arthuar
arthuar
Letters from the seine
3 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
arthuar · 28 days ago
Text
Hari-hari setelah senja itu berjalan seperti biasa atau setidaknya, mereka berpura-pura begitu.
Janeeltie masih datang lebih dulu ke bangku kayu favorit mereka, membawa roti isi dan kopi dalam termos kecil. Jehovah menyusul dengan sketchbook yang sudah penuh dengan gambar-gambar dirinya dan Janeeltie—meski tak pernah ia tunjukkan. Harvey, seperti biasa, datang terakhir, dengan kamera dan raut wajah yang mulai jarang tertawa.
Tetapi tak ada dari mereka yang menyebutkan tentang genggaman tangan yang sempat terjadi. Tak ada yang membahas tatapan panjang dari Janeeltie, atau surat pendek yang ia temukan di bukunya. Semuanya tetap dalam diam—diam yang terasa semakin menekan.
Suatu malam, Jehovah duduk sendiri di kamar lotengnya. Hujan mengguyur genteng Paris seperti irama yang memaksa kenangan keluar. Ia menyalakan lampu kecil, membuka halaman belakang bukunya, dan mulai menulis:
From Janeeltie,
Kadang-kadang aku membenci betapa mudahnya kamu membuatku diam. Bukan karena aku tak punya kata-kata, tapi karena kata-kata selalu terasa terlalu kecil saat itu tentang kamu.
Aku ingin bilang bahwa tiap kali kamu duduk di sebelahku, aku merasa seperti langit yang disapu matahari pagi—hangat, pelan, dan penuh harapan. Tapi entah kenapa, aku selalu takut. Takut kalau kata ‘cinta’ akan membuatmu pergi.
Jadi surat ini, mungkin akan tetap tinggal di dalam buku. Mungkin tidak akan pernah kamu baca. Tapi aku menulisnya karena kalau aku tidak, aku akan tenggelam dalam rasa yang diam-diam membesar.
to : Jehovah
Ia melipat kertas itu rapi, menyelipkannya di antara halaman catatannya, lalu menutup buku itu seolah sedang menyimpan sesuatu yang suci.
**
Besoknya, mereka bertiga berkumpul lagi di pinggir sungai. Harvey tampak lebih diam dari biasanya. Ia duduk agak jauh, sibuk menata lensa, membidik burung-burung camar yang melintas.
“Harv,” kata Janeeltie, menyadari perubahan itu. “Kamu kenapa?”
Harvey hanya tersenyum kecil. “Kadang aku pengen jadi kamera. Cuma merekam, tanpa harus ngerasa.”
Jehovah menoleh, memandang Harvey sebentar. Ia tahu Harvey melihat dari awal.
**
Malam itu, Janeeltie pulang lebih dulu. Jehovah dan Harvey tinggal berdua, duduk di bangku kayu tua mereka, di bawah cahaya kuning lampu jalan yang lembut.
“Aku tahu, apa yang kau pikirkan” kata Harvey pelan. “Aku tahu kamu suka dia.”
Jehovah menunduk. Ia tak menyangkal.
“iya”
Jehovah menarik napas dalam. “Aku takut semuanya berubah kalau aku jujur.”
Harvey mengangguk. “Udah berubah. Tapi bukan berarti harus berakhir.”
Jehovah menatap sahabatnya. “Kau marah?”
Harvey menggeleng. “Gak. tapi, mungkin aku butuh waktu.”
Diam kembali mengisi ruang antara mereka. Tapi kali ini, diam itu lebih jujur.
**
Malam itu, Janeeltie membuka buku puisinya dan menemukan selembar sketsa. Bukan puisi, bukan surat. Tapi gambar dirinya duduk di tepi sungai, tersenyum. Gambar itu ditandatangani kecil di sudut: J.
Ia menyentuh kertas itu pelan. Ada sesuatu di dadanya yang mencubit, seperti rindu yang belum sempat dilahirkan.
**
Dan di bawah langit Paris yang masih menyimpan seribu rahasia, satu surat tetap tak dikirim. Tapi perasaan itu sudah terlalu jelas untuk disembunyikan.
langit Paris tak cerah, tapi juga tak hujan. Seperti menahan sesuatu. Seperti ketiga sahabat itu menahan kata, perasaan, keputusan.
Janeeltie datang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di bangku kayu dekat pohon maple, mengenakan jaket abu-abu dan syal rajut biru tua pemberian ibunya. Di tangannya, ada sketsa yang semalam ia temukan di buku puisinya—sketsa dirinya yang dibuat Jehovah. Tangannya bergetar pelan saat menyentuh garis-garis pensil itu. Terlalu mirip. Terlalu dalam.
Ia sudah tahu.
Dan sekarang, ia ingin tahu jawabannya.
**
Jehovah datang sepuluh menit kemudian, membawa dua croissant dan satu cappuccino di gelas kertas.
“Aku tahu kamu belum sarapan,” katanya pelan sambil duduk di sebelah Janeeltie.
Janeeltie tersenyum. Tapi ia tak langsung menerima roti itu. Ia mengeluarkan sketsa dari tasnya dan meletakkannya di pangkuan Jehovah.
“Ini… kamu sengaja taruh di bukuku?”
Jehovah diam. Sorot matanya berubah.
“Kamu gambar ini sejak kapan?” lanjut Janeeltie, suaranya pelan namun mantap.
Jehovah menatapnya, lalu menjawab jujur, “Sejak hari pertama kita duduk di tepi sungai.”
Diam. Sungai mengalir pelan di hadapan mereka, seolah ikut menahan napas.
“Aku nggak bisa pura-pura nggak tahu,” kata Janeeltie. “Dan aku juga nggak bisa pura-pura nggak ngerasain.”
Jehovah menggenggam roti itu erat. “Jadi? kamu ngerasain juga?”
Janeeltie mengangguk pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Tapi aku takut.”
“Takut kehilangan kita bertiga?” tanya Jehovah.
Janeeltie menoleh padanya. “Takut kalau aku jawab ‘iya’, kamu jadi orang yang berubah. Dan Harvey, aku gak tahu apa dia bisa tetap ada kalau semuanya jadi berbeda.”
Jehovah menghela napas. “Aku juga takut. Tapi aku juga capek nulis surat yang nggak pernah kukirim. Capek nyimpen semua rasa dan pura-pura jadi sahabat yang nggak jatuh cinta.”
Janeeltie menggenggam tangannya. Kuat. Kali ini lebih lama dari sebelumnya.
“Aku nggak janji kita gak akan berubah,” katanya. “Tapi kalau kita mulai dari jujur mungkin perubahan itu bisa jadi sesuatu yang indah.”
Jehovah menatap mata Janeeltie. Mata itu masih sama—memandang seperti ingin menembus langit. Tapi kali ini, dia tahu, tatapan itu untuknya.
**
Sementara itu, Harvey berdiri tak jauh dari mereka. Ia datang lebih awal juga. Tapi saat melihat mereka berdua bicara, ia tak ingin mengganggu.
Ia menyadari sesuatubrasa kehilangan bukan selalu tentang ditinggalkan, tapi juga tentang menyaksikan sesuatu indah yang bukan milikmu, dan memilih untuk tidak mengganggu keindahannya.
Ia mengangkat kameranya, dan dengan tangan yang sedikit bergetar, ia memotret mereka berdua.
Klik.
Kemudian, ia memutar balik langkahnya, menyusuri tepi sungai ke arah sebaliknya.
Bukan karena ia pergi. Tapi karena ia tahu, untuk saat ini, cerita itu bukan miliknya.
Dan mungkin, suatu hari, ia akan menulis kisah versinya sendiri.
**
Sore itu, langit akhirnya pecah hujan. Tapi tidak ada yang berlari.
Jehovah dan Janeeltie tetap duduk, basah oleh air, hangat oleh perasaan yang akhirnya tak lagi disembunyikan.
Satu surat tak pernah dikirim. Tapi satu kalimat akhirnya diucapkan.
Dan dunia—sekalipun perlahan—mulai menyesuaikan diri.
0 notes
arthuar · 1 month ago
Text
Tumblr media
Langit Paris senja itu berwarna tembaga, dan Sungai Seine memantulkan cahaya dengan lembut, seakan ikut merayakan sebuah pertemuan kecil yang akan mengubah segalanya.
Di tepi sungai, tiga remaja duduk berdampingan: Harvey, si anak pendiam dengan tatapan tajam yang selalu menyimpan seribu cerita; Jehovah, si pembawa tawa yang gemar mencatat hal-hal aneh di buku catatannya; dan Janeeltie, gadis berambut panjang kehitaman yang selalu memandangi langit seperti mencari sesuatu.
Mereka bertemu secara kebetulan di kios buku tua di pinggir Quai de la Tournelle. Jehovah menjatuhkan bukunya, Harvey memungutkannya, dan Janeeltie malah mengomentari judulnya dengan canda, “Kau benar-benar baca ini, atau cuma gaya?”
Tawa mereka menyatu begitu saja. Tanpa rencana, mereka mulai berbagi waktu: piknik di rerumputan Jardin des Plantes, berlarian di tengah gerimis, atau sekadar duduk membisu di bangku kayu, menatap arus Seine.
Malam itu, saat Janeeltie menatap sungai yang mulai gelap, Jehovah diam-diam menatapnya.
“Kau pernah merasa,” bisiknya, “kalau kau bisa tenggelam bukan karena air, tapi karena seseorang?”
Janeeltie tertawa pelan, tapi matanya menatap Jehovah lebih lama dari biasanya.
Harvey memperhatikan dari sisi lain bangku. Ia tersenyum kecil—entah karena paham, atau karena tahu, saat itu persahabatan mereka sedang berubah arah.
Dan di sanalah, di tengah kota tua dan air yang terus mengalir, kisah itu dimulai. Dengan satu surat yang belum dikirim, satu perasaan yang mulai tumbuh, dan satu janji yang belum terucap.
Suatu sore, mereka bertiga memutuskan untuk naik perahu kecil milik kakek tua yang biasa bersandar di bawah Jembatan Pont Marie. Jehovah menyewa perahu itu dengan sisa uang dari hasil menjual sketsanya di Montmartre. Harvey membawa kamera tuanya, dan Janeeltie—seperti biasa—membawa buku puisi yang sudah lecek oleh air dan waktu.
Mereka mendayung perlahan, membiarkan perahu bergoyang di antara riak. Kota Paris mengalir di sisi mereka; Notre Dame menjulang anggun, pepohonan di sepanjang Quai seperti melambai-lambai.
"Apa kalian pernah ngerasa… kota ini nyimpen rahasia?" tanya Janeeltie tiba-tiba.
"Setiap malam aku ngerasa begitu," jawab Jehovah sambil menyelipkan sehelai daun maple ke dalam bukunya. "Makanya aku nulis surat. Biar rahasia-rahasianya nggak lenyap."
"Surat buat siapa?" tanya Harvey, meskipun ia sudah bisa menebaknya.
Jehovah hanya tersenyum. “Entah. Mungkin buat seseorang yang belum tahu kalau dia akan jadi bagian penting dalam hidupku.”
Janeeltie memalingkan wajahnya ke sungai, berusaha menyembunyikan rona pipinya. Tapi Jehovah melihatnya. Harvey pun tahu—ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara kedua sahabatnya, sesuatu yang ia tahu akan mengubah dinamika mereka.
Malamnya, setelah mengantar Janeeltie pulang, Harvey dan Jehovah duduk di tangga batu di pinggir sungai, mendengarkan suara kota yang perlahan sunyi.
"Jadi," kata Harvey pelan, "kapan kamu akan bilang ke dia?"
Jehovah tertawa pelan. “Nggak tahu. Tapi aku rasa… dia tahu. Cuma belum siap dengar.”
Harvey mengangguk. Dalam diam, ia merasa sesuatu perlahan berjarak—seperti sungai itu sendiri, tak pernah benar-benar berhenti tapi selalu menjauh.
Keesokan harinya, Janeeltie menemukan sebuah surat di dalam bukunya. Tulisan tangan Jehovah, hanya dua baris:
"Kalau aku bisa memilih satu tempat untuk terus hidup dalam ingatanmu, biarkan itu jadi di bawah langit senja seperti kemarin."
Janeeltie menatap surat itu lama. Ia tak perlu membalas. Ia hanya datang lebih pagi ke tempat biasa mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, saat Jehovah datang, ia menggenggam tangannya lebih dulu.
Dan Harvey? Ia hanya tersenyum kecil dari kejauhan, lensa kameranya menangkap semua itu.
Karena cinta—kadang tak dimulai dengan kata-kata. Tapi dengan satu genggaman tangan, satu tatapan, dan satu senja yang tak pernah sama lagi setelahnya.
Langit Paris menguning pelan seperti cat air yang ditumpahkan di atas kanvas. Di tepi Sungai Seine, angin sore menggoyangkan helai-helai daun maple yang jatuh ke permukaan air, membentuk pusaran kecil yang tak pernah sama bentuknya. Di bangku kayu tua di bawah rindangnya pohon, tiga remaja duduk dengan caranya masing-masing menikmati waktu: Harvey memegang kamera analog dengan tali usang, Jehovah menggambar sesuatu di buku catatannya, dan Janeeltie—berbaring dengan mata menatap langit, satu tangan menopang kepala, satu lagi menggenggam buku puisi Rimbaud.
“Paris sore-sore tuh kayak orang yang lagi jatuh cinta,” gumam Janeeltie, masih menatap langit.
Harvey mengangkat kameranya dan memotret Janeeltie diam-diam. Klik. Jehovah menoleh.
“Kalau Paris lagi jatuh cinta, dia jatuh cinta sama siapa?” tanya Jehovah, melirik Janeeltie dengan senyum jenaka.
Janeeltie tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang dan berkata, “Mungkin sama seseorang yang nggak pernah berani bilang kalau dia juga jatuh cinta.”
Ada keheningan. Tapi itu bukan keheningan yang canggung—itu keheningan yang penuh arti, seperti ketika dua orang tahu mereka sedang menyembunyikan hal yang sama.
Jehovah menunduk. Ia mencoret sesuatu di bukunya, lalu menyobeknya dan meletakkannya diam-diam di bawah buku Janeeltie. Ia tak berkata apa-apa.
**
Pertemanan mereka bermula satu musim semi lalu, saat hujan turun mendadak dan mereka bertiga berlindung di bawah jembatan yang sama—Pont Marie. Mereka sama-sama asing, tapi sama-sama kesepian. Janeeltie baru pindah dari Rotterdam, Jehovah kabur dari asrama lukisannya, dan Harvey—ia selalu berada di tempat yang tak perlu dijelaskan.
Dari situlah semuanya dimulai: sore-sore panjang berbagi cerita tanpa tujuan, kopi panas dari warung kecil di belakang Notre Dame, menggambar wajah turis secara diam-diam dan saling tertawa. Mereka bukan tipe sahabat yang selalu bicara. Mereka nyaman dalam diam.
Pada suatu Minggu pagi, mereka bertiga bersepeda ke Rue Mouffetard. Jehovah mengajak mereka ke pasar loak, mencari kartu pos tua.
“Ini, liat!” seru Jehovah sambil mengacungkan sebuah kartu pos dari tahun 1912. “Coba bayangin… siapa yang nulis ini? Apa dia masih hidup?”
Harvey membaca tulisan tangan halus di kartu itu:
"Je pense à toi. Toujours."
Aku memikirkanmu. Selalu.
Janeeltie menggigit bibirnya. “Romantis. Tapi tragis.”
“Tragis?” tanya Jehovah.
“Ya. Karena cinta kayak gitu seringnya nggak pernah disampaikan tepat waktu.”
Jehovah menatap Janeeltie agak lama. Janeeltie mengalihkan pandangannya.
**
Malam itu, Harvey dan Jehovah duduk di tepi sungai. Bintang-bintang hanya samar, kalah oleh lampu kota.
“Janeeltie...” kata Harvey pelan, “...dia tipe orang yang bakal kamu cintai habis-habisan, atau kamu tinggalin sebelum terlalu jauh.”
Jehovah tidak langsung menjawab. Ia memandang air yang mengalir pelan di bawah kaki mereka.
“Aku rasa,” katanya akhirnya, “aku nggak punya pilihan selain jatuh.”
Harvey menepuk bahunya. “Kalau kamu jatuh, semoga dia nggak jadi yang melepaskan.”
**
Suatu sore menjelang hujan, mereka bertiga berlari menuju kios tua tempat biasa berteduh. Janeeltie terengah, rambut ikalnya basah dan berantakan, tapi wajahnya berseri-seri. Jehovah tertawa keras—tawa yang langka. Harvey hanya duduk dan membidik momen itu.
“Tunggu, kalian berdua diam dulu,” katanya, menyiapkan kameranya. “Satu foto buat tiga orang aneh yang tersesat di kota ini.”
Klik.
Itu adalah satu dari sedikit momen saat semuanya terasa lengkap—sebelum rasa mulai menuntut tempat, sebelum persahabatan diuji oleh hal-hal yang tidak terucap.
**
Beberapa hari kemudian, Janeeltie membaca catatan kecil yang Jehovah sisipkan:
"Kalau kamu ingin tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, lihatlah sungai saat ia tidak mencoba mengalir, tapi tetap tak bisa berhenti."
Janeeltie menutup matanya. Mungkin ia mulai merasa yang sama. Mungkin tidak. Tapi yang pasti, ada getar baru di dadanya setiap Jehovah tertawa, atau setiap mata mereka bertemu lebih lama dari seharusnya.
Dan di bawah langit senja itu, mereka bertiga terus berjalan bersama, belum tahu arah akhir, tapi tahu—segala sesuatu telah berubah.
2 notes · View notes
arthuar · 1 month ago
Text
Tumblr media
Senja menurunkan bayang-bayang panjang di sepanjang pagar ia sandari. Air mengalir perlahan, memantulkan cahaya keemasan yang sebentar lagi akan padam bersama matahari. Angin membawa aroma tanah lembap, daun basah, dan riuh kota yang mulai mereda. Di tengah semuanya, sosok itu berdiri diam, seperti patahan waktu yang menolak ikut bergerak.
Genggaman tangannya erat pada selembar amplop tua, ujung-ujungnya mulai rapuh dimakan waktu. Kertas di dalamnya penuh tulisan tangan yang tak pernah dikirimkan. Kata-kata yang tertahan bertahun-tahun. Setiap huruf adalah beban, setiap kalimat adalah luka yang belum dijahit. Di balik ketenangan wajahnya, badai berputar-putar tanpa suara.
Ia pernah mencoba melupakan. Menutup lembar demi lembar yang menyimpan semuanya—tawa, pengkhianatan, kehilangan. Tapi sungai ini, dengan alirannya yang sabar, mengingatkan bahwa waktu tidak menghapus apa pun. Ia hanya mengalir, membawa segalanya lebih jauh ke dalam.
Langkahnya tak bergerak, tapi pikirannya menelusuri masa lalu. Malam-malam di mana suara yang dulu akrab berubah menjadi sunyi. Tatapan yang tadinya penuh makna menjadi asing. Janji-janji yang menguap tanpa penjelasan. Semua tertulis di surat-surat itu—puluhan, ratusan, mungkin lebih—yang tak pernah sampai kepada siapa pun.
Ketika angin menggoda amplop itu dari tangannya, ia membiarkannya. Kertas itu jatuh perlahan ke permukaan air, melayang sejenak sebelum ditelan arus. Seperti kenangan. Seperti perasaan yang tak pernah selesai diucapkan.
Dan senja pun usai. Yang tertinggal hanyalah dingin. Dan sungai yang tetap mengalir.
Di sebuah kamar kecil di lantai empat sebuah bangunan tua yang menghadap ke jendela sempit berteralis, cahaya pagi menyusup pelan. Bukan cahaya yang hangat, tapi cukup untuk membuat debu-debu di udara terlihat, berputar seperti kenangan yang belum sempat dibersihkan.
Meja kayu di sudut ruangan dipenuhi kertas. Beberapa sudah menguning, sebagian lain masih baru namun sudah penuh coretan yang kemudian dicoret lagi. Di antaranya, ada surat yang belum dilipat. Tinta hitamnya belum benar-benar kering. Kalimat terakhir berhenti di tengah-tengah, seolah jari penulisnya kehilangan keberanian, atau mungkin—kali ini—harapannya benar-benar habis.
Di rak terbawah, sebuah kotak sepatu menyimpan puluhan surat yang serupa. Tidak pernah beralamat. Tidak pernah dibacakan. Tidak pernah dimaksudkan untuk benar-benar diterima. Mereka adalah bagian dari ritual: menulis, melipat, menyembunyikan. Seakan dengan menuliskannya, beban bisa dibagi—meski hanya dengan kertas.
Suara dari jalanan di luar mulai hidup. Kota itu tidak pernah benar-benar tidur, hanya berubah nadanya. Di dalam ruangan itu, suara-suara luar terdengar seperti gema dari kehidupan yang terus berjalan, sementara satu jiwa di dalamnya masih terpaku di tempat yang sama, pada masa yang sama, menunggu sesuatu yang tak pasti.
Jendela dibuka sedikit. Udara dingin masuk, menusuk. Mata terpejam sejenak, bukan karena lelah, tapi karena terlalu banyak yang ingin dilupakan. Namun justru dalam diam itulah, satu wajah muncul. Bukan sekadar ingatan, tapi luka yang selalu hadir dengan bentuk yang sama: tatapan terakhir yang tak sempat diartikan.
Tangan meraih pena lagi. Surat baru ditulis. Kata-kata baru dicari. Namun yang keluar hanya pengulangan yang sama—rindu, maaf, dan sesuatu yang tak pernah berhasil dinamai.
Dan pagi pun berjalan, seperti hari-hari sebelumnya. Satu surat lagi ditambahkan ke dalam kotak.
Belum pernah ada yang sampai. Tapi entah kenapa, masih terus ditulis.
Hari ke sekian tanpa hitungan. Kalender di dinding sudah lama berhenti berganti, jarumnya nyaris copot, menggantung seperti waktu yang ragu. Di luar, daun-daun mulai gugur lebih sering. Warna kuning dan jingga menumpuk di trotoar, dibawa angin lalu lenyap begitu saja. Tak ada yang menandai perbedaan hari, selain suhu yang makin menusuk dan kopi yang mendingin lebih cepat.
Pagi itu, sebuah paket kecil tiba. Tanpa nama pengirim. Hanya ukiran inisial samar di sudut kanan bawah, cukup untuk membuat jantung berhenti sepersekian detik. Kotak itu tidak dibuka segera. Ia diletakkan di meja, dibiarkan seperti ancaman yang belum jelas bentuknya. Namun keberadaannya mengubah segalanya. Ritme menjadi patah. Surat yang biasa ditulis pagi-pagi, tak jadi dirangkai. Pena tertinggal di balik bantal. Pikiran melayang jauh—bukan ke masa lalu seperti biasa, tapi ke sesuatu yang bisa terjadi.
Sore hari, jendela dibiarkan terbuka lebih lebar dari biasanya. Udara Paris masuk tanpa izin, membawa bunyi klakson, tawa anak-anak, dan musik jalanan yang sayup terdengar dari kejauhan. Semuanya terasa asing, sekaligus sangat dekat. Seperti mendengar lagu lama di tubuh yang baru.
Akhirnya, tangan yang ragu membuka kotak itu. Di dalamnya, hanya satu benda: foto polaroid tua, buram, tapi cukup jelas untuk dikenali. Di sudut foto, seseorang tengah berdiri di depan jembatan yang tak asing. Tersenyum ke arah kamera, atau mungkin ke seseorang di baliknya. Di belakangnya, Sungai Seine membentang tenang, menyimpan semua yang telah disembunyikan selama ini.
Tidak ada catatan. Tidak ada penjelasan.
Hanya satu hal yang pasti—foto itu tidak mungkin datang dari siapa pun... kecuali dari masa yang seharusnya sudah selesai
1 note · View note