Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Ternyata aku lupa meminta di-Ikhlas-kan
...............
Setiap berdoa aku selalu meminta dimudahkan atas segala yang sedang ku jadikan proses. Tapi aku sering menuduh tuhan tak adil dalam merealisasikan apa yang aku minta, seringnya berbeda dari ekspektasi personalku.
Setelah sekian banyak terjadi, ternyata ada yang salah dari caraku berdoa, aku lupa meminta di-ikhlas-kan atas apapun yang diberikan tuhan. Terserah mau sesuai mauku atau tidak sesuai harusnya ikhlas dan menerima.
1 note
路
View note
Text
Hai Alfy, selamat malam. I think, this night you was found yourself (again) . How did you do that?.
....................
Akhir-akhir ini aku makin ngerasa 'sepi'. Why? Just because you'r not have a friend yang bisa menerima pola pikirmu, yang bisa benar-benar to be fine kalau kamu berbicara apapun, yaa semacam 'open minded', susah nemu orang2 yg suka buka perspektif baru. Menerima pendapat orang lain, kalaupun tidak menerima ya tidak kemudian mendebat, tapi discuss aja.
To be honest, aku sampai detik ini belum bisa move on dari culture jogja, dan gak relate dong kalau aku sok sok an bawa culture itu ke tempatku kembali. Jadi sampai saat ini pun aku memilih untuk tidak membuka a new relation just because there are no one can understand me. Kasian gue.
........
Selama di Lombok, aku beberapa kali discuss cuma lewat platform digital sama orang-orang yang waktu di jogja. Salah satu dari mereka adalah temen SMP. Kebetulan dia kuliah di Jogja dan lebih kebetulan lagi kita berada di concern yang sama walaupun beda kampus. Komunikasi.
Tapi selama di jogja kita gapernah ketemu, malah first time ketemu pasca lulus SMP ya tahun 2019. But you know? Saat itu, sekali ketemu kok ya klop2 aja ya ngobrolnya? Padahal selama di SMP dulu kita gak akrab-akrab banget uy. Tahun 2019 itu ketemunya bertiga. Aku agak lupa gimana relasi itu bisa kebentuk gitu aja dan muncul inisiatif untuk ketemu (waktu itu).
Time is fly so fast. Setelah 2019 aku kira 3 sejoli ini akan sering ketemu. Tapi ternyata kesibukan kita gak menjadikan itu sebagai keniscayaan. Hary ke jogja (lagi) pasca pertemuan itu, dan Vani sibuk dengan profesinyaa sebagai perawat. Yaa walaupun aakhir 2019 aku juga ke Jogja tapi kita tidak pernah niat banget buat ketemu.
...................
Sejauh ini komunikasi sama 2 orang itu (Hary dan Vani) jalan kok walaupun gak intens. Aku dan Hary yang suka ngobrol bebas tanpa mikir ada yg tersinggung atau enggak, dan sama Vani ngobrolin soal ternyta dia sudah menikah dan punya anak. Haha. FYI aku sama Hary punya kecenderungan yang lumayan sama, dari genre buku bacaan sampai pola diskusi. Dan aku akui, dia satu-satunya manusia yang aku kenal disini, yang nalarnya masih enak diajak mikir about anything and anyone.
Entah badai darimana aku tiba-tiba ngajak ni orang dua buat ketemu. Alih-alih silaturahim padahal mah lagi try to find my self that was lost sejak mem-pergi-kan diri dari Jogja. Karna jelas circle disini TIDAK AKAN PERNAH SAMA. Terlalu banyak yg hipokrit. Halah.
Akhirnya diputuskan, ketemu Jum'at 4 Juni 2021, di Sideroad Mataram, tapi sayangnya Vani mendadak ada job dan gabisa gabung. Tapi aku nekat aja ketemu si Hary, walaupun rada mikir ntar bakal bahas apaan.
Aku berangkat sekitar 19.20 WITa, dan langsung ketemu orangnya. Ga ada yang aneh, tapi kita langsung buka obrolan dengan perkara buku apa yang elu bawa dan apa yg dibaca. Berat cuy.
Ditengah hiruk pikuk masyarakat yang terbiasa dengan 'basa basi' diawal pertemuan (yang sudah lama tidak bertemu) dengan pertanyaan semacam *gimana kabar bro? *wih sibuk apa sekarang? *udah wisuda? *udah nikah?. - kita saling tanya bilang "kamu bawa buku apa?". Amazing nggak?
Obrolan berlanjut soal buku-buku yang sering kita tuker-pinjem, saling challenge baca buku, bahas soal Gaspar dan gimana pola detektif yang dikemas dalam novel yang aku baca sehari doang dan kayanya emang aku gak cocok jadi detektif, karna aku gabisa mendeteksi siapa pembunuhnya, kenapa si Gaspar mati, apa isi kotak hitam-spoiler novel 24 jam bersama gaspar-sampe bahas novel pasung jiwanya Okky Madasari.
Sisanya ngalir ke bahas soal kenapa ghosting2an, relasi laki-laki dan perempuan, perkara atta-aurel, alvin-larissa sampe aldi taher dengan pembahasan yang gak sekedar gosip, tapi sampe analisa kenapa orang-orang bisa seperti itu, dan sepakat kalau memang ada pattern yang salah dari masyarakat Indonesia sejak sosmed merajai dunia per-internet-an.
Bahas feminis pun jalan, how about misoginis tapi butuh selangkangan, how if ada gerakan maskulinis untuk menghancurkan feminis. Ya ga mungkin kali ya, katanya sih laki-laki gaperlu memunculkan gerakan maskulinis sebab mereka sudah menguasai dunia, jelas-jelas patriarki masih kuat. And I Appreciate atas dukungan dia menolak patriarki hanya untuk menormalisasi laki-laki menangis ketika merasa sakit.
Kita gak sadar ngobrol ngalor ngidul gitu sampe jam 11 tanpa foto-fotoan, tanpa bikin story, tanpa pegang hp (kecuali buat search data dan angkat telfon ya) So far, aku amazed banget sih.
You know, I was found myself (again) and so excited, ga nyangka ketemu orang yang satu frame dan jelas sama gilanya. Oya aku sempat introgasi si Hary perkara minat baca di Lombok yang terlampau rendah, Pe-eR bersama aja kali ya buat pegiat literasi yang sedang berjuang.
As you know, asik to be discuss partner gak melulu akan asik to be partner of life.
Doakan aku segera menemukan partner of life yang bisa diajak gila bareng ya.
FYI, si Hary pernah nulis his impression waktu ketemu 2019 lalu di blog pribadinya. Baca aja kalo kepo. 馃憞
2 notes
路
View notes
Text
(PART 1) SEPEKAT KOPI
Sayang sekali ya, kita harus tak lagi saling menyapa sebagaimana dulu aku dan kamu saling bertukar cerita. Berjam-jam terlewat bahkan tanpa sadar, berkat obrolan tak pasti yang sejujurnya berarti. Iya, dulu kita sangat dekat, sedekat jari manis dengan jari telunjuk, namun kini, kita bersekat.
.................
Cerita ini akan kumulai sejak awal kita bertemu Tiga tahun yang lalu di sebuah warung Kopi di Yogyakarta, Kebun Laras. Satu-satunya kebun yang ada di Yogyakarta. Maksudku bukan kebun yang dipenuhi dengan bunga, pepohonan, atau macam taman. Ya, warung kopi, letaknya tak jauh dari pusat Kota.
Aku memilih duduk didekat pintu masuk dengan maksud agar dia lebih mudah menemukanku, maklum, kita belum pernah mengenal wajah satu sama lain.
Aku duduk di sebuah kursi kayu yang sangat sederhana, bahkan tidak diberi warna, didepanku meja kotak yang tidak terlalu besar dengan bahan yang sama seperti kursi yang kududuki. Sangat sederhana, tapi bagiku ia memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Apalagi kalau dibersamai dengan secangkir kopi pahit diatas mejanya.
Hampir 10 menit aku duduk menunggu. Langit jogja yang sudah mendung sejak aku diperjalanan kini mulai menitikkan air. Hujan, hampir lebat. Yang aku ingat ini masih bulan juni, seketika aku ingat sebuah puisi yang ditulis Alm. Sapardi Djoko Damono. Katanya 'Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni'.
.......................
Seorang laki-laki dengan penampilan tak biasa bagiku. Ia mengenakan kaos dengan luaran jaket berbahan jeans, ditambah celana jeans yang dibagian lutut diberi sentuhan ajaib berupa sobekan. Yaa, menurutku itu aneh, kenapa banyak orang yang suka mengenakan jeans sobek seperti itu? . Sedikit basah sambil berlari kecil menghampiriku kemudian bertanya
"Alin?" ,
dengan melihat matanya seketika aku menjawab dengan tegas
"Iya".
"Aku Linggar"
Ucapnya saat menjabat tanganku, memperkenalkan diri sebatas nama, karna mungkin hanya itu yang kita perlukan saat itu. Aku membalas dengan menyebutkan namaku seraya tersenyum, wajahnya datar, senyumku tak dihiraukan. Tapi aku tak peduli.
Kita mulai berbincang soal proyek yang akan kita kerjakan bersama dalam waktu dekat. Ya, ini hanya keperluan pekerjaan, aku berfikir pertemuan kita sekarang dan selanjutnya hanyalah formalitas. Keperluan pekerjaan saja.
Aku bekerja di sebuah perusahaan yang berbasis pendidikan, tugasku adalah sebagai peneliti, dan Mas Linggar akan menjadi partner dalam penelitianku kali ini.
Awal pertemuan yang cukup baik, karna meskipun kita baru saling mengenal, percakapan cukup mengalir. Sangat idealis kurasa, karna kita berbincang seputar apa yang akan menjadi pekerjaan kita, tak ada selingan ataupun sedikit intermezzo dalam perbincangan tersebut. Diskusi itu berakhir ketika Anggita, adikku menelfon meminta untuk dijemput sekolah.
(Bersambung)
5 notes
路
View notes