bazilie-blog
bazilie-blog
Puisi Anonim
6 posts
Tak perlu identitas tuk sekedar mengungkapkan kata
Don't wanna be here? Send us removal request.
bazilie-blog · 8 years ago
Text
Absurd
           Matahari telah tinggi, angkasa biru, hanya biru, tak ada awan. Cuaca cerah untuk menjalani kehidupan, sebenarnya. Tapi ia hanya memandang plafon kamarnya sejak bangun dari tidur. Tidak melakukan apa-apa, tidak memikirkan apa-apa. Dan tidak tahu, peristiwa apa yang akan menyalami hidupnya.
             Di meja, teronggok segelas kopi, terisi setengah, kosong setengah. Layar laptop masih menyala, dengan lembar kerja yang masih kosong, belum tertera huruf apa-apa. Data kependudukan masih teronggok, bersama buku-buku yang terbuka, yang tidak memiliki hubungan apa-apa: Cala Ibi, Arsitektur Hujan, Rahasia Selma, Al-quran, Il Prince, Burung-Burung Manyar, Rumah Tangga Bahagia, Mati Bahagia, Orang Asing, dan sejumlah entah. Ada asbak yang telah penuh, beberapa puntung rokok, berbagai merk tidur di dalamnnya, habis menjadi abu, doping untuk begadang, hingga kantuk menyerang.
             Pemantik menyala, sebatang rokok terbakar, rokok terakhirnya, suara tirai disibakkan, jendela terbuka, cahaya matahari memasuki kamar yang lembab. Asap rokok dihembuskan, aroma tembakau dan cengkih memenuhi ruangan. Membiaskan cahaya, membentuk bayangan, benda mati yang menjadi hidup. Menjadi hal lain, dari dunia yang biasa-biasa saja, baginya.
             Jam dinding, menghitung dirinya sendiri. Jarum panjangnya berputar-putar, hentakan lambat itu, teratur. Dia menjadi benci. Melemparkan asbak yang telah penuh. Abu rokok terbang, puntung rokok berjatuhan. Kamarnya kotor. Pecahan kaca berserakan di lantai. Dingin. Tapi jam dinding terus menghitung waktu, setidaknya untuk dirinya sendiri, dia tidak tepat sasaran. Dia mencari benda yang bisa dilempar, ada gelas, ada laptop dan ada buku-buku, dia melempar dirinya sendiri untuk ikut dihitung waktu. Menghisap rokoknya lagi.
             Ia melihat kalender, foto wanita cantik tergambar di sana. Tersenyum, belahan dadanya keliatan, membangkitkan syahwat. Tapi tak bisa langsung disalurkan, belum punya istri dan pacarnya baru menikah dengan teman kerjanya, 2 hari yang lalu. Matanya yang berwarna coklat muda fokus memperhatikan tanggal. Ada 30 susunan angka di bulan September, ia mengambil salah satu, dia yakin, sekarang hari Minggu, 24 September 2017.      
             Rasa lapar membuatnya bangkit dari kasur. Mencuci muka, menyikat gigi, menyemprotkan deodorant body spray, dan menyisir rambutnya yang ikal. Menghidupkan motor, ia berkendara di jalan raya, lenggang. Di perempatan, ia berhenti untuk menunggu lampu hijau, lelaki tua menawarkan koran minggu, renta, kulitnya terbakar sinar matahari, keling. Langkahnya terseok-seok di aspal. Dia membeli satu, karena iba. Sial, harganya lebih mahal. Dia merasa ditipu. Tapi lampu hijau mengharuskan ia melaju, tak memberi waktu untuk berdebat.
             Sebuah warung, ramai. Plang besar bertuliskan aksara Sunda. Dia tak bisa membacanya, dan tak perduli, sama seperti sebagian besar orang-orang, sepertinya, karena ada yang memakai peci dan jilbab panjang. Padahal arti tulisan itu adalah Warung Dendeng Babi. Sebenarnya selalu ada tatapan aneh dari pelanggan etnis tionghoa padanya, atau pada mereka yang memakai pakaian berlabel syariah. Tapi dia acuh, siapa yang bisa menolak dendeng yang digoreng kering, bumbu ketumbar dan gula merahnya meresap, ada aroma harum ketika disajikan dengan nasi panas yang mengepul. Belum lagi pendampinya, cabai yang digerus kasar bersama kencur dan garam. Nikmat. Dia makan dengan lahap.
             Sambil menunggu lambungnya kosong, ia membuka-buka koran. Tak ada yang menarik untu dibaca. “Rubrik sastra telah dihilangkan dari koran Minggu.” Ia mencibir.
             Setelah membayar, ia berjalan ke mini market di sebrang. Membeli rokok dan bir dingin. Ia minum bir sambil berdiri, lalu merokok. Asap itu mengingatkan pada kamarnya yang berantakan, sisa pecahan asbak dan buku-buku yang berserakan, ia malas pulang. Tapi cuaca begitu panas, padahal sekarang musim hujan, hari-hari kemarin, hujan membasahai kotanya dengan rakus, tak membiarkan matahari mencium aspal barang sebentar. Gorong-gorong yang penuh sesak oleh sampah menumpahkan air ke jalan. Banjir.  Banyak yang tidak kuasa terbenam dalam genangan air, mogok. Peluh membasahi punggungnya, deodorant tak memberi pengaruh apa-apa. Ia merasa tak nyaman.
             Dirinya merasa bosan, memutuskan pergi ke kaki gunung. Tidak lama, hanya sebentar (2 jam perjalanan) dan tubuhnya telah dipeluk oleh kabut, dingin. Adzan ashar berkumandang, ia berpapasan dengan masjid, tiba-tiba mengingat Tuhan.
             Saat memasuki gerbang, langkahnya berat. Seperti ada batu besar terikat di kakinya. Tapi ketentuan sudah tetap, ia semakin bergegas, dan sampai di tangga beranda. Tapi kali ini tubuhnya panas tatkala berusaha menapakkan kaki di lantai yang seharusnya dingin. “Kenapa anak muda.” Ia bingung. “Mungkinkah hanya orang suci yang boleh bertemu tuhan?” Ia keluar dari halaman masjid, mengabaikan suara pak kiai yang menanyainya.
             “Kenapa orang itu seperti kepanasan pak kiai?” tanya seorang jamaah yang memperhatikan dia.
           “Pasti orang itu baru saja makan babi dan alcohol.” Pak kiai menerka-nerka.
             Hujan kemudian turun, deras. Ia berlari menuju warung kopi. Berteduh. “Jika tuhan menolakku, lantas, kemana lagi aku harus mencari pengampunan?” matanya menatap ke depan, kosong.
             Pikiran membawanya ke kamar. Ada tugas dari desa yang harus diselesaikan, menyusun data kependudukan, tapi setiap malam ia dirundung kesedihan (kekasihnya ditiduri teman, pasti sekarang sudah tidak perawan), ia jadi sering diam, hingga kantuk menyerang, hingga pagi menjelang. Tugasnya masih belum rampung. Padahal besok hari senin.
             Dia teringat sesuatu, buru-buru ia menggeber motornya. Air hujan membasahi tubuhnya, kuyup. Sampai di rumah, segera ia memasuki kamar. Mencari-cari sesuatu dalam lemari.
             “Ah, ketemu.”
             Di luar, hujan begitu deras, sangat deras, suara petir menambah semarak, menakutkan. Tapi di dalam kamar itu, hanya ada bunyi: seorang pemuda tertawa seorang diri. Di tangannya, ada sebatang rokok aceh yang ingin menjulang tinggi.
1 note · View note
bazilie-blog · 9 years ago
Text
Malam yang basah di bulan januari, aku duduk di jalan tol yang telah sunyi. Tiada lagi deru kendaraan manusia yang pergi pun pulang, sepi semuanya sepi hanya cahaya kuning lampu jalan yang masih memberikan kehidupan. Aku menidurkan diriku di atas aspal, di bawah lampu jalan. Mataku merasakan silau lampunya, dingin aspalnya dan kesepian. Ah ya aku sedang menunggu sesuatu. Sebuah keajaiban yang selalu aku temui kala purnama di bulan januari. *** Angin yang berhembus bergemuruh, menyingkirlah awan mendung yang tutupi rembulan. Segera saja suara hewan-hewan malam menjadi senyap. Bulan itu menjadi merah, bagaikan darah yang selalu mengalir kala aku menggoreskan kaca pada tanganku. Suara itu muncul, “duduklah, aku datang” suara berat dari bayangnku, bayanganku bisa bicara. Berkenalanlah dengan bayanganku yang bisa hidup, dia adalah pendengar yang baik. Dia adalah makhluk dua dimensi yang selalu datang di purnama bulan januari. Seluruh tubuhnya gelap. Ia tidak bisa bicara setiap waktu katanya, dan hanya bisa ditemui di purnama bulan januari di tempat yang sama, di bawah cahaya lampu jalan tol. Sayang sungguh sayang, padahal aku selalu ingin mendengar suaranya setiap waktu. Katanya lagi, jangan khawatir setidaknya ia selalu menemaniku setiap waktu, walau dalam diam. Katanya lagi ketika aku makan atau minum sesuatu di saat dia bisa bicara maka dia bisa merasakan apa yang aku rasakan. Jadi setiap purnama di bulan januari kadang aku membawakanya masakan buatanku, ah dan katanya dia suka sekali dengan asap tembakau. Jadi setiap malam purnama di bulan januari ini aku menjadi perokok. “Bayangan, hari ini aku tidak membawakanmu makanan, aku hanya membawakanmu beberapa batang rokok. Kamu jangan marah yah, jangan pergi sepeti waktu itu. Aku kangen sekali sama kamu” aku memasang wajah kasihan dengan kedua telapak tangan yang bertemu tanda memohon. Aku lupa, pernah sekali dia pergi ketika kami sedang berbicara, dia marah, katanya dia benci ketika aku menceritakan ada lelaki yang mendekatiku. Aku sangat sedih waktu itu, aku menangis sampai matahari terbit. Sejak saat itu aku menghindari semua laki-laki. Lagi pula mereka itu tidak akan dapat membuatku bahagia, mereka egois, ingin menang sendiri. Aku lebih memilih bayanganku dari pada mereka. “ya, aku tidak akan marah lagi, aku pun sedih waktu melihatmu menangis sampai pagi. Tapi rasa cemburu telah membakar rasa kasihanku. Bakar rokoknya, aku merindukan merokok bersamamu” Oh iya, ia tidak memiliki wajah, jadi aku tidak pernah melihat ekspresinya ketika senang, sedih juga marah. Tapi aku bisa tahu suasana hatinya ketika ia bersuara. Ah ya kaliah harus tahu suaranya agak serak dan tegas, aku kira jika ia jadi manusia seperti kita ia akan menjadi lelaki yang gagah. Aku mulai membakar tembakau itu, tangannya mengikuti tanganku yang menyalakan korek api. Asap membumbung tinggi, dan cahaya lampu yang mengenainya menciptakan bayangan. “lihat apa yang bisa aku lakukan dengan bayanagan ini” kata bayanganku. Ia menyentuh bayangan asap itu dan mengubah bentuknya. Ada bayangan perbukitan, sebuah kota. Ia lalu mengambil bayangan itu dan tara… sebuah gambar hati. “haha apa maksudmu?” Aku tersipu, senang rasanya diberikan tanda hati. “Aku mencintaimu” Sejenak, darah di tubuhku berhenti. Bayangan engkau tidak memiliki wajah, berbicara denganmu pun sesuatu yang langka, bertemu denganmu disiang hari adalah mustahil, tapi dibalik semua itu bayangan… “aku juga mencintaimu”. Tanpa ragu aku memeluk bayanganku di atas aspal, aku menciuminya. Yang aku rasakan hanyalah dinginnya jalan yang telah mengeras. Akan tetapi aku merasakan hangat dibibirku, ah ya… napasku semakin berat, aku memeluk bayanganku semakin erat. Napasku semakin tersenggal, sampai tanpa aku menutup mataku. **** Detik demi detik berlalu, tak terasa matahari telah berjalan sampai ke timur. Satu dua mobil melewat begitu saja. Terlihat jelas mereka memperhatikanku yang sendirian di bawah lampu jalan. “Allahuakbar Allahuakbar” Suara adzan terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Ah aku tahu setelah ini, ah aku tahu. Bayanganku kembali menjadi gambar hitam lagi. Hanya benda dua dimensi yang tidak bisa bicara. Ah, tidak, aku tidak ingin berpisah dulu. Aku masih ingin bersama bayanganku yang dapat bicara. Ah, muadzin bodoh, dia tidak tahu suaranya itu membuatku sangat panic. Ah bagaimana ini? aku tidak ingin berpisah dulu dengan bayanganku. Aku pun berlarian tak keruan di bawah lampu jalan yang membentuk lingkaran. Satu, dua, tiga, dan kini sudah banyak mobil yang melewatiku. “aku merindukanmu, sungguh aku merindukanmu bayangan, akan tetapi kenapa engkau hanya hadir di purnama bulan Januari? Ah aku membenci waktu yang cepat berputar.” Aku mengatakannya dengan suara paling keras yang kupunya. Tanganku tak henti-hentinya memukuli udara, walau aku tahu udara sama sekali tidak dapat kusentuh. Ah… aku harus bagaimana suara adzan itu semakin jelas sekarang. Sampai di satu titik. Bayanganku muncul dari aspal itu. Ia hadir sebagai seorang lelaki yang sangat tampan, hidungnya melengkung sempurna. Matanya tajam, tubuhnya tinggi, ah jenggot itu sangat kusuka. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum, ah senyumnya manis sekali ada lesung pipit di pipi kirinya. Akan tetapi ia telanjang, ah iya aku yakin tidak ada satu helai pun benang di tubuhnya. Terkejut, takjub, takut, semuanya terdegradasi oleh rasa bahagia yang aku rasakan. Ah ya akhirnya aku dapat melihat wujud asli dari bayanganku. Tanpa menunggu lama, aku memeluk bayanganku, ia memelukku lebih erat. Aku merasakn harum tubuhnya yang wangi kesturi, sangat menenangkan hatiku. “sejenak ini aku hadir dalam rupaku yang sesungguhnya, akan tetapi tetap saja kehadiranku tiada akan mengisi lubang di hatimu itu. Hey, gadisku tetaplah tersenyum. Ini adalah pertemuan terakhir kita” ada kesejukan yang menetes di atas ubun-ubunku. Bibirku bergetar, mataku panas oleh kata-katanya, andai saja waktu dapat kuambil dan aku simpan dalam bingkai foto, tidak masalah aku hidup dengan kekakuan pada posisi seperti ini. Mobil-mobil berhenti tepat di depan kami. Kami dikelilingi orang-orang yang selalu ingin tahu. Kilatan lampu flash dari kamera menimpali kami bagai air hujan. “huh huh huh, “kalo mau bermesraan jangan di sini dong” “huh huh huh”, kami dilempari sampah. Ah aku tidak peduli. Aku tidak akan peduli pada teriakan teriakan dan perlakuan dari mereka.
1 note · View note
bazilie-blog · 9 years ago
Text
Wanita, Hujan, dan Pertanyaan
kisah indah ini terukir bersama purnama yang buram dan menggetarkan hati dalam ingatan di sebuah kali padanya, tertulis cerita kulit yang disentuh neraka dikala ia dengan rela menyerahkan rindu dan cintanya pada hujan yang menyimpan wajah di masalalu selepas ia disajikan kejujuran yang baik ia menangis, tak terima menjadi bayangan "dimanakah mencari keikhlasan dalam kebohongan?" dan setelahnya ia selalu menuntut awan untuk menurunkan hujan padanya, tertulis cerita wanita yang menghabiskan malam dengan hujan bersama setiap rintik itu, ia nikmati ekstasi dari pertemuan andai bisa terjadi ia akan meminta waktu berhenti berjalan agar ia selalu abadi dalam kuyup hujan yang meneduhkan "bisakah kita hidup seperti ini saja? layaknya canda yang tak mengenal usia" tapi hujan tetaplah hujan, ia akan berhenti dan menerbitkan sebuah pelangi padanya, tertulis hujan yang sudah lelah basahi hutan karna tak ada lagi pepohonan untuk disirami dan binatang pun telah lenyap dimangsa piramida tertinggi "tuhan, biarkan aku menjadi pelangi, setidaknya biarkan aku perlihatkan keindahan setelah mendung" maka kisah ini pun berhenti setelah tuhan betanya "maka, nikmat yang manakah yang kau dustakan?"
1 note · View note
bazilie-blog · 9 years ago
Text
Bunga pun Berdoa
Izinkan aku memberimu setangkai bunga yang kusemai dan kutumbuhkan di lembah kasih sayang yang harumnya akan membuat lebah menari bersama kupu-kupu yang membuat waktu tak tega membiarkannya layu Izinkan aku menaruh bunga di jendela kamarmu biarkan wujudnya melantunkan doa-doa yang kurangkai dan kubisikan pada arsy agar senantiasa mengiringi langkahmu lewati perasaan yang tak menentu biarkan lantunan itu memeluk jiwamu saat engkau gundah terhadap sakit di masalalu dan dikala malam telah berakhir kuharap engkau melihat bunga itu dan merasakan cintaku padamu semoga, harumnya juga akan menggerakan hatimu agar senantiasa melantunkan doa untukku
4 notes · View notes
bazilie-blog · 9 years ago
Text
Wasiat Seorang Kakak
engkau sudah besar sekarang sudah bisa bisa jalan-jalan sendiri sudah bisa milih baju sendiri sudah bisa masak sendiri tapi, besår itu belum tentu dewasa dewasa itu bukan yang demikian dewasa itu jika engkau sudah tahu batas yang boleh dan tidak boleh bukan sekedar benar dan salah tetapi lebih jauh kepada baik dan buruk karena benar belum entu baik bolehlah otakmu lebih cendas dariku boleh jua tabunganmu lebih banyakdariku akan tetapi, soal kehidupan sesungguhnya aku lebih memahaminya dirimu maka dari itu hei engkau yang sudah remaja peganglah kata-kata dari yang lebih tua darimu ini "jika ada laki-laki yang mendekati hatimu hari ini berhati-hatilah, semua lelaki yang seperti itu tidak pantas ada dihidupmu"
3 notes · View notes
bazilie-blog · 9 years ago
Text
Hujan dan Pelangi di Sudut Malam Dalam dinginnya malam, kebaikan tergeletak di atas pakaian dan angin menutupi aib kala hujan dan pelangi bercumbu di sudut jalan harga mana yang harus dibayar kala kesucian digadaikan oleh nafsu? yang telah pasti belum saatnya penyatuan diperbolehkan nurani desahan alam yang memadu kasih dalam kegelapan bukan lah dusta atas rindu yang menyiksa rembulan bukan jua kejahatan layaknya polusi di kota yang gemerlap maka, berdosakah hujan dan pelangi yang saling menautkan keinginan? karena tak ada saksi atas kejadian malam itu dapatkah ciptaan lain mengadakan pengadilan untuk cinta yang ditakdirkan? dan pertanyaan itu hanya mengawang dalam kepalaku yang sebenarnya cemburu pada pelangi dan hujan yang saling berpelukan
3 notes · View notes