Text
setelah lama ku renungi, sepertinya tuturku telah menggores luka bagimu.
aku tidak dapat mengendalikan ujarku kala itu dan bisa jadi tidak mudah termaafkan olehmu.
tapi, aku tidak bisa menghindari lagi bahwa aku juga lelah merasa berjuang sendiri. aku merasa lelah selalu mengusahakan tapi tidak sebaliknya. aku merasa lelah dengan keadaan yang hanya mengikuti arusmu aja.
tapi, berat bagiku didiamkan tanpa ditegur.
berat bagiku diabaikan tanpa disadarkan.
berat bagiku ditinggalkan tanpa kata pamit.
disaat aku mulai memikirkan cara bagaimana bertahan, kamu malah memilih jalan buntu yang jadi milik kita.
kali ini sepertinya akan benar-benar berakhir. Tapi, bisakah kita berdamai sebelum memulai dengan yang lain?
3 notes
路
View notes
Text
Setelah menghabiskan hampir satu tahun lamanya,
- aku sudah tidak lagi antusias ketika ada surat masuk baru;
- aku menanamkan untuk segera selesai, tapi hati dan ragaku enggan;
- aku sudah overthinking di waktu-waktu yang seharusnya tidak;
- aku mudah menangis, tapi untuk hal ini tidak ada lagi air mata yang bisa dibendung;
- aku sudah mulai dikuasai prasangka-prasangka buruk, padahal di awal sangat sukarela;
- aku sudah mulai merasakan jantung yang berdegup kencang, pening dan mual;
- aku berusaha menghindar dari percakapan tulisan, tapi ketika bertemu langsung aku tak kuasa untuk tidak meng-iya-kan.
Aku sudah tidak nyaman.
4 notes
路
View notes
Text
Hilang // Dapat
Ada beberapa hal yang sudah mulai direkam sejak tiga tahun silam. Tapi berada di pulau ini membuat penundaan menjadi pilihan sebelum menyelam. Waktu itu sudah nampak jika diteruskan akan banyak yang hilang, meninggalkan, pasti menghambat. Aku menghitung-hitung, ah selesaikan dulu saja, setelahnya pasti bisa kok.
Setelah selesai, kok malah hampir lupa ya? Belakangan mulai ku cari lagi rekamanannya.
Aku dengar..
Nyaman.
Aku dengar lagi..
Takut!
Pada dua hal yang bertolak belakang.
Hey, penguat sisi ini masih satu orang, perlu tambahan teman. Tapi situasi benar-benar membuatku harus berjuang sendiri, bahkan dalam hal ini. Aku mencoba menggenggam. Tapi untuk mencapai erat rupanya memerlukan lebih dari 7 hari 7 malam. Bahkan idealnya setiap detik jadi usaha dan... cinta. Tetap saja harus mendamaikan batin yang terus bergejolak.
Tidak mau munafik, ini berat, lebih dari rindu yang dikatakan Dilan. Ada yang sulit untuk dilepas, tapi ada saja kebetulan yang menampar. Eh iya, Dia Maha Tahu, aku meyakini semua adalah petunjuk dari-Nya dan harusnya tetap meyakini pula bahwa akan mendapatkan yang sesungguhnya dibutuhkan.
Sebentar lagi reda. Abu-abu sekarang, tajamkan ke arah putih segera. Bukan waktunya lagi untuk menunda, nanti kepalang masuk keranda.
0 notes
Text
Kalau tidak turut serta menyumbang ide hebat dalam perencanaan mimpi besarmu, boleh aku mengingatkan hal-hal kecil yang mungkin mempengaruhi perjalanannya?
2 notes
路
View notes
Text
Semoga kalau bertemu tetap sama. Walau waktu dan situasi tidak lagi sama. Apa ku bilang, kata pada kisah setelah berlayar seringkali dihalau tebing yang menjulang. Berkali-kali menemukan celah, tapi nyatanya di balik tebing tidak menyambut cerah. Semua figura sudah tanggal. Semoga tidak dengan ingatannya. Harapku selalu, kalau bertemu tetap sama.
0 notes
Text
"Tergantung yang ngingetin, sih.."
Begitu kata beberapa orang..
Dulu nepis nih kata-kata yang begini, "Ya siapa aja sih, pake tergantung-tergantung segala". Padahal bener juga, sesering apapun kita diingetin orang buat melakukan satu hal demi kebaikan kita, bakal dianggap angin lalu aja kalau orang itu ga punya kelekatan yang kuat, bukan prioritas, atau bahkan saking terlalu dekatnya jadi dianggap biasa.
Setiap orang punya significant other atau bahkan keyperson-nya masing-masing yang-- iya--dia bakal nurut sama orang-orang itu. Atau sekalian special person? Haaaah itu apalagi, di era sekarang pasti udah disebut perbucinan duniawi. Eh, ngomong-ngomong soal bucin, agak sedih gitu ga sih ketika lo caring for someone special terus di-judge bucin sama orang-orang sekitar, padahal itu kan suatu bentuk upaya buat membuktikan bahwa perasaannya nyata. Selagi bentuk care-nya masih wajar gitu loh, lain pasal kalau emang bener-bener apa-apa serba sama doinya, padahal jaga jarak sama dengan jaga hati.
Lah lah gimana sih mut?
Jadinya balik lagi ke asumsi masing-masing soal perilaku --macam apa-- yang menurutnya bucin.
---
Oke, kembali ke "tergantung yang ngingetin"
Gue pernah banget diginiin temen "Kan aku udah bilang dari kemarin, ngga didengerin sih". Jederr! Ngerasa bersalah banget, seenggak peduli gitu, semudah itu gue lupa. Itu kebetulan ketemu temen yang bisa berterus terang, gimana kalau selama ini banyak yang merasa diacuhkan sama sikap kita? Apalagi buat gue yang pelupa?
Tapi memang secuil persoalan ini sebagian besar sudah bisa diadaptasi, maksudnya buat beberapa orang bukan hal yang harus dipermasalahkan, lumrah. Tinggal si pengingat belajar ikhlas aja buat mengingatkan, jangan berhenti kalau emang setulus hati mengasihi. Di sisi lain, jangan berhenti buat belajar menghargai setiap usaha orang-orang terkasih demi kebaikan kita.
-------
Setiap cerita luka baru pasti ada hikmahnya. Tenang, bukan cuma kamu yang punya masalah. Insyaallah, sebentar lagi di raut wajahmu tercipta "lengkung yang meluruskan banyak hal."
------
Bantu luruskan kalau aku keliru atau sampaikan kalau kamu punya opini lain, ya!
0 notes
Text
Judulnya, Pingin Cerita.
Rasanya, saya masih memendam mimpi untuk lanjut S2. Entah sih, umur sekarang 25 dan perjalanan karir lagi menanjak (I mean, penuh rintangan) tapi positifnya udah sesuai dengan jalur kemampuan dan keinginan sekaligus. Berproses dalam karir sungguh menyenangkan, yang penting berada di jalur yang benar karena merasa capek di perjalanan itu biasa.聽
Mungkin, karir disini bisa bertahan 2-3 tahun, paling lama. Meskipun di tempat ternyaman alias di Bandung, suatu hari saya mesti pindah ke tempat yang baru. Nggak tau sih, firasat aja. Tapi yang jelas, kepingin di tempat yang lebih baik dan tentunya lebih makmur. Bisa jadi di faktor gaji, bisa jadi juga di faktor cabang kemampuan yang makin dihargai seiring pengalaman.聽
Segalanya serba kepingin, tapi umur toh linear. Saya nggak terlalu tahu juga apakah masih ada beasiswa S2 yang masih nerima umur kisaran 27-28. Rasanya ingin kembali ke kelas saja, menikmati lagi sistem-sistem pendidikan yang lama ditinggalkan. Walaupun mimpi untuk jadi dosen sudah dicoret matang-matang, tapi mungkin kembali bersekolah adalah jalan yang nggak buruk.聽
Mungkin akan mulus sih rencananya, kalau belum disertakan dengan rencana menikah. Saya percaya, memilih untuk menikah adalah proses kontemplasi yang panjang yang dibumbui dengan sedikit kenekatan ; karena siapa sih yang benar-benar siap? Kalaupun ya jodohnya siap, bisa jadi menikah dan mimpi ini baiknya disimpan saja di kotak kenangan. Nggak bisa egois lagi mengejar mimpi sendiri, semuanya sudah harus dikompromikan dengan pasangan.聽
Well, jalan masih panjang. Saya tidak terlahir dalam keadaan makmur dan kaya. Oleh karenanya, saya percaya betul kalau apa yang saya usahakan sekecil apapun itu pasti berharga. Sama senangnya, ketika melihat titik-titik hijau hasil berinvestasi di reksadana saham yang akhir-akhir ini saya sedang tekuni. Mungkin tiga, atau lima tahun ke depan, akan sangat terasa manfaatnya.聽
Yah, begitulah. Meski sedang pandemi begini, dengan mengucap syukur, hidup saya masih sepenuhnya terkendali. Dunia memang tak bisa saya genggam semuanya, karena itu saya mesti belajar ikhlas kalau ada yang tak bisa saya capai atau ada yang tak bisa saya miliki. Syukuri dan senangi saja apa yang ada, dan terus memilih untuk berkembang bagaimanapun keterbatasannya.聽
Bandung, 27 Mei
79 notes
路
View notes
Text
Aku takut jauh dari lingkungan yang mendekatkanku pada Allah. Aku takut ketika sahabat yang membawaku jatuh hati pada agama Allah perlahan menjauh akibat ulahku yang juga perlahan lupa akan usaha yang telah diperjuangkan sebelumnya.
0 notes
Text
Boro-boro menciptakan frasa indah, buat caption di postingan ig yang berfaedah aja aku butuh berlama-lama.
Boro-boro jadi model ambassador suatu produk, bikin video endorse dari teman aja aku retake sampai terkantuk-kantuk.
Boro-boro merumuskan program hebat, jadi panitia acara kampus aja masih sok-sok-an penat.
Boro-boro mendebatkan hal-hal kompleks, baca buku saja masih belajar setengah dipaksa walaupun cuma sebait teks.
Boro-boro menghasilkan masakan enak, bantuin ibu di dapur aja kadang mau kadang nggak.
Boro-boro jadi penghapal Al Qur'an, membacanya saja belum sepenuhnya sukarela, masih harus dipaksa akal dan diingatkan tentang ancamannya.
Boro-boro jadi qiro'ah, sampai sekarang kerjaannya masih pengen cover-cover lagu tentang cinta aja.
Semuanya emang boro-boro, tapi tahap belajar untuk mencapainya tetap aku usahakan, sedikit-sedikit aku tempuh. Susah, iya, susah banget. Naik-turun. Tapi belajar itu harus.
Lantas kalau kau hanya ingin hasilnya, ya silakan saja. Aku tidak mundur, kita sama-sama maju, tapi bukan berarti harus bergandengan.
0 notes
Text

Sudah cukup lama meniatkan obrolan grup ini. Tapi, tak jarang setiap kali ingin memulai, ada aja kerjaan yang mengganggu. Kadang ada keengganan juga, siapa tau mereka lagi sibuk, maklum mahasiswa tingkat akhir. Aku tau betul gimana dinamikanya. Yang terhitung cukup sering berbagi cerita, cuma unggul saja. Mungkin dia terlalu kesepian wkwk. Akhirnya, dengan modal telpon gratis sesama Tsel (kayanya mute perlu punya kartu telkomsel deh 馃槳), aku mencoba cara konvensional conference call dan gilaasiiih kangennya malah menjadi-jadi 馃槶馃ぃ. Formasinya masih sama, candain fanesa masih jadi kepuasan. Unggul otomatis ngambil peran jadi pendengar yang tidak berhak memberi komentar. Aku dan Mute selalu mendominasi obrolan dengan sederet drama. Terhitung singkat, ya benar saja masing-masing masih punya kesibukan. Belum lagi jaringan yang mengundang naik-turunnya emosi. Namun, cukup terbayar sih. Ternyata, jarak sudah pasti mengubah banyak hal, ada beberapa situasi yang sulit untuk dihadirkan kembali. Tapi, ini menjadi bagian paling seru karna meminimalisir konflik dan meningkatkan gairah untuk berbagi apa saja. Lagi-lagi aku merindu hehe
3 notes
路
View notes
Text
Ga semua info di grup keluarga tentang hoax lo. Saya dapat kisah dari uwa yang cukup menyentuh buat saya...
鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃
*MALAIKAT BERCADAR*
Oleh : Irene Radjiman
*Inara* baru saja pulang dari sharing di sebuah kajian di kota B. Seperti biasa ia selalu ditemani oleh suaminya. Dari kota B mereka akan pulang menuju kota S tempat mereka tinggal. Biasanya mereka melewati kota P, dimana Inara dan suaminya sering sekali melewati kota P dan mereka paham bila selepas maghrib akan ada banyak *_ukhti_* yang berpakaian mimimalis dengan bedak tebal dan bibir merah merekah bak kelopak mawar, berjejer dipinggir jalan atau diwarung kecil dengan cahaya lampu remang-remang. Mereka biasa melambaikan tangannya pada setiap mobil mewah yang melintas, atau motor yang mereka lihat hanya ditumpangi oleh seorang pria.
Yaaa kalian pasti tahu siapa para ukhti itu. Maaf jangan ada yang protes bila saya memilih menyebut mereka dengan sebutan "ukhti" sebab arti kata ukhti adalah "saudara perempuan" bukan?
"Abi, bagaimana bila kali ini amplop dari kajian ini kita berikan pada salah satu ukhti yang biasa berdiri dipinggir jalan kota P nanti." Tanya Inara pada suaminya. Sang suami melambatkan laju mobilnya.
"Kenapa ummi memilih salah satu dari mereka ?" Suaminya balas bertanya.
"Entahlah bi, ummi tidak tahu kapan terakhir kali mereka memakan makanan halal. Jangan-jangan ada salah satu dari mereka yang sedang menafkahi anak yang sedang belajar agama."
"Bagaimana ummi bisa berpikir bahwa ada diantara mereka yang memberikan pendidikan agama untuk anak-anaknya ?"
"Sejahat-jahatnya mafia, dia akan pilihkan hal-hal baik untuk buah hatinya bi. Sebab mereka manusia bukan iblis."
Sejurus suami Inara terdiam. Ada amplop berwarna coklat yang tergeletak di jok belakang. Inara sering sekali diundang disebuah acara ataupun di sebuah kajian sebagai narasumber. Banyak yang memanggilnya ustadzah, namun Inara selalu klarifikasi "saya bukan ustadzah." Ia lebih nyaman dipanggil dengan sebutan "mbak" atau "bunda".
Inara tidak pernah tahu, berapa isi amplop yang selalu diselipkan oleh panitia disetiap bingkisan yang selalu dibawakan untuknya. Inara dan suami sudah sepakat, tidak mau tahu jumlah nominalnya. Uang dari ummat akan kembali untuk ummat. Amplop itu biasanya akan diberikan pada siapa saja dimana hati Inara tergerak untuk memberikannya. Bisa diberikan untuk tukang becak, kuli panggul, pemulung, gepeng, siapa saja lah. Namun entah kali ini hati Inara tergerak untuk memberikannya pada salah satu ukhti yang berdiri di pinggir jalan sepanjang jalan kota P.
"Abi, tolong berhenti disana, ditempat ukhti yang berdiri sendiri itu !" tunjuk Inara.
"Perempuan yang pakai baju merah itu ?"
"Iya."
Suami Inara menghentikan mobilnya tepat dihadapan wanita itu. Wanita itu reflek mendekat dan mengetuk kaca mobil. Kaca mobil dibuka. Wanita itu nampak terkejut melihat wanita bercadar berada disamping pria yang cukup terbilang tampan yang berekspresi lurus dibelakang stir kemudi. Wanita itu tersenyum kikuk sambil surut beberapa langkah kebelakang. Inara mengambil amplop coklat di jok belakang. Inara turun dari mobil sambil tersenyum. Namun wanita itu tak melihat senyuman bibir Inara dibalik cadar.
"Assalamualaikum mbak." sapa Inara
"Wa'alaikumusalam." wanita itu menjawab sambil menatap lekat Inara. Seolah bingung apa keperluan wanita bercadar itu pada dirinya.
"Maaf mbak, ini ada rejeki dari Allah. Saya tergerak untuk memberikannya pada mbak. Saya tidak tahu berapa nilai nominalnya, tapi saya berharap rizki ini akan membawa keberkahan bagi mbak sekeluarga. Mohon diterima ya mbak." Inara mengulurkan amplop coklat kearah wanita itu. Wanita itu tidak segera menerimanya.
"Apa ini mbak ?" Tanyanya pada Inara.
"Tadi saya baru mengisi kajian dikota B. Ini adalah amplop yang diberikan oleh panitia pada saya. Saya tidak pernah membuka ataupun menggunakan amplop ini, saya biasa memberikannya pada siapa saja melalui gerakan hati saya."
"Apakah mbak tahu siapa saya ?'
"Memangnya mbak siapa ?"
"Saya ini wanita jalang mbak. Begitulah sebutan yang disematkan orang-orang pada manusia seperti saya. Itu adalah uang dakwah, saya tidak pantas menerimanya. Bawa kembali saja uang itu." Bibir merah wanita itu bergetar saat menjawabnya.
"Saya juga bukan orang suci mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ? Saya ini sama dengan mbak. Dimana hati saya adalah milik pencipta kita dan berada didalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa sang pemilik hati saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."
Wanita berbedak tebal itu terjongkok, menangis tergugu. Eye liner yang ia gunakan sampai luntur. Inara mendekat, merengkuh pundaknya. Diraihnya tangan wanita itu, digenggamkannya pada amplop coklat yang ia bawa.
"Semoga yang ada didalam amplop ini bisa menjadi pintu rejeki yang barokah bagi mbak sekeluarga dan mengeluarkan mbak dari ke tidak halalan selama ini. Saya mohon pamit ya mbak. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumusalam." Jawabnya masih dengan terisak.
Inara melangkah menuju mobilnya. Sekuat tenaga ia tahan tetesan embun hangat yang sudah menggenang pada telaga matanya.
***********
Namaku Amidah. Aku janda yang memiliki 4 orang anak. Aku terjebak sebagai kupu-kupu malam sebab dijual oleh suamiku yang sudah mabok judi dan miras. Namun akhirnya aku terbiasa dengan pekerjaan ini walau kini suamiku telah meninggal karena over dosis miras.
Walau aku pekerja haram, namun aku tak ingin anak-anakku kelak akan sebejat aku dan ayahnya. Walau banyak gunjingan tidak sedap dari tetangga sekitar, aku tetap ikut sertakan anak-anakku pada pengajian mushola didekat kontrakanku. Anakku yang paling besar sudah kelas 6 SD, sudah bisa mengurus adik-adiknya bila kutinggal.
Sudah seminggu ini aku tidak menjumpai pelanggan satupun. Yah aku bukan PSK kelas kakap yang biasa dibayar puluhan juta perjam. Aku hanyalah PSK kelas teri yang hanya dibayar 100 - 200rb permalam. Bahkan bisa banting harga lebih murah bila sedang sepi pelanggan. Yah... segitulah harga tubuhku. Seminggu ini kami hanya makan nasi dan rebusan daun pepaya yang tumbuh subur dibelakang kontrakanku.
Sore itu aku hanya memiliki selembar uang 20rb. Saat hendak berangkat mangkal seperti biasa kulihat ada seorang anak bertubuh kurus dan kumal berlarian dikejar oleh 2 orang laki-laki dan perempuan. Anak itu kulihat bersembunyi dibalik semak-semak. Tapi malang, bocah itu ketahuan. Si laki-laki yang mengejar, tanpa ampun menyeret bocah itu keluar dari semak-semak. Si wanita entah isteri laki-laki itu atau siapanya sudah siap hendak memukul bocah itu. Reflek aku berlari kearah mereka.
"Stop ! ada apa ini !"
"Dia maling !" kata si laki-laki
"Iyaa... setan kecil ini sudah maling dagangan kami !" si wanita tak kalah sengit.
"Memangnya dia sudah maling apa ?" tanyaku
"Heh setan maling keluarkan barang curianmu !" bentak si wanita. Dengan ketakutan bocah cilik itu mengeluarkan 2 bungkus makanan. Mungkin isinya nasi dan lauk.
"Nah ini ! saya lagi bungkusin nasi ini buat pesanan, baru ditinggal sebentar kedalam sudah dimaling sama setan ini !" si wanita itu kembali menimpali.
"Maaf bu, adik saya lagi sakit dirumah, sudah 3 hari nggak ada makanan, saya cuma minta 2 bungkus buat kedua adik saya." kuperhatikan bocah itu. Sepertinya seumuran dengan anakku yang nomor 3. Aku tiba-tiba teringat anakku. Lalu kudekati wanita penjual nasi itu.
"Berapa harga 2 bungkus nasi itu ?"
"20rb !" Jawabnya ketus. Kuambil uang 20rb semata wayangku dibalik dompet. Kuserahkan pada wanita penjual nasi itu. Akhirnya ia lepaskan bocah kurus kumal itu dengan kasar.
"Awas ya kalo kamu berani maling lagi !" Katanya mengancam, sambil berlalu.
"Terimakasih tante." Kata bocah itu menunduk sambil terus mendekap 2 bungkus nasi yang ia dapat dari warung.
"Jangan mencuri lagi ya dek. Semoga adikmu segera sembuh." Bocah itu mengangguk, kemudian berlari secepat kilat dari hadapanku.
Saat anak itu berlalu aku kembali melanjutkan langkahku. Kuhidupkan sebatang rokok untuk mengusir kegalauanku.
"Ya Tuhan, daun pepaya dibelakang kontrakan sudah habis. Uang 20rb semata wayangku pun sudah tidak ada. Dengan apakah esok hari anak-anakku akan makan Tuhan ?! Mengapa setetes rizki harampun tak mudah kudapatkan ?"
Tiba-tiba mobil yang cukup mewah berhenti dihadapanku. Mataku berbinar penuh harapan. Aku langsung mendekat dan kuketuk kaca mobilnya. Saat kaca mobil itu terbuka langkahku langsung surut beberapa langkah kebelakang. Kulihat seorang pria tampan dibalik kemudi, namun disampingnya kulihat ada malaikat bercadar. Malaikat bercadar itu mengambil sesuatu di jok belakang mobil lalu keluar membawa amplop berwarna coklat. Amplop itu ia berikan padaku. Aku sempat menolak, sebab aku tahu itu adalah uang dakwah. Tanganku terlalu kotor untuk menerima amplop yang didalamnya berisi infaq dari orang-orang beriman. Namun malaikat itu justru mengatakan sesuatu yang membuatku menangis tergugu.
"Saya juga bukan orang suci mbak. Apakah mbak pikir saya orang baik karena memberikan rizki ini pada mbak ? Saya ini sama dengan mbak. Dimana hati saya adalah milik pencipta kita dan berada didalam genggamanNYA. Saya juga tidak tahu, mengapa sang pemilik hati saya mengarahkan saya pada mbak untuk memberikan amplop ini."
"Ya Tuhan... benarlah dia malaikat yang KAU kirim untuk menunjukkan betapa KAU sangat mencintaiku !"
Aku langsung bergegas pulang. Didalam kamar kubuka isi amplop coklat itu. Kuhitung lembar demi lembar kertas berwarna merah itu. Li... lima... ju... juta.... !!! 5 JUTA !!! Seumur hidup aku belum pernah memegang uang cash sebanyak ini !!! Ya Allah !! benarkah ini !! Ampuni aku ya Allah !! Aku pendosa menjijikkan ini KAU beri tunai hanya karena kuberikan lembaran uang 20rb, satu-satunya lembaran yang kupunya di hari ini pada bocah kurus kumal itu. Ahh siapakah bocah kurus kumal itu ? Aku juga tak tahu.
*********
Aku Muhammad Yahya. Usiaku 12 tahun. Sejak aku duduk dibangku kelas 4 SD aku sudah tahu apa yang dikerjakan oleh ayah dan ibuku. Sindiran tetangga sudah tidak asing lagi bagiku. Namun ibuku seperti tidak ingin kami tahu apa yang sudah ia lakukan bila pulang tengah malam. Ibu selalu berkata padaku,
"Yahya mengajilah yang rajin. Allah maha penyayang. Do'akan ibu agar Allah mengasihani ibu yang bodoh ini. Ibu banyak salah pada Allah." Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku menangis. Setelah meniduri adik-adikku, aku selalu melakukan sholat sunnah taubat dan witir. Aku minta Allah mengasihani ibu dan membukakan pintu ampunanNYA bagi ibu. Setelah itu aku membaca Qur'an sambil menunggu ibu pulang. Ibu tidak tahu kalau setiap bulan aku selalu qatamkan Al-Quran. Aku selalu menangis setiap kali membaca Qur'an dan membayangkan apa yang sedang ibu lakukan di luar sana untuk menghidupi kami ber-4.
"Ya Allah kasihanilah ibuku, lindungilah ia selalu, bukakanlah pintu ampunanmu bagi seluruh dosa-dosanya."
Entah bagaimana cara Allah menjawab do'a - do'aku. Kini yang kutahu, ibu sudah tidak lagi mengenakan pakaian mini. Ia menggantinya dengan jilbab, walau belum sempurna. Sudah tak pernah lagi keluar malam dan aku sudah tidak pernah lagi melihat ibu merokok. Kini kami telah memiliki warung sembako. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mengecap rizki halal. Ketika kutanya, darimanakah ibu dapatkan modal untuk membuka warung sembako ? ibu menjawab, "Rizki halal dari langit yang dikirim melalui malaikat bercadar."
Aku mengernyitkan kening.
"Iya benar, ibu sendiri tidak pernah tahu, seperti apakah wajah malaikat itu."
*************
Sore itu selepas ashar
"Ustadzah Riska !" Inara memanggil dengan nada berbisik setengah berteriak. Ustadzah Riska menoleh.
"Aku Inara." Inara langsung mendekat.
"Oohh bunda Inara ! kok bisa ada disini, habis darimana ?"
"Aku mencari rumah wanita ini." Inara menunjuk foto seorang wanita di layar hp. Saat dulu Inara memberikan amplop coklat itu, suaminya sempat memotret dari dalam mobil tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya Tuhan yang tahu.
"Ooohhh ini bu Amidah. Oohh jangan-jangan bunda adalah wanita bercadar yang dia ceritakan itu ?"
"Memangnya dia cerita apa pada ustadzah ?"
"Dia bercerita banyak, intinya dia minta pendapat saya, uang 5 juta itu baiknya digunakan untuk apa ? dia ingin mengakhiri dunia kelamnya. Saya sarankan untuk membuka warung sembako."
"Uang 5 juta ?" Inara mengulang
"Iya bunda, isi amplop itu uang 5 juta."
"Kenapa bu Amidah minta pendapat pada ustadzah ?"
"Sebab anak - anak bu Amidah mengaji pada saya. Anaknya yang sulung juga pernah bercerita banyak hal tentang ibunya dan juga tentang uang dari langit yang diberikan oleh malaikat bercadar."
"Malaikat bercadar ?"
"Iyaa, begitulah bu Amidah menyebut anti, bunda Inara. Oh ya sekarang bu Amidah telah mulai berjilbab bunda." Hati Inara tersentak. Ada yang melonjak disudut hatinya. Matanya berkaca - kaca menatap lekat mata bening ustadzah Riska. Sore itu ustadzah Riska menceritakan banyak hal perihal bu Amidah dan Yahya. Sebelum berpamitan Inara berpesan sesuatu pada ustadzah Riska.
"Ustadzah, mohon rahasiakan identitas malaikat bercadar. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan beliau saat ini. Namun informasi dari ustadzah sudah lebih dari cukup bagi saya. Mohon kiranya ustadzah berkenan meneruskan tangan saya untuk membimbing bu Amidah agar tidak kembali tergelincir ke lembah kelam."
"Baik bunda, insyaa Allah."
Dalam perjalanan pulang, Inara bergumam dalam hatinya,
"Ya Allah benarlah, ENGKAU memang membenci perbuatan dosa, namun ENGKAU tidak membenci pendosa. KAU selalu ulurkan tangan bagi mereka yang bersedia untuk KAU angkat."
Kita tidak pernah tahu ada tangisan apa dibalik tawa. Kita juga tidak pernah tahu ada kebahagiaan apa dibalik tangisan.
Barokallahu fiikum.
NB : Tak perlu bertanya ini nyata atau tidak. Anggap saja ini kisah fiksi. Bila ada kesamaan nama dan peristiwa itu hanyalah kebetulan saja.
*t.me/ireneradjiman*
鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃鉃栤灃
3 notes
路
View notes
Text
Asing, bergetar, lembut, luruh
Berani, dewasa, bijak, menyentuh
Nyaman, runtuh, luluh
Menuangkan pun tak mampu karena rasa-nya tak akan seindah itu
Terima kasih Tuhanku..
0 notes
Text
"Hampir" bagiku 95-99%
Aku sepakat kalau setiap hari adalah Hari Ibu, maka sah-sah saja kalau aku mau menceritakan sosok lain di hari ini ya..
Perasaanku meluap ke permukaan seketika mamandangi foto sosok yang satu ini. Seseorang yang dulu hampir seluruh karakternya aku kagumi, hampir setiap jejaknya aku jajaki, hampir semua temannya aku hafali haha.
Aku ingat sekali, dulu setiap Hari Minggu bersama-sama menonton film kartun dan animasi mulai ba'da subuh hingga menjelang dzuhur. Kalau tidak channel Indosiar, RCTI, atau Global TV. Bahkan setiap malam minggu, kami menantikan Bioskop Trans TV. Walaupun aku lebih cepat tidak sadarkan diri. Tapi bisa saja tertunda karena Bapak mengajak kami untuk masak mie. Nikmatnya..
Aku ingat sekali, dulu hampir setiap awal liburan, kita bekerjasama membuat 'kota kecil' di ruang tengah. Aku bagian menata basicnya, kakak menambahkan atau mengoreksi dengan cara baik dan alasan-alasan yang bisa aku terima walaupun sesekali aku menepis beberapa saran itu. Belum lagi pasukan penjaga kota. Aku paling sebal kalau ada sudut kota yang rusak karena serangan musuh katanya. Sudut itu segera direnovasi, bahkan harus lebih estetik lagi. Dan berminggu-minggu, kota ini tidak boleh dibereskan, walaupun ibu dan bapak mondar-mandir di ruang tengah.
Aku ingat sekali, dulu hampir setiap dibercandai, aku berujung nangis. Di gusur kakinya dari kasur, digelitik yang menyebalkan seperti menyimpan tangannya di ketiakku tapi diam:(. Sampai-sampai ketika aku mengadu kepada ibu, dengan polosnya ia bilang "ngga, iq diam"...., dikunci, di smackdown..
Belum lagi kalau aku minta diajari main kartu Yu Gi Oh, kemudian kami battle, dan aku benar diajari tapi lebih sering dibodoh-bodohi:(
Aku hampir selalu mengikuti jejakmu. Satu TK, satu SD, satu SMP, tapi tidak satu SMA dan kuliah hehe. Walaupun berbeda 5 tahun, guru yang mengenalmu hampir semua mengenalku juga. Belum lagi karena bakat dan prestasi yang sudah diukir, sama pula bidangnya. Menyanyi solo, paduan suara, olimpiade, main piano, OSIS-MPK? Sama. Ah bedanya kalau SMP, aku tidak aktif di pramuka dan bukan sispres. Aku Paskibra.
Aku ingat betul, sewaktu kakak SMP, ia dan teman-temannya membentuk grup band dan tidak jarang latihan di studio musik kami sendiri. Belum lagi beberapa personil band dia adalah teman SD nya. Dari sana aku menilai, serunya kalau punya band sendiri. Dan aku pernah juga beberapa kali ngeband, di tingkat SMA. Walaupun bukan band tetap. Salah satu band, beberapa personilnya juga teman SD ku. Hahaha bisa pas gitu.
Aku ingat betul, ketika kami beranjak dewasa, mungkin telah Dia atur dan rencanakan. Ketika libur tiba, kami seringkali menghabiskan waktu bersama, berpetualang, naik motor ke Bandung dan ke Bogor. Nyanyi-nyanyi di jalan, bercanda, teriak-teriak, sampai menarik perhatian orang. Bahkan seringkali dikira pacaran :(
Ah, rindu sekali..
Dulu, aku mengenalnya sebagai sosok yang melindungi, mengasihi, gigih, soleh, rajin membaca, optimis, kritis dan logis. Semakin kemari, pemikirannya semakin modern. Setiap usahanya dalam mencapai yang diinginkan, membuatku berpikir bahwa "dia pantas mendapatkannya".
0 notes
Text
Sadar ataupun tidak, memudar tetap pasti. Baik itu kamu, aku, dia, kita, dalam cakap, memberi petuah, dalam gurau, dalam banyak hal tidak penting lainnya. Pudar, hingga berakhir hanya sekadar. Walaupun ada yang dimau, tetap saja berakhir beku.
Entah apa penyebabnya, aku yakin masing-masing punya alasan. Hingga piluku mengabu, entah berjiwa besar atau jadi penyendu pada setiap ujung temu.
Tapi aku percaya tidak hilang semuanya. Kalau memang demikian, aku yakin masih ada "apa" yang mesti disampaikan, masih ada "bagaimana" yang mesti dijabarkan, masih ada "siapa" yang perlu dikenalkan, masih ada "mengapa" yang perlu di"karena"kan, serta masih ada "kapan" yang harus diingat untuk kita hadiri minggu depan.
Jejak perjalanan otomatis tersimpan, lalu rindu akan hadir pada beberapa waktu yang tepat. Sehingga jawaban "dimana", dapat kita putuskan sebagai ruang temu.
1 note
路
View note
Text
Sejauh saya berkelana
Seberapa banyak tempat saya bersinggah
Sebagaimanapun saya campakkan
Sesuka hati saya naik darah
Sesabar itu anda menjadi rumah
Apakah setidak bersyukur itu saya?
1 note
路
View note