Text
#AkuLanjutinYa
Sekarang kami telah duduk berhadapan di meja, ia memesan coklat hangat aku pesan cappuccino. Aku tidak berani langsung menatap ke matanya. Tetapi aku segera menyadari bahwa dengan pakaian kasual ia menjadi terlihat lebih dewasa jika dibandingkan ketika ia memakai seragam putih abu. dan juga ia seperti selalu berusaha menyembunyikan novel yang ia bawa, tetapi aku tidak terlalu memperdulikan itu.
“Apa kamu selalu seperti ini?”
Tentu saja aku kaget mendengar itu darinya, aku langsung gelagapan…
“haaah… apa? Seperti apa?”
Ia tersenyum, aku salah tingkah. Gawat… kenapa kenapa begini…
“Ohh nggak kok, lupain aja hahaha…”
“hehehe”
Alihkan perhatian-alihkan perhatian! Pikirku.
“Euu… kamu suka baca ya?”
“Iya. Ini novel yang paling aku suka sekaligus buku yang paling aku benci.” Sambil menunjukan sekilas novel yang ia bawa.
“Loh kenapa begitu? Biasanyakan kalau suka ya suka saja dan benci ya benci saja. Ini kok jadi satu?”
Ia menarik napas panjang.
“Iya, sebenarnya aku suka ceritanya dan nama pemeran wanitanya sama seperti namaku. Tapi aku benci penulisnya!” Aku melihat ada guratan kecewa di wajahnya.
“Kenapa dengan penulisnya?”
“Dia egois!” Entah kenapa aku seperti kehabisan kata dan seperti merasa bersalah, tetapi apa salahnya?
“Aku minta maaf” aku tidak sadar aku meminta maaf, seperti akulah penulis dari novel itu, atau apapun itu yang membuatku merasa bersalah kepadanya.
“Ehhh…” ia memandang wajahku beberapa detik dengan mata kosong, kemudian ia tersenyum. Tetapi entah kenapa aku merasa dalam senyumnya itu ada sedikit gurat kesedihan.
“Kamu mau tahu nggak ceritanya bagaimana?”
“Ohh… yaya…. Mau dong.”
“Hmm… mulai dari mana ya? Garis besarnya aja ya, nanti kalau mau aku pinjami deh novelnya!”
“Oke”
“Ceritanya sih tentang anak SMA yang menyukai seorang gadis di sekolahnya sejak kelas satu sampai lulus. Tetapi anehnya dia tidak pernah berusaha untuk berkenalan dengan gadis itu, bahkan ia tidak tahu namanya. Seminggu sebelum kelulusan sekolah barulah ia tahu nama gadis yang disukainya itu. Itupun tidak sengaja.”
Apa ini, apa dia tahu semuanya tentangku? Tapikan aku tidak pernah bercerita kepa siapapun soal aku suka padanya sudah 3 tahun? Aku tercekat, mukaku memerah. Seperti terdakwa yang diberondong tuduhan oleh hakim dan dalam hati terdakwa itu mengamini bahwa apa yang didakwakan itu benar. Tetapi aku harus menguasai keadaan, pikirku.
“Itu cerita novelnya kan?”
“Ya iyalah… memangnya kamu sudah baca juga novel ini ya?”
“Be… belum sih…”
“Mau akau lanjutin ceritanya nggak?”
“Oh… lanjutin dong”
“Sampai mana tadi? Oo… iya. Dan ada bagian cerita novel itu yang aku sangat suka tetapi juga sebenarnya aku sedih, kecewa, benci, campur semuanya. Yaitu bagian ketika tokoh utamanya mengajak tokoh gadis yang disukainya janjian di sebuah kafe.”
Apa ia menyindirku? Semua ini apakah…? Aku seperti terserap ke dalam ceritanya, tidak banyak yang bisa kulakukan selain masuk ke dalam ceritanya dan tetap mendengar suara dari mulutnya yang sedang mengalirkan cerita.
“Kemudian akhirnya gadis yang disukainya datang ke kafe itu dengan menenteng novel. Dan… hmm… aku ringkas saja ya ceritanya sedikit. Jadi sebenarnya gadis yang datang ke kafe itu bukan gadis SMA yang ia sukai itu, tetapi ia adalah gadis SMA yang ia sukai tetapi yang datang dari masa depan. Tetapatnya empat tahun setelah ia lulus SMA. Itulah kenapa si tokoh utama merasa bahwa gadis itu terlihat lebih dewasa dengan pakaian kasual. Ya kerena gadis itu memang berasal dari masa depan.”
“Dan tahu nggak kenapa gadis SMA yang ia sukai tidak bisa datang ke kafe pada waktu itu. Itu karena gadis itu tidak tahu ke mana harus menghubungi tokoh utama itu, sedangkan ia secara mendadak harus keluar kota untuk mengurus persyaratan kuliah di kampus barunya kelak. Dan di masa depan gadis yang disukainya itu membaca novel tentang dirinya yang ditulis oleh tokoh utama. Tentu saja gadis itu terkejut membacanya, karena di akhir bukunya itu sang penulis menyampaikan bahwa buku ini memang didedikasikan untuk dirinya. Gitu deh ceritanya… bagus nggak?”
Rasanya leherku tercekik, tetapi rasanya aku terlalu berlebihan dalam menaggapi cerita itu.
“Ba… bagus ceritanya...” kataku sambil agak bergetar.
“Sebenarnya ada satu bagian lain lagi yang aku sangat sukai tetapi juga aku sedih, terharu, kesal… yaitu pas bagian si tokoh utama menanyakan kenapa gadis itu yang dari masa depan bisa menemuinya di masa lalu. Dan begini jawaban gadis itu :
“Sebenarnya dulu aku suka seolah-olah berjanji seperti ini entah kepada siapa:
Jikalau kau bergetar sambil menangis sendirian, di suatu tempat di dunia ini pasti akan kucari dirimu, rasa sayang adalah petunjuk.
“Aku ingat pernah mengatakan atau berjanji seperti itu entah kepada siapa, dan aku mencoba untuk meyakinkan bahwa jika rasa sayang adalah petunjuk maka aku harus benar-benar mempercayainya. Dan kau tahu, aku tidak punya mesin waktu atau yang lainnya. Dan kamu percaya nggak kalau aku berasal dari masa depan tepatnya empat tahun setelah lulus SMA.”
Sekali lagi tidak banyak yang bisa aku lakukan selain melongo mendengarkannya bercerita. Ia tiba-tiba bangkit dari kursi.
“Ayo ikut aku!”
“Kemana?”
“Ikut saja!” Sambil menarik tanganku. Aku mengikutinya kemana ia menarik tanganku dan aku pasrah saja disergap perasaan aneh ini. Akan kemanakah ia menuju, aku tidak begitu peduli sebenarnya karena aku sibuk menikmati disergap oleh perasaan aneh ini. Ia kemudian memelankan langkahnya dan berhenti.
Inikan? Di sudut ini? Perasaanku untuk beberapa saat kosong.Kemudian sangat sulit untuk menyadari bahwa sedari tadi aku berlari ke tempat ini sendirian. Bayangan gadis yang mengaku dari masa depan di kafe itu melesat bercampur baur dengan bayangan bahwa gadis SMA yang aku sukai itu ternyata tidak datang. Jarak antara keduanya aku rasakan sangatlah tipis. Dan entah halusinasi, atau entah itu memang bisikan gadis itu dari masa depan, aku tidak peduli. Tetapi dengan jelas aku mendengar ia berbisik kepadaku:
“ Pukul 10 pagi , di atas hamparan pasir pantai putih. Di sanalah ia berdiri. Di antara celah-celah mentari. Sinar mentari kala itu sedikit menghalangiku melihat wajahnya. Tapi aku yakin ia sedang tersenyum. Kelak kamu atau aku akan menuliskan itu.” Dan akupun yakin bahwa sekarang kamu atau aku sedang tersenyum.
0 notes
Text
Tanggapan atas karikatur bertajuk “Revolusi Mental dalam Evolusi Darwin” karya Sujiwo Tejo

Tanggapan atas karikatur bertajuk “Revolusi Mental dalam Evolusi Darwin” karya Sujiwo Tejo
“Revolusi Mental dalam Evolusi Darwin” Begitulah judul dari karikatur dari Sujiwo tejo yang dipostingnya di Twiiter pada hari senin, 24 November 2014. Di karikatur terlihat tiga objek yang berjejer dan makin kanan terlihat leher dari objek menjadi semakin panjang dan di beri garis batas seperti seolah-olah tenggelam dan garis tepi itu diberi nama BBM.
Sebuah satir yang menggelitik untuk sampai ke dalam dunia kesadaran dan membentuk tanggapan dari hasil representasi kita masing-masing. Bahwa memang kira-kira seperti inilah yang sedang terjadi. Dan kita harus belajar berlapang dada karenanya. Bahwa ada yang saling berbentrokan atau tarik menarik antara “Revolusi Mental” dengan keputusan harus menaikan harga BBM demi mengalihkan subsidi yang dianggap terlalu membebani negera ke sektor padat karya. Bisa dilihat di dalam karikatur seolah ada tiga tingkatan evolusi yang tidak lain diakibatkan oleh kenaikan BBM. (lihat karikatur dari kiri) Kita bisa lihat awalnya objek terlihat seperti manusia bertopi dengan wujud yang masih normal. Kemudian beranjak ke objek yang ke dua. Terlihat objek tersebut seperti sudah mengalami evolusi. Terlihat kakinya mulai memanjang juga lehernya. Kemudian objek yang terakhir. Sepertinya inilah bentuk terakhir dari evolusi ini. Kita bisa lihat bahwa seutuhnya objek berubah menjadi jerapah yang tadinya adalah manusia. Sang empunya karikatur ini seperti hendak memberi tahu kita bahwa ada dua hal yang sedang bekerja dalam dunia makna ini yang satu sama lain saling tarik menarik (Mungkin saling mematikan). Ada dua hal yang saling berlawan-lawanan. Lebih terlihat sebagai hubungan sebab akibat sebenarnya. Jika ingin mengalihkan subsidi yang dilihat kurang efektif ya harus dibayar dengan harga yang mahal yaitu membuat mental rakyar berevolusi justru secara kebalikannya. Revolusi mental memang sering digaungkan oleh pemerintahan yang baru Jokowi-JK. Program revolusi mental tersebut tujuannyakan hendak mengubah mentalitas masyarakat dari yang tidak bagus menjadi lebih baik. Nah, di sisi lain program revolusi mental agaknya terjegal oleh kebijakan menaikan harga BBM.
Merujuk ke karikatur bertajuk “Revolusi Mental dalam Evolusi Darwin”, dengan dinaikannya harga BBM alih-alih revolusi mental berjalan sebagaimana seharusnya seperti yang diharapkan, malah berevolusi menjadi sebaliknya. Di dalam karikatur dicitrakan evolusi akhir akibat kenaikan BBM itu membuat objek yang tadinya digambarkan sebagai manusia berubah menjadi jerapah. Ada ambang batas yang harus dihindari agar tidak tenggelam. Jika air terus-terusan naik maka airpun akan menenggelamkan seluruh tubuh. Demi tetap bertahan hidup dengan tidak membiarkan air tidak menenggelamkan seluruh tubuh. Maka setiap individu mau tidak mau harus berevolusi memanjangkan lehernya agar mudah menjangkau dedaunan hijau di pohon yang lebih menjulang, karena di ranting dahan yang lebih rendah daunnya sudah habis.
Adanya semangat survive dalam hal ini boleh dianggap wajar. Tetapi jika terjadi salah persepsi satu sama lain, dalam hal ini antra pemerintah dengan rakyatnya. Pemerintah bertujuan menstabilkan perekonomian negara dulu, tujuan rakyat adalah menjadi sejahtera dengan harga-harga berbagai keperluan yang masuk akal dan cocok dengan kantong mereka. Jika dua kepentingan antara pemerintah dan masyarakat itu tidak ketemu atau terjadi kesalahan pemahaman, maka yang terjadi adalah “Revolusi Mental dalam Evolusi Darwin”. Sungguh disayangkan sebenarnya. Semangat pemerintah baru dengan ide yang frees untuk memperbaiki mentalitas masyarakat dan memangkas subsidi-subsidi yang tidak tepat mengalami kendala justru oleh senjatanya sendiri. Suka-tidak suka hal itu akan membuat atmosfer yang kurang mengenakan. Semangat survive rakyat yang konon tadinya murni dan tulus itu akan mengubah manusianya menjadi monster, mengubah kita menjadi monster yang berbahaya bagi sesamanya. Seperti kata Hobbes “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”.
Tetapi bukannya justru inilah yang hendak diperbaiki pemerintah dengan “revolusi mental” -nya. Adanya benturan seperti ini di awal mungkin wajar saja terjadi. Diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengubah pola pikir, sebuah tugas yang sangat berat bagi pemerintahan sekarang sepertinya. Betapa pemerintah harus bekerja keras mengurai hal-hal yang saling bertarik-tarikan ini. Mungkin yang diperlukan adalah kemampuan berlapang dada untuk menyikapi secara dewasa kenaikan BBM ini. Suka tidak suka harga BBM toh sudah naik dan seiring waktu keadaaan akan membiasa lagi. Tetapi bukannya di Indonesia ini kenaikan BBM sudah sering terjadi. Dan respon awal masyarakat atas kenaikan BBM bukannya memang selalu begitu. Banyak yang tidak setuju dan demo di mana-mana meminta kenaikan BBM dicabut lagi. Walaupun tidak semua masyarakat Indonesia menolak kenaikan BBM. Kenaikan BBM hampir selalu diiringi dengan kenaikan harga yang lainnya juga misalnya sembako dll. Kemudian waktu berjalan, yang tadinya berteriak-teriak minta kenaikan BBM dicabut seolah lupa bahwa BBM pernah naik, dan keadaan membiasa lagi dan lagi.
0 notes
Text
Kampus or Pabrik

Saya menemukan gambar itu di salah satu sudut kampus tempat saya dulu menuntut ilmu. Saya tertarik dengan gambar itu yang lebih sebuah karikatur sarkas tentang kampus. Menurut kakak kelas saya protes serupa pernah dilakukan di tahun 2005 ketika menyambut mahasiswa baru. Para mahasiswa baru yang masih belum tahu apa-apa juga lugu haha sudah disuguhi pemandangan pesimisme positip begitu rupa J. Tapi dulu lebih brutal soalnya pake cat di atas aspal, sekarangkan tahun 2014 berbeda medium saja, kapur di atas papan tulis. Yang tidak banyak berubah adalah cara pandangnya terhadap kampus (berarti masalahnya kurang lebih tetap sama dong ya?)
Kurang lebih itu bentuk protes mereka terhadap institusi pendidikan tempat mereka bernaung. Saya bersama dua kawan saya ketika itu. Ada beberapa persepsi kami tentang karikatur sarkas itu. Saya termenung ketika salah seorang kawan saya itu merasa lega karena dulu ketika kuliah ia merasa enjoy-enjoy saja di tengah menumpuknya tugas-tugas dan segala macamnya, nggak merasa dirobotkan tuh! Tetapi saya jadi berpikir bahwa bukan hanya itu saja poinnya. Saya setidaknya menangkap bahwa sebenarnya mereka (yang menggambar karikatur itu) dengan kesadaran mereka mungkin juga karena mereka melihat sekeliling mereka bahwa sebagai mahasisiwa mereka seolah-olah dipaketkan dan dibentuk oleh kampus untuk menjadi buruh (semoga ini memang betul tafsir saya atas gambar bukan hanya imajinasi saya saja). Dan tulisan di gambar itu memang bunyinya begini “INI BUKAN KAMPUS, INI PABRIK BURUH”.
Ironis sekali apa yang mereka suarakan dengan kenyataan yang dengan nyata terjadi setelah para mahasiswa tersebut lulus. Normalnya para frees graduate (biasanya mahasiswa normal {kebanyakan} yang sudah keluar dari kampus akan cenderung pragmatis) itu akan berlomba-lomba mencari pekerjaan (baca: sedikit sekali yang berinisiatif membuat pekerjaan sendiri). Apakah kampus hanya tempat untuk bermimpi dan berharap-harap para mahasiswanya? Tentu saja siapapun tidak ingin bukan? Kalau sudah lulus nanti aku mau bekerja di anu, mau bikin anu, mau jadi anu, dan bla bla bla… tetapi setelah lulus idealisme mulai luntur kemudian sadar bahwa dunia nyata itu tidak seasyik dan seramah di kampus dan akhirnya lupa cita-cita yang telah ia impi-impikan. Setelah itu apapun jadilah demi punya atau memasuki jenjang lain setelah lulus kuliah betapapun harus meninggalkan cita-cita awal. Bagi yang waktu kuliah memasang standar tinggi tentang mau apa setelah lulus, maka setelah lulus ia akan merasa begitu konyol di tempatnya sekarang jika tempatnya sekarang tidak sesuai dengan apa yang diidealkan, dicita-citakan dan diharapkannya waktu kuliah. Tetapi bagi yang tidak pasang standar terlampau tinggi (atau mereka yang tidak sadar standar) maka tidak jadi masalah dan malah merasa diri beruntung sudah dapat pekerjaan di tengah-tengah para penganggur yang berebut kerjaan.
Jika kita lihat esensi bekerja di perusahaan orang itu (walaupun lulusan kuliah) tidak ada bedanya dengan buruh, karena pekerja itu mengerjakan pekerjaan orang lain (dan sebenarnya mereka kurang tepat disebut karyawan karena mereka tidak berkarya melainkan yaitu tadi mengerjakan kerjaan orang lain). Tetapi bukannya bekerja itu harus karena kita sudah terlanjur lahir di dunia, nah! Tetapi juga apakah tidak ada cara lain untuk bekerja dan menjalani hidup ini selain hanya dengan menghabiskan waktu kita untuk mengerjakan pekerjaan orang lain (yang tidak kita sukai)? Apakah memang tidak ada cara lain untuk mengisi hidup dengan kegiatan atau pekerjaan yang kita kehendaki, yang kita sukai, yang kita cinta-citakan, yang kita impi-impikan? Tetapi jangan-jangan memang itu cita-citanya? Ya boleh-boleh saja tetapi saya yakin hati nurani tidak akan bohong, bahkan bagi orang-orang yang sudah melewati fase mengikhlaskan cita-cita yang dikehendakinya.
Sepertinya kawan saya itu hanya fokus pada salah satu sudut pandang saja (hahaha) pada gambar yang memang kelihatannya sang pembuat gambar terlihat menderita sekali dengan beban kuliah seperti SKS, kurikulum, skripsi dan lain-lain A. Terlebih lagi bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang sebetulnya sangat penting dalam proses pendidikan yaitu pengembangan diri, berkarya. Dari gambarnya mereka terlihat tidak nyaman dan seperti hilang fokus karena dibebani hal yang begitu rupa. Terlebih lagi kuliah sekarang harus cepat lulus. Setelah lulus harus cepat bekerja. Setelah bekerja dan mapan harus cepat menikah dan sebagainya dan sebagainya. Berat betul bebannya hahaha…A
Begitu kira-kira isi pikiran saya ketika termenung-menung mendengar persepsi kawan saya setelah kami tertawa-tawa sambil memandang-mandangi gambar itu.
0 notes
Photo

ALIEN MOUTH
1 note
·
View note
Text
PENGAKUAN KUDA 2
Sekali lagi JOT kecolongan karena lagi-lagi ada kuda di teater JKT48 dan untuk kedua kalinya sang kuda duduk di sebelahku. “Apa ke teater bayar hanya untuk lihat paha? Itu pertanyaan paling tidak bermoral, dangkal, ugal-ugalan, gombal, tolol, goblog, gagah-gagahan, sok-sok berselera tinggi!” Aku kaget hari itu aku kembali bersebelahan dengan kuda di teater, dan sekarang dia marah. “Nyatanya tidak hanya paha aku juga lihat dada, lutut, pantat, ketiak, torso, ujung rambut yang basah oleh keringat, bibir merah segar, bokong, kulit putih halus, aku lihat semuanya, mampus kamu, mau apa kamu! Bagaimana bisa orang bisa komen tentang alasan ke taeter adalah nonton paha kalau dia sendiri belum pernah ke teater dan merasakan sendiri, hanya dengar apa kata orang, dasar mental tukang gosip! ” Mendengar serapahnya aku hanya bisa menahan napas, kuda juga bisa marah jika dituduh sebagai bodoh karena membayar tiket teater hanya untuk lihat paha. Apakah ini wajar? Maksudnya apakah kuda boleh marah, biasanyakan yang seolah-olah berwenang atau yang marahnya kongkritkan cuma manusia.
“Ini tidak adil! Sialan mereka, kenapa hanya paha saja yang dijadikan tuduhan bodoh untuk nonton teater, toh aku bisa lihat lebih. Aku berani jamin mereka yang memvonis Cuma gagah-gagahan, sok berkelas dan berselera tinggi, padahal aku tahu mereka belum bisa menyeleksi pikiran mereka sendiri tentang apa yang harus dan tidak harus diungkapkan, mereka tentu telak oleh kuda sekalipun seperti aku. Ya, walaupun aku adalah kuda hitam yang telah mengikuti upacara persembahan kuda. Dan sialnya mereka berani memvonis tentang paha bahkan kepada kuda, memang sial mereka itu!” Sungguh mati aku tak berani walaupun untuk mengiyakannya, dia berapi-api layaknya kuda sedang murka. Aku tidak mau ditendang oleh kakinya yang bersepatu baja, makannya aku mengagguk-angguk saja mendengarkan.
“Aku tahu kalian akan tersenyum merendahkan jika kalian menemukan jawaban klise menyukai member karena tersentuh oleh kerja keras mereka dalam berproses step by step untuk menjadi lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Aku tahu kamu akan mengatai kami gombal bagi siapa yang menyukai member dan rajin menonton teater sebagai pembenaran untuk melihat paha! Aku tegaskan sekali lagi kalau yang kami dapatkan lebih dari sekadar paha, sekali lagi lebih dari sekadar paha! Mengertikan! Mampus saja kalau nggak ngerti! Tetapi memang aku akui bahwa alasan klise itulah yang bisa menggerakan orang untuk rela meluangkan waktu dan biaya untuk menemui idolanya, walaupun jaraknya beribu kilometer.”
“Aku tahu kalian akan mempermasalahkan tentang kualitas penampilan member yang selalu lipsing dan dance mereka seringkali terlihat tidak rapi. Jadi pasti kalian akan member pertanyaan meremehkan, apa yang kamu tonton, kamu telah mengesampingkan kualitas demi melihat paha, kalau mau melihat paha pergi saja ke mall atau ke kolam renang! Hentikan kebodohan itu, kamu telah diperas mereka, jadilah manusia atau kuda yang pintar! Pasti itu argument kalian, sudah pasti itu klise sekali. Aku jelaskan di sini bukan masalah kualitas jikapun yang namanya kualitas itu ada, tetapi sesuatu di luar itu semua yang bisa membuat hatimu tentram (saya yakin itu di luar paha, karena sebelum ada komentar tentang paha saya tidak kepikiran tentang paha).
Aku awalnya tertarik kepada kecantikan dan karakter member yang sekarang memjadi oshiku, kamu jangan ketawa kuda juga berhak punya oshi, apa kamu tahu oshi, sepertinya tidak ya. Kalau boleh jujur yang pertama terbersit dalam pikiranku dalam mengagumi member bukanlah karena perjuangan mereka, karena pada awalnya aku tidak tahu dan mengerti bahwa mereka berjuang sekeras itu untuk menampilkan sesuatu di hadapan fans. Aku tidak malu mengakui alasanku adalah karena dia (oshiku) cantik dan entah apa sebabnya sehingga aku yakin bahwa dia menarik secara personal. Kadang-kadang anehnya manusia seperti gengsi atau dianggap tidak bermoral jika terang-terangan menyatakan bahwa mereka menyukai kecantikan. Manusia itu suka membangun opini untuk membenarkan alasan-alasan mereka. Biasanya mereka akan berpretensi mengatakan bahwa kecantikan itu harus disandingkan dengan intelektual, moral (kecantikan dari dalam). Meraka anehnya, aku sebagai kuda tidak habis pikir kenapa mereka tidak bisa proporsional terhadap situasi tertentu dan berani mengakui jika sebenarnya mereka menyukai kecantikan dan tidak perlu embel-embel ini itu untuk pembenaran atau kepurapuraan.
“Tentang karakter member yang aku suka, apa kau pernah dengar bahwa dalam ilmu kepemimpinan yang aku pelajari ketika diklat kepemimpinan kuda, bahwa kepemimpinan adalah gabungan dari kemampuan berpikir yang terlatih, intuisi yang tajam, dan kepribadian/karakter yang kuat. Dan katanya kepribadian/karakter biasanya menjadi faktor dominan. Saya rasa karena karakter seseorang itulah yang bisa membuat citra diri kita menarik di mata orang lain da itulah yag spesial karena itu membedakan kita dari orang lain. Saya juga melihat orang-orang yang lolos jadi member adalah orang-orang yang punya karakter dan aura yang kuat dan unik, karena itulah mungkin yang membuat fans setia mendampingi mereka dalam berproses mengasah kemampuan mereka. Kenapa mereka selalu lipsing dan kenapa mereka seperti tidak bisa menyanyi dan menari,, astaga kenapa kamu rela membayar mahal untuk kualitas seperti itu jika bukan untuk melihat paha! Itu pasti yang membuatmu gatal! Ayolah kawan, ini grup idol! Kau tau apa itu idol, googling saja sendiri! Intinya kalau belum tahu member adalah berasal dari orang non-profesional di dunia vocal dan dance (mereka awalnya gadis biasa), tetapi memiliki minat di dunia hiburan, setelah resmi menjadi member mereka dilatih dan diasah untuk mewujudka semua itu, impia mereka. Dan yang paling gombal tapi lumayan menyentuh adalah prinsip mereka (member) bekembang bersama-sama dengan fans. Bukankah itu sebuah siklus yang mengharukan dan saya pikir patut disuport. Itulah kenapa para member suka sekali senyum sambil menyemangati para fansnya dan fans juga menyemangati mereka (ada timbal balik dan setiap hari bisa ditemui) kemudian berterimakasih telah mendukungnya selama ini. Ya walaupun sialnya sering dimanfaatkan oleh manajemen untuk tujuan komersil dan itu jika kibulnya tidak jago maka akan terasa memuakkan, saya akui itu ada.
“Aku sepenuhnya sadar bahwa para member, teater, swag, event, dan tetek bengeknya adalah produk hiburan dan aku konsumen. Mereka jual dan aku beli, begitu sederhananya. Dan yang dijual bukanlah paha karena mereka tidak jual ayam goreng. Vonis tentang paha itu adalah fonis yang tidak bertanggung jawab karena beliau belum mengerti benar tentang seluk beluk member dan teater kok sudah berani memfonis kampungan seperti itu. Sekali lagi kami dapat lebih dari sekadar paha. Dan perlu diketahui tidak pernah terpikirkan kalau aku pergi ke teater hanya untuk lihat paha. Maaf, aku tidak pernah berfantasi yang tidak senonoh dengan member, entah yang lain kamu bisa tanya sendiri. Ini jelas berbeda menurutku, aku merasa seperti menemuka kuda betina yang anggun yang pantas aku cintai dan kagumi. Bukan pikiran jorok, kompungan tidak bermoral yang menuduh bayar tiket teater karena ingin lihat paha. Aku curiga bahwa mereka yang menuduh itu adalah manusia cabul, tidak bermoral, dan sok bermartabat, aku berani jamin. Karena kami sendiri (kalau mengaku tidak bodoh) yang mengikuti perkembangan mereka dan bisa begitu dekat dengan mereka tidak pernah terpikirkan tentang alasan tolol tentang paha, yang benar saja!
“Apa kamu (yang memvonis tentang paha) mengerti tentang konsep poros dunia? Aku yakin tidak, sudah bisa ditebak, terlalu transfaran. Jika manusia haya bisa menuduh dengan alasan paha, apalagi artinya itu kalau dikepalanya hanya ada paha dan sekitarnya. Kau tahu aku secara tidak langsung dibuatnya mengerti tentang konsep poros dunia setelah aku mengenal member dan teater, di samping aku adalah kuda yang berkacamata. Dan aku yakin merekalah (member dan teater) poros dunia kecilku, salah satu fokus hidupku. Menjadi motifasi kenapa aku berlari lebih kencang dari kuda lain, mengapa aku bisa lebih tangkas dari kudakuda lain, karena poros dunia kecil itu yang membuatku melonjak untuk bekerja lebih gigih dan baik dari kuda manapun. Manusia atau kuda yang tidak punya poros dunia akan kehilangan fokus, tidak bisa membaca peta diri, mudah terpancing, dan tentu saja lambat-laun pasti memjadi dangkal. Tuduhan tentang paha adalah buktinya, yang benar saja aku ini kuda! Masih menjadi teka-teki bagiku, apakah yang dangkal itu bisa mengerti cinta dan sayang? Karena secara logika saja yang dangkal itu tidak pernah mau memikirkan hal lain di luar sana yang tidak bisa dibuktikannya. Cinta dan sayang aku pikir terlalu rumit untuk yang dangkal, yang benar saja aku ini kuda lho!” Dan aku sebagai kuda tidak habis pikir memangnya apa menariknya paha bagi manusia?”
Astaga canggih sekali kuda ini, aku ngeri mendengarkannya. Ketika hendak merenungkan yang barusan diberondongkannya, show dimulai. Member sudah muncul di panggung akupun mulai fokus ke paha mereka.
0 notes
Photo

Mulut di Atas Kepala ("mulutku berpikir")
Charcoal in paper
2013
0 notes
Text
Gatot Kaca
“Memangnya apa yang lebih kudus
selain saat sinden menyanyikan Sinjang Kirut
untuk Gatot Kaca yang akan gugur oleh senjata konta”
Sebelum tidur kuterka kembali dongeng kakek.
Aku masih ingat Sinjang Kirut mengalun indah, nyaliku gentar
Kurasa Surya sengaja terlambat bangkit, rupanya dia simpati padaku.
Sebelum anaknya menghunus konta di jantungku
Sinjang Kirut makin mengakar, dadaku bergetar.
Subuh aku terbangun, dadaku sesak
Rupanya konta milik Adipati Karna tertinggal di dadaku
Sinjang Kirut rasanya menjalar dari kasur ke tubuhku
“Kakek aku masih ingin sekolah!”
0 notes
Photo

Kesenian Gonggo
Ada sebuah produk kebudayaan yang masih hidup di dalam sebuah masyarakat, di dalamnya terkandung berbagai kearifan lokal yang meminta untuk dieksplorasi agar kehadirannya mempunyai sedikit manfaat untuk khalayak serta tersimpan misteri untuk dikuak tentang andilnya dalam perkembangan sebuah peradaban sebuah masyarakat. Ada sebuah data yang saya dapatkan di Desa Kujangsari Kecamatan Langensari Kota Banjar Jawa Barat. Produk kebudayaan tersebut berbentuk seni pertunjukan yang diberi nama kesenian gonggo.
Kesenian gonggo atau angguk ialah kesenian tradisional dari Desa Kujangsari, tetapi lebih sering disebut kesenian gonggo. Kesenian gonggo adalah kesenian dengan bentuk semacam wayang orang. Dalam bahasa Jawa “gonggo” artinya adalah gongnya tidak dianggo, atau gongnya tidak dipakai. Memang dalam kesenian tradisional ini tidak memakai instrumen gong, tidak seperti kesenian-kesenian lain sejenisnya seperti wayang orang atau wayang kulit yang selalu memakai intrumen gong.
Kesenian gonggo di populerkan di Desa kujangsari pada tahun 1950 oleh Ramin (70). Sebelum Ramin membentuk grup kesenian gonggo di Desa Kujangsari, pada tahun 1940 Ramin melihat pertunjukan gonggo yang dipentaskan di Tenggogo Kecamatan Lakbok Kabupaten Ciamis, pada saat itu pemimpin rombongan sekaligus pendiri grup kesenian gonggo bernama Ishak. Baru setelah tahun 1950 Ramin berinisiatif untuk mendirikan grup kesenian gonggo di desa kujangsari.
Lakon yang dimainkan dalam kesenian gonggo adalah lakon Umar Amir. Lakon Umar Amir diadaptasi dari cerita yang berasala dari Madinah Arab. Secara garis besar gonggo menceritakan perjalanan Jayang Rana menuntut ilmu yang didampingi oleh Umar Maya. Dalam lakon gonggo, Jayang Rana adalah seorang raja dan Umar Maya adalah pengawalnya.
Menurut Ramin (70), kesenian gonggo merupakan sarana shyar Islam. Lakon Umar Amir yang biasa dimainkan, secara garis besarnya menceritakan perjalanan Jayang Rana dalam mencari ilmu agama, di dalamnya terkandung petuah-petuah bijak tentang kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam.
Seperti bentuk kesenian wayang pada umumnya, dalam sebuah judul cerita lakonnya, gonggo terdiri dari beberapa bagian atau adegan. Dalam naskahnya, setiap adegan hanya ada ringkasan ceritanya saja dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak ada percakapan yang tertulis dalam naskah, para pemain babas berimprovisasi dalam pementasan selama improvisasi itu tidak keluar dari benang merah ringkasan cerita pada naskah.
Ada sesuatu yang menarik pada penggunaan kostum para tokoh pemain gonggo. Walaupun ceritanya berasal dari Madinah Saudi Arabia, tetapi kostum yang digunakan adalah kostum kerajaan di Indonesia pada jaman dahulu. Dalam kesenian ini telah terjadi penyesuaian kebudayaan, dari kebudayaan Arab ke kebudayaan Indonesia.
Penyesuaian kebudayaan ini serupa dengan penyesuaiaan kebudayaan pada kesenian wayang yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata dari India. Setelah disesuaikan dengan kebudayaan Jawa, maka otomatis kostum, bahasa, kultur budaya, setting tempat, dan idealisme cerita akan berbeda dengan cerita aslinya di India. Bahkan wayang di Jawa dan Bali ada penambahan tokoh-tokoh Punakawan, yaitu Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng, yang tidak ada dalam cerita Ramayana dan Mahabharata yang asli.
Yang menarik pada penggunaan kostum tokoh utamanya yaitu tokoh Jayang Rana dan Tokoh Umar Maya. Kostum kedua tokoh itu mirip dengan kostum salah satu tokoh dalam lakon wayang Mahabharata. Seperti bisa kita lihat kostum tokoh Umar Maya sangat mirip dengan kostum Gatot Kaca, dan kostum tokoh Jayang Rana mirip dengan kostum Samiaji atau Arjuna.
Kemiripan kostum tokoh-tokoh tersebut sepertinya bukan karena kebetulan semata. Mengingat kesenian ini juga cara pementasanya mirip dengan wayang orang, setidaknya ada pengaruh dari kesenian wayang orang, baik itu dari segi pementasan ataupun dari segi tokoh dan cerita.
Sanangat mungkin jika kesenian ini mengadopsi cara pementasan ataupun karakter tokoh dari kesenian wayang orang. Apalagi jika didukung oleh sedikit kesamaan latar ataupun ide cerita.
Secara psikologis masyarakat pada saat itu (tahun 1940) haus akan hiburan. Dengan konsep pertunjukan yang lebih sederhana dan cerita yang memberikan pembaruan kepada jiwa masyarakat, sangat mungkin gonggo lahir dengan kesederhanaannya untuk memenuhi asupan rohani masyarakat. Bisa disebut juga gonggo sebagai kesenian wayang orang mini, karena pemain dan penayaga (penabuh gamelan tidak selengkap wayang orang).
Dalam kesenia gonggo ada kesesuaian karakter Umar Maya dengan gatot Gaca dan Jayang Rana dengan Arjuna. Dalam kesenian gonggo, Jayang Rana adalah seorang raja dan Umar Maya adalah pengawalnya yang menemaninya menuntut ilmu sehingga tercapainya ilmu hidup sejati. Dalam lakon Mahabharata pun sebenarnya raja atau penurun keturunan raja adalah Arjuna bukan Samiaji, karena dalam cerita kelak Arjuna akan diwisuda menjadi raja karena hanya Arjuna yang mempunyai keturunan, yang kelak akan meneruskan keberlangsungan kerajaan Astina, dan Gatot Kaca adalah pengawal negara yang secara tidak langsung adalah penjaga keamanan jiwa Arjuna sendiri. Dalam lakon perang Bharatayuda, Arjuna dan Gatot Kaca memiliki ikatan batin tersendiri, karena pada akhirnya Gatot Kaca rela mengorbankan dirinya sendiri demi menjaga Arjuna agar tidak tewas dalam perang Bharatayuda.
Menurut Ramin (70) yang merupakan pendiri kesenian gonggo di Desa Kujangsari, kesenian gonggo ini selain untuk sarana hiburan masyarakat juga sebagai media dakwah Islam. Menurutnya, ketika gerakan Komunis merajarela di Indonesia, kesenian gonggo ini sudah ada dan tetap berbicara dengan dengan dakwahnya. Tetapi ketika ditanya apakah ada kaitannya kesenian gonggo ini dengan gerakan komunis yang sedang merajarela, Ramin membantahnya, bahwa kesenian ini tidak terpengaruh oleh aktivitas politik yang sedang berlangsung, dan kesenian gonggo ini murni sebagai sarana hiburan dan dakwah Islam, sederhananya dakwah melalui kesenian.
Tetapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, satu sama lain akan saling memberikan pengaruh. Ketika gerakan komunis meracuni masyarakat dengan pahamnya, maka kesenian gonggo dengan dakwahnya akan menjadi semacam penawar dari racun yang disebarkan oleh gerakan komunis tersebut.
0 notes
Photo

Sketsa Virtual (Dehumanisasi)
Watercolor on paper
2013
Virtualisasi adalah efek dari berkembang pesatnya teknologi informatika. Hal tersebut menyebabkan dehumanisasi karena tingkat komuniksi antara manusia semakin tersisihkan. Dan itu bermuara pada situasi keterasingan diri (di dalam keramaiaan). Pengaruh lainnya adalah ketergantungan terhadap dunia virtual/digital dan seolah-olah dunia virtual tidak mengizinkan kita sebagai individu yang mandiri tanpa ketergantungan dengan media virtual. Kita digiring kepada perasaan seolah-olah kita menjadi janggal dan tidak lengkap tanpa media virtual/digital.
Konsep itulah yang saya coba tuangkan dalam gambar yang saya beri judul Virtual (dehumanisasi). Dalam gambar saya menyandingkan dua objek yang sebenarnya sama. Dalam gambar ada gambar mata yang dibingkai,dan gambar itulah yang saya sandingkan dengan persi yang lebih besar sehingga hanya terlihat bola matanya saja. Dan selain itu adalah kegelapan diluar pemahaman dan persepsi kita. Dengan gambar tersebut saya mengabadikan sudut pandang saya yang seolah-olah hanya bisa melihat sebuah subjek yang besar dan seringkali kita tidak mengetahui apakah itu sebenarnya. Seolah-olah itu adalah satu-satunya objek nyata walaupun seringkali absurd. Kita tidak sadar bahwa objek yang kita lihat hanyalah sebagia kecil saja dari sebuah objek yang besar.
Sudut pandang tersebut saya maknai sebagai sudut pandang atas diri sendiri dan sudut pandang atas apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan di luar diri kita. Kita seolah-olah tidak bisa melihat diri kita secara utuh karena kita tidak beranjak dari sudut pandang yang itu-itu saja. Memang kita bisa melihat secara lebih detail, tetapi kita tidak sadar oleh apa dan seperti apa pemikiran kita terbenduk atau dibentuk. Jika sudut pandang kita lebih luas kita bisa melihat bahwa begitu banyaknya kepentingan dibalik sesuatu yang telah membentuk pikiran kita sampai hari ini.
0 notes
Text
Sebuah Pertanyaan yang Bisa mengubahmu
Aku mendapati sebuah pertanyaan yang baru setelah sekitar tiga hari kemudian kutemukan jawabannya. Dan seketika itu juga mengubah pandangan dan perilakuku akan hidup, akan cinta. Aku gemas ketika memikirkan dan belum berhasil menemukannya. Aku tak lagi sama ketika tersadar akan jawabannya. “Dari sepuluh orang yang kutanya, hanya dua orang yang bisa menjawab langsung”, ujarnya “Mereka butuh waktu berhari-hari menemukan jawabannya, dan ketika mereka berhasil, mereka menjadi orang yang baru. Temanku berhenti “memainkan” perempuan sejak kuajukan pertanyaan ini. Aku pun jadi lebih berhati-hati dengan perasaan, dengan cinta, sejak seorang teman memberikanku pertanyaan ini. Dan aku yakin kau pun akan begitu”, tambahnya. Aku terdiam, menanti, seperti apa pertanyaan yang sanggup mengubah perilaku itu. Dan sesaat kemudian akhirnya ia lontarkan pertanyaan itu: “Apa yang ada dalam dirimu, yang tidak ada dalam orang lain, yang akan kau berikan kepada orang yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu kelak?” Aku terdiam.. Empat hari aku berpikir.. Baru kutemukan jawabannya.. Sejak itu ”proses-pencarian-cinta-ala-anak-muda” tak pernah lagi sama seperti sebelumnya dalam pandanganku.. Karena kini aku tahu, ada hal besar yang kupertaruhkan di situ.. Hal besar yang menjadi jawabannya.. Dapatkah kau menjawabnya seketika? Sementara itu, kini muncul pertanyaan baru dalam benakku.. Hey, bagaimana bisa sebuah pertanyaan dapat begitu mengubahku?
0 notes