Penulis saat ini sedang studi disalah satu universitas di Malang, ia senang sekali membaca novel sebari ditemani lagu The Beatles kala malam, sesekali menggaruk bokongnya bila gatal dan berpindah posisi tengkurep bila jenuh. Jika sapu tangannya tertinggal saat bepergian ia akan menyesal seharian, terimakasih sudah membaca tulisan sang serdadu melankolis ini semoga bisa sedikit bermanfaat dalam benak anda. /izinkan aku menjadi merah dalam senja-mu/. ig : @deliezaj
Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo

Namun barangkali 'kita' bisa, menjadi kata sebelum bisa. Begini saja, bagaimana jika kita saling menikmati senyum..? Aku menikmati senyum-mu, Dan kamu menikmati senyum-nya Setimpal bukan? Aku tahu kita sama-sama sayang, Aku sayang pada-mu Dan kamu sayang pada-nya.. Tak apa kamu begitu aku sudah terbiasa, hari-hari-ku, tak luput dari kesendirian panjang yang menanggung semesta dengan pincang. Tidak ada sepi yang paling sunyi: melainkan kata yang paling-ku benci; Sendiri. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk-ku dan mu menjadi 'kita'. Menikmati senyum-mu saja aku sudah lebih dari cukup. Bagaimana nanti jika aku memiliki-mu. Ah, aku rasanya seperti ingin gila. Namun barangkali 'kita' bisa, menjadi kata sebelum bisa. Seperti pepatah pernah berkata: bisa karena terbiasa. Aku percaya, hal-hal manis pada ingatan-mu bersama-nya hanya seperti menulis di pasir pantai: takkan bertahan lama. Dari lamanya pun mungkin ibarat tetesan air yang jatuh menghantam batu tapi akhirnya terkikis juga. Jika nanti, aku memang belum berhasil memperjuangkan-mu dan senyum-mu. Tetap ingat bahwa aku pernah membuat-mu tersenyum. Jika nanti, ia-mu hilang dan tak lagi mengutara pada-mu jangan hilangkan juga ingatan-mu tentang aku. kamu berhak membongkar kembali kenangan itu. Dan kita, saling mencinta untuk menjadi kata sebelum koma--seterusnya. za, malang 9okt17
0 notes
Photo

/acuh saja/ Ratusan bayangan telah singgah, hanya dia yang tak ku sanggah namun dia selalu saja menjadi penyebab resah hingga aku menyendiri diiringi perasaan gundah kemudian tersadar bahwa perasaan mulai terbelah aku meriak murka dan muak merasa sunyi mulai mencabik cabik kemudian mencekik dan bayangan itu pun mulai tertawa terbahak mereka seakan menang telak beberapa bahkan tersenyum menggoda otak di bawah paparan imajinasi yang terik sang melankolik ah aku tak tertarik, hanya sedang mencoba munafik. -za, malang 15okt17
0 notes
Photo

/Tuan yang diperpuan kemarin../ Di atas meja hanya terlihat dua cangkir kopi, satu milik sang pria dan satu lagi milik sang wanita. Tangan si pria melipat manja, berkata kepada Tuhannya agar segera diberikan keberanian untuk berbicara. Melirik mesra bola mata si wanita kemudian memalingkan kemerah jepit poninya, berharap kopi tak lekas dingin. Dari sudut terlihat bagaimana sang barista mencuri pandang ke arah mereka dan kelasi yang menjajakan tegukan hangat ke meja sebelahnya. Mungkin dia kira mereka sedang jatuh cinta. Simpul senyum terlihat dari wajahnya. Tak lupa dia tambahkan latte art di atas cangkir kopi milik puan dan tuan. Lagu terputar, temaram lampu semakin menyatakan dinginnya udara sehabis hujan. Lihat saja jendela, bulir air hujan berbicara seakan ingin masuk menghirup, aroma kopi ini. Tuan, badai sudah berlalu. Salahkah jika aku menuntut mesra? Puan, badai sudah berlalu. Salahkah jika aku menuntut mesra? Ah, pandai sekali Banda Neira membawakannya. Jadi, bagaimana? Kata sang pria kepada wanita. Terasa lambat waktu berputar. Seketika sang pria ingin berteriak agar relungnya tak lagi bergetar dihujani pisau sabit senyum tak bedosa. Puan mengaduk kopinya, latte art sempurna itu bias menjadi coklat. Tegukan pertama menyudahi keringnya tenggorokan wanita itu. Untuk itu semua aku mencarimu, berikan tanganmu dan jabat jemariku. Kata si wanita pada sang pria. Sang barista mulai bingung, apa sebenarnya yang terjadi. Tak ada isak tangis, hanya dua insan yang berpegang tangan seperti tak layak disebut hari terakhir mereka. Izinkan aku menghela nafas, agar sesak ini tak terus berdiam di dalamku, puan. Sang pria menatap lampu luar jendela. Embun bercahaya itu mengatakan bahwa kehangatan tak ada lagi di diri sang wanita. Hanya harum tubuhmu yang kau tinggalkan, puan. Kata sang pria kepada wanita itu. Ah, tenang saja, aku akan berikan suaraku kepada angin. Lalu angin kan membawanya kepada telingamu wahai tuan. Kata si wanita kepada sang pria. Lalu, puan pergi. Pesannya sudah jelas sekali. Kisahnya sudah usai, tetapi cintanya tidak. Ada yang memang mereka biarkan di sana. Si pria menuju ke barista, lalu tersenyum dengan paksa. Tuan, bolehkah aku bertanya? Ada apa tadi? Aku kira cinta, ternyata fana. Kata si barista kepada tuan. Hanya remang malam itu, seakan semua telah hilang. Harum mawar seakan membunuh bulan. Rahasia tetap tak terucap. Aku mencintainya, sama seperti pertama kali kami bertemu, tak berubah sama sekali. Terimakasih atas kopimu, biarlah semua menjadi saksi bisu atas sesuatu yang memang tak bisa dilanjutkan tetapi hanya bisa dikenang. Sang pria berkata demikian. Lantas, si pria pergi berjalan kaki. Menikmati dinginnya hawa yang menusuk kalbu. Ah, aku lupa, wanita itu pulang dengan pria lain yang menjemputnya di kedai kopi tadi. za, malang 17sept17
0 notes
Photo

Kepada, Anindia Kemarin, menjelang isya hujan terlihat khusyu jatuh di antara beranda. Menyentuh sandal usang yang kubiarkan rapuh dipinggiran pagar dipan, tergeletak sekarat tak terawat. Aku perhatikan dengan seksama, jatuhnya begitu ikhlas tanpa harapan apa-apa. Hujan malam itu tak memiliki jeda tak kunjung reda memaksa hadir senyummu di antara lamunan. Seirama nostalgia ingatan. Berlayar pada genangan yang syahdu merindu pemiliknya. Aku merindukanmu diantara gemercik, Vi. Seperti sikapmu yang sama dengan musim: Dingin. Bahkan dingin bangku teras rumahmu diantara subuh yang pernah ku duduki, tak sebanding dengan dinginnya sikapmu. Dua seduhan pucuk daun yang kamu suguhkan itu pula, aku kira akan menghangatkan sikapmu meskipun hanya sewaktu-waktu. Namun aku salah, kamu memilih mendiamkan sampai hangatnya tak kelihatan. Apa mungkin kamu tak suka hangat? Padahal pelukan yang tak sengaja kamu lakukan di jok belakang, begitu berkesan. Atau mungkin, aku yang terlalu berperasaan? Namun aku sedikit paham, dan sejatinya mungkin kita saling paham. Walaupun hanya di pendam. Menjadi aku yang mendekatimu ketika sedang patah hati memang perlu banyak hati-hati. Dan begitupun menjadi kamu yang di dekati olehku mesti berhati-hati membuka hati. Benarkah seperti itu, Vi? Seperti lampu kota yang berkelip tersendu-sendu, kita hanya perlu memperjelas semuanya. Bercerita kembali tentang semua hal yang tidak aku ketahui, serta bertanya tentang apa yang kamu ingin ketahui. Lalu sikap dingin yang kamu miliki sedikit demi sedikit pergi. Menjadi garis sabit di pipi yang menyipitkan kedua bulu matamu. Aku harap kamu tak keberatan, Vi. Jika pada akhirnya, aku meminta kamu tak kemana-mana menunggu sedikit lebih lama bagaikan cahaya yang membiaskan air kala rintik setelah dirundung hujan, memberikan kesejukan bagi siapapun yang memandanginya. Dan aku denganmu menjadi kita yang di sepakati bersama. Di dalam tulisan ini, akan aku ceritakan kepadamu Ervita Anindia. Sudah 2 Tahun tulisanku hanya berbumbu lara yang di dominasi duka. Rangkain kata ini adalah bentuk yang tak terangkai apa-apa selain kesedihan mengenangnya. Tidak ada rindu disana hanya warna abu yang liar menjajahi kalimat semaunya. Namun apakah kamu tahu, Vi? Beberapa hari ini aku kembali merasakan yang seharusnya tak boleh ku rasakan. Dan itu karenamu. Perjalanan pulang terakhir itu, seharusnya lebih lama atau jika bisa tak perlu pulang saja. Aku memilih tersesat berdua, berkeluarga seperti semua orang jadikan cita-cita. Dan bacalah yang terakhir ini, Vi. Semua orang memiliki seseorang yang sangat di cintainya di masalalu. Namun masalalu takkan datang lagi ke masa sekarang. Itu hanya cukup jadi kenangan. Tapi kita bisa mengayam masa depan melalui kebersamaan. -za, Malang 22sep17
0 notes
Photo

//Yang Tumbuh Setelah Hujan..// Selepas hujan sore itu, ada dingin yang memicu pena mendesak jemari tanganku menyusun kata. Sebab yang kau lakukan kemarin telah mematungkan semua kemampuan bahasaku, hingga aku hanya terpana. Sementara logika mencoba melerai nafsu dan perasaan yang riuh dalam dada. Sesaat saja, izinkan lagi aku untuk sekadar melihat kecupnya merinaikan rintik-rintik manis perisik. Karena darinya aku bisa melihat sisi dunia yang tidak kuketahui. Memendar keterbatasan yang selama ini menjajahi wawasan. Darimu, aku mengenal bunga-bunga penghias halaman bukit. Sampai menghafal warna-warni pelangi yang masih disembunyikan hujan. Bukan aku egois, yang tak ingin menjajaki semesta lain, namun bulat matamu telah merubah mata angin. Sepertinya Tuhan punya rencana lain --sejak secarik kertas itu berhasil mengunci ucap yang tertawan di kantung hati-- lalu disampaikannya pesan itu lewat kabut teh hangat yang mengepul di seperenam pagi, yang selalu kuhirup lebih dulu sebari menunggu matahari bercumbu diujung khatulistiwa. Tapi bukankah kini semuanya telah usai? setelah pesan tak berasa yang masing dari kita hanya mendiamkan, dengan telak menjatuhkan hukuman dan seakan menyatakan bahwa; "bukan aku yang kini menjadi semestamu" Dan aku tak lagi berhak berjalan, atau sekadar berteduh dari hujan. Aku tak lagi berhak. Dengan telak! Dan untuk menjalankan kewajibanku sebagai pandir yang telah kau gubah menjadi perindu mahir, telah kusiapkan sepasang bahu dan dua telinga di kiri kananku, sebagai rumah, bila suatu hari semestamu tak lagi ramah. -za, Malang 12nov16
0 notes
Photo

//Teruntuk: Wanita 5 Maret..// Nona, bagaimana kabarmu? Masihkah binar cahaya terselip di sudut pelupuk matamu? Apakah sabit di bibirmu masih utuh melengkung seperti senja yang pernah kita lumat bersama kala itu? Aku harap masih tetap begitu. Hari ini senja mencibirku, bersama angin yang terus menyapu ruang khayalan. Ia menjelma visualisasi bangku tak berpenghuni. Kau ada di dalamnya dengan performa bayangmu yang membias pada sehelai kain putih abu-abu, sedang asik memilin kenangan. Sejujurnya, aku tengah siap menghangatkan kembali roda dua itu yang kau biarkan dingin, sedingin senja waktu itu. Namun aku urung. Nona, ini lamunanku yang ke sekian tentangmu. Tentang keikhlasan yang seharusnya diikhlaskan. Dari aku yang selalu kau tunggu digerbang tempo itu. Sore ini tidak ada hujan, rintik gerimis pun enggan, hanya sedikit sendu di sudut-sudut kusen jendela. Menjadi pembatas antara sadar dan nanarku. Juga setumpuk kisah tentang simpul senyummu yang berdebu. Sungguh mereka hidup bermekaran dalam jurang nalarku. Nona, di bulan kedelapan ini, genap sudah tiga tahun belati kesendirian berkali-kali menusukku. Lewat lembayung yang menjadi keleidoskop selayang pandang, kala kita membuat satir menjadi rerintik tawa yang kita nikmati dengan secangkir teh. Jangan rindu pada puisi-puisiku. Sebab kini aku hanyalah serdadu perindu tanpa nama. Atau anggap saja aku ini bajingan paling melankolis yang mengagumimu. Kini tentangmu adalah serangkaian doa yang tak berani kuadukan pada Tuhan. Hanya mengutuk serangkaian takdir yang sukarela merebut tawamu. Nona, ada begitu banyak yang ingin kuceritakan tentang lamunanku, seperti sepasang sepatu yang kulepas kala jingga, dan kain mantel abu yang memelukmu sepertiga sore sepanjang jalan. Namun, lagi-lagi aku urung. Kata-kata menjadi bisu, ia enggan riuh, ia hanya bergemuruh dalam dada. Mungkin ada benarnya, hening membuat rindu lebih berarti. Terimakasih untukmu wanita lima Maret. Engkaulah debar dalam desak, yang berupa kata-kata resah. Di sela isak, akhirnya aku tahu; perihnya pungguk merindu bulan. Dan pada akhirnya aku mengerti; beberapa rasa yang tak berbalas memang perlu kata ikhlas. -za, cirebon 1ags17 inspired : A L W A F I
0 notes