Text
Medan Juangmu
Krisis yang dialami oleh pemuda saat ini sangat berbeda dengan zamannya orang tua kita. Akses informasi yang begitu mudah kita dapatkan, banyak diantara kita yang tertekan karena merasa tidak menjadi apa-apa di waktu yang bersamaan, teman kita sudah sibuk dengan start-up nya, perjalananya, karirnya, karyanya, dan segala hal yang kita lihat dari unggahan mereka di linimasa.
Kita merasa tertantang tapi kita tahu, kita tidak memiliki keahlian di bidang itu. Kesukaan kita bukan di sana, dan kita semakin tertekan setelah kita melihat diri sendiri. Menjalani apa yang disukai ternyata belum membuat kita menjadi siapa-siapa. Apakah kita akan tetap mengikuti kata hati, atau beranjak mengikuti hal-hal terkini?
Saya kembali mengingat masa-masa sekitar 4 tahun yang lalu. Sewaktu saya masih kuliah. Di kelas besar, saya bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan yang lain. Perkara menggambar, saya kalah jauh secara keahlian. Perkara ide, masih juga tidak bisa menandingi kawan yang lain. Dan itu membuat ku sangat terpuruk. Saya bersaing di hal yang sama, dalam mata kuliah, dalam karya, dsb. Dan bertahun-tahun saya bersaing di hal itu, saya tidak pernah bisa mengalahkan teman saya yang lain. Bahkan dengan usaha terbaik yang bisa lakukan sekalipun, belum bisa.
Akhirnya, saya keluar dari medan persaingan itu. Saya menulis banyak sekali hal. Lepas dari kampus, teman saya berhasil masuk dan bekerja di perusahaan dan bidang yang dulu sangat saya inginkan dan saya berhasil melahirkan satu buku. Itu adalah perasaan “menang” pertama kali yang saya rasakan. Saya memilih medan persaingan yang berbeda, yang saya merasa bisa melakukannya. Dan menang itu bukan tentang saya bisa mengalahkan teman saya, tapi saya bisa memenangkan perasaan saya yang selama ini merasa terpuruk, merasa tidak beguna, merasa tidak bisa menjadi apa-apa, tidak memiliki kebanggan terhadap diri sendiri, dan perasaan inferior lainnya yang itu sangat sering dialami oleh pemuda difase Quarter Life Crisis.
Kini, sudah bertahun masa itu terlewati. Saya merasa tenang dan tenteram melihat bagaimana teman-teman saya kini meraih pencapaiannya masing-masing. Start-up nya yang tumbuh semakin besar, penghargaan yang ia terima, semuanya saya lihat di linimasanya. Saya tahu, medan juang kami berbeda. Saya tidak ingin bersaing untuk membuat hal yang serupa, tempat saya di sini, ruang sunyi -yang semakin nyaman kala hujan-, menulis berbagai macam perasaan yang tumbuh di hati manusia, merangkai-rangkai kejadian, menjadi tulisan-tulisan yang mengalir seperti sungai.
Bersaing dan berjuanglah di medan yang kita kuasai. Di ilmu yang kita tahu. Di tempat yang hati kita bisa merasa tentram. Di hal yang kita merasa Tuhan memudahkan jalan kita untuk beribadah kepadaNya.
Yogyakarta, 22 November 2017 | ©kurniawangunadi
2K notes
·
View notes
Text
Kalau Kamu Korban PHP, Jangan Buru-buru Merutuknya...

Masih teringat jelas dalam otakku, kalimat yang diketiknya lewat messenger Facebook. Aku ingat betul detail kalimatnya, tapi aku cuma akan ingin katakan intinya. Dia bilang ingin mengikat janji denganku. Lanjutnya, ia bilang "tunggu enam tahun lagi, ya."
Waktu itu kami baru lulus SMA. Masih begitu polos nampaknya untuk memikirkan hidup dalam pernikahan. Tapi, kala itu kalimat tersebut rasanya seperti sungguhan.
Awalnya aku anggap bercanda, tapi nyatanya setiap hari aku memikirkannya bahkan menghitung waktu. Ya, aku berharap betul pada pernyataannya waktu itu.
Aku sudah sangat percaya diri bahwa dialah orangnya. Maka, aku sengaja berusaha tidak terlalu dekat pada lawan jenis karena ialah yang aku percaya. Sayangnya, takdir Tuhan tertulis lain.
Tepat enam tahun kemudian, sebuah undangan datang lewat messenger LINE. Undangan pernikahannya dengan seorang perempuan lain yang untungnya tidak aku kenal.
Saat itu aku ingin memakinya. Sungguh keparat. Sungguh jahat. Sungguh keji apa yang dilakukannya itu. Aku sedih, jujur saja. Aku pun marah. Tapi aku berusaha untuk baik-baik saja, bahkan aku sok mengajaknya ngobrol lanjutan via LINE, menanyakan siapakah perempuan yang akan dinikahinya, mengapa begitu tiba-tiba. Dan bodohnya aku tidak mengungkit kalimatnya enam tahun lalu itu.
Lebih bodoh lagi aku datang ke pernikahannya. Saat itu aku merasa jadi perempuan paling berani sedunia. Meski hatiku hancur, tapi aku berusaha datang dengan membawa kepingan-kepingan kekecewaan. AKu pun tersenyum padanya.
"Ciyee.. selamat, ya!"
Begitu kataku. Lalu aku makan, lalu pulang.
Aku tidak menangis. **
Teman-temanku para perempuan yang tangguh, apakah kalian pernah mengalami kejadian serupa? Apakah kemudian kalian sedih berlarut-larut? Atau pura-pura ikut bahagia saja?
Seumur hidup aku belum pernah merasakan patah hati sepatah-patahnya. Tapi aku mencoba adil pada diriku sendiri. Setelah kupikir-pikir, kejadian ini bukan karena dia yang jahat atau aku yang terlalu bodoh, tapi ada sebuah keadilan yang terjadi.
Kita semua paham bahwa perempuan diciptakan memiliki perasaan yang lebih besar ketimbang laki-laki. Maka, perempuan mudah sekali tersentuh hatinya, entah itu perasaan bahagia, sedih, maupun marah.
Sementara, laki-laki memang merupakan jenis manusia yang logikanya lebih besar ketimbang perasaan. Maka, mulut mereka sudah jalan lebih cepat ketimbang hatinya.
Seorang kawanku pernah menanggapi kejadian yang kualami itu. Katanya, "Kayak gitu mah kita yang bego. Kita perempuan itu baperan, jadi diomongin kayak gitu udah terlanjur seneng padahal mungkin lakinya cuma bercanda atau malah biasa aja."
Tapi daripada merutuki masing-masing gender, aku lebih memilih melihat lagi apa yang telah terjadi antara kami berdua enam tahun ke belakang. Katanya, kalau jodoh itu pasti akan selalu atau setidaknya sering dipertemukan.
Jodoh adalah orang yang dekat dengan kita. Maka, konsep ini yang aku coba tarik untuk mencari jawaban mengapa bukan aku yang berada di pelaminan, berdiri di sampingnya waktu itu.
Dan, ya... memang selama enam tahun ke belakang itu kami cuma bertemu dua kali. Bayangkan, dua kali! Itupun bisa dikonversikan ke dalam jam, paling totalnya hanya 4 jam. Aku dan dia sejak lulus SMA memang terpisah jauh karena aku melanjutkan kuliah di luar kota. Maka kemungkinan untuk sering berjumpa itu sangat kecil.
Selain itu, semakin lama kami berpisah, semakin jarang kami berkomunikasi. Dan siapa pula yang tidak berubah dalam kurun waktu 6 tahun? Manusia dalam waktu setahun saja bisa berubah perilaku maupun kepribadiannya, apalagi 6 tahun. Itulah yang terjadi pada kami.
Kami berdua berubah, tidak sama seperti ketika kami SMA. Mungkin hal ini pula yang akhirnya membuat kami berdua selalu canggung setiap kali bertemu.
Kemudian aku tarik lagi ke belakang, tujuh tahun yang lalu. Ada satu masa di mana seharusnya kami bisa bertemu tapi justru tidak.
Suatu hari aku berulang tahun, ia sempat menanyakan hal apa yang aku inginkan ketika aku ulang tahun. Kubilang jam tangan. Lantas pada hari ulang tahunku kebetulan aku ada jadwal les bahasa Inggris. Malamnya, sepulang dari les ibuku menyampaikan bahwa tadi sore dia datang ke rumah, mengantarkan kado ulang tahun.
Setelah tujuh tahun aku baru sadar. Dia memang bukan jodohku. Di kesempatan sesederhana itu saja kami tidak dipertemukan.
**
Setelah menyadari itu semua, kini aku merasa jauh lebih tenang. Sempat bergemuruh lagi jantungku ketika dia update foto untuk pertama kalinya setelah menikah. Ia memotret kakinya bersama sang istri. Tapi segera kutepis rasa cemburu itu.
Aku sekarang harus lebih percaya diri. Aku tidak lagi merutuknya, tidak ingin lagi menyalahkan dan mengutuk apa yang dilakukannya. Toh, sepertinya dia pun tidak peduli dengan apa yang pernah dikatakannya dulu.
Kini, aku anggap semua itu hanya kisah pahit masa muda. Hidup tidak seru rasanya kalau tidak merasakah pahit. Harus ada hal yang bisa menghancurkan diri kita supaya bisa bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Teman-temanku juga berusaha menguatkanku. Kata mereka, aku akan mendapatkan yang lebih tangguh darinya. Aku akan mendapatkan lelaki yang lebih pantas dan tentunya hal ini pasti sudah dituliskan oleh-Nya dalam buku takdirku.
Maka, kalau kamu merasa masih sakit hati dan belum move on... cobalah ingat kembali masa lalumu bersamanya. Apakah setiap hal yang kalian berdua lakukan selalu mengarah pada kehidupan pernikahan? Sungguh, hal ini akan membantumu untuk ikhlas, duhai saudari-saudariku.
Bersemangatlah! Kehilangannya bukan berarti hidupmu berhenti. Teruskanlah aktivitasmu dan percayalah, dia yang lain akan mendatangimu suatu hari.
Be strong, girl.
Surabaya, 25 Oktober 2017
1 note
·
View note
Text
25 dan Masa Depan
Kita sering dengar ungkapan "kehidupan dimulai sejak usia 40 tahun". Bukan tanpa alasan, ungkapan ini konon diamini oleh banyak orang karena di usia ini (katanya) hampir semua orang sudah menginjak masa mapannya. Tidak cuma mapan secara materi tapi juga lahiriyah. Di usia ini banyak yang sudah jadi direktur, ada yang sudah punya rumah yang besar, mobil yang banyak, dan keluarga yang bahagia. Nah, kalau merujuk pada ungkapan ini berarti 'hidup' bisa dimaknai sebagai sebuah waktu di mana kita sudah mendapatkan semuanya.
Tapi rasanya kalau kita lihat sekarang--merujuk pada definisi hidup di atas--agaknya ukuran usia mapan itu sudah bergeser. Coba tengok feed Instagrammu. Di sana kita lihat ada banyak sekali anak-anak muda yang sudah meraih kesuksesan. Kebanyakan dari mereka berada di usia 25-30 tahun.
Walau demikian, melihat kesuksesan-kesuksesan nyata itu seharusnya menyadarkan kita bahwa sebenarnya kita benar-benar hidup itu bukan ketika sudah mapan dan punya semuanya. Hidup adalah ketika kita sudah memulai hal yang kita sukai dan membuatnya menjadi bermanfaat. Hidup dimulai ketika kita sudah menjejaki apa yang sebenarnya kita kehendaki demi mewujudkan masa depan yang bahagia.
"Even if I don't succeed, I'm going to just go for it!" -Ko Dong Man, Fight for My Way
Buat teman-teman yang sekarang ada di usia 23-25 tahun, pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri "Apa, sih yang ingin aku dapat dalam hidup ini? Aku ingin jadi apa? Bagaimana cara aku benar-benar bahagia?"
Kebanyakan dari kita di usia tersebut, saat ini tengah menggeluti pekerjaan pertama kita. Lulus kuliah, tentu kita tidak mau berlama-lama menganggur. Inginnya segera dapat kerja. Apapun, yang penting bisa cari uang sendiri tanpa perlu bergantung lagi pada orang tua. Ya, kita ingin benar-benar menjadi mandiri setelah sebelumnya di masa kuliah kita sudah belajar tentang itu (khususnya kamu yang merantau).
Setelah dapat pekerjaan, ada yang sedih, kecewa, ada juga yang langsung 'klik' dengan pekerjaan itu. Tapi berdasarkan pengalamanku dan obrolan dengan beberapa sahabat, kebanyakan dari kami ternyata tidak mendapat pekerjaan yang kami sukai. Beberapa juga ada yang kesulitan mendapat lapangan kerja karena tidak kunjung menemukan pekerjaan yang cocok dengan dirinya dan dia suka.
Baru-baru ini jagad per-drama-an Korea sedang dibuat galau karena salah satu drama keren baru saja rampung. Judulnya Fight for My Way, dibintangi oleh Park Seo Joon, Kim Ji Won, Ahn Jae Hong, dan Song Ha Yoon. Kisah kehidupan dalam drama ini menurutku cukup related dengan anak-anak muda di usia 25 tahun ke atas.
Cerita utama dari drama ini sebenarnya menyoroti kehidupan Park Seo Joon sebagai Ko Dong Man dan Kim Ji Won sebagai Choi Ae Ra. Jadi, ceritanya mereka berdua berusia sekitar 29 tahun, tapi sampai pada usia itu mereka tidak kunjung meraih cita-cita yang mereka dambakan sejak kecil. Dong Man dulu adalah jagoan Tae Kwon Do di sekolahnya dan dia sangat menyukai olah raga itu hingga ingin menggelutinya sepanjang hayat.
Sayangnya, karena ada satu kejadian yang membuatnya trauma, Dong Man terpaksa meninggalkan dunia martial arts itu dan menjalani pekerjaan yang sama sekali tidak sesuai dengan keahlian dan kesukaannya: pembasmi serangga rumah.
Sementara itu, Choi Ae Ra diceritakan sebagai seorang perempuan yang tergila-gila pada mikrofon. Sejak SMA ia bahagia sekali kalau sudah disodori mikrofon. Bukan, bukan sebagai penyanyi. Impian Ae Ra adalah menjadi penyiar atau pewarta. Namun, sampai di usianya yang semakin dewasa itu Ae Ra malah bekerja sebagai resepsionis sebuah gerai aksesoris mahal. Hingga pada akhirnya kedua sahabat ini memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan mereka dan mulai berusaha mengejar impian mereka lagi.
Dari drama ini kita bisa belajar soal impian. Memang saat ini ada banyak sekali teman-teman kita di usia 25-29 tahun yang tampaknya sudah sukses dengan usaha mereka masing-masing. Namun, buat kita yang sampai saat ini belum mendapatkan apa yang sebenarnya kita inginkan, jangan berkecil hati.
Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk mulai mengejar impianmu. Seperti yang terjadi pada Ae Ra dan Dong Man, mereka baru mulai menggeluti kesukaan mereka di usia menjelang 30 tahun. Walaupun pada akhirnya mereka tidak menjadi bersinar, yang penting adalah mereka berhasil menggeluti passion-nya.
Usia 25 tahun adalah soal passion dan masa depan. Usia ini katanya masih usia muda. Masih semangat-semangatnya untuk belajar dan berusaha. Energinya sangat besar untuk bergerak cepat sehingga seharusnya kita tidak menyia-nyiakan usia ini. Dan yang terpenting adalah bersabar.
Melihat kawan-kawan seusia kita yang tampaknya sudah sukses, punya banyak uang dan tampil di panggung mana-mana, pasti kita juga ingin mengalaminya. Siapa, sih yang tidak ingin bersinar di usia mudanya? Tapi kalau saat ini kita baru memulai, harus kita akui bahwa untuk menuju kesana jalan kita masih cukup jauh. Yang penting adalah MULAI SEKARANG JUGA APA YANG KAMU CITA-CITAKAN.
Waktu terus berjalan, kita juga harus tetap berlari. Kalau kita berhenti, dunia tidak ikut-ikut berhenti. Ketika orang lain tengah berjalan santai, seharusnya kita mengencangkan tali sepatu dan berlari sekencnag-kencangnya. Awalnya memang mendebarkan, melepas semua kenyamanan yang tengah kita jalani sekarang dan memutuskan untuk memasuki pintu kehidupan yang kita sukai. Tapi, itu adalah tantangan yang menyenangkan.
Tentu kita juga takut membuat kesalahan dalam perjalanan mencapai impian itu. Akan ada banyak sekali masalah yang kita timbulkan juga. Percayalah, semua itu cuma batu kerikil yang sebenarnya tidak terlalu melukai sampai menghalangi gerak langkah kita untuk terus berlari.
It's not "Youth is for being in pain," it's "Youth is for making trouble."- Choi Ae Ra, Fight for My Way.
Urusan apakah kamu akan bersinar nantinya, kita sendiri yang berhak mengukur seberapa terang sinar itu.
Usia 25 tahun adalah kick off menuju kehidupan yang sebenarnya. Hidup yang akan benar-benar kita jalani sendiri. Kehidupan masa depan kita ditentukan sejak usia ini, tepatnya ketika kita masih muda dan sudah mandiri. Jadi, jangan sia-siakan waktu ini. Buat masa muda ini begitu berkesan, seru, dan menyenangkan agar kelak di usia 40 tahun kita bisa bilang "I really live my life and I'm happy."
Kalau kamu berdebar-debar memulai hal yang kamu sukai, boleh jadi itu pertanda kamu akan berhasil kelak. Jangan berhenti, teruslah berlari!
1 note
·
View note
Quote
Apakah kamu baik-baik saja? Ragaku iya Tapi hatiku tidak
G.A (20 Juni 2017)
24 notes
·
View notes
Text
Berdoa; Doa Untukmu, Doa Untuknya
Dia menikah besok pagi. Sebelumnya, kabar itu sungguh mengejutkanku, tapi aku mencoba untuk tenang dan kuat. Menganggap masa lalu itu hanya masa lalu, cuma cerita selewat yang tidak terlalu penting dalam hidup ini. Tapi nyatanya sampai sekarang, sampai malam ini aku masih merasa patah-sakit-sepi.
Malam itu tiba-tiba rasanya menjadi jauh lebih sepi dari biasanya. Ya, aku memang sudah biasa menghabiskan malam sendirian, sepi sudah menjadi teman akrab. Tapi sepi yang kali ini berbeda. Sepi yang menusuk, menyedihkan, dan membuat luka. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghiraukannya, menganggap semua ini hanya bercandaan hidup, bahwa kabar yang kudengar adalah kabar yang biasa saja.
I forgive but I can't forget.
Begitu kata seorang teman yang juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Ya, aku memaafkan ia (bukan temanku yang itu, tapi 'dia'), tapi aku tidak akan bisa melupakan patah hati ini. Wow, baru kali ini aku merasakan yang sebenarnya patah hati itu. Sebuah rasa yang sepertinya awam dirasakan manusia-manusia seumuranku dan mereka sudah mengalaminya lebih dulu, sementara aku baru saja mengalaminya.
Selain memaafkan sebenarnya aku seharusnya berterima kasih padanya, karena aku belajar satu hal penting yang sebenarnya sudah seharusnya aku pahami tapi malah aku lewatkan selama ini. Ialah doa.
Selama ini aku tidak pernah berdoa soal jodoh, soal lelaki yang akan menjadi pendamping selama sisa hidupku, soal lelaki yang akan selalu berada di sisiku untuk mendukung impianku. Aku masih fokus pada diri sendiri, soal pendidikan dan karir dan impian personal. Sementara dia, sepertinya pemikirannya sudah jauh... sangat jauh lebih maju dari rencana hidupku.
Setiap berbincang dengannya ia selalu membahas soal pernikahan. Ya, mungkin memang sejak dulu ia sudah berencana untuk segera menikah, sementara aku tidak. Pun dari sini pula aku membuat konlusi yang cukup masuk akal, bahwa doaku dan doanya tak pernah sama. Bahwa aku tak pernah menyebut namanya sedangkan mungkin ia sempat menyebut namaku atau semacam soal perjodohan.
Doa.
Ya, doa.
Kuncinya memang doa, selain usaha.
"Kuat-kuatan doa," kata kawanku yang tadi. Mungkin memang benar adanya, meski jodoh sudah disiapkan dan ditetapkan oleh Tuhan, kita-manusia-tetap harus berusaha saling mencocokkan. Semua itu harus terucap dalam doa, pun meski ia yang akan menjadi jodoh kita belum nampak ciri dan tandanya. Bila sudah bertemu, keyakinan diri harus turut serta dalam setiap ucapan doa. Mungkin ini pula yang tidak aku rasakan ketika berdoa, aku setengah yakin dan setengah tidak bahwa ia benar-benar akan menjalani hidup bersamaku.
Pada akhirnya, ternyata memang bukan jodoh.
Berdoa, untukmu sendiri dan untuknya. Percaya dirilah jika berdoa, ungkapkan dengan spesifik, jangan malu-malu. Karena intinya jodoh memang selalu dalam doa.
Aku pun belajar bahwa penemuan jodoh setiap manusia itu berbeda-beda. Ceritanya beragam dan kita tidak bisa menggeneralisasi itu. Sebagaimana hidup, setiap manusia menjalaninya tidak sama. Maka, usaha ada pada diri sendiri, bagaimana kita memantaskan dan mempersiapkan diri bertemu dengan Sang Jodoh. Ada yang tak terduga, ada yang sudah kenal lama, ada yang memang kekasih sejak dulu, ada pula yang baru saja bertemu. Tidak pernah ada yang tahu. Manusia hanya perlu berdoa dan menyerahkan semua pada-Nya.
Berdoalah untukmu dan untuknya.Aku meminta agar setelah ini dipertemukan dengan laki-laki yang kelak akan menjadi jodohku, yang lebih pantas untukku, yang akan lebih mampu memahamiku, dan aku pun bisa menyamai langkahnya.
Aku pun kali ini sangat percaya dengan keadilan dan kebesaran Allah. Apapun kejadian yang menimpa kita, selalu ada alasan logis di baliknya. Semua itu agar kita bisa mengikhlaskannya dan bisa berjalan terus tanpa menoleh ke belakang.
Berdoalah.
Berdoalah.
- G.A
2 notes
·
View notes
Text
Menuliskanmu
Menuliskanmu artinya mencatat dirimu dalam rangkaian aksara. Tak perlulah menyebutkan namamu di dalamnya, karena si penulis pun tahu ia sedang menulis apa. Dan menuliskanmu artinya si penulis memiliki suatu rasa yang entah apa, suatu pikiran yang entah apa sehingga terbesit sosokmu untuk lantas dituangkannya ke dalam tulisan.
Menuliskanmu bisa jadi adalah rindu. Mengapa manusia selalu menulis ketika rindu? Mengapa tak langsung mengucapnya saja pada yang dirindu? Semacam Milea kepada Dilan pada percakapannya di telepon di setiap malam sebelum mereka tidur, “Dilan, aku rindu...” sesederhana itu.
Tapi menuliskanmu saja sudah cukup bagi si penulis untuk mengucap rindu itu, meski pedih rasanya dirimu tak akan pernah mengetahuinya. Baginya, mengucap rindu padamu adalah sesuatu yang sulit, sementara hanya dengan menuliskanmu adalah hal yang sederhana dan paling mudah.
Menuliskanmu itu butuh waktu. Butuh mengumpulkan puing-puing kisah agar menjadi satu cerita yang mengalir. Agar tak sekedar menyebutmu tapi tak ada namamu. Dan menuliskanmu itu butuh waktu karena si penulis perlu menata diri, pantaskah ia menuliskanmu? Atau pantaskah kau ditulisnya?
Baginya, menuliskanmu adalah urusan hati, bukan sekedar hobi. Maka ia juga mempersiapkan hati karena sebenarnya ia tak pernah berharap tulisan tentangmu ini kau baca sendiri. Ia tak pernah mau kau membacanya karena takut terjatuh sejatuh-jatuhnya: kecewa. Maka ia butuh waktu. Jika suatu saat kau membacanya ia nanti tak akan malu dan kecewa. Sebaliknya, ia ingin kau turut bangga pada dirimu bahwa nyatanya kau memiliki pemuja rahasia yang benar-benar bisa dipercaya karena rahasia hati saja ia jaga.
Semoga dengan menuliskanmu hatinya menjadi sedikit damai.
Semoga kau tak pernah membacanya.
-G. A
1 note
·
View note
Quote
Because if we follow our passion, we can go anywhere
Alex the Lion, Madagascar 3
0 notes
Text
Tegar Kita

Kita terbelenggu dalam waktu saat ini. Ruang juga. Kau di sana dan aku di sini, terpaut sekian ratus kilometer jauhnya. Masing-masing dari kita sedang berseteru dengan jalan masa depan, masa depan kita sendiri-sendiri bukan kita berdua. Konsentrasi dengan impian-impian kita demi mewujudkannya dan membanggakan orang tua kita masing-masing.
Tegar. Aku berusaha tegar di sini dalam meniti langkahku mewujudkan impianku. Lalu ketegaranku menjadi kegalauan yang kelabu lantaran orang-orang di sekitarku selalu membicarakan soal pasangan hidup.Teringat kau yang di sana. Anganku selalu menggambarkan wajahmu ataupun tingkahmu ketika sahabat-sahabatku di sini membicarakannya. Padahal kita berdua sama-sama tahu kalau kita ini hanya teman dekat, saling bersahabat. Itu saja.
Tegar aku ketika kala itu kau ungkapkan pernyataan itu, tepat beberapa hari sebelum aku pergi. Padahal kita sama-sama tahu, selama tiga tahun lamanya kita hanya berteman dekat, bersahabat dengan kawan-kawan yang lain. Tak pernah terpikir olehku pernyataanmu itu, yang menyuruhku menunggu enam tahun sejak saat itu. Tegar aku mengetahuinya.
Usaha tegarku adalah menjaga hati.Hampir dua tahun kita berpisah. Jumpa hanya ketika aku pulang, itu pun bersama kawan lainnya. Sejak itu kita tak lagi sapa, tak lagi saling bicara. Kita berdua sama-sama bungkam, tak saling mengabari kondisi masing-masing. Sibuk tenggelam dengan urusan sendiri, agak lupa dengan ucapan-ucapan itu. Aku pun sama. Sering aku lupa akan hal itu, namun ketika semua orang membicarakannya, aku teringat lagi.
Tak saling sapa, tak saling bicara. Bagiku biasa saja, tak ada hal yang menyakitkan hati maupun menyinggung perasaan. Justru aku semakin ingin menjauh darimu demi menjaga ketegaran ini. Meski sedikit ruang di lubuk hatiku mengiyakan bahwa masa depanku adalah kau, tapi aku tak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin kau pun begitu.
Tegar. Kita berdua sama-sama tegar menjalani semuanya. Sabar hingga waktunya tiba, toh bila memang benar maka itu akan terjadi. Bila tidak benar kita tetap bisa menjalani hidup kita sendiri-sendiri, karena kita tegar. Ketika semua orang saling sapa dan berbincang lewat telepon atau pesan singkat dengan orang terkasih mereka, kita saling diam.
Tegar kita berdua.
Sampai jumpa di masa depan.
-G.A
0 notes
Text
Seorang Teman
Awan agak malu-malu menunjukkan warna abunya siang itu. Tidak biasanya suasana siang hari segalau ini, mendung. Mungkin mewakili keadaannya yang sendiri. Sejak pagi ia memang tidak berhasrat untuk mengajak kawan-kawannya. Alah paling mereka sibuk. Sendiri aja, deh... pikirnya. Sebesar apa pun keinginannya untuk sendiri, ia tetap merasa kesepian. Mengapa di hari yang panjang ini tidak ada seorang pun kawan yang menyenangkan untuk barang diajak bercanda? Sepi, sepi itu sedih katanya. Ketika ia ingin sendiri, orang lain berbondong-bondong datang menghampirinya. Tapi, ketika ia ingin bersama dengan para sahabat, mereka semua pergi entah dengan urusannya masing-masing. Ah, hidup memang tak sekadar pertemanan.
Ia lapar. Dari kemarin terbayang-bayang semangkuk besar ramen di warung Jepang favoritnya. Siang itu ia paculah sepeda motornya kesana. Dua puluh menit kemudian ia sampai.
Jam-jam satu begini biasanya rame, nih...
Bahkan ia bingung harus memarkirkan motornya di mana. Untunglah seorang tukang parkir menunjukkan sebuah garasi untuk menyandarkan motor Hondanya itu. Kemudian ia berjalan masuk ke dalam warung. Ah, belum.. belum sampai masuk. Ia baru sampai di depan pintu, tapi seorang pramusaji yang mengenakan jilbab pink menghampirinya dengan sebuah daftar menu dan selembar kertas pesanan di tangannya.
“Mbak, mau nunggu sebentar nggak? Ini penuh soalnya,” kata pramusaji bertubuh mungil itu. Ia sejenak melirik jam. Sok sibuk.
“Aduh, masih lama nggak, Mbak?” tanyanya. Sebenarnya ia tidak sibuk, ia hanya sudah lapar. Sangat lapar.
“Ya, nggak tau juga. Tapi ini penuh, Mbak… tunggu sebentar, ya?” ucap pramusaji itu lagi.
“Iya, tapi masih lama nggak ya?” ia masih ragu. Ah, susahnya mengucapkan ‘Iya, saya tunggu.’ Mungkin memang hasrat orang kelaparan.
Kemudian, di sampingnya juga baru datang seorang pengunjung. Perempuan, berjilbab, dan sendirian.
“Mbaknya, nunggu sebentar juga, ya?” kata pramusaji kepada pengunjung yang baru datang itu.
“Oh, iya, Mbak. Atau mbaknya mau bareng aja? Sendiri juga, kan?” Tanya pengunjung itu padanya. Ya, ia memang sendirian. Kesepian.
“Emm… Iya, tapi nanti aku sama adikku,” jawabnya.
“Oh, ya udah. Tunggu aja sebentar,” sahut pengunjung itu.
Mereka pun duduk di sofa samping pintu. Siang itu warung Jepang memang penuh, apalagi ini hari Sabtu. Warung yang memiliki menu andalan ramen ini menjadi favoritnya karena memang murah dan rasanya luar biasa lezat. Banyak pelajar dan mahasiswa yang mengunjungi warung ramen ini. Sepuluh ribu rupiah untuk sebaskom ramen hangat itu memang pas di kantong kalangan tersebut. Dengan dekorasi yang juga ala Jepang, warung yang sebetulnya merupakan bangunan rumah ini tak pernah sepi. Meski ruangannya sempit dan pasti ramai, para pengunjung yang mengantri akan selalu bersabar menunggu di luar.
“Emang sering kesini, Mbak?” tanyanya kepada pengunjung yang sama-sama menunggu itu. Pengunjung itu mengangguk sembari tersenyum. Katanya, warung ini juga menjadi tempat makan favoritnya. Kalau sedang stress dan ingin makan, ia akan lari ke sini.
“Temen-temenku nggak ada yang mau diajak, pada nggak suka. Jadi, ya udah, deh sendirian, hehe..” ujar pengunjung yang bernama Ayu itu. Ah, ternyata nasibnya hampir sama dengannya. Tidak ada teman yang bisa diajak, jadi memutuskan untuk pergi sendiri saja. Hampir sama. Hampir sama.
Ayu, mahasiswi juga seperti ia, satu angkatan, asli Kalimantan Timur. Entah apakah Tuhan mendengarkan keluh kesahnya atau bagaimana, hari itu juga Tuhan mengirimkannya seorang teman. Teman baru. Tak terbacakan bagaimana hatinya yang begitu bahagia mendapatkan teman baru.
Seperti mendapatkan lensa baru, haha… pikirnya.
Sekitar lima belas menit kemudian, Ayu dipanggil masuk. Ayu mengajaknya juga, mengajak semeja. Akhirnya, mereka masuk juga ke warung, tinggal menunggu pesanan datang. Dan dimulailah pertemanan itu. Pertemanan untuk yang pertama kali dan ia harap tidak juga berakhir sampai nanti mereka kembali masing-masing memacu motor.
Klise awalnya. Tanya nama, mahasiswi di mana, angkatan berapa. Mengulang perbincangan tadi di depan. Kemudian lama-lama mereka saling bertukar kisah di masing-masing tempat tinggal, yang di sana dan di sini. Sedikit dan perlahan mulai memasuki perbincangan ke pengalaman pribadi, keluh kesah kuliah, keluh kesah menjadi mahasiswi rantau.
Ini tak pernah disangkanya. Hari itu ia baru benar-benar percaya setelah selama delapan belas tahun hidup bahwa Tuhan memang benar-benar Maha Adil. Bagaimana tidak? Kau tahu hari itu ia benar-benar sendiri, gundah gulana tak ada kawan yang bisa menemaninya berpulang di sini, bahkan hanya untuk makan sekali pun. Kemudian siang itu Tuhan mengirimkan seorang teman kepadanya. Teman baru, benar-benar baru dikenalnya, benar-benar baru bertemu. Betapa Tuhan itu Maha Baik, kawan. Kau harus percaya itu.
Hari itu pun Tuhan juga dengan sengaja membuka pikirannya. Tak berteman itu sepi, menyedihkan. Entahlah apa yang membuatnya tidak bisa percaya lagi kepada semua kawan-kawannya di kota kelahirannya ini. Ia merasa semuanya sudah sibuk sendiri sehingga mungkin tidak ada waktu sama sekali untuknya, maka dari itu ia menyerah dan membiarkan mereka tetap pada kesibukan masing-masing. Klise, ia tidak ingin mengganggu kesibukan itu. Tapi tetap saja ia tidak percaya kepada mereka bahwa mereka masih mengingatnya sebagai kawan. Lantas Tuhan murka dengan anak yang sombong ini. Yang membuatnya tak berkawan hari ini adalah ketidakpercayaannya kepada kawan, maka hari ini dikirimilah ia seorang kawan baru untuk membuatnya percaya, bahwa kawan baru ini harus dijaganya agar pertemanan itu tak berhenti sampai hari ini saja.
Memiliki teman adalah tanggung jawab. Menjadi teman adalah tanggung jawab. Akhirnya ia mengerti dan menyesali ketidakpercayaan itu. Sejak hari itu ia berusaha tersenyum setiap hari dan menyapa kawan-kawannya melalui media sosial dan pesan singkat.
Setidaknya aku menyapa mereka, tahu kabar mereka. Sesibuk apa pun aku dan mereka, aku harus tetap percaya bahwa mereka adalah teman-temanku dan membuat mereka percaya bahwa aku masih teman mereka. Aku janji tidak akan melupakan mereka. Ujarnya.
Ayu, seorang teman baru, anugerah terindah dari Tuhan siang itu.
Dua jam sudah mereka di sana. Berbincang banyak sembari menanti hujan reda. Lantas sudah waktunya berpisah. Ayu akan pulang ke rumahnya di Kalimantan malam ini. Sebelum berpisah, Ayu berkata, “Lain kali main, yuk… kemana gitu,” sambil tersenyum.
“Sipsip! Pasti, kalo pas aku di sini ya, hehe… Hati-hati di jalan, jangan lupa oleh-oleh,”
Sudah selesai pertemuan hari ini. Masing-masing mereka memacu motornya, saling melambaikan tangan. Dan terakhir ia berharap agar ia bisa berjumpa lagi dengan Ayu, teman baru.
��
1 note
·
View note