This is just about a slightly-advance monkey breeds individual who live in modern society, trying to figure out what the world is for him and the secret that lies beyond grand universe.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
A Good Thought To Carry
everything has changed because we’ve changed them and will always be different depending of how we are looking at them we’re all grown up now, we know how much we have changed our lives there’s nothing to be fix if we don’t even know the problems the problem is among ourselves we were blinded on how people told us how to think, how to act, and how to judge like a microchip telling you what to do you don’t even notice it’s underneath your very heart they would buy you for friendship they would come for company and everything you own end up owning you those who have stayed longer than u had notice those who are still wise enough to apologize are those who always put a faith in you i’m ready to conquer the world a world of my own, hidden below my deepest thought a world of thought that always been haunting me a world of ambition, not hatred a world of changes and chances a world of hopes, not dreams not just joy, tears nor fear beyond that, there’s a ghost waiting to be rejuvinated this soul will someday conquer all my fear and balance my joy and tears to maintain a head-straight every time i pass thru everything has an end, and you could start over anytime i’m telling you the truth, there is no lie not just a copy-pasted words that has no meaning this came from my very heart it’s time to prove a better qualities of ourselves take a look around, other places we are young, and someday we’ll get old someday you will have a family to feed and kids that will look up to you so grow up forget envy it has been corrupting you this many years.
0 notes
Text
Jernih, Mengalir, Mencerdaskan
Sekilas memang mirip Tagline ala GEOTIMES (bukan mirip lagi, memang nyontek). Bukan supaya click-bait, tapi karena memang saya bingung saja mau diberi judul apa tulisan ini, dan dipikir-pikir frase ini memang cocok untuk jadi judul apa yang akan saya bicarakan: Pendidikan
Membicarakan perkembangan peradaban manusia, ada kalimat yang selalu terngiang-ngiang di telinga dan pikiran saya: “One Child, One Teacher, One Pen, can change the world”. Kalimat ini keluar dari mulut remaja yang berasal dari sebuah negara pra-sejahtera, yang pada saat itu tengah mati-matian memperjuangkan kebebasan untuk meraih pendidikan bagi kaumnya. Dirinya amat percaya, bahwa pendidikan dapat memperbaiki kehidupan orang-orang di sekitarnya yang pada saat itu sedang kesulitan hidup akibat terjebak dalam situasi peperangan dan tindakan terorisme. Kalimat yang keluar dari mulut Malala Yousafzai, perempuan termuda yang pernah menerima penghargaan Nobel Perdamaian, bila kita pahami dengan baik memiliki makna yang benar-benar kuat. Betapa tidak, pendidikan memang selalu punya peran terpenting dalam kisah perkembangan peradaban di dunia. Perubahan-perubahan spektakuler pada peradaban makhluk hidup di dunia selalu diinisiasi oleh perkembangan pendidikan. Kemudahan-kemudahan yang kita rasakan pada detik ini, adalah salah satu buah manis dari pohon bernama pendidikan. Bahkan saya percaya, jika para pemikir seperti Confucius (551 BC- 479 BC) atau Plato (428 BC-328 BC), memutuskan untuk tidak membagi pengetahuannya, atau dengan kata lain tidak mendidik orang-orang yang ada disekitarnya, peradaban manusia di abad 21 tidak akan maju sejauh ini.
Di Indonesia sendiri, senjata paling ampuh yang pernah dimiliki oleh para pahlawannya adalah pendidikan. Pergerakan nasional menuju kemerdekaan negeri ini, diinisiasi pada tahun 1908 oleh sekelompok pemikir yang menamakan diri mereka Boedi Oetomo. Tujuan organisasi ini adalah membawa kemajuan negeri dan/terutama bangsa Jawa melalui perluasan pendidikan (Hisyam, 2007). Pada awalnya perjuangan ini bersifat primordial, tapi gagasan gerakan ini dengan cepat merambah ke luar daerah Jawa, Diikuti dengan munculnya organisasi-organisasi dengan gagasan serupa di penjuru nusantara, yang semakin mendorong roda pergerakan nasional dan berujung pada kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Di tingkat individu, pendidikan juga tidak kalah penting. Pemikir zaman modern seperti Alain de Botton mengatakan, “ Education is what makes us fully human.” Pendidikan itu memanusiakan manusia. Saya meyakini ini benar karena pada dasarnya, pendidikan di tingkat individu memberikan akses individu pada kesempatan untuk mengembangkan diri, mengaktualisasi diri, dan membebaskan diri dari perbudakan akali. Sejarah pernah mencatat perbudakan akali yang berujung pada Genocide, pemusnahan ras manusia terbesar sepanjang sejarah dunia. 6.000.000 nyawa tidak bersalah, termasuk anak-anak dan perempuan. Dibunuh oleh sebuah partai dengan ideologi anti-semitisme yang tidak masuk akal.
Saya mengamini pendapat filsuf seperti Louis O. Katsoff (1996) bahwa perbudakan akali itu jauh lebih berbahaya daripada perbudakan ragawi. Seseorang diperbudak secara ragawi, setidak-tidaknya tubuhnya akan mendapatkan perawatan sedemikian rupa sehingga mampu bekerja. Jika seseorang diperbudak secara akali, maka apapun akan dilakukan untuk menjadikan akal pikirannya haus sehingga akal pikiran tersebut tidak lagi bekerja. Tidak akan ada dorongan untuk merubah dan memperbaiki hidup. Tanpa kesempatan untuk meilihat dunia luar dan mengenyam pendidikan, tidak ada dorongan untuk melawan ketidakadilan. Inilah ada di benak bangsa Yahudi di Jerman tahun 1935-1945. Yang mereka pikirkan hanya bagaimana cara mengikuti keinginan Sang Führer semata-mata agar tidak dikirim ke Auschwitz.
Peristiwa sejarah yang sangat memilukan ini menjadi salah satu dasar dalam penyusunan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh PBB pada tahun 1948, yang mencantumkan hak untuk mengenyam pendidikan sebagai hak asasi manusia, disamping hak untuk hidup, hak untuk merdeka dan memiliki kebebasan, serta hak untuk menjadi bagian dari masyarakat sosial (United Nation, 1948). Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pendidkan sangat penting untuk menghadirkan kehidupan yang layak dan sejahtera bagi individu maupun bangsa manapun.
Pendidikan dan Wajah Muram Indonesia
Jika saya ditanya, “Apa potensi terbesar yang dimiliki oleh Indonesia?”, saya akan dengan lantang menjawab bahwa itu bukan keragaman hayati dan budayanya, bukan juga luas negaranya, apalagi sumberdaya alamnya. Saya akan lantang menjawab bahwa potensi terbesar yang dimiliki oleh Indonesia, adalah manusia-manusia yang menjadi bagian dirinya. Potensi sumberdaya manusia Indonesia di tahun 2017 mencapai angka 260 juta jiwa (Worldometers, 2017). Terbesar ke-4 di seluruh dunia. Indonesia memiliki tenaga manusia 4 kali lebih banyak dari negara maju seperti Jerman, dan 40 kali lebih banyak dari negara yang juga tetangga kita, Singapura.
Tapi, dari fakta tentang Indonesia ini, muncul banyak pertanyaan-pertanyaan seperti,
Kenapa Indonesia hanya berada pada peringkat ke 61 dari 149 negara pada survey negara-negara tersejahtera di dunia? Tertinggal oleh negara tetangga kita, Malaysia di urutan ke-38, dan Singapura di urutan ke-19 (Legatum Institute, 2016)?
Kenapa Indonesia berada di peringkat ke-100 dari 189 negara pada survey nilai Gross Domestic Product (GDP) negara-negara di dunia? Kenapa peringkat Indonesia ada di bawah Iran yang berada di peringkat ke-70 (Global Finance, 2016)? Ini mengagetkan lho. Dari segi pendapatan per-kapita, ekonomi Indonesia ada dibawah Iran. Iya, Iran. Negara yang dilanda perang saudara dan ancaman terorisme sejak 2011 lalu.
Kok Bisa?
Jawabannya sederhana saja,
Kuantitas tanpa kualitas, ya sama aja bohong.
Kuantitas tenaga manusia Indonesia memang melimpah, tapi kualitasnya masih terbilang rendah. Selama 72 tahun merdeka, menemukan 11 orang diantara 200 juta-an jiwa, yang bisa membawa negara ini mengikuti pagelaran sepak bola tingkat dunia saja masih belum bisa, bahkan untuk bersaing di regional Asia saja sulitnya minta ampun. Sedangkan Jerman, yang populasinya kurang dari 1/3 jumlah populasi Indonesia saja, berhasil berulang kali merajai sepak bola Eropa dan dunia.
Kuncinya ada pada kualitas. Tanpa kualitas, negara dengan tenaga manusia sebanyak apapun akan sulit untuk maju. Tapi sebaliknya, negara dengan jumlah populasi yang sedikit namun berkualitas, masih bisa bersaing dengan mengandalkan kualitas sumberdaya manusianya. Quality over quantity. Sejarah pernah mencatat ini, dimana 300 tentara elit Sparta berhasil menahan 300.000 tentara Persia pada Battle of Thermophylae (480 BC).
Premis saya ini juga didukung oleh Human Capital Theory (Becker, 1962) yang menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh variabel kemampuan finansial, jumlah tenaga manusia, dan keterdapatan sumberdaya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh variabel penguasaan ilmu pengetahuan dan skill oleh individu. Kualitas sumberdaya manusia akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan individu/bangsa. Terpuruknya suatu bangsa, adalah bukti buruknya kualitas sumberdaya manusia yang menjadi bagian dari bangsa tersebut.
Lalu kenapa kualitas sumberdaya manusia Indonesia terbilang buruk?
Dari hasil survey yang dirilis oleh United Nation Development Program (2016) mengenai Human Development Index (HDI) Value, Indonesia memiliki nilai akhir 0.689 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-113 dari 188 negara, sangat jauh tertinggal dari negara tetangga kita Malaysia, yang memiliki nilai HDI 0.789 di peringkat ke-59, dan Singapura yang memiliki nilai HDI 0.925, yang menempatkan mereka pada peringkat ke-5 dunia. HDI seringkali digunakan oleh berbagai negara sebagai acuan untuk melihat keberhasilan/ketidakberhasilan kebijakan yang diimplementasikan pemerintah nasional untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat. Indikator yang diamati dalam perhitungan nilai HDI adalah Tingkat Harapan Hidup, Pendapatan per Kapita, dan Pendidikan (UNDP, 2010).
Pada survey lain, yang dilakukan oleh Legatum Institute (2016), memperlihatkan kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal dari negara maju seperti Swiss dan Finlandia. Pada parameter kualitas pendidikan, Indonesia hanya berada pada peringkat 72 dari 149 negara. Ada dibawah Iran di peringkat 71, dan jauh di bawah Malaysia dan Singapura di peringkat 31 dan 10.
Jadi dapat dikatakan, inilah akar dari semua permasalahan negara ini.
Mengapa Indonesia sulit untuk berkembang? Karena kualitas sumberdaya manusia nya yang buruk.
Mengapa kualitas sumberdaya manusia Indonesia buruk? Karena kualitas pendidikannya yang buruk.
Pendidikan yang baik adalah kunci untuk melahirkan manusia berkualitas, melahirkan manusia bijak dan berwawasan untuk memenuhi defisit kebutuhan tenaga di berbagai bidang untuk mensejahterakan Indonesia.
Wajah muram Indonesia pada hari ini, adalah buah kegagalan kita dalam menerapkan pendidikan yang baik. Yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Sebuah fakta yang banyak dipungkiri banyak orang, namun nyata terjadi di sekitar kita.
~”~
Sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan terbesar ke-4 di dunia, Indonesia memang memiliki banyak sekali hambatan dan tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu tantangan terberatnya adalah meningkatkan nilai Rata-Rata Lama Bersekolah masyarakat Indonesia. Program pemerintah Indonesia pada bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia, yang diwakili oleh Kemendikbud RI, adalah Program Wajib Belajar 12 tahun. Bagi saya, ini adalah target yang baik. Melihat rata-rata lama bersekolah di negara-negara maju seperti Swiss, Finlandia, dan Singapura antara 10-12 tahun. Sayangnya langkah ini seakan tersendat melihat rata-rata lama bersekolah masyarakat Indonesia di tahun 2016 yang hanya mencapai angka 7.9 tahun. Jadi dapat dikatakan bahwa saat ini rata-rata masyarakat Indonesia hanya berkemampuan dan berwawasan setingkat siswa SMP kelas 2. Kondisi ini menjadikan sumberdaya manusia Indonesia menjadi sulit bersaing dalam era ekonomi global jika melihat rata-rata lama bersekolah di negara-negara yang menjadi kompetitor ekonomi Indonesia di Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia berada di atas 8.2 tahun(UNDP, 2016).
Masalah lain yang tidak kalah penting ada pada sarana pendidikan meliputi tenaga dan fasilitas pendidikan yang ada di Indonesia. Secara kualitas, standar nasional sekolah, yang menjadi sarana utama pendidikan formal telah tertuang pada Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005. Sayangnya, dari 374.704 sekolah (semua jenjang pendidikan) yang ada di Indonesia, 30% diantaranya (sekitar 112.400 sekolah) masih di bawah standard nasional (KEMENDIKBUD, 2016). Bahkan bila mengacu pada kurikulum berstandar international oleh International Baccalaurate (IB), hanya 8 SD yang memenuhi standar The Primary Program (PYP), 8 SMP yang memenuhi standar The Middle Year Program (MYP), dan 7 SMA yang memenuhi standar The Diploma Program. Artinya, hanya segelintir saja sekolah-sekolah di Indonesia yang kualitas pendidikannya diakui pada level internasional.
Masih berbicara mengenai kualitas sarana pendidikan Indonesia, kualitas tenaga pengajar Indonesia juga masih bermasalah. Pasalnya, dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan Kemendikbud tahun 2016 kemarin, dari 1.6 juta guru yang ikut serta, hanya 192 orang yang mendapat nilai sangat baik (diatas 90). Sementara nilai rata-rata peserta ujian hanya mencapai angka 56 (JawaPos.com, 2016). Ini lucu sekaligus memprihatinkan. Karena jika kita bandingkan dengan batas minimal kelulusan Ujian Nasional tahun 2016 sebesar 55, akan banyak sekali guru yang tidak lulus. Atau setidaknya lulus tapi dengan nilai pas-pasan. Tapi intinya, bukan guru dengan kompetensi seperti ini tho yang kita harapkan untuk mencerdaskan bangsa?
Jika melihat data, sebenarnya hal ini mungkin tidak mengagetkan. Pasalnya, dari 3,4 juta-an guru di Indonesia, 642.797 guru (sekitar 18,6%) berpendidikan di bawah S-1, dengan rata-rata guru berpendidikan setingkat S-1 (KEMENDIKBUD, 2016). Hal ini tidak bisa dibilang baik karena di negara dengan pendidikan yang sangat baik seperti Finlandia, untuk menjadi guru level SD saja, mensyaratkan pendidikan minimil magister/S-2(In Amullah, 2015).
Kesenjangan jumlah dan kualitas sarana pendidikan juga tidak luput menjadi masalah pendidikan Indonesia saat ini. Pada kota-kota kecil di Indonesia, terutama yang berada pada daerah-daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) masih mengalami kekurangan sarana sekolah dan tenaga pengajar. Seperti yang terjadi di Provinsi Papua Barat, dari 2.629 tenaga yang dibutuhkan, hanya 1.620 tenaga yang tersedia. Hal ini juga terjadi di provinsi lain seperti Banten, dan Kalimantan Barat (KOMPAS, 2015).
Hal lainnya yang berkaitan erat dengan kondisi dan permasalahan pendidikan Indonesia adalah Kultur Pendidikan Indonesia, yang menurut penilaian pribadi saya, berada pada rentang level konyol hingga tidak masuk logika.
Salah satunya adalah Paradigma Pendidikan Berorientasi Hasil, tanpa melihat proses. Banyak sekolah ataupun institusi pendidikan yang hanya menjadikan hasil akhir sebagai penentu keberhasilan peserta didik.
Dari mana buktinya?
Dari stigma yang berkembang di masyarakat saat ini yang mengatakan bahwa nilai akhir adalah penentu kecerdasan dan kapabilitas seseorang. Ini tho yang jadi dasar utama pada sistem Ujian Nasional (UN)? Seseorang akan dinyatakan lulus tingkatan sekolah tertentu jika berhasil memperoleh nilai diatas batas minimal, terlepas bagaimana caranya siswa mendapatkan nilai tersebut. Padahal faktanya, hampir setiap tahun soal Ujian Nasional mengalami kebocoran (Tempo.co, 2015). Sudah keluar biaya trilliun-an, tujuan pendidikannya tidak tercapai. Rugi Bandar.
Dan yang sampai sekarang tidak bisa saya pahami menggunakan logika saya adalah Sistem Peringkat. Ambil contoh saat Tes masuk sekolah. Jadi, untuk belajar di sekolah tertentu (biasanya sekolah favorit), harus melalui serangkaian tes mata pelajaran eksakta. Yang nilai nya paling bagus (perinkat tinggi) akan diterima, sedangkan yang tidak mencukupi (peringkat rendah) tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah tersebut. Jadi isi satu sekolah tersebut adalah murid yang sudah pintar-pintar. Yang masih bodoh, yang seharusnya dididik dengan baik supaya pintar, tidak boleh bersekolah disitu. Sempat saya menyimpulkan nahwa sepertinya pendidikan terbaik memang hanya dimaksudkan untuk orang yang dari sananya sudah pintar. Mungkin maksudnya seperti itu.
Sebenarnya masih banyak lagi fenomena pendidikan, yang sepengamatan saya, “Konyol dan mbikin mesakke” dan berimplikasi pada kualitas pendidikan Indonesia. Konsep Belajar Menghafal, Doktrinisasi Ajaran, Kultur Pendidikan Patriarki dan semacamnya. Ingin rasanya saya utarakan seluruhnya tapi pasti akan memakan lebih banyak paragraf lagi, dan saya tahu kamu mulai bosan membaca ndumelan saya ini.
Tapi point pentingnya adalah, kita tidak bisa menafikan bahwa kualitas pendidikan kita bobrok. Mulai dari sistem hingga kulturnnya. Dan ini berefek pada laju perkembangan Indonesia yang gitu-gitu aja.
~”~
Saya punya mimpi untuk melihat pendidikan indonesia yang diakui di mata dunia. Saat ijazah universitas di Indonesia dapat disamakan dengan ijazah dari Harvard atau Yale. Saat nominasi penghargaan nobel diisi oleh nama-nama anak nusantara. Saat dunia berbondong-bondong ingin menempa ilmu di negara ini. Mimpi saya ini, saya sematkan pada ide-ide yang ingin saya utarakan lewat tulisan saya ini. Mulai dari ide yang njeliment dan malesin, sampai yang sangat sederhana, yang manusia medioker seperti saya juga bisa melakukannya. Dengan harapan dapat men-trigger perubahan pendidikan Indonesia kearah yg lebih baik di masa depan
Pertama, dan biasanya yang paling dianggap rumit dan malesin, adalah membuat masyarakat Indonesia memiliki pemahaman politik yang baik dan terlibat aktif dalam politik Indonesia. Setuju tho kita punya masalah di sistem pendidikan kita? Apa dengan curhat 140 karakter di Twitter menyelesaikan ini? Atau apakah menyusun essay 1500 kata yang dikirim untuk perlombaan berhadiah 2 juta rupiah bisa membuat pendidikan Indonesia selevel dengan Swiss?. Memberikan efek sih, tapi belum cukup.
Yang dibutuhkan adalah “Kekuasaan”. Kekuasaan itu sangat esensial dalam penyusunan dan penentuan arah kebijakan dalam sebuah sistem raksasa bernama negara. Dan kekuasaan, diraih melalui jalur politik. Budiman Sudjatmiko, salah satu tokoh politik Indonesia favorit saya, dalam suatu Talkshow di salah satu TV swasta pernah berkata, “Lewat politik, saya jadi bisa bagi-bagi uang sama orang ndeso”. Maksudnya?
Maksudnya, seorang manusia biasa yang sekedar punya jabatan di parlemen, bisa menggelontorkan 600 triliun lebih “uang rakyat” untuk kemajuan perdesaan di Indonesia.
Bila dikaitkan dengan premis saya,
melalui politik, kita bisa menentukan fokus APBN Indonesia untuk kebutuhan Program Wajib Belajar 12 Tahun yang selama ini terhambat masalah pendanaan untuk perbaikan fasilitas sarana dan tenaga pendidikan di daerah 3T.
Lewat politik, kita bisa menghapuskan sistem UN yang nirfaedah dan membuang-buang uang. Yang cacat dari segi konsep dan target capaiannya.
Lewat politik, kita bisa ikut menyusun UU Standar Pelayanan Minimal (SPM) fasilitas dan tenaga pendidik level internasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang selama ini butuh standar yang baik.
Atau setidaknya, jika kamu masih enggan untuk terjun ke dunia politik, dapat dimulai dengan berkontribusi aktif dalam pemilihan kepala negara. Pilih calon dengan menggunakan rasionalitas berbasis program. Yang program pendidikannya pro-Human Capital Develompment dengan track record yang dapat dipercaya. Jangan sekedar pilih orang karena dia dan kita sea*ama.
Se-Asrama maksudnya hehehe.
Kedua, yang lebih sederhana, adalah mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam proses pendidikan dan meningkatkan kualitas literasi. Di zaman modern ini, pencarian ilmu dan wawasan tidak terbatas hanya lewat sumber konvensional seperti buku saja, proses edukasi tidak terbatas pada temu tatap muka saja, dan pertukaran informasi tidak terbatas oleh batas-batas geografi saja. Di era globalisasi, semua manusia dengan akses internet terhubung satu sama lain dan punya akses yang sama terhadap informasi, kapanpun dan dimanapun. Negara dengan pendidikan terbaik seperti Swiss, sudah mengintegrasikan teknologi dengan proses edukasi, karena mendapatkan informasi melalui internet dinilai lebih aktual, relevan, ekonomis, dan efisien. Terlebih untuk edukasi pada anak-anak, teknologi akan lebih menstimulasi keinginan belejar mereka.
Sayangnya hal ini belum terjadi di Indonesia. Memang penggunaan teknologi dan internet di Indonesia sudah sangat masif. Mengacu pada survey APJII (2016), pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta jiwa. Dengan komposisi pelajar (10-24 tahun) 18,4%, penduduk usia produktif (25-54 tahun) 71,6%, dan manula (>55 tahun) 10%. Namun, survey pada parameter Perilaku Pengguna Internet, menunjukan mayoritas penggunaan internet ditujukan untuk akses social media (Facebook, Instagram, Twitter, dll). Dan saya mengamini hasil survey ini. Pasalnya, sepengamatan saya di lingkungan pergaulan saya yang mahasiswa ini, kebanyakan penggunaan internet adalah untuk akses mereka ke social media dan hiburan. Jadi jangan kaget jika wawasan penduduk indonesia, terutama yang berada pada usia produktif, terbilang rendah. Karena pada kesehariannya, kita lebih senang membaca postingan @lambe_turah dibanding majalah online Historia atau ScienceMag. Kita lebih senang menonton diary A*wkarin (yang gak penting-penting amat) di YouTube dibanding menonton Ted-Ed atau BigThink.
Bayangkan jika yang seperti ini guru-guru kita? Ingat, guru yang buruk hanya akan menghasilkan guru-guru yang buruk lebih banyak lagi. Jika tidak diubah, akan terus begitu sampai geng Liberal bisa akur dengan geng Hardliners.
Ketiga, dan yang paling sederhana dan gampang, adalah kritis dan berani mengutarakan pandangan membangun kita tentang kondisi pendidikan Indonesia. Seperti Albert Einstein dan Margaret Mead yang berani bersuara mengubah paradigma dan kultur buruk yang mengakar pada dunia pendidikan.
Tidak setuju paradigma kecerdasan diukur dari nilai mata pelajaran eksakta? Suarakan bahwa setiap manusia adalah unik, dan berhak untuk dihargai keunikannya. Sudah sepantasnya pendidikan mengakomodasi semua ragam kecerdasan yang ada. Tidak terbatas pada Natural dan Social Science, tapi juga seni, budaya, linguistik dan olahraga. Dukung hak mereka untuk merasakan fasilitas pendidikan seperti jurusan Natural & Social Science.
Jengah melihat pendidikan Indonesia yang penuh doktrinisasi? Utarakan bahwa pendidikan yang baik adalah “to taught how to think, not what to think”. Katakan bahwa pendidikan adalah Hak Asasi bagi manusia. Semua manusia berhak memilih apa yang ingin ia pelajari, tanpa paksaan dan larangan. Semua peserta didik diperkenankan belajar dari buku atau sumber manapun, tidak terbatas pada sumber dari sang guru ataupun negara. Teriakan bahwa pendidikan harus memerdekakan akal manusia, bukan sebaliknya.
Kita harus berani berkata bahwa pendidikan Indonesia harus bernas Inovasi. Pendidikan yang dijalankan harus kritis dan progresif serta up-to-date dengan dinamika pengetahuan global. Mendorong imajinasi dan kreatifitas untuk mencipta, bukan meniru. Pendidikan yang membuka cakrwala wawasan, bukan menutup pemikiran. Pendidikan yang melahirkan kebijaksanaan, bukan kesombongan. Dan,
“Pendidikan yang Mencerdaskan”
> gak asal-asalan kok, nih ada sumbernya:
ANTARA, 2017. Tempo.co. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2017/01/26/079840126/kementerian-pendidikan-hanya-70-persen-sekolah-penuhi-standar [Accessed 17 April 2017].
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 2016. Data Statistik Pengguna Internet Indonesia Tahun 2016. [Online] Available at: http://isparmo.web.id/2016/11/21/data-statistik-pengguna-internet-indonesia-2016/ [Accessed 20 April 2017].
Becker, G. S., 1962. Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis. The Journal of Political Economy, 70(5), pp. 9-49.
Global Finance, 2016. The Richest Countries In The World. [Online] Available at: https://www.gfmag.com/global-data/economic-data/richest-countries-in-the-world?page=12 [Accessed 16 April 2017].
Hisyam, M., 2007. Budi Utomo, Kebangkitan Nasional, dan Nasionalisme. Jakarta, Seminar Nasional "Refleksi Satu Abad Kebangkitan Nasional".
In Amullah, S., 2015. “Guru Unggul, Sekolah Hebat” ala Finlandia. [Online] Available at: http://www.sekolahguruindonesia.net/guru-unggul-sekolah-hebat-ala-finlandia/ [Accessed 17 April 2017].
JawaPos.com, 2016. Kualitas Guru Indonesia Masih Rendah. [Online] Available at: http://www.jawapos.com/read/2016/04/27/25739/kualitas-guru-indonesia-masih-terendah [Accessed 17 April 2017].
JPNN.com, 2015. Program Wajib Belajar 12 Tahun Tak Maksimal, Ini Penyebabnya. [Online] Available at: http://www.jpnn.com/news/program-wajib-belajar-12-tahun-tak-maksimal-ini-penyebabnya [Accessed 20 April 2017].
justlanded.com, 2013. New technologies in schools: How iPads or Laptops Stimulate learning. [Online] Available at: https://www.justlanded.com/english/Switzerland/Articles/Education/New-technologies-in-schools [Accessed 20 April 2017].
KEMENDIKBUD, 2016. Ringkasan Statistik Pendidika 2015/2016. ISSN 1410-1556 ed. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kemenkeu RI, 2015. Hulu ke Hilir Dana Desa. [Online] Available at: http://www.kemenkeu.go.id/dana-desa [Accessed 20 April 2017].
Knoema, 2017. Human Development Report: Mean Years of Schooling. [Online] Available at: https://knoema.com/HDR2015/human-development-report?tsId=1006970 [Accessed 16 April 2017].
KOMPAS, 2015. Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal Sangat Berat. [Online] Available at: http://cdn.assets.print.kompas.com/baca/dikbud/pendidikan/2016/01/22/Kecukupan-Guru-Masih-Semu-Beban-Para-Guru-di-Daer [Accessed 17 April 2017].
Legatum Institute, 2016. The Legatum Prosperity Index 2016. [Online] Available at: http://www.prosperity.com/rankings [Accessed 16 April 2017].
Mata Najwa, 2014. Mata Najwa: Onde Mande Parlemen, Payakumbuh, Kota Padang: Metro TV.
Media Indonesia, 2016. Jusuf Kalla Tekankan Pendidikan Indonesia Butuh Standar. [Online] Available at: http://mediaindonesia.com/news/read/79744/kalla-tekankan-pendidikan-indonesia-butuh-standar/2016-11-28 [Accessed 20 April 2017].
Republika, 2016. Kekurangan Tenaga Guru. [Online] Available at: http://www.republika.co.id/indeks/hot_topic/kekurangan_guru [Accessed 17 April 2017].
suaraindonesianews.com, 2015. Standard Pelayanan Minimal Pendidikan perlu diterapkan di Indonesia. [Online] Available at: http://suaraindonesianews.com/pendidikan/standar-pelayanan-minimal-spm-pendidikan-perlu-diterapkan-di-indonesia/ [Accessed 20 April 2017].
Tempo.co, 2015. Kebocoran Soal UN Kerap Kali Terjadi, Mengapa?. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/06/18/275676259/kebocoran-soal-un-kerap-kali-terjadi-mengapa [Accessed 18 April 2017].
UNDP, 2010. The Human Development Concept. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/en/humandev/ [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report 2016: Indonesia. [Online] Available at: http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2017/doc/INS-Indonesia_Country%20Explanatory%20Note_HDR2016.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report 2016: Singapura. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/SGP.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Development Program, 2016. Human Development Report: Malaysia. [Online] Available at: http://hdr.undp.org/sites/all/themes/hdr_theme/country-notes/MYS.pdf [Accessed 16 April 2017].
United Nation Human Development, 2013. Mean Years of Schooling (Aged 25 years and above). [Online] Available at: http://hdr.undp.org/en/content/mean-years-schooling-males-aged-25-years-and-above-years [Accessed 16 April 2016].
United Nation, 1948. Universal Declartion of Human Rights. [Online] Available at: http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/eng.pdf [Accessed 16 April 2017].
Worldometers, 2017. Countries in The World by Population. [Online] Available at: http://www.worldometers.info/world-population/population-by-country/ [Accessed 16 April 2017].
0 notes
Text
Subjectively-Objective
Talking about perspective, objective means ones that aren’t influenced by personal emotion, opinion, prejudice or feeling, which is often quantifiable, measurable, and replicable. While subjective considers ones personal interpretation. People often says subjective is an arguable opinion whereas objective is deniable truth e.g. I would say 2016-2017 is the worst season for Arsenal, this statement might subjectively different from people to people, but the objective facts is that we’re down to 6th place right now ☹.
So, we can ‘convert’ subjective into objective knowledge by cross-checking the interpretation with observable facts/science?
Not so fast.
Let’s just contemplate a little more.
It is indeed, with the progressive advancement of STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), human can immediately conclude whether something is undeniable truth or not; Tardigrade is toughest organism on earth, LQBTQ isn’t a disease, the earth crust is currently moving in constant pace, and so on. But to make thing interesting, i should emphasize that no matter how objective science is, it’s impossible to no to attract at least 2 observers. Instead science, which is backboned by observable facts from various observers, may serves different result and different interpretation.
You could say, 1+1=2, and most people will certainly say so too, but another observer might say that 1+0.99999… =2, and not 1.99999…. The other observer will argue and said that 1+0.99999…=1.99999… and not 2. Even this kind of different interpretation happened in mathematics, that often glorified as the most objective science. In physic, the essence of objectivity is tampered by the emerging of Quantum Physic, which is so peculiar and doesn’t make any sense… but still be considered as objective! It stated that the electron of an atom will existed near the atom itself, but in Quantum Physic, we could argue that the electron might existed in faraway galaxy, million light years from the atom. The fact remain ‘subjective’ from different observer, so do you still believed science is ‘objective’? could science with its arguable-undeniable truth-paradox convert something ‘subjective’ into ‘objective’?
I’m not even mentioning solipsism; when existing reality might be contrived by our own brain, or a particular system just like The Matrix. Everyone, perhaps, will agree that human need oxygen to survive, but what if oxygen is actually some kind of hallucinogen that generated our current reality of universe? Our consciousness? What if that death is actually the end of hallucination stage?
If multiverse were true, and any universe has different value of maximum light speed, what stopping us thinking that all of our knowledge of universe is only a simulation generated by high-tech computer?
Is reality the way it is? What if reality is only subjective interpretation simulate by a higher entity?
This is what happen if you’ve contemplated in philosophy too deep. You might even can’t determined objectivity. Subjective experience is all there is, depends on how the observer observing.
For me, personally, the true objectivity would be achieved if, and if only, there were no observer; when there were no more intelligent being observing universe. The true objectivity would be achieved when there were no more question like this.
Ps. I’m not high.
0 notes
Text
The Great Conflict #1
My religious friend said that everything in this universe is predetermined. In some case, i agree. It's like an analogy made by Sir Newton that the universe is a gigantic clock that wound up in the beginning of the time and has been ticking according to his mechanic laws. The 3rd laws of newton talking about causality said that action produce reaction, which produce another reaction, and so on. So yourself, that end up reading this blabbering was caused by my decision to play Crash Bandicoot instead going to mosque years ago. Some sort of that.
And Einstein believe this Newtonian Deteminism as you've heard his famous quotes, "God does not play dice". But Heisenberg then comes in with his uncertainty principle, throwing doo-doo on Newton's face while yelling, "Nonsense! You'll never know where the electron is!". This is what Einsten hated because according to this, God do plays dice. With the universe. From the perspective of quantum realm, you'll never know the exact position or momentum of something. Those could be anywhere and both can't be determined at a same time. Philosophically speaking, nothing can determined our future given our past history. There's always a wild card, and there's always possibility of uncertainty in whatever we do. But what if, it was predetermined that we human, act with free will because of causal chain leading back to the very start, in other words, God or being of some sort made us to do so? Just like the photon reflected from the electron that make us hardly believe that it was the exact electron we observe? Careful with physic son.
1 note
·
View note
Text
Kafir yang Bahagia
Saya mau cerita sedikit tentang bacaan saya beberapa hari ini. Jadi saya tengah tertarik belajar bahasa dan hubungannya dengan kemampuan kognitif manusia. Saat sedang browsing, saya menemukan sebuah paper yang sisinya sangat menarik: Cultural Constraint on Grammar and Cognition in Piraha, ditulis oleh Daniel Everett (2005), seorang linguist asal Amerika.
Isi paper tersebut bagi saya menarik, karena menginformasi kan kemampuan berbahasa sebuah suku indigeneous di pedalaman amazon. Cara berkomunikasi mereka yang unik, struktur bahasa yang beda dari bahasa lainnya, dan hubungan bahasa mereka dengan cara mereka berfikir (kognitif).
Tapi ada yang lebih menarik dari ini, ternyata tujuan utama Daniel Everett saat datang ke sungai maici pedalaman amazon bukan itu, melainkan menyebarkan ajaran bible, menerjemahkannya kedalam bahasa lokal untuk "mengkonversi" penduduk setempat kedalam ajaran kristus. dengan kata lain, beliau ini adalah seorang misionaris.
Sebagai seorang misonaris, jelas beliau “membawa pesan dari Tuhan” untuk mereka, tapi mereka menolak mentah-mentah dengan pertanyaan2 “nyelekit” seperti; “Apakah kamu pernah melihat Yesus? mengapa Anda berkata kepada kami tentang apa yang tidak penah sama sekali Anda lihat ?”. Tidak menyerah di satu desa, di desa lainnya pun dia tetap mencoba hal tersebut, tapi sayang dia gagal dan nampaknya malah dia yang terkonversi. Pengalamannya ini digambarkan dalam sebuah film dokumenter: The Grammar of Happiness (2012), rating di IMDB nya 7.8 lho, Batman V Superman aja kalah.
Dalam paper-nya beliau juga menulis, "The Piraha˜ do not create fiction, and they have no creation stories or myths. When pressed about creation, for example, Piraha˜ say simply, “Everything is the same,”. Piraha˜ simply claim that the way things are is the way they have always been." ini menunjukan bahwa suku piraha tidak peduli akan ingatan masa lalu dan menjalani hari tanpa prasangka. Filosofi mereka mempengaruhi bagaimana mereka bertindak. Prioritas mereka adalah apa yang mereka alami sekarang dan hasilnya mereka bahagia.
Jadi jika berkaca dari suku piraha ini, justifikasi bahwa agama memberi tujuan hidup dan kepastian sudah tidak bisa dipakai lagi. Suku piraha menunjukan kepada kita bahwasannya kebahagian itu kita sendiri yang menentukan, baik dengan mempercayai keberadaan Tuhan ataupun tidak. Dan statement yang kerap kita dengar mengenai kacaunya hidup seseorang bila dia tidak beragama telah dibantah oleh suku kecil di amazon yang hidup harmonis dengan alam dan budayanya sendiri, tanpa dogma kepercayaan sedikitpun.
Referensi: 1. Daniel Everett, “Cultural Constraints on Grammar and Cognition in Pirahã”, Current Anthropology, Volume 46, August–October 2005, pp. 621-46.] 2. https://en.wikipedia.org/wiki/Pirahã. Diakses pada: Senin, 6 Maret 2017 14:12 WIB.
Sumber Gambar:
1. https://daneverettbooks.com/about-dan/about-the-pirahas/


1 note
·
View note