Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sekarang, izinkan aku yang mengkhawatirkanmu.
Aku tahu, kau adalah perempuan yang tangguh—berjalan sendiri dengan langkah yang pasti, memikul dunia di bahumu tanpa keluhan. Aku tahu itu. Aku sangat tahu.
Tapi jika kau lelah, jika angin di dadamu terasa berat, bersandarlah padaku. Bersandar bukanlah dosa, bukan pula kelemahan yang harus disembunyikan. Ia adalah bagian dari menjadi manusia. Dan aku—aku adalah tanah di kakimu, naungan di atas kepalamu. Aku tak jauh, tak akan pernah jauh. Pundakku bukan hanya tempat bersandar, ia adalah rumah bagi keluh kesahmu. Jika ingin menangis, menangislah. Aku tak akan bertanya, tak akan memaksa. Biarkan air matamu jatuh tanpa perlu kau jelaskan asalnya.
@mehwishily, aku takut jika kau terlalu mandiri. Terlalu lama menahan luka, terlalu terbiasa berdiri sendiri. Jangan biarkan dirimu menjadi perahu yang tak pernah bersandar. Perahu yang terlalu lama berlayar tanpa pelabuhan akan aus diterpa ombak, layarnya akan robek, kayunya akan lapuk. Lalu suatu hari, ketika angin datang lebih kencang dari biasanya, ia tak lagi mampu bertahan. Ia karam, sendirian, di lautan luas.
Membuka diri bukanlah dosa. Yang seharusnya menjadi dosa adalah mengurung kesedihan dalam diam, hingga ia berkarat dalam jiwamu. Yang seharusnya menjadi dosa adalah berpura-pura baik-baik saja, sementara hatimu retak pelan-pelan.
Bersandarlah. Jika bukan padaku, maka pada siapapun yang kau percaya. Jangan biarkan hatimu menjadi asing bagi dunia.
4 notes
·
View notes
Text
Aku membaca tulisanmu seperti seorang pengelana yang kehausan membaca peta. Sebuah peta yang mengantarku pada oase, tapi juga menghamparkan padang pasir luka yang entah sejak kapan terhampar di hatiku.
Aku tahu, kau perempuan yang telah dicintai banyak lelaki, karena kau memang pantas. Aku tahu, mereka menatapmu dengan kekaguman yang membuatmu percaya pada ketulusan mereka. Aku tahu, kau tumbuh di antara bait-bait puisi dan lagu-lagu yang mereka ciptakan untukmu. Dan aku tahu, kau terbiasa menerima cinta yang tak kenal batas, yang membuatmu senang, kewalahan, dan akhirnya terbiasa.
Tetapi, tahukah kau? Aku membaca setiap katanya dengan dada yang menghangat, bukan hanya oleh kasih, tapi juga oleh bara. Sebab di balik ketenangan yang kutawarkan padamu, ada desir ganjil yang sesekali menikam.
Lelaki-lelaki yang kau ceritakan, yang berulang kali memuja dan membuai, mereka datang sebelum aku, meskipun rasanya aku tahu mereka yang kau ceritakan dengan antusias itu. Aku hanyalah lelaki yang datang belakangan. Aku tidak punya lagu untukmu, tidak punya puisi yang kutulis dengan kalimat mabuk kepayang. Aku tidak mengajakmu berlarian dalam romansa yang meledak-ledak. Aku hanya punya keyakinan, bahwa kau adalah bagian dari doa yang kusebut dalam sepertiga malam.
Dan meskipun kau berkata bahwa kaulah si penerima, yang membuat mereka selalu merasa kurang dicintai, ketahuilah bahwa aku tidak ingin menjadi bagian dari barisan lelaki yang kau kisahkan dengan nada kasihan. Aku tidak ingin menjadi seseorang yang harus menuntut lebih banyak cinta darimu. Sebab bagiku, keberadaanmu saja sudah cukup.
Namun, aku ingin bertanya padamu, Ilyana—sebelum aku semakin jauh menambatkan hatiku padamu.
Jika aku tak menyanyikan lagu untukmu, jika aku tak menuliskan puisi yang akan kau simpan dalam lemari kenanganmu, jika aku hanya mencintaimu dengan sunyi dan tak membiarkan dunia mengetahuinya—
Akankah kau tetap memilihku?
Sebab aku tidak mencintaimu seperti mereka. Aku mencintaimu dengan takut. Aku mencintaimu dengan hati yang gemetar, karena aku tahu bahwa aku tak boleh mencintaimu lebih dari aku mencintai-Nya.
Dan aku ingin kau pun mencintaiku dengan cara yang sama.
Maka jika suatu hari nanti aku mulai melemah, jika aku mulai goyah, jika aku mulai mencintaimu dengan lebih banyak dunia daripada akhirat—
Ingatkan aku.
Palingkan aku dari cinta yang membutakan, dan arahkan aku kembali pada cinta yang menyucikan.
Karena aku ingin bersamamu, bukan hanya di dunia yang sebentar ini.
Tetapi juga di kehidupan yang tak bertepi.
Dan demi Tuhan, jika aku kehilanganmu karena cinta yang terlalu fana, biarkan aku cemburu dalam diam. Sebab aku tahu, bahwa cinta yang sejati bukan soal memiliki, melainkan tentang siapa yang lebih berhak menuntun kita menuju surga-Nya.
12 notes
·
View notes
Text
Mungkin pernah kukatakan betapa aku mengagumimu, dengan kesederhanaan yang kau kenakan seperti mahkota tanpa pretensi, dengan keteguhan yang kau genggam dalam diam. Tapi izinkan aku mengulangnya, sebab kekagumanku tak pernah surut, bahkan semakin dalam setiap kali kutemukan dirimu tetap berdiri teguh di atas prinsipmu, di tengah dunia yang kerap menggadaikan nilai demi pujian semu. Kau membuatku percaya bahwa kesederhanaan tidak pernah berarti kelemahan. Justru di sanalah kau menaklukkan segala keangkuhan.
Kau mungkin tak melihat dirimu sebagaimana aku melihatmu. Kau menyimpan ragu dalam senyummu, mengira bahwa kau tak sanggup berjalan di sampingku. Tapi ketahuilah, tak pernah terbersit sedikit pun di benakku bahwa kau tak mampu mengimbangiku. Justru aku yang sering bertanya pada diriku sendiri, apakah aku pantas berdiri di sisimu?
Kau memiliki keteguhan yang mengakar kuat, kesabaran yang melampaui waktu, dan kecerdasan yang tak kau pamerkan namun selalu bersinar dalam kesahajaan. Bagaimana mungkin kau tak bisa mengimbangi langkahku, sementara kau adalah alasan mengapa langkahku begitu tegap?
@mehwishily, kau adalah cahaya yang ingin kubawa dalam setiap gelap perjalanan ini. Bersamamu, aku ingin membangun mimpi yang tak hanya tinggi, tapi juga bermakna. Aku ingin menuliskan kisah yang dikenang bukan karena gemerlapnya, tapi karena kekuatannya. Dan kekuatan itu ada padamu, pada kesederhanaan yang menyempurnakan ku, pada keteguhan yang menjagaku tetap membumi. Kau adalah yang kupilih untuk menenun masa depan ini, sebab tanpamu, semua ambisi dan mimpi besar ini tak lebih dari menara pasir yang mudah tersapu gelombang.
Jadi berdirilah di sampingku, tanpa ragu, tanpa takut tak bisa mengimbangi. Karena aku tak butuh sosok yang sempurna, aku hanya butuh kau yang apa adanya, dengan segala kesederhanaan yang justru membuatku ingin menjadi lebih baik. Aku percaya pada dirimu, lebih dari yang mungkin kau sadari.
3 notes
·
View notes
Text


Teruntuk Ilyasa Altair,
Surat ini bukan sekadar kata-kata, tapi mungkin sebagian kecil dari hati yang terserak—kepingan rasa yang terlalu sering aku tahan untuk diucapkan langsung.
Setelah aku renungkan berkali-kali, hidupku mungkin akan jadi ladang kosong, atau jalan panjang yang tak berujung, jika waktu itu Aa tak bicara padaku. Aa mungkin menganggapnya biasa saja, percakapan yang sekilas dan sederhana. Tapi bagiku, itu seperti benih yang tumbuh di tanah yang nyaris gersang. Aku yang dulu hampir menyerah pada pencarian arah, kini setidaknya punya petunjuk jalan untuk pulang. Aku tahu, aku belum sepenuhnya menjadi sesuatu yang kokoh. Tapi setidaknya aku punya dasar, dan arah itu mengajarkan aku untuk pulang. Dan, mungkin, untuk selalu ingin pulang kepada Aa.
Aku pegang tujuan itu, kuat-kuat, seperti aku memegang tangan Allah dalam setiap sujud. Arah yang Aa tunjukkan, membuat aku tidak hanya menemukan hidup, tapi juga menemukan Aa.
Kadang aku bertanya-tanya, kenapa tidak dari dulu saja? Kenapa aku harus tersesat begitu jauh dulu, kehilangan diriku sendiri, sebelum Aa datang menjemputku? Tapi mungkin Allah punya rencana yang jauh lebih bijak dari itu semua. Dulu, aku adalah bocah yang masih belajar mengeja hidup, masih terlalu sibuk merengek kepada dunia. Dan mungkin, baru sekarang aku benar-benar siap. Siap untuk menyertai langkah Aa, apa pun itu yang akan kita lalui bersama nanti.
Berjalan bersamamu seperti ini, rasanya aku tidak perlu menjadi siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Tidak ada yang harus aku kejar, tidak ada yang harus aku perankan. Semoga Aa tak pernah jemu merapal cerita tentang semesta, tentang bagaimana ia bergerak dalam rahasia yang hanya bisa kita tebak-tebak, sembari duduk bersama di tepi pemahaman yang tak pernah selesai. Aku tidak tahu apakah ini tanda dari Allah, tapi aku berharap. Aku berharap Ia meridhoi perjalanan ini.
Terima kasih. Terima kasih, karena Aa datang. Aku merasa bersyukur, karena akhirnya aku bisa menyambut kehadiran Aa, bukan hanya sebagai harapan, tapi sebagai nyata. Anggaplah surat ini sebagai salam pembuka, sebagai selamat datang dari aku yang kini mungkin sudah sedikit lebih siap untuk bersanding denganmu.
Dengan rasa syukur,
Ilyana Mehwish.
2 notes
·
View notes
Text
Tiada pernah habis rasa syukurku atas segala keindahan yang telah Dia anugerahkan. Keindahan itu bisa berupa Ilyasa Altair, ataupun segala sesuatu yang hadir dan pergi dalam kehidupanku. Aku percaya, rasa syukur tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus terus-menerus dilatih. Dan bukan hanya dalam momen-momen belakangan ini, tetapi sepanjang hidupku, aku mencoba mendisiplinkan diri untuk bersyukur, dalam setiap keadaan yang menghampiri.
Kini, setelah perjalanan panjang ini, aku mulai memahami makna dari perkataan Umar ibn Khattab:
"Aku tidak tahu mana yang lebih baik bagiku, antara perasaan sedih atau senang. Sebab aku tidak tahu mana di antara keduanya yang membawa kebaikan bagiku di sisi Allah."
Pada akhirnya, aku menyadari bahwa setiap rasa yang hadir di dalam diriku selayaknya mengalir ke arah-Mu. Segala perasaan, segala kerinduan, sudah seharusnya menemukan muaranya pada Engkau, Sang Pemilik Segala. Tiada pernah sekalipun Engkau mengecewakan harapan yang aku gantungkan kepada-Mu. Sebab, hanya pada-Mu segala ketenangan bermuara, dan hanya dengan-Mu segala keresahan berakhir.
Kepadamu, Ilyasa Altair. Terimakasih tak terhingga atas kehadiranmu yang mampu mengembalikan rasa yang sempat hilang, sekaligus mengingatkanku pada siapa diriku sebenarnya. Kau telah menuntunku kembali ke jalan yang seharusnya kutempuh, jalan yang mungkin tanpa sadar sempat kulupakan. Dan kali ini, dalam perjalanan ini, aku bersyukur karena kau membersamai langkahku.
3 notes
·
View notes
Text
Namamu kusebut dalam doa yang melangit tanpa ragu. Kau adalah janji yang kusimpan di antara kesabaran dan kepasrahan, rindu yang ku jaga agar tetap suci, agar tak mendahului takdir yang telah dituliskan untuk kita. Aku menunggumu bukan dengan gelisah yang mendesak waktu, tapi dengan hati yang tenang, sebab aku tahu, yang telah ditetapkan tak akan tersesat, yang telah ditakar tak akan berkurang.
Malam-malam kulewati dengan doa yang membentang luas, seperti lautan yang tak mengenal batas. Dalam sujud panjang, kusematkan namamu, bukan untuk meminta, tapi untuk menitipkan segala harap pada Yang Maha Menjaga. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang tidak mengusik ketentuan-Nya, dengan sabar yang meneduhkan, bukan dengan gelisah yang mengoyak batas. Aku ingin rinduku tetap dalam koridor langit, dalam genggaman takwa, agar saat kita bertemu, aku bisa menatapmu tanpa beban, tanpa sesal, hanya dengan ketenangan bahwa aku telah menjagamu dengan baik.
@mehwishily, jika penantian ini adalah ujian, maka biarlah ia menjadi ladang pahala. Jika jarak adalah bagian dari perjalanan, maka biarlah ia mengajarkan makna kesetiaan. Aku tidak takut menunggu, sebab aku tahu, cinta yang benar tidak akan salah waktu. Seperti bulan yang tetap pada porosnya, seperti bintang yang tak pernah jatuh ke sembarang tempat, aku berpegang pada janji-Nya. Sebab aku yakin, pada akhirnya, jika memang kau adalah takdirku, aku akan menemuimu di tempat yang paling suci—di bawah ridha-Nya, dalam genggaman yang halal, tanpa ada satu rindu pun yang tersia-sia.
3 notes
·
View notes