Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Redupnya Sang Pelita.
Kale Dananjaya, sang wira yang lahir di tengah hiruk pikuk kota Bandung pada 4 Desember, 2003. Warung seblak Kang Asep menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya Kale, delapan belas tahun lamanya ia jejakkan kaki di Bandung. Kini, ia menghuni indekos berukuran sedang seorang diri di tanah Jakarta. Jauh dari rumah dan jauh dari orang tua, tentunya. Sebab kedua orang tuanya telah beristirahat dengan tenang di sana.
Dua tahun lalu, Tuhan renggut bahagianya. Kale tak dapat salahkan Tuhan sepenuhnya, sebab ialah sebab dari kejadian tragis yang mengubah separuh hidupnya. Andai Kale tak ikuti pikiran jangka pendeknya, andai Kale mampu redam emosinya. Andai. Sepercik emosi Kale telah ubah hidupnya 180 derajat, amarah yang kala itu tak terbendung, ia keluarkan sejadi-jadinya. Ucapan tak senonoh dan penuh amarah ia lontarkan pada sang ibu, meretakkan hati yang telah mencintainya selama berpuluh-puluh tahun, hanya karena pertanyaan, “Kamu yakin bisa hidup sendirian?”
Kale yang masih delapan belas tahun anggap ibunya sedang meremehkan dirinya, egonya tersentil. Namanya remaja, pasti ingin membuktikan pada dunia bahwa mereka mampu dalam segala aspek, bukan? Sama halnya dengan Kale, ia hanya ingin buktikan pada sang ibu bahwa ia mampu. Kale bukan lagi anak kecil, dan ia ingin buktikan itu. Bodoh dan salah caranya, memang, ia sadari hal tersebut setelah kepergian ibunya, seminggu setelah pertengkaran hebat mereka.
Setiap hari, Kale jalani perkuliahannya penuh perasaan bersalah. Ia belum sempat meminta maaf pada sang ibu. Ketika Kale berinteraksi dengan wanita yang lebih tua, seringkali ia terbayang sosok ibu yang telah Kale sakiti. Rasa gelisah kian muncul dan menggerogoti hatinya, takut. Perasaan itu buat Kale cenderung menjaga jarak dari wanita, terutama yang lebih tua. Andai waktu dapat diputar balikkan, Kale akan sampaikan permohonan maaf pada sang ibu, persetan dimaafkan atau tidak.
0 notes