Photo

Children will not remember you for the material things you provided but for the feeling that you cherished them.
3 notes
·
View notes
Photo

Ceritakan aku sebuah dongeng. Beri aku nasihat. Ajak aku diskusi tentang apapun. Tentang mimpimu? Tentang gelisahmu? Tentang kabar hari ini? . . Diam mu saja berwibawa, ketika bicara apalagi. Entah apa yang membuatku begitu menghormatimu. Sebagai seorang pemuda, dan seorang laki-laki.
2 notes
·
View notes
Text
Argopuro, The Journey of Soul (1)

Gerbong kereta itu membawaku kearah timur. Bukan untuk menyongsong matahari, melainkan menyongsong sebuah kota yang akan mengantarku pada sebuah petualangan hebat. Setidaknya begitulah ekspektasiku. Di sebelah kiri tampak pemandangan sawah dan deretan rumah-rumah yang berlarian ke belakang. Beberapa jam lagi aku akan tiba di Surabaya, kota besar kedua di Indonesia yang selama ini hanya kutau namanya. Kemudian perjalanan akan dilanjutkan ke sebuah kota asing. Kota dimana berdiri sebuah gunung yang menjadi impianku akhir-akhir ini, Gunung Argopuro. Entah, aku seperti punya intuisi tersendiri dengan gunung yang mempunyai trek terpanjang se-pulau Jawa ini. Mungkin itulah yang menyebabkan aku antusias untuk mendaftar menjadi peserta di trip Perdana Argopuro bersama teman-teman Backpacker Jakarta. Berbekal 3 kali pengalaman naik gunung yang tidak tinggi-tinggi amat, aku mencoba menghubungi salah satu kontak person atau biasa disebut CEPE dalam trip ini, yaitu bang Achmad Mauluddin yang kini biasa kusebut “Masutad”. Sayangnya, aku masuk daftar waiting list. Namun untunglah beberapa dari peserta trip ada yang batal ikut sehingga aku berkesempatan untuk menjadi bagian dalam trip ini.
Malam itu aku masih tenggelam dalam lamunanku disaat yang lain sudah tertidur dengan gaya duduk, mungkin pakai mimpi. Lagu Cahaya Bulan dan beberapa musikalisasi puisi karya Soe Hok Gie mengiringiku menyambut kota demi kota yang hanya bisa kubaca namanya dari plang stasiun yang dilewati. Semakin malam, yang terlihat dari balik jendela semakin tidak menarik. Hanya ada gelap dan sesekali pendar lampu-lampu jalanan. Ya, kereta memang mampu memangkas waktu perjalanan, namun pemandangan dari balik jendelanya tidak semegah bila dibandingkan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Tak ada alun-alun kota, pemukiman, pasar, atau aktivitas warga yang terlihat. Aku jadi teringat perjalananku ke kota kecil di Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu. Pagi-pagi sekali kulihat segerombolan anak SD yang sudah berseragam rapi sedang berjalan kaki beramai-ramai menuju sekolah. Menggemaskan sekali. Selain itu, aku juga melihat beberapa showroom mobil mewah. Ternyata orang-orang berduit tidak hanya ada di Jakarta ya, di kota kecil pun masyarakatnya sudah mengenal barang-barang lux.
SELAMAT MALAM SURABAYA
Dini hari, pukul 01.30 kereta berhenti di stasiun terakhir, Stasiun Pasar Turi Surabaya. Aku tak lupa berfoto dengan pose ala-ala backpacker di bawah landmark bertuliskan “Stasiun Pasar Turi Surabaya”. Ternyata bukan cuma aku saja, beberapa yang lain juga tak mau ketinggalan mengambil foto. Entah untuk sekedar dokumen pribadi, atau memang ingin menunjukkan kepada followers sosmed bahwa “Liburan gue jauh nih” hahaha.


Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan elf menuju stasiun Gubeng untuk menjemput rombongan pertama yang berangkat 4 jam lebih awal dari kami. Di situlah aku berkenalan dengan Sisca, pemilik suara serak-serah basah seperti Shireen Sungkar yang kemudian menjadi partner perjalananku selama mendaki. Ini dia penampakannya.

“Sis, cek ig kita sis”
..........
Malam itu Surabaya tampak lengang, namun suasana metropolitan tetap terasa. Kesan pertama terhadap kota ini adalah: Bersih sekali! Setidaknya begitulah yang bisa kusimpulkan dari pemandangan sekitar stasiun dan jalanan di alun-alun kota. Tidak kulihat sampah-sampah yang dibuang sembarangan. Pantas saja, ternyata kota ini pernah 7 kali meraih penghargaan Adipura. Dari informasi yang kubaca, sejak 7 tahun lalu warga Surabaya mulai menggalakkan rasa malu jika buang sampah sembarangan. Bila ada yang membuang bungkus gorengan atau permen sembarangan, berarti bukan Arek Suroboyo namanya. Semoga kota-kota yang lain bisa mencontoh hal ini yaa.
SAMPAI DI BADERAN
Setelah menempuh perjalanan selama 6 jam menggunakan elf, sampailah kami di pos perijinan pendakian Argopuro via Baderan. Pos ini terletak di Desa Baderan, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo. Kami akan memulai pendakian melalui jalur Baderan, dan turun lewat Bremi. Beberapa dari kami segera mengurus simaksi tim untuk pendakian selama 4 hari. Dari logat bahasa yang digunakan penduduk setempat, aku agak heran mengapa bahasa dan logat Jawanya beda sekali dengan yang biasa kudengar. Ternyata mereka tidak sedang berbahasa Jawa, melainkan bahasa Madura. Masyarakat Madura ternyata mendominasi sebagian kota di Jawa Timur antara lain Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dan sekitarnya.

Pendakian dijadwalkan pukul 10.00. Sebelum memulai mendaki, sebagian dari kami menyempatkan diri untuk makan di sebuah warung dekat pos. Karena banyaknya jumlah kami, belum lagi ditambah beberapa pendaki lainnya, pemilik warung menjadi kewalahan karena tak biasanya pendaki Argopuro seramai ini. Untuk sepiring mie saja, kami harus mengantri lama sekali. Alhasil, perut yang tadinya lapar menjadi kenyang kembali karena terlalu lama menunggu. Memang, biasanya tak banyak orang yang berminat mendaki Argopuro karena jalurnya yang panjang dan lamanya waktu pendakian.
NAIK OJEK SAMPAI BATAS MAKADAM
Pendakian hari pertama dimulai dengan naik ojek menuju batas makadam, yaitu batas jalur yang berbatu. Tarifnya 30 ribu. Ojek ini juga bisa disewa sampai Cikasur dengan tarif 135 ribu yang dapat memangkas waktu pendakian hingga 1,5 hari. Diatas motor omprengan yang berisik itu, kami menyusuri punggung bukit yang terjal. Berkali-kali kami harus turun agar motor tetap bisa menanjak. Seru dan lumayan memacu adrenalin. Sensasinya mirip seperti offroad.

Sepanjang perjalanan kami dimanjakan dengan landscape yang indah. Di seberang kanan telihat bukit hijau yang membentang dengan gagahnya. Di badannya terdapat beberapa lengkungan air terjun yang tampak seperti garis putih dari kejauhan.

Semakin tinggi kami menanjak, pemandangan semakin indah. Dari kejauhan, samar-samar terlihat beberapa gundukan segitiga yang diselimuti lautan awan putih dibawahnya. Katanya sih, itu Gunung Raung.Di perjalanan menuju makadam aku banyak berbincang-bincang dengan Yandi, yang ternyata merupakan adik dari Bang Diwan. Ia bercerita bahwa ia jarang sekali berkemah di gunung, seringnya ia “TEKTOK” alias sekali naik langsung turun lagi hari itu juga tanpa bermalam.
“Apa gak capek tuh?”
“Engga. Udah biasa”
Ternyata belakangan ku tau ia adalah seorang pelari marathon. Hmmm pantas saja.
Satu-persatu sampai dibatas makadam. Sembari menunggu yang lain sampai, kami sibuk menceritakan pengalaman unik selama perjalanan tadi. Ada yang hampir terpeleset, ada yang hampir masuk jurang, dan hampir-hampir lainnya. Namun ada satu cerita yang paling viral, yaitu tentang pemandangan ibu-ibu yang sedang mandi tanpa menggunakan busana.
Setelah semua rombongan sampai, diadakan briefing singkat dan doa bersama. Perjalanan akan kami lanjutkan ke Mata Air Satu yang diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 6 jam. Disini aku mulai penasaran dimana “cepe” satu lagi, yaitu bang Ahmad. Kok daritadi yang memimpin perjalanan cuma bang Rahmad (yang seharusnya dipanggil Dhani). Ketika aku menanyakan kepada Sisca, ia menjawab “cari saja yang paling tinggi”. Namun yang kulihat paling tinggi disana adalah bang Remy. Karena penasaran aku pun bertanya kepada mereka:
“Yang namanya bang ustad yang mana sih?”
“nih nih bang ustad nih”
(menunjuk bang Erwin yang sebetulnya gak tinggi-tinggi amat)
“Kok beda sama foto yang di whatsapp?”
……………………………..
Dan mereka pun hanya tertawa.
START, MATA AIR SATU
Perjalanan menuju mata air satu diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 6 jam. Trek menuju kesana cukup landai dan didominasi tumbuhan semak. Baru beberapa menit berjalan, rombongan kami mengalami insiden kecil. Salah satu anggota tim kami, kak Mala terjebak di sebuah turunan yang curam dan licin. Tepat disampingnya ada jurang yang menganga lebar sehingga bila tidak berhati-hati bisa membuat orang yang melewatinya terpeleset. Terpaksa ka Mala berhenti berjalan dan meminta bantuan tim untuk menariknya kembali keatas. Trek pun diubah. Rombongan berbalik dan mencari jalan lain yang terbilang lebih aman.

Kami pun menyusuri hutan-hutan terbuka sebelum akhirnya memasuki hutan belantara. Rombongan yang awalnya kompak berjalan bersama, kini sudah terbagi-bagi. Karena jalur yang bercabang dan minimnya petunjuk, tak jarang di persimpangan jalan kami tak yakin dengan jalur yang dilalui sehingga harus berteriak memanggil tim yang berjalan lebih dulu. Ya, untuk sekedar memastikan bahwa jalur yang kami lalui sudah benar. Hanya dengan teriakan “WOOOY” yang bila teriakan tersebut berbalas, maka itu pertanda bahwa jalur yang dilalui sudah benar. Hahaha. Bahasa isyarat yang hanya berlaku di gunung.
Beberapa kilometer lagi menuju mata air satu, datang Yandi dan bang Diwan menghampiri aku, Sisca, dan Ka Wida yang mulai tampak kelelahan. Mereka menawarkan untuk membawakan keril kami. Awalnya aku menolak karena aku merasa belum terlalu lelah, tapi karena bujuk rayu Sisca akhirnya aku menyerahkan keril ku untuk dibawa oleh dua kaka-beradik itu. Lega sekali rasanya berjalan tanpa keril. Mari kita rayakan dengan berjalan lebih semangat dan bernyanyi-nyanyi sepanjang jalur :’D
BERMALAM DI MATA AIR SATU
Sampailah kami di Mata Air Satu sekitar jam 5 sore. Tempat ini dinamakan mata air karena terdapat sebuah sungai kecil. Jalan menuju sungai itu curam dan licin sekali. Kami berkemah di sebuah area yang tidak terlalu luas dan menghadap langsung ke arah lembah. Rombongan laki-laki langsung berinisiatif untuk mendirikan tenda dan memasang flysheet, sedangkan yang perempuan langsung membongkar logistik untuk memasak. Suasana mulai gaduh sambil diselingi buli-membuli. Memang ditengah gunung seperti ini hal apapun bisa jadi lelucon.


.........
Malam itu kami makan dengan sayur sop dan sosis goreng sembari ditemani pemandangan langit yang indah. Diatas sana terlihat ribuan bintang sedang berkelap-kelip membentuk galaxy Milky Way. Cantik sekali! Inilah salah satu pesona gunung yang membuat siapapun selalu rindu untuk kembali. Karena hanya di ketinggian lah kita bisa melihat lukisan langit semacam ini, yang tak dapat ditemui di kota karena tertutup polusi cahaya.
Setelah makan malam dan sesi berkenalan, kami pun masuk ke tenda masing-masing. Aku sempat menumpang sholat di tenda sebelah yang kebetulan kosong karena penghuninya sedang main kartu remi. Ditengah tenda yang gelap itu, aku bersyukur bisa kembali merasakan nikmatnya beribadah di alam terbuka. Sensasinya tentu berbeda. Rasanya lebih khusyuk dan suasana hati terasa lebih rileks. Tak lupa aku berdoa agar diberi keselamatan selama perjalanan, serta mendoakan mereka dirumah yang entah sedang apa malam itu.
Udara malam tidak terlalu dingin, mungkin karena start pendakian yang rendah. Alhasil aku hanya tidur mengenakan tshirt dan celana panjang, tanpa sleeping bag. Namun nyatanya ditengah malam aku menyerah juga.
..........
Pagi pun menjelang. Cuaca sangat cerah, namun matahari tetap tertutup kabut. Semua rombongan sudah bangun dan segera packing untuk melanjutkan perjalanan ke Cikasur. Saat kami sedang sibuk packing, datang seekor monyet centil menghampiri kami dari balik semak-semak. Dengan gesitnya ia mencuri Madurasa, tissue basah, dan dengar-dengar dia juga mencuri sepasang sepatu pendaki lain yang berkemah tak jauh dari tempat kami.


Alhasil monyet nakal ini menjadi trending topik di grup whatsapp sepulang dari Argopuro.
TENTANG CIKASUR DAN TIM BELAKANG
Pukul 08.00 pagi, kami memulai perjalanan menuju Cikasur, sebuah savana luas yang menjadi ciri khas Argopuro. Perjalanan kesana ditempuh selama 7-8 jam. Seperti hari sebelumnya, aku berjalan bersama Sisca dan beberapa teman lainnya yang dijuluki “tim tengah”. Namun entah bagaimana awalnya, aku terpisah dengan mereka ditengah jalan. Aku pun bertemu bang Agung dan berjalan bersama sepanjang jalur menuju Cikasur sebelum akhirnya bergabung dengan “tim belakang” di pos mata air dua.
Selama perjalanan, kami banyak bertukar cerita. Ditengah sebuah lembah yang gersang itu, ia bercerita tentang pengalamannya yang terpaksa memakan ulat sagu demi menghormati penduduk setempat saat KKN di sebuah desa terpencil di Maluku. Aku yang berada didepannya hanya bisa membayangkan ulat besar dengan perut kembung itu disayur dan dimakan. Hoeeek.
“Tapi ternyata rasanya enak kaya daging ayam” komentarnya.
Disini kita mengenal ulat sebagai binatang yang menggelikan. Jangankan memakan, menyentuh saja rasanya geli. Namun di belahan bumi yang lain, ulat adalah lauk pauk bagi makanan mereka sehari-hari. Hmm.. Dunia memang penuh keberagaman.
Setelah melewati lembah gersang dengan cahaya matahari tepat diubun-ubun, kami memasuki hutan yang rapat. Hawa sejuk membuatku enggan berjalan terlalu cepat. Cahaya matahari hanya mengintip dibalik ranting-ranting pohon. Kera yang sedari tadi menjerit-jerit tak kulihat juga wujudnya. Mungkin karena warna bulunya senada dengan ranting pohon maka ia tampak samar-samar. Setelah cukup lama dimanjakan dengan trek yang landai, sampailah kami di Mata Air Dua. Disana kami bertemu “tim tengah” yaitu Sisca, Ka Wedha, Bang Payjo, dan Bang Riko. Mereka sedang membereskan alat masak saat kami datang. Rupanya mereka baru saja selesai makan.
Sesaat kemudian datanglah tim belakang setelah tim tengah pergi melanjutkan perjalan. Akhirnya kami rehat bersama dan memasak mie. Tapi sayangnya aku tak sempat mencicipi mie banyak-banyak karena harus turun ke sungai di Mata Air 2 untuk cuci muka dan buang air kecil. Tak ubahnya seperti mata air satu, jalan menuju mata air 2 pun sangat curam dan licin sehingga membuatku waswas karena takut terpeleset. Benar saja, aku tepeleset saat hendak naik keatas.
.........
Aku melanjutkan perjalanan kembali bersama bang Agung setelah dibantu re-packing oleh bang Rio. Mereka yang tergabung di tim belakang, antara lain bang Rio, Bang Dani, bang Awan, Kak Merul, menyusul beberapa menit setelah kami berjalan. Setelah Mata Air Dua, perjalanan sesungguhnya dimulai. Banyak ditemui jalur menanjak yang terdapat bekas galian untuk dilewati motor. Jalur tersebut membuatku harus mengeluarkan tenaga lebih karena harus melebarkan kaki ketika melaluinya. Memang tidak terjal, namun cukup melelahkan sehingga membuatku banyak berhenti untuk mengambil nafas. Untunglah bang Agung ini partner yang pengertian. Selain cukup royal dalam urusan cemilan, ia juga sering mengeluarkan kalimat magic bila aku mulai terlihat kelelahan:
“kalo capek berenti aja dulu”
Mungkin karena terlalu banyak berhenti, kami jadi tersusul oleh tim belakang dan akhirnya kami berjalan bersama. Hari itu aku menjadi bagian di tim belakang sampai Cikasur. Ditengah jalan kami bertemu dengan rombongan pendaki lain yang berjumlah lebih dari 7 orang dan mulai mengikuti mereka. Setelah beberapa jam berjalan, kami disambut dengan pemandangan padang rumput yang terlihat kekuningan dari kejauhan. Lega sekali rasanya. Awalnya kupikir itu adalah Cikasur, namun ternyata aku salah. Itu adalah alun-alun besar. Cikasur masih beberapa jam lagi.

Sampai disana, kami rehat cukup lama bersama rombongan tadi. Savana ini sangat luas, mungkin hampir sama luasnya dengan Gelora Bung Karno. Dibawah sebuah pohon besar, kami melepas keril dan merebahkan diri diatas rumput-rumput. Semilir angin membuat suasana begitu nyaman. Rumput-rumput tampak berwarna kekuningan terpantul cahaya matahari. Sebenarnya aku ingin tiduran saja, namun karena khawatir tak menemui lagi savana semacam ini, aku memilih untuk foto-foto.


.........
Setelah rehat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, aku dan bang Agung berjalan lebih dulu dari tim belakang. Baru beberapa menit berjalan, kami menemui trek menanjak lagi. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Perasaan kesal mulai mendera setiap kali aku menemui jalur semacam ini. Rasanya aku ingin berhenti dan tiduran saja walau kutau itu tak mungkin mengingat waktu yang sudah semakin sore. Mau tidak mau aku harus tetap berjalan meski nafas tersengal-sengal, lutut nyeri, dan pikiran semakin kosong. Sepanjang jalur kami melewati banyak savana sampai akhirnya aku bosan sendiri. Lalu dimana Cikasur? Ditengah rasa kesal karena jalur yang seperti tak berujung, rasa harap-harap cemas datang. Salah satu dari tim belakang mengatakan bahwa savana yang akan kami lewati sebentar lagi adalah Cikasur. Mendengar itu, aku langsung antusias dan segera mengambil handpone dengan maksud untuk merekam detik-detik menuju Cikasur. Dengan gaya vlogger, aku mulai merekam langkah kaki dan bernarasi dengan semangat walau nafas sudah tersengal-sengal.
“Oke temen-temen. Dan inilah yang dinanti-nanti dari Argopuro. CIKASUUUUUUR”

Namun kemudian masuk hutan lagi.
Ternyata savana tadi bukanlah Cikasur. Pantas saja aku heran, mengapa Cikasur tandus sekali, tidak seindah yang kulihat di instagram orang-orang. Ternyata yang mereka katakan tadi hanya sekedar lelucon. Jengkel sekali rasanya! Walau aku juga sempat menertawakan kebodohanku sendiri, namun tetap saja ada rasa kesal karena diberi harapan palsu. Rasa lelah memang membuat suasana hati menjadi lebih sensitif.
.........
Hari sudah semakin sore, namun perjalanan tetap belum berujung. Di savana ke sekian yang entah apa namanya, kami putuskan untuk rehat selama 15 menit.

Berbeda dengan yang kulakukan di Alun-Alun Besar, disini aku memilih untuk tidur, bahkan sampai mimpi. Namun aku lupa mimpi apa saat itu.

Rasanya baru sebentar aku tertidur, tim sudah riuh membangunanku untuk segera bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Aaaah! Bisakah waktu dihentikan agar aku bisa tidur lebih lama? Mengapa jalur Argopuro harus sepanjang ini? -_-Aku pun bangun dan segera mengencangkan keril. Oh iya, ini adalah kali pertamaku mendaki dengan keril ukuran 50 liter. Biasanya aku hanya membawa daypack. Karena muatannya yang tidak terlalu berat, keril ku ini dijuluki tas bimbel. Padahal bagiku segini saja sudah berat sekali. Belum lagi jalanku yang dibilang seperti keong, sampai pernyataan tidak bisa ikut trip gunung bersama BPJ lagi karena sudah di blacklist. Ya.. ya.. yaa… Semerdeka kalian saja~
SAMPAI DI CIKASUR
(Go to Part 2)
0 notes
Text
Argopuro, The Journey of Soul (2)
.........
SAMPAI DI CIKASUR
Sampailah kami pada pemandangan padang rumput yang membentang luaaaaaaas sekali. Dari kejauhan tampak warna-warni tenda yang semakin meyakinkan ku bahwa ini benar Cikasur. Langit sore itu sebenarnya sangat indah. Namun karena tubuhku yang terlanjur lelah, keindahan tersebut tak sempat aku nikmati.

Cikasur memang tampaknya tepat dihadapan kami, namun untuk mencapai kesana ternyata masih perlu berjalan kira-kira 15 menit lagi. Kami masih harus melewati jalan setapak yang panjang. Dari kejauhan tampak Sisca berteriak memberi tau bahwa jalur yang hendak kami lalui itu salah. Ia memberi isyarat (yang entah untuk siapa) agar belok ke kanan. Namun saat kami mengambil jalan ke kanan, kami malah masuk kedalam semak-semak yang tinggi dan rapat yang sepertinya tak masuk akal untuk dilalui. Akhirnya kami putar balik dan melewati jalur yang semula.
..........
Sampai di area kemah, aku langsung merebahkan diri didekat pohon besar. Dengar-dengar, pohon ini sudah berumur ratusan tahun. Mungkin di pohon ini juga para “penunggu” Cikasur itu berkumpul. Namun untunglah karena suasana kemah yang fun dan hidup, aku jadi tidak merasakan atau membayangkan hal-hal mistis. Langit pun semakin gelap, pertanda hari sudah semakin sore. Rencana untuk mandi di sungai Cikasur menjadi aku urungkan.
Aku segera masuk kedalam tenda dan sibuk membereskan barang-barang. Tak lama kemudian Sisca dan Ka Wida datang. Mereka habis memetik selada air di sungai rupanya. Ya, selada air menjadi menu makan kami malam itu. Selada air tersebut ditumis dengan saus tiram dan ditambah baso. Rasanya? Enak sekali! Walau sederhana, namun rasanya paling maknyus dibanding menu “mevvah” lainnya. Setidaknya bagi lidahku. Terimakasih loh ya buat kak Merul yang sudah menjadi chef andalan kami selama mendaki.
Selesai makan malam, seperti biasa beberapa dari kami ada yang langsung masuk tenda dan ada pula yang main kartu dibawah flysheet. Aku sempat mengantar beberapa teman yang mau buang air kecil. Dengan membawa senter dan tissue, kami berjalan ke tengah savana yang gelap dan membelah semak-semak berembun untuk mencari lahan. Bisa dibayangkan kan bagaimana sensasi buang air kecil disini. Setelah kembali ke tenda, tiba-tiba aku jadi lapar kembali karena mencium aroma tempe goreng. Awalnya kukira mereka yang sedang main kartu itulah yang sedang memasak tempe, namun ternyata yang memasak tempe adalah tenda sebelah dari rombongan lain. Mengetahui aku masih ingin makan, seseorang menawariku mie. Dia adalah Bang Rio. Salah satu anggota tim belakang yang sedari tadi juga berjalan bersamaku.
“Sini gue masakin mie. Tapi bawa nesting”
Yaa, dia memang salah satu tukang buli yang cukup ngeselin. Namun ternyata dia juga baik yah, setidaknya untuk malam itu-_-
........
Perjalanan melelahkan hari itu kututup dengan tidur nyenyak. Lalu, bagaimana perjalanan esok hari? Kita lihat saja nanti.
MANDI DI SUNGAI
Jam masih menunjukkan pukul setengah 6 pagi namun langit sudah mulai terang. Matahari mulai mengintip di sebelah timur memantulkan cahayanya pada rumput-rumput. Aku lekas pergi ke sungai untuk segera mandi. Dengan rok panjang yang sebenarnya bawahan mukena, aku berlari kecil menyusuri rumput-rumput berembun. Dingin sekali. Membuat kulit kaki seperti membeku. Jalan menuju ke sungai kurang lebih 10 menit dari tempat berkemah. Sampailah aku di turunan menuju sungai. Bila dilihat dari atas, bentuk sungai ini seperti pulau dalam peta. Di sepanjang alirannya banyak ditumbuhi selada air.


Disana ada bang Awan yang hendak naik keatas dengan membawa beberapa botol air. Sepertinya ia selesai mandi, atau sekedar mengambil air? Setelah bang Awan pergi, tinggalah aku sendiri ditepi sungai itu. Ditemani suara gemericik air dan nyanyian jangkrik hutan. Kukira berendam disini akan membuatku menggigil kedinginan, namun ternyata ekspektasiku terpatahkan setelah aku berendam kedalamnya. Embun di rumput tadi nyatanya jauh lebih dingin dari air sungai ini. Perpaduan udara sejuk dan air yang segar membuat persendian yang tegang menjadi rileks kembali.
.........
Sesampainya di tempat kemah, suasana mulai ramai. Rupanya mereka sudah bangun. Matahari semakin meninggi, membuat Cikasur semakin terlihat eksotis. Milyaran rumput liar terhampar seperti tak berujung. Tak ingin melewati keindahan tempat ini, aku bersama Bang Syahrul yang biasa kupanggil bang Lubis bergantian untuk mengambil foto.



Setelah puas berfoto, kami kembali ke tempat kemah dan segera packing. Aku lupa menu sarapan kami pagi itu. Yang kuingat, ada beberapa dari kami yang tidak kebagian sarapan karena datangnya terlambat. Hihi. Sabar yaaah.
Perjalanan kami selanjutnya adalah Savana Lonceng. Disanalah puncak-puncak Argopuro berada. Namun sebelum kesana, mari kita foto bersama dulu.

MENUJU SAVANA LONCENG
Perjananan menuju Savana Lonceng diperkirakan memakan waktu 7-8 jam. Ditambah dengan trek yang katanya lebih terjal dari sebelumnya. Mendengar hal itu, jujur saja aku agak pesimis. Pengalamanku yang benar-benar kelelahan di hari kemarin membuatku jadi sedikit cemas. Hari ini aku memilih untuk kembali berjalan bersama tim tengah. Tak mungkin aku berjalan dengan tim depan, bersama leader-leader yang jalannya secepat kilat. Lalu bagaimana dengan tim belakang? Sudahlah, cukup sekali saja. Yang paling aman adalah berjalan bersama tim tengah. Selain karena ritme mereka lebih santai dan banyak selfie-selfie, tim ini juga full music karena speakernya bang Riko. Hihi.


Kami kembali melewati jalur yang kemarin dilalui. Pemandangan masih didominasi oleh savana. Terik matahari tidak menyurutkan semangat kami untuk terus berjalan.

Sampai di sebuah lahan yang banyak ditumbuhi ilalang dan bunga-bunga yang cantik, kami break cukup lama.

Bunga ini bernama Verbena Brasiliensis, bunga yang sangat instagenic.


Di jam-jam awal, jalur masih sangat landai. Setelah memasuki hutan, mulai banyak jalur menanjak dan pohon-pohon besar yang tumbang.

Kami juga melewati bibir jurang dengan turunan yang cukup curam sebelum akhirnya sampai di sungai kecil bernama Cisentor. Untuk menyeberangi sungai ini, kami harus melewati batu-batu yang licin. Karena khawatir terpeleset, kami memutuskan untuk melepas sepatu.

Persis ditepi sungai itu, kami rehat sejenak untuk memasak. Satu bungkus mie rebus dan satu sachet ransum rasa kari ayam kami makan berlima. Tak peduli apapun menunya, bila dimakan bersama pasti terasa nikmat. Tak lama kemudian, ka Merul muncul diseberang sungai, disusul beberapa lainnya dari tim belakang. Melihat aliran sungai yang cukup deras, ia seperti ragu-ragu untuk menyeberang. Benar saja, ketika berusaha menyeberang ia jatuh tersungkur kedepan. Untunglah tidak sampai cidera. Hanya telapak tangannya yang mungkin terluka.
Cukup lama kami rehat di sungai itu. Sekitar jam 12:30 kami kembali melanjutkan perjalanan, meninggalkan tim belakang yang mungkin sedang masak Samyang. Selanjutnya kami akan menuju Rawa Embik, sebuah mata air kecil yang diperkirakan dapat ditempuh selama 2 jam. Ditengah jalan, aku dipinjami speaker oleh bang Riko untuk menyalakan musik. Diputarlah lagu “Kita” milik Sheila on 7. Sedang asik mendengarkan, tiba-tiba speakernya mati. Kucoba untuk memutar lagi, kemudian mati lagi . Begitu seterusnya hingga aku kesal sendiri. Akhirnya aku menyalakan music dari handphone ku tanpa menggunakan speaker. Tak apalah, ku korbankan daya handphone ku yang sebetulnya kusiapkan hanya untuk berfoto-foto di danau Taman Hidup.
Di jalur menuju Rawa Embik kami harus melewati beberapa tanjakan terjal. Namun karena pembawaan yang cukup fun hari itu, semuanya bisa kulewati tanpa keluhan yang berarti. Di tengah jalan, kami berpisah dengan Sisca. Sepertinya ia sudah berjalan cukup jauh. Benar saja, ternyata ia sendirian menunggu kami di tengah hutan. Saking lamanya menunggu ia bahkan sampai sempat membaca novel dibawah pohon, sambil sesekali digoda oleh suara lutung. Hiiiih.

.........
Sampai di Rawa Embik, kami segera merebahkan diri. Nama sungai yang unik ini kemudian menjadi nama julukan bagi Bayu, salah satu anggota tim kami yang berusia paling muda. Sebelum ke Argopuro, namanya adalah Elang Bayu Merapi, namun sepulang dari Argopuro namanya menjadi Elang Bayu Rawa Embik. Entah bagaimana sejarahnya, aku pun tidak tau. Haha.

Disana aku bersandar dibawah sebuah pohon untuk mengatur nafas yang sedari tadi sudah tersengal. Beberapa dari kami turun ke sungai untuk mengisi air. Melihat tshirt ka Riko yang bergambar peta Semeru, aku pun bertanya.
“Abang udah pernah ke Semeru? Gimana treknya?”
“Treknya sih tinggi. Tapi gak secape ini”
Mendengar jawaban itu aku jadi membuat kesimpulan yang naif, bahwa:
Menaklukan gunung tertinggi di pulau Jawa, tidak SELELAH menaklukan gunung terpanjang di pulau Jawa. Maka banggalah bisa mencapai Argopuro.
Haha. Setidaknya begitu kesimpulanku.
.........
Setelah Rawa Embik, tujuan selanjutnya adalah Savana Lonceng. Aku yang sebelumnya selalu berjalan ditengah, kini berjalan paling belakang. Melihat tim belakang yang semakin mendekat, aku segera bergegas pergi meninggalkan Rawa Embik demi menghindari bulian. Trek selanjutnya didominasi oleh semak yang rapat dan terus menanjak. Tak jarang aku memaksakan berlari agar tidak tertinggal terlalu jauh dengan mereka yang berjalan lebih dulu.
........
Hari semakin sore dan fisik semakin lelah, namun Savana Lonceng belum juga terlihat batang hidungnya. Yang ada hanya tanjakan terjal yang membentang didepan mata. Ada yang menjulukinya “Tanjakan Setan” ada pula yang menjuluki “Tanjakan Asoy”. Memang dibutuhkan tenaga ekstra untuk melewatinya. Terlebih untuk diriku yang semakin sore semakin luntur saja semangatnya. Di tanjakan itu, aku ditemani bang Lubis. Ia mencoba menyemangati walau kulihat dirinya pun sudah kehilangan semangat.
“Ayo semangat. Bentar lagi sampe”
Dalam keadaan lelah, kalimat tersebut hanya terdengar seperti gurauan. Kalimat klasik khas anak gunung yang tak kupercaya lagi sejak lama, jauh sebelum aku mengenal Argopuro.
Setelah lelah berjalan, akhirnya tampak padang rumput yang dihiasi warna-warni tenda diujung sana. Itu dia Savana Lonceng. Melihat ia sudah semakin dekat, aku bukannya bergegas tapi malah berhenti dan rebahan di rumput sambil memutar puisi AADC.
Adalah cinta.... yang mengubah jalannya waktu
Waktu.... tidak pernah berjalan mundur
……………………………………..
Sambil menatap langit sore, aku mencoba meyakinkan diriku sekali lagi bahwa aku sedang berada di Argopuro. Hey, aku di Argopuro! Ar-go-pu-ro! Gunung impianku!
Setelah bangkit dari lamunan, aku kembali berjalan menuju tenda-tenda yang kuyakini adalah tempat kemah rombonganku. Perut yang sedari tadi mual, terasa semakin mual. Ini pasti karena minuman rasa jeruk yang kuminta dari Yandi. Punya asam lambung memang tidak bisa makan/minum sembarangan, terlebih yang asam-asam. Melihat wajahku yang pucat, bang Diwan yang datang dari arah savana membantuku dengan mendorong keril ku agar terasa lebih ringan. Hingga sampailah aku di tempat kemah, disambut dengan pekikan semangat dari teman-teman yang sampai lebih dulu. Seperti orang yang pulang lomba lari saja.

BERMALAM DI SAVANA LONCENG
(Go to Part 3)
0 notes
Text
Argopuro, The Journey of Soul (3)
........
MALAM DI SAVANA LONCENG
Malam itu udara dingin menyelimuti Savana Lonceng. Suara angin terdengar begitu menyeramkan seperti suara hujan deras. Mega-mega berwarna oranye bercampur ungu diujung barat sana lama-lama pudar berganti gelap.

........
Disaat yang lain sibuk memasak untuk makan malam, aku memutuskan untuk beristirahat didalam tenda bersama Kak Mala. Badan kami sedang tidak fit. Rasa mual yang sedari tadi belum hilang kini ditambah lagi dengan pusing. Belum lagi udara dingin yang masih bisa menyusup kedalam sela-sela jaket. Mual, pusing, pegal, dingin, bercampur jadi satu. Rasanya ingin masuk kedalam pintu ajaib saja yang bisa membawaku kembali ke kamar detik itu juga. Percayalah, angan-angan konyol seperti itu seringkali terlintas bila fisik dan mental sudah mulai drop. Namun tak ada pilihan lain selain tetap meneruskan apa yang sudah dimulai. Alam seakan sedang mengujiku untuk menjadi manusia yang tidak mudah putus asa, apapun kondisinya.
Malam itu kami makan dengan nasi yang dicampur kornet daging. Sebetulnya ini menu yang enak, namun perut yang mual membuat selera makan jadi hilang. Alhasil, kupaksakan makan walau rasanya tetap tidak enak diperut. Namun anehnya, ketika mencicipi cireng goreng yang dibuat bang Riko, aku malah ketagihan. Kalo tidak salah cireng ini adalah punya bang Remy. Karena sudah berhari-hari dibawa tapi belum dimasak juga, akhirnya cireng tersebut menjadi santapan malam itu. Walaupun sebentar lagi expired, namun cireng ini cukup berjasa karena membuat perutku kenyang sehingga sakit maag ku menjadi reda.
Kenyang makan cireng, aku kembali kedalam tenda. Beberapa masih bercengkerama diluar sambil tetap menggoreng cireng yang tidak ada habisnya karena banyak sekali. Dengar-dengar, Bang Riko yang sedari tadi menggoreng ternyata hanya mencicipi sedikit, atau jangan-jangan malah tidak kebagian?
.........
Sebelum tidur, aku dan Sisca melakukan ritual pijit-pijit secara bergantian. Selain mengajariku teknik memijit yang benar, ia juga sekaligus menjadi kelinci percobaan untuk pijatanku yang masih asal-asalan.
“kurang kenceng moon”
“salah mon mijitnya. Nih harusnya diteken-teken kaya gini”
“Mending lu pijit gue pake gaya Shiatsu aja deh mon, daripada gue salah urat”
Hahaha. Kurang lebih begitulah tanggapan Sisca ketika aku memijitnya. Selesai dipijit badan terasa lebih enteng. Aku tidur cukup nyenyak, walau harus terbangun ditengah malam karena kedinginan. Rupanya minyak gosok milik ka Wida yang ku oles di seluruh badan sewaktu pijit-pijit, hangatnya berubah menjadi mint. Belum lagi ditambah tenda yang berembun. Alhasil aku jadi menggigil. Tiba-tiba Sisca terbangun. Melihat aku menggigil, ia menawariku untuk masuk kedalam sleeping bagnya. Jadilah malam itu aku tidur berpelukan dengan Sisca dalam satu sleeping bag. Soo sweet….
SUMMIT YANG BATAL
Pagi itu aku terbangun dengan suara grasak-grusuk dari dalam tenda. Dalam samar aku mendengar ajakan summit dari teman setenda. Namun karena kakiku yang masih linu dan tidak terlalu ngebet untuk summit, maka aku menyatakan untuk tidak ikut dan melanjutkan istirahat. Tak berapa lama kemudian ajakan itu datang lagi dari Bang Riko dan Bang Paijo yang rupanya belum berangkat summit.
“Mooon summit mooon”
Akhirnya aku tergoda juga untuk ikut summit. Ditemani angin kencang yang menambah hawa dingin, aku berjalan dibelakang mereka menuju jalur puncak Argopuro. Sampai di jalur, tiba-tiba aku menjadi ragu. Melihat tanjakannya yang lumayan terjal, aku jadi khawatir kakiku akan keram lagi. Sedangkan aku harus mencadangkan tenaga untuk perjalanan ke Taman Hidup yang akan melewati banyak turunan curam. Akhirnya aku berbalik turun setelah beberapa meter menanjak. Setelah menitipkan beberapa kertas kepada bang Lubis yang berisi salam-salam untuk difoto di puncak, aku memutuskan untuk kembali ke tenda.

Dijalan aku bertemu bang Remy yg sepertinya habis turun dari Puncak Rengganis dan hendak menuju Puncak Argopuro.
“Lu gak summit?”
“Gak, udah gak mood”
“Udah ayo summit aja”
“Gak deh, lu duluan aja”
Sayang sekali yaa, puncak sudah didepan mata tapi aku malah melewatkannya. Padahal untuk menuju kesini aku harus berjalan belasan kilometer setiap hari. Biarlah, memang sedari awal puncak-puncak Argopuro bukanlah tujuan utamaku. Setidaknya untuk sekedar ber-selfie. Ia hanyalah pelengkap. Yang benar-benar ingin aku jamahi di Argopuro hanya 2 tempat, yaitu Cikasur dan Danau Taman Hidup. Cikasur sudah, maka kini saatnya ke Danau Taman Hidup.
MENUJU TAMAN HIDUP
Semua telah turun dari puncak dengan menyimpan segudang foto. Ada yang berfoto pakai piyama dengan gaya mermaid, ada pula yang berfoto pakai baju toga. Hmm… Cukup membuat envy.


.........
Selesai sarapan dan packing, kami segera melanjutkan perjalanan ke Danau Taman Hidup. Seperti biasa, aku berada di rombongan tengah. Namun ditengah jalan, aku jadi berjalan sendirian karena mereka berhenti di sebuah mata air kecil sedangkan aku memilih untuk tetap jalan terus. Sambil berpegangan pada akar atau ranting pohon, aku melewati jalur yang terus menurun. Bila dirasa terlalu curam, aku menuruninya dengan gaya duduk. Setelah berhari-hari hanya disuguhi pemandangan padang rumput, hutan rapat, dan semak belukar, kini aku dihibur dengan landscape yang indah. Hijaunya bukit-bukit dataran tinggi Hyang terhampar luas di sebelah kiri, dipayungi langit cerah yang mengharu-biru. Lekuk dan pesonanya masih terekam jelas dalam ingatanku.

.........
Cukup lama berjalan sendirian, aku bertemu kembali dengan rombongan dan berjalan bersama. Yandi yang sejak awal pendakian selalu berjalan lebih dulu, kini menjadi bagian Tim Tengah bersama aku, Sisca, ka Wida dan Bang Paijo. Sepanjang jalan mereka banyak bertukar cerita dan hal-hal lucu. Aku yang mulai kelelahan dan sedang tidak mood bicara hanya bisa menyimak sambil sesekali tertawa bila ada bagian kocak dari cerita mereka. Beberapa kali kami rehat sejenak untuk sekedar duduk dan minum. Namun setiap kali kami rehat, Yandi masih tetap saja berdiri bahkan minum pun tidak. Mungkin itulah yang menyebabkan Sisca menjulukinya “porter exclusive”.
Setelah berjam-jam melewati semak belukar, kami memasuki hutan lumut yang lembab. Udara begitu sejuk dan teduh.

Jalurnya yang landai membuatku kembali bersemangat sehingga kini aku tak kalah berisiknya dengan mereka. Di hutan ini, kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki lain yang menanjak lewat Bremi. Rombongan yang berjumlah 5 orang itu menyapa kami dan menawarkan minuman segar serta beberapa potong jelly. Tanpa sungkan akhirnya kami berhenti sejenak dan berbincang-bincang dengan akrab. Namun sialnya, setelah meneguk minuman tadi yang ternyata minuman bersoda, perutku jadi merengek kembali. Bila kemarin aku “jackpot”karena Segar Sari, kali ini karena Fanta. Akhirnya aku mencoba menuntaskan rasa mual ini di tepi sebuah sungai kecil, namun sayangnya tak berhasil. Karena “jackpot” yang tidak tuntas inilah aku jadi mual-mual sepanjang hari.
TAMAN HIDUP, SENJA TERKAHIR DI ARGOPURO
Sampailah kami di area kemah yang tak jauh dari danau. Langit masih begitu cerah, sepertinya baru menjelang sore. Danau yang sedari tadi hanya terlihat dari ketinggian, kini berada tepat didepan mata. Ya, ini adalah Danau Taman Hidup. Salah satu tempat favorit dan spot foto andalan di Argopuro. Disinilah kami menghabiskan malam terakhir kami sebelum turun ke Bremi. Cepe menghimbau kami agar tidak gaduh. Rupanya disini ada mitos bahwa kabut tebal akan turun bila suasana gaduh.
Aku menyempatkan diri untuk pergi ke tepi danau. Selain untuk bersih-bersih, tentunya juga untuk berfoto. Jalannya berlumpur dan dipenuhi rumput liar. Disana ada sebuah jembatan kecil yang menghubungkan tanah dengan permukaan air. Aku berdiri ditengah jembatan sambil memandangi suasana sekeliling. Damai sekali. Hembusan angin sore membuat suasana menjadi lebih puitis.


Orang-orang mulai berdatangan untuk mengisi air, bahkan memancing. Karena suasana yang mulai ramai, aku jadi mengurungkan niat untuk berfoto-foto. Akhirnya aku dan kak Mala memutuskan untuk kembali lagi esok pagi sekitar jam 5 subuh, dengan harapan suasana akan sepi dan hasil foto akan lebih dramatis. Sore itu kami habiskan dengan makan spaghetti, ikan Sardin, dan ditutup dengan puding coklat. Menu “mevvah” ini sepertinya memang sengaja dijadikan menu terakhir.

.........
Malam pun tiba. Tak seperti malam di Savana Lonceng, udara malam di Taman Hidup tidak terlalu dingin karena sudah berada di ketinggian kurang dari 2000 meter. Namun suara angin tetap saja terdengar gahar. Suasana malam pun tidak sesunyi malam-malam sebelumnya karena cukup banyak pendaki yang berkemah disini. Karena letaknya yang berada di antara jalur Bremi dan Baderan, Taman Hidup menjadi tempat bermalamnya para pendaki yang baru turun dari Baderan, maupun yang hendak menanjak lewat Bremi.
Sebelum tidur, aku bersama Kak Merul, Kak Wida, Kak Mala, dan Sisca menyempatkan diri (mungkin lebih tepatnya memaksakan diri) untuk buang air kecil. Dengan menggenggam senter dan tissue basah, kami mencari lokasi yang dirasa cocok dan aman. Dipilihlah spot di semak-semak dekat jalur pendakian. Sebenarnya beberapa meter dari situ banyak tenda-tenda lain, namun karena keadaan gelap gulita dan hanya ada cahaya senter, kami tidak khawatir ada yang mengintip. Haha
“Eh tungguin gue ya”
“Woy senternya jangan diarahin ke gue dong, gue belom selesai”
.........
Malam itu aku tidur dengan perasaan lega. Tak ada lagi bayang-bayang jalur terjal yang membuat lutuku keram. Tak terasa 4 hari 3 malam telah kami lewati bersama. Argopuro membuat kami yang sebelumnya tak saling mengenal menjadi saling menjaga, saling membantu, dan saling menguatkan. Tanpa tim yang solit perjalanan ini tentu tak mudah, mengingat jalur pendakian yang sangat panjang, medan yang terkadang menyulitkan, dan beban bawaan yang semakin berat. Ah, rupanya langit jingga tadi sore menjadi senja terakhirku di Argopuro. Selamat malam.
TURUN KE BREMI
Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul 5 subuh namun langit sudah terang sekali seperti langit Jakarta di jam 6 pagi. Mungkin karena letak Situbondo yang mendekati area Waktu Indonesia Tengah (WITA). Sesuai janjiku dengan kak Mala, aku kembali ke Danau Taman Hidup untuk berfoto-foto. Benar saja, suasana masih sangat sepi. Tak ada orang satupun. Tak ingin melewati kesempatan ini, aku dan Kak Mala segera beraksi di jembatan kecil itu dengan beragam pose.
“Bagus gak? Coba liat?”
“Ih bagus. Lagi dong lagiiii”

.........
Aku lupa menu sarapan pagi itu, namun yang pasti cukup membuatku bertenaga. Sekitar jam 9, rombongan telah selesai packing dan bersiap untuk turun ke Bremi.


Setelah berdoa dan berfoto bersama, kami melanjutkan perjalanan turun dengan formasi yang sudah tidak beraturan. Tim sweeper yang biasanya berada paling belakang, malah berjalan duluan. Sepertinya kita semua sudah tidak sabar ingin cepat sampai basecamp. Begitupun aku. Bang Riko bilang, ia ingin cepat sampai karena sudah tidak sabar ingin makan seafood. Mendengar itu, aku jadi ikut termotivasi untuk cepat sampai juga.
Sedikit cerita tentang bang Riko, dia adalah partner mendaki yang sangat baik dan care. Sepertinya dia paham betul apa konsekuensi mendaki bersama wanita. Hahaha. Dia seperti “kakak” selama di Argopuro, membuatku merasa aman disaat banyak situasi yang menyebabkan aku merasa insecure. Tapi dibalik itu semua, dia juga menjengkelkan. Karena dia salah satu orang yang menjuluki ku OON-_- Ini dia penampakannya:

.........
Perjalanan turun ke Bremi kutempuh selama 3 jam. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menyusuri hutan lumut. Awalnya aku berjalan bertiga, bersama Sisca dan Bang Riko. Namun ditengah jalan, tinggalah aku berdua dengan Bang Riko. Sisca menghilang entah kemana.
Setelah berkilo-kilo meter berlari menuruni di hutan lumut, sampailah aku di sebuah hutan Pinus. Sesuai namanya, hutan ini dipenuhi dengan pohon-pohon pinus yang langsing dan tinggi. Sepi sekali. Tak kulihat satupun orang disini.
Awalnya kami khawatir salah jalur, namun karena kami menemukan jejak sepatu dan bekas sachet Madurasa, kami pun menjadi yakin untuk terus berjalan mengikuti jalur yang ada. Melihat beberapa warga yang keluar masuk hutan menggunakan sepeda motor, aku menjadi lega karena itu tandanya kami sudah mendekati pemukiman.
“Pak, kalo mau ke Bremi kemana ya?”
“Lurus saja ikutin jalan”
“Dari sini berapa menit lagi pak?”
“Kira-kira 30 menit lagi”
.........
Keluar dari hutan pinus, aku melewati perkebunan warga yang ditanami bermacam-macam sayuran. Ada jagung, kubis, terong, tomat, dan sayuran lainnya. Disini aku memilih berjalan santai untuk menikmati kearifan lokal penduduk setempat. Mengamati cara mereka berkebun, maupun sekedar cara mereka mengobrol dengan sesamanya. Memang selalu menarik mengamati kehidupan sosial masyarakat di tempat-tempat baru di datangi. Itulah sebab mengapa aku menyukai aktivitas menjelajah alam. Selain alasan rekreasi dan kesahatan,aku juga bisa mengamati secara langsung potret negeriku dari kehidupannya di desa-desa kecil, yang jauh dari hingar binger kota. Dari situlah kita bisa mengenal Indonesia secara utuh.
KEMBALI KE PERADABAN
Tak terasa kami sampai di sebuah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Danau Taman Hidup”.

Sebetulnya gapura ini adalah salah satu spot foto andalan para pendaki, khususnya mereka yang mendaki lewat Bremi. Namun karena kondisi yang sudah kucal dan lelah, aku jadi enggan. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang memintaku untuk berfoto bersama dengannya. Dengan bahasa Madura, ia meminta temannya untuk memotret kami dengan handphone jadulnya. Hihi. Momen-momen kecil seperti itu terkadang menjadi kenangan tersendiri. Terasa sekali betapa hangat dan terbukanya sikap warga setempat kepada para pendaki.
.........
Dibawah teriknya matahari siang itu, aku mencoba memaknai kembali perjalanan ini. Dalam hati terbesit rasa tidak percaya bahwa sebentar lagi aku akan kembali ke kota. Berhari-hari menyatu dengan alam Argopuro, membuatku terlanjur akrab dengan semuanya. Dengan gemuruh angin, nyanyian jangkrik, maupun sapaan monyet hutan. Oh Argopuro, saat awal mendatangimu aku seperti orang asing, namun kini kau bagaikan rumah ku sendiri. Terasa berat untuk beranjak pergi.
Perjalanan memang bukan hanya tentang sejauh mana kaki melangkah, namun sejauh mana jiwa ikut serta didalamnya. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberiku kesempatan untuk merasakan pengalaman luar biasa ini, yang akan menjadi cerita nostalgia bagi anak cucuku kelak :)

Cikarang, 01 Maret 2017
-Me-
0 notes
Text
Eight Major Types of Nonverbal Communications
1. Facial Expression
Facial expressions are responsible for a huge proportion of nonverbal communication. Consider how much information can be conveyed with a smile or a frown. While nonverbal communication and behavior can vary dramatically between cultures, the facial expressions for happiness, sadness, anger, and fear are similar throughout the world.
2. Gestures
Deliberate movements and signals are an important way to communicate meaning without words. Common gestures include waving, pointing, and using fingers to indicate numeric amounts. Other gestures are arbitrary and related to culture.
3. Paralinguistics
Paralinguistics refers to vocal communication that is separate from actual language. This includes factors such as tone of voice, loudness, inflection, and pitch. Consider the powerful effect that tone of voice can have on the meaning of a sentence. When said in a strong tone of voice, listeners might interpret approval and enthusiasm. The same words said in a hesitant tone of voice might convey disapproval and a lack of interest.
4. Body Language and Posture
Posture and movement can also convey a great deal on information. Research on body language has grown significantly since the 1970’s, but popular media have focused on the over-interpretation of defensive postures, arm-crossing, and leg-crossing, especially after the publication of Julius Fast’s book Body Language. While these nonverbal behaviors can indicate feelings and attitudes, research suggests that body language is far more subtle and less definitive that previously believed.
5. Proxemics
People often refer to their need for “personal space,” which is also an important type of nonverbal communication. The amount of distance we need and the amount of space we perceive as belonging to us is influenced by a number of factors including social norms, situational factors, personality characteristics and level of familiarity. For example, the amount of personal space needed when having a casual conversation with another person usually varies between 18 inches to four feet. On the other hand, the personal distance needed when speaking to a crowd of people is around 10 to 12 feet.
6. Eye Gaze
The eyes play an important role in nonverbal communication and such things as looking, staring, and blinking can also be important nonverbal behaviors. When people encounter people or things that they like, the rate of blinking increases and pupils dilate. Looking at another person can indicate a range of emotions including hostility, interest, and attraction.
7. Haptics
Communicating through touch is another important nonverbal behavior. There has been a substantial amount of research on the importance of touch in infancy and early childhood. Harry Harlow’s classic monkey study demonstrated how the deprivation of touch and contact impedes development. Baby monkeys raised by wire mothers experienced permanent deficits in behavior and social interaction. Touch can be used to communicate affection, familiarity, sympathy, and other emotions.
8. Appearance
Our choice of color, clothing, hairstyles, and other factors affecting appearance are also considered a means of nonverbal communication. Research on color psychology has demonstrated that different colors can evoke different moods. Appearance can also alter physiological reactions, judgments, and interpretations. Just think of all the subtle judgements you quickly make about someone based on his or her appearance. These first impressions are important, which is why experts suggest that job seekers dress appropriately for interviews with potential employers.
Source: About
8K notes
·
View notes
Photo

Salah satu tokoh humanis inspirasiku. Yang mengajarkan bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan kota besar lainnya. Petani di desa terpencil, nelayan di pesisir, anak-anak di pelosok, mereka juga bagian dari Indonesia yang harus dimerdekakan kehidupannya. . . Itulah salah satu sebab mengapa aku menyukai aktivitas menjelajah alam. Selain karena alasan rekreasi dan kesehatan, aku juga bisa mengamati secara langsung potret negeriku dari kehidupannya di desa-desa kecil, yang jauh dari hingar bingar kota. Dari situ lah kita bisa mengenal Indonesia secara utuh. . . Dirgahayaku Indonesiaku. Kudoakan semoga kau menjadi bangsa yang besar, dengan peradaban yang luhur #soehokgie #indonesia #merdeka71
0 notes
Text
Ketika semangat hilang, komitmen lah yang membuatmu tetap bertahan. Tanpanya, mimpimu hanyalah goresan pena.
0 notes
Photo

Setiap perjalanan selalu punya kisah tersendiri. (at Mt Merapi Volcano, Indonesia)
0 notes
Photo

Celebrating World Emoji Day with @emojimasks
To see more Emoji Masks, check out @emojimasks on Instagram.
It all began with 🌝. “The cheeky look on its face makes us crack a smile every time it comes up,” says Christian, the 30-year-old owner of @emojimasks, a small business that produces exactly what you think it does. Launched in 2014, the idea behind Emoji Masks was simple: give people a uniquely goofy way to express their love of emojis away from their phones. Turning them into masks, though, was a little tricky. “How hard can it be to make a great mask?” asks Christian. “Well, it’s actually not that simple. It took a lot of trial and error — mask too thin, too thick, eyeholes in right spot, design. But we got it right in the end!” 😃 😎 💩 #WorldEmojiDay
274 notes
·
View notes
Quote
pendidikan dewasa ini berjalan seperti mesin. siswa dipicu untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. pendidikan berjalan sangat mekanis, dengan prinsip yang sangat bisnis, dan sekolah menjadi organisasi yang target utamanya efisiensi. hingga akhirnya sekolah menjadi -tak lebih- dari alat reproduksi kesenjangan sosial di negeri gemah ripah loh jinawi ini. #MegalitikumSiswa
(via miring)
112 notes
·
View notes
Quote
Bagaimana jika yang selama ini kau kira tak peduli dan dingin-dingin saja itu ternyata masih menunggumu dengan begitu lapang dada?
(via mbeeer)
1K notes
·
View notes
Photo

Melintas tebing tinggi dan dibawahnya jurang 50 meter. Merrrindiiiing 😣😣 #SaveTempatBermain #funhammocking #gununghawu #tebingcitatah125 (at Gunung Hawu Padalarang)
0 notes
Photo

Seorang model cantik setiap hari mengalami gangguan insomnia karena dibayangi perasaan takut kehilangan pekerjaannya dan tergantikan oleh wanita yang lebih muda. Segaris kerutan kecil dimata bisa membuat ia depresi dan merasa menjadi wanita yg tak diinginkan. . Disisi lain, seorang wanita dengan paras yang tak begitu cantik, namun dapat tidur nyenyak dan bahagia karna cinta dan perhatian dari orang2 terdekatnya membuat ia merasa dirinya menarik sepanjang waktu, bahkan diusia parubaya. . So, beauty is depend how you feel loved by people around you ❤👫 #bukupsikologi #faceit #psikologi #gramedia (di Azalea Suites Apartment, Cikarang)
0 notes