Text
Zonasi dan Implikasinya terhadap SNMPTN (Sebuah Opini)
Disclaimer! Tulisan ini tidak bertujuan untuk memicu luka masa lalu. Tulisan ini 100% merupakan curahan hati penulis terhadap fenomena yang terjadi. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Pada tahun 2018 lalu, kebijakan zonasi mulai diketatkan untuk diterapkan. Kebijakan ini diimbaskan bagi angkatan saya. Masih kental di ingatan saya, kurang lebih beberapa minggu setelah hasil UN SMP keluar, semua siswa kelas IX dikumpulkan di Aula sekolah oleh pimpinan sekolah saya dulu. Dalam pertemuan tersebut, dikatakan bahwa zonasi akan diterapkan lebih ketat. Artinya, siswa wajib mendaftar di sekolah yang termasuk dalam zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Saya saat itu masih berstatus siswa di SMPN 1 Gianyar, dan berniat mendaftar di SMAN 1 Gianyar. Saya yang berdomisili di Ubud jelas tidak bisa mendaftar ke SMA yang saya sasar, kecuali melalui jalur prestasi. Saat itu, beberapa kawan-kawan saya terdiam menyimak informasi tersebut. Alih-alih belajar keras saat menjelang UN untuk memperoleh NEM tinggi untuk kemudian digunakan mendaftar di SMA favorit, seketika kandas akibat kebijakan ini. Tentu, banyak siswa saat itu mengubah rencana yang telah mereka susun dengan baik dan matang, termasuk saya.
“Target kita bukan hanya pemerataan akses pada layanan pendidikan saja, tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan,” ujar Mendikbud dalam kegiatan Sosialisasi Peraturan/Kebijakan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2018 (30/5/2018). https://edukasi.kompas.com/read/2018/06/05/22040311/ini-alasan-kemendikbud-jalankan-sistem-zonasi.
Kutipan diatas merupakan alasan mengapa zonasi mulai digencarkan oleh pemerintah pada tahun 2018. Pemerataan Kualitas Pendidikan adalah poin yang menjadi sorotan bagi saya. Hal ini cukup menarik untuk dibahas. Saya sendiri sependapat dengan tujuan dan cita-cita yang ingin diraih pemerintah melalui kebijakan zonasi ini. Tentu kita tahu, bahwa jurang antara sekolah favorit dan sekolah non-favorit telah subur selama bertahun-tahun. Sekolah favorit identik sebagai sekolah yang berprestasi secara akademik maupun non-akademik, memiliki kegiatan pembelajaran yang lebih menonjol, siswa yang lebih “berkualitas”, sarana-prasarana yanga baik, serta memiliki jaringan alumni yang tersebar di berbagai PTN favorit. Oleh karena itu, tak heran banyak yang berlomba-lomba merebut bangku sekolah favorit dengn berbagai pertimbangan tersebut. Melalui zonasi ini, tentu diharapkan bukan hanya sekolah favorit yang bisa berprestasi dan berkualitas, tetapi juga berimbas pada sekolah non-favorit.
Dan jujur dapat saya katakan, zonasi cukup berbuah manis. Zonasi memang dapat memberi imbas positif bagi sekolah yang namanya pada beberapa waktu sebelumnya “tenggelam”, kini dapat bersinar dengan “terjaringnya” siswa yang unggul pada program zonasi. Hal ini juga berimbas bagi beberapa sekolah favorit, yang mau tidak mau kehilangan peluang menjaring siswa favorit untuk diterima di sekolah mereka. Hal ini sesungguhnya sangat baik, jika kedepannya pemerintah mendorong lebih lanjut kebijakan zonasi ini dengan berbagai kebijakan lain yang menunjang cita-cita utama kebijakan zonasi ini.
Tetapi, ada satu hal yang luput dari kacamata kita: SNMPTN. Tentu kita tahu, bahwa sistem penerimaan mahasiswa baru satu ini cukup menjadi incaran bagi beberapa siswa. Sebelum zonasi diterapkan (bahkan hingga zonasi diterapkan), siswa yang mengincar SMA favorit umumnya adalah siswa yang ingin mengambil batu loncatan agar diterima SNMPTN. Memang, tidak ada yang tahu secara spesifik bagaimana sistem penilaian siswa agar diterima di SNMPTN. Tetapi faktanya, siswa yang berasal dari SMA favorit cenderung lebih banyak diterima di PTN favorit. Menurut penuturan salah satu pemateri pada webinar “Kiat Sukses Masuk PT Pilihan” yang diselenggarakan LTMPT hari ini (28/11), bahwa indeks sekolah dapat menjadi salah satu indikator penilaian SNMPTN. Indeks sekolah yang cenderung baik umumnya dipegang oleh SMA-SMA favorit. Hal ini tentu akan cenderung tidak adil, bukan? Begini : Sebagai contoh siswa bernama X, akibat zonasi bersekolah di SMAN 1 Semongko yang merupakan SMA zonasinya. Siswa ini memiliki catatan akademis yang bagus, prestasi yang baik serta catatan kemampuan organisasi yang baik. Akan tetapi, sekolah yang ia tempati bukan termasuk dalam jajaran “sekolah favorit”, dalam artian sekolah tersebut memiliki indeks sekolah yang kurang baik, riwayat alumni di beberapa PTN yang relatif sedikit, serta KKM sekolah yang rendah. Akibatnya, tentu bila mengacu pada pernyataan pada webinar yang saya sebutkan tadi, peluang siswa X untuk diterima di PTN justru lebih kecil dengan menimbang kriteria yang disebutkan tersebut. Siswa X akan kewalahan bersaing dengan siswa lain yang beruntung dari sekolah “favorit”, dimana sekolah tersebut “eligible” dengan kriteria dari SNMPTN.
Dalam tulisan ini saya ingin mengatakan, bahwa bila pemerintah ingin melakukan pemerataan terhadap kualitas pendidikan, sudah seharusnya pemerintah “pukul rata” termasuk di dalam SNMPTN. Zonasi yang menjadi pintu gerbang pemerataan kualitas pendidikan seharusnya bisa menghapus Kasta Sekolah Favorit-Non Favorit dalam penerimaan mahasiswa baru di SNMPTN. Sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang indikator indeks sekolah dalam indikator SNMPTN dan lebih melihat siswa dari segi value yang memang dimiliki oleh siswa itu sendiri, tanpa melihat asal sekolah siswa tersebut.
Bagaimana pendapat kalian? Tulis di kolom komentar dibawah ini. Terimakasih.
3 notes
·
View notes