Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Saya belum pernah benar-benar "merasakan kehilangan" anggota keluarga (alhamdulillah!).
Namun, saya tetap meyakini dan barangkali bisa sedikit membayangkan bahwa kehilangan anggota keluarga (terutama yang inti) pastilah amat menyakitkan bagi mereka yang terhubung langsung dan saling mencintai.
Oleh karena itu, saya pernah berpikir dan berharap untuk meninggal lebih dahulu daripada orang tua saya. Supaya saya tidak merasakan pedihnya kehilangan. Namun, sadarlah saya betapa itu merupakan keinginan yang egois. Bahkan mungkin juga durhaka. Begitu cupunya saya: tidak mau merasakan kesedihan dan justru hendak melimpahkan kesedihan kepada orang lain. Apalagi orang lain itu adalah orang yang mencintai saya.
Apa rasanya menjadi orang tua yang kehilangan anaknya? Pasti hancur sehancur-hancurnya!
Sungguh sulit membayangkan rasanya berpisah dengan anak yang mereka sayangi sejak dalam kandungan, anak yang mereka sambut dengan senyum paling lebar ketika terlahirkan ke dunia, anak yang mengembangkan bunga dalam hati-hati bahagia mereka, dan anak yang mereka harapkan dapat mengantarkan mereka ke surga.
Satu hal yang pasti: saya tidak ingin mengalaminya. Semoga.
_____
Pikiran-pikiran ini mencul ketika memperhatikan kabar tentang anak Pak Ridwan Kamil.
0 notes
Text
Ketika memberi sambutan pada acara Seminar Nasional Al Huda 2019, saya sebenarnya tidak benar-benar memikirkan apa yang harus saya sampaikan. Namun, ada kejadian yang saya ingat sampai hari ini.
Ketika selesai menyampaikan sambutan dan hendak duduk di kursi, bapak Wakil Rektor yang hadir menyalami saya dan berkata, "Selamat, mas. Luar biasa."
Saya anggap itu sebagai pujian atas apa yang saya ucapkan di mimbar. Meskipun, tentu saja, saya heran: apakah ada yang memukau dari ucapan saya? 🙃
Saya membayangkan, barangkali, bapak Wakil Rektor tersebut sepanjang hidup dan karier kepejabatannya sebagian besar hanya mendengar sambutan atau pidato yang serba formal, kaku, dan protokoler. Maka, ketika beliau mendengar saya menyampaikan sambutan yang penuh improvisasi ngawur, asal-asalan, dan jelas tidak memenuhi kaidah formal suatu sambutan atau pidato, wajar saja beliau terheran--untuk tidak bermaksud membanggakan diri dengan menyebut itu sebuah keterpukauan. 🙃
Lebih jauh, saya membayangkan betapa membosankannya menjadi seorang pejabat. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan yang serba baku sesuai aturan. Itulah mengapa saya mungkin tidak akan pernah menginginkan diri menjadi pejabat. Tentu saja terdapat pengecualian: kalau uang dan kenikmatan material hidup telah meruntuhkan idealisme saya. Hahaha.
1 note
·
View note
Text
Aku tadi bermimpi menjalani KKN lagi. Dengan tempat yang sama dan berurusan kembali dengan Pak Dukuh yang sama. Namun, dengan kelompok yang berbeda.
Mimpi itu tidak selesai. Aku terbangun ketika adegan berbincang-bincang dengan Pak Dukuh.
Entah mimpi itu bermaksud apa. Akan tetapi, bisakah aku tafsirkan sebagai isyarat untuk mengunjungi lagi Desa Karanganyar di Magelang sana itu?
Tempat di mana kakiku tidak pernah menginjak tanahnya sejak tiga tahun lalu. Padahal aku punya janji untuk kembali.
0 notes
Text
BUCIN (1)
Ini bulan Syawal, maka akan ada 2 hal yang terjadi. Pertama, orang-orang menikah. Kedua, orang-orang itu mengumbar kemesraan mereka. Haha.
Tidak ada salahnya. Toh, selain mereka pasangan halal, mereka juga pengantin baru sehingga memang sedang berbunga-bunga hatinya. (Apakah aku kelak juga akan seperti mereka? 🌝)
Namun, ada juga orang-orang yang gemar mengumbar kemesraan dengan pasangan nonhalal. Nah, ini yang bagiku menyebalkan.
Bukan sebal sih, tetapi mungkin lebih tepatnya: hilang respekku pada orang-orang seperti itu. (Baru tahu ternyata kata respect dalam bahasa Inggris sudah diserap menjadi respek dalam bahasa Indonesia)
Sebenarnya tidak kepada semua orang yang berpacaran aku tidak lagi memberi respek, tapi pada mereka yang aktivis dakwah, atau setidaknya yang pernah terlibat dalam aktivitas dakwah.
Kalau untuk orang-orang yang belum pernah bersinggungan dengan dunia dakwah, bisa "dimaklumi" jika mereka begitu memuja status "punya pacar". Beda dengan mereka yang aktivis dakwah.
Seharusnya menjaga diri dengan tidak pacaran adalah salah satu prinsip utama yang harus dipegang oleh semua aktivis dakwah, sampai kapanpun. Entah sudah berapa ribu kali hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis semacam itu dibicarakan. Imbauannya jelas: sangat tidak baik berpacaran itu (untuk tidak menyebutnya haram).
Namun, tetap saja banyak yang terang-terangan mengumbar kemesraan dengan pacarnya. Inilah sisi buruk pencinta. Bukan cinta yang salah, tetapi cara mewujudkan cinta mereka itu yang keliru.
... Bersambung.
0 notes
Text


Sebab saya malas berdebat dengan orangnya, maka saya menitipkan tanggapan saya terhadap isi tangkapan layar itu padamu, ya Tumblr.
Jadi, saya ingin memberi tanggapan begini:
Saya sepakat bahwa untuk bertindak dengan tepat membutuhkan pemahaman yang lengkap, benar, dan jelas. Saya juga sepakat bahwa orang yang "terlihat diam" bukan berarti "tidak melakukan apa-apa".
Tetapi pertanyaan saya, sudahkah orang-orang itu sungguh-sungguh mencari informasi selengkap-lengkapnya, sebenar-benarnya, dan sejelas-jelasnya?
Pada zaman yang sangat cepat ini, begitu mudah mendapatkan informasi tentang apa yang kita inginkan, baik informasi yang objektif maupun subjektif, apalagi ini soal isu yang sedang panas sekali. Nah, mengapa setelah sekian lama isu ini berkembang, orang-orang tersebut masih saja berdalih dengan alasan masih mencari informasi? Lamban sekali aktivitas pengumpulan informasi orang-orang itu.
Lalu, kita harus mengakui bahwa kita memiliki keterbatasan memahami sesuatu sehingga pada titik tertentu kita perlu "pasrah" dan cukup memercayai orang-orang yang tepercaya. Sampai sini, sudah banyak orang tepercaya yang bersuara, lantas apa pula alasan kita untuk tetap diam?
Kemudian, terkait bantuan dengan memasang foto profil, tentu saja dengan kondisi korban saat ini, mereka tidak akan peduli dengan media sosial dan mereka juga tak akan tahu bahwa jutaan orang memasang foto-foto dukungan untuk mereka. Lalu, apakah berarti dukungan dengan memasang foto itu sia-sia?
Oh tentu tidak. Sebab memang target dari memasang foto itu bukan untuk menunjukkan dukungan kepada korban, tetapi membangkitkan kesadaran orang-orang di sekitar kita untuk ikut peduli dan turun tangan bergerak membantu bersama-sama.
Sekian.
_____
Bogor, Jumat 21 Mei 2021
4 notes
·
View notes
Text
Ada banyak orang yang berbuat baik padaku. Tetapi tidak semua kebaikan itu bisa kuingat dan tidak semua kebaikan itu “mengikat perasaan” antara diriku dan orang-orang tersebut.
Entah mengapa.
Ada yang berbuat baik tapi bisa begitu cepat kulupakan. Mungkin karena tidak ada ikatan perasaan antara aku dan dia sehingga kebaikan itu menjadi biasa saja.
Ada juga orang-orang yang ketika berbuat baik kepadaku, aku merasakan betapa hatiku bersyukur. Aku merasakan kebaikan itu begitu besar, berharga, dan istimewa. Mungkin itu karena ada ikatan perasaan antara diriku dan dirinya.
Jadi, mana yang perlu didahulukan, berbuat baik atau membangun ikatan perasaan? Bukankah ikatan perasaan itu bisa lahir setelah berbagai kebaikan berjalan?
Kesimpulanku, tidak semua kebaikan orang lain bisa sampai ke hatiku. Oleh sebab itu, mereka yang kebaikannya bisa sampai ke hatiku, terima kasih.
0 notes
Text
Mengapa Lailatul Qadr ditempatkan di malam-malam terakhir Ramadhan? Mengapa tidak di awal saja ketika sedang semangat-semangatnya beribadah sehingga semua orang bisa mendapat malam istimewa tersebut?
Mungkin, justru agar manusia berangkat untuk melawan rasa malas dan bosannya. Sebab manusia punya kecenderungan untuk sulit istikamah. Semakin menuju akhir sebuah proses, biasanya semakin besar pula rasa malas dan bosan yang menghinggapi.
0 notes
Text
Logika Ibadah
Yang menarik dari mengikuti ceramahnya Gus Baha adalah soal logika ibadah. Bagaimana kita memandang ibadah itu dari berbagai perspektif. Keluasan perspektif dan cara kita berpikir tentang suatu ibadah itu menjadikan kita lebih menikmati ibadah.
Contohnya:
Menjadi kaya itu memang baik selama kekayaan itu digunakan untuk menjalankan dan mengagungkan agama Allah. Banyak ibadah dalam agama ini juga yang memerlukan harta, maka perlu lah orang untuk berupaya menjadi kaya demi memudahkan dirinya melaksanakan ibadah kepada Allah.
Namun, menjadi orang miskin pun punya banyak kemuliaan, yang dalam banyak kasus sulit untuk dicapai jika menjadi orang kaya. Misalnya, soal sedekah. Orang miskin akan lebih ringan untuk bersedekah. Andaikan saja seseorang yang miskin hanya memiliki uang seratus ribu rupiah. Baginya, menyedekahkan (bisa juga meminjamkan kepada teman yang membutuhkan) lima puluh ribu rupiah dari seratus ribu rupiah kepunyaannya tentu tidaklah teramat berat. Padahal itu 50% dari kekayaannya.
Sekarang bayangkan jika menjadi orang kaya yang memiliki harta seratus juta rupiah. Beranikah menyedekahkan lima puluh juta rupiah? Tentu lebih berat. Sama-sama 50% harta yang disedekahkan, tapi lebih mudah bagi orang miskin.
Contoh lain, soal tidur ketika berpuasa. Oh, memang tidur seringkali dianggap aktivitas kemalasan. Tapi gunakanlah cara berpikir bahwa tidur adalah upaya untuk menjauhi kemaksiatan. Bukankah lebih baik tidur daripada menghabiskan waktu menggunakan sosial media, misalnya?
Dan banyak lagi contohnya.
Saya kira logika ibadah seperti ini menjadikan kita lebih bijaksana dalam beribadah.
0 notes
Text
Saya kira, setiap orang memiliki sisi “aneh”nya masing-masing: sifat dan perilaku absurd.
Kadang kalau memikirkan tentang hal itu membuat saya geli sendiri. Apalagi jika menganalisis keanehan diri sendiri. Hal-hal yang bagi saya biasa saja, ternyata pada mata orang lain terlihat aneh.
Maka, pertanyaan pamungkas saya adalah: seaneh apa diriku ini?
---
Ini catatan yang agak membingungkan. Apa ini juga karena saya orang yang aneh? Aneh!
0 notes
Text
Puasa adalah "pengekangan yang membebaskan".
Puasa memang terasa mengekang kita untuk menikmati dunia: tidak boleh makan dan minum, serta menjauhi perbuatan dosa--bukankah kebanyakan dosa berbentuk "kenikmatan"?
Tapi, justru, sesungguhnya, itu pengekangan yang membebaskan. Puasa membebaskan kita dari keterikatan dengan dunia dan segala kenikmatannya untuk hanya terikat pada Yang Maha Kuasa.
Jadi, kalau setelah berpuasa masih cinta dunia, mungkin perlu diajukan pertanyaan, apa artinya puasamu?
0 notes
Text
Kita bisa mengatakan seseorang baik, cerdas, bijaksana, dan sebagainya itu, bisa jadi, karena kebetulan saja yang terlihat oleh kita adalah sisi baik dari orang lain tersebut.
Ingatlah, bahwa setiap orang pastilah memiliki aib dan kelemahan. Sehebat apapun seseorang, pasti ada satu titik di mana ia tidak berdaya. Hanya tidak atau belum kita ketahui saja.
Artinya, mengagumi seseorang janganlah sampai berlebihan. Sediakan sedikit ruang untuk menerima kekurangannya. Sehingga jika kelak kita mengetahui atau menemukan kekurangan orang yang kita kagumi itu, kita sudah menyiapkan diri untuk tidak kecewa.
Begitu pula sebaliknya. Tidak suka terhadap seseorang pun jangan berlebihan. Siapkan banyak ruang untuk menerima kelebihannya. Sebab tidaklah ada manusia yang tanpa kebaikan dalam dirinya. Lagipula, hidup ini berputar. Seorang yang kita tidak sukai, barangkali suatu saat menjadi tempat kita melabuhkan cinta.
0 notes
Text
Cukup banyak orang-orang yang menjadi kenalan, tapi sedikit yang benar-benar menjadi teman. Walau kenalan juga bisa didefinisikan sebagai teman, tapi kukira seorang kenalan baru bisa disebut teman apabila telah memiliki nilai kedekatan yang lebih.
Jika seseorang telah menjadi teman, aku merasa ada tanggung jawab perasaan terhadapnya. Jika ia berbahagia, tentu saja aku akan ikut berbahagia. Bila ia bersedih hati, sepatutnya aku pun ikut bersedih. Namun, dua hal itu terkadang terasa berat untuk dijalani.
Sesekali kebahagiaan diri atas kebahagiaan teman justru berubah menjadi rasa iri. Pun kesedihan seorang teman tak sungguh ditemukan dalam diriku. Jika begitu, apa artinya teman?
Begitulah perasaan. Agak sulit dimengerti.
Semoga aku selalu bisa bersyukur terhadap hadirnya orang-orang yang sudah kuanggap teman dan segala perasaan yang menyertainya.

0 notes
Text
Belakangan ini sedang senang mengikuti Ngaji Filsafat secara daring bersama Dr. Fahruddin Faiz di kanal YouTube Masjid Jenderal Sudirman.
Selain jenis pengajiannya yang agak unik, sosok Pak Fahruddin Faiz pula yang membuatku tertarik.
Beliau begitu luas wawasannya dan tawadhu' sekali aku kira. Penjelasannya mudah dipahami. Walaupun beberapa tema tetap saja sukar betul untuk dimengerti.
Hampir semua tema dalam Ngaji Filsafat terasa memikat. Salah satu tema yang sudah cukup banyak aku ikuti adalah Filsafat Ketuhanan. Bayangkan, di saat pengajian lain membincangkan tentang ketakwaan, dalam Ngaji Filsafat ini kita diajak untuk menggugat Tuhan. :")
Ada banyak pelajaran yang aku dapat. Bahkan dalam sosok yang begitu kafir dahsyat mengkritik agama, seperti Nietzsche dan Marx misalnya, ada beberapa kebenaran yang dapat menjadi hikmah bagi kehidupan orang-orang beragama, termasuk aku ini.
Benarlah ucapan Imam Syafi'i bahwa dalam pendapat setiap orang, sekalipun pendapat itu salah, akan tetap ada kemungkinan kebenarannya.
Semoga Pak Fahruddin Faiz selalu diberi kesehatan dan majelis Ngaji Filsafat bisa terus memberi manfaat. Aamiin.
_____
Sebab sudah jarang menulis, aku merasa sulit sekali menguraikan isi pikiranku--yang sepertinya jadi semakin kusut.😂
0 notes
Text
Narsisisme
Ada seorang teman yang suatu ketika mengunggah video singkat dirinya ke story WhatsApp. Dalam beberapa jam setelahnya, aku perhatian dia menonton berulang-ulang video tersebut. Entah apa maksudnya. Tapi dalam benakku, "Orang ini narsistik."
Ada banyak orang seperti itu. Paling sering ditemukan dalam diri perempuan. Mereka ini, dalam pandanganku, terlalu takjub pada dirinya sendiri. Sikap terlalu takjub ini, lagi-lagi dalam pandanganku, berbahaya. Sebab berawal dari ketakjuban yang berlebihan ini bisa menimbulkan sikap suka pamer. Atau kalau dengan bahasa yang lebih kasar: genit.
Aku sering heran dengan orang yang suka mengunggah konten baik video atau yang lebih sering foto dirinya di media sosial, tetapi tidak ada penjelasan apapun dari unggahan itu.
Mereka berfoto, lalu unggah. Mereka selfie, lalu unggah. Tanpa caption, tanpa deskripsi, tanpa embel-embel yang memberi tahu pada orang lain apa maksud mereka mengunggah. Kalaupun ada, hanya emot bunga, bintang, buah, dsb.
Bukankah itu jadinya hanya pamer? Memamerkan ketampanan atau kecantikan rupa, yang artinya mereka genit. Ingin dipuji, ingin diapresiasi, ingin dibilang, "Wah cantik.", " Wah tampan."
Sebenarnya memang hal itu wajar saja terjadi. Sebab fitrah manusia memang senang terhadap pujian. Namun, bagiku hal itu bisa dikontrol. Apa juga pentingnya pujian semacam itu?
Intinya, aku lebih suka pada orang-orang yang tidak suka pamer, tidak kegenitan, dan menyembunyikan dirinya dari mengharapkan pujian--apalagi hanya pujian soal fisik.
0 notes
Text
Dalam bermedia sosial, aku hanya mengikuti seseorang atau akun-akun yang kusukai saja. Yang tidak kusukai, ya tidak usah difollow agar terhindar dari membesarnya ketidaksukaan.
Namun di luar sana, ada dan banyak, orang-orang yang mengikuti sebuah akun walau tidak disukainya. Tujuannya hanya untuk mencaci-maki pemilik akun tersebut lewat kolom komentar ataupun mungkin pesan pribadi. Atau kalaupun tidak difollow, mereka kerap mengunjungi akun itu hanya untuk melakukan hal yang sama.
Gile! Mungkin itulah sebenar-benarnya yang dinamakan menebar kebencian. Heran!
Padahal, bagiku, kalau tidak suka atau benci terhadap sesuatu atau seseorang, ya cukup abaikan, tinggalkan, dan jauhi saja agar seperti yang sudah kubilang di awal, terhindar dari semakin membenci. Sesederhana itu, bukan?
2 notes
·
View notes
Text
Punya rasa kasihan terhadap orang lain yang sedang dalam kondisi sulit atau lemah (entah soal fisik atau batin atau kepemilikan terhadap sesuatu seperti harta benda, dsb) memang baik.
Namun, sebagaimana hal baik lainnya, menunjukan rasa kasihan itu perlu dilakukan dengan cara yang baik pula. Sebab jika rasa kasihan itu ditunjukan dengan cara yang keliru, bisa jadi mereka yang dikasihani itu dapat tersinggung hatinya.
Kukira, salah satu kekeliruan dalam menunjukan rasa kasihan adalah dengan mengatakannya secara eksplisit.
"Aku kasihan padamu.", "Kamu kasihan banget.", "Aku melakukan ini karena kasihan padamu." dan kalimat sejenis lainnya.
Terkadang kalimat seperti itu bisa menjatuhkan perasaan. Perlu dicatat bahwa tidak semua orang meminta atau ingin dikasihani.
Ada orang-orang yang lebih memilih diam, menyembunyikan kesulitan-kesulitannya, sekalipun keadaan mereka sedang begitu terpuruk.
Orang-orang seperti itu hendak berjuang habis-habisan sampai terkapar tak bisa bergerak, baru akan meminta bantuan. Orang-orang itu tidak akan meminta pertolongan orang lain sebelum segala jalan usaha yang mereka tempuh buntu.
Oleh sebab itu, untuk meminta bantuan saja mereka enggan, apalagi minta dikasihani.
Ini bukan soal berlagak sombong, ini soal harga diri. Orang-orang seperti itu masih punya kepercayaan bahwa mampu mengatasi kesulitan dan bangkit dari kelemahan dengan usaha sendiri, bukan dari belas kasihan orang lain.
Seperti para pedagang pinggir jalan misalnya. Mereka akan merasa lebih terhormat bila dagangannya dibeli daripada orang datang dan memberinya uang dengan cuma-cuma atas dasar kasihan--diucapkan pula rasa kasihan tersebut.
Jadi, hargailah orang-orang itu. Menampakkan rasa kasihan dengan aksi nyata (berupa pertolongan), bisa juga dengan diam-diam dalam aksinya, tanpa perlu mengatakannya, kukira, jauh lebih baik.
_____
Yogyakarta.
Desember, bulan hujan. Tanggal 20, tahun 2020.
0 notes