Muhammad Krishna Vesa, a corporate lawyer and Islamic law enthusiast. Alumni of FHUI and Master of Laws candidate at Cornell Law School. The writings, information, and opinions expressed below are my view-for discussion purposes only. If you have any queries, comments, or would otherwise like to discuss, kindly reach me at my social media account.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Cinta?
Apa makna cinta yang sesungguhnya?
Apakah dia rasa suka, kecendrungan atau malah hanya sebatas dorongan hawa nafsu?
Selama hidupku, aku cari-cari engkau dalam kitab dan kisah para manusia mulia, semua itu demi memahami makna dirimu, cinta.
Aku kira engkau adalah embun pagi yang menempel di balik dedaunan yang memberikan kesejukan kepada sesiapa yang di dekatnya.
Aku sangka engkau adalah pelita yang hadir menerangi jalan bagi seorang musafir yang terjebak dalam kegelapan.
Aku duga engkau adalah api yang menghangatkan kabilah-kabilah yang kedinginan di tengah malam di sinai serta awan yang melindungi mereka dari teriknya matahari siang di sahara.
Begitu indah engkau dilukiskan dan dikisahkan oleh mereka yang menuliskan dirimu dalam syair-syair dan cerita.
Sebagian dari mereka menulis syair itu di tempat peristirahatan terakhir sang kekasih, hingga ia juga beristirahat di tempat yang sama.
Sebagian mereka menulis dengan kertas yang hampir terkoyak karena terkena tumpahan air mata mereka.
Dan sebagian kecil dari mereka menuliskannya di pangkuan sang pujaan hati, maka beruntunglah mereka, dua jiwa yang telah engkau jadikan satu di dunia. Dan beruntung pula yang engkau satukan di kehidupan setelah kematian.
Tuhan mengatakan dalam kitabNya, kita awalnya adalah satu jiwa yang kemudian Ia pisahkan menjadi dua. Sebagian dari jiwa itu akan mencari sebagian lainnya, ketika pertemuan itu terjadi maka terciptalah cinta.
Tuhan mengatakan cinta membawa rasa tenang, kecendrungan untuk selalu bersama serta rasa kasih dan sayang. Namun, Ia tidak pernah mendefinisikan dirimu, cinta.
Ribuan kisah dan kitab sudah aku jelajahi untuk memahamimu tetapi bayangan indahmu begitu sulit untuk aku susun dalam sebuah kata.
Hingga aku hanya bisa berharap dan menunggumu bahwa suatu hari nanti, aku akan mengenalimu dan bisa meraihmu.
Hingga, seseorang datang mengetuk hatiku dan untuk pertama kalinya aku persilahkan ia masuk, aku lihat ia membawa dirimu. Awalnya, aku rasakan apa yang Tuhan katakan, ketenangan, kecendrungan dan rasa kasih sayang.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari ia datang dari dunia yang berbeda. Jiwaku dan jiwanya menjalani kehidupan di alam yang berbeda. Kalaupun diriku dan dirinya awalnya adalah satu jiwa, perjalanan jiwa kami begitu berbeda hingga dua jiwa itu yang saling mendorong dan bahkan menyakiti satu sama lain.
Dan aku merasa, bahkan ia belum mengenalimu atau mungkin telah menyerahkan dan meninggalkan dirimu pada seseorang dalam perjalanannya. Atau seseorang dalam perjalanannya telah mengubah bentuk aslimu duhai cinta. Hingga aku tak melihat apa yang seharusnya ia bawa.
Dan sekarang aku mencari-cari keberadaanmu duhai cinta. Apakah benar ia datang bersama dirimu? Atau, aku telah salah menafsir dan mengenali dirimu? Tunjukkanlah dirimu duhai cinta apabila memang engkau di sini!
Atau, mungkin memang sejak awal dirimu tidak pernah ada di dunia ini, cinta. Engkau hanya sebatas bayangan orang gila dan khayalan mereka yang kesepian.
Jangan biarkan aku mencarimu di kehidupan setelah kematian. Yang demikian lebih baik bagiku ketimbang harus hidup selamanya mencari-cari dirimu.
0 notes
Text
MISCONCEPTION OF WOMEN’S POSITION IN ISLAMIC INHERITANCE LAW
[this paper is a rough version of a paper that will be published by Center of Islamic Law, Faculty of Law University of Indonesia in its Journal of Islamic Law Studies]
I. Introduction
Coincided with the emergence of a powerful movement of feminism that endorses gender equality in the 19th and 20th centuries, concerns were also raised about the status of women in Islamic law. Many misrepresentations and misconceptions about how women are treated under sharia law are used to argue that Islam is misogynistic; consistently a controversy with Islamic inheritance law.[1] The perception of unfair rules and a discriminatory treatment based on gender was built on initial reading of some Quranic verses, especially Surah An-Nisa verse 11 that states: “God has enjoined you concerning your children: a male shall inherit twice as much as a female. If there be more than two girls, they shall have two-third of the inheritance; but if there be one only, she shall inherit the half….”[2]
However, Islamic inheritance law is stipulated in many verses, generally, under Surah An-Nisa (Women) Chapter number 4 verses 11, 12 and 176, and several hadiths.[3] Those inheritance verses arguably are the most linguistically difficult, complex, and extensive verses in the Quran. Therefore, to reach an accurate conclusion on any issues relating to the inheritance, it is crucial to have a comprehensive understanding of the rules and application of the rules in the system in which it occurs; i.e., system of Islamic financial responsibilities within the family or society. The piecemeal application of certain practices without having a holistic view and context may lead to an erroneous judgement and an impression that Islamic inheritance law is biased towards women.
This paper serves as a primer in examining common misinterpretation of Islamic inheritance law by delving into the fundamental idea of the rules and examining detail application of the rule based on research of the classic literature and modern fatwas from Muslim jurists. This paper seeks to argue the notion that Islamic inheritance law provides gender-based unfair treatment.
II. Discussion
While it is interesting to discuss the Islamic law from a comparative historical perspective such as examining the fact that Islam’s declaration of inheritance for women preceded the western world by a millennium, where “until the end of the sixteenth century, women in western world were basically denied having the right to inherit property”[4], in this section, we will only examine the issue from legal and regulatory perspective. This section is divided into three parts.
The first part will discuss the kalala case. The Quran provides various inheritance rules for various scenarios. Remarkably, there are two rules of inheritance that are virtually contradicting with one another i.e., rules under Quran 4:12 and 4:176 that regulate the distribution of shares to brothers and sisters if the deceased person leaves neither parent nor child (mentioned as kalala under the Quran). One rule is favorable towards man whilst the other rule does not. This first section will show that gender is not a determinant factor in solving the issue. The second section will examine the validity of common generalization that “women always get half of what men get” through examining every single possible scenarios in Islamic inheritance law and review whether in those scenarios, women always get half or less than men. In the last section, we will review the fundamental reasons on why in some cases women get half (or less than) of what men get.
A. Muslim jurists’ interpretation on “Kalala” showing that gender is not the determination aspect
The word kalala is a dis legomenon, a word that occurs twice in the Quran, both times in Surah An-Nisa verse 12 and 176.[5] During the early period of Islam, the Muslim community devoted considerable effort to defining the meaning of this word as there was an absence in Arabic language of term “kalala”.[6] For many years, Muslim jurists debated on the definition of the term. Some jurists such as Ibn Abbas is of the view that the term refers to “a man died leaving no child (al-walad) (but could probably still has parents)”.[7] After a long period of debate, majority of the Muslim jurists, reached consensus that the term should be defined as “a man dies leaving neither parent nor child”.
The word kalala was first mentioned in An-Nisa verse 12 which vocalized as follows:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ
wa-in kana rajulun yurathu kalalatan aw imra’at
If a man or woman leave [kalala] (dies without) neither parent nor child,
وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ
wa-lahu akhun wa ukhtun
and he or she has a brother or sister,
فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
fa li kulli wahidin minhuma al-sudusu
each one of them is entitled to one-sixth (1/6),
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
fa in kanu akhthara min dhalika fa hum shurakau fi al thuluthi
if they are more than that, they are partners with respect to one-third (1/3),
Under this verse, it is clear that the Quran provides a same portion of shares to a brother and sister of the deceased person which is one-sixth of the total assets (after any legacy that is bequeathed, and debt is paid). Furthermore, if the brothers and sisters of the deceased consist of more than one person, they will have equal shares of one third of the assets. Therefore, regardless of the number of brothers and sisters of the deceased, this provision under verse 12 provides that, in this scenario (kalala scenario), a man (the brother) will inherit the same portion of shares with a woman (the sister).
The second Quranic verse in which kalala appears is in the verse 176 of Surah An-Nisa. The word was mentioned in the first line of the last verse in Surah An-Nisa. According to the companion al-Bara ibn Azib (d. AH 72/691-92 CE), this verse was the last verse of the Quran to be revealed to the Prophet.[8] This verse awards shares of the estate to siblings in the same scenario under QS 4:12 which is kalala scenario. The verse stated as follows:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ
yastaftoonaka. kulilleahu yufteekum fil kalalati
(when) they ask you for a ruling, say: God gives you a decision concerning the kalala,
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
inimruun halaka laysa lahoo walad(waladun), wa lahoo uhtun fa lahea nısfu mea taraak(taraaka)
if a man dies without a child, and he has a sister, she is entitled to half of what he leaves,
وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ
wa huwa warisuhea in lam yakun lahea walad(waladun)
he is her heir if she does not have a child,
��َإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ
Fa in keanatasnatayni fa lahumeas suluseani mimmea taraak(taraaka)
if they are two, they are entitled to two-third of what he leaves.
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Wa in keanoo ıkhwatan rijealan wa niseaan fa liz zakari mislu haazzıl unsayayn(unsayayni)
if they are brothers and sisters (emphasis added), a male is entitled to the share of two females.
Unlike QS 4:12 which stipulates various scenarios for inheritance including kalala scenario, QS 4:176 from the beginning indicates that the verse will discuss specifically the kalala scenario by saying that “God gives you a decision concerning the kalala”. The subsequent line seems to provide the term that kalala defined as a man who dies without a child. Further, the verse provides several scenarios including a scenario where a man or woman leave neither parent nor child, but brothers and sisters, the brothers and sisters will inherit jointly with the male (brother) receives twice the share of a female. Interestingly, this scenario is identical with QS 4:12 in which the brothers and the sisters will equally inherit one third of the estates.
According to the abovementioned, we took note that there seems to be a contradiction between QS 4:12 and QS 4:176 - If a man or woman leave neither parent nor child but has brothers and sisters:
1. according to QS 4:12, the brothers and the sisters will have the exact number of shares, equally divided from one third of the estates; however,
2. according to QS 4:176, the brothers will obtain shares twice as large as the sisters who inherit together with him.
Contradictory rulings of Islamic revelation under the Quran are arguably one of the common issues in Islamic law. To solve this kind of issue, Muslim jurists introduce the concept of “naskh mansukh" or “abrogating-abrogated”. In Islamic legal exegesis (tafsir), naskh is a theory developed to resolve contradictory rulings of Islamic revelation by superseding or canceling the earlier revelation.[9] In the widely recognized and "classic" form of naskh, an Islamic regulation/ruling (hukm) is abrogated in favor of another, but the text the is based on is not eliminated.[10] Some examples of Islamic rulings based on naskh include a gradual ban on consumption of alcohol (originally alcohol was not banned but Muslims were told that the bad effects outweighed the good effects in drinking), restriction to provide bequest (al-wasiat) to the heirs (originally the heirs can receive bequest under Q 2:180) and a change in the direction (the qibla) that should be faced when praying salat (originally Muslims faced Jerusalem, but this was changed to face the Kaaba in Mecca).[11] The concept of naskh mansukh is identical with the concept of “lex posterior derogat legi priori” in western civil law system which means a later law revokes/amends an earlier law. According to the naskh mansukh doctrine, the provisions under QS 4:12 that contradict with QS 4:176 should be revoked and replaced with the provisions under QS 4:176. Nonetheless, the Muslim jurist never used naskh mansukh doctrine to solve the contradiction between QS 4:12 and QS 4:176.
Due to the limited guidance from the Prophet about the kalala, it takes years for Muslim scholars to answer the discrepancy between QS 4:12 and QS 4:176 without using the naskh mansukh doctrine. According to Ibn Rushd and Sheikh Ali Gomaa (the former Grand Mufti of Egypt and a member of Al-Azhar University high council), the Muslim scholars have reached a consensus on how to deal with the contradiction with the following solutions:[12]
1. QS 4:12 (which provides that brothers and sisters obtain equal portion) applies to siblings that have the same mother but do not share the same father;[13] and
2. QS 4:176 (which provides that brothers get twice more than sisters) applies to siblings that share the same father.
The conclusion comes from an understanding where sharing the same father would cause the male child to inherit the father’s financial responsibilities if the father passed away (or are unable to take the responsibilities). Therefore, the portion of the brother is larger in order to support his family’s financial including the sisters. Conversely, in a case where the siblings do not share the same father, the brother does not have the financial burden, therefore the sister is equally entitled.[14]
As seen in the example, it demonstrates that in determining the portion of shares between individuals (men and women), the gender of the individual does not play as the main factor, but it is more so on the individual’s financial responsibilities. If Islamic law merely decides shares proportion based on gender, the Muslim jurists should easily be able to conclude by eliminating provisions under QS 4:12 and replace it with provisions under Q 4:176, which are generally more favorable to men (especially the revocation is supported by the doctrine of naskh mansukh). Given the fact, that applicability of both verses is maintained it is clearly misleading that Islamic inheritance law implements gender-based rulings.
B. Statistics on Islamic inheritance law scenarios – Twenty-eight scenarios in which a woman inherits either the same or more than a man
The most popular rule on the Islamic inheritance is that “a women inherits half that of a man” which implies that Islamic inheritance law is biased towards woman. The fact is that such a rule does not exist in Islamic inheritance law. There is no single Quran verse that stipulates shares proportion based on gender and instead the Quran regulates the matter by considering the position of the individual in the deceased’s family. For example, the Quran does provide in QS 4:11 that “the share of the male will be twice of the female.” However, it should be noted that the verse starts by saying “regarding your children….” Therefore, the provision does not discuss the general inheritance rules for men and women but limited to sons and daughters. As we have discussed in the section relating to kalala previously, we understand that there is a scenario in which a woman receives an equal share with man. Therefore, a generalization to the inheritance law based on one or two scenarios should not be accepted.
In this section, we will investigate and classify every possible scenarios of Islamic inheritance that researchers have compiled to have a holistic understanding about women’s position in Islamic inheritance law. The statistics that Muslim scholars have compiled shows that an assumption that a woman always inherit half that of or less than a man is entirely incorrect and inaccurate. As a matter of fact, the research presents that:[15]
1. there are only four (4) scenarios in which a woman inherits half that of a man;
2. there are nine (9) scenarios in which a woman inherits an equal share with a man;
3. there are fourteen (14) scenarios in which a woman inherits more than a man; and
4. there are five (5) scenarios in which a woman inherits, and the male does not inherit.
In summary, there are twenty-eight from thirty-two scenarios in Islamic inheritance law in which a woman inherits either the same amount as a man or more than him.[16] Even in some cases, a woman could receive the shares while her male equivalent does not inherit at all.
The scenarios in which a woman inherits half that of a man:[17]
1. A daughter who inherits with her brothers along with the granddaughter and grandson of the deceased.
2. A mother who inherits with the father when the deceased has neither children nor spouses.
3. Sisters who inherit alongside her brothers from the same father.[18]
4. A daughter with brothers from the same father and a different mother.
The scenarios in which a woman inherits a share equal to that of a man:[19]
1. A mother and a father who inherit with the son of the deceased. The mother and the father each inherit one sixth of the total estates.[20]
2. Brother and sister who shares a mother but have different fathers. Each inherit one sixth of the total estates. However, if there are more than two siblings, the brothers and the sisters will share one-third of the estate equally.[21]
3. A daughter who inherits with her paternal uncle or the closest agnate of the father, in the absence of another child who would bar her from inheriting. The daughter and the uncle or the closest male agnate inherit one-half, respectively.
4. When a husband, mother, and two (or more) sisters of the same mother but different fathers inherit along with a male sibling. This ruling is based on the ijtihad or verdict issued by Umar ibn Al Khattab in which he argues that two sisters of one mother and different fathers, the male sibling are to share one third of the inheritance.[22]
5. When a man or a woman is the sole heir. For example, the son inherits the entire estate if he is the sole heir based on agnation (line of descent traced through the paternal side of the family), while a daughter would inherit one half of the legacy based on cognation (line of descent traced through the maternal side of the family), but then receive the remainder by default because she is the sole heir.[23]
This shows equality between the genders; were the deceased to leave his/her father as the sole heir, he would inherit the entire legacy by agnation. Likewise, were the deceased to leave behind a mother, she would inherit one third of the legacy based on cognation and the rest would be hers by default due to the absence of any other heirs.[24]
6. If a woman leaves behind a husband and a female sibling. In this case the female sibling and the husband of the deceased receive the same portion.[25]
The shares distribution would be the same if the woman leaves behind a husband and a male sibling. The husband would take a half of the legacy and the brother would take the rest by agnation.[26] Another scenario that shows an equality between the genders (in this case, male and female siblings).
7. When the woman leaves behind a sister who shares her mother but has a different father, and a male sibling. This scenario occurs when the deceased woman leaves behind a husband, a mother, and a sister and brother from the mother’s side. The sister of the deceased (from mother’s side) and the brother take one sixth, respectively.[27]
8. If there are no direct descendant of the deceased, the those of blood relation on the mother’s side of the deceased inherit the same amount regardless of gender.[28]
9. This scenario is not relating to the calculation; however, to the rights of inheritance. According to the Quran, it is clear that there are six people who are never barred (mahjub) from inheritance, three male and three female. They are husband, son, father, wife, daughter, and mother.
In the following scenarios, a woman inherits more than a man:[29]
1. When the husband inherits with his only daughter. The husband takes one-fourth (twenty five percent) of the estate, the daughter receives one half plus (fifty percent) of the estate.[30]
2. When the husband inherits with his two daughters. The husband takes one-fourth (twenty five percent) of the estate, each daughter receives thirty eight percent of the estate.[31]
3. When the daughter inherits with her (paternal) uncles. The daughter takes one half while the uncles only receive one forth, respectively. Even if the daughters are more than one, the shares portion for the group of the daughters is 2/3 while the group of uncles only receives one third.
4. If a woman dies and the heirs are her husband, her father, her mother and two daughters. The daughters will inherit more than half of the estate (each more than one forth which is higher than the husband and father).
5. If a women dies and the heirs are her husband, two female siblings and her mother. The two sisters inherit two third of the inheritance.
6. The same situation with previous number, but the deceased left behind two sisters from the father’s side: they would inherit more than two brothers from the father’s side.
7. If a woman dies and leaves behind her husband, father, mother and daughter, then the daughter will inherit half of the estate.
8. If a woman dies and leaves behind her husband, mother, and sister. The sister inherits forty five percent of the estate. However, if instead of the sister there had been a brother, he would only inherit around fifteen percent of the estate. In this case, it is clear that a sister inherits more than double her brother (in an identical circumstance).
9. If a man dies and leave behind a wife, a mother, two sisters from his mother’s side and two brothers and, for example, his estate is forty-eight acres, then two sisters from his mother’s side would inherit around sixteen acres total (eight acres each). This portion is higher than the brothers who only receive six each.
10. If a women dies and leaves behind her husband, her sister from her mother’s side and two brothers and her inheritance, for example, one hundred twenty acres, the sister from the mother’s side would receive one third which is forty acres. The two brothers inherit a total of twenty acres. In this situation, two sisters from mother’s side inherit four times the brothers.
11. If a man dies and leaves behind his father, mother, and a wife, then the wife inherits half, the mother inherits one third and the rest which is one sixth is the portion of the father.[32]
12. If a woman dies and leaves behind her husband, mother, a sister from mother’s side and two full brothers. The sister’s share is double than the full brothers, even though she is a more distant relative to the deceased.
13. If a man dies and leaves behind his wife, father, mother, two daughters and a son’s daughter, and the inheritance, for example, is five hundred sixty-eight acres, then the daughter of the son inherits ninety-six acres. If the deceased had left a son of his son, he would only take twenty-seven acres.
14. If the deceased leaves a mother, maternal grandmother, and paternal grandmother, then the mother inherits one-sixth as her allocated share and the remainder by the method of return (radd). For the same scenario, however the position of the mother is changed to a father, the father if he were in her place, would receive smaller portion of share.
In the following scenarios, a woman inherits, and the man equivalent does not inherit:[33]
1. If a woman dies and leaves behind her husband, father, mother, daughter, and the daughter of her son, then the daughter of the son would inherit one sixth. However, if the son had a son instead of a daughter, the son would not receive anything.
2. If a woman dies and leaves behind her husband, a full sister and a sister from her father’s side, and, for example, the inheritance is eighty-four acres, then the sister from the father’s side would inherit one sixth (twelve acres). However, instead of a sister, there was a brother from the father’s side, he would inherit nothing, as half goes to the husband and the other half goes to the full sister.
3. In general, grandmothers inherit while grandfathers do not. A grandfather who inherits is one who does not have a woman between him and the deceased. The grandmother who inherits is one who does not have between her and the deceased a person who does not inherit. In other words, it is every grandmother who does not have between her and the deceased a father between two mothers.
4. If a person dies and leaves behind a maternal grandfather and a maternal grandmother, then the grandmother inherits the entire estates. The grandfather does not inherit.
5. If a person dies and leaves behind the father of the mother of his or her mother, the mother of the mother of his or her mother, then the great-grandmother inherits the entire inheritance.
As indicated in the beginning of this section, we have seen that there are almost thirty cases where a woman receives the same portion of shares as or more than a man, as well as where she has received a share, and the man does not. In contrast, there are only four cases where a woman inherits half the share of a man. Therefore, it is undoubtedly false that the Islamic inheritance law provides unfair treatment towards the women is incorrect.
C. The difference in shares portion is not based on the gender of the heir but mainly on responsibilities
Based on the first section, we have come to an understanding that financial responsibility of an individual is one of the conditions that affect the distribution of shares. Muslim jurists generally have concluded that there are two other primary conditions, as follows:
1. The degree of kinship to the deceased: Regardless of whether the heir is male or female, the closer the relationship to the deceased, the more an individual will receive. For example, a deceased woman’s daughter is entitled to half the inheritance while the husband of the deceased only receives one fourth. In this case, the daughter gets double than what the husband gets. The reason of the ruling is that the daughter is a direct blood descendant of the deceased, which is closer with the deceased than the husband.[34]
2. The generation to which the heir belongs: grandchildren usually receive more inheritance than grandparents as the former will likely have more financial burdens in the future.[35] At the same time, the grandparent’s needs generally should also be supported by other members of the family. The system works without consideration of gender. For example, the daughter of the deceased inherits more than the deceased’s father.[36]
In regard to the financial responsibility, it is undeniable that the Islamic law differ according to gender. For example, in the above sections, we understand that brothers that share the same father with the sisters would receive more shares than his sisters. Another example is that when the individuals in a group of heirs are equal in both their relation to the deceased and their age, the son of the deceased will receive twice as much share as the daughter. However, this disparity is not intended to cause injustice to the female. On the contrary, the reason is that to provide financial advantage for the female from any circumstances that would place her in financial difficulty. The idea of providing advantages for female is similar with the idea of modern feminism.[37]
To understand the point above, we have to understand the financial responsibilities of men and women in Islamic law, as follows:
1. A man is required to financially support his wife even if his wife is extremely wealthy.[38] Further, majority of the Muslim jurists agree that in a case where the wife needs a maid(s) to handle the household affairs[39], then the husband is required to provide and bear the cost of the maid.[40] Moreover, majority of the Muslim jurists agree that if the wife thinks that she does not have capacity to handle household affairs or herself, the husband must provide at least one maid to assist the wife and handle the household affairs. Some jurists even argue that the wife has the right to demand her husband to provide a maid if she does not want, for any reasons, to handle domestic affairs.[41] This discussion, among others, stems from the Quranic verse that states: “Mothers may nurse [i.e., breastfeed] their children two complete years for whoever wishes to complete the nursing [period] (وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ).”[42] Some jurists argue that the word “أَرَادَ (a ra da)” that means “want or wish” indicates that the nursing the children and handling domestic affairs (this matter is being analogized to the verse as there is no verse in the Quran that mentions responsibilities to handle domestic affairs in the family)[43] is not absolute obligation of the wife, but the wife could do that voluntarily or based on her willingness.[44] In such a case, the responsibility to take care the household affairs falls to the husband by, among others, providing a maid to the wife. This position is acknowledged by classic and modern authoritative jurists but, unfortunately, few understand this finer point.
On the other hand, the female or the wife has no obligation at all to financially support her husband or their family’s needs (as the needs must be funded by the husband) again even if the wife is extremely wealthy.[45] All of the wife’s assets belong to her and under her full authority to dispense.
2. Men are also required to financially help the members of their extended family if the circumstances risen.[46] This is particularly true if they inherit money, since they then are required to assume the deceased’s societal and family role.[47] While majority of the Muslim jurists agree that a man should at least be responsible to his mother and sister, some even argue that a man must also support his distant relative if necessary (this view if from some Hambali and Maliki scholars).[48]
The responsibilities are attached to the wealth of the man including the assets that he receives from inheritance. In contrast, in any inheritance scenarios (especially where a woman receives half of the man’s inheritance), the woman’s new income is protected by the Sharia and is hers to dispense with as she wishes as she has no responsibilities to her family members.[49]
As a separate but important note, the protection for women’s wealth does not mean that the women do not have the right to be independent and actively involve in the society (including having a business or holding public position) as many women in early Islamic era took important roles in the community. For example, Khadija who were one of the most successful entrepreneurs in Mecca and Aisha who were acting as a military general during the last period of Rashidun Caliphate. Those powerful women assumed significant roles in the community since around 600 AD while, as a comparation, the United States granted women the right to vote in 1919 AD. However, the matter would not be further discussed in this paper.
According to the above, it is clear that Islamic inheritance together with its system of financial responsibilities in the family provide more favorable provisions to women than men and grant preferences to women over men.
III. Conclusion
While some group of people argue that the Islamic inheritance law provides gender-based unfair rules to the women, according to the above discussions, we understand that the fact is the opposite. The above has shown that Islamic inheritance law is not formed based on consideration of gender but on the responsibilities of the relevant individual in the family as well as his/her relationship with the deceased person. In fact, we note that there are twenty-eight scenarios (from thirty-two scenarios) in which a woman would inherit same or higher number of shares than man. By having a comprehensive understanding on Islam, one can clarify misinformation, propaganda, and ignorant stereotypes that may be revolving in the society. One can also actively involve eradicating gender-biased practices that essentially is in contradiction with the teachings of Islam.
References
Al-Hazimi Al Hamdani, Abi Bakr Muhammad ibn Musa. “Al I’tibar fi an-Nasikh wal Mansukh Minal Atsar.” Beirut: Dar Al Kutub Al-Illmiyyah, 1996.
At-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir. “Collection of statements on interpretation of verses of the Qur'an (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an).” Beirut: Dar Al Fikr, VI edition, 1995.
Al-Misri, Ahmad ibn Naqib. “The Reliance of the Traveler (umdat as-salik wa 'uddat an-nasik).” Maryland: Amana Publications (translation by Nuh Ha Mim Keller-certified by Al-Azhar University), 1991.
Al-Jufri, Ali Zain Al Abidin. “I Believe in God آمنت بالله الجز,.” Cairo: CBC Egypt, 2012.
Burton, John. “The Exegesis of QS 2: 106 and the Islamic Theories of naskh: mā nansakh min āya aw nansahā na'ti bi khairin minhā aw mithlihā.” London: Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 1985.
Dar Al-Ifta Al-Missriyyah. “Do women take unequal shares of inheritance in Islam?” Available online: https://www.dar-alifta.org/foreign/ViewArticle.aspx?ID=120.
Dogan, Recep. “Usul al-Fiqh: Methodology of Islamic Jurisprudence.” New Jersey: Tughra Books, 2013.
Gomaa, Ali. History of Fiqh Jurisprudence (Tarikh ushul al Fiqh), Keira Publishing, 2017.
Gomaa, Ali. Responding from the Tradition: One Hundred Contemporary Fatwas by the Grand Mufti of Egypt, Fons Vitae, 2011.
Hossein, Nasr Seyyid. “The Study Qur’an.” New York: Harper One, 2015.
Ibn Rushd, The Distinguished Jurist’s Primer (Bidayat al-Mujtahid), Volume 2, Beirut: Dar Al Jiil, 1989.
Ibn Rushd, The Distinguished Jurist’s Primer (Bidayat al-Mujtahid), Volume 3, Beirut: Dar Al Jiil, 1989.
International Islamic Fiqh Academy. Jurisprudential leaflet on the divine justice on women and men's inheritance in Islamic Sharia. Available online: http://www.oic-iphrc.org/en/data/docs/articles_studies/jurisprudential_leaflet_divine_justice_women_inheritance_islam_en.pdf.
Khan, Nazir. “Women in Islamic Law: Examining Five Prevalent Myths.” Texas: Yaqeen Institute for Islamic Research, 2019.
Maghniyah, Muhammad Jawad. “Islamic jurisprudence of five school of laws (al-Fiqh 'ala al-madhahib al-khamsah).” translator: Masyur, Jakarta: Lentera, 2008.
Powers, David S. “From Nuzi to Medina: Q. 4:12b, Revisited.” University of Chicago: Structures of Power: Law and Gender Across the Ancient Near East and Beyond, 2015.
Radford, Mary F. “The Inheritance Rights of Women Under Jewish and Islamic Law, 23 B.C.” Int'l & Comp. L. Rev. 135, 2000.
Sahih International, “Translation of Quran”. Saudi Arabia: Dar Abul Qasim, 1997.
Soltan, Salah. “Woman’s Inheritance in Islam: Discrimination or Justice?” translation: Gihan El Gindy, Hilliard: Sultan Publisher, 2004.
Zuhaili, Wahbah. “Shafi’i jurisprudence (al-fiqhu asy-syafi’i al-muyassar).” Vol 3, Damascus: Dar Al-Fikr, 2008.
1 note
·
View note
Text
Zinah: Haruskah Diatur dalam Hukum Positif Indonesia? Jawaban melalui perspektif Hukum Islam
Di tengah ramai-ramainya diskusi tentang konsensualisme dan hubungan seksual di luar pernikahan di sosial media, seorang sahabat datang kepada saya dan menanyakan pandangan saya tentang diskusi di sosial media tersebut.
Pertanyaan sahabat saya adalah apakah harus memasukkan ketentuan pidana bagi pelaku zinah di undang-undang atau hukum positif di Indonesia, sebagaimana banyak diajukan oleh aktivis muslim di tanah air.
Dengan rasa cinta saya kepada mereka yang dalam hatinya mencintai islam, pendapat dan analisa saya terkait hal di atas adalah sebagai berikut.
1. Hukum Islam, dalam perspektif penerapan praktek, enggan menjatuhkan hukuman pidana (jinayah) pada pelaku zinah.
Dalam menjatuhkan suatu hukuman pidana (jinayah), sebagaimana terdapat dalam berbagai sistem hukum di dunia, hukum Islam memiliki standar atau minimal alat bukti agar hakim/qadi dengan pertimbangan, penilaian dan pemeriksaannya dapat menjatuhkan hukuman pidana kepada seseorang.
Hukum Islam, secara umum, mengakui beberapa hal sebagai alat bukti yang antara lain adalah keterangan saksi (shahada) (lihat Umdat as-Salik, Ahd ibn Naqib al-Misri), keterangan tidak langsung atau hearsay evidence (shahada bi’l-sama), sumpah (ayman), penolakan atas sumpah (nukul), bukti dokumen (rasm istir’a, shahadat naql), pengetahuan hakim (‘ilm al qadi), dan keterangan ahli (rawi, ‘alim).
Dengan berbagai jenis alat bukti yang dapat digunakan, tidak seperti perkara jinayah pada umumnya, Hukum Islam secara khusus dan unik, langsung dari sumber utamanya yaitu Al-Quran (Surat An-Nur:4), mengatur bahwa untuk membuktikan seseorang telah melakukan zinah maka dibutuhkan empat orang saksi. Para ulama kemudian menjelaskan bahwa empat orang saksi dalam perkara zinah juga memiliki syarat yang cukup detail. Saksi tersebut harus memenuhi kriteria, laki-laki, baligh, berakal, adil, beragama Islam. Kemudian keempatnya haruslah melihat perbuatan zina dengan mata kepala sendiri (sebagaimana melihat sebuah “ember” masuk ke dalam “sumur”) dan dalam waktu dan tempat yang sama. Keterangan saksi haruslah jelas dan dibuat tanpa keragu-raguan. (lihat Fiqih As-Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq, Masail Al-Fiqhiyah, Abuddin Nata dan Islamic Law-Evidence casebook, David S. Powers). Lebih uniknya lagi, Al-Quran dalam ayat yang sama secara tegas mengatur bahwa apabila seseorang menuduh orang lain berzinah namun gagal mendatangan empat saksi sebagaimana dijelaskan di atas maka orang yang menuduh tersebut justru diberikan hukuman delapan puluh kali deraan (hudud) (“hanya” berbeda dua puluh kali deraan dengan pelaku zinah apabila terbukti-QS An-Nur: 2) serta dicabut hak-nya dalam memberi kesaksian di masa depan.
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (An_Nur: 4)
Keseriusan Islam dalam pembuktian perkara zinah juga bisa dilihat dalam hadist berikut:
‘Tinggalkanlah 7 dosa yang membinasakan: syirik mempersekutukan Allah Swt., melakukan sihir, membunuh jiwa manusia yang telah diharamkan Allah Swt. kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari perang jihad, menuduh zina.” (HR. Bukhari Muslim)
Tentu kita semua berpikir mengapa untuk kasus perzinahan, Hukum Islam memberikan standar pembuktian yang amat tinggi dan bahkan dapat dikatakan mustahil untuk dilakukan. Bagaimana dua orang pelaku zinah (yang umumnya dilakukan di tempat tertutup) dapat disaksikan oleh empat orang secara gamblang? Hanya ada satu kemungkinannya, yaitu zinah dilakukan secara terbuka di tempat umum.
Pada sekitar bulan Agustus 2013, seseorang pernah mengirim surat kepada Syaikh Dr. Ali Jum’ah menuliskan “Kapan hukum Syariah akan diterapkan? Sesungguhnya anda dan syaikh Al Azhar akan dimintakan pertanggung jawaban dihadapan Allah”. Syaikh Ali Jum’ah memberikan jawaban yang cukup panjang, namun hanya bagian yang terkait dengan diskusi kita yang akan dikutip, sebagai berikut:
“Sebagian dari kita bertanya: mengapa kita tidak mendera/merajam mereka yang melakukan zinah?
Saya [Syaikh Ali Jum’ah] ingin mengatakan bahwa tidak ada kejadian tersebut [yang dapat dijatuhkan deraan/rajam] di Mesir sejak 1200 tahun yang lalu. Sesungguhnya bukan aku yang tidak ingin menerapkan hukum [Islam]. Namun, Syariah itu sendiri tidak mengizinkan implementasi atas eksekusi [hukuman deraan/rajam tersebut]. Mengapa? Bagaimana bisa? Saya katakana bahwa diharuskan ada empat orang yang dipercaya (trustworthy) sebagai saksi yang melihat terjadinya perzinahan secara langsung. Bagaimana kita bisa mendapatkan empat orang saksi ini? Apakah tindakan asusila terjadi di jalanan?
Dalam satu riwayat pada zaman Khalifah Umar ibn Al Khatab, datang empat orang saksi kepada Sayidina Umar mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan Mughiroh ibnu Syubah melakukan perzinahan. Mereka berdiri di atas bukit dan Mughiroh di bawahnya. Sayidina Umar memeriksa mereka dan ternyata satu di antara mereka tidak benar-benar menyaksikannya, sehingga ketiga lainnya dihukum deraan. Setelah itu, salah satu dari mereka mendatangi Sayidina Umar dan menanyakan mengapa ia dihukum dan apakah Sayidina Umar enggan untuk menerapkan hukum hudud? Lalu Sayidina Umar menjawab “Benar” sehingga orang tersebut (Assaqofi) kaget dan mengatakan lalu untuk apa Tuhan mengatur hudud? Sayidina Umar menjawab “Allah mengatur hukum tersebut agar engkau menjauh dari perbuatan tersebut.
Juga dalam kisah Ma’iz, ketika dia mengakui telah melakukan zinah kepada Sayidina Rasulullah Saw. sebanyak empat kali pengakuan dan sebanyak itu pula Rasulullah saw. menolak pengakuannya dengan berbagai alasan (apakah Ma’iz gila, dan sebagainya). Hingga akhirnya hudud dijatuhkan dan pada pukulan pertama, dia lari dan Rasulullah saw. membiarkan dia lari.
Sayidina Umar pernah menangguhkan pelaksanaan hudud pada beberapa masa. Penangguhan bukan berarti kita menolak syariah. Namun bagaimana kita bisa menemukan empat saksi yang terpercaya? Dimana masyarakat siap untuk melaksanakan hudud seutuhnya dan secara sempurna? Kita hari ini ada pada masa kegelapan. Aku berdoa pada Allah SWT agar tiba masanya kita bisa menerapkan hudud secara sempurna sesuai perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, yang rahmah, kebenaran, keyakinan, pengampunan dan pengetahuan. Sedangkan hari ini, berapa banyak hakim yang kita miliki yang mempunyai karakter tersebut? Wallahualam bissawab.”
Pandangan dari ulama dan pembahasan di atas memberikan indikasi bahwa sebenarnya tidak semua pelaku zinah dapat dikenakan hukuman hudud, dalam prakteknya, hanya mereka yang melakukannya secara terbuka di tempat umum (dilihat oleh empat orang saksi) yang secara tegas bisa diberikan hukuman hudud. Dengan kata lain, pada dasarnya Hukum Islam bermaksud menghukum bukan sekedar pelaku zinah namun pelaku zinah yang sudah secara terang benderang dan memberikan konsekuensi yang sangat serius di masyarakat.
Disisi lain, Hukum Islam justru seakan sangat tegas mendorong agar orang lain tidak mudah menuduh seseorang berzinah dengan memberikan hukuman yang relatif sama dengan hukuman bagi pezinah.
2. Memberikan hukuman pidana dalam kerangka hukum positif Indonesia pada pelaku zinah, bisa jadi bertentangan dengan Hukum Islam dan belum tentu efektif.
Sebagaimana dijelaskan di atas, diwajibkan empat orang saksi (dengan berbagai syarat) untuk dapat menjatuhkan hukuman bagi pelaku zinah. Namun, apabila tindakan zinah atau hubungan seksual di luar pernikahan telah diatur dalam hukum positif Indonesia dan dapat dikenakan sanksi pidana, perlu diingat bahwa pembuktian dalam proses persidangan kasus tersebut akan mengikuti ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP mengatur bahwa alat bukti dapat terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. KUHAP juga memperbolehkan seorang hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana hanya berdasarkan keyakinanannya dan dua alat bukti (Pasal 183 KUHAP). Dengan ketentuan ini, saya membayangkan bahwa seseorang yang dituduh berzinah dapat dengan mudah dihukum oleh hakim dengan dasar, misalnya, satu orang saksi (yang mungkin tidak melihat kejadian tersebut secara langsung) dan keterangan ahli atau dengan susunan alat bukti lainnya sesuai KUHAP. Saya bertanya apakah hal yang demikian yang kita inginkan dan Hukum Islam inginkan? Sedangkan dalam pembahasan panjang di atas, Islam mengutuk tuduhan zinah yang tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi, persyaratan yang ketat dan bahkan menghukum mereka yang membuat tuduhan namun gagal membuktikannya. Perlu diingat juga bahwa penerapan yang demikian maka bertentangan dengan Hukum Islam itu sendiri.
Di sisi lain, hari ini Indonesia dihadapkan pada fenomena dimana segala hal seakan harus diselesaikan melalui jalur pidana. Dalam satu riset yang saya lakukan terkait kasus pidana UU ITE misalnya, dalam setidaknya 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan kasus pidana (saling lapor) lebih dari 500%. Saya membayangkan bahwa apabila kita pada akhirnya memasukkan ketentuan zinah dalam hukum positif, bagaimana fenomena overcriminalization juga akan sangat mudah terjadi disini. Di satu sisi, saya mengingat bagaimana para sahabat dan Rasulullah sebenarnya sangat menghindari pelaksanaan hukuman hudud. Bayangan ini rasanya juga yang dibayangkan oleh Syaikh Ali Jum’ah dalam menjawab pertanyaan di atas mengenai “Apakah masyarakat kita siap menerima aturan hudud? Sedangkan kita ada di masa kegelapan akhlak, pengetahuan dan rahmah antar sesama”. Apakah pemberian sanksi pidana bagi pelaku zinah saat ini akan lebih banyak manfaatnya-ketimbang mudharatnya?
Dalam salah satu kaidah fiqih “كُلُّ عِبَادَةٍ كَانَ ضَرَرُهَا أَعْظَمَ مِنْ نَفْعِهَا نُهِيَ عَنْهَا (Setiap ibadah yang mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya maka ibadah tersebut dilarang/dapat ditangguhkan pelaksanaannya)-sebagaimana hukuman hudud ditangguhkan oleh Sayidina Umar. Karena pada dasarnya, suatu ibadah itu disyariatkan untuk mendatangkan atau mewujudkan maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat. Akan tetapi pada kondisi-kondisi tertentu ibadah tersebut dapat mendatangkan mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar bila dibandingkan dengan manfaatnya. Ketika seperti ini, maka ibadah itu dapat ditangguhkan/diganti, misalnya pelaksanaan shalat Jumat pada saat pandemi.
Kaidah fiqih lainnya, "dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih", menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan.
3. Tidak semua perbuatan munkar harus dilawan serta merta dengan hukum positif-dakwah penuh rahmah dan berproses mungkin dibutuhkan
Tentu, kita tidak memperdebatkan apakah zinah merupakan sebuah dosa dalam Islam. Sebagaimana para ulama tidak pernah ragu mengatakan bahwa meninggalkan shalat tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa besar dan runtuhnya tiang agama (bahkan beberapa ulama menyatakan apabila disengaja maka ia telah kafir). Namun, mengenai bagaimana pemerintah dan masyarakat harus menghadapinya, ulama klasikpun berbeda pandangan. Para ulama Maliki dan Syafi’i berpadangan bahwa mereka yang meninggalkan shalat harus diberikan hukuman, namun Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa peringatan yang keras kepada mereka sudah cukup. Bahkan dalam perkara zinah, Sayidina Umar, sebagiaman dikisahkan di atas, pernah melakukan penangguhan pelaksanaan hudud zinah dan, dalam kisah lain, menunda pelaksanaan hudud potong tangan bagi pencuri akibat masa paceklik.
Disisi lain misalnya, pada awal kedatangannya Islam tidak secara mengagetkan melarang khamr (minuman beralkohol) tapi melakukan pelarangan secara bertahap karena pada saat itu khamr merupakan hal yang amat sangat sulit dipisahkan dari kehidupan (lihat QS 2:219; 4:43; dan 5:90). Begitu juga ketika Islam menanggapi perbudakan, ketimbang melarangnya secara tegas, Islam justru memberikan berbagai insentif dan dorongan bagi seseorang untuk mau secara sukarela melepaskan budaknya. Hal ini disebabkan pula faktor lekatnya sistem perbudakan dalam kehidupan pada saat itu.
Bagaimana kita bersikap dan menentukan pilihan juga sangat tergantung bagaimana keadaaan masyarakat. Jauh bahkan sebelum 3 Maret 1924, Allah SWT telah mentakdirkan umat dari agama yang mulia ini untuk ada pada salah satu masa yang mungkin paling menyulitkan. Umat hari ini begitu banyak dari segi jumlah, akan tetapi seperti buih yang terombang-ambing di atas air banjir/lautan (lihat Hadist sahih Abu Dawud dan Ahmad). Begitu banyak muslim yang bahkan salah memahami agamanya dan bahkan membenci agamanya. Di tengah kegelapan ini, pertanyaan yang mungkin perlu kita jawab, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Kita melihat fenomena di beberapa kerajaan Muslim seperti Arab Saudi yang menerapkan hudud tetapi memiliki tingkat kriminalitas yang lebih tinggi ketimbang negara yang tidak menerapkan hudud, seperti Selandia Baru. Fenomena yang menunjukkan bahwa meskipun hudud diterapkan, hal tersebut tidak menjamin akan membaiknya kualitas akhlak atau kehidupan rakyatnya-pada hakekatnya, karena, pembentukan karakter sosial dan akhlak secara organik lebih utama.
Wallahualam bissawab.
Krishna Vesa
Ithaca, New York – 18 Maret 2021
0 notes
Text
Kritik kepada Pemerintah dalam Pandangan Islam: Analisa atas Fatwa dan Pandangan Masyaikh Al Azhar Mesir
Pembukaan
Tulisan berikut ini berusaha menjawab persoalan mengenai apakah seorang Muslim diperbolehkan mengkritik Pemerintah yang sah, bagaimana cara terbaik menyampaikan kritik tersebut, dalam hal apa aksi dan demonstrasi diperbolehkan sebagai salah satu metode penyampaian kritik, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan. Tulisan ini juga berusaha menanggapi pemahaman yang beredar di masyarakat bahwa seorang muslim wajib taat sepenuhnya kepada dan tidak boleh berlawanan dengan pemimpin-yang bahkan bertindak dzalim-dengan penafsiran mereka atas Hadist Muslim no. 1847.
Sebelum memulai pembahasan, penulis perlu sampaikan bahwa merupakan suatu kewajiban dalam Islam bahwa usaha seseorang dalam memahami ayat Al Quran dan Hadist Rasul saw. wajib didasarkan pada pemahaman dan penafsiran seorang alim’ yang memiliki otoritas dalam ber-fatwa dan keahlian dalam ilmu Agama. Hal ini merupakan kewajiban agar seseorang tidak keliru dalam memahami suatu ketentuan dan menyebarkan pemahaman yang keliru di masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam:
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
“Dan bahwasanya berusaha memahami ilmu tanpa adanya penjelasan dari seorang Syaikh, laksana seseorang yang menyalakan pelita, padahal pelita itu tidak berminyak.” (Al-Fawaaidul Makkiyyah, halaman 25 dan kitab Taudhihul Adillah, juz III, halaman 147).
“Barang siapa yang menafsirkan ilmu tanpa penjelasan seorang Syaikh, sesungguhnya Syaikh-nya adalah syaitan.” (Tafsir Ruhul Bayan, 5/264).
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis sampaikan bahwa tulisan berikut ini pada dasarnya merupakan kumpulan (disusun berdasarkan) fatwa dan pandangan para Masyaikh Al Azhar Kairo, Mesir yang antara lain adalah fatwa Fadhilatu Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi dalam Hadyul Islam Fatawi Mu’ashirah Jilid 1 dan 2, pandangan Grand Syaikh Dr. Ahmad Thayyeb tanggal 20 Juni 2013, pandangan Syaikh Dr. Ali Jum’ah dalam kajian Dar Al Ifta Al Misseriya berjudul “What is the ruling on boycotting presidential elections?” tanggal 1 Juni 2015 dan “Legal standards for a new president” tanggal 28 Mei 2015, Fatwa Universitas Al-Azhar Mesir 2011 dan 2013, serta pandangan ulama Al-Azhar lainnya termasuk Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Syekh Gamal Qutb, Syekh Ali Abul Hasan. Tulisan ini juga memuat pandangan ulama Nusantara, yaitu K.H. Abdurahman Wahid dan Prof. Quraish Shihab.
Pembahasan
Hal mendasar yang paling pertama dan utama perlu untuk dipahami adalah merupakan suatu ijma ulama (kesepakatan ulama) di antara kewajiban asasi dalam Islam ialah kewajiban melakukan amar maruf (menyuruh berbuat baik) dan nahi mungkar (mencegah kemungkaran), suatu kewajiban yang dijadikan oleh Allah swt. sebagai salah satu dari dua unsur pokok keutamaan dan kebaikan umat Islam (Lihat QS Ali Imran: 10). Selain itu, banyak sekali ayat dalam Al Quran yang memerintahkan seorang muslim melakukan amar maruf dan nahi mungkar, antara lain:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. (QS Al-Imran :110).
Bahkan, Allah swt. dalam Al Quran memuji orang-orang yang menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta menjadikan hal tersebut sebagai ciri-ciri orang mukmin (Lihat QS at-Taubah: 112). Disisi lain, Al Quran mencela orang-orang yang sama sekali tidak mau melakukannya (tanpa alasan yang dibenarkan) (QS al-Maidah: 78-79).
Dengan demikian, para ulama mengatakan bahwa tidak dibenarkan seorang muslim semata-mata baik terhadap dirinya sendiri, tetapi tidak menghiraukan yang dilihatnya mengerut dan terbengkalai di depannya atau sekelilingnya. Tetapi seorang muslim selain harus beriman dalam hatinya, harus ada antusiasme untuk dapat memperbaiki keadaan lingkungan dan orang lain, sebagaimana digambarkan dalam Al Quran:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran…dan kesabaran.” (QS al-Ashr: 1-3).
“kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman dan tidak sempurna iman kalian hingga kalian saling peduli/mencintai” (HR. Muslim).
Beberapa ulama bahkan menilai, berdasarkan ayat di atas, Al Quran menempatkan kepedulian terhadap sesama sebagai kewajiban yang setara (walaupun setelah) keimanan dan melakukan kebaikan, sehingga tidak ada keselamatan (yang utuh/sempurna) bagi seorang muslim apabila ia tidak peduli terhadap orang lain/lingkungan dengan tidak melakukan “tawashi bil haq (menasihati dalam kebenaran)” dan “tawashi bishshabr (menasihati dalam kesabaran)”.
Kewajiban saling menasihati dengan dasar kepedulian berlaku dalam berbagai dimensi kehidupan, baik lingkungan keluarga, persahabatan, dan masyarakat secara umum. Hal tersebut juga berlaku dalam hubungannya dengan seorang pemimpin negara. Bahkan dalam suatu hadist, Rasul saw. mengatakan bahwa sebaik-baiknya usaha dalam kebaikan (jihad) adalah menyampaikan (mengungkap) kebenaran dihadapan seorang pemimpin yang berbuat zalim (HR. Ibnu Majah no. 4011. dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani., hadist serupa dengan kalimat yang sedikit berbeda juga diriwayatkan oleh an-Nasai).
Penting untuk dipahami bahwa kewajiban seorang pemimpin tentunya tidak sama dengan seorang rakyat biasa. Kewajiban seorang pemimpin tidak terbatas pada kewajiban seorang muslim secara umum (melaksanakan shalat, zakat, dsb.), tetapi Islam secara tegas memerintahkan pemimpin untuk bertindak adil dan melakukan yang terbaik dalam jabatannya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS an Nisa: 58) (Lihat juga QS al-Hujurat: 9 dan an Nahl:90).
“Apabila kalian memutuskan hukum, lakukanlah dengan adil..” (HR Thabrani).
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR. Tirmidzi)
Selain itu seorang pemimpin juga diwajibkan mendasarkan kebijakannya atas kemaslahatan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqih mengatakan “tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah Manuthun bi al-Maslahah” artinya “Tindakan/kebijakan pemerintah/pemimpin harus (bahkan terikat) dengan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyatnya”. Sehingga, dalam konteks, menasihati pemimpin tentunya tidak terbatas kepada hal-hal terkait kewajiban seorang muslim secara umum, tetapi justru sebaliknya yaitu menekankan mengenai bagaimana seorang pemimpin tersebut menjalankan amanah-nya.
Kewajiban meluruskan seorang pemimpin yang melakukan kekeliruan merupakan hal pertama kali yang ditegaskan oleh Abu Bakr As Shiddiq ra., khalifah rasyidin pertama umat Islam, segera setelah ia diangkat sebagai pemimpin dalam pidatonya:
"…. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah!.... Maka hendakklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku…."
Apa yang disampaikan oleh Abu Bakr As Shiddiq ra., dalam bagian akhir pidatonya “Patuhilah saya sepanjang saya mematuhi Allah dan rasul-Nya. Tetapi jika saya melanggarnya, maka tidak ada kewajiban kalian mematuhiku.” merupakan sesuatu yang ternyata juga diatur dalam hadist Rasul saw., yaitu:
“Mendengar dan menaati pemimpin merupakan kewajiban bagi seorang muslim, baik mengenai sesuatu yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama tidak diperintah untuk kemaksiatan. Jika diperintahkan untuk kemaksiatan, maka tidak usaha didengar dan ditaati” (HR Bukhari dan Muslim)
“Mendengar dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh mendengar dan ta’at (dalam maksiat tersebut)” (HR. Bukhari no.2955).
Para ulama pada dasarnya menyepakati bahwa kepatuhan kepada pemimpin tidaklah mutlak seperti kepatuhan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya (Lihat an Nisa: 59), tetapi kepatuhan kepada pemimpin terikat pada ketentuan dasar dari Allah swt. dan Rasul saw. Sebagaimana ditegaskan dalam hadist-hadist di atas bahwa seorang muslim tidak wajib taat kepada pemimpinnya apabila pemimpinnya memerintahkan terjadinya suatu kemungkaran atau ketidakadilan. Pertanyaan selanjutnya “pada tahap kemungkaran apa, seorang muslim diperbolehkan untuk tidak taat kepada pemimpinnya?”. Pertanyaan yang demikian dijawab oleh para ulama dengan beberapa kriteria, antara lain, (a) perkara tersebut disepakati kemungkarannya; (b) kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan dan terlihat oleh umum; (c) memenuhi kaidah dalam bertindak. Kemungkaran yang dimaksud pada huruf (a) tentu berada dalam berbagai spektrum dan tingkatan yang berbeda, dari yang tertinggi (misalnya genosida) sampai dengan terendah. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam bersikap dan mengambil tindakan, seorang muslim tunduk pada kaidah-kaidah dalam bersikap (huruf (c)). Hal ini akan dibahas dalam bagian di bawah.
Kemudian, muncul pertanyaan lainnya yaitu bagaimana mengenai Hadist Muslim no. 1847 yang mengatakan bahwa seseorang dianjurkan untuk tetap patuh kepada pemimpin meskipin pemimpin tersebut dzalim (bahkan berhati syaitan). Pertanyaan ini akan dibahas dalam bagian di bawah.
Sebelumnya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu disampaikan bahwa dalam menasehati orang lain termasuk seorang pemimpin. Islam mewajibkan seorang muslim untuk berlaku lemah lembut dalam mengubah kekeliruan dan mengajak kepada kebaikan. Rasul saw. telah berpesan kepada kita untuk bersikap lemah lembut dan menjelaskan kepada kita bahwa Allah menyukai kelemahlembutan dalam segala hal.
Dalam kaitannya dengan kritik kepada pemimpin, terdapat kisah yang menarik yang dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, bahwa ada seseorang yang menghadap khalifah al-Makmun pada saat itu untuk menyuruhnya berbuat baik dan meninggalkan keburukan, tetapi dia menggunakan bahasa yang kasar yang menyerang pribadi khalifah. Ia berkata kepada al-Makmun “wahai orang zalim, wahai orang durhaka… dst”. Al-Makmun tidak menghukum dan menangkap orang tersebut, justru menjawab:
“Wahai engkau, bersikap lemah lembutlah dalam menyampaikan kebenaran, karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik dari pada kamu kepada orang yang lebih buruk daripada saya, dan Allah menyuruh utusanNya untuk bersikap lemah lembut, yaitu Allah mengutus Musa dan Harun kepada Firaun, lalu Allah berfirman kepada Musa dan Harun: “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS Thaha: 43-44)”
Oleh karena itu, menasihati langsung dihadapannya dengan perkataan lemah lembut merupakan cara yang paling ideal dalam menasihati dan mengkritik seorang pemimpin. Namun, para ulama memahami realitas kehidupan umat hari ini dimana mungkin sulit sekali bagi seseorang untuk bertemu langsung dengan pemimpinnya. Oleh sebab itu, mayoritas ulama yang saya sebutkan sebelumnya, pada dasarnya memperbolehkan untuk mengingatkan pemimpin dengan beberapa cara lainnya seperti tulisan di media, pembentukan opini publik, pengerahan massa atau demonstrasi, hingga bahkan pemboikotan pada pemilihan presiden, dengan syarat-syarat tertentu. Namun, dalam beberapa keadaan, ulama mewajibkan kita untuk berdiam dan bersabar dengan keadaan. Hal ini akan dibahas dalam bagian di bawah.
1. Ulama pada dasarnya sepakat bahwa kita diwajibkan untuk bersabar dengan keadaan dalam hal kita mengetahui bahwa segala nasihat/kritik atau tindakan yang kita lakukan untuk mengubah keadaan merupakan hal yang sia-sia, karena pemimpin kita sudah amat zalim dan kita tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengubah keadaan.
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Maka barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah dengan lisannya, dan barangsiapa yang tidak mampu hendaklah dengan hatinya (penolakan dalam hati)….” (HR. Muslim dalam shahihnya pada kitab al-Iman dari Abu Sa’id al Khudri).
Hadist di atas menurut para ulama merupakan kaidah bahwa dalam mengubah keadaan, seseorang harus memiliki kemampuan dalam bertindak-baik secara individu maupun bersama-sama-baik kekuatan materiil dan spiritual. Apabila seseorang tidak mampu karena tidak memiliki kemampuan atau keadaan tidak mendukung, maka ia diperbolehkan meninggalkan urusan tersebut pada orang lain. Hal ini sejalan dengan Hadist Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf yaitu jika seseorang khawatir penguasa akan membunuhnya karena mengkritiknya maka ia tidak harus melakukannya. Hal ini sesuai dengan tujuan agama (maqashid syariah) yang antara lain menjaga nyawa.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan disyariatkannya berdiam diri terhadap kemungkaran jika dikhawatirkan akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar (jatuhnya darah, perampasan kekayaan, kekacauan di masyarakat atau semakin zalim-nya pemimpin). Islam mensyariatkan untuk memilih bahaya yang lebih ringan dan lebih kecil keburukannya. Islam juga mensyariatkan "dar'ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih", menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan. Artinya, jangan mempertaruhkan masa depan dengan hal-hal yang tidak jelas dan lebih merusak.
Dengan penjelasan di atas, jelaslah bagaimana kita memahami Hadist Muslim No.1847 (terlepas dari catatan beberapa alim’ mengenai validitas hadist ini, beberapa alim’ menilai hadist ini mursal), berikut:
“Akan ada setelahku para pemimpin (penguasa) yang mereka tidak melaksanakan petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku (ajaranku). Akan ada di tengah-tengah mereka sejumlah penguasa yang berhati setan, raganya saja yang berwujud manusia.”
Sahabat bertanya, “Apa yang harus kami perbuat jika kami menjumpai masa tersebut?”
“Hendaklah Engkau mendengar dan taat kepada penguasa, meskipun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim no. 1847).
Dengan demikian, kita memahami justru selama masih ada kebaikan dan kemungkinan agar pemimpin kita berbuat benar serta bisa menerima nasihat maka selama itu pula kita perlu menasihatinya.
2. Dengan tetap memperhatikan hal-hal di atas (berkata lemah lembut, dll.), para ulama memperbolehkan kita untuk menyampaikan nasihat kepada pemimpin melalui tulisan, pengarahan-pengarahan sehingga dapat membuat opini public yang kuat yang menuntut perubahan atas suatu kemungkaran. Mayoritas ulama juga berpandangan bahwa pengerahan massa dalam jumlah besar untuk memberikan tekanan kepada pemimpin juga diperbolehkan dalam Islam (dengan catatan), bahkan hal yang demikian sebetulnya dicontohkan oleh beberapa sahabat yaitu Aisyah rha., Thalhah bin Ubaidillah ra., Zubair bin Awwam ra., Abdullah bin Zubair ra., dan lainnya pada sekitar bulan November 656 M (Jumadil Awal 36 H). Pada saat itu, para sahabat tersebut meminta Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., untuk segera mengusut kasus pembunuhan Khalifah sebelumnya yaitu Utsman bin Affan ra. Namun, Khalifah Ali pada saat itu memiliki prioritas lain yaitu menciptakan stabilitas umat, sebelum dapat melakukan pengusutan kasus tersebut. Para sahabat yang berbeda pendapat dengan Khalifah, akhirnya mengumpulkan dan mengerahkan massa sekitar 30.000 kaum muslimin ke arah Ibukota kekhalifahan pada saat itu, Irak, dengan tujuan memberikan tekanan publik kepada Khalifah Ali. Syaikh Dr. Ali Jum’ah bahkan secara spesifik mengatakan bahwa dalam beberapa keadaan dan kondisi, melakukan pemboikotan atas pemilihan presiden bisa diperbolehkan sebagai bentuk tekanan publik kepada pemerintah.
Penting untuk dicatat bahwa dalam melakukan tindakan-tindakan di atas, Islam melarang keras anarkisme, pengerusakan, dan tindakan lainnya yang dilarang oleh hukum dan menimbulkan keburukan. Segala bentuk kritik kepada siapapun, termasuk pemerintah harus dilakukan berlandaskan cinta dan kepedulian, dengan cara yang ma’ruf (baik), berdasarkan argumentasi/dasar yang jelas dan benar (disampaikan spesifik oleh Syekh Dr. Wahbah Az Zuhaili), berfokus kepada substansi dan bukan pribadi pemimpin, menghindari segala tindakan yang justru menimbulkan mudharat (keburukan) dan mempertimbangkan realitas masyarakat, sebagaimana dijelaskan di atas. Selain itu, Islam mengajarkan kita untuk mendoakan pemimpin sebagai usaha terbaik dalam mengubah keadaan. Ulama terkemuka, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata, “Mendoakan waliyyul amr termasuk qurbah yang paling agung dan termasuk ketaatan yang paling utama,” (Risalah Nashihatul Ummah Fi Jawaabi ‘Asyarati As’ilatin Muhimmah dari Mausu’ah Fatawa Lajnah wa Imamain).
Terakhir, tulisan ini hanya menjelaskan kaidah umum dan tidak ditujukan untuk menjawab permasalahan yang bersifat khusus seperti “apakah boleh melakukan aksi dalam kondisi A, B, C, dst”. Hal-hal tersebut perlu dimintakan fatwa-nya kepada ulama-ulama yang otoritatif.
Wallahualam bissawab.
1 note
·
View note
Text
#SelfReminder
Betapapun beratnya tantangan dunia dalam pandangan kita kedepan. Sebagai muslim kita harus yakin bahwa tidak ada yang mengendalikan kehidupan kita selain Allah swt.
Sebagaimana Al Quran Surat At Taubah: 51 "qul lay yuṣībanā illā mā kataballāhu lanā, huwa maulānā wa 'alallāhi falyatawakkalil-mu`minụn" artinya "Wahai Nabi, katakanlah kepada mereka: “Tidak akan ada yang menimpa kami kecuali yang ditakdirkan Allah atas kami, dan kami meridhainya. Dialah penolong kami dan pengatur urusan-urusan kami, dan sebaiknya orang-orang mukmin menyerahkan urusan-urusanNya hanya kepada Allah bukan selainNya” (Tafsir al-Wajiz).
“Ketahuilah apabila semua umat berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan seandainya mereka pun berkumpul untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (catatan takdir) telah kering.’” (HR. Tirmidzi, dan ia berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
0 notes
Text
Perempuan dalam Islam: Peran, Kemandirian dan Pemahaman yang Keliru dalam Konteks Keluarga

Apabila kita membahas sesuatu dalam Islam, kita tentu akan menemukan berbagai macam pembahasan dan diskusi tentang hal itu karena begitu komprehensif-nya Islam memandang sesuatu dan di saat yang sama begitu beragam penafsiran ulama atas hal tersebut (Lihat pandang saya berjudul “Islam: Ilmu Pengetahuan, Kewajiban dan Moderasi”). Hal tersebut juga berlaku dalam hal kita membahas peran dan posisi perempuan dalam Islam, serta berlaku pula apabila kita membahas peran dan posisi lelaki.
Dengan tidak menyampingkan berbagai pembahasan mengenai perempuan dalam Islam, dalam artikel berikut kita akan membahas secara khusus bagaimana Islam memandang peran dan kemandirian seorang perempuan.
Untuk membuka diskusi kita, saya ingin mengutip salah satu kisah yang diceritakan dalam Al Quran, yaitu kisah tentang keluarga Imran. Dalam akhir kisah ini, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama, kita akan menemukan bahwa pada saat keadaaan lingkungan sekitar tidak mendukung peran perempuan dalam masyarakat seketika itu pula agama Islam membela dan mendukung posisi perempuan.
Keluarga Imran merupakan salah satu keluarga yang sangat mulia dalam sejarah manusia. Imran dan istrinya, Hanah, merupakan pasangan suami istri yang taat mengamalkan Taurat. Cukup lama mereka sabar menantikan seorang anak yang menjadi pelengkap kebahagiaan dalam keimanan. Agar doanya cepat dikabulkan, karena usia Hanah dan Imran tak lagi muda, mereka bernazar:
"Suamiku, kelak anak ini akan aku serahkan untuk mengabdi Baitul Maqdis. Biarlah dia menjadi manusia yang dekat kepada Allah." ucap Hanah,
Suatu hari, doa Imran dan Hanah terkabulkan dalam usia yang tak muda lagi, Hana hamil, sungguh, itulah janji Allah yang akan mengabulkan pinta hamba-hambanya. Namun, Imran sempat bertanya, akan nazar istrinya itu " Bagaimana jika anak kita perempuan?". Imran tahu betul kondisi di lingkungan Baitul Maqdis pada saat itu, karena dia adalah seorang pengajar Taurat di Baitul Maqdis. Ribuan pelajar yang berada di majelis ilmu itu semuanya laki-laki sehingga keadaan itu sangat tidak mendukung nazar Hannah apabila anak yang dilahirkan adalah seorang perempuan. Pertanyaan Imran tersebut ternyata merupakan takdir Allah swt., anak Imran dan Hana benar-benar terlahir perempuan. Kejadian ini diceritakan dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 36 (QS 3:36):
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan….".
Para ulama memahami “وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ” tidak hanya berarti “lelaki tidaklah seperti perempuan” tetapi juga berarti sebuah penegasan (dalam konteks firman Allah swt. tersebut) bahwa perempuan memiliki hal-hal istimewa yang mana lelaki tak memilikinya dan perempuan yang dilahirkannya itu lebih baik dari bayi laki-laki yang dimintanya (lihat tafsir yang disampaikan Ust. Adi Hidayat dan Tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab). Dalam ayat tersebut kita melihat bagaimana Allah swt. membela posisi bayi perempuan yang telah lahir tersebut dari keragu-raguan Ayah dan Ibu-nya akibat kondisi lingkungan yang dianggap tidak akan mendukung. Kemudian benar adanya, bayi perempuan tersebut akan diberi nama Maryam (ibunda dari Nabi Isa as.) dan menjadi salah satu perempuan paling mulia dalam sejarah manusia.
Dalam kisah yang lain, apabila kita mengacu pada kita suci Al-Quran, ditemukan citra perempuan yang terpuji, salah satunya, adalah yang memiliki peran dan kemandirian dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk ekonomi dan politik. Al-Quran menceritakan bahwa anak-anak perempuan Nabi Syu’aib as., yang Ketika itu masih muda, bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan Ayahnya yang telah tua (baca QS al-Qashash [28]:23). Bahkan, Al-Quran berbicara tentang perempuan yang menjadi penguasa tertinggi negara sebagaimana terbaca dalam kisah ratu yang menduduki tahta negeri Saba’ yang konon bernama Balqis (baca QS An Naml [27]: 29 – 44).
Pada masa Nabi, yang mulia, Muhammad saw., para perempuan diberi oleh Al Quran dan Nabi saw., hak-hak kesetaraan dalam berbagai aspek. Hak ini tentunya setara dengan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam QS Al Baqarah [2]: 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.”
Penggalan ayat di atas merupakan pengumuman menyangkut hak-hak perempuan. Ulama mengatakan bahwa didahulukannya penyebutan hak atas kewajiban menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan. Hal ini merupakan antitesis dari keadaan masyarakat Jahiliah pada saat itu dimana hak-hak perempuan tidak diakui.
Hak perempuan di atas yang diberikan oleh Islam, dalam tataran implementasi, mewujudkan kebebasan perempuan di berbagai bidang. Dalam bidang perdagangan, istri Nabi saw., sendiri Khadijah binti Khuwailid r.ha., merupakan seorang pebisnis atau pengusaha yang sangat amat sukses. Dalam bidang politik dan pergerakan (bahkan perjuangan), Asma binti Abu Bakar As Shidiq merupakan pemegang peran penting dalam gerakan hijrah kaum muslimin, Umarah Anshariyah r.ha dan Nusaybah r.ha (lihat Himpunan Fadhilah Amal karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi), merupakan para tokoh perempuan di pasukan muslimin pada saat perjuangan di bukit uhud. Dalam bidang pemikiran dan filsafat, Rabiah Al-Adawiyah seorang wanita yang menjadi banyak rujukkan dalam ilmu tasawuf. Dalam bidang pendidikan, Fatima binti Muhammad Al-Fihriya yang mendirikan universitas pertama di dunia, Universitas Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko pada sekitar tahun 800 Masehi.
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana Islam sangat mengakui kemandirian serta peran perempuan dalam masyarakat. Hal ini merupakan bukti kemajuan pemikiran Islam dibandingkan berbagai peradaban yang banyak tidak mengakui hak perempuan. Bahkan, sebagai contoh, jauh lebih maju dibandingkan Negara modern seperti Amerika Serikat yang baru mengakui hak politik perempuan pada tahun 1920 dalam Amandemen Konstitusi ke-19 (sekitar 300 tahun setelah Amerika merdeka).
Banyak pandangan yang keliru memandang bagaimana Islam memposisikan perempuan akibat norma dalam Islam yang memberikan posisi lelaki sebagai pemimpin (beserta kewenangannya) dalam keluarga. Oleh karena itu, kita akan membahas poin di atas secara spesifik.
Allah swt. berfirman dalam QS An Nisa ayat 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”
Firman Allah swt. di atas sering kali dipahami tidak secara menyeluruh. Banyak pandangan di masyarakat bahwa ayat tersebut semata-mata memberikan posisi bagi lelaki sebagai pemimpin sehingga memiliki berbagai kewenangan pada dirinya. Padahal, ulama (lihat Tafsir Al-Wajiz karya Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dan Tafsir Al Misbah karya Prof. Quraish Shihab) mengartikan “قَوّٰمُونَ” tidak semata-mata pemimpin melainkan seseorang/posisi yang berperan melindungi, mengurus, menangani urusan-urusan perempuan (istrinya). Sehingga, ayat tersebut justru memberikan kewajiban kepada lelaki.
Dalam konteks menjalankan kewajiban di atas, Al-Quran maka memberikan beberapa kewenangan bagi lelaki untuk membimbing istri-nya. Namun, banyak sekali pandangan yang keliru mengenai bagaimana kewenangan tersebut dapat dipergunakan. Dalam contoh yang ekstrim, misalnya, Islam memperbolehkan seorang suami menasehati istri-nya secara fisik apabila sangat dibutuhkan, namun, untuk melakukan hal tersebut ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi Syarat tersebut antara lain adalah (1) Tindakan fisik tidak boleh sampai (dan dengan tujuan) menyakiti (lihat HR Muslim no 1218); (2) Tindakan fisik tidak boleh hingga menimbulkan bekas luka dan diarahkan ke wajah (lihat Hadits sahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no 2128), Ibnu Majah (I/593 no 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah RA); (3) Tidak boleh menghina pasangan kita (lihat referensi Hadist sebelumnya); (4) Tidak boleh dilakukan apabila dinilai tidak akan bermanfaat. Imam ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj menjelaskan. "Jika diketahui bahwa tindakan fisik tersebut tidak bisa memberikan efek, hal tersebut haram untuk dilakukan karena hukuman tersebut tidak berfaedah”, dan berbagai syarat lainnya.
Kalau Islam memberikan begitu banyak syarat yang membuat kewenangan tersebut sulit dilaksanakan, mengapa Islam memberikan kewenangan tersebut? Jawabannya sangat sederhana. Islam merupakan agama yang memahami realitas (Idrak Al Waqi) dan merupakan sebuah realitas bahwa terdapat berbagai macam keluarga serta banyak sekali fenomena dan persoalan di dalamnya. Sebagai perumpamaan, apakah jika Negara mengatur mengenai Lembaga pemasyarakatan berarti Negara menginginkan rakyatnya masuk ke lembaga tersebut? Jelas jawabannya tidak. Namun, adalah realitas bahwa akan ada saja masyarakat yang masuk kesana (karena beberapa alasan) sehingga hal tersebut harus diatur.
Hal di atas merupakan hal yang tidak diinginkan dalam Islam kita bisa lihat dalam kisah berikut. Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkisah dengan panjang yang penggalannya sebagai berikut.
“Kami orang- orang Quraisy mengalahkan istri-istri kami. Namun, ketika kami datang (ke Madinah) dan tinggal di kalangan orang-orang Anshar, kami dapatkan mereka itu dikalahkan istri-istri mereka. Mulailah istri-istri kami mengambil adab/kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu hari, aku bersuara keras kepada istriku, ia pun menjawab dan membantahku. Aku mengingkari perbuatannya yang demikian.
“Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan, sementara demi Allah, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mendebat beliau, sampai-sampai salah seorang dari mereka memboikot beliau dari siang sampai malam,” kata istriku membela diri.
Berita itu mengejutkan aku, “Sungguh merugi orang yang melakukan hal itu dari mereka kepada Rasul saw.” kataku kepada istriku. Lalu kukenakan pakaian lengkapku dan turun menemui Hafshah, putriku.
“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang kalian ada yang marah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siang sampai malam?” tanyaku.
“Ya,” jawab Hafshah.
Maka Umar ra. menasihati Hafshah agar tidak berlaku demikian kepada Nabi saw., yang mulia “Jangan kamu mendebat beliau dalam satu perkara pun dan jangan memboikotnya. Minta saja kepadaku apa yang ingin kamu minta.” (HR. al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim)
Dari Hadist di atas terlihat bagaimana Rasul saw. bersikap lembah lembut dan amat sangat penyabar kepada Istri-nya. Beliau menghargai dan bersabar (bahkan menerima ketika di-diamkan sampai harus orang lain yang meminta istri beliau tidak melakukan itu) atas tindakan istri-nya. Disisi yang lain, Rasul saw. mendahulukan kasih sayang hingga marah itu hilang karenanya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, satu kisah ketika Rasullullah saw. sedang ada sedikit perselisihan dengan istrinya, Aisyah rha. Rasulullah berkata kepada Aisyah supaya istrinya tersebut memjamkan matanya.”Pejamkanlah matamu” Lalu kemudian Rasulullah saw. mendekat ke arah Aisyah berdiri. Setelah tubuh beliau berdua berdekatan, Rasulullah saw. memeluk istrinya tersebut seraya berucap, ”ya Khumairaku, rasa marah telah pergi dariku usai aku memelukmu.” (HR Muslim)
Akhlak Nabi saw. di atas sesuai dengan hadist beliau, sebagaimana tertulis dalam kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali:
“Sebaik-baiknya orang beriman adalah orang yang berakhlak baik kepada istrinya” (HR. Imam Tirmidzi dan Imam Nasa’i).
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadits shahih dalam kitab sunannya:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلاَلِي لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمُ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ.
“Muadz bin Jabal berkata, “Aku mendengar Rosululloh bersabda bahwa Alloh subhanahu wata’ala berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencinta di bawah keagungan-Ku untuk mereka mimbar-mimbar (tempat yang tinggi) dari cahaya yang membuat para Nabi dan orang yang mati syahid.” (HR. Tirmidzi)
Wallahualam bissawab.
2 notes
·
View notes
Text
Cinta adalah misteri-Nya

Kisah ini diambil dari HR. Bukhari no. 5283, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas. Kisah ini pertama kali saya dengar dari Prof. Quraish Shihab.
Ada seseorang budak bernama Burairah dan suaminya yang juga seorang budak bernama Mughits. Namun, Burairah suatu saat berhasil memerdekakan dirinya sehingga dia bebas memilih apakah dia ingin melanjutkan rumah tangganya atau tidak. Burairah memilih untuk meninggalkan Mughits. Sang suami, Mughits, memohon pada Burairah untuk tetap Bersama tetapi permohonan itu terus ditampik. Pada suatu saat, Nabi saw. melihat satu pemandangan yang mengharukan: Mughits mengikuti Burairah ke mana ia pergi sambil menangis karena mengharapkan cinta Burairah. Mughits merengek cinta dengan linangan air mata yang mengalir membasahi jenggotnya, tapi itu tidak diindahkan sama sekali oleh Burairah. Ibnu ‘Abbas menyampaikan bahwa Nabi saw. bersabda:
“Wahai Abbas, tidakkah engkau heran/kagum betapa besar rasa cinta Mughits kepada Burairah dan betapa besar pula kebencian Burairah kepada Mughits.”
Mughits akhirnya datang kepada Rasul saw., dia memohon bantuan Rasul saw. Sehingga Rasul saw. bersabda kepada Burairah, “Kiranya engkau engkau mau kembali kepada Mughits”, yang disambut oleh Burairah dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?”, Rasul saw. bersabda, “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’)” dalam Riwayat lain “Aku hanya mengharap dan menyarankan” Barirah kemudian mengatakan, “Jika demikian, aku berkeras untuk berpisah. Aku tidak membutuhkannya”.
Demikian Nabi saw. menghargai asmara Mughits, bahkan berusaha menghubungkannya tetapi pada saat yang sama beliau juga menghargai perasaan Burairah yang menolak cinta itu.
Entah sudah berapa lama Bumi ini menjadi saksi, begitu banyak cinta yang tertancap sangat dalam di hati seorang anak adam tetapi pada saat yang sama tak terbalaskan oleh cintanya. Mungkin, tak ada penjelasan dan jawaban melainkan “Itulah Takdir Tuhan” dan mungkin memang tak akan terjawab melainkan dengan keimanan bahwa Allah swt ialah Tuhan Yang Maha Adil. Seperti kita melihat begitu banyak takdir yang kita usahakan tetapi tak terwujud sedangkan begitu banyak takdir yang kita tidak harapkan justru ia datang dihadapan kita.
إِنَّ اللَّهَ عَالِمُ غَيْبِ السّ��مَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُور
“Sesungguhnya Allah mengetahui yang tersembunyi di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS.Fathir:38)
“Tidaklah dua orang berkumpul atau berpisah kecuali berdasarkan qadha dan takdir Allah” (Rasulullah saw.)
3 Oktober 2020/15 Safar, 1442
0 notes
Photo

Kaidah Kedaruratan : Adh-Dharurat Tubihul Al-Mahzhurat
“Adh-Dharurat Tubihul Al-Mahzhurat / Dalam keadaan terpaksa dapat dibolehkan dilakukannya perkara yang dilarang” adalah salah satu kaidah fiqih yang mungkin kita semua tahu tapi mungkin perlu melihat lebih detail kaidah tersebut.
Kaidah fiqih ini muncul dari Al Quran Surat An’aam : 119 dan 145. Dalam QS An’aam : 119, Allah swt. berfirman:
“…. sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
Pertanyaannya adalah, dalam konteks di atas, apa yang bisa dikategorikan sebagai keadaan terpaksa/darurat. Hal ini untuk menjawab kapan Islam mungkin akan memberikan keringanan (rukhsah) dan memperbolehkan kita melakukan sesuatu yang secara kaidah umum dilarang.
Disarikan dari Fatawi Mu’ashirah karya Syeikh Yusuf Qardhawi (dimulai) halaman 796 dan Tarikh Ushul Al Fiqh karya Syeikh Ali Jum’ah (dimulai) halaman 188. Para ulama menjelaskan bahwa kaidah kedaruratan di atas akan terpenuhi apabila memenuhi tingkatan kebutuhan: (a) dharuriyyat (mendesak-darurat) atau (b) hajiyyat (kebutuhan dan keperluan), dalam konteks bertujuan menjaga Maqashid Syara’ (jiwa, akal, keturunan, dan harta). Dalam Islam, terdapat satu tingkatan kebutuhan lain yaitu tahsiniyyat (pelengkap) tetapi perkara dalam tingkatan tersebut tidak memenuhi tingkatan terpaksa karena ketiadaannya tidak akan memunculkan masyaqqah (kesulitan).
Dalam tulisan ini, kita akan langsung membahas mengenai tingkatan kebutuhan: (a) dharuriyyat (mendesak-darurat) dan (b) hajiyyat (kebutuhan dan keperluan). Kebanyakan dari kita mungkin sudah tahu terkait perkara dharuriyyat merupakan perkara yang berkaitan dengan perlindungan terhadap nyawa manusia yang ancamannya datang seketika itu (immediate). Contoh yang paling sering disampaikan adalah memakan hewan yang haram bagi seseorang yang sangat kelaparan di tengah hutan dan tidak memiliki pilihan makanan lain. Dalam hal ini justru ulama mengatakan Tindakan tersebut hukumnya justru menjadi wajib. Contoh lainnya adalah membatalkan puasa bagi seseorang yang sedang sakit sehingga mengharuskannya mengkonsumsi obat tertentu. Hal ini hukumnya sunnah (lihat al Mawahib as Saniyah Syarh fawaid al Bahiyah, (dimulai) halaman 240).
Perkara yang mungkin kita jarang ketahui adalah perkara hajiyyat. Al Haajah adalah perkara yang jika tidak terwujud/dilakukan dapat mengakibatkan seorang mendapatkan kesulitan, walaupun hidupnya bisa saja terus berjalan. Para ulama memberikan contoh terkait perkara lain, antara lain, adalah membeli tempat tinggal pribadi melalui pinjaman bank, menyederhanakan shalat dan bertayammum bagi seseorang yang sakit atau karena air yang terbatas hendak dipergunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak. Contoh lainnya yang langsung diberikan oleh Rasul saw. adalah kebolehan mengganti basuhan kaki dalam wudhu dengan membasuh khuf/sepatu/kaos kaki apabila ada keperluan demikian.
Hal-hal di atas tidak terkait dengan keterancaman nyawa, melainkan terkait akan munculnya kesulitan dalam kehidupan, baik muncul seketika itu atau tidak (kesulitan datang dalam beberapa fase secara bertahap) dalam tingkatan kesulitan yang berbeda-beda.
….هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”
(QS Al-Hajj: 78).
0 notes
Photo

Islam: Ilmu Pengetahuan, Kewajiban dan Moderasi.
Dalam tulisan ini saya berusaha menjawab pertanyaan mengenai apa pentingnya belajar Agama Islam, khususnya bagi seorang muslim.
#1
Dalam poin pertama ini, ketimbang membahas “kewajiban”, saya ingin mengatakan bahwa mempelajari Islam bisa jadi akan sangat nikmat bagi seseorang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Tidak ada sumber/ilmu yang bisa selalu menyediakan jawaban yang selalu benar, berlaku sepanjangan zaman sekaligus bisa mengejutkan di saat yang sama, kecuali Islam. Mempelajari berbagai sistem hukum, di setidaknya dua negara yang berbeda, sangat menyadarkan saya bahwa setiap teori/ilmu punya kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sangat jarang sekali pula ditemukan suatu teori/ilmu yang tetap relevan dan bisa dipergunakan dalam jangka waktu yang sangat lama. Misalnya saja norma-norma dalam “Declaration of Independence of the United States 1776”, yang apabila kita memakai penafsiran originalism, tidak mengakui hak orang kulit hitam dan para budak. Jadi, konstruksi asli dari dokumen tersebut nyatanya sudah tidak sesuai (bahkan basi) dengan norma di abad ke-21 ini.
Sedangkan dalam Islam, belum pernah saya temukan norma yang dilahirkan 14 abad yang lalu yang “sudah basi”, seluruhnya masih berlaku dan relevan sesuai zaman. Terkadang bahkan kebenarannya mengejutkan. Tentu kita semua mungkin sudah tahu bahwa ada norma umum untuk menjaga lingkungan dalam Islam (lihat antara lain QS 2:205). Namun, apakah kita tahu bahwa ada hadist shahih yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud yang sangat spesifik melarang kita untuk menebang dan membakar pepohonan? Rasul saw. mengatur ini sekitar tahun 600 Masehi padahal riset pertama di dunia yang mendeteksi asap pembakaran itu merusak ozon baru muncul pada tahun 1974 Masehi. Jadi, hampir selisih 13 abad/1300 tahun. Tentu fakta-fakta menarik seperti ini akan kita terus temukan semakin dalam kita mempelajari Islam.
#2
Benar bahwa kebanyakan dari kita punya sector keilmuan masing-masing. Misalnya kesehatan, teknik, ekonomi, atau hukum. Namun, bukan berarti kita terbebas dari kewajiban memahami ilmu agama. Setiap muslim diwajibkan belajar mengenai Islam, setidaknya dalam batas-batas tertentu.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa Nabi saw. pernah bersabda “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.”, norma tersebut kemudian oleh para ulama ditafsirkan secara berbeda-beda. Tercatat lebih dari dua puluh kelompok yang berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian mewajibkan ilmu kalam-lah yang berstatus fardhu ain, sebagian mewajibkan ilmu fikih, Sebagian lagi ilmu Quran, tasawuf atau hadist. Saya memahami bahwa Imam Al Ghazali mengambil jalan tengah terkait persoalan ini yaitu setiap Muslim wajib mengetahui pokok ajaran Islam (rukun Islam; Lihat hadist: "Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)) dan ilmu atas sesuatu yang dia berkaitan dengannya.
Yang dimaksud oleh Imam Al Ghazali mengenai “mengenai ilmu atas sesuatu yang dia berkaitan dengannya” diartikan dengan melihat perumpamaan bahwa apabila seorang Muslim melakukan kegiatan perdagangan maka yang bersangkutan wajib memahami bagaimana Islam mengatur perdagangan, apabila seorang Muslim melakukan kegiatan berpergian maka ia wajib memahami bagaimana aturan Islam tentang hal itu atau apabila seorang Muslim melakukan perkawinan maka ia wajib memahami bagaimana Islam mengatur hubungan keluarga. Dengan kata lain, segala sesuatu yang diketahui bahwa seorang terlepas darinya (tidak berkaitan), maka tidaklah diwajibkan untuk mempelajarinya. Imam Al Ghazali memberi perumpamaan, misalnya, bagi seorang tuna netra, ia tidak wajib mengetahui objek penglihatan mana saja yang dilarang atau aturan menundukkan pandangan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “Dalam memahami aturan Agama, apakah tidak bisa kita cukup mendengar dan mengikuti (tanpa tahu dalil-nya) seorang Ulama?”
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya mengutip Hadyul Islam Fatawi Muashirah Jilid 2 karya Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, halaman 174-dst. Ibnu Hazm, seorang ulama yang kuat hujah-nya, mengatakan bahwa sesungguhnya taqlid itu haram dan tidak halal bagi seorang muslim untuk bertaqlid selain kepada Rasulullah saw. tanpa berdasarkan keterangan yang jelas”. Dalam kutipan ini terlihat bagaimana pentingnya memahami alasan, dalil dan menggunakan akal kita dalam mempelajari ilmu agama/hasil ijtihad para ulama (tentu bukan berarti kita berijtihad sendiri karena menjadi mujtahid ada syarat-nya).
Allah swt. sendiri memuji mereka yang menggunakan akal-nya dalam mengikuti pendapat yang ada sebagaimana terdapat dalam QS Az-Zumar: 18 sebagai berikut:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
#3
Berilmu membuat kita bersikap moderat, bijak dan jauh dari ekstrimisme.
Dengan banyak kita mendalami ilmu agama, kita akan memahami bahwa produk-produk pemahaman atau ijtihad sungguh sangat berbeda-beda, bahkan boleh jadi bertolak belakang satu sama lain. Masing-masing memiliki dalil-nya sedangkan yang membedakan adalah bagaimana mereka melihat persoalan, sebagian menekankan pendekatan tektual dan bagaimana bersikap sedekat mungkin dengan para pendahulu. Hal ini kebanyakan didasarkan pada hadist:
“Sebaik-baik generasi adalah (yang hidup) pada masa generasiku, kemudian sesudah mereka, lalu generasi yang datang sesudah mereka” (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan, sebagian lain melihat dengan pandangan baru dengan tetap memperhatikan jiwa/cara berpikir para pendahulu. Tentu hal ini tidak keliru juga apabila kita melihat hadist berikut:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap seratus tahun yang akan memperbaharui ajaran agama mereka” (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Memperbaharui agama dibutuhkan karena Allah swt. menciptakan manusia untuk menjadi khilafah di persada bumi ini dan memakmurkannya, sedang kenyataan menunjukkan terjadi perkembangan dalam kehidupan dan tentu saja hal itu membutuhkan pemikiran dan solusi yang sesuai dengan perkembangan tersebut selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agam dan tujuan kehadirannya. Sebagai contoh, pada dasarnya zakat fitrah harus diberikan seorang muslim di tempat ia tinggal, sedangkan zakat mal harus diberikan di tempat harta itu berada. Namun, para ulama berijtihad diperbolehkan menunaikan zakat di Negara muslim yang sangat amat membutuhkan seperti Palestina (Lihat penjelasan lengkap dalam Fatawi Mu’ashirah Jilid 1, halaman 370).
Memang keragaman ini membuat kita dalam posisi mempertanyakan “manakah kelompok yang benar?” belum lagi mungkin kita sering melihat hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim bahwa umatku (Nabi saw.) akan terbagi menjadi 73 kelompok, dan yang selamat hanyalah 1 kelompok. Namun, menurut Syekh Abdul Halim Mahmud, ada riwayat yang menjelaskan lebih lanjut hadist tersebut, yaitu Nabi saw. mengatakan bahwa “semua di surga kecuali satu”. Ketika Nabi saw. ditanya “Siapa yang satu itu?” Beliau menjawab “Azzanadiq,” yakni ia Islam tetapi sebenarnya ia (menyembunyikan) kufur dan murtad. Dari hadist tersebut kita bisa melihat keluasan “kelompok satu” yang ada dalam hadist sebelumnya. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin juga menerangkan kaidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang pada pokoknya keimanan pada Allah swt., kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan keutamaan para sahabat nabi yang apabila keseluruhannya diyakini maka ia termasuk golongan yang lurus.
Untuk lebih menjelaskan hal di atas secara gamblang, saya ingin mengutip fatwa Syekh Abd Al-Aziz Ibn Baz, seorang ulama-Mufti Saudi Arabia yang sangat amat dihormati :
“Fatwa No.6250: Di era kita sekarang, sungguh banyak sekali aliran-aliran dalam Islam, diantara mereka ada yang disebut sebagai Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Ahli Sunni, dan lainnya. Mana di antara mereka yang menerapkan Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw.?
Jamaah yang paling benar dan menerapkan nilai Al Quran dan Sunnah, yang paling mendekati kebenaran ialah Ahlus Sunnah, yaitu mereka di antara-nya yang mendekat kepada Ahlul Hadist, orang-orang yang senang mempraktekkan sunnah, kemudian di antara-nya Ikhwanul Muslimin, Tetapi ketahuilah bahwa setiap kelompok tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Walaupun mereka berbeda-beda dengan aliran yang engkau ikuti tetapi kamu wajib dan harus bekerja sama dengan mereka apabila memang ada kebaikan di dalamnya. Namun, apabila ada kekurangannya, maka saling menasehatilah dalam nilai-nilai kebaikan”. (diterjemahkan oleh Ustad Adi Hidayat Lc., M.A.).
Saya juga akan menutup diskusi ini dengan pesan dari Grand Syeikh Al Azhar, Mesir, Fadhilatu Syaikh DR. Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyib yang disampaikan di kantor Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, 2 Mei 2018:
“Kaum Muslimin selama dua abad ini mengalami tahap perpecahan, yakni Allah swt. menghadapkan mereka dengan beban alam dunia ini. Sebabnya, ialah adanya para penganut mazhab-mazhab atau aliran yang telah bertindak terlampau jauh sehingga menganggap orang-orang di luar mereka sebagai kafir… Tapi pertanyaannya sekarang ialah bagaimana sikap kita terhadap kondisi ini? Kita mengetahui adanya kelompok sufi, whaabi, salafi, nahdiyiin, azhari. Semua permasalahan tetapi muncul karena kelalaian terhadap firman Allah swt: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Anfal:46).
Kita berbantah-bantahan: “Anda begini, dan saya begitu, sayalah yang benar”. Jadi anda bukan Muslim yang sejati, dan seterusnya.
(Karena adanya permasalahan ini) Sehingga kewajiban kita sebagai orang yang berilmu atau menghasilkan para pemimpin masyarakat Muslim secara keagamaan ialah segera mencari persamaan antar mazhab/aliran yang jumlahnya begitu banyak ini. Kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat, atau mengoreksi kesalahan, kita perlu tegaskan sekarang bahwa tak ada alasan untuk memeriksa tauhid orang lain. Nabi saw sudah cukup melihat siapapun yang datang kepada beliau dan mengucapkan “Dua kalimat syahadat” dan kemudian beliau memandangnya bagian dari kaum Muslimin. Satu hadist yang perlu kita ingat dalam kitab Shahih Bukhari:
“Barangsiapa shalat sebagaimana shalat kami, menghadap kiblat kami, memakan hewan sembelihan kami maka ia adalah adalah Muslim yang memiliki jaminan perlindungan dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah kalian tidak menepati Allah dalam orang yang dilindungi-Nya.”
Rangkullah saya, sebab Islam itu luas sehingga mencakup saya dan anda. Saya meyakini akidah anda, tetapi jangan beranggapan bahwa Anda ialah muslim satu-satunya. Sebagaimana Imam Asy’ari mengatakan “Saya tidak mengkafirkan siapapun di antara ahlul kiblat”. Asy’ari juga tidak mengkafirkan orang karena dosanya. Yakni, dosa besar tidak membuatnya keluar dari iman.”
Diskusi singkat di atas pada akhirnya membawa kita pada firman Allah swt.
“Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah 2: 143).
Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan. Kata wasath berarti tengah, pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub atau dua ekstrim (kanan dan kiri).
Ummatan washatan adalah umat yang bersikap, berpikiran, dan berperilaku moderasi, adil, dan proporsional. Semuanya dilakukan secara seimbang, proporsional, dan adil, tidak berat sebelah, dan tidak zhalim. Menurut Ibn Faris, wasath itu menunjukkan arti adil dan pertengahan.
Umat yang mampu melihat dan mencari persamaan dalam keberagaman, demi mempertahankan persatuan.
Wallahualam bissawab.
1 note
·
View note