Text
#6 Bosan.
[LANGIT]
Kalau boleh memilih, gue lebih suka tempat pelarian Bian daripada kafenya yang sedang dipenuhi orang-orang. Gue hanya akan berdiam di meja tempat anak-anak Uptown yang dipenuhi obrolan tentang cat dan event gambar. Madam biasanya akan menghampiri kami, menawarkan makanan tambahan atau minuman sambil membawa nampan kue. Bian juga akan muncul setelah selesai menyalami satu persatu tamu yang datang.
“Heeey” Suaranya yang khas akan menyapa meja kami dan 10 orang penghuni meja akan menyambutnya dengan senang.
“Sibuk banget sih lo, Bi” ujar Ali.
“Biasa lah, ini pipi sampe pegel harus cipika cipiki sana sini” Bian duduk di kursi kosong disamping. Ia melirik gue sambil tersenyum lebar.
“Dateng juga kamu, Sky”
Gue cuma membalasnya dengan tersenyum.
“Gue perlu maksa dia berkali-kali nih biar datang” timpal Tiara.
“Ngomong-ngomong, ada yang habis dapet panggilan gambar nih.”
“Gimana-gimana li, ceritain dong!”
Gue berniat mendengarkan Ali, tapi Bian tiba-tiba menyenggol lengan kiri gue. Ia memberi isyarat untuk sedikit mendekat.
“Pergi yuk” ujarnya setengah berbisik.
“Kemana?”
“Yang jelas bukan tempat rame kayak gini” Ia melihat ke sekitarnya seolah tidak ingin ada orang lain yang mendengarkan. Jadi kami berdua pergi tanpa sepengetahuan sembilan orang lainnya. Menyelinap diantara keramaian.
Kami tiba di sebuah tebing pukul 8 malam. Jaraknya cukup jauh dari rumah Bian dan kami memang tidak terburu-buru mengayuh sepeda. Bian tidak bicara apa-apa sejak tiba di atas. Dia cuma menghadap ke tebing sambil menyandarkan tubuhnya pada penyangga besi.
“Bosan” katanya sambil membalikkan badan. Gue tidak mengerti dan tidak akan memaksanya untuk memberikan penjelasan.
“Bisa bosan juga ternyata” Cuma itu yang gue katakan.
“Aku juga alien seperti kamu, Sky. Bisa bosan.” Ujarnya.
“Kamu pernah bosan sama sesuatu nggak sih?”
Gue diam sebentar untuk mengingat-ingat, lalu mengangguk.
“Bosan makan churros”
Dia tertawa.
“No…No…No… I mean, something bigger than your favorite churros.”
Gue berpikir lagi. Hal yang gue suka selain churros adalah sepeda dan gambar, tapi gue gak pernah bosan main sepeda, apalagi menggambar.
“Bosen diomelin nyokap” kata gue. Bian penasaran, gue bisa melihat matanya bersinar tiap kali ingin tahu sesuatu yang baru dan menarik buat dia. Tapi gue tidak pernah mempertimbangkan bahwa informasi seperti ini bisa menarik untuk perempuan seperti Bian.
“Karena gak pernah cuci sepeda, dan akhirnya sore-sore gue cuci sepedanya”
Bian mengangguk sambil sedikit tertawa. Gue tersenyum.
“Kalau gue bosan sama pesta dan segala kepalsuan yang ada di sana, gue juga bakalan pergi jauh dari sana”
“Excuse me, palsu?” dia menginterupsi.
“Ya menurut gue kesenangan dari pesta itu terlalu palsu untuk dijadikan alasan buat bahagia. Orang orang di pesta bisa bahagia karena membangun interaksi dengan segala aspek yang ada di sana, musik, orang-orang, lantai dansa. Kalau gue, mungkin lebih suka membangun interaksi dengan kuas, kanvas atau sepeda”
“Jadi, semua yang berlawanan dengan ideologi seorang Langit itu palsu, ya?” Dia sedikit tertawa. Gue menggeleng.
“Bukan seperti itu, Bi.”
“Sesenang-senangnya orang di pesta, waktu dia pulang ke rumah dan kembali ke rutinitasnya, bahagianya gak bisa berbekas lama.” Kata gue lagi.
“Maksud gue, bukan masalah bahagia yang semu, tapi gimana rasa senang bisa jadi pengaruh baik di momen-momen selanjutnya yang gak selalu bahagia”
Bian mengangguk. Matanya mengerjap-ngerjap. Mungkin ia memikirkan sesuatu.
“Kamu bahagia kalau ngapain?” gue bertanya. Bian mengerjap lagi. Beberapa detik kemudian ia mengangkat bahu.
“Terlalu mudah untuk membuat seorang Briana jadi bahagia”
“Pesta?”
Ia tertawa lagi. Memang benar, membuatnya tertawa sangatlah mudah.
“Tidak lagi”
“Kenapa?”
“Setiap orang punya rahasia, Sky”
“Lantas?”
Ia mendekat. Tapi tidak terlalu dekat. Jarak diantara kami hanya sejengkal, dan ia tetap tidak memalingkan pandangannya.
“Aku sedang ingin berbagi rahasia”
Tepat di saat ia berbisik, gue melihat bintang jatuh.
0 notes
Text
#5 Bosan.
[RIMA]
“Nice corsage!”
Itu yang kukatakan akhirnya setelah mencoba memecah sepuluh menit keheningan yang cukup membuatku sesak. Wanita itu melirik corsage di pergelangan tangannya sebentar sebelum mengucapkan terimakasih. Aku sempat memperhatikan penampilan wanita ini, dress yang ia kenakan, bootsnya, rambutnya sampai pulasan make-up tipis yang membuatnya terlihat menawan. Indah sekali rasanya membayangkan bagaimana Rigel jatuh cinta dengan wanita ini.
“Banyak yang berubah ya” aku bergumam, nyaris kepada diri sendiri. Mataku menjelajah pemandangan kota yang semakin warna-warni melalui kaca mobil. Sepertinya perizinan soal mural sudah menjadi pegangan seniman kota.
“Sudah berapa lama tante tidak berkunjung?” Mareta ternyata mendengarnya.
Aku diam, menghitung. Terakhir kali aku kemari, ketika Briana menolak untuk menemuiku dengan sopan. Ia masih memakai seragam SD waktu itu. Seragamnya acak-acakan, mungkin ia baru saja bersepeda. Dan ketika melihatku di ruang tamu, ia bilang kalau ia capek dan aku tidak perlu bertemu dengannya lagi karena menurutnya aku adalah ibu yang terlalu sibuk dan ia sudah terlalu menyusahkanku, sehingga aku tidak perlu menganggapnya beban lagi karena ia sudah muak bersedih karena sikapku. Ia bahkan berhenti bicara denganku lagi sebagai seorang anak. Pernah sekali ia mengangkat telepon rumah dan langsung memintaku untuk menunggunya memanggilkan Nany karena katanya ia merasa tidak punya kepentingan untuk berbicara. Ia menganggapku sebagai orang asing dan itu sangat memprihatinkan.
Aku ragu kalau Mareta tidak mengetahui persoalan ini, ia mungkin memandangku sebagai ibu yang paling menyedihkan yang pernah ada.
“7 tahun” jawabku.
Mareta tidak berkomentar lagi karena kita berdua sudah tiba di halaman rumah.
Rumahku.
Rigel menelponku dua hari yang lalu. Ia meminta pendapatku soal rencananya merintis sebuah bisnis, dan aku sangat terkesan. Satu hari setelahnya ibuku memintaku untuk datang karena ulangtahun Bian, tapi aku menolak untuk datang karenanya. Bian tidak akan suka itu. Meskipun aku merindukan rumah dan segala isinya, aku tidak berani mengganggu hidup Bian lagi. Aku ingin jadi bagian dari hidupnya lagi, bukan seperti pelajaran matematika yang selalu ia hindari.
Kedua mataku sibuk mencari anak perempuan disaat ibuku datang menghampiri. Aku baru saja selesai menyalami teman-teman ibuku dan menanggapi segudang pertanyaan basa-basi yang melelahkan sambil mencoba menemukan Bian diantara banyak orang.
“Jadi bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik-baik saja, aku akan kembali ke Melbourne dua atau tiga hari lagi” jawabku. Masih tetap mencari.
“She’s not here” kata Ibuku.
“Tadi dia pergi diam-diam sama Langit, mungkin naik sepeda”
Aku tersenyum sambil merangkulnya. Banyak hal yang sudah berubah disini. Ibuku bahkan sudah tahu kebiasaan Bian yang suka kabur.
Malam ini ia tidak akan memberikan kejutan untuk Bian. Ia hanya membuat kue yang sudah di tata di satu meja lengkap dengan lilinnya. Tidak ada momen tertentu untuk menyelinap ke dalam rumah untuk mengambil kue dari kulkas. Bian sudah cukup dewasa dan tidak perlu merasa bahagia karena sesuatu yang dibuat-buat.
0 notes
Text
#4 Bosan.
[MARETA]
Kata Rigel, akan banyak teman-teman Madam dan Tuan Aslan yang datang. Jadi, literally ini bukanlah acara keluarga. Ada teman-teman dari kampus juga, teman-teman Bian, dan beberapa tetangga. Keluargaku bukan penggemar obrolan panjang dan basa-basi klasik yang dilontarkan orang-orang sekelas sosial Madam, jadi orangtuaku sudah pasti tidak akan datang.
“Aku harus pakai baju apa?” Tanyaku sambil membuka lemari.
“Apa saja” kata Rigel dari ujung telepon. Mataku menyapu seisi lemari mencoba menemukan pakaian yang cocok.
“Yakin gak pake dress code? Aku gak mau salah kostum ya”
“Tunggu dulu, aku ingat-ingat..”
Ia diam, mungkin benar-benar mengingat baju seperti apa yang biasa orang-orang pakai saat pestanya.
“Kayaknya semi formal. Anyway, aku lihat dress yang kamu unggah di tumblr, pakai itu aja”
Mataku beralih ke mannequin setengah badan tanpa kepala di sudut kamar yang berbalut a-line dress putih selutut dengan ornamen bunga-bunga kecil seperti salju di bagian bawahnya.
“Are you sure?” Aku ragu, menurutku itu terlalu formal untuk sebuah acara keluarga dan kerabat, tapi Rigel kembali mengingatkan kalau Nany dan Dady memang berasal dari lingkungan sosial yang menomersatukan penampilan. Aku pun setuju untuk memakainya.
“I’ll be there at 6”
“Gak mau dijemput?”
“Kamu di sana aja sama Bian, nanti ketahuan lagi”
“Iya sih” Rigel pasti garuk-garuk kepala. Aku menutup telponnya lalu bergegas bersiap.
Aku biasanya tidak suka pesta atau tempat apapun yang berisik dan banyak orang asing. Tapi mungkin bertemu keluarga dan teman-teman Rigel bisa membuat ia senang. Sambil berjalan aku mengepang rambut dan memakai baret putih untuk menutupi kepala, kemudian menyambar jaket dari punggung kursi lalu melesat ke luar rumah.
“Mau kemana?” sebuah suara menghentikan langkahku. Aku menoleh.
“Rigel, Pa” jawabku singkat. Menghindari pertanyaan macam-macam aku langsung menuju ke tempat parkir mobil.
“Tumben” katanya sambil berdiri di depan pintu.
“Boleh, kan?” tanyaku sebelum masuk ke mobil.
“Hati-hati” katanya.
Aku mengangguk dan langsung masuk ke mobil. Keluar dari halaman rumah dan melaju ke jalan. Dari spion aku melihat laki-laki itu masih belum beranjak dari depan pintu. Mengawasiku sampai tiba di pertigaan jalan keluar blok. Biasanya dia tidak pernah mau tau apa urusanku setelah bertahun-tahun lalu ia terlalu sibuk dengan ibuku dan perusahaan tekstilnya. Menurutnya aku sudah cukup besar untuk dibiarkan sendiri, dan cukup pintar untuk mendapat IPK sempurna.
Keduanya tidak benar. Aku harus mati-matian untuk membuat mereka merasa bangga dengan IPK-ku dan seringkali aku merasa lebih butuh Rigel daripada Papa dan Mama. Hal itu tidak pantas, memang. Tapi aku punya alasan.
0 notes
Text
#3 Bosan.
[MADAM]
Setelah membuat teh dan memanggangkan sandwich untuknya, ia baru bisa diajak bicara serius. Mungkin benar apa kata anak-anak, semakin tua manusia akan semakin merepotkan. Aku mulai membayangkan seperti apa obrolan kita empat puluh lima tahun lalu. Soal kelab jazz di Paris, destinasi liburan di Asia, atau resep-resep makanan enak Thailand. Aslan jadi semakin sulit diajak bicara, apalagi untuk mengingat banyak kenangan. Biasanya aku selalu menyisakan croissant keju kesukaannya dan mengajaknya untuk duduk santai di balkon, tapi seringkali ia lebih memilih membaca di ruangannya, atau pergi memancing sendirian. Katanya, ia sedang ingin sendirian, dan aku tidak pernah memaksa ikut. Duduk berdua seperti ini, rasanya menjadi momen yang tidak ingin segera kutinggalkan untuk memeriksa pelanggan, atau memberi makan Si Manis. Aku ingin punya satu atau dua jam seperti ini dalam satu hari. Bersama Aslan, empat puluh lima tahun yang lalu.
“Begini, honey.” Sambil melipat koran, ia membenahi posisi duduknya.
“Aku tidak yakin kalau Bian akan suka dengan rencanamu” katanya.
“That’s the point. Itu tujuan dari sebuah kejutan, sayang. Dia tidak akan tahu sampai tengah malam nanti” aku menyela. Dia tampak jengkel.
“Kamu gak paham juga ya”
Ia menyesap tehnya sambil memejamkan mata.
“Bian sudah tidak mau terima telpon dari Ibunya, membalas pesan, atau bahkan waktu kita membicrakan tentang Ibunya saja ia tidak pernah mau dengar” katanya lagi.
Aku mengangguk pelan. Memang benar, Bian tidak pernah suka apapun tentang anakku. Ia sudah terlalu lama dibuat kecewa. Jauh melebihi rasa kecewaku padanya.
“Menurutmu apa yang akan dia lakukan setelah melihat ibunya?” Aslan menatap kedua mataku. Seolah bisa menemukan jawabannya di sana.
“Lari, menangis, berteriak?” katanya lagi tanpa menunggu aku menjawab.
“Meskipun ia selalu bisa bersikap tenang, tapi kamu tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya, kan?”
Persis sepertimu, kan?
“Tempramen anak kita dengan Bian itu sama. Mudah meledak. Kalau ia meledak disaat tidak ada siapapun yang bisa membuatnya tenang, apa itu akan membuatnya senang?” Aku tidak bicara lagi. Berpikir. Menemukan argument yang tepat untuk membuatnya setuju. Atau aku harus tetap menelpon Rima tanpa sepengetahuannya?
Aslan menghela nafas panjang. Seolah bisa mengetahui apa niatku selanjutnya kalau ia tetap bersikeras tidak setuju.
“Kamu ingat? Malam-malam ketika ia mengangkat telpon dari ibunya?” aku mengangguk.
“Dia memanggilku.”
“Setelah itu Bian menangis di atap rumah. Sepertinya Rigel juga ada di sana, mereka berbicara banyak sampai akhirnya Bian tidak menangis lagi.” Aslan menyesap sisa tehnya, lalu perlahan bangkit dari kursinya, meninggalkanku.
0 notes
Text
#2 Bosan.
[RIGEL]
Sore ini sudah menjadi kebiasaan bagi gue dan Reta. Minum kopi sambil mendengarkan ia bicara panjang lebar mengenai mata kuliah, masa depan, atau masalah politik dan ekonomi dunia. Apa saja. Sampai pretzel dan keripik tortilla di meja sudah tidak tersisa lagi. Sampai senja ditelan habis warna jingganya oleh malam. Atau sampai larut dan diusir Nany untuk pindah ke ruang tamu.
“You’re gonna love the beach, hun.” katanya, sebagai penutup dari deskripsi panjang mengenai destinasi liburan akhir tahun yang baru saja ia rencanakan. Gue hanya bisa menggaruk-garuk kepala. Bukannya tidak paham, gue cuma tidak tega mematahkan semangatnya.
“Ta..”
“Aku harus ada di rumah malam tahun baru nanti”
Cahaya di matanya memudar.
“Is that okay?” Tanya gue.
“It’s okay hun, sorry aku lupa soal itu”
Well, gue senang dia mengerti. Tapi siapapun bisa melihat kalau dia cukup kecewa. Ini adalah pergantian tahun ketiga untuk kita berdua, dan Reta biasanya memilih untuk diam di rumah, atau liburan ke rumah Papanya di luar kota. Tidak biasanya ia yang meminta liburan berdua seperti ini.
Angin berhembus kencang di balkon. Satu-satunya tempat tanpa gangguan Nany atau Bian. Karena Dady tidak mungkin menggangguku. Meskipun sedang ramai, aku yakin pegawai di sini sudah cukup menangani jumlah pengunjung di sore biasa seperti ini. Reta merapatkan sweaternya sambil memandang lepas ke pemandangan kota yang semakin warna-warni, atau membayangkan betapa menyedihkannya punya pacar yang tidak bisa diajak liburan ke pantai saat malam pergantian tahun. Tidak ada bedanya. Ia selalu menatap apapun yang ada di dalam jangkauan pandang dengan caranya sendiri. Seolah ia terbang jauh melesat menuju objek yang ia lihat dan tidak peduli dengan apapun yang ada di dekatnya. Gue berniat untuk memegang tangannya. Mengelus-elus jemarinya. Sambil mencoba menemukan waktu yang tepat untuk menggantikan rencana liburan ajaibnya itu, karena rasanya Nany tidak akan setuju kalau gue absen di jam sibuk keluarga. Mungkin gue bisa memuji rambutnya yang sedang bagus hari ini, atau warna cat kukunya yang senada namun sedikit ternodai oleh karamel pretzel yang lengket. Mungkin dia akan tersipu setelahnya, atau malah tertawa karena gue memang tidak pandai dalam hal memuji. Tapi semenit selanjutnya, gue cuma diam, menyesap kopi, menatapnya, dan menyesap kopi lagi.
“Kalau aku ikut, gimana?” ujarnya tiba-tiba disela-sela potongan pretzel yang sedang ia kunyah.
“Madam! Malam tahun baru Reta boleh disini kan?”
“Boleh kok, nanti Madam buatkan pretzel karamel” Ia menirukan suara Madam dan itu membuat gue tertawa. Yah, masalah selesai. Nany, Bian dan Dady tidak akan keberatan soal ini. Gue pegang tangannya yang agak lengket sambil menatapnya, sepertinya gue memang tidak bisa melakukan apa-apa selain menatapnya. Ia menarik tangannya sambil tertawa dan membersihkan caramel yang tersisa dengan tisu. Mungkin lain kali, duduk berdua seperti ini di tepi pantai bisa jadi sangat meyenangkan.
0 notes
Text
#1 Bosan.
[BRIANA]
Jadi seperti ini skenarionya, ketika semua orang sibuk melihat ke langit sambil menghitung mundur, Nany akan mengendap-endap ke dalam rumah. Ia mungkin mengira bahwa strateginya masuk secara diam-diam itu tidak kuketahui selama ini. Well, aku sudah delapan kali melihatnya menyelinap seperti itu. Sementara Dady akan ada di sampingku untuk mengalihkan perhatian, mencoba membahas kembang api atau petasan luar biasa yang sudah ia siapkan untuk malam ini. Bagian terbaiknya, I’m madly in love with the fireworks.
Satu-satunya hal yang membuatku tertarik pada perayaan tahun baru adalah kembang api. Keluargaku selalu mengadakan pesta pergantian tahun. Kafe akan dibuka 24 jam dan selalu banyak pengunjung yang datang, terutama kawan Nany dan Dady, sekumpulan orang-orang tua yang ceria dan suka tertawa. Teman-teman Mas Ri yang sudah langganan datang, beberapa tetangga, dan ada juga teman-teman main ku di Uptown. Tempat Nany dan Dady memang terkenal dengan kembang apinya yang paling meriah. Paket-paket berbagai jenis kembang api dipesan dari toko langganan Dady, milik temannya di Eropa kataya.
Seperti menanti bel istirahat sekolah, aku tidak akan melepaskan pandanganku dari langit kalau bukan karena suara Nany bernyanyi, diikuti suara Mas Ri dan Dady. Nany berjalan perlahan, menyeimbangkan wedges berujung runcing dan kekuatan kakinya yang sudah tidak seperti saat muda lagi. Ia membawa selusin muffin, atau cheesecake. Apapun. Ia tidak pernah kehabisan resep untuk selalu membuat yang berbeda-beda setiap tahunnya. Nany tersenyum di balik cahaya lilin yang meledak-ledak di atas kue, dan aku akan pura-pura terkejut sambil berkata “Oh Nany… that’s sweet”. Meskipun palsu, tapi aku bahagia sungguhan. Aku berani bertaruh bahwa tidak ada nenek dan kakek di planet manapun yang memperlakukan cucunya semanis ini.
Ia memelukku erat dan semua orang secara tiba-tiba tidak lagi berteriak Happy New Year! tapi menyanyikan lagu kebangsaan segala umat yang baru saja berulang tahun. Mas Ri akan selalu siap mengabadikan momen dengan polaroidnya, diikuti Dady membawa balon dan sebuah bungkusan hadiah untukku. Agak berlebihan rasanya, tapi seolah seisi semesta hadir di sana untuk membuatku bahagia. Kemudian satu persatu orang akan menghampiriku, mengecup pipi sambil mengucapkan selamat, hingga akhirnya mereka sadar telah melewatkan banyak kembang api. Tapi Nany dan Dady tidak pernah kehabisan kembang api di hari ulangtahunku, bukan begitu?
0 notes