not your favorite and friendly neighbor yet she's the generous and graceful one, shrouded in fame for her brilliant blockbusters through her career.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Scene VII: Di Balik 'Belati'
TW // 21+ , violence , blood , gore , sadism
Hari ini akan menjadi hari terakhir tahap produksi Belati, lebih tepatnya lagi pengambilan adegan terakhir. Akhirnya, aku hampir sampai ke tahap akhir dan siap memamerkan proyek paling pertamaku kepada dunia.
Kini, aku mulai mengarahkan pemeran utama wanita-Tira-yang diperankan oleh salah seorang aktris pendatang baru dengan talenta beraktingnya yang mencuri perhatianku, ia Ferin Alania.
"Tir," aku setuju memanggilnya dengan nama tokohnya, "Nanti kan gue cuman butuh shot lo ambil rokok sama koreknya, nggak usah buru-buru dan buat gerakan lo selambat dan tenang mungkin, ok? Rileks aja pokoknya dan jangan sampe nyangkut kayak tadi."
ㅤㅤㅤ"Jadi gue tetap jongkok dulu kan, Mbak? Apa nunduk aja?"
"Lo jongkok dulu aja biar nyaman dan kesannya lo nggak terburu-buru mau berdiri lagi. Tadi pas nunduk kayak kurang gitu."
ㅤㅤㅤ"Ok, Mbak. Baru nanti habis itu pindah scene terakhir, Mbak?"
"Cakep. Aman ya berarti? Jor, udah settingnya?" Aku pun melempar tanya pada juru kameraku, Jordi, sebelum mendengar jawab dari Ferin.
ㅤㅤㅤ"Sudah, Mbak."
Setelah Jordi memberiku isyarat bahwa ia telah siap, aku lantas pergi ke tempat dimana monitorku berada dan mendudukkan tubuhku di hadapan layar kecil itu. Tampak jua Gilang, sang clapper siap menjentikkan clapperboard dalam genggamannya. "Take 3, Scene 35." Dan tepukan clapperboard menjadi patokanku.
"Ok, ready," aku menjeda barang 3 detik sebelum melanjutkan aba-aba, "action!"
Semua tampak sempurna. Sudut pengambilan gambar yang kuinginkan pun mampu dimengerti Jordi dengan mudah kali ini saat aku netraku mendeteksi pergerakan Ferin di dalam monitor.
Walaupun lingkungan di sekitar tak terlalu terang berkat gelapnya malam dan aku sengaja enggan memanfaatkan banyak pencahayaan di sana, beruntung adegan itu masih bisa tertangkap dengan jelas.
Aku berniat mencurahkan seluruh perasaan Tira dalam adegan itu. Gelapnya malam dihiasi sinar rembulan, suara jangkrik yang nyaring, dan Tira yang berendam dalam ketenangan juga kebebasannya di sana usai mem bu nuh suaminya.
Pergerakan tenang dan lambat itu kujadikan simbol kebebasan Tira. Sebelumnya ia akan bergerak dengan cepat dan cekatan, kini ia menjadi lebih tenang dan lembut menggerakkan tubuhnya setelah merasa bebas.
Malam yang sepi itu pun kubuat menggambarkan pikirannya yang kosong namun tetap indah.
Persis sesuai pintaku, kuasa Ferin bergerak perlahan mengambil sesuatu dari saku celana Mas Tito-pemain yang memainkan peran utama laki-laki, Danang-dan akhirnya keluar dari frame.
"Cut, ok! Good job!" Pekikku saat sang aktris berhasil menyelesaikan adegan itu tanpa masalah. "Ke adegan terakhir ya. Yuk, tolong langsung disiapin. Mas Danang, bangun, Mas!" Gurauku pada Mas Tito yang baru saja usai berperan sebagai ja sad Danang, membuatnya harus berlumuran da ra h dan terbaring di tanah yang sebelumnya telah digali.
Aku segera bangkit dari dudukku dan menghampiri Ferin juga Mas Tito yang telah dikerumuni beberapa kru untuk bersiap-siap menciptakan suasana yang sama namun adegan berbeda.
"Hampir aja gue ketiduran, Dis," celetuk Mas Tito yang kemudian mengundang tawa kru lainnya. "Kalau tidur sih, kita kubur aja ya, Pak No? Hahaha." Timpalku meminta pendapat pria paruh baya yang bertugas menciptakan set hari ini dan berdiri di sampingku.
Pak No pun hanya tertawa dan membantu tubuh Mas Tito untuk bangkit dari posisinya. Kemudian lubang yang sebelumnya berisi figur Mas Tito itu digantikan dengan tumpukan benda yang nantinya akan dibakar Felin untuk adegan terakhir.
Sementara para kru wardrobe dan make-up mengerubungi Felin, aku berlari menuju Jordi yang tengah berkutik dengan kameranya. "Jor, gue mau nanti zoom-outnya pelan banget aja. Jadi aba-aba lo buat mulai zoom-outnya itu ada pas apinya mulai nyala," pintaku pada sang juru kamera.
"Nah, baru nanti gue kasih lo waktu 5 menit untuk zoom-out sampai medium close-up aja, aman kan?" Sebuah gestur 'ok' darinya pun kudapatkan dan aku mengakhiri interaksi itu dengan ucapan terima kasih pada Jordi.
Tak lama setelahnya, aku kembali bergerak mendekati Felin untuk lagi-lagi memberi arahan sebelum puan rupawan itu memulai aksinya di depan kamera.
"Tir, as I told you once again, lagi-lagi, tolong tetap tenang dan bergerak pelan banget ya. Pokoknya sepanjang camera roll, tatapan lo harus kosong ke arah Danang ya sampai cut cue dari gue."
ㅤㅤㅤ"Gue langsung berdiri apa bangun dari duduk, Mbak?"
"Good one, dari bangun aja kayaknya lebih cakep kok. Thank you, cantik"
ㅤㅤㅤ"Siap, Mbak."
"Nir, ini da rah nya di pipi tolong tebelin dikit ya, mau ambil close-up soalnya. Thank you." Ujarku pada Nirmala, salah satu kru make-up yang sibuk memoles wajah Felin. "Boleh dong, Mbak." Jawabnya ramah dan girang.
Dirasa cukup memberi arahan sesuai inginku, kursi di balik monitor masih menjadi tempat tujuanku lagi namun tubuhku belum menyentuh dudukan kursi itu. Netraku memandang jeli ke arah layar tersebut dan memperhatikan sekitarku.
"Nir, sudah belum?"
ㅤㅤㅤ"Sudah, Mbak."
"Jordi, aman?"
ㅤㅤㅤ"Aman, Mbak."
"Lang, yuk Lang. Semangat ya semuanya, satu scene lagi yuk." Aku lantas mengundang sorak di lokasi syuting terakhir itu dengan bertepuk tangan dengan maksud memberi semangat dan kru lainnya pun mengikuti.
"To positions, everyone!" Lanjutku memekik sebelum para kru bersiap pada posisi masing-masing yang sudah kutentukan sebelumnya. Sosok Gilang bersama clapperboardnya lalu menghiasi layar monitor di hadapanku juga teriakan lantangnya, "Take 1, Scene 36."
Kala memastikan sang clapper sudah tak berada di dalam frame, aku mengantarkan aba-abaku lagi. "Ok, ready and," tak kalah nyaring dari volume Gilang, aku bersuara, "action!"
Setelah menangkap petunjuk dariku, lantas Felin bangkit. Wajahnya dari samping tersorot dan memenuhi lensa kamera. Seperti apa yang kupinta sebelumnya, gerakannya begitu tenang dan lamban. Jemarinya bergerak mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.
Tepat sebelum api pada batang koreknya redup dan padam, Felin membuangnya ke tumpukan benda di hadapannya yang menggambarkan ja sad Mas Tito. Api perlahan mulai menjalar dan menyentuh langit malam.
Tatapan Felin pun nampak kosong dan tak berarti kala memandang ke arah sumber api itu. Selagi bibirnya sibuk menghirup dan hembuskan asap rokok, suara serangga pada malam itu menemani gelapnya pekarangan itu.
Kamera kini perlahan mundur, kian menjauh dari wajah Felin yang semula memenuhi layar monitor. Berkat kerja Jordi yang tak perlu dipertanyakan lagi, pergerakan kamera itu nampak amat mulus dan meyakinkan. Membuatku berpikir tak salah memilih.
"And cut! That's an ok from me, Tir!" Usai merasa dihujani kepuasan oleh aksi Felin, aku menyelesaikan kegiatan pengambilan adegan paling akhir dalam rentetan skenario yang kubuat. "Kawan-kawan, terima kasih banyak!"
Merentangkan tangan untuk menuntut sebanyak-banyaknya pelukan dari seluruh kruku ialah hal pertama yang kulakukan usai bangkit dari dudukku. Dimulai dari Mas Tito yang berada tak jauh dari posisiku, dan berlanjut menuju kru yang berada di balik layar, yang setia menemaniku hingga akhir proses produksi hari ini.
Tentu tak lupa jua mencurahkan rasa terima kasihku pada mereka semua satu per satu karena tanpa kehadiran dan kesediaan mereka membantuku hingga titik ini, aku tak akan mampu mencapai impianku sampai hari ini.
Tentu Belati belum berakhir sampai di sini. Masih ada tahap post-produksi yang harus kulalui untuk bisa mencapai akhir dari proyek perdanaku sepanjang perjalanan meniti karir yang selama ini kudambakan.
0 notes
Text
Scene VI: Masalah dan Jumpa
Aku bertaruh pada apapun bahwa malam ini akan menjadi salah satu malam paling panjang dalam sejarah hidupku. Masalah demi masalah mendatangiku tanpa mampu kutangkis sebelum akhirnya menghancurkan reputasiku. Semua telah terjadi dan aku terlambat menghindarinya.
Tak hanya reputasiku yang dipertaruhkan di sini. Reputasi karya juga orang-orang penting yang terlibat di dalamnya, mau tak mau ikut terbawa arus masalah.
Bagaimanapun juga, aku tetap perlu berusaha membenahi semua masalah sebelum semakin merambat atau lebih buruknya lagi, bertambah.
Dan disinilah aku. Berada di sebuah ruang privat pada salah satu bar terkenal daerah Jakarta Selatan. Bukan, bukan untuk merayakan penayangan perdana hari itu. Pestanya belum dimulai walaupun seluruh kru dan pemain telah berkumpul di sana.
Juga, pesta belum akan dimulai bila aku, jajaran produser, beserta perwakilan rumah produksi belum keluar dari ruangan ini bersama solusi dan penanganan masalah yang kuhadapi.
"Coba, gue mau tau penjelasannya dulu dari lo, Dis. Tadi maksudnya gimana?" Mas Hakim yang biasa kulihat kerap bergurau kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, bahkan tak terlihat senang dengan situasi saat ini. Aku mengambil langkah untuk menjelaskan. Tidak. Lebih tepatnya membalikkan situasi dengan berbohong.
"Saya sendiri nggak tau tadi itu maksudnya apa, Mas dan Mbak sekalian. Kejadiannya terlalu cepat dan tiba-tiba, makanya saya nggak bisa mengambil keputusan apapun selain menentang apa yang mbak-mbak tadi katakan ke saya, di depan media dan penonton yang ramai banget."
Panjang lebar aku membeberkan perihal kejadian tak mengenakan tadi. Di tengah itu, aku dapat merasakan rasa terbakar dari tenggorokanku berkat Kahlua shot yang kutenggak untuk menenangkan tubuh serta pikiranku yang tegang. Namun, sepertinya niat tersebut gagal.
"And I admitted how ignorant I was dengan tiba-tiba meninggalkan tempat tadi tanpa penjelasan. Maka dari itu, saya benar-benar minta maaf sama Mas Hakim, Mas Michael, Mbak Regina, juga Mas dan Mbak perwakilan dari Miracle Vision yang sudah repot-repot mau menyempatkan waktu untuk datang ke sini. Sekali lagi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya." Dengan tegas dan-kini-bertanggung jawab atas kesalahan yang kulakukan hari ini, aku membungkukkan tubuhku di hadapan seluruh individu yang ada di sana.
Hingga seketika vokal dari Mbak Regina membuatku berdiri dengan tegap di depan ruangan, "Hear me out, Dis. Kami semua pastinya menerima permintaan maaf kamu. Kami juga paham dan mengerti kalau ini hanya kesalahpahaman belaka saja," jelasnya, "tapi sayangnya kita punya berita buruk di sini yang sepertinya nggak bisa kamu redakan dengan permintaan maaf, Dis."
Setelah Mbak Regina menyudahi penjelasannya, ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku ke depan. Bukan tanpa alasan sebab aku dapat melihat kuasanya menggenggam ponselnya, layarnya menyala tanda tengah dioperasikan sang empu. Lantas, Mbak Regina memberikan ponsel tersebut pada genggamanku. "You have to see this."
Aku segera merutuk dalam benakku saat netraku menangkap apa yang ada di layar. Sebuah artikel yang baru saja diunggah beberapa menit lalu berisi kejadian di teater tadi. Ketika kulihat sumbernya, artikel itu ditulis oleh salah satu portal berita yang sedikit tak familiar di telingaku. Sedangkan aku telah meminta pengacaraku untuk 'membungkam' semua perwakilan portal berita yang hadir tadi. Sepertinya rencanaku tak berjalan sesuai ekspektasiku.
Tanpa berlama-lama, aku segera meraih gawaiku dari dalam saku celana dan menekan kontak kuasa hukumku guna menghubunginya. Seraya menjauh dari tempatku berdiri sebelumnya, aku berbisik melalui panggilan itu, "Halo, Pak, ini saya Disa. Saya mau minta tolong urus yang dari Vlicker ya, nanti saya kirim tautan artikelnya supaya bisa Bapak tinjau sendiri."
Usai mendapatkan isyarat setuju dari pengacaraku di seberang, aku lekas menutup panggilan itu dan meminta Mbak Regina mengirimkan artikel tersebut untuk kemudian kuteruskan pada kuasa hukumku.
"Kamu mau minta hapus artikelnya, Dis?" Tanya Mas Michael dari posisinya.
"Iya, Mas."
ㅤㅤㅤ"Kayaknya sudah terlambat, Dis."
"Nggak kok, Mas, ini baru beberapa menit lalu dan portal beritanya bukan yang ramai dikunjungi. Aku aja baru tau ada Vlicker ini."
"Lo yakin, Dis?" Mas Hakim pun ikut menyampaikan keraguannya akan ucapanku. "Kalau ternyata cuman lo yang nggak tau portal itu gimana?" Tambahnya. Semua mata belum kehilangan fokusnya dari sosokku yang masih setia berdiri di depan ruangan itu. Aku pun telah mengirimkan artikel tersebut ke pengacaraku dan aku tak tahu langkah selanjutnya.
Terdiam sejenak selagi mencerna kalimat Mas Hakim, aku memutar otakku untuk menemukan solusi dari semua kekacauan ini, dan ini keputusan akhirku.
"Nggak kok, Mas. Saya janji dan yakin kalau hal ini nggak akan mengganggu apa yang sudah kita kerjakan bersama di Kain Merah Amerta Saya bukan orang yang akan kabur dari tanggung jawab yang saya emban dan saya akan melakukan apapun untuk tetap menjaga reputasi Kain Merah Amerta beserta seluruh isinya yang telah bekerja keras." Bantahku panjang.
"Kami juga nggak akan tinggal diam kalau nantinya ini mempengaruhi reputasi Kain Merah Amerta, Mbak. Kami percaya sepenuhnya sama Mbak Disa dan Mas juga Mbak produser di sini," ungkap salah seorang perwakilan dari Miracle Vision, "tapi kami juga ingin tau apa hubungan Mbak Disa sendiri dan orang-orang yang tadi terlibat."
Mendengar hal itu, aku menghela napasku perlahan sebelum membuka mulut, "Sampai lupa, saya memang mau menjelaskan perihal ini lebih detail lagi ke kalian semua. Sebenarnya saya hanya baru pertama kali bertemu laki-laki yang tadi disangka berselingkuh dengan saya. Itu pun pertemuan yang tidak disengaja karena kebetulan dia ajak saya berkenalan dan mengobrol terlebih dahulu."
"Saya juga tidak tahu-menahu kalau dia akan datang ke 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘪𝘦𝘳𝘦 tadi untuk bertemu saya, bahkan sampai punya istri pun saya nggak tau. Makanya saya tadi sempat bingung dan memilih pergi sebelum suasananya semakin buruk di sana." Tanpa sadar, aku berusaha mencari pembenaran di tengah penjelasanku.
ㅤㅤㅤ"Gue kira tadi lo beneran jadi pelakor, Dis. Kalau sampe iya, gue rasanya pengen nyemplungin lo ke Bunderan HI."
Intonasi Mas Hakim terdengar jenaka dan berhasil mengundang tawa seluruh orang di dalam ruangan itu, mencairkan ketegangan. Termasuk diriku. "Yah, masuk angin deh gue yang ada, Mas, hahaha."
ㅤㅤㅤ"Ya sudah kalau begitu, berarti ini sudah clear ya? Kita beneran bisa percaya sama kamu kan, Dis?"
"Siap, Mas Mike. Tenang aja, pokoknya tinggal tunggu penayangan selesai."
ㅤㅤㅤ"Yaudah, yuk keluar. Yang lain udah nungguin di luar. Kasian kalau nggak mulai mulai." Setelah Mbak Regina berucap, kami pun bersamaan meninggalkan ruangan itu dan kembali berkumpul bersama yang lain di dekat panggung live music.
Sesampainya di sana, Mas Hakim mendekatiku dan membisikkan sesuatu, "Dis, buka dulu sana. Harus ada yang sambutan."
"Lah, gue kan udah sambutan di 𝘱𝘳𝘦𝘮𝘪𝘦𝘳𝘦, bosen kali kalau sambutan lagi di sini?"
ㅤㅤㅤ"Ya yang ini buat buka after-partynya, cepet sana."
Mas Hakim tak tinggal diam dan mendorongku ke tengah-tengah panggung seraya berteriak kepada seluruh isi bar luas tersebut bahwa aku akan menyampaikan sesuatu di sana. Dengan ragu, aku lantas meraih sebuah mikrofon yang tersedia dan menyalakannya.
Enggan lupa untuk mencobanya terlebih dahulu. "Mic, check, one, two. Halo halo, kedengeran kan ya?" Tanyaku pada semua orang di sana. Semua pun berteriak setuju sebagai respon.
"Ok. Duh, jadi nggak enak banyak ngoceh dari tadi. Sebelumnya, selamat malam semuanya!" Sapaku meriah pada seluruh khalayak yang hadir. Sapaan itu pun disambut ramah oleh semua.
"Walau mungkin kalian sudah empet melihat sosok gue ini selama lebih dari enam bulan lamanya, tapi perkenalkan, gue Naudisa selaku sutradara dari Kain Merah Amerta belum bosan berterima kasih kepada seluruh kru, pemain, maupun tamu yang hadir malam ini, terima kasih sudah mau mengeluarkan seluruh tenaganya dan berdedikasi untuk bekerja sama dalam Kain Merah Amerta," aku menjeda dan disambut tepuk tangan meriah dari seluruh khalayak yang mendengarkan sabutanku secara seksama.
"Karena tanpa kalian semua, Kain Merah Amerta nggak akan terjadi dan hanya sebuah kisah manusia biasa yang akan terus tersembunyi. Gue juga sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat di Kain Merah Amerta yang mempercayakan sepenuhnya pembuatan Kain Merah Amerta kepada gue. Kesempatan dan momen ini akan selalu gue cherish sepanjang hidup gue."
"Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih, sisanya silakan nikmati semua malamnya and cheers for Kain Merah Amerta!" Aku pun mengakhiri sambutan itu dengan antusias dan nada yang berapi-api, belum lagi suara tepuk tangan dan sorakan dari setiap sudut ruang mengiringi langkahku turun dari panggung. Lantunan musik yang nyaring juga mulai mengisi serta meramaikan tempat yang minim penerangan itu.
Pandanganku menangkap Naufal yang tampak siap menghadangku di samping panggung, dan dugaanku benar.
ㅤㅤㅤ"Mbak mbak, temen gue ada yang mau ketemu sama lo. Mau kenalan."
"Hah? Siapa? Aktor? Apa aktris?"
ㅤㅤㅤ"Bukaaan, ada temen kuliah. Katanya adek kelas Mbak Disa dulu waktu SMA." Aku mencoba mengingat ciri-ciri yang disebutkan Naufal, namun tampaknya usahaku gagal sebab aku tak begitu mengenal apalagi berteman dekat dengan adik tingkatku semasa SMA. Siapa yang Naufal maksud?
Lantas, Naufal segera menggiringku menuju sudut yang kosong di meja bartender tempatku tadi meneguk tiga Kahlua shot dan satu tequila shot sebelum ditarik ke ruang sebelumnya. Indera penglihatanku kemudian menangkap sesosok lelaki yang dihampiri oleh Naufal.
ㅤㅤㅤ"Mbak Dis, kenalin, ini namanya Hengki, temen kuliah gue dulu."
Laki-laki yang bernama Hengki itu lantas bangkit dari duduknya dan menjulurkan tangannya padaku. Berniat hendak menjabat tanganku.
Tingginya tak terlalu terlampau jauh denganku walaupun tentu saja, tubuhnya lebih jangkung dariku. Aku lalu menjabat tangannya.
ㅤㅤㅤ"Hengki Lienata."
"Naudisa Admaniya."
ㅤㅤㅤ"Saya adik kelas Mbak Disa dulu di SMA N 6."
"Oh iya? Kok saya nggak pernah lihat kamu?" Aku masih bingung sebab wajahnya samar-samar terasa tak asing di benakku. Seperti aku pernah berpapasan dengannya.
"Kalau gitu gue ke Bang Hakim dulu ya, Mbak. Titip ya, Ki. Jangan diapa-apain nih sutradara gue." Vokal Naufal bercampur antara kesungguhan dan candaan belaka sebelum melenggang ke arah sosok yang dimaksudnya tadi. Aku dan pria bernama Hengki itu membalasnya dengan tawa.
ㅤㅤㅤ"Masa sih, Mbak? Mungkin karena waktu saya masuk, Mbak Disa sibuk UN ya?"
"Oh, kamu angkatan 2011 ya?"
ㅤㅤㅤ"Bener, Mbak. Mbak nggak pesan minum?"
"Loh iya, sampai lupa." Tanpa berlama-lama, aku langsung memanggil seorang bartender di sana dan memesan minuman beralkohol kesukaanku. Tak lupa pamerkan senyum sebagai salah satu gestur santun andalanku sebelum menduduki kursi kosong di samping pria yang baru saja kuketahui namanya.
ㅤㅤㅤ"Mbak ke sini naik apa?"
"Hahaha, kenapa nanyanya begitu?"
ㅤㅤㅤ"Oh, nggak, soalnya kalau bawa kendaraan sendiri harusnya jangan pesan minum."
Selepasnya aku baru tersadar bahwa aku ke sini mengendarai motor kesayanganku. Pesananku pun datang dan pertarungan terjadi di dalam kepalaku seraya menatap minumanku.
ㅤㅤㅤ"Bawa ya, Mbak? Nggak apa-apa, minum aja." Terkejut dengan celetuk pria itu, aku menatap lelaki itu dalam diam sejenak, sebelum meloloskan tanyaku.
"Loh? Kan tadi kamu bilang sendiri jangan minum?"
ㅤㅤㅤ"Kalau Mbak nggak keberatan, biar saya yang antar sampai rumah pakai kendaraan Mbak sendiri."
Mendengar ucapan itu, aku terkekeh perlahan. "Memang kamu bisa bawa motor? Terus kendaraan kamu gimana?" Merasa sedikit tersinggung dengan tanyaku, Hengki pun balik melontarkan tanya padaku.
ㅤㅤㅤ"Kenapa Mbak mikir begitu? Saya kelihatan kayak orang nggak bisa bawa motor memangnya?"
Sebelum merespon pertanyaan itu, aku terlebih dahulu menyesap minumanku dan membiarkan efek sampingnya menghangatkan tenggorokan juga tubuhku.
"Iya. Lagipula kamu kan juga minum." Aku menunjuk gelas yang berada dalam genggaman Hengki dengan daguku.
ㅤㅤㅤ"Ini? Ini lemon tea, Dis. Boleh kan saya panggil nama aja? Usia kita juga nggak jauh banget."
Dan di sanalah Hengki. Dengan senyumnya yang manis, mampu menambah kehangatan ragaku selain efek dari alkohol yang kutenggak. "Jadi gimana, Dis? Boleh saya antar pulang?"
Aku sampai lupa menjawab pertanyaan Hengki sebelumnya dan pria itu justru telah memberi pertanyaan lain. "Sure, tapi saya nggak bisa percaya sama kamu semudah itu. Coba yakinin saya dulu." Tanggapku dengan sedikit canda di dalam intonasi.
Hengki lantas terkekeh mendengarnya dan di sisa malam itu, ia benar-benar berusaha meyakinkanku untuk mempercayainya.
Bahkan di sela-sela percakapan panjangku dengan beberapa kenalan baru atau tamu undangan di pesta itu, Hengki tetap setia menungguku di bangku itu. Juga mengusir siapapun yang berniat menduduki tempatku di sampingnya. Namun, tidak semudah itu, batinku.
Di sela interaksiku dengan seorang sutradara senior dan Varinka juga Mbak Regina, aku mencuri pandang ke arah Hengki.
Entah bagaimana bisa tetapi pandangan kami bertemu. Di antara bisingnya dentuman lagu dan percakapan antar individu di sana, mata kami bertemu.
Perasaanku bergejolak. Bukan, bukan karena jatuh cinta padanya. Tetapi perasaan itu muncul karena tak ada kemungkinan yang terukir di benakku bahwa aku bisa menaruh hati padanya. Tidak. Atau belum? Aku pun masih meragukan hatiku sendiri.
0 notes
Text
Scene V: Penayangan Perdana
Penayang telah usai dan kini acara tanya-jawab juga akan segera berakhir. Sang pembawa acara pun memintaku untuk menyampaikan pesan-pesan terakhir sebelum menutup acara tersebut.
"Saya ingin sangat amat berterima kepada seluruh pemain dan kru di balik layar, karena tanpa kalian, tentunya film Kain Merah Amerta nggak akan bisa ditampilkan hari ini dan 2 Juni mendatang," jelasku melalui mikrofon, "dan nggak hanya itu, saya juga mau amat sangat berterima kasih kepada rumah produksi Miracle Vision yang menaungi Kain Merah Amerta dan juga barisan produser tercinta yang memberikan saya kesempatan emas dan paling berharga ini, ada Mas Hakim Pramono, Mbak Regina Astelia, dan Mas Michael Andreas." Aku melanjutkan seraya mencuri pandang pada para sosok yang namanya kusebutkan.
Belum usai, aku masih setia mengangkat mikrofon tersebut dengan sigap di hadapan bibirku, "Terima kasih banyak juga kepada seluruh penonton yang menyempatkan untuk hadir hari ini, semoga film yang baru saja ditonton bisa membekas di hati ya." Hampir menitikkan air mata yang membendung di pelupuk, aku menahan titik lidahku sebelum melanjutkan lagi.
"Saya amat sangat berterima kasih kepada seluruh insan yang hadir pada hari ini, yang berada di samping saya, di balik layar, dan yang saat ini berada di kursi penonton. Terima kasih banyak atas antusiasnya. Jangan lupa untuk saksikan Kain Merah Amerta di bioskop kesayangan kalian pada 2 Juni nanti ya."
Usainya, aku menjauhkan mikrofon dan memberi isyarat kepada pembawa acara bahwa aku telah mengakhiri tuturku. Acara pun berhasil ditutup dan berakhir. Perasaan yang semula mendebarkan, kini menjadi lega hingga membuatku menghembuskan nafasku serta mengusap dadaku.
Varinka, sang pemain utama perempuan, menangkap gerak-gerikku selama keluar dari ruang teater dan menghampiriku, "Mbak Disa, selamat ya jadi sutradara wanita muda nih, cie."
Lantas, senyum sumringah menghiasi wajahku kala mendengarnya, "Selamat juga ya, Var, sudah jadi Amerta yang gue inginkan, asik. Hahaha. Terima kasih banyak juga." Tangisku pecah di akhir ucapan terima kasihku itu. Varinka terburu-buru mendekap tubuhku tepat sebelum kami angkat kaki dari teater tersebut.
"Ya ampun, Mbak, jangan nangis ih, gue ikut mewek jadinya nih." Dan benar saja, runguku menangkap isak tangis sang pemain utama.
"Loh? Kok kalian malah nangis berdua di sini sih? Gue juga mau ikutan dong!" Naufal, pemain utama laki-laki itu kemudian ikut mengerubungiku dan Varinka dengan tutur jenakanya.
Belum berhenti di situ, pemain lain-bahkan Mas Hakim yang terkenal humoris- juga ikut mengerubungi kami bertiga dan berakhir berpelukan bersama pemain lainnya juga sebelum keluar beriringan.
Baru saja aku menoleh ke arah luar teater, pandanganku sudah dimanjakan oleh sekerumunan individu dan beberapa wartawan memenuhi tiap sudut bioskop.
Hampir saja lupa dan meninggalkan tempat tersebut, beberapa jurnalis mulai menghampiriku guna menggali informasi tentangku dan film yang kusutradarai.
ㅤㅤㅤㅤ"Gimana perasaan Mbak Disa kini akhirnya resmi menjadi sutradara film layar lebar?"
"Senangnya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata akhirnya bisa dikasih kesempatan emas ini setelah sekian lama bermimpi jadi filmmaker Indonesia."
ㅤㅤㅤㅤ"Apa Mbak Disa sudah ada rencana untuk project selanjutnya? Akan seperti apa nantinya?"
"Kalau untuk itu pastinya ada tapi saya nggak bisa kasih bocoran apa-apa tapi saya berharap para pecinta film Indonesia bisa terus menikmati karya saya nantinya." Dan berbagai pertanyaan lainnya yang harus lapang kujawab. Melelahkan, namun ini merupakan salah satu kewajibanku setelah menyelesaikan film pertamaku tersebut.
Aku bahkan tak menyangka akan dikenali oleh beberapa masyarakat yang hadir di sana. Tak sedikit dari mereka yang mengajakku berfoto bersama dan meminta tanda tanganku. Tentu semua terasa amat asing dan mendebarkan.
Di sela-sela kegiatan itu, Varinka juga kembali menghampiriku, sekarang dengan sebuah buket bunga untuk kemudian menyerahkannya padaku.
ㅤㅤㅤㅤ"Mbak Disa, selamat ya!"
"Terima kasih banyak loh, Var. Repot-repot pakai kasih buket segala, nanti gue kirim karangan bunga deh ya ke rumah kalian, hahaha."
ㅤㅤㅤㅤ"Ngapain, Mbak? Gue belum mau nikah, hahaha." Candaan itu berhasil mencairkan perasaan tegangku yang tak kunjung reda.
Namun tampaknya aku tak akan berhasil mengusir ketegangan tersebut dari tubuhku sebab kedua netraku menangkap sebuah masalah. Masalah itu tengah mendekatiku bersama sebuket bunga di tangannya.
Fuck, dia ngapain dateng sih, umpatku dalam hati saat sosok itu semakin mendekatiku.
"Halo, Disa sayang, selamat ya." Pria yang kusebut masalah itu lalu memeluk tubuhku dengan erat, tanpa izinku. Bukan, bukan karena aku tak mengenalnya.
Sekuat tenaga kuasaku mendorong tubuh jangkung itu untuk menjauh dariku, diselingi sebuah bisikan, "Lo ngapain ke sini sih? Gila ya?"
Pria itu lantas melepaskan dekapan tersebut selagi memamerkan giginya dan menyerahkan buket bunga dalam genggamannya padaku. Dapat kurasakan sejumlah pasang mata memperhatikan kami, terlebih Varinka yang berada tepat di sampingku. "Pacarnya Mbak Disa ya?" Tanya gadis itu.
"Bukan!"
ㅤㅤㅤㅤ"Iya."
Ucapku dan lelaki itu bersamaan. Sebuah pandangan tajam kuberikan padanya sebab jawaban tak masuk akalnya. Varinka pun tampak merasa canggung kala mendapati jawaban kami yang tak selaras.
"Mbak, gue ke sana dulu ya." Bisik Varinka sebelum meninggalkan kami berdua di tengah lautan manusia yang masih setia meramaikan tempat tersebut.
Dengan geram, aku menarik lengan wira yang kukenal bernama Mario itu untuk bersiap membisikkan sesuatu padanya. "Lo gila ya pake teriak manggil-manggil sayang segala?"
ㅤㅤㅤㅤ"Kenapa? Bener kan? Kita pacaran kan?"
"Sejak kapan, hah? I told you, it was a mistake, we drank too much and it happened." Jelasku, berbisik dengan panik.
Kuasa Mario bergerak mendekati pinggangku tanpa izin, ia hampir memelukku di depan khalayak dan wartawan di sana. Beruntung, berhasil kutepis.
ㅤㅤㅤㅤ"Apa salahnya? Aku mau mengenal kamu lebih jauh, Dis."
Pikiran dan benakku saat ini hanya mampu mengumpat dan bersumpah serapah setelah mendengar respon dari Mario. Sementara tatapanku mengantarkan isi pikiran tersebut pada laki-laki di sampingku.
Mario adalah salah satu dari sekian laki-laki bodoh dan brengsek yang pernah kutemui. Aku mengetahui dengan jelas apa yang ia sembunyikan dan bodohnya, dirinya bahkan tak tahu aku telah mengetahuinya.
"Buka mata lo, Mario. Lo itu udah punya istri." Cecarku. Masih dengan volume rendah dan perlahan menjauhkan diri dari kerumunan. Dapat kutangkap ekspresi terkejut di wajah Mario. Ia benar-benar menganggapku sama bodohnya dengan dirinya.
"Kamu ... tau darimana?" Tanpa merasa bersalah, ia justru melemparkan tanya itu padaku.
Hingga tepat saat aku hendak membuka mulutku, sebuah suara nyaring dari seorang wanita memecah konsentrasi dan fokus seluruh insan di sana, termasuk diriku.
ㅤㅤㅤㅤ"Oh, jadi gini ya kelakuan kamu?! Bilangnya keluar kota tapi malah ada di sini?!"
Semua mata lantas tertuju pada wanita tersebut. Aku berhasil mengenali wajahnya. Dan saat momen itu tiba, aku tersadar bahwa hari istimewaku tak akan pernah menjadi istimewa dengan adanya kejadian ini.
Kejadian yang tak pernah kubayangkan akan terjadi. Di hari paling bermakna bagiku.
Semakin dekat wanita itu melangkah ke arahku, semakin ramai orang di sekitar ikut berlarian mendekati kami. Termasuk para wartawan yang belum beranjak dari sana.
ㅤㅤㅤㅤ"Kamu ya yang deketin suami saya?! Dasar cewek murahan!"
Tubuhku membeku selama mencerna satu per satu kalimat tersebut saat diteriakkan oleh wanita yang kuketahui merupakan istri sah dari Mario.
Aku tak tahu harus berbuat apa kala itu juga. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku dan jantungku berdegup tak karuan. Semakin nyaring seruan wanita itu, semakin tak terhitung pula kepala yang ikut mengerumuni tempatku, Mario, dan wanita itu berada.
Tidak. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak malamku. Malam paling tak ternilai sepanjang sejarah hidupku di dunia ini. Sekalipun istri sah dari seseorang yang tak sengaja kutiduri saat tak sadarkan diri. Saat sadarku tenggelam di lautan alkohol yang kutenggak semalaman.
Aku mengakui kesalahanku, namun aku enggan memperbolehkan seorang pun mengacaukan kesan pertama dunia terhadapku. Genggamanku yang sebelumnya terpaksa mengambil buket bunga dari Mario, lantas kulemparkan lagi padanya. Bersama ekspresi wajah terganggu akan kehadirannya.
"Maaf ya, Mas, Mbak, saya nggak kenal kalian berdua. Mbak sepertinya salah orang," kataku dengan tenang, "saya juga nggak pernah merebut suami siapapun, jadi tolong jangan membuat keributan di sini." Aku melanjutkan kalimatku, kini menggunakan intonasi tegas.
Para wartawan yang sebelumnya sibuk memotret kejadian itu, kini mulai perlahan menghentikan aksi mereka. Puji syukur kurapalkan dalam hati lantaran berhasil mengelabui semua orang yang ikut menyaksikan keributan itu, kecuali Mario tentunya. Aku membiarkannya tertawan dalam diam.
Bersama rasa percaya diri bahwa tak akan ada artikel aneh yang muncul di hari pertamaku resmi menjadi seorang sutradara film layar lebar, aku menggerakkan kedua tungkaiku mendekati para pemain dan beberapa kru yang masih setia menyapa khalayak juga media, guna memberikan ucapan selamat pada mereka sekali lagi.
Aku juga ikut mengingatkan mereka untuk tak melewatkan acara perayaan khusus nanti malam melalui bisikan singkat.
Baru saja hendak melangkah menuju pintu keluar bioskop, sebuah tangan menahanku. Naufal pelakunya. Ia tampak berniat untuk membisikkan sesuatu padaku.
"Mbak, nanti pokoknya kita semua butuh klarifikasi di after party ya. Tadi Mas Michael sama pihak Miracle Vision nanya ke gue sama Varinka. Mereka minta penjelasan." Jelas Naufal tepat di samping telingaku, berniat menyembunyikan ucapannya.
Tanpa sedikit pun kesadaran, aku kesulitan menelan ludahku sendiri kala mencerna penjelasan Naufal. Seluruh pertanyaan mulai memenuhi kepalaku.
Apa yang harus kukatakan pada mereka? Sebaiknya berkata jujur? Atau berbohong seperti tadi? Apa reaksi mereka nantinya?
Kepalaku hampir meledak memikirkan semua itu. Maka, aku berusaha menimpali setenang mungkin, "Iya, Fal. Nanti bakal gue jelasin kok. Salah paham aja, jadi tolong bilangin ke yang lain, don't worry."
Bohong. Lagi-lagi aku memilih kebohongan untuk kuutarakan. Selagi meneliti wajah Naufal, aku berjuang meyakinkan perasaan wira yang tak tenang itu. Dan aku berhasil. Naufal tampak amat lega usai aku menyelesaikan kalimatku itu.
"Gue duluan ya ke tempatnya ya, Fal, mau ada urusan sebentar juga." Pamitku dengan sebuah dalih. Memang benar adanya bahwa diriku hendak mengurus urusan lainnya. Tepatnya urusan membungkam pihak media yang hadir di sana. Yang berkesempatan mengabadikan kejadian tak mengenakan beberapa menit lalu.
Aku tak sudi membiarkan siapa pun dan apa pun menghalangi jalan masukku menuju pintu karir yang selama ini kuperjuangkan mati-matian. Terlebih menghancurkan nama dan citra keluarga besar yang kupertaruhkan bersama semua itu.
Tidak saat seluruh dunia menempatkan perhatiannya padaku, pada keluargaku. Aku enggan menghancurkan apa yang telah keluargaku bangun hanya karena kecerobohanku.
1 note
·
View note
Text
Scene IV: How I Met My Baskara
The sun has almost set in just several hours yet there wasn't a single sign of my parents' familiar car going near my sight. I let out a heavy sigh. All of my friends were already picked up by either their parents or their house's driver. And I'm here, standing up alone, in front of my school main gate, and I couldn't get my eyes off of the street. Hoping someone had finally came to pick me up as well.
"Neng, belum dijemput juga?" One of the security officer strode to me, and I answered, "Belum, Pak."
He nodded before throwing a suggestion, "Tunggu di dalam aja atau nggak, neng." I turned my head toward the security officer named Hendra, just happened to catch his name from stealing a glance at his name tag earlier.
"Nggak apa-apa, di sini aja, Pak. Terima kasih."
And then it went silent. The street also went pretty quiet since there's no vehicle wandering around it no more. I felt scare for a bit, but suddenly a sound of sonorous vehicle machine came to my hearing, with a male's shout. "Pak Hendra, duluan ya pak."
It sounded too familiar to my ears. And once I twisted my direction to the sound source, I found a very much familiar being. Sitting on his vespa, with a leather helmet wrapped around his head. It was kak Baskara, the man I fell for every single one of his charms.
All of a sudden, I could feel the heat crawling up to my face, I couldn't stop the butterfly in my stomach. It felt so weird. I could feel my heart beat rapidly that I have no idea what I'm gonna do. But first, I shouldn't keep my eyes on him first. It's safer not to.
"Halo? Kok kamu belum pulang?" The familiar voice earlier, my reverie was broken by it.
I tried to reply it as calm as I could, but it wasn't even go near it, the excitement was obviously there, "Belum, kak!" I shrieked. In front of my crush. Shoot.
"Eh santai, MOSnya udah selesai kok, hahaha." He laughed.
I could guaranteed everyone that it was the most ravishing smile one's ever enjoy in their entire life. Even more, someone might fell as much as I do.
I scratched my nape from the embarassment while letting out a small and awkward chuckle. I couldn't even look at those dark brown eyes of his, but I wouldn't mind at all if I've ever drowned inside it.
"Kalau begitu, aku temenin sampai kamu dijemput ya." He casually parked his vespa near me, turned the machine off, and stood beside me with his helmet on.
Once I realized, I quickly wave my hands in the air, "Eh, nggak perlu kak, kak Baskara juga mau pulang kan? Udah sore kak."
"Abas aja panggilnya. Lagian bahaya juga kamu jam segini masih belum dijemput." I couldn't dare to refute it. Instead, the smile on my face bloomed and I barely able to hide it. "Kamu Disa kan ya?" He asked. I immediately turned my face toward him,
"Iya, kak." I retorted along with a nod.
ㅤㅤㅤㅤ"Nggak ada nama lain?"
"Ada, kak."
ㅤㅤㅤㅤ"Bercanda loh aku, tapi beneran ada?" I once again nodded with a thin smile, "Cassandra, nama baptis saya kak."
ㅤㅤㅤㅤ"Ohhh, kalau aku panggil kamu Sandra, boleh?" I froze at the moment. My lips felt numb that I wasn't able to answer his query right away. I was in shock.
It made me swoon in a strangest way possible. How can I say no to this offer? So I said foolishly, "Spesial buat kak Abas, boleh banget."
Seconds turned to minutes, minutes to hours and there's still no sign of my parents' car going near us.
I'm almost hopeless. If you wonder why I didn't call them? Unfortunately, my phone's battery is dead and I wasn't prepared to memorize neither both of my parents' phone number.
ㅤㅤㅤㅤ"Ini beneran kamu belum dijemput juga?"
"Kan aku udah bilang, kak. Lupa punya anak satu ini, hahaha."
ㅤㅤㅤㅤ"Udah mau ... jam 6, gimana? Kalau kamu nggak keberatan, biar aku anter aja?"
"Jangan, kak, ngerepotin kak Abas nanti."
ㅤㅤㅤㅤ"Kalau aku nawarin, berarti aku mau direpotin. Tinggal kamunya aja, mau atau nggak, Sandra?"
My heart just skipped a beat for every single word kak Abas uttered to me. The way he evenly slipped my 'special' name in the end of his question, it somehow enthralled me. In the end, I responded with, "Mau, kak, mau banget."
Then there was again. A spellbinding beam from kak Abas as a reaction to my mindless yet enthusiastic answer. He then proceed to his vespa and handed me another helmet. It was the same color as his.
I took and wore it in my head. Absentmindedly know how to buckle it up. However, here comes the hero. Kak Abas and his small chuckle while his hands were busy buckling up my helmet's safety strap. After he got my full consent to help me, of course.
Who knows that this man was the one who always prioritize consent and wasn't even ashamed for not able to approve one. The more I found out about kak Abas, the more I get safer than ever. It's just effortless when I'm with him.
ㅤㅤㅤㅤ"Kamu mau makan dulu nggak? Aku tau tempat nasi bebek yang enak, tapi kamu suka nggak? Atau mau langsung pulang?"
See? The way he kept on checking my opinion about what he's ideas, that simplify everything. Simplify how I fell for him more and more every time he spoke.
"Belum pernah, kak, tapi aku laper juga." I bet I couldn't even dare to say about how my stomach felt that moment to other stranger. But kak Abas made it very painless to slipped from my lips.
We drove to the destination that only kak Abas knows. With his vespa, and it was the first time I ride a motorcycle. I thought the universe was currently on my side when earlier I believed that today was gonna be one of the worst days in my life. Everything felt special.
"Sudah sampaiii." Kak Abas screeched in excitement as he shut down the machine and waited for me to get off first. The first thing I did was observing my surroundings and more important, the shop he told me.
The shop was no Michelin starred restaurant. It's a small stall alongside one of a huge streets in Jakarta but it was quite packed. And as much as I know, that means it's a good sign.
Realized my inexperienced act, kak Abas then lead the way. "Sandra, kamu mau makan satu porsi sendiri atau mau coba dulu punyaku?" He suggested while whispering his words. "Coba punya kak Abas dulu boleh? Aku takut nggak doyan."
I bravely chose one of the choices he gave me. I hoped I'm going to love this dish since I found kak Abas was throughly acquainted with the owner from their conversation and how they know each others' name. It was rather fascinating to my view.
As we found an empty seats for two, both of us instantly sat on it while waiting for our food. The conversation between us once again created. Sometimes he asked silly question or just tossed a lame joke, but it successfully made me laugh for how absurd it was.
And sometimes it's my turn to fed up the curiosity inside me. Until eventually our food came and the conversation stopped.
ㅤㅤㅤㅤ"Nih, kamu cobain dulu ya."
"Makannya pakai tangan, kak?"
ㅤㅤㅤㅤ"Kamu mau pakai sendok aja? Tapi enakan pakai tangan tau."
As I took his advice, I began to dig in and scooped up some of the meat and rice in my hand before I stuffed it in my mouth.
First bite, second bite, and I'm already loving how it taste in my mouth. The spice, the savory, and a little bit of greasy tasted perfect to my palate all together. Even without my awareness, I almost finished half of kak Abas's portion by myself.
"Enak kan? Enak apa laper nih? Hahaha." I couldn't even stand not to laugh by his comment.
Everything felt remarkable at the first time I tried, especially with kak Abas today. From riding a motorcycle for the first time, up till I found myself another brand new favorite food and place to go. All for the first time and thanks to kak Abas's ideas. I'd be able to experience everything with much pleasure and with my new favorite person that I couldn't even dare imagining it.
1 note
·
View note
Text
Scene III: Permintaan Dan Mimpi
Malam ini akan menjadi salah satu malam yang menentukan masa depanku. Maka dari itu, khusus malam ini, aku melakukan semua yang tak pernah kulakukan sehari-harinya.
Memakai riasan wajah yang mencolok, menggerai dan menata rambutku, memakan gaun cocktail-ku, dan tak lupa sentuhan terakhir yang melengkapi penampilan mewahku malam ini, stiletto berwarna hitam.
Sesampainya di destinasi tujuan dan turun dari taksi yang kutumpangi, aku berniat menunggu kehadiran kedua orang tuaku tak jauh dari pintu lobi.
Mungkin orang-orang di sekitar akan memperhatikanku dan menganggap bahwa kekasihku bukanlah seseorang yang perhatian dengan menelantarkanku begitu saja di depan lobi sebuah hotel tanpa menjemputku terlebih dahulu. Namun alasanku kemari bukan karena hal tersebut.
Pertama, aku tak memiliki seorang kekasih. Kedua, aku berniat mengajak kedua orang tuaku untuk mengobrol-dalam tanda kutip-dan menyantap makan malam bersama.
Sebab aku percaya mereka akan terlambat, lantas aku meraih bungkus rokok beserta korek api dari dalam tasku. Mengambil sebatang rokok, mengapitnya di antara bibirku, dan menyalakannya. Kuhisap perlahan dan menarik asapnya hingga mengisi paru-paruku sebelum mengeluarkan sisanya. Aktivitas ini berlangsung berkali-kali hingga batang rokok dalam jemariku kian memendek.
Sesekali pandanganku mengedar ke sekitar. Memperhatikan orang-orang yang turun dari tumpangannya masing-masing di lobi dan berharap salah satunya ialah kedua orang tuaku.
Tak sampai 15 menit, aku telah menghabiskan batang rokok pertamaku selama berada di luar lobi. Tepat saat aku hendak mengambil batang rokok baru lalu menaruhnya di antara bibirku, sebuah kuasa menahan lenganku untuk melakukan aksi tersebut. Saat kutelaah, ternyata Mama pelakunya.
"Kamu masih ngerokok, Sandra?" Intonasinya tinggi dan terdengar kesal.
Namun aku hanya membalasnya dengan sebuah senyuman lebar nan konyol seraya terburu-buru memasukkan batang rokok tadi untuk menyambut kedatangan mereka.
"Eh Mama, Papa, yuk masuk." Ajakku ramah guna mengalihkan pertanyaan Mama selagi merangkul lengan keduanya.
Tak merasa puas dengan responku, Mama terlanjur menghujaniku dengan omelan khasnya.
"Kamu tuh, kan Mama udah bilang berhenti rokoknya," masih merasa tak puas hanya dengan mengomeliku, Mama pun mencubit lenganku gemas, "Susah banget dikasih taunya."
Aku juga tak membalas omelan Mama dan tersenyum jahil pada Papa seraya mengajak mereka berjalan beriringan ke dalam.
Sesampainya di pintu masuk restoran, seorang pramusaji pun menyapa kami bertiga. Bibirku pun melontarkan sebuah nama sebagai tanda bukti reservasi.
Kini pramusaji tersebut memimpin langkah kami bertiga menuju salah satu meja yang kosong.
ㅤㅤㅤㅤ"Mau ngomong apa sih, San? Sampai ngajak Mama sama Papa makan di luar gini. Di rumah kan bisa."
"Kurang dapet suasananya kalau di rumah, Ma."
ㅤㅤㅤㅤ"Ah bisa aja kamu, bilang aja mau alasan kan biar dibayarin makannya." Celetuk Papa penuh canda seraya memasang ekspresi lucu.
"Eits, tenang. Hari ini Sandra yang traktir." Sebelah mataku berkedip jenaka pada Mama dan Papa.
Sebab aku sudah pula memesan hidangan yang akan disantap malam ini, piring-piring berisi makanan menggiurkan mulai menghampiri dan memenuhi meja di hadapanku. Berbagai jenis masakan Jepang inilah yang menjadi pemanis malam ini. Makanan kesukaanku, Mama, dan Papa.
ㅤㅤㅤㅤ"Udah lama banget Mama nggak makan ini." Dengan sumpitnya, Mama menunjuk salah satu piring berisi hidangan 𝘴𝘶𝘴𝘩𝘪.
Senyumku kian cerah, "Makan yang banyak ya, Ma, Pa. Kalau kurang nambah. Sandra yang bayar kok." Ujarku.
Aku dapat melihat ekspresi wajah Papa yang antusias, begitu pula pandangannya. Membuat nafsu makanku saat itu juga melonjak sampai ke angkasa. Kapan lagi aku bisa merasakan ini jika bukan sekarang? Pikirku.
Beberapa suapan mulai masuk ke dalam mulutku. Sayangnya, nafsu makan itu bertahan tak begitu lama sebab pikiranku yang terlalu berisik mencari kata yang pas untuk menyampaikan inginku. Hingga akhirnya aku percaya pada diriku sendiri dan memulai percakapan itu.
"Ma, Pa." Hampir di akhir aktivitas makan malam itu, aku memanggil.
ㅤㅤㅤㅤ"Kenapa, San?" Tanya Papa.
"Aku kan sudah lulus sidang, tinggal wisuda aja nih bulan depan," kuasaku mulai menurunkan sumpit yang sedari tadi kugenggam di sela jemari. Kuberanikan diri menatap manik Papa dan Mama kala berucap dengan volume yang amat pelan.
"Rencananya aku mau lanjut S2." Lanjutku. Bermaksud menunggu respon yang akan mereka berikan, aku tak melanjutkan informasi tersebut.
ㅤㅤㅤㅤMama menatapku penuh keyakinan, "S2 dimana, San?"
ㅤㅤㅤㅤPapa tak ingin kalah penasaran, "Mau ambil apa?"
"U of M, Ma. Aku mau ambil film and television, Pa." Atensi bergantian tetapkan fokus pada raut wajah Mama dan Papa kala menjawab pertanyaan mereka.
ㅤㅤㅤㅤ"U of M? Massachusetts maksud kamu?"
"No, Ma. Melbourne, it's unimelb."
ㅤㅤㅤㅤ"Memang kamu mau ngapain habis lulus S2 dengan jurusan itu, Sandra?"
"Sandra mau jadi director, Pa. Sutradara."
ㅤㅤㅤㅤ"Mama kira kamu ambil S1 bisnis supaya bisa ikut bantu di yayasan kayak koko kamu di kursus."
Mendengar jawaban Mama, aku langsung menundukkan kepalaku. Berpikir bahwa keduanya tak akan merestui pilihanku. Namun, tentu saja, aku tak berhenti sampai sini.
"Sandra akan tetap bantuin Papa dan Mama di yayasan karena memang kemauan Sandra sendiri dari dulu kok," aku mulai menjelaskan namun kedua mataku tak mampu menatap dua sosok di hadapan, "tapi Sandra juga pengen banget mulai pelan-pelan belajar soal film." Aku melanjutkan.
Tepat saat usai bertutur, dwinetraku mendapati Papa dan Mama saling bertukar pandang. Tatapan seolah mencoba mengambil keputusan yang cepat namun nampaknya gagal. "Kamu yakin, Sandra?" Tanya Papa, terdengar tak yakin.
"Yakin, Pa. Yakin banget. Sandra sudah banyak research soal bidang ini dan kayaknya Sandra pasti bisa kok ikutin kelasnya," bersikeras aku berusaha meyakinkan keduanya, "Nanti akan ada final projectnya yang mungkin bisa Sandra manfaatin sebagai debut project juga."
ㅤㅤㅤㅤ"Kayaknya? Kamu aja masih kedengeran kurang yakin gitu, gimana Mama sama Papa bisa kasih izin."
Helaan nafasku tanpa sengaja terhembus begitu saja, "Pa, Ma, Sandra bisa janji dan buktiin ke Papa dan Mama kalau Sandra bisa."
ㅤㅤㅤㅤ"Terus, worst case, amit-amit, kalau misalkan kamu gagal gimana, Sandra?"
Pertanyaan Mama begitu klise di kepalaku saat ini. Aku bahkan telah menghafal jawabannya di luar kepalaku dan kali ini aku akan mengucapkannya, "Papa dan Mama bisa pegang omongan Sandra. Semisal nantinya Sandra gagal, Sandra akan sepenuhnya mengabdi di yayasan dan uang yang dipakai untuk biaya S2 Sandra, akan Sandra kembalikan sepenuhnya ke Papa dan Mama."
Akhirnya, kalimat panjang yang selama ini hanya berputar di kepalaku, berhasil tersampaikan dengan lugas dan seperti apa yang kuinginkan. Kini pandanganku lurus bergantian menatap Papa dan Mama. Menanti respon yang akan keduanya beri. Berharap itu respon yang kuinginkan.
Lagi, Papa dan Mama pun bertukar pandang penuh arti. Aku bisa merasakan keduanya tak dapat memberi keputusan cepat namun mereka berusaha. Melalui tatapan dan bisikan yang sedikit demi sedikit tertangkap runguku.
ㅤㅤㅤㅤ"Papa yakin?"
ㅤㅤㅤㅤ"Anaknya aja sudah janji."
Kalimat pendek nan singkat dari Papa itu mampu melukiskan sebuah senyum simpul di wajahku, namun aku bersusah payah menutupinya dengan menundukkan kepalaku.
ㅤㅤㅤㅤ"Sandra ..." panggil Papa.
Aku segera mendongakkan kepalaku, menatap ke arah sumber suara, "Iya, Pa?"
ㅤㅤㅤㅤ"Papa dan Mama nggak masalah kalau kamu memang sudah yakin mau ambil S2 di bidang lain, tapi kamu janji harus usaha ya? Papa dan Mama mau lihat kamu berhasil." Lega. Seolah beban yang selama ini menimpa kedua pundak dan hatiku tiba-tiba meleleh terbawa ucapan Papa. Aku tak bisa menutupi kebahagiaan yang terpancar di wajahku. Jawaban Papa lah yang selama ini kuinginkan.
"Pasti, Pa. Sandra akan berusaha sampai berhasil pokoknya. Tapi Sandra juga butuh dukungan dan doa Papa dan Mama ya."
Jemariku bergerak menggenggam lengan Papa dan Mama di atas meja. Pandanganku dengan tulus meminta apa yang baru saja kulontarkan dan anggukan pun menjadi respon mereka. Hingga membuat kedua ujung bibirku hampir menyentuh telingaku, "Terima kasih ya, Ma, Pa."
ㅤㅤㅤㅤ"Kalau gitu, karena Mama sama Papa udah setuju, Mama mau pesen makanan lagi ah."
Tawaku segera pecah kala mendengar tutur Mama dengan nada juteknya, "Boleh, Ma. Bungkus juga boleh buat orang rumah. Papa juga boleh kok."
Aku kira keputusan ini tak akan berujung indah. Kukira Papa dan Mama akan lebih dulu menyerah akan mimpiku. Kukira mereka tak mau mendengarkanku. Begitu beruntung, semua hanya perkiraan belaka yang telah salah kubuktikan malam ini. Aku pasti akan berhasil. Aku tahu itu.
1 note
·
View note
Text
Scene II: Kunjungan
Hari kelulusanku tiba. Semua ini harusnya terasa menyenangkan dan berkesan bagi setiap penyintas masa putih abu-abu sepertiku. Sebaliknya, perasaan dan hatiku hanya berisi kehampaan walau dikelilingi teman-teman dan banyak buket bunga di hari yang istimewa ini.
"Dis, habis ini yang lain pada mau jalan-jalan naik mobilnya Gladis, lo ikut ya."
"Duh, gue nggak bisa kayaknya, Put, paling nyusul deh ya?"
"Lho kenapa? Ayo ikut dong, abis wisuda masa balik?"
"Eh nggak, itu..." Aku tanpa sadar menggantung kalimatku.
"Ohhh, mampir ya?"
Seolah isi pikiranku terbaca dengan amat lugas olehnya, aku hanya memamerkan senyum tipisku. Membayangkan apa yang akan kulakukan setelah ini saja sudah mampu membuatku terenyuh. Aku bersikeras menahan air mata untuk turun membanjiri wajahku.
Sayangnya pertahananku runtuh tepat saat Putri menarikku ke dalam dekapannya tanpa aba-aba. Dadaku kian terasa sesak bersama memori indah yang ikut berputar di kepalaku. Bulir-bulir bening segera jatuh membasahi pipiku. Bibirku senantiasa melontarkan isakan.
Putri tak mengatakan sepatah katapun sementara kuasanya bergerak mengusap punggungku yang kian bergetar. Bersusah payah kucoba menahan tangis ini untuk terus membanjiri perasaan dan wajahku, juga pundak Putri. Di pundak itu pun aku mencoba menenangkan hatiku.
Hingga akhirnya tubuhku mampu melepas dekapan itu dan berhadapan dengan sahabatku. Manik mataku menangkap wajah Putri yang sama sembabnya dengan wajahku saat ini. Enggan melepaskan kontak, kuasa Putri masih terus mengelus lengan kiriku penuh arti.
Kedua genggaman kami membawa sebuah buket bunga dan Putri meraih setangkai bunga dari buket miliknya lalu memberikannya langsung ke tanganku seraya berucap, "Nitip ya, bilang ke dia kalau lo masih ada gue yang jagain."
Berkat tutur Putri, kedua ujung bibirku terangkat. Kali ini begitu tulus dan aku yakin Putri tahu akan hal itu. Anggukan menyertai aksiku menyeka jejak air mata yang sempat menggenangi wajahku. Aku sudah tak peduli jika dandananku tampak berantakan saat ini.
"Gue duluan ya, Put. Nanti kalau gue sempet nyusul, gue susul."
"Yaudah, nggak apa-apa kok kalau lo nggak bisa, nanti gue kasih tau yang lain kalau lo ada acara sama keluarga lo."
"Thanks ya, lo terbaik deh."
"Ah, kentut, udah sana, lo udah dijemput tuh."
Selepas berpamitan dengan sahabatku, aku lekas berlari menuju salah satu kendaraan yang ikut mengantre di lobi serta memberikan tujuanku pada sang supir.
Di sepanjang perjalanan menuju destinasiku, aku masih berusaha sekuat tenaga menahan tangisku. Pikiran dan perasaanku berkecamuk. Genggaman pada buket bunga di atas pangkuanku semakin kencang. Aku sadar wajahku memerah sebab rasa panas yang membanjiri tubuhku saat ini.
Hari ini seharusnya akan menjadi hari yang paling spesial untukku, jika sosoknya hadir. Tanpa kusadari, kendaraan yang kutumpangi telah sampai dan terparkir di tempat tujuan. Aku pun mengerjap dan mulai menata posisi dudukku.
"Sebentar ya, Pak, saya nggak lama kok." Tuturku kepada sang pengemudi sebelum menginjakkan kaki keluar. Tanganku masih setia memeluk buket bunga beserta setangkai bunga yang sebelumnya sempat Putri titipkan padaku.
Setiap langkah yang kukerahkan terasa begitu berat. Perasaan terbagi namun semuanya seolah berpadu, ciptakan rasa tak nyaman yang mengganjal. Langkah demi langkah membawaku ke sebuah petak tanah dengan batu nisan dan rumput-rumput hijau mengelilinginya. Tertulis nama seorang sahabat sekaligus orang yang baru beberapa hari kucintai sosoknya di batu nisan itu.
Nama yang selalu keluar dari bibirku setiap kali mendapati kehadirannya di sekelilingku. Nama yang sanggup membuat seorang Naudisa selalu tersenyum sepanjang hari hanya karena mendengarnya. Nama yang berhasil membuat jantungku berdegup tak karuan setiap kali mendengarnya.
Berbagai memori kembali terulang di otakku. Semua memori yang tak mampu lagi kurajut bersamanya. Memori yang begitu berharga hingga aku berjanji tak akan pernah menghapusnya dari sejarah kehidupanku. Bahkan jika nanti aku terlahir lagi menjadi seseorang yang berbeda, semua memori itu akan selalu kubawa.
"Halo, kak. Aku dateng nih." Aku menyadari suaraku terdengar amat bergetar saat ini. Tubuhku kurendahkan hingga hampir sejajar dengan batu nisan itu, aku berdiri di sampingnya.
Kuasaku yang bebas meraih batu nisan itu untuk kemudian mengusapnya penuh kelembutan. "Kak, hari ini aku wisuda. Harusnya kak Abas dateng nih, kasih aku bunga kayak waktu kak Abas wisuda."
Tangisku tak lagi dapat kutahan, isakku pecah saat itu juga. Tepat saat sebuah memori yang baru saja kusebutkan terlintas di kepalaku. Memori yang amat manis bagiku. Tak dapat lagi kusambung ucapanku. Kalimat-kalimat yang telah kusiapkan untuk dicurahkan pada kak Abas seolah larut dan hilang bersama semua air mata yang membasahi wajahku.
Sampai saat manikku memalingkan pandangan ke buket bunga yang kugenggam, jemariku menarik salah satu tangkai bunga yang menurutku paling indah dan segar di antara yang lain, menaruhnya tepat di atas batu nisan milik kak Abas bersama setangkai bunga yang Putri titipkan sebelumnya. "Ini tadi Putri nitip kak. Katanya jangan khawatir karena Putri yang bakal jagain aku sekarang. Tapi kan aku maunya dijagain kak Abas sendiri."
Kalimat di akhir itu keluar begitu saja. Seperti berada di tempat yang paling aman dan nyaman, bersama kak Abas, semua yang ada dalam diriku seolah menjadi 'mudah' terlihat baginya berkat kejujuran yang mengalir tanpa hambatan dari bibirku sendiri. Kak Abas akan selalu menjadi tempat itu untukku, bahkan saat kehadirannya tak bisa lagi kurasakan.
Perlahan aku mulai menenangkan diriku sendiri dari tangis yang sempat menahan semua kalimatku dan menjadi sumber sesak dalam dadaku. Usainya, aku pun tak henti berbagi ceritaku dan mencurahkan isi hatiku kepada kak Abas. Seharusnya ia bisa mendengar semua itu, pikirku.
"Aku pakai kebaya yang waktu itu aku pakai pas kak Abas wisuda, ternyata masih muat walaupun tangannya sekarang agak kependekan sih. Kayaknya aku sebentar lagi jadi tiang bendera."
Di akhir kalimat itu, aku membayangkan pecah tawa dari kak Abas yang biasa menemaniku. Ia akan selalu tertawa lepas bahkan pada semua leluconku yang membosankan sekalipun. Namun ini hanya salah satu alasanku berhasil menjatuhkan hati padanya sebab masih banyak lagi sisanya dari pesonanya dan biar aku, kak Abas sendiri, dan Tuhan yang tau.
Tak terasa waktu terasa begitu cepat dan cahaya langit semakin meredup, aku pun berniat untuk pamit, "kak Abas, Disa pulang dulu ya, nanti kalau ada waktu main ke sini lagi yang lama biar bisa nemenin kak Abas."
Senyumku merekah. Wajahku dipenuhi jejak air mata. Riasan wajahku sudah tak karuan. Tapi aku tidak mempermasalahkan semua itu karena kak Abas pun tidak akan melakukannya. Aku bak burung yang keluar dari sangkarnya saat bersamanya, dengan atau tanpa kehadirannya langsung. Seperti saat ini.
Entah apakah akan ada yang mampu menggantikan posisi kak Abas di hidupku nantinya, aku enggan terburu-buru memikirkannya. Aku masih ingin terus mengingat kehadirannya di dekatku. Aku bahkan berpikir tak akan pernah ada yang akan berhasil menggantikan tempatnya.
1 note
·
View note
Text
Scene I: Kecelakaan
TW // blood
Menjadi seorang anak kedua dari empat bersaudara bukanlah posisi yang menyenangkan, jika aku bisa jujur. Bukan maksud hati tak merasa bersyukur akan hal itu. Bahkan kenyataan bahwa aku terlahir sebagai salah satu anak perempuan dari kedua orang tuaku saja merupakan sebuah berkah tersendiri bagiku.
Hidup berkecukupan, bahkan mampu kukatakan lebih dari cukup. Mendapat pendidikan yang lebih dari layak karena kedua orang tuaku pun menjunjung tinggi bidang tersebut. Seolah terlahir dengan suapan sendok perak ke mulutku, rasa kekurangan materi tak pernah menjadi belenggu bagiku.
Namun terkadang aku mampu mengutuk diriku sendiri sebab terlalu menganggap remeh semua yang telah kudapatkan dengan begitu mudah, bahkan tanpa memintanya. Memang tak seharusnya perasaan remeh itu kugenggam dalam diriku untuk dapat menghindari hal-hal yang enggan kuinginkan sebab Tuhan selalu adil.
Tepat beberapa hari sebelum pertandingan besar yang sekolahku ikuti, aku dan tim ekstrakulikuler basket di sekolahku berlatih dengan amat giat. Kami semua tahu betul bahwa pertandingan ini ialah salah satunya yang paling bergengsi dan selalu dinanti satu gugus. Setelah melakukan pemanasan, kali ini kami diminta membentuk tim masing-masing beranggotakan 3 orang untuk nantinya melawan satu sama lain.
"Put, put!" Panggilku pada teman satu timku yang tengah kesulitan menggiring bola sebab pertahanan dari tim lain memblokir ruang geraknya. Tanganku kulambaikan penuh semangat sebelum akhirnya menerima bola tersebut dan menggiringnya menuju ring lawan dengan cepat.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah menuju ring dan aku telah bersiap melakukan lompatan lay-up yang sempurna. Sayangnya saat akan memasukkan bola ke ring, tiba-tiba tubuh salah satu pemain lawan menghantamku saat akan merebut bola dalam dekapanku.
Sebab terlalu tinggi melompat dan hantaman itu pun terasa amat kencang bagi tubuhku yang tak terlalu berisi nan jangkung, tubuhku jatuh tersungkur dengan keras ke arah kanan. Terlebih lagi, kepalaku pun tak sengaja ikut terbentur lantai semen lapangan. Seketika pandanganku perlahan kabur dan pendengaranku mendengung. "Disa! Gladis!" Teman-temanku mulai meneriaki namaku dan temanku, mereka berlarian ke arah kami.
"Pak Gilang! Disa luka, Pak!" Putri yang baru saja mendatangiku lantas berteriak memanggil pelatih kami saat melihat darah mulai bercucuran di dekatku. Pandanganku kian suram namun tetap bersusah payah mencari sumber genangan darah tersebut dan menemukan kulit lengan kananku nampak sobek akibat benturan lantai lapangan yang kencang.
Tepat saat kedua mataku menangkap luka itu, rasa sakit tak tertahankan segera menjalar ke seluruh tubuhku. Air mata tanpa sadar ikut membasahi wajahku yang kini bercampur dengan peluh. Pak Gilang yang sudah berjongkok di sampingku segera memeriksa pula sumber darah yang semakin deras mengotori lapangan. "Cepet bantu gendong ke mobil saya, Gladis juga tolong bantu bawa ke UKS."
Samar-samar dwirunguku mencerna perintah Pak Gilang dan udara di sekitarku semakin sesak akibat teman-teman yang berkerumun. Isak dari Putri pun ikut tertangkap pendengaranku dan senantiasa mengiringi di sepanjang perjalanan menuju mobil pelatih kami hingga ke puskesmas terdekat.
Sisanya? Aku pun tak mampu mengingatnya. Tubuhku tak lagi kuasa menahan sakit yang enggan henti menyebar ke seluruh penjuru tubuhku hingga menghilangkan kesadaranku. Yang kuingat ialah aku terbangun di sebuah brankar di UGD dengan nyeri hebat di kepala dan lenganku, lumuran darah yang menodai jersey basketku, dan infus yang menancap pada punggung tanganku. Ah, aku juga menemukan Putri tengah duduk di samping brankar.
Saat itu aku menangkap ekspresi panik dan khawatir juga kedua mata Putri yang bengkak khas orang usai menangis, "Dis? Lo nggak apa-apa?" Dengan kondisi yang masih lemas juga nyeri hebat pada tubuh kananku, hanya sebuah anggukkan yang mampu kuberikan sebagai jawaban. "Saya barusan telfon orang tua kamu tapi katanya mereka nggak bisa dateng, jadi biar saya sama Putri yang anter kamu pulang ya, Dis."
Tipikal Papa dan Mama. Anak perempuannya baru saja mengalami kecelakaan di sekolah dan berakhir di rumah sakit dengan 7 jahitan di tangan kanannya dan mereka bahkan enggan berusaha meluangkan waktunya untuk segera mengunjungiku. Malang, namun aku bisa apa? Merepotkan pelatihku dan sahabatku adalah jalan yang mereka pilih.
Beberapa jam setelahnya, dokter memeriksa kondisiku serta memperbolehkanku untuk pulang. Tentu saja sesampainya di rumah, tak ada yang segera menyambutku dengan kekhawatiran. Dibantu Pak Gilang dan Putri, mereka membopong tubuhku yang lemas hingga ke kamar.
Karena terbiasa mengunjungi rumahku, Putri lantas mendudukkan tubuhnya di pinggir kasur seraya masih menatapku penuh khawatir, "Put, kamu di sini aja jagain Disa dulu sampai orang tuanya datang ya." Putri tak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya pada perintah pelatih kami. "Disa, saya pulang dulu ya, kamu istirahat aja dan nggak perlu ikut lomba dulu." Lanjut Pak Gilang. Kalimat itu mengiringi kepergiannya dari kamarku.
Kalimat itu pula berhasil terngiang amat kencang di dalam kepalaku. Berulang-ulang kali berputar di dalam sana hingga membuat tubuhku yang lemah semakin tak sanggup kurasakan lagi. Hatiku menyayangkan hal tersebut. Pertandingan yang paling ingin kumenangkan dan aku ingin ikut andil dalam perjuangan memenangkannya.
Namun nasib sial terlanjur menimpa sebelum pertandingan itu sempat dimulai. Dokter pun menyarankanku untuk tak terlalu sering menggunakan atau mengangkat tangan kananku hanya sampai jahitan tersebut dapat menutup dengan sempurna. Sayangnya, kudengar proses itu memakan waktu 1 sampai 2 minggu, sementara pertandingan yang kunanti akan digelar satu minggu kedepan.
Perihnya lukaku bahkan tak berhasil menggantikan kesedihanku tak mengikuti pertandingan yang selama ini kutunggu-tunggu.
1 note
·
View note