kmegline
kmegline
Hakuna Matata
67 posts
Written with huge mood and little thought 
Don't wanna be here? Send us removal request.
kmegline · 3 years ago
Text
Enak enak
Born in Indonesia and grew up here, I feel grateful. Though this is the land of drama, even I turn into a drama queen too in some points but I like the little tiny things that I experience here everyday.
From the food, it’s full of spices and I never get bored of them. You can have the real spicy, combined with savory and aromatic taste of the food. Omg, I want to eat Nasi Padang right now.
Everytime I go to the beaches, I never stop feeling amazed about what I see before my eyes. The reflection of the sunlight floating on the water make it blue green ocean.
I like exploring the markets where people sell the traditional breakfast or snacks. I find myself spoiled with the atmosphere of living in Indonesia and hardly to think to move to another wonderful countries in the world. Simply, I have all I need here.
And the last thing is about the language, learning Bahasa Indonesia as not as hard when you learn Chinese but if you want to go deeper to the daily conversation, you’ll find it playful and confusing. 
If you mention enak, it literally means delicious. It denotes a comfortable or proper life, too. However, when you say it twice, yeah it still means delicious but there is also another connotative meaning. An activity of being physical intimate with your partner, which called enak-enak.
I see that many kids these days also being mature too fast and start to think doing enak-enak earlier. But not fully blaming them, since many media contain those intimate moments that make them look beautiful. In fact, it sucks if you’re infatuated by it.
Anyways, I hope all of us can live enak (comfortably) in this land or any land you live in. And if we’re lucky enough, when the time is right, hopefully we can meet a nice partner to do enak-enak with...:p
7 notes · View notes
kmegline · 4 years ago
Text
Disconnect to connect
Recently, I’ve been worried a lot about this and that. Actually, everything seems slowly getting better yet I still feel wondering is this a way that I should live on or not. I know that there is no ideal type kind of living but in what stage that a barely human can feel satisfied. When you own little, you ask for more. But when you have more, you hardly even take care of them.
Because of this complicated thought, sometimes I feel that I am not good enough to establish my own life, even in daily basis. Being a grown up means you also make a standard for your own performance. Since most of the time, there is no single person will clearly say to you that you are already good or you need to improve this part or you should do this to be that. 
Some people say about school of life but I prefer to say that life is like a wild jungle where there is no regular assessment, no teacher’s guidance, no scheduled report and many other stuff that’s more related to no border situation. It’s literary a big jungle and any road can take you somewhere you don’t even know where it leads, and possibly for you can feel lost all the time. 
Moreover, this day we are all consumed with lots of information, idea and contents, with no border for 24/7. This point makes me drawn to a little conclusion that disconnecting from all today’s trend is also a good way to realize what really matters in this journey.
Should we know all things to be assumed as an intellectual or at least look more decent than others? I think NO. I practice to let myself dumb recently so that when other people explain something to me, I can listen better and not being offended. I wonder why today’s lifestyle brings people more connecting with the machine learning than a human’s soul. Are we all polluted and not worth-connected with? 
Then should we hang out often or being talkative in a group? Not always. Even distance teaches us deeper meaning in relationship like trust, loyalty, and effort to maintain the relationship itself. Meeting each other physically in the same situation does not guarantee a connection, somehow. Because sometimes one has business or one thinks that his matter more important than the other’s. So, I think a real connection happens when all the parties take their roles, want each other, no matter they are together or being apart.
And the last one is should we be a shining star all the time? No, sometimes we need to disconnect from the hype to find ourselves, the real shape of us. It is true that collaboration and connection bring people to a very massive development more than ever in the history of civilization. However, connecting to your own thing is not a selfish way or a decline though. Since we need to step back, recharge, and align ourselves to be able to connect again.
But how much time we need to disconnect? It depends, once again we live in a wild, strange, and free environment. Anyways, hope you always find a place that you call home besides yourself, so you can be happier after being happy by your own company...
1 note · View note
kmegline · 4 years ago
Text
Canggung
Sejak lulus kuliah, aku kurang suka acara reuni entah itu skala kecil atau besar tapi aku suka ide keluar makan ke kafe dan mencoba makanan baru bersama orang-orang itu. 
Aku memikirkan kenapa aku kurang suka kumpul-kumpul. Apa karena orang yang kutemui atau karena aku ketika bertemu dengan mereka.
Kecanggungan berkumandang ketika tidak ada yang memulai pembicaraan. Ketika ada yang memulai, obrolannya tak jauh dari apa yang mereka kerjakan. Lalu aku berpikir apakah sekarang sedang rapat dewan direksi di luar kantor. Meski mereka bercerita, dan aku mendengar suara mereka, aku tak sepenuhnya paham apa yang mereka kerjakan. Tapi aku bisa memaklumi, mungkin mereka kerja di kandang rubah.
Aku? Aku tak pernah bercerita tentang pekerjaanku saat bertemu orang-orang. Apakah aku malu tentang pekerjaanku? Sebenarnya tidak, hanya saja memang tak banyak yang bisa diceritakan. Lagipula pekerjaan ini apapun wujudnya, hasilnya memberiku penghidupan. Di luar idealisme ku yang mungkin tidak masuk akal, aku hanya tak suka membicarakan pekerjaan di luar jam kantor. Dan aku keluar dengan mereka yang tak punya jam kantor. Aku mencintai pekerjaanku kata mereka. Ya sudahlah cinta itu buta pikirku. 
Jadi lebih baik apa yang dibicarkan agar kau tak merasa canggung? tanya nya padaku.
Jawabku tidak ada yang perlu diubah, lanjutkan saja pembicaraan ini. Biarkanku sendiri yang canggung. Dan aku pun pergi ke toilet untuk mencari alasan atau aku akan ke kasir membayar tagihan nya dulu.
Sepanjang perjalanan dia hanya menatapku. Dan aku tau kira-kira apa yang mau dikatakannya.
Noni kita ini sudah umur 25+, kalau tidak bicara tentang pekerjaan, apalagi. Mana mungkin kita terus bernostalgia tentang masa lalu yang tak akan kembali.
Tapi tebakanku salah. Kau hanya tersenyum dan berkata: kamu tidak banyak berubah ya. Dari pertama kali  aku ketemu kamu di kampus sampai sekarang, kamu adalah kamu.
Kamu mau aku jadi apa tanyaku. Jadi orang-orang yang ada di majalah? Muncul di Billboard? 
Nggak bukan itu jawabnya. Aku mau kamu tetap jadi kamu, yang suka canggung dan tidak pernah berhasil menyembunyikannya. Dengan begitu, aku bisa terus menggodamu.
Astaga. Aku baru sadar, hidup dengan rubah jantan ini. Awas kalau kau yang nanti lari pikirku.
Tiba-tiba dia berkata tanpa diminta. Aku tak akan lari, aku yang akan menangkapmu kalau kau lari. Dan aku pun makin merasa canggung. Inginku berlari saja... 
2 notes · View notes
kmegline · 4 years ago
Text
Bego
Surti anak kampung yang diajak Bibi nya untuk kerja di ibukota. Awalnya Surti menolak karena ia pikir buat apa jauh-jauh pergi ke kota kalau dia sudah memiliki semua yang dia butuhkan di desa.
“Ayo ke Kota sama aku. Di sana hidupmu bisa jauh lebih enak, ga begini-begini aja,” rayu Bi Minah.
“Aku kasihan sama Bapak, Ibu. Nanti mereka sendirian, nggak ada yang ngurus.”
“Uda tenang aja. Nanti kalau Libur Lebaran kan kamu bisa balik jenguk mereka. Sekarang ya bukan zaman bahula, kamu kan bisa videocall-an sama mereka.”
Surti emang anaknya nggak neko-neko. Asal ada tempe dan tahu di piringnya, dia sudah merasa cukup. Asal dia bisa melihat wajah kedua orang tuanya setiap hari, dia juga sudah bisa senyum merekah. 
Namun bukannya tak ingin bekerja di kota. Di dalam hatinya, ada rasa takut, Kecemasan yang sangat banyak.
“Aku ini cuma lulusan SMP, BI. Di kota bisa kerja apa?”
“Uda nggak usah khawatir. Dulu Bibi juga seumur kamu gini ke Kota dan lihat sekarang Bibi sudah bisa beli sawah, mobil...”
“Tapi orang kota kan pinter-pinter Bi. Aku ini bisa apa.”
“Bentar-bentar kamu ini kan anak rajin, juara 1 terus waktu sekolah. Bibi yang langganan ga masuk sekolah aja PD aja ngadepin orang-orang sok pinter itu. Uda pergi ya ikut Bibi. Just Go.”
----
Takut terlihat bego, kurang sempurna seringkali menahan langkah kaki untuk pergi sedikit lebih jauh. Kuharap rasa percaya diri Bi Minah dapat menular ke Surti. Be Go (Just Go)
1 note · View note
kmegline · 4 years ago
Text
Asing
Aku tahu Dio dari SD. Kami duduk bersama di meja dan kursi kayu yang model panjang itu. Dulu dia itu anak yang pendiam dan malu-malu. Kalau ditanyai guru tentang jawaban soal matematika yang ada di papan tulis, dia selalu menjawab tidak tahu atau diam saja. Aku rasa Dio itu pintar sebab dia menulis jawaban pada semua soal yang diberikan namun dia tak mau terlihat begitu. Sederhananya, dia tak mau jadi langganan contekan teman-teman malah kalau bisa dia yang mencontek. Dari semua yang bisa kuingat, hanya itu yang aku tahu tentang dia selama 20 tahun ini. 
Ian, cinta pertamaku saat puber 15 tahun lalu. Dia ketua genk 10. Kenapa 10?  Karena membernya ada yang kurus kayak angka 1, ada yang gemuk kayak 0 (hehe). Bukan, bukan itu. Genk 10 memiliki kemampuan spesial tersediri membuat mereka istimewa seperti angka 10. Ada yang bisa sulap, ada yang jago basket, ada yang rupawan, dan ada yang mencuri hatiku yaitu Ian. Lagi-lagi kusebut namanya. Meski ia nampak tidak neko-neko dibanding teman satu genknya, aku dulu begitu menyukainya meskipun ada yang tak sukai juga dari dirinya. Dia memilih fokus belajar matematika dan mencari pacar kalau sudah SMA. Sayangnya kami tidak satu SMA, dia pindah keluar kota. Sejak itu, aku tak pernah bertemu lagi dengannya dan aku tak pernah tahu apa-apa tentangnya selain warna baju yang sering dikenakannya saat pelajaran ekstrakulikuler.
Saat SMA aku bertekad belajar giat, entah demi apa. Mungkin karena saat itu semua teman mengadopsi gaya itu dan aku tak mau jadi asing dengan menjadi malas. Namun tekadku tergoyahkan oleh kehadirannya. Namanya Jeje. Aku bertemu dia di samping rumah. Dia anak kos-kosan yang merantau seorang diri ke tanah Jawa. Dia sering merengek seperti anak kucing untuk minta diajari matematika. Terus aku bilang: aku juga tidak bisa, kamu tidak lihat nilaiku di bawah standar? Tapi dia selalu punya alasan untuk datang ke rumahku dan aku tak punya alasan untuk menolak kehadirannya. Kami tak banyak berbicara selain tentang mata pelajaran ekonomi dan ilmu sosial lainnya. Seusai lulus, kami sedikit bercakap di hari ulang tahun kami. Kukira pertemanan 10 tahun itu akan berlanjut ke petualangan lain yang lebih seru, tapi tidak. Aku bahkan tak tahu, apa makanan kesukaanya. Mungkin kedekatan kami selama ini sejauh jarak di antaranya. Jarak yang disebabkan oleh perbedaan geografis, tinggi badan, dan pernyataan sepihak yang kubuat. Ya sudahlah, nasib.
Dari rekam jejak itu. Aku kira, aku tak akan pernah sedekat itu dengan siapapun. Tapi 5 tahun yang lalu aku dipisahkan dari orang-orang yang baru kukenal namun kumerasa dekat dengan mereka. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku tapi aku selalu bersyukur bertemu dengan mereka di atas gunung biru dengan rerumputan hijau itu. Mungkin aku terbawa suasana. Angin sepoi-sepoi dan badai kami lalui bersama. Membuat kami banyak mengeluh dan tertawa tanpa alasan. Aku merindukan mereka dan tiap kenangan di dalamnya. Namun kami sedang terpisah dan apa entah yang akan membawa kami kembali karena kami telah memilih jalan masing-masing...dan kini kami menjadi asing (kembali) seperti soal matematika yang jarang kutemukan pemecahannya.
Salam rindu,
Makhluk asing  
“It is not time or opportunity that is to determine intimacy;—it is disposition alone. Seven years would be insufficient to make some people acquainted with each other, and seven days are more than enough for others.” ― Jane Austen, Sense and Sensibility
1 note · View note
kmegline · 5 years ago
Text
Kencan Online (3)
Pada akhirnya Marni sadar kalau sosok Mas Jarot hanya fiktif belaka. Teman kenalannya ternyata juga berkenalan dengan orang yang mirip meski namanya berbeda. Marni sekarang banyak mengumpat dan sedih tiap kali ingat bagaimana perasaannya dipermainkan dan dia memperingatkanku untuk tak lagi bermain Finder.
Celakanya, kali ini aku yang tak mau mendengar ucapannya. Cinta itu buta sebuta-butanya. Bahkan mereka yang tak bisa melihat masih mau percaya kalau di depan mereka ada lubang dan menghindarinya agar tak terjatuh. Tapi aku hanya berkomentar ke Marni kalau aku hanya berkenalan dengan orang yang normal, biasa-biasa saja sama kayak aku. 
“Yem, sudah makan?”
“Sudah Mas. Kalau mas sudah makan?”
“Belum Yem. Lagi hemat.”
“Hemat boleh mas, sakit jangan.”
“Mas, kangen sama kamu Yem.”
“Iya Iyem tahu Mas. Tapi yang penting sekarang Mas makan dulu ya. Kalau nanti sakit gimana?”
“Kalau sakit kan ada kamu yang jagain Mas, Yem...”
Dalam hatiku nih orang kok gombal banget tapi aku senang juga sih. Hatiku tak lagi sepi. Ada orang yang menanyai kabarku, ada orang yang ingin ku tahu kabarnya. Mengetahui ini sedikit menenangkan hatiku yang sering kacau gegara di tanyai ibu di Kampung kapan aku punya calon suami. Katanya kalau aku tak segera menentukan pilihan, lebih baik aku balik ke desa saja dan dijodohkan pejabat atau keluarga jauh yang hidupnya sudah enak.
Kadang aku bertanya-tanya kenapa aku harus segera menikah. Aku memang bukan wanita yang mengejar karir. Tapi aku juga ingin menikmati masa mudaku sebelum direnggut oleh kesibukan mengasuh anak yang masih rapuh dan suami yang minta dilayani. 
Aku dan Mas Hendra kian dekat tiap hari. Kami berdua membicarakan hal-hal sederhana dari kehidupan kami yang biasa-biasa saja. Sampai suatu kali ada sesuatu yang aneh.
“Yem maaf ya. Mas barusan kenak PHK. Mungkin Mas ga jadi ajak kamu keluar main dulu.”
“Beneran Mas? Sudah jangan sedih, tenang pasti ada yang lebih baik Mas.”
“Iya Mas tahu. Kamu tetap sayang sama Mas kan Yem? Yem tahu kan, Mas ini sayang banget sama kamu Yem.”
“Iya Iyem tahu Mas,” meski dalam hati aku sudah berjaga-jaga kalimat apa yang akan muncul berikutnya...
“Boleh nggak kalau Mas pinjem duit dulu. Minggu depan Mas balikin ya...”
Sesungguhnya aku iba padanya dan ingin bertanya lebih jauh. Tapi entah kenapa mataku mulai terbuka bahwa hubungan ini tidak nyata. Dan pembicaraan tentang material ini tiba-tiba terjadi dan membuatku tak nyaman.
Aku tak ingin melanjutkannya. Meski pembicaraan kami manis dan aku membawanya dalam mimpi dan doaku. Namun itulah akhir pembicaraanku dengan nya...Selamat tinggal Mas Hendra. Bye Finder 
(uninstall-->reason?--i have found my soulmate-->myself)
0 notes
kmegline · 5 years ago
Text
Kental dan Pahit
Apa yang membuat manusia kehilangan waktu?
Waktu tak dapat dibeli, tak dapat ditukar.
Ia tak pernah berjalan mundur dan maju ke masa yang belum terlihat meski ujungnya hampir bisa ditebak.
Orang bilang jangan malas agar waktumu tak terbuang sia-sia.
Bahkan saat malas pun, manusia mengeluarkan energi untuk bernafas dan waktu masih bersamanya.
Jatuh cinta terlihat jelas buang-buang waktu.
Kau menatapnya selama 10 detik dan menyimpannya dalam hati untuk 10 tahun lamanya.
Tapi melawati peristiwa itu kau merasa hidupmu berharga dengan kenangan manis di dalamnya, meski tak bisa memungkiri cerita pahit yang terkenang.
Belajarlah yang rajin dan bekerja keraslah agar kau bisa sukses, begitulah lagu berkumandang.
Pergi berpisah mencari rejeki, menjadi terlalu giat mengorbankan banyak waktu dengan orang-orang terdekat yang menyayangimu apa adanya.
Namun dari usahamu, kau bisa menciptakan momen berharga sesekali waktu untuk membuat mereka tersenyum.
Ketakutan, keraguan menelan lebih banyak waktumu dalam kegelapan.
Tak berbatas dan berulang, menahanmu diam di tempat dan tenggelam.
Membayangkannya saja membuat ku hampir menyerah setiap waktu
Pergilah, jangan kau usik hidupku (lagi)
Jangan takut, sbab Ku-besertamu (Yesaya 41:10)
1 note · View note
kmegline · 5 years ago
Text
Kencan Online (2)
Pagi hari ku yang tenang terusik dengan tangisan Marni. Dia berteriak kesana-kemari seperti anak ayam kehilangan induknya. Aku bertanya apa yang sedang terjadi padanya. Dia cuma bilang: “Mas Jarot ninggalin aku. Aku salah apa toh Yem?”
Mas Jarot, pacar baru Marni yang ngaku anak pejabat. Meski belum pernah kelihatan ujung hidungnya, sudah berani ngasih janji ke Marni buat tinggal bareng sama dia di istana mewahnya. Dia kirim foto-foto nunjukin isi rumahnya bagaimana. Ada kolam renang, kolam ikan, kolam bebek. Terus aku tanya Marni tapi kok ga ada kamar mandinya. Mas Jarot bilang lagi direnovasi biar makin bagus.
Marni sudah gembar-gembor sana sini kalau bakal segera dilamar Mas Jarot dan diajak nikah. Marni pun sempat cerita sama Bu Bos, istri Pak Bos kalau dia ga dibolehin kerja lagi kalau udah nikah nanti. Bu Bos heran dari mana si Marni kenal Mas Jarot. Terus aku bilang kalau lewat Finder. Bu Bos yang sama gapteknya kayak aku langsung tanya Finder itu apa.
“Ini loh Bu Finder. Kita berdua cari jodoh lewat sini. Ini aplikasi pintar Bu. Kok ya tau kita sukanya kayak gimana.”
“Mana coba Ibu lihat.”
(Marni menunjukkan foto para pria tampan di Finder)
“Wah Yem ya enak ya kalau begini bisa lihat dulu, pilih-pilih. Pantesan anak muda sekarang itu kok ya banyak maunya, ganti-ganti pacar terus. Kalau tiap hari dikasih lihat begini kapan seriusnya ya. Zaman Ibu pacaran sama Bapak ga ada beginian. Yang ada diminta ketemu langsung terus nentuin tanggal nikah.”
“Kalau Bapak kan orang punya jadi gak masalah Bu kalau mau cepat-cepat.”
“Tapi soal Cinta itu kan masalah hati toh Yem. Ibu itu ya awalnya gimana ya. Pokoknya biar bapak, ibunya Ibu itu seneng gitu aja. Katanya uda malu punya anak umur 27 tapi ga nikah-nikah. Padahal Ibu itu ya lagi suka kerja waktu itu, baru pertama kali pacaran sama anak kantor tapi diminta putus. Pilih yang lebih mapan aja kata Ibu biar hidupmu ga susah.”
“Tapi kata ibunya Ibu bener kan, Bu? Sekarang hidup Ibu ga susah, lah disuruh belanja terus tiap hari sama Bapak.”
“Susah sih ga Yem. Toh berkat apapun disyukuri aja. Tapi ya gitu lah Yem. Katanya tresna jalaran saka kulina (cinta tumbuh dari kebiasaan). Mungkin ini sudah garis takdirnya Ibu. Tapi kalau kamu bisa milih, milih yang bagus ya, orang baik-baik kayak Bapak. Ga harus sugih yang penting tanggung jawab, mau kerja, dan yang penting...sayang sama kamu ya, Nduk. Makanya Ibu itu khawatir kalau Marni itu cuma dikibuli aja. Mana ada janji kok cuma diketik di HP, kalau berani datang ke sini itu calon Marni. Bapak itu ya kenal banyak pejabat, bisa dicek dulu.”
“Makasih ya Bu. Saya kerja sini cuma jadi pembantu, ngelap, cuci piring, tapi kalau ngobrol sama Ibu itu berasa adem kayak ngobrol sama Ibu saya di kampung. Soal Marni saya ini ya khawatir, Bu. Pagi tadi uda nangis-nangis ga jelas kayak orang kehilangan emas.”
“Udah kamu tenang aja. Selama kalian disini sudah Ibu anggap kayak anak sendiri. Panggil Marni ke sini, biar Ibu yang urus...”
(bersambung)
0 notes
kmegline · 5 years ago
Text
Kencan Online (1)
Aku cukup kesepian akhir-akhir ini. Kawanku Marni, satu-satunya kawanku disini punya pacar baru (lagi). Kali ini bukan satpam atau supir si Bos kami lagi yang jadi pacarnya tapi anak pejabat di suatu daerah yang akupun tak tahu dimana itu.
Marni bilang kalau dia ketemu pacarnya yang sekarang lewat bertukar gambar online. Apa semudah itu pikirku? Mas Yanto, satpam komplek yang kujumpai tiap hari saja tak kunjung luluh dengan tatapanku. Tapi Marni, dia dan pacarnya hanya bertukar gambar? Ini tak adil pikirku. Kalau cuma begitu saja aku mah bisa sahutku. Dia menyuruhku donlot aplikasi Finder. “Nanti Finder yang cari jodoh buat kamu. Kamu nanti juga bisa milih sendiri,” kata Marni dengan ucapannya yang sok yes itu. 
Aku pikir Marni ini cukup gila, apa dia salah satu penduduk di zaman Robot berkuasa di muka bumi sehingga untuk masalah jodoh saja manusia mengandalkan mesin. Bukan dengan menggunakan tatapan muka langsung atau menilai secara lebih dekat kesehariannya, tutur kata, dan tingkah lakunya.
Sontak Marni menegurku: “Kamu ini kok primitif sekali Yem. Sekarang ini semua serba enak, kamu mau yang mana tinggal pilih kayak makan ikan di warteg itu loh kan ya pilih-pilih. Kalau kamu ga suka, ya jangan diambil.”
Kesukaanku memang makanan Warteg: tahu, tempe dan sayur bayam kalau habis gajian ya tambah brengkesan pindang. Mana makanan yang lebih enak dari itu pikirku. Tapi aku tak terima kalah lagi dari Marni soal pria. Kali ini aku mau menentukan nasibku juga kataku menyanggupi saran Marni untuk donlot Finder.
Diajari Marni yang sebenarnya juga gaptek kayak aku, aku mulai memahami cara main Finder. Geser ke kiri, geser ke kanan seperti lagu potong bebek angsa. Banyak wajah rupawan kujumpai di aplikasi Finder. Ada yang matanya belok, ada yang sipit, ada yang manis kayak teh, dan ada yang putih kayak tembok.
“Aku kok ga suka semua ya Mar?”
“Kamu ini rewel kok Yem. Ada pilihan banyak gini kok masih bingung aja kamu? Kamu itu maunya yang kayak apa?”
“Aku maunya simple, Mar. Pilihan banyak juga belum tentu ada yang milih aku?”
“Kamu ini pesimis dikit donk!”
“Optimis tah maksudmu? Aku ini cuma pembantu Mar. Kamu juga. Bisa punya  pilihan apa kita?”
“Uda diem dulu. Ini loh ada yang geser kanan kamu.”
“Artinya apa Mar?” 
“Ya kamu bisa ngobrol sama Masnya...Atau mau aku bantu ngomong dulu?”
“Ya uda aku juga ga paham, kamu dulu aja...,” kataku sambil mengintip pembicaraan Marni di kolom chat FInder.
(bersambung...) 
3 notes · View notes
kmegline · 5 years ago
Quote
What is belong to you, will get back to you, one day.
kmegline
1 note · View note
kmegline · 8 years ago
Text
Tanpa Kabar (2)
Masa SMA ku berlalu dengan cukup bahagia. Meski tak masuk kelas IPA seperti harapan banyak orang, aku belajar dengan baik di kelas IPS. Bersyukur lagi ku memperoleh beberapa teman yang sampai saat ini masih sering chatting-an atau ketemuan.
Soal cinta zaman SMA? Jangan kau bahas itu. Aku sering berdiam dalam sarang. Tak berani keluar, tak berani terbang. Tapi bukan berarti tak ada yang kusuka. Pokoknya ada. Ya tapi setiap suka yang tersampaikan jadinya hanya sebuah doa dalam hati dan senyuman diam-diam tanpa diketahuinya.
Ngomong-ngomong gimana kabar Rani dan Rama sehabis lulus? Apa mereka tetap bersama? Dan....sayangnya iya. Mereka memutuskan kuliah di satu institusi di kota kembang. Satunya teknik sipil, satunya dokter. Kupikir cerah sekali masa depan mereka berdua. Kebetulan aku juga diterima di kampus yang sama dengan mereka.
Hayoo tebak aku ambil jurusan apa? Bahasa. Oke Bahasa... Aku cuma merasa ku tak pandai berbicara dan jarang yang ambil jurusan bahasa. Tapi setelah aku lulus ini aku rasa aku tahu kenapa jarang yang ambil jurusan bahasa...ya mungkin.
Kembali ke topik. Selama kuliah Rama dan Rani masih sering terlihat bersama. Karena sama-sama sibuk, jadinya mereka ambil kepanitiaan di acara yang sama, biar masih sering bertemu. Ya maklumlah sekarang mahasiswa dituntut untuk menuhin poin keaktifan mereka. Kalau ga gitu, ga bisa lulus, ga punya pengalaman kerja (katanya). Tapi kalau aku jadi mereka sih...mana bisa nyantai ikut acara kampus? Banyak tugas di fakultas mereka>< yang ga bisa selesai dengan sistem kebut subuh... (anak bahasa kayak aku mah ya masih bisa diusahakan, malah kebiasaan gitu kayaknya, hehe). Tapi buat mereka beratnya dunia terasa tak berarti ketika bersama, setidaknya kelihatannya begitu...
Tapi suatu hari di kantin kampus, aku ga sengaja liat mereka makan berdua dan suntuk banget. Malah yang Rani matanya dah bengkak kayak abis ditinju gitu, aku sempat mau labrak tuh Rama beraninya mukul cewe. Eh belum aku labrak sih Rani dah teriak duluan ”Kita putus!" Terus aku mikir bukannya mereka kemarin masih baik-baik saja berdua? Tak lama kemudian si Rama nyaut: "Oke, fine kalau itu mau mu..."
What se simple itu??? Mereka uda 4 tahun pacaran, mannn....
Tapi benar kata orang, kita cuma lihat hidup yang lain manisnya aja, pahitnya mana kita pernah tahu...
Usut punya usut ternyata...
(bersambung)
1 note · View note
kmegline · 8 years ago
Text
Tanpa Kabar (1)
Ini pengamatan ku kenapa akhirnya mereka berpisah. Mereka terlihat baik-baik saja, saling menyemangati satu sama lain dan sering jalan bersama. Tak ada tanda-tanda bahwa mereka memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing.
Mereka bertemu di Bulan Mei 2010. Di saat hujan baru saja berhenti dan digantikan oleh teriknya mentari. Awalnya mereka tak mau dipertemukan alias dicomblangin karena tak ingin saja. Namun takdir berkata lain, mereka bertemu di warung bawah pohon mangga milik Kang Mamang. Makan bakso berdua sedangkan yang lain pura-pura dipanggil guru kembali ke sekolah, termasuk aku. Aku meninggalkan mereka berdua makan bakso berdua SAJA. Meski tak rela melihatnya berduaan dengan Rani (nama cewe itu), tapi kurasa mereka akan bahagia bersama. Ya setidaknya begitu kata yang lain.
Di sekolah, sewaktu pelajaran fisika yang tak ku suka, saat itu aku melamun. Melamunnya makan bakso dengan Rani hmm ga pingin baper sih tpi laper iya. Bakso Kang Mamang emang yang terbaik, isi telur puyuh dan hati ayam.
Dia itu Rama. Sesuai namanya, dia ramah ke semua orang termasuk aku. Gimana aku ga ke -gr an coba diramahin gitu. Tapi apa boleh buat Rama nampaknya suka yang berambut panjang lurus, muka lonjong, hidung mancung seperti Rani. Ya aku sih ga asal ambil kesimpulan tapi semenjak kejadian makan bakso itu, Rama cuma ramah ke Rani aja. Rani mau ke mana aja dianterin pake motor ninja nya. Rani ga ngerti pelajaran Fisika juga dijelasin sampe ngerti. Aku cuma bisa berharap dalam hati, pleasee aku juga ga paham bisa ajarin aku juga ga Bangg?
Tapi aku kasihan juga kadang liat dia, zamannya aplikasi gojek belum ada. Dia sudah jadi abang gojek setia Rani. Bahkan Rani ga perlu kasih bintang 5 untuk dijemput tiap hari ke sekolah, les-les an sampe arisan. Rama nampaknya cuma butuh ucapan selamat tidur dan senyum manis dari Rani dan seakan itu cukup.
Tapi cinta selalu menuntut lebih kurasa, ....
(bersambung)
1 note · View note
kmegline · 8 years ago
Text
Bentuk
Bermula dari cerita seorang teman yang menyukai buah pisang. Tapi ia tak suka kue pisang, keripik pisang, dan bentuk turunan dari buah pisang lainnya. Saat itu yang terlintas dalam pikiranku:"Nih anak aneh banget. Bukannya cuma bentuknya aja yang beda, rasanya kan sama. Rasa pisang."
Namun suatu hari aku tersadar. Aku suka buah kelapa muda. Tapi ga begitu suka kalau uda jadi kue kelapa atau kelapa parut. Hahaha. Ternyata aku juga aneh. Padahal cuma bentuknya saja yang berbeda.
Ku rasa tiap orang suka hujan di Bulan Desember. Hujan bagai salju turun membasahi bumi, menyejukkan yang merasa panas, mempertemukan yang terasa asing, mengumpulkan yang jauh di bawah pohon natal.
Namun, di lain sisi orang tak suka hujan jika jadi banjir. Bentuknya sama...air, turun dari atas ke bawah tapi...ia merepotkan, merusak dan menyiksa. Banjir menggenangi jalan, menghambat perjalanan untuk saling berjumpa, dan membuat kita merasa sesak karena lebih banyak hal yang harus dikerjakan.
Apakah, banjir, salah yang beri hujan? Atau salah yang menerima hujan? Jika menjauh dari kata salah dan benar. Bila kita melihat lebih jauh. Kadang hujan memang bisa sedikit, kadang bisa lebih banyak dari biasanya. Kadang angin juga mengumpulkan lebih banyak awan membuat hujan deras.
Mencoba mengorek sebagian pelajaran geologi yang kurang lebih paling kuingat...proses hujan. Semua berawal saat air di atas muka bumi menguap karena adanya cahaya matahari. Lalu terjadilah penguapan kemudian kondensasi atau penggumpalan awan dan bagai bom waktu, tinggal tunggu waktunya saja ia turun ke atas bumi. Dan kejadian di atas berputar kembali.
Mungkin pelindung bumi makin tipis karena aktivitas manusia di bumi makin padat, dan makin tidak bersahabat dengan natur bumi. Kini terik cahaya matahari jadi kian ekstrem sehingga mempercepat penguapan dan menjadi awan hujan yang begitu banyak sehingga menaikkan volume hujan dan jadilah banjir.
Kemungkinan lain, karena bumi tak lagi mampu menampung air sebegitu banyak. Lahan kosong sudah banyak ditanami bangunan dan bukan pohon. Kolam penampungan disesaki sampah dan bukan air. Banjir pun tak terelakan.
Melompat ke bentuk lainnya. Manusia juga suka berkat tapi hanya dalam bentuk yang nyata, indah dan menyenangkan seperti mobil atau rumah.
Siapa sangka kadang berkat nampak seperti kutuk dan tak berwujud namun bisa membawamu jadi orang dengan bentuk lebih baik. Ketika sahabat sendiri membocorkan rahasia pribadimu, kamu belajar memaafkan. Ketika orang terkasih tak kunjung datang, kamu belajar sabar. Ketika yang kau inginkan sulit tercapai, kamu belajar untuk tak pernah berhenti berjuang.
Sekarang sudah 2018. Bentuk-bentuk dalam kehidupan makin bervariasi. Dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dari yang wajar sampai tidak wajar. Dari yang bisa diterima sampai yang memuakan.
Bicara soal bentuk memang tak ada habisnya sama seperti bentuk kasih Gusti untuk umat manusia. Meski terkadang bentuk nya berbeda-beda, semoga kita tetap bisa merasakan kebaikanNya.
1 note · View note
kmegline · 8 years ago
Text
Rasa
Diam di sini menikmati seporsi nasi putih. Kukunyah perlahan dan kutelan bersama lauk tempe dan... kecap.
Ku pernah menyangka nasi tak punya rasa hanya punya tekstur dan wangi, kadang. Ternyata ia punya glukosa. Jadi dia harusnya manis donk, pikirku.
Hari lain, aku masih makan nasi. Kukunyah lebih perlahan dan kali ini tanpa kehadiran tempe dan... kecap. Ternyata benar ia manis meski putih, lembut dan tak diberi apa2 selain air panas untuk membuatnya matang.
Aku rasa rasa hidup juga begitu. Tak ada yang benar-benar hambar. Tak ada yang benar-benar menyedihkan. Begitu juga dengan rasa-rasa yang dianggap baik. Tak ada yang benar-benar bahagia. Tak ada yang benar-benar puas.
Aku harus berdoa sebelum makan begitu aku dididik dari kecil. Sama seperti mereka mendidikku untuk menghargai tiap butir nasi. Berdoa bukan mengucapkan mantra agar nasi putih menjadi nasi goreng. Tapi mengucap syukur bahwa kita masih bisa makan nasi yang biasa, namun punya rasa.
Hidup juga sering gitu atau emang begitu. Semakin kita mengeluh hari kita biasa-biasa saja. Semakin kita cari sensasi untuk menambah rasa semakin hidup tak ada rasa. Adanya kelelahan dan kesia-siaan. Namun saat kita tak lupa bilang terima kasih padaNya, Sang Pemberi Hidup, Ia malah menambah rasa dalam hidup yang tak bisa kita buat sendiri. Itu bisa asam, pahit, manis atau campuran keseluruhannya.
Jadi di penghujung tahun ini aku berterima kasih untuk masih bisa merasakan rasa dan menuliskannya...
Meski akhir-akhir ini hidup terlihat biasa saja seperti nasi putih. Namun masih memiliki rasa di dalamnya...
Selamat menjelang tahun baru!
0 notes
kmegline · 8 years ago
Text
I think there must no obligation to have reasons for something. It is just a matter of preference.
I can eat both chocolate and vanilla ice cream. But most of the times, I prefer chocolate to vanilla. Why? I don't know why.
Me
1 note · View note
kmegline · 8 years ago
Text
In My Mom's Prayer
Thirty years ago, my mom was at the age of mine. She had many desires to pursue. She had a mother and two brothers to work for.
Then, she met my father. Maybe she didn't know why it was a must to be married soon. She had to let her personal dreams go away and start to think the new life with my father.
She gave birth to me. She wholeheartedly loves me and endeavors to give me the best thing she has, her prayer.
She hopes me to make friends. She hopes me to go to school well and get a good job. She hopes me to be healthy and happy. She hopes me to know who my God is and why I live for. She hopes me married with a good man.
My mom's prayers shadow my ways. In my mom's prayer, my name is called.
2 notes · View notes
kmegline · 8 years ago
Quote
You can’t get stuck on what should have happened. That doesn’t help you.
Mitch Albom, Tuesdays with Morrie (via wordsnquotes)
4K notes · View notes