedua yang ayahnya gak hadir secara utuh, kemudian ayahnya juga abusive kepada ibunya, jadi itulah "gambaran menjadi ayah" di benak dia.
Ya mungkin sekarang pas nulis ini aku jadi kaya mikir sih, kenapa ya kok ayahku tolol banget, apa sih yang dia rasain waktu dulu dia ngeliat ibunya dipukulin? kenapa dia gak reflect bahwa dipukul itu gak enak, dan don't do it to others dong, HARUSNYA.
Tapi memang hal itu didapatkan ketika kita berusaha untuk membawa hal yang berada di alam bawah sadar kita ke alam sadar kita. Dan jujur aja emang itu gak mudah dan butuh latihan untuk terus punya awareness itu.
Dan jujur aja sih, emang kalau ngeliat nenekku yang udah hampir 10 tahun bed-ridden karena stroke tapi nggak meninggal-meninggal itu, aku emang rasanya juga pengen marah ke beliau. Pengen memaki ke beliau. Pengen maki sambil ngomong "Kenapa lo jahat banget sama ibu gue? kenapa lo jahat banget ke ayah gue dulu?" TAPIIIII.... Kalau melihat lagi lebih dalam, kenapa nenek gue kaya gitu, jujurr karena intergenerational trauma jugaaaa 🥲
Nenekku tuh 21 bersaudara (buset dah). Terus bapaknya tuh berdakwah karena dulu kan masih jaman-jaman perang Indonesia. Dan dia juga rasa-rasnaya gak punya figur keluarga secara utuh. Keluarganya struggle kehidupannya. Dan akhirnya dia malah jadi istri siri karena nggak tau rasanya disayang sm laki-laki yg "bener" dan ternyata laki-laki tsb (bapaknya ayahku) juga abusive dan dia terima aja, sampe akhirnya meninggal tuh orang.
Gila sih kl mau di trace terussss keatas mungkin ada aja ya traumanya. Mungkin kakek buyut gue juga dulu, karena lagi jaman perang, idupnya susah, boro mikirin mental health, mau mikirin idup besok apa nggak aja belom tentu, saking susahnya makan. So, intergenerational trauma tuh beneran ada banget 🥲
Dan semalam aku pillow talk sama suami, aku nanya, kenapa ya walaupun aku tahu bahwa ayah kaya gitu karena ada luka yang gak resolved tapi aku gak bisa let go? kenapa aku gak bisa nerima?
Dan kalau kata suamiku, karena aku masih belum rendah hati untuk berempati kepada ayahku (especially).
RENDAH HATI UNTUK BEREMPATI.
poin yang menarik.
Ketinggian hatiku atas segala informasi yang kudapat, kemudahan akses psikolog yang kupunya mungkin jadi penyebab ketinggian hatiku ini :( homework ku sekarang adalah merendahkan hatiku untuk lebih berempati kepada kedua orangtuaku. But i'm still figuring out how, tapi seengganya puzzle nya udah ketemu satu.
Rendah hati itu sebenernya salah satu poin yang ditekankan banget sama tokba, makanya suamiku bisa bilang seperti itu.
Tokba, ayahnya temanku itu juga mengingatkan bahwa aku dan mogi pun akan jadi parents yg imperfect, makan kita juga harus rendah hati. Selama ini sudah mencoba rendah hati sama orang lain, berempati juga, tapi ternyata ke orang terdekat jauh lebih sulit apalagi ketika dia membuat luka sm kita, duh.
Another point adalah ketika Oma (ibunya temenku) ngomong tentang sulitnya menjadi orangtua karena perbedaan circumstances, di masa lalu, dan entah kenapa aku tiba-tiba sadar, bahwa Kenapa ya aku gak bisa menerapkan rasa tawakal ku kepada Allah di masalah dengan kedua orangtuaku?
It's past. It's already happend. Sakit emang. Tapi, bukankah semua yang terjadi adalah bagian dari takdir Allah? Sesuatu yang sudah tertulis di laul mahfuz ratusan tahun sebelum kamu lahir? Tapi setiap takdir Allah yang menyakitkan, bukankah Allah nggak pernah aniaya sama hambanya?
Aku tiba-tiba tertampar sendiri, karena ketika kemarin kami kena scam $2900 dollar, aku dengan mudahnya langsung berdoa dan percaya bahwa ini adalah takdir Allah yang sudah tertulis dan kita pun sebagai manusia nggak punya kontrol atasnya.
Dan kenapa di permasalahan hubunganku dengan orangtua aku ngerasa punya kontrol? Padahal nggak bisa diubah sebegimanapun juga. Kenapa aku nggak ngerasa pasrah dan taawakkal aja atas apa yang sudah terjadi? jujur baru sadar banget kenapaaa aku gak punya mindset ini in the first place :"
fyuuhhhhh..... piece by piece puzzle nya lengkap. walau belum utuh, tapi semoga menjadi wasilah buat ketenangan diriku dengan menjadi pribadi yang lebih rendah hati dan juga ubah mindset ku, sehingga bs lebih bisa menerima takdir Allah huhuhuhu.
7 notes
·
View notes
Text
Sesuatu yang hilang
Ternyata sesuatu yang hilang selama belajar di Melbourne ini adalah temen diskusi. Temen berbagi pengetahuan. Temen melihat dari sudut pandang lain. Temen belajar lebih jauh (bukan sekadar membahas assignment).
Hal yang hampir dengan mudah kutemukan di Jakarta. Ingin mengobrol apa, rasa-rasanya tinggal wa janjian ketemu sambil makan malam misalkan? Tapi disini semua memang sibuk bertahan masing-masing.
Aku menyadari sesuatu yang hilang itu selepas tadi mengobrol banyak dengan Kak Fikru. Ia adalah kakak kelasku di Rumah Kepemimpinan. Kami tidak pernah bertemu di Indonesia karena beliau memang based di Yogya. Baru dipertemukan disini.
Beliau baru saja lulus PhD tahun lalu. Mengambil S2 di bidang Health Economics di Belanda dengan latar belakang klinis sepertiku tapi beliau dokter.
Belakangan aku lagi sering main ke rumahnya karena aku sedang “menantang” diri untuk mengambil matkul health economics (semester lalu) dan Economic Evaluation (semester ini) padahal aku hampir gak bisa hitung2an sama sekali 😭 motivasiku mengambil matkul ini cuman agar punya skill mengkuantifikasi segala hal yang berkaitan dengan kesehatan ini, agar jika nanti kembali bekerja di lembaga donor lagi, aku bisa punya skill untuk menjustifikasi pilihanku untuk mendanai project.
Itu saja. Bukan aku ingin jadi analis atau bagaimana.
Dan setiap mengobrol dengan Kak Fikru rasanya mataku banyak terbuka karena dunia health economics adalah dunia yang gak pernah kepikiran untuk aku sentuh sebelumnya dan aku sangat terbantu dengan belajar bersama Kak Fikru.
Kami membahas tentang perbedaan hidup di Australia dan Belanda. Tentang riset di Indonesia. Tentang orang-orang di sekitar kita yang keren-keren 😂 juga tentang perbedaan setting klinis dan riset.
Sebagai orang yang suka ngobrol, ngomongin topik tentang kesehatan tapi dari sudut pandang lain rasanya sungguh mengasyikkan. Memang, duniaku jadi menyempit ketika disini.
Datang terlambat, fokus mengerjakan hal yg bisa dikerjakan selama anak di childcare. Terburu-buru menjemput lagi. Mana ada waktu untuk berdiskusi dan berdialektika. Sabtu minggu ada kegiatan lain dan dipakai untuk istirahat.
Aku merasa seperti punya mentor yang bisa membimbingku, karena bahasan kami juga tentang rencana karir, kendala analisis data yang kualami di risetku, sampe tentang memilih supervisor yang baik.
Ah iya, aku tidak punya mentor selama S2 ini, membuatku menjadi tertatih-tatih sendiri dan tidak bisa berpegangan. Ya untungnya tinggal 1 semester dan 1 mata kuliah lagi. Tapi kalau aku bs mengulang waktu mungkin aku mau punya mentor PhD yang bisa membimbingku untuk membantuku memilih mata kuliah dan shaping my interest biar bisa lebih tajam setelah lulus MPH.
4 notes
·
View notes
Text
berkelebat
lagi kembali belajar statistik karena econ eval ternyata ada sangkut pautnya sama statistik ternyata. Aku yang ngersa lemah di kuanti dan gak jago juga di kuali (duh yaAllah olah data Alor belum kepegang) harus bener2 kerja keras di bidang riset ini.
tiba-tiba entah kenapa berkelebat jalanan pasar palmerah yang biasa kulalui di tahun 2013-2014 saat aku masih Ronin di NF Palmerah. Aku gatau pesan apa yang mau Allah kasih ke aku, mungkin tentang proses mencari ilmu yang emang selalu menyakitkan dan menyenangkan? bimbel dari bintaro ke palmerah demi masuk PTN. Eh tahun depan udah keterima PTN, malah cari PTN lain dan sekarang dapet beasiswa sekolah di luar negeri dan ternyata ujiannya juga banyak banget?
juga 2 hari lalu, sehari setelah kejadian scam itu, aku ngerasain banget sih kalau di Melbourne juga kaya kawah candradimuka jilid 2 😭🤣 sekolah dengan peran baru sebagai ibu, gak ada ART, duami kerja kuli, duh yaAllah pembelajaran apa ini kalau bukan menguji fisik, dan mental.
Masih memproses kejadian scam kemarin. Yakin banget Allah gak pernah aniaya sama hambanya cuman masih gak bisa terima aja ada orang yang jahat di tengah orang kesusahan.
0 notes
Text
Being on Public Health Sector
kemarin aku lit di instagram, ada nakes yang harus menyebrangi sungai untuk mencapai salah satu rumah pasien. Aku ternyuh. Aku yang punya nilai kesetaraan, selalu nyeri melihat ketidakadilan dan ketidaksamarataan akses fasilitas nakes di daerah dan di kota.
Dulu, aku pengen banget jadi orang yang berada di desa, dan langsung hands on ke pasien. Tapi demi menyadari bahwa aku juga nurse karbitan, yang setengah semester profesinya dijalankan dengan online, aku ngerasa gak punya skill yang mumpuni sebagai tenaga kesehatan yang bisa langsung hands on ke pasien, yet karena posisi aku di kota, berarti aku harus memindahkan seluruh keluargaku kesana.
Dan aku berpikir, kenapa gak aku utilize aja apa yang aku punya sekarang?
Aku yang tinggal di kota bukan di desa.
Aku yang lebih pede sama public health daripada keperawatan.
Aku yang punya jejaring.
Aku yang punya pendidikan yang baik.
Dan dengan apa yang aku punya, aku gak harus jadi mereka di daerah untuk berkontribusi. AKu bisa jadi diriku dengan resources yang aku punya.
Mungkin bisa dengan menulis paper?
Mungkin bisa dengan pitching ke investor?
Mungkin bisa dengan membuat project empowerment di desa?
Mungkin bisa mengadvokasikan untuk para nakes di daerah?
Aku bisa jadi “perantara” para nakes di daerah agar bisa punya fasilitas yang lebih baik, punya akses jalan yang lebih proper, punya insentif yang lebih manusiawi. I don’t have to be like them, but i can contribute for them.
Walau, mendekati kelulusan, aku juga masih gak tau bisa berkontribusi dimana agar aku bisa jadi “perantara” itu.
Semoga Allah mudahkan jalannya nanti.
0 notes
Text
Day-9 Mengenali Emosi bersama WJ

Hari ini belajar tentang kecewa, dan kecewa bisa terjadi kepada siapa aja ya, terutama kepada orang-orang terdekat, fyuh..
Aku tadi malam melihat-lihat lagi tulisan lama, dan mencari-cari tahu kenapaaku bisa memutuskan menikah dengan pria yang sekarang menjadi suami dan bapak dari anak-anakku. Aku ingin merasakan rasa kasmaran itu lagi. Apalagi belakangan hidup rasanya sedang melelahkan sekali dan membuat kami sering kali bertengkar.
Dan rasanya seperti semua salahku. Suamiku selalu marah atas kesalahan kecilku, dan dia merasa paling berhak marah dengan mendiamkanku dan marahku adalah marah yang tidak bisa diterima karena marahku adalah marah verbal. Dan menurut dia marah dia adalah yang terbaik karena hanya diam, padahal sama-sama menyakitkan.
Pagi ini rasa kecewa itu datang lagi. Aku sudah tidak menahannya dan aku menangis keras-keras di mobil sampai anakku bertanya kenapa sedih? kenapa menangis dan lain sebagainya, hingga aku bilang "can you please stop asking me and giving me a space?" anak usia 3 tahun itu terdiam.
Rasa kecewaku mungkin bertumpuk, setelah semalam dia mendiamkan ku lagi (ke 1000000X), dan tadi pagi saat anakku bangun aku sudah bertanya, siapa yang akan mengantar dia? aku merasa energiku terbatas pagi ini karena aku sedang puasa ganti. Dan aku melihat rumah yang berantakan, dan dia jarang sekali merasa tergerak untuk membereskan rumah dan selalu menjadi tanggung jawabku.
dan tanpa bisa kutahan akhirnya aku menangis kencang. Rasanya capek selalu jadi orang yg bertanggung jawab untuk rumah, anak, dan pekerjaanku menjadi seorang researcher untuk duduk menulis, itu dianggap pekerjaan yang tidak penting. aku hampir gak punya waktu untuk itu di dua minggu ini.
Rasanya tolol ya terus-terusan bertahan sama orang yg mengecewakan kita. dan rasanya lelah jika apa yang kita kerjakan tidak dianggap penting dan cuman dia yang penting.
Mungkin lebih baik aku mati aja ya biar gak ngerasain sakit ini terus-terusan, capek.
0 notes
Text
Day-8 mengenali emosi bersama WJ

Tapi aku gak setuju dehh sama perkataan ini. Aku belajar banget buat gak menyesal karena aku percaya semua yg aku lakukan itu udh yg terbaik dan hasil bukan aku yg atur tp ada semesta yg lebih besar yg mengatur.
Aku belajar utk gak menyesal tapi belajar untuk lebih baik kedepannya dalam kegagalan ataupun ekspektasi yang terlalu besar.
Aku belajar, bahwa penyesalah sering kali malah jadi menyalahkan apapun atau siapapun yg bs disalahkan. Diri sendiri, orang lain, lingkungan. Padahal apa yang terjadi itu - dalam kepercayaanku - udah diatur di laul mahfuz jauhhhh sebelum kita lahir di dunia.
Tapi tentu kl ada kesempatan lain selalu ada yg bs diperbaiki dan ditingkatkan 😆❤️
—————
Sudah separuh jalan journaling ini dilakukan. Dan hari ini aku berkonflik lg dengan suamiku karena weekdays kemarin memang sangat padat dan masing-masing dari kami capek bukan kepalang fyuhhh. Sehingga ego kami tinggi, merasa yang paling capek, dan merasa hal kecil saja bisa jadi pemantik konflik :(
Lalu aku menenangkan diri di dalam lemari (literally). Aku menangis. Berpikir kenapa pernikahan ini susah sekali. Kemudian aku (lagi-lagi) ada sisi menyalahkan kedua orangtuaku yang membuat banyak sekali luka dan membuat pola konflik dan komunikasi dengan suamiku tidak sehat.
Tapi ditengah “menunjuk orang lain atas perasaanku itu” aku menyadari bahwa orangtua tidak pernah menyerah. Dengan segala keterbatasan mereka, mereka tetap carry on sampai hari ini dan mereka gak menyerah. Buatku yang dikaruniai psangan yang suportif dan komunikatif (tentu dengan segala kekurangan dan kelebihannya) dan tidak abusive, masa aku mau menyerah? Dan bayang2 anakku yang berkoget-joget mencoba mendistraksi kedua orangtuanya yang lagi berkonflik membuatku tergugu, bahkan anakku saja berusaha untuk meredakan konflik tsb dengan caranya, she’s not even 4 🥺
Aih benar sekali perjalanan berdamai dengan luka ini mungkin seumur hidup. Bahkan tidak ada jaminan sampai aku menutup usia apakah aku sudah bisa berdamai dan memaafkan masa laluku? YaAllah 🥺 aku mau hidup tenang tanpa bayang2 rasa sakit yang berlama-lama
0 notes
Text
Day-7 mengelola emosi bersama WJ

Aku merasa aku adalah orang yg komunikatif. Hampir semua hal bisa aku sampaikan kepada orang dengan tanpa rasa sungkan. Tentu saja apalagi kepada pasangan sebagai orang terdekat. Paling sering muncul adalah harapan tentang dia berlaku dan memperlakukanku seperti apa dalam rumah tangga ini.
Dan saat membaca prompt yang diberikan, harapan itu ternyata bisa juga dibentuk dari pengalaman masa lalu. Seperti misalkan, Aku berharap suamiku bisa membantuku di rumah karena aku pengen rumah jadi sarana kesetaraan kita, bukan hanya tugas dan tanggung jawabku sebagai perempuan saja.
Dan ini sangat dipengaruhi oleh masa laluku yang tumbuh besar tanpa melihat ayahku pernah hands on di pekerjaan rumah tangga, semua yg mengerjakan ibuku.
Tapi, harapanku mgkn kdg terlalu tinggi. Hal yg dilakukan suamiku juga tentu saja berkaitan dengan masa lalunya. Ia juga tumbuh besar dari orangtua yang melihat semua dikerjakan ibu, sehingga ia (mkgn) merasa bahwa kontribusi kecil saja, itu sudah beyonndd untuk seorang laki-laki. Padahal menurutku, hal yg dia lakukan, JAUH DIBAWAH STANDARKU yg memiliki harapan untuk membagi rata pekerjaan rumah tangga ini apalagi tidak ada yg membantu selama berada di Melbourne.
Aih.. harapan oh harapan.. walaupun sudah dikomunikasikan berkali-kali kepada orang terdekat dan kecewa berkali-kali krn tidak terpenuhi, dan berulang kali kecewa juga. Aku jd bertanya-tanya bagaimana mengelola harapan yg sehat? Kata terapisku, mgkn memang harus recara rigid membagi tugas biar berasa tugas dan tanggung jawabnya.
Huft, itupun masih blm dijalankan skrg walau sdh disepakati.
0 notes
Text
Day-6 mengenali emosi bersama WJ

Belakangan aku lagi sering cerita tentang kebahagiaanku dengan salah satu seniorku yang suka bareng-bareng belajar di kampus, namanya kak dita. Kami beda jurusan, cuman karena waktu itu kita pernah ikutan simulation class barengan, terus suka satu ruangan pas belajar, kita jadi deket. Apalagi peran beliau yg sbg seorang ibu, bikin apa yg aku ceritain jadi relate banget!
Minggu ini kak dita lagi suka nemenin aku di Grand Laguna, tempat kerjaku. Sambil aku kerja, sambil aku tipis-tipis ngobrol karena beliau lg masa adaptasi lagi setelah sebulan penuh pulang ke indo dan skrg LDR-an lg dengan anak dan suaminya.
Aku jadi nemenin dia dan dia nemenin aku yg selalu shift sendirian di toko.
Karena dia adalah orang yg baik dan tulus aku suka berbagi rasa Freudenfreude kepadanya. Seperti kemarin, aku cerita kalau abstrak yang aku kirim ke Planetary Health Annual Meeting, bukan hanya diterima sbg poster pitch tapi diminta untuk menulis paper dan insyaallah auto accepted (dgn peer-reviewed dulu tentu saja!) aku seneng bgt dan mau berbagi kebabagiaanku ke dia karena aku tau dia akan ikut seneng dan karena kita punya topic interest yang mirip!
Dia berkaca-kaca dan mengucapkan selamat kepadaku! Tapi aku blg bahwa ini bukan hanya tentang aku tapi tentang orang-orang yg sangat suportif di sekitar aku. Reza yang hampir nggak pernah bilang enggak sm ide-ideku. Reza yang selalu coba support dari sisi dia dan kitabisa. Kak dita juga of course jadi temen diskusi aku krn dia kan masternya emg ambil environment murni.
Aku seneng berbagi sama orang yg share same energy denganku. Walaupun by the end aku jg share di medsos but dapet ucapan langsung rasanya beda (well di medsos gak ada yg ngucapin congrats gt sih, cm pd nge-love doang. Lol).
Alhamdulillah dikeliling orang2 baik
3 notes
·
View notes
Text
Day-5 mengenali emosi bersama WJ

Kayanya aku mengurangi untuk membandingkan diriku dengan orang lain semenjak lulus SMA. Ketika jalanku berbeda dari teman kebanyakan karena aku tidak lanngsung kuliah. Aku merasa membandingkan diri sudah gak relevan dengan diriku yg memang beda start.
Lalu semakin-semakin berkurang ketika akhirnya aku masuk UI dan orang-orang yg menjadi juniorku 2 tahun dibawah menjadi teman seangkatan. Secara tingkat pendidikan kita mungkin sama, tapi secara asam garam kehidupan, tentu berbeda. Aku sudah mengarungi kehidupan pasca SMA dan merasakan dunia kuliah duluan, berbeda dgn mayoritas teman2ku yg benar-benar baru lulus SMA.
Mungkin sekarang perasaan yang lebih sering muncul sekarang-sekarang ini (setelah mengetahui bahwa diri ini adalah outlier) adalah Aku ingin bisa seperti dia jadi lebih ke perasaan positif yg menginspirasi untuk bekerja dan berusaha lebih keras agar aku bisa seperti dia. Dan perasaan tersebut mungkin berangkat dari rasa kagum dan hormat, ya. Bukan dari perasaan negatif atau ingin membuktikan kepada orang lain gitu.
Kalau aku coba ingat-ingat mungkin ini banyak terpengaruh dengan lingkungan yang positif juga. Di rumah kepemimpinan dulu, masing-masing bisa berprestasi tanpa perlu menjatuhkan orang lain. Begitupun di FIM (Forum Indonesia Muda) yang didorong adalah nilai-nilai kebaikan dan suportif.
Pun dengan kedua orangtuaku. Sepertinya aku tidak pernah diajarkan menjadi oendendan ataupun bersenang atas kesedihan orang lain. Yg diajarkan adalah nilai-nilai empati dan senang atas keberhasilan orang lain.
Well, uhm… aku sadar bahwa orangtuaku gak sepenuhnya jahat atau gak baik. Tapi mereka meninggalkan luka tetap sebuah fakta yang aku msh belum bisa maaafkan :(
1 note
·
View note
Text
D-4 mengenali emosi bersama WJ

Beberapa orang menganggap diriku apa adanya. Aku dulu dianggap pembawa suasana menyenangkan karena aku selalu “berusaha” menjadi menyenangkan.
Time flies, apalagi setelah bertemu dengan psikolog dan membongkar masa kecilku, aku tau “berusaha menjadi menyenangkan” itu adl mekanisme diriku agar bisa diterima karena aku merasa tidak diterima di rumah. (Oh tentu saja pasti orangtuaku akan men-deny ini karena mereka bilang mereka sayang aku tp mereka juga menyakitiku dengan perilaku abusive dan kata-kata menyakitkannya).
Apalagi setelah menikah, aku merasa aku gak harus berusaha untuk diterima. Sudah ada suamiku yang menerima aku dengan segala baik dan burukku. He is my safe haven.
Walau begitu aku tetap berusaha untuk menjadi baik, tapi bukan menyengaja menjadi baik.
Aku bisa selalu menjadi rentan kepada suamiku dan anakku. Dan… aku juga mulai berbagi kerentananku dengan banyak orang yg kurasa tepat.
Tentang perjalanan ke psikolog yg belum usia.
Tentang masa kecilku yg penuh kekerasan.
Tentang bagaimana aku belum bisa sepenuhnya memaafkan orangtuaku.
Tentang kehilangan anak pertamaku.
Tentang perkataan bapakku yg menyakitkan setelah anakku meninggal dan anak keduaku melahirkan. - ah sial, bagian ini masih sakit sekali ketika diingat. Bgst sekali bagaimana seorang bapak lebih mementingkan mobilnya daripada anaknya yg baru kehilangan bayi yg dilahirkan atau tentang tubuh anaknya yg mgkn tidak akan menarik setelah melahirkan bayi. It is beyond your business bgst.
Ah aku jadi ter-trigger.
Aku garau gimana cara memaafkan bapakku yg mulutnya jahat itu. Dulu ada masa dimana aku men-feedback habis2an dia, tapi tentu yg didapatkan hanya denial dan pembelaan. Tidak ada rasa bersalah maupun maaf. Aku gerah dan lelah, sekarang aku lebih tidak mau peduli dengan kata-katanya.
Aku sangat bersyukur kita berjarak. Aku jd tidak perlu mendengarkan kata-kata menyakitkannya.
Kalian pasti tahu bagaimana aku terjebak dalam dilema ingin memaafkan tapi juga masih sakit saat mengingat semua. Walau aku tahu, mungkin dia yg sakit jiwa karena ketidak-aware-an dia thd dirinya dan demi masa lalu dirinya, tapi untukku tetap berat untuk diterima dan dilepaskan.
Lelah sebenarnya memiliki perasaan seperti itu. Tapi aku juga belum menemukan cara meaafkan…
————————
Aku lg nulis ini trs tb2 ke trigger sendiri dan malah ngalirin emosi dari ke-trigger-an ku itu 🥺
Ada yg mau berbagi kah bagaimana cara memaafkan orangtua? Jujur aku capek bgt huwaa udah 7 tahun berproses bolak balik sm psikolog. Tapi aku sendiri entah kenapa masih banyak perasaan yg tertahan di dada. Udh coba disampaikan sm yg berkaitan tapi yg aku dapatkan hanyalah pembelaan dan denial. Makin-makinlah aku kesel 🥺
Aku tau bahwa ketenangan datang dr diri sendiri bukan orang lain. Psikolog ku juga ngajarin buat memeluk Ainna kecil spt yg kak @~Lenny lakukan tapi setiap aku menutup mata akutuh ngeliat diriku kecil yg compang camping berdarah-darah penuh luka dan aku terlalu takut untuk sekadar duduk sama dia…
Dan bahkan salah satu anxiety aku utk kepulangan ke indo yg sebentar lagi adl orangtuaku. Aku gak mau sering2 ktm mereka. Krn sering kali berujung menyakitkan dan menyedot energi aku 😭
Hwaah mixed feeling bgt maafin malah curhat tp salah satu tujuan aku ikut ini, aku pengen bgt bs lebih mengelola emosi sm orgtuaku. Jd ktm sm mereka tuh aku ada dlm state netral, bkn tendensi negatif gitu huhuhu
1 note
·
View note
Text
D-3 mengelola emosi bersama WJ
Seperti yang aku tulis di hari pertama. PR mengelola emosiku adalah kepada orang paling terdekatku, yaitu suamiku. Karena terlalu dekat aku seperti bisa menjadi aku yg apa adanya. Vulnerable, anxiety dan berbagi macam emosi. Aku tau sebenarnya ada hal tidak baiknya juga. Pasangan kita tetap berhak menerima bagian terbaik dalam diri kita, dan aku masih belajar untuk itu..
Dengan anakku, aku lebih bisa mengontrol, karena aku takut ia mencontoh aku. Aku takut, aku menurunkan trauma kepadanya.
Mungkin pada kesempatan kali ini, aku mau menyampaikan apresiasi terhadap diriku sendiri terlebih dahulu yang sudah berusaha menjadi versi terbaik untuk dirimu dan sekelilingmu ❤️ walaupun jalannya susah dan terjal, penuh onak dan duri, kamu terus berjuang, kamu tak lelah mencari jawaban….
Kalau kamu nggak mampu sendirian, kamu nggak berputus asa. Kamu mencari jawaban itu kepada profesional, kepada yg lebih ahli, kepada yang berpengalaman.
Teruslah berjuang dan menjadi versi terbaikmu untuk dirimu sendiri dan orang di sekelilingmu. Semoga pelan pelan kamu juga bisa berdamai dan memaafkan masa lalumu.
Kamu nggak stuck. Kamu berproses Ainna walau rasanya jalan seperti siput. Its okay :”)
Atau mungkin seperti memecah sebuah batu yg besar. Usaha-usahamj ini seperti pukulan-pukulan yg meretakkan batu. Walau belum “pecah” tapi semoga emosi yg membatu ini bisa oecah berkat usaha dan pertolongan Allah.
1 note
·
View note
Text
D-2 mengenali emosi bersama WJ
Berkenalan dengan emosi ternyata menjadi perjalanan panjang yang tiada henti. Semua bermula dari tahun 2017 aku membuka kotak pandora dalam diriku. Seperti layaknha kain yang dikeluarkan oleh pesulap, tak habis-habis emosi itu hadir. Pelan pelan keluar dan aku mulanya kewalahan, namun dengan bantuan banyak orang baik. Aku mencoba untuk mengejawantahkan semuanya.
Setiap ada perasaan yang bikin sesak atau sakit kepala. Aku selalu mencoba menerka-nerka, apa perasaan yang sebenarnya aku rasakan? Sedih? Marah? Kecewa? Overwhelmed, atau apa?
Semakin dewasa, aku semakin paham bahwa emosi yang aku rasakan tidak ada yg positif atau negatif. Semua emosi netral. Datang dari Allah. Terlebih setelah menjadi ibu, aku berusaha untuk lebih baik dalam meregulasi emosi karena anakku akan belajar banyak dari diriku.
Aku gak bisa recall orangtuaku mengajarkan diriku tentang emosi. Yg bs ku recall adl tentang bagaimana orangtuaku menyuruhku untuk meredam emosi. Jangan marah. Jangan jutek. Jangan ini jangan itu.
Akhirnya sampai SMA aku terbiasa untuk menahan emosiku. Terbiasa tuk pura-pura tertawa? Sampai diagnosa psikolog-ku waktu itu adalah highly achieved depression. Aku jadi highly achiever karena sebenernya aku mau menutupi depresiku, insecure-ku, bahkan mungkin mau menunjukkan ke bapakku kalau aku bukan anak kecil yg bs dia siksa lagi.
Dan perlahan-lahan aku belajar lagi untuk menamakan emosi-emosi yang muncul, agar aku tau bagaimana cara mengelolanya dan bahkan mengajarkannya kepada anakku.
3 notes
·
View notes
Text
D-1 Mengenali Emosi bersama WJ
Aku lagi ikutan kelas mengelola emosi bareng wangsa jelita. Setelah hidup cuman bertiga dengan anak dan suamiku tanpa support system, aku jadi belajar banyak hal. Apalagi sekarang tinggal jauh dari orangtuaku, aku merasa jadi bisa melihat lebih banyak hal dnegan kacamataku sendiri tanpa banyak intervensi.
Ternyata aku menyukai hidup jauh dari orangtuaku, walaupun tercepot-cepot. Orangtuaku tipikal orang yg pengatur banget dan membuatku lelah. Ditambah hubungan mereka berdua yang gak sehat, membuat draining banget ketika berdekatan dengan mereka. Sangat toxic.
Selama di Melbourne ini, aku juga rution konsultasi tentang hubungan dengan orangtuaku dan pasanganku kepada dua psikolog. Psikolog disini dan di Jakarta. Sehingga aku memiliki support system untuk melihat semua ini lebih luas dan dalam.
Salah satu hal yang kuamati adalah ketika aku berkonflik dengan suamiku. Caraku berkonflik sangat sangat berpengaruh dari orangtuaku. Aku terbiasa melihat mereka berteriak satu sama lain. Masa-masa kecilku di Bintaro adalah masa-masa suram KDRT yang sangat frequent, tapi bahkan uwaku yang tinggal di sebelah rumah tidak bisa banyak melakukan intervensi untuk adiknya (bappaku) yang terus-terusan melakukan kekeresan kepada kami (aku, adikku dan ibuku). Ya mungkin di masa dewasa ini, ia pikir bapakku sudah cukup dewasa untuk menentukan sesuatu tapi KDRT adalah hal tertolol yang diizinkan untuk dilakukan oleh seorang kakak yang hidup benar-benar bersisian dinding dengan adiknya.
Hal ini tentu sangat berdampak kepadaku ketika aku berkonflik dengan suamiku. Aku selalu menjadi pihak yang gak mau dizolimi. Bertahun-tahun aku melihat ibukku diinjak-injak, dan sering kali ia melawan dan bapakku semakin menjadi-jadi. Tapi saat menulis seperti ini, aku merasa jadi si tolol itu. Suamiku bukan bapakku. Ia tidak pernah marah berteriak-teriak marah, apalagi kasar. Akulah si bapakku itu, yg tanpa sadar meniru cara bapakku marah. Saat berkonflik mayoritas suamiku hanya diam, tapi diamnya tetap menyayat hatiku yang mendidih.
Setelah berkonflik, biasanya aku akan pergi dan menjauh. Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku sendiri. Aku marah karena suamiku diam tanpa penjelasan. Tapi di sisi lain aku juga marah sama diriku sendiri yang berlaku tolol dan tidak bisa menjadi penenang dalam rumah. Biasanya kepalaku sakit saat berkonflik seperti ini. kepalaku berdenyut. Aku seperti bisa merasakan tubuhku merilis kortisol dan adrenaline yang banyak.
Kemudian aku menyesal. Hatiku tetap berusaha menghadirkan skenario bahwa suamiku juga ada salah. Tapi aku bukan bapak dan ibuku. Setelah itu aku akan minta maaf dengan suamiku via whatsapp. Biasanya kondisi kami sama-sama tidak di rumah, mungkin di tempat kerja atau di kampus.
Dan kami cukup dewasa untuk saling memaafkan dan membahas masalah tersebut dengan kepala dingin dan membahas PoV masing-masing.
Aku menyadari bahwa aku masih belum mampu mengelola rasa marahku yang besar kepada suamiku. Tapi aku sangat berusaha untuk tidak pernah kelepasan emosi kepada anakku. karena aku tau sangat tidak nyaman menjadi seorang anak yg sedikit-sedikit dimarahi. Aku pernah di posisi anakku. Selama masa SD aku hanya ketakutan melihat ibu dan bapakku berkonflik. Tapi semasa SMP aku di boarding school, aku mencari jawaban, kenapa anak-anak harus menjadi korban kemarahan orang dewasa? Aku banyak berdiskusi dengan guru Bimbingan Konselingku.
Dengan anakku, biasanya respon tubuhku tetaplah ahmpir sama. Rasanya ingin meledak dan jantungku berdebar lebih cepat. Tapi, demi melihat mata dan wajah polosnya, aku tau, ia tidak pernah sengaja membuatku marah. Dan aku gak mau ia meniruku marah, sehingga aku perlu mencontohkan pengelolaan emosi yang baik juga kepadanya.
Belum lagi kalau aku berkonflik dengan orangtuaku. Kalau berkonflik dengan mereka, rasanya energiku habis dihisap dementor. Padahal mereka jauh. Tapi demi luka masa lalu, mereka tetap bisa men-triggerku even itu hanya sependek pesan di WhatsApp saja.
Aku pernah skip kuliah dan tidak melakukan apapun, hanya tiduran di kasur saat ibuku mengirimkan whatsapp yang menyakitkan. Baru di Melbourne ini, aku mengizinkan tubuhku merasakan hal tersebut. Dulu aku berpikir, bahwa tidak boleh ada orang yang "mengatur tubuh dan mood-ku" tapi ternyata aku hanya mengabaikan sinyal dari tubuhku. Aku saat ini belajar lebih aware dan lebih gentle kepada diriku sendiri.
Ribet, ya? Pembelajaran mengenai self-awareness yang kulakukan dari 2017 ini ternyata masih terus berlanjut. Bahkan salah satu objektifku untuk mengikuti 14 Hari Mengenali emosi adalah agar aku bisa menjadi lebih aware dan aku bisa mengajarkan regulasi emosi yang baik kepada anak-anakku kelak.
Still long way to go......
1 note
·
View note
Text
An evolving love
Post ini ditulis jam 4.53 pagi. Kalau di Jakarta mungkin hal yg wajar buat bangun jam segini. Di melb dengan kondisi winter, matahari terbit aja baru jam 7.30. Jadi ini masih malam pekat banget.
Aku mau menulis refleksi tentang cinta. Abis re-watch web series Sore : Istri dari Masa Depan yang keluar tahun 2017. Aku inget banget masa-masa unyu-unyu itu, aku kaya lagi semangat-semangatnya menjalani hidup dengan kisah cinta yg nano-nano. Tentang kisah cinta lama, tentang cinta “dewasa”, tentang memilih, tentang kecocokan. Aih.. masih mesem-mesem lah liat web series Sore itu dulu.
Tapi akhirnya aku end up sama seseorang random yg ku baru kenal after aku pulang dari US. Masa-masa mesem-mesem yg gak lama soalnya dari awal kita udh serius mau menikah (serius bgt idup lo na 😂) dan sampai 6 tahun kemudian alhamdulillah kami disini. Cintanya bukan yg bikin mesem-mesem lagi. Tapi lebih tentang bertumbuh dan saling.
Semalam kami bersepakat agar mas mogi yang mengantar bandara ibu ini pagi buta jam 4, karena aku akan buka toko jam 10. Tapi, aku tiba-tiba terbangun lebih awal, dan melihat mas mogi yang kelelahan setelah dua hari mengangkat-angkat barang 100 Kg lebih. Semenjak jadi driver dan delivery, hari rabu dan kamis adapah hari tercapek mas mogi dan jumat langsung jaga toko sambil top up semua barang di toko.
Demi melihat ia kecapekan seperti itu, aku bilang ke Mas Mogi kalau aku yg akan antar ibu ini ke bandara tapi dia yang buka toko nanti. Dan dia mengucapkan terima kasih perlahan.
Ah, bukannya dia menjadi delivery driver juga karena menemani aku sekolah disini?
Itu yg membuatku merasa bahwa cinta ketika sudsh menjadi suami istri, akhirnya evolve menjadi cinta yang bertumbuh dan saling. Walau kadang pengen juga sih ada rasa cinta kasmaran mesem-mesemnya wkwkw 😂 cm jujur kl aku sendiri masih mencari gimana caranya buat ngerasain itu lg ke suami, lol.
Tadi aku dinasehatin sm klienku yg aku anter ke bandara bahwa masa-masa studi adalah masa perjuangan. Bener sih. Tapi aku ngerasa after studi juga perjuangan utk bisa mengimplementasikan ilmu agar bs jadi ilmu yg bermanfaat, so aku ngerasa setiap hari adl perjuangan 😂
Duh, ngapain ya sm suami biar merasakan cinta yg membuat rasa ada butterfly in my stomach.
0 notes
Text
My very first H1
Kemarin lg makan siang di rumah abid, terus akutuh bingung, nilai-nilai assignment ku yang terakhir blm pd keluar krn aku mengajukan extension kan. Tapi abid bilang jumat lalu semua nilai harusnya udah keluar. Fyuh.. dengan pasrah hati dan gak berharap apa-apa (seperti biasa) aku buka myunimelb untuk ngecek nilai.
EH? Ada yg berbeda?? Salah satu mata kuliahku yg aku ngerasa paling gak engage karena cuman 4 minggu dan bertepatan dgn beberapa occasion seperti : lebaran, anak sakit, aku sakit dan ke Alor, dapet nilai H1!!!! Padahal 4x kelas itu aku gak pernah dtg ke kelas wkkw yaAllah 😭😭😭

Sumpah aneh bgt ngerasa gak deserve this karena ngerasa ini matkul susah dan aku kurang engage. Apalagi pas major assignment-nya itu aku beneran se-struggle itu. Aku banyak riset dulu, gak paham sama topiknya, ngobrol banyak sama anak environment karena major assignment-nya adalah disuruh buat carbon reduction plan!
Aku ngebuat carbon reduction plan buat Grand Laguna, salah satu small chain Asian Supermarket tempat aku dan mas mogi kerja. Jujur ini topic baru banget buatku, gak pernah kepikiran sekalipun aku bikin carbon reduction plan buat supermarket. Tapi, di Oz sini, itu hal yang lumrah! Coles dan Woolworths tiap tahun mengeluarkan sustainability report-nya jadi aku banyak belajar juga dari sana. But for me, tetep aja coyyy sulit bgt menjalaninya karena kan gue basic nya ttp anak kesehatan bukan lingkungan 😭😭 wkwkw.
Terus semalam sblm tidur aku cerita sama suamiku kalau nilai H1 ini bener-bener nge-boost confident-ku banget :”) aku pas ngejalanin ini ngerasa climate change topic susah dan not for me (krn banyak hal teknis yg aku gak ngerti, lobi-lobi tingkat tinggi yg menghasilkan banyak pakta dan agreement. Beyond bgt lah sama kesehatan). Dengan nilaiku yg oke, aku jadi mikir bahwa aku gak seburuk itu.
Terus aku bilang juga sama suami semalam, nilai yg lumayan bagus ini juga mgkn karena jenis major assignment-nya bukan esai ilmiah, tapi lebih ke proposal buat klien. Buatku yang udah kerja sebagai konsultan 5+ years, bikin report, bikin proposal buat klien, way more easierr dibandingkan membuat esai ilmiah yg baru “dilatih” selama master ini.
Aku bilang lagi sama suamiku, kalau nilai-nilaiku yg pas-pasan ini di Unimelb, ya mgkn krn aku baru belajar tentang menulis ilmiah. Bukan karena aku tolol, tapi ya simply krn aku baru belajar aja :”) (sebuah afirmasi dan puk-puk buat diriku yg ngerasa gak deserve berada di salah satu Top Uni ini).
Dari sini aku jadi semakin kepengen dan yakin buat hadir di Plantery Health Annual Meeting di Rotterdam nanti. Walau rasanya gede bgt investasinya tp semoga ada hal baik yg bisa kupelajari dan hal positif yg bisa didapatkan, maka mudahkanlah jalannya yaAllah 🥺 laa hawlaa walla quwwata illa billah.
1 note
·
View note
Text
Prioritas
Musim-musim liburan kaya gini, sebenernya musim mellow buat diriku yg punya jiwa petualang. Ngeliat temen-temen jalan-jalan inter-state, bahkan ada yang jalan-jalan ke New Zealand, kadang membuat aku sedih karena we couldn't afford it. Bahkan, kami ke Sydney aja kemarin bener-bener menguras tabungan dan tujuannya lebih ke mengajak mamaku melihat opera house karena kami ingin.
Kepengen banget jalan-jalan inter-state tentu saja. Cuman, buat kami yang sandwich gen yang masih harus membayar uang bulanan dan uang semesteran sekolah adik, jalan-jalan jadi prioritas ke sekian, apalagi 6 bulan lagi kami akan pulang, dan tentu memulai hidup baru di Indonesia juga butuh modal. So sad.
Tapi di tengah kesedihan (yang valid ini), aku berpikir, bahwa sebenernya jalan-jalan cuman kita bertiga itu emang bukan prioritas kami, sih. Daripada uangnya habis dipake jalan-jalan buat bertiga, kami malah lebih memilih untuk apply visa buat ketiga orangtua kita, apply visa untuk adik bahkan untuk nenek 😂 kami ternyata punya nilai, bahwa kebahagiaan ini bukan untuk keluarga kecil kami saja, tapi juga buat keluarga besar kami yang belum pernah keluar negeri jauh sebelumnya.
Bahwa kesempatan mengenyam pendidikan tinggi ini, bukan hanya tentang aku, Hannah dan Mas Mogi, tapi juga buat ketiga orangtua kami yg masih hidup, dan juga untuk adik-adik kami. Kami juga ingin mereka bisa merasakan keindahan hidup disini, walau hanya sementara. Kami ingin mereka tahu, bahwa kami ada disini juga berkat doa-doa mereka.
Fyuh... sedihnya tetep ada karena blm bisa liburan, tapi somehow juga ini pilihan yg kita pilih untuk mendatangkan orangtua kami kesini kan? biasanya kalau mereka kesini, tentu saja paling city tour dan keliling-keliling victoria yang luas ini saja.
YaAllah mudahkanlah visa adik-adikku untuk granted agar aku bisa mengajak mereka kesini juga bareng dengan nenekku.
Amiin.
1 note
·
View note