an attempt to write, to archive, to live. by Monika Swastyastu
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Kernyitan Pertama Saat Berkebun
di tahun 2020 ini, ditengah pandemi , tiba-tiba saya ingin berkebun lagi! Ini pengalaman saya saat pertama kali berkebun bersama Bakudapan Food Study Group.
Njajal Berkebun
“Berkebun” , satu kata yang membuat saya sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengarnya. Bayangan tentang tanah, cacing, gatal, bau pupuk dan panas terik matahari tiba-tiba langsung menyeruak. Tapi jangan kira kernyitan itu karena takut kotor, atau benci keringat seperti putri manja. Saya ini calon antropolog. Bukan putri manja. Calon antropolog yang diajarkan dan diharapkan untuk blusukan ke tempat-tempat yang seperti dalam reality show tv itu, ketika orang kaya manja njajal hidup di desa, yang semacam itu lho. Jadi jelas bukan karena saya takut kotor. Ya meski saya akui, saya geli dengan hewan yang menggeliat, berbuku yang muncul seenaknya dari perut bumi.
Kernyitan itu sebenarnya untuk ingatan-ingatan yang lalu. Pengalaman njajal berkebun sebelum ini. Ketika panasnya tangan saya, membuat bibit-bibit segan memunculkan tunasnya. Sangat berbeda dengan ibu saya. Beliau bisa saja lo menyebar benih apa saja di pekarangan kecil kami dan tiba-tiba tumbuh beberapa hari berikutnya. Kalau kata orang tangan beliau itu tangan dingin, bahkan ibaratnya tongkat kayu bisa jadi tanaman. Sedangkan tangan saya? Panasnya minta ampun. Belum pernah saya menanam sampai tanaman itu tumbuh dengan bahagia. Paling, mati ditengah-tengah atau tidak tumbuh sama sekali. Tidak ada sama sekali cerita sukses menanam dalam kenangan
Jadi bolehlah saya berkenyit untuk serbuan keraguan yang muncul dalam ide berkebun ini. Tapi melihat semangat yang ada dalam komunitas kecil kami, saya menampik keraguan itu. Walaupun baru kemudian saya tau, belum pernah juga di antara kami ada yang berpengalaman menggarap kebun sebelumnya. Mantap bukan? Kami, sekelompok orang nekat yang tidak menggunakan ilmu-ilmu eksata yang jadi tren berkebun kini, serta tidak peduli dengan hitungan rumit waktu tanam, design kebun, atau prosedur tetek bengek lainnya. Tapi kami nggak ngawur lo. Ini learning by doing dan kami sengaja lakukan itu. Kami juga punya ideologi, biar nggak kalah sama kelompok kebun yang lain. Ideologi sederhana untuk mencari tau, menjajal, kenapa sih orang urban pada ngebun? Ada apa dibalik berkebun? Bagaimana caranya berkebun? Kenapa banyak resto yang mulai menanam sendiri bahan masakannya? Kenapa jika diberi label ‘ditanam sendiri’ di kebun belakang, makanan jadi ‘organik’ dan mahal? Apa dengan berkebun kami sudah jadi aktivis pangan? Apakah berkebun itu upaya untuk melepaskan diri dari jeratan politik pangan global?
Jadi bagaimana? Anda yang berkenyit sekarang? Saya bahkan, belum mulai bercerita.
Tentang Bedeng
Awam. Ya, kami orang-orang awam. Orang-orang embuh yang maha tidak tau. Tidak ada di antara kami yang lulusan teknik pangan, pertanian, perkebunan, atau biologi. Hanya kumpulan orang- orang embuh yang berkutat dengan makanan dan sok menganalisis keadaan sosial lewat makanan. Saking embuhnya, kami putuskan untuk menjajal berkebun.
Tiada tahu menahu kami, apa yang harus dilakukan pertama kali. Yang pasti kami ingin menanam. Dari mana asal tanaman itu? Dari bibit. Ingat pelajaran sederhana sekolah dasar tentang pertumbuhan kacang kedelai? Hari demi hari harus mengukur pertumbuhan akar, batang dan daun dari biji kacang kedelai yang diletakkan di atas kapas basah. Diri kecil saya, tidak sabaran menunggu hari berganti. Kedua mata ini, menyaksikan betapa eloknya batang semampai dengan sepasang daun kecil yang terlihat rapuh. Namun hanya dua minggu kedelai itu jadi primadona. Setelahnya, kedelai tidak menarik lagi untuk guru saya. Ia kembali menyuruh menghapal dan menghapal. Sayapun tidak peduli lagi dengan si kedelai yang menguning kering. Mending saya menghapal. Supaya dapat 100, meski tak tau kalau kedelai kecil nantinya bisa jadi tempe atau kecap. Padahal saya suka tempe.
Karena bibit adalah cikal bakal yang penting, kami kemudian memburu bibit. Menghubungi teman-teman yang sudah berkutik dengan kebun sebelumnya. Untung mereka dermawan, membantu orang-orang embuh dengan bibit gratis serta berbagi tips. Karena saya nggumunan melihat betapa baiknya mereka di era yang serba jahat, teman saya lalu berkata “ini namanya kekuatan kolektif”. Tak disangka, bibit- bibit yang kami dapatkan lumayan nyentrik . Ada bibit bunga telang yang sedang tren, bibit kacang-kacangan dari India, labu, sintrong, bayam merah, sawi pak coy dan banyak yang lain. Dengan modal bertanya, mencatat mengangguk-anggukan kepala, dan ber-oooo ria, kami belajar menyemai bibit.
Saat itu giliran bayam merah. Katanya, si bayam ini mudah tumbuh. Jadi kami dengan bersemangat menanamnya tanpa melalui proses penyemaian. ‘Ya kan katanya mudah tumbuh jadi nggak usah disemai deh’, begitu pikir kami. Dengan modal cangkul, tangan siap kotor, dan api-api semangat kami mulai mengeruk tanah dan menimbunnya seperti kuburan kecil untuk kucing atau anjing, tapi ukurannya lebih panjang, berderet empat sampai lima baris. Setelah itu kami membuat lubang-lubang kecil untuk para bibit bayam, kemudian menyiramnya. Tak lupa juga kami berfoto dengan rasa bangga seakan sudah menjadi power ranger lingkungan.
Hari berganti, syukurlah musim hujan. Alam membantu kami, paling tidak kami tidak perlu menyiram si merah secara rutin. Tapi jangan kira semua berjalan bebas hambatan. Kebun kami kerap diserang oleh hewan berkaki empat. Membuat kami berteriak-teriak “Anjing! Jangan diinjak woy njing”. Melihat tunas-tunas bayam sepertinya terancam, kami kemudian memutuskan untuk membuat pagar tali dari rafia. Harapannya supaya anjing itu paham area itu dilarang untuk mereka. Tapi ya, anjing kan tetap anjing.
Hari terus berganti. Kami orang-orang embuh sangat bahagia melihat tunas-tunas bayam merah yang menggerombol dengan manisnya. Bahkan beberapa dari kami sudah membayangkan untuk membuat jangan, salad , gudangan, dan banyak menu yang lain dari si bayam merah.
Sampai suatu ketika, hujan turun terus menerus sepanjang hari. Puncaknya malam itu hujan turun dengan deras. Pagi-pagi, harapan kami kandas. Kebahagian itu hilang. Salah seorang dari kami memposting gambar si merah di whatsapp grup dengan emoticon bertubi-tubi T T . Sepetak bayam kami berubah menjadi kubangan air. Tanah-tanahnya amblas. Tunas-tunas kami hilang terendam dan terseret oleh air hujan. Kami gagal panen. Atau mungkin, gagal tunas? kegeloan ini baru untuk awam seperti kami namun akrab di kalangan petani ketika padinya diserang wereng, cabenya rusak karena hujan atau kolnya dimakan ulat. Bahkan saya rasa, emoticon TT tidak bisa mewakili gelo nya para petani saat gagal panen. Kalau untuk kelompok kami yang baru saja ‘kemarin sore’ njajal berkebun, saya rasa masih bisa.
Beberapa hari setelah itu. Duka kami mulai pulih, kami mulai membayangkan untuk mulai menanam lagi. Bermula dari penjelajahan internet untuk melihat kebun-kebun organik. Kami mulai menyadari perbedaan petak bayam merah kami dengan petak tanaman organik di internet. Kami orang-orang embuh tiba-tiba mendapat jawaban kenapa petak bayam kami bisa hilang disapu air hujan. Kami yang awam ini merasa mendapatkan pencerahan. Ternyata yang kami perlukan adalah BEDENG untuk menanam, bukan hanya sekedar gundukan tanah.
Tulisan ini diolah dari Emotional Diary berkebun milik Monika Swastyastu (Tyas). Dalam proyek “Please eat Wildly“ oleh Bakudapan Food Study Group, salah satu aktivitas utama yang kami jalankan adalah membuat kebun sendiri di halaman belakang kantor KUNCI Cultural Studies Center. Dalam menjalankan aktivitas berkebun kami menggunakan Emotional Diary untuk mencatat pengalaman dan perasaan kami, yang nantinya kami gunakan sebagai cara untuk refleksi dan evaluasi program. Tulisan ini telah dimuat di Bakudapan.com tahun 2017
0 notes
Text
Ngramban Pangan Liar di Lahan Terlantar
catatan atas kegiatan observasi pangan liar di lahan terlantar, diterbitkan oleh bakudapan.com tahun 2017

Semangat ngasak untuk mengenal pangan liar rupanya tidak terhalang oleh teriknya matahari siang itu. Berada di lahan bekas kebun Kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center, sebuah kelompok kecil terdiri dari enam belas orang menghalau semak, dahan ranting yang menjalar untuk meraba, membaui, dan mencicipi maman ungu, sintrong, timun liar, serta tumbuhan lain yang tumbuh liar.
Adalah Bakudapan, sebuah kelompok studi makanan yang menginisiasi acara “Please Eat Wildly; Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar” pada hari Kamis, 11 Mei 2017 lalu. Bersama dengan Pak Baning dan Luinambi Vesiano sebagai pematik diskusi, acara ini bertujuan untuk membicarakan gagasan mengenai “liar” yang memiliki banyak definisi serta tidak terbatas pada konteks tumbuhan saja. Lahan terlantar bekas kebun kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center menjadi pilihan untuk menjajal kemungkinan pemanfaatan tanaman liar yang tumbuh berdampingan dengan pembangunan kota.
Ngasak
Acara dimulai dengan ngasak, sebuah istilah Jawa yang artinya adalah memungut dan mengumpulkan. Istilah tersebut sangat lekat dengan petani, dimana pasca panen padi biasanya ada bulir-bulir padi yang tertinggal saat panen, kemudian dikumpulkan oleh sanak saudara atau tetangga, sebagai bentuk simbolik relasi sosial diantara mereka. Kami menggunakan istilah ngasak karena kami tertarik dengan praktek memungut dan mengumpulkan sesuatu atas kepemilikan lahan orang lain atau atas lahan yang dianggap tak bertuan. Menurut kami, bentuk ngasak perlu untuk terus di uji coba, terutama disaat kepemilikan properti pribadi dan ruang publik menjadi salah satu isu yang terus dikontestasikan.
Saat kami survey sebelumnya di lahan belakang Gedung Jogja Expo Center yang berupa tanah lapang disertai tumbuhan semak rimbun di beberapa tempat, beberapa warga mengatakan bahwa lahan tersebut dimiliki oeh manajemen Jogja Expo Center. Meskipun begitu kami melihat beberapa warga memanfaatkan lahan tersebut untuk menggembala kambing mereka dengan bebas. Selebihnya lahan-lahan tersebut dipenuhi sampah, pecahan kaca, dan hal-hal yang dianggap tak bernilai lainnya. Asumsi kami, karena tidak dianggap bernilai secara ekonomis, maka kami dan orang-rang yang memanfaatkan lahan tersebut dapat dengan mudah mengambil apa yang ada disana. Entah bagaimana jika lahan itu kemudian dibangun dipagari dan dijadikan kompleks pertokoan, misalnya.
Dipandu oleh Pak Baning dan Ves, kelompok kecil yang terdiri dari enam belas orang memasuki rimbun pepohonan yang menyerupai hutan kecil dan mulai me-ngasak. Kelompok kecil itu sesekali berhenti, ketika menemukan sebuah tumbuhan liar yang dapat dijadikan bahan pangan. Beberapa tahap untuk observasi tanaman liar dilakukan, yakni melihat, meraba, mencium dan merasakan. Bagi kami, mempelajari tumbuhan melalui pengalaman langsung yang melibatkan indera tentu berbeda dengan membaca buku atau melalui gambar. Saat kami mecicipi langsung tumbuhan-tumbuhan itu, tak jarang muncul dari mulut peserta komentar-komentar tidak percaya bahwa dandelion, putri malu, dapat diolah menjadi bahan pangan. Pak Baning tak henti menjelaskan beberapa tanaman yang mereka temui seperti : daun lamtoro muda, patikan kebo, maman ungu, randu dst.
Meskipun terlihat mudah seakan-akan semua tanaman liar dapat dimakan, namun Ves mengatakan bahwa diperlukan pengetahuan sebelum mencoba pangan liar. Tidak semua tumbuhan liar bisa dikonsumsi secara langsung. Ada yang membutuhkan proses sebelumnya. Seperti jelatang yang harus direbus lebih dahulu sebelum diolah, agar tidak menimbulkan gatal-gatal. Pengetahuan tentang pangan liar dapat membantu untuk memilah tumbuhan yang bisa dikonsumsi dan yang tidak.
Yang liar dan yang tidak
Di antara semak-semak yang tumbuh menjulang, nampak beberapa pohon pepaya tumbuh menggerombol. Melihat pepaya yang tumbuh liar dengan sendirinya, muncul pertanyaan apakah pepaya tersebut termasuk pangan liar. Diskusi kemudian mengarah kepada kategorisasi pangan liar. Menurut Pak Baning, sebuah tumbuhan disebut sebagai pangan liar ketika tanaman itu tidak masuk ke dalam wilayah domestikasi. Sehingga meskipun pepaya tersebut tumbuh liar, namun dalam konteks kebudayaan pangan kita pepaya bukanlah tumbuhan yang dianggap liar. Pepaya termasuk tumbuhan yang dibudidaya dan membutuhkan campur tangan manusia. Tentunya klasifikasi tentang yang liar dan yang tidak bukanlah sesuatu yang saklek, tapi lebih bersifat cair. Ketika tumbuhan moringga/kelor—yang kini telah menjadi trend sebagai salah satu obat herbal—dibudidaya maka bisa pula ia tidak lagi menjadi pangan liar.
Meskipun terdengar seperti mengikuti trend pangan organik, pangan liar bukanlah sesuatu hal yang baru. Masyarakat telah mengenal pangan liar sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan, terutama saat menghadapi paceklik. Pak Baning bercerita bahwa masyarakat kita sebenarnya menghadapi siklus tahunan paceklik. Seperti di Kulon Progo 3 tahun sekali, di Gunung Kidul 2 tahun sekali, dan di Sleman 10 tahun sekali. Dulu, pangan liar menjadi tumpuan di masa masa sulit ketika padi, jagung atau tanaman lain sulit untuk tumbuh. Kebutuhan pangan mereka seperti karbohidrat, serat dan protein dapat terpenuhi lewat konsumsi pangan liar.
“Semakin sebuah daerah terpinggirkan dari akses sumber daya yang memadai maka pengetahuan mereka tentang pangan liar biasanya lebih beragam” ujar Pak Baning. Sebagai contoh lanjutan, Pak Baning menjelaskan bahwa Kulon progo dan Gunung Kidul lebih kaya akan jenis umbi-umbian serta cara pengolahannya dari pada Sleman. Hal tersebut dikarenakan karena masyarakat di Kulon Progo dan Gunung Kidul harus bersiap-siap ketika menghadapai paceklik. Mereka harus mencari alternatif pangan yang tersedia sepanjang tahun. Sehingga mereka memanfaatkan pangan liar semaksimal mungkin. Disisi lain, Sleman memiliki akses sumber daya alam seperti air yang melimpah, tanah yang subur, sehingga mereka telah tercukupi kebutuhan pangannya, bahkan lebih berlimpah.
Ketika kemudian pangan berlimpah dan menjadi surplus, muncul istilah ‘snack’ yang menurut Pak Baning merupakan sebuah strategi pangan untuk mengolah sisa. Di daerah Sleman, snack yang paling banyak dikenal ialah yang berbahan ketan, dan lebih jarang umbi-umbian. Sedangkan di Kulon Progo dan Gunung Kidul lebih familiar dengan olahan snack dari umbi-umbian seperti geplak, gethuk, tiwul, dan gatot. “Artinya, apa yang hadir di meja makan itu selalu terhubung dengan apa yang mereka tanam, atau apa yang tersedia” ujar Pak Baning. Mirisnya, kini masyarakat tidak lagi merasakan paceklik, karena pasar selalu menyediakan segala kebutuhuan. Sehingga secara tidak langsung apa yang kita konsumsi hari ini tergantung pada bahan pangan yang disediakan oleh pasar. Dapat dibayangkan, dari ratusan jenis bahan pangan yang hadir di meja makan, dalam setiap tahunnya dapat menipis menjadi beberapa jenis saja.

Mistifikasi : Tantangan Pangan Liar
Membicarakan pangan liar tidak bisa lepas dari sejarah pangan dunia. Diskusi kemudian membahas kemunculan pertanian industri pada tahun 1970, yang digadang-gadang dapat menyelesaikan persoalan kelaparan lebih dari satu milyar orang. Munculah kemudian revolusi hijau yang disebut dapat menjadi solusi. Namun hingga hampir 5 dekade kemudian pada tahun 2010 presentase kelaparan tidak mengalami penurunan. Artinya pertanian industrial telah gagal menjadi solusi. Pertanian organik kemudian muncul seakan-akan menjadi penyelamat bagi lingkungan dan permasalahan pangan.
Persoalan kemudian, ketika pertanian organik menjadi komoditas—dengan embel-embel organiknya seakan-akan mengamini harga bahan pangan menjadi mahal—akses menjadi terbatas. Ekslusifitas terbentuk. Tidak semua orang kemudian bisa mengakses makanan organik. Pangan organik kemudian seakan-akan hanya menjadi konsumsi kelas menengah keatas. Sehingga jelas, ketika pangan organik menjadi trend dan komoditas, maka dia menjadi bisnis semata dan kehilangan tujuannya sebagai penyelamat persoalan pangan.
Sebagai counter culture, atau katakanlah sebagai alternatif, muncul (kembali) gagasan mengenai pangan liar. Menurut Pak Baning, gagasan awalnya adalah keterbukaan akses terhadap pangan, sehingga dapat diakses oleh siapa saja dengan harga yang lebih murah. “Karena pada dasarnya pangan liar memenuhi 3 aspek dalam ketahanan/ keamanan pangan yakni ketersediaan, keterbukaan akses dan memiliki nutrisi yang memadai” ujar pak Baning. Sehingga setiap lapisan masyarakat dan komunitas dapat mengakses pangan liar tanpa terbentur pada ekslusifitas kelas-kelas tertentu.
Pangan liar tentunya tidak terlepas dari tantangan tersendiri. Pak Baning memaparkan salah satu tantangan dari pangan liar ialah mistifikasi. Ketidakcermatan dalam mengkampanyekan pangan liar dapat berujung kepada mistifikasi. Misalnya saja dengan yang terjadi pada tanaman moringa/ kelor saat ini. Kelor dikampanyekan dapat menjadi obat herbal yang sangat ampuh dalam menyembuhkan penyakit. Orang kemudian berbondong-bondong, termasuk produsen dan konsumen, meng-trendkan kelor sebagai obat herbal yang dibalut dengan narasi mistifikasi. Namun apakah kemudian konsumen benar-benar merasakan kasiatnya atau itu adalah sugesti dari narasi. Jika demikian, tanaman-tananaman lain dapat pula termajinalkan karena tidak memiliki mitologi yang menjual meskipun memiliki kasiat yang sama. “Cara yang baik menurut saya, bagaimana melihat pangan liar sebagai bahan pangan pada umumnya, yang bisa diakses dengan saiapa saja dengan mudah dan menjadi keseharian. Kegagalan teman-teman LSM dan negara ini menurut saya terlalu menghasilkan banyak ritus, tapi gagal menjadi habitus” ujar Pak Baning.
Diskusi siang itu ditutup dengan makan siang bersama diatas daun pisang. Berlaukkan tanaman-tanaman hasil me-ngasak bersama yang diolah dengan bumbu plecing, dan fuyunghai. Ditemani dengan nasi jagung manis, tak lupa pula dengan roti jala kelor sebagai pencuci mulut. Tentunya, sebagai sebuah wacana yang muncul kembali dari pegetahuan masyarakat, pangan liar memiliki banyak celah yang belum ditelisik. Meskipun demikian kecermatan diperlukan sehingga para pelaku tidak terjebak pada eksotisasi dan mistifikasi yang dapat menjebak dalam komodifikasi dan trend pangan yang selalu timbul tenggelam tiada henti. Semoga ritus pangan liar ini dapat menjadi habitus bersama.
Catatan: : Tulisan ini dibuat berdasarkan diskusi bersama “ Please Eat Wildly : Observasi Pangan Liar di lahan Terlantar”. Sampai jumpa di diskusi Please Eat Wildly selanjutnya.
0 notes
Text
Deutsch Türken dalam Persimpangan: Representasi Identitas Jerman-Turki di Freiburg, Jerman
Makalah ini dipresentasikan dan diterbitkan pada Seminar “Seri Studi Kebudayaan 1: Pluralisme, Multikulturalisme, dan Batas-batas Toleransi” Universitas Brawijaya, tahun 2017
Kebijakan Angela Markel untuk ‘membuka pintu’ kepada para pencari suaka, pengungsi, dan migran, membuat Jerman kini terdesak oleh lebih dari satu juta imigran di perbatasan. Permasalahan rasisme, xenophobia, terorisme, pengangguran kembali memanas seperti pada tahun 1955 ketika ribuan guest worker kemudian menjadi permanen migran. Hal ini menjadi titik tolak aktual untuk menilik dinamika identitas orang Turki yang merupakan pendatang dan orang asing hingga berkembang menjadi kelompok migran terbesar di Jerman.Keturunan Turki yang lahir di Jerman atau memiliki keterikatan terhadap Jerman (Jerman Turki) berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, inklusi dan ekslusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, dianggap sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip telah mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengekslusikan mereka dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Mimikri merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan strerotip, ekslusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Hal tersebut memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga. Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah representasi hibriditas Jerman-Turki Hibriditas Jerman-Turki yang terbentuk merupakan produk dari multikulturalisme di tengah carut marut permasalahan xenophobia di Jerman yang kian memanas. Permasalahan representasi identitas kewarganegaraan kemudian tidak bisa dilepaskan dari aspek kultural dan politik dimana selalu dapat berubah dan bersifat cair.
“the cartoon that sum up migran crisis”. Oleh : Simon Kennebo
Pendahuluan
Jerman telah menjadi negara destinasi migran paling diminati nomer dua sedunia setelah mengalahkan U.K dan Kanada, mengambil posisi tepat di bawah Amerika Serikat dengan menarik 400.000 imigran pada tahun 2012.[1] Angka tersebut semakin meningkat menanggapi kebijakan politik Angela Merkel, bahwa Jerman ‘open door for migrants’. Sebanyak 964.574 pencari suaka tiba di Jerman dalam waktu sebelas bulan di awal tahun 2015[2], sehingga dapat diperkirakan satu juta migran, pengungsi dan pencari suaka telah tiba di Jerman pada awal tahun 2016. Sebuah survei yang dilakukan oleh TNS Forschung untuk sebuah Majalah politik Jerman ‘Spiegel’, 84% responden mengatakan bahwa besarnya jumlah pengungsi saat datang ke Jerman akan menghasilkan "perubahan permanen” ke negara itu, 54% mengatakan mereka khawatir bahwa bahaya terorisme yang lebih tinggi karena masuknya pengungsi, dan 51 % persen percaya bahwa angka kejahatan akan meningkat, 43 % khawatir bahwa pengangguran akan meningkat[3]. Berdasarkan survey tersebut terlihat tingginya angka kekhawatiran masyarakat Jerman akan efek negatif dari para pencari suaka yang datang ke Negara mereka.
Sedangkan ketika menilik sejarah, ini bukan pertama kali Jerman menerima satu juta ‘orang asing’ di negaranya. Hal ini sudah terjadi pada tahun 1955, ketika paska perang dunia II Jerman Barat merekrut ribuan guest worker dan gagal memulangkan mereka sehingga kebanyakan dari mereka menetap, melakukan reunifikasi[4] keluarga dan menjadi permanen migran. Puncak migrasi tertinggi terjadi pada tahun 1990 paska reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Hal tersebut disertai dengan munculnya gerakan xenophobia, didukung oleh neo nazi. Alhasil, kekhawatiran akan orang asing, terorisme, kejahatan, pengangguran, dan perubahan permanen sebenarnya telah dialami oleh masyarakat Jerman satu dekade lebih, terulang, dan memuncak kembali pada tahun 2016. Hal ini menjadi titik tolak untuk menilik kembali perkembangan dinamika kelompok migran terbesar di Jerman, bagaimana proses representasi identitas orang Turki—sebagai pendatang dan pekerja tamu—dimulai sejak tahun 1995
Sejarah kedatangan Orang Turki di Jerman berawal dari pekerja tamu hingga kini menjadi migran, tidak lepas dari stereotip tentang orang Turki pada umumnya; yang berasal dari desa, kampungan, konservatif, muslim, berpendidikan rendah, kekurangan secara ekonomi, hidup di ghetto, sulit untuk terintegrasi, dan tidak bisa berbahasa Jerman dengan lancar. Permasalahan diskriminasi, eksklusi, dan keterasingan tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang proses adaptasi migran Turki selama di Jerman. Satu dekade telah berlalu sejak pekerja tamu yang berasal dari Turki menginjakkan kakinya di Jerman. Anak-anak mereka telah lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman.
Terdapat istilah tersendiri untuk menyebut keturunan Turki yang lahir di Jerman yakni sebagai German-Turkish dalam bahasa Inggris, Deutsch-Türken dalam bahasa Jerman, atau Almanyah/Almanci dalam bahasa Turki (Mandel 2008:1). Istilah Deutsch-Türken merujuk pada keturunan Turki yang lahir di Jerman atau paling tidak memilki satu orang tua yang berasal dari Turki, dan juga memiliki sejarah imigrasi dalam keluarga. Deutsch-Türken lebih mengacu kepada keturunan Turki generasi kedua dan ketiga yang telah banyak mengenal kultur Jerman. Istilah ini seakan memberikan kesan positif terhadap integrasi Imigran Turki dalam masyarakat Jerman. Namun disisi lain, ekslusi sosial masih tersirat dalam istilah ini. Urutan istilah “Deutsch-Türken” dalam gramatikal Jerman menyiratkan bahwa “Deutsch” merupakan kata sifat yang menerangkan keterangan variatif dari ‘Türken’[5] (Mandel, 2006: 181). Dengan kata lain Deutsch-Türken artinya adalah salah satu jenis variasi orang Turki yang ke-Jerman-Jerman-an, bukan variasi orang Jerman yang ke-Turki-Turkian. Alhasil, istilah Jerman Turki atau Deutsch-Türken telah menerapkan sebuah batasan, bahwa sekalinya orang Turki, tetaplah Turki (once a Turk, Always Turk)[6], mustahil untuk menjadi Jerman.
Pelajar keturunan Turki di Freiburg berada di antara dua kebudayaan yakni Jerman dan Turki. Mereka hidup di dalam kultur masyarakat Jerman dan memiliki ikatan dengan Turki dalam diri mereka. Stereotip, diskriminasi, inklusi, eksklusi, dan pengliyanan tidak bisa dilepaskan dari diri mereka. Tulisan ini kemudian akan membahas mengenai representasi identitas keturunan Turki di Freiburg im Breisgau, Jerman dan alasan dibalik representasi Identitas tersebut.
Metodologi
Penelitian etnografi[7] yang dilakukan dalam tulisan ini merupakan bagian dari kerjasama penelitian antara Departemen Antropologi dan Departemen Hubungan Internasional UGM serta Departemen Antropologi Universitas Hassanudin Makassar dengan Albert-Ludwig University (ALU) Freiburg, German. Lokasi Penelitian dalam tulisan ini dilakukan di kota Freiburg, Baden Wuttemberg, Jerman selama satu bulan. Pemilihan Informan dilakukan dengan menggunakan metode bola salju atau disebut juga sebagai chain referral sampling menghasilkan a study sample through referrals made among people who share or know of others who possess some characteristics that are of research interest (Bienarki dan Waldorf 1981 : 141).. Metode ini sangat tepat untuk sejumlah tujuan penelitian dan ini terutama berlaku ketika fokus penelitian adalah pada isu sensitif, mungkin tentang masalah yang relatif pribadi. (ibid)
Dalam sebuah penelitian etnografi, metode pengumpulan data dan analisis merupakan kunci utama. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dan observasi partisipasi untuk mengumpulkan data. Amri Marzali dalam Spradley (2007: ix) menyatakan bahwa teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan struktur seperti pada penelitian survei. Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan terbatasnya waktu penulis untuk melakukan wawancara, penelitian ini tidak memenuhi standar ‘ideal’ yang diungkapkan Amri Marzali tersebut. Penelitian ini pada akhirnya melakukan wawancara mendalam yang dilakukan pada beberapa informan yang memberikan informasi secara terbuka, atas dasar terjalinnya kepercayaan, kenyamanan dan relasi akrab dengan peneliti. Sebagaimana pendapat Geertz (2003:69) dalam Karim (2006:22) bahwa yang perlu diperhatikan bukan meyesuaikan jiwa secara mendalam dengan informan, tetapi lebih pada menemukan apa yang sebenarnya sedang mereka pikirkan dan mereka lakukan. Alhasil dalam wawancara mendalam yang terpenting adalah memenuhi tujuan utama penelitian etnografi “to grasp the native point of view, his relation to life, to realise his vision and his world” (Malinowski 1992:25)
Jerman-Turki dalam Persimpangan
Pekerja tamu yang tidak kembali ke Turki dan membawa keluarganya ke Jerman kini telah memiliki penerus generasi. Anak-anak migran Turki tersebut lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Istilah Jerman-Turki atau Almanyah/Alamanci digunakan untuk menyebut keturunan Turki yang lahir di Jerman atau orang Turki yang bekerja di Jerman dan bertingkah laku seperti orang Jerman. Meskipun berada dalam ikatan dua negara, namun mereka mengalami eksklusi dari kedua belah pihak.
Di Jerman, kehidupan Jerman Turki ini tidak bisa lepas dari seterotipe pekerja tamu. Mereka sering dianggap tidak berpendidikan, konservatif, beragama muslim, dan tidak mau terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Mereka dianggap sebagai orang asing, dan sering kali mengalami ‘pembedaan’ meskipun sebagian diri mereka adalah Jerman. Seda, seorang Jerman Turki yang lahir di Jerman bercerita ketika Ia berkenalan dengan orang asing, mereka memperhatikan rambut hitamnya dan berkata “You are not German, You just different!” Secara fisik keturunan Turki memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan orang Jerman. Mereka dikatakan sebagai campuran antara Ras Kaukasoid dan Mongoloid (John, 1974). Keturunan Turki memiliki rambut hitam atau cokelat gelap, kulit cokelat kekuningan, mata berbentuk almond, dan hidung yang mancung serta sedikit besar dibagian depan. Perbedaan secara fisik ini menjadi permasalahan sendiri yang dialami oleh Yuldum saat Ia masih kecil. Yuldum mempertanyakan mengapa Ia tidak terlahir sebagai orang Jerman seperti teman-temanya yang berambut pirang. Ia merasa dirinya adalah domba hitam di antara kawanan domba putih lainnya. Yuldum menceritakan pengalamannya
“Ya, in my puberty in my teenager time i really had identity issues. I didn't like my black hair,i didn't like my names, i always like why couldn't my name be 'Saskia,' why i'm not blond. I have very homogen class and school in my hometown, I was the only turkish girl in the school and also the first and the last foreign student. so it was like i was always the 'black sheep’.
Ya, saat puber, saat remaja, aku benar-benar memiliki permasalahan identitas. Aku tidak menyukai rambut hitamku, aku tidak suka namaku, aku selalu seperti kenapa namaku bukan ‘Saskia’ kenapa aku tidak pirang. Aku mempunyai kelas dan sekolah yang sangat homogen di derah asalku, aku satu-satunya gadis Turki di sekolah, dan juga siswa asing yang pertama dan terakhir. Jadi itu seperti aku adalah ‘domba hitam’ (Wawancara, 15 Juni 2015)
Pertanyaan Yuldum tentang identitasnya menunjukkan bahwa Ia merasa ‘berbeda’. Ia tidak menyukai rambut hitam dan namanya karena kedua hal tersebut dapat merepresentasikan dirinya sebagai orang asing bukan orang Jerman. Ia dapat dengan mudah dikenali sebagai orang Turki karena ciri-ciri fisiknya. Keinginannya untuk dapat menjadi seperti anak-anak Jerman lain terlihat ketika Ia menanyakan kenapa Ia tidak memiliki rambut pirang atau memiliki nama yang terdengar Jerman.
Selain Yuldum, Jerman-Turki lain juga mengalami diskriminasi ketika Ia masih kecil. Hal ini baru Nazil alami ketika tanpa sengaja Ia menemukan foto masa kecilnya
“I found a photo of my time at the kindergarten. And it really made me feel sad. Really I found it after almost 20 years . It’s been a photo of my kindergarten group with all my educators. And all Turkish children and all other foreign children were sitting on the floor while all the German children were standing next to the educators. And for me it’s been… after all these years I went “Boah!” It’s been this separation, this real separation.”.
Aku menemukan foto ketika aku masih TK. Dan itu membuatku sedih. Sangat. Aku menemukannya setelah hampir 20 tahun. Itu adalah foto dari kelompok TK ku dengan semua guru-guru. Dan semua anak-anak Turki dan anak-anak asing lainnya duduk di lantai ketika semua anak-anak Jerman berdiri di samping guru-guru. Dan untuku itu adalah.. setelah beberapa tahun lewat. “Boah” . itu adalah pembedaan. Ini pembedaan yang nyata. (19 Juni 2015)
Foto yang ditemukan Nazil dan baru disadarinya setelah 20 tahun, bahwa terjadi pembedaan ketika dia masih di TK. Dirinya dan anak-anak asing yang lain “dibedakan” dengan anak-anak Jerman. Anak-anak Turki diminta untuk duduk di lantai, sedangkan anak-anak Jerman berdiri disebelah Guru. Kejadian tersebut menunjukkan adanya strata sosial yang dipaksakan tanpa disadari kepada anak-anak. Orang asing dianggap rendahan, dan selalu berada di luar masyarakat. Dalam pola pikir ‘Barat’, hanya orang yang ‘tidak beradab’ yang duduk di lantai yang kotor. Ketika tidak ada kursi, orang yang beradab akan berdiri. Hal ini menunjukkan terjadi penindasan secara simbolik. Ketika pengaturan ini terjadi, secara implisit Turki diposisikan lebih rendah dari pada Jerman, bahkan tidak pantas untuk berdiri sejajar dengan Jerman.
Talia juga mengalami hal yang serupa. Ia mengalami ‘pembedaan’ saat minggu pertamanya di jurusan hukum di Heidelberg sebelum pindah ke Freiburg. Dua anak lelaki menghampirinya pada saat Ia duduk di depan kantin dengan teman-temannya. Salah satu anak laki-laki itu mendekati Talia dan mengatakan “ so you are the Turk around here” dengan nada yang negatif dan memojokkan. Ia juga mengajukan pertanyaan tidak sopan tanpa perkenalan “ Are you drink? Are you smoke? Do your mother wear head scraff? are you that religious? why are you here?” Talia sangat shock dan tidak dapat berkata apa-apa. Itu pertama kalinya Ia merasa disudutkan dan menjadi orang asing di negara dimana dia lahir. Ia berkata
“exactly I was born here, but it doesnt feel like it. there is still something that push you away from the society”.
Aku lahir tepat di sini, tapi rasanya tidak seperti itu. Selalu ada sesuatu yang mendorongmu jauh dari masyarakat. (Talia 20 Juni 2015)
Di Turki, para Jerman Turki ini juga mengalami eksklusi. Mereka tidak dianggap sebagai orang Turki sepenuhnya. Hal ini dialami oleh Yuldum, aksen Jermannya sangat kental saat Ia berbicara dalam bahasa Turki, sehingga orang dapat mengetahui bahwa Ia tidak asli berasal dari Turki. Ketika berada di Turki orang sering menanyakan darimana mereka berasal. Selain aksen Jerman yang kental, gaya berpakaian mereka yang lebih terbuka, berbeda dengan seperti baju-baju yang digunakan oleh orang Turki pada umumnya. Biasanya mereka akan mendapat perilaku yang berbeda. Dalam sekejap mereka akan berubah menjadi turis, menjadi orang asing di tanah air orang tua mereka.
Eksklusi tersebut diperkeruh dengan adanya sterotip bagi orang Jerman Turki di Turki. Di Turki mereka disebut dengan Almanya/Almanci yang berarti Jerman secara kata sifat (adjective), atau ‘kejerman-jermanan’. Stereotip almanya di Turki ialah orang-orang kaya, pemakan babi, memiliki kehidupan yang nyaman di Jerman, kehilangan bahasa Turki mereka, dan menjadi seperti Jerman (Kaya, 2013 : 222) Istilah tersebut secara implisit menghina , memberikan label perbedaan, menunjukkan kurangnya penerimaan dan penolakan Jerman Turki di tengah masyarakat Turki (ibid).
Menjadi Jerman Turki berarti berada di antara dua kebudayaan Jerman dan Turki. Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi mereka karena “Here (German), they call me foreigner, in Turkey they call me Almanya”[8]. Di Jerman mereka adalah orang asing, di Turki mereka adalah orang Jerman. Sebagai individu mereka berada di tengah struktur masyarakat yang memiliki konstruksi stereotip negatif tentang Turki maupun Jerman Turki. Mereka terjebak di tengah identifikasi idealisasi masyarakat atas sebuah identitas yang tunggal. Sehingga Jerman Turki yang memiliki ikatan antara dua kebudayaan dianggap sebagai orang lain, alien, yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat.
HIbriditas Jerman-Turki
Jerman Turki ini melihat diri mereka menyerupai Jerman dengan mengikuti German Ways. Beberapa dari mereka berpenampilan lebih terbuka, misalnya dengan memakai baju tanpa lengan atau memakai celana/rok pendek. Mereka juga mendiskripsikan diri mereka tidak terlalu religius, dan lebih terbuka. Jerman Turki menolak sterotip mengenai Turki yang konservatif dan sangat islami.
Namun di sisi lain, mereka tetap melakukan peniruan tradisi Hari Raya Lebaran seperti yang di lakukan di Turki. Meskipun berada di Jerman, mereka tetap melakukan tradisi berkumpul bersama keluarga. Tradisinya masih sama, yakni orang yang lebih tua akan mengunjungi orang yang lebih tua. Hal ini terjadi contohnya pada keluarga Yuldum. Pada Hari Raya Lebaran, paman bibinya serta, sepupu-sepupunya yang ada di Stutgart akan pergi ke Freiburg untuk merayakan bersama. Ketika berkumpul bersama mereka berbicara dengan bahasa Turki dan makan masakan Turki bersama-sama. Makanan Turki tidak dipungkiri menjadi cara untuk tetap menjaga ikatan dengan Turki. Mereka tetap makan dan mempelajari masakan Turki dalam kesehariannya di Jerman. Makanan Turki tetap mendominasi dapur mereka di rumah. Terlebih lagi, beberapa mengaku lebih menyukai makanan Turki daripada makanan Jerman. Meskipun secara berasamaan Jerman Turki meniru German ways, namun terdapat penolakan secara halus untuk tidak mengapropriasi sepenuhnya.
Kewarganegaraaan menjadi salah satu simbol keanggotan seseorang kepada suatu negara. Beberapa Jerman Turki mengaku memilih untuk menjadi warganegara Jerman dengan cara mengajukan aplikasi untuk memperoleh paspor Jerman. Meskipun harus melalui serangkaian tes agar dapat menjadi Jerman, hal ini dilalui oleh Jerman-Turki. Paspor Jerman merupakan pengakuan simbolik secara mutlak dari negara untuk menunjukkan siapa yang merupakan warga negara Jerman dan yang bukan. Namun di sisi lain, Jerman Turki dengan mudah dapat memiliki Kartu Biru Turki sebagai pengganti dari paspor Turki yang dikembalikan (option mode). Kartu Biru Turki ini seperti sebuah ‘kewarganegaraan terselubung’ yang memperbolehkan Jerman-memiliki hak dan kewajiban sama halnya dengan warga negara Turki lainnya. Kelemahannya hanya satu, mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan hak suara pada pemilihan umum. Hal tersebut membuktikan bahwa Jerman-Turki tetap mempertahankan ikatan ke-Turki-an mereka, meskipun secara eksplisit mereka ‘meniru’ lazimnya Orang Jerman yang memiliki Paspor Jerman.
Peniruan (mimikri) merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan stereotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Melalui peniruan, hasrat untuk menjadi seperti Jerman dan seperti Turki terakomodasi. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Tidak bisa dipungkiri di dalam peniruan juga terdapat ambivalensi. Peniruan tidak hanya sekedar meniru tapi juga mengandung penolakan/pemberontakan dalam artian mempertahankan identitas keturkian secara implisit. Ambivalensi tersebut kemudian memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga.(1994: 112-115), Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah hibriditas Jerman-Turki. Proses hibriditas budaya memungkinakn terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebaelumnya, yang merupakan area baru tempat terjaid negosiasi makna dan representasi.
Jerman Turki berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, baik dan buruk, inklusi dan eksklusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, di representasikan sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengeksklusikan Jerman Turki dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Mereka mengalami dilema ketika segalanya harus diputuskan hanya di antara dua kategori nasionalitas : Jerman atau Turki, sedangkan mereka berada di tengah-tengah.
Ketika Jerman Turki ditanya ‘Who are you?’, mereka memiliki jawaban yang beragam. Mereka akan mulai bercerita mengenai eksklusi mereka dalam masyarakat Jerman, kemudian mendeskripsikan diri mereka sebagai Turki, selanjutnya mereka akan menceritakan eksklusi yang dialami dalam masyarakat Turki, kemudian mereka menjadi Jerman. Selanjutnya di akhir cerita mereka akan berkata bahwa mereka adalah keduanya; Jerman dan Turki. Salah satu Jerman Turki yaitu Nazil mengatakan:
I have to say, many people feel the same way and I feel that way, too. You’re coming to Germany and so you’re German. In Germany you’re Turkish and you get accepted but by some people you don’t get accepted. And if you’re in Turkey, you’re German. You know, you have an identity but you don’t know which one. This one or the other? I am German since I’m born here. But I have a Turkish origin and I also speak Turkish. I know I’m German, but I’m Turkish too. I’m simply both. I don’t know if you could say, you’re Turkish. I am Turkish but I have a German passport. So I’m German too. I’m both. I’m thinking in German, I’m thinking in Turkish. That’s balanced.
Aku harus katakan, banyak orang merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan juga. Kamu datang ke Jerman, lalu kamu adalah Jerman. Di Jerman kamu adalah Turki dan kamu diterima tapi oleh beberapa orang kamu tidak diterima. Dan jika kamu di Turki, kamu adalah Jerman. Kamu tahu, kamu punya identitas tapi kamu tidak tau yang mana. Yang ini atau yang lain? Aku Jerman karna aku lahir di sini. Tapi aku juga keturunan Turki dan aku berbicara bahasa Turki. Aku tahu aku Jerman, Tapi aku juga Turki. Secara ringkas aku adalah keduanya. Aku tidak tahu jika kamu bisa berkata, kamu Turki. Aku Turki, tapi aku mempunyai paspor Jerman. Jadi aku juga adalah Jerman. Aku keduanya. Aku berpikir dalam Jerman, Aku berpikir dalam Turki. Itu seimbang. (19 juni 2015)
Identitas Jerman Turki ini muncul dalam representasi yang merupakan persoalan bagaimana kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita (Barker, 2016:173) Proses produksi makna tersebut dikatakan oleh Stuart Hall sebagai ‘representasi’. Dalam hal ini, representasi sebagai proses kultural menetapkan identitas individu dan kolektif dalam sistem simbolik yang menyediakan kemungkinan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: siapa saya? saya bisa menjadi siapa? Dan saya ingin menjadi siapa? (Woodward, 1997:14).Hal yang Nazil ceritakan menunjukkan bagaimana kompleksitas yang Ia alami. Identitasnya berubah-ubah, terpecah-pecah, tidak stabil, tidak sempurna, tidak pernah selesai, dan selalu dalam proses representasi (Stuart Hall, 1990:4). Nazil sebagai subjek dan juga sebagai pribadi, Ia terikat kepada proses - proses sosial, dimana Ia sebagai subjek yang direpresentasikan oleh struktur sosial. Ia mengalami eksklusi. Hasrat untuk menjadi bagian dari masyarakat (Jerman dan Turki) membuatnya melakukan peniruan. Ia meniru agar dapat menjadi seperti Jerman, dan seperti Turki. Seperti Jerman Turki lain, Ia menguasai kedua bahasa, belajar kedua kebudayaan, serta memelihara ikatan dalam dua negara. Hal ini kemudian memunculkan negosiasi dalam ruang ketiga. Dimana terjadi pelenturan batas-batas, percampuran kultural, persilangan sekat, yang memunculkan hibriditas Jerman-Turki. Nazil juga, mengalami negosiasi dan merepresentasikan dirinya sebagai hibrid.
Jerman Turki melihat diri mereka sebagai bentuk hibrid dari dua kebudayaan Jerman dan Turki. Hal ini terlihat dari rasa kepemilikan, rasa keberpihakan mereka (sense of belonging), dan bagaimana mereka mengartikulasikan diri mereka sebagai bagian dari keduanya; Jerman-Turki (dengan garis sambung / hyphenated). Keturunan Turki ini merepresentasikan diri mereka ‘as simply as both’.
Hibriditas Jerman-Turki dapat terlihat dari praktik kebahasaan mereka. Dimana mereka menggunakan kedua bahasa yakni Jerman dan Turki dalam keseharian mereka. Ketika berhadapan dengan masyarakat Jerman, misalnya ketika membeli sesuatu di mini market, atau berhadapan dengan institusi mereka menggunakan bahasa Jerman. Di sisi lain dalam ranah domestik mereka menggunakan bahasa Turki. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati di keluarga, bahasa Turki merupakan hukum wajib. Meskipun demikian tak jarang kedua bahasapun digunakan secara bergantian. Beberapa Jerman-Turki mengaku berbicara bilingual dan menggunakan kosakata bahasa Jerman/Turki yang muncul lebih dulu di pikiran mereka.
Selain itu, Turki tetaplah menjadi bagian dari perjalanan kehidupan Jerman-Turki. Meskipun terbiasa dengan cara hidup Jerman, namun Turki tetap menjadi pertimbangan. Turki selalu menjadi pilihan untuk kembali. Tidak hanya untuk liburan namun Jerman-Turki juga memiliki rencana untuk mencoba hidup di Turki. Tentunya hal ini tidak bisa dibayangkan sebagai perkara yang mudah. Hidup di Turki artinya lebih mengenal budaya Turki yang berbeda dengan di Jerman. Kondisi politik yang tidak stabil, tidak adanya sistem efektif jumlah penduduk yang banyak, dan beragam budaya ketimuran membuat hidup di Turki menjadi lebih menantang.
Sehingga dapat disimpulkan Representasi Identitas Jerman-Turki ini—seperti halnya yang dikatakan oleh Silverstein (2005:373)— merupakan sebuah bentuk hibrid liminal dimana, sebagai keturunan Turki generasi kedua, mereka berada ‘di antara dua budaya’ sebagai sebuah bentuk hibriditas antara dua budaya Jerman-Turki namun tidak memihak di antara keduanya dan tetap berada di ruang antara.
Menjadi bagian dari Eropa merupakan keinginan Bangsa Turki sejak lama. Di sisi lain, untuk menjadi Eropa artinya adalah menjadi seperti ‘Barat’. Hal itu seakan-akan merupakan syarat tersembunyi agar Turki terasimilasi ke dalam kultur dan standar ‘Barat’, sejalan dengan diperlukannya pembuktian-pembuktian bahwa mereka ‘sudah cukup Barat’ untuk diterima. Permasalahan tersebut diangkat oleh Kevin Robins (1996:67) sebagai arogansi kultural dari Eropa, yang menuntut pengorbanan untuk menjadi ‘Barat’, meskipun Eropa percaya bahwa Turki tetap tidak akan bisa menjadi seperti mereka. Turki kemudian membuka dirinya pada ‘paksaan’ modernisasi ‘Barat’. Westernisasi menjadi sebuah jalan keluar dari ‘ketidakberadaban’ (uncivilized) agar dapat menjadi ‘beradab’ (civilized) seperti barat. Peniruan untuk menjadi ‘Barat’ dilakukan agar mendapat pengakuan dan penerimaan, sebagai bagian dari Eropa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam perspektif makro, indikasi peniruan telah dilakukan oleh Turki untuk menjadi Eropa. Hasrat untuk menjadi Eropa terakomodir dalam peniruan yang menjadikan Turki hampir sama dengan ‘Barat’ namun tidak sepenuhnya sama. Sehingga tanpa disadari struktur sosial Turki mendukung peniruan sebagai sebuah strategi penerimaan—melawan dominasi ‘Barat’—agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Dalam konteks Jerman-Turki, peniruan kemudian, menjadi salah satu strategi untuk melawan strerotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Berada di antara dua kebudayaan: Jerman dan Turki, memiliki ikatan keduanya dan tidak berniat untuk melepaskan salah satunya, membuat mereka melakukan upaya agar dapat diterima oleh keduanya. Mereka melakukan peniruan-peniruan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan dilakukan agar dapat menyerupai Orang Jerman dan juga Orang Turki pada praktiknya.
Menguasai bahasa Jerman, menjadi salah satu contoh peniruan yang dilakukan oleh Jerman-Turki. Mereka mempelajari bahasa Jerman dari kecil, bahkan tidak hanya dari sekolah namun dari ranah domestik. Keahlian dalam berbahasa Jerman sangat penting dikuasai agar dapat diterima oleh masyarakat, agar terintegrasi dengan baik. Stereotip pekerja tamu Turki yang tidak bisa berbahasa Jerman, hanya mau berbicara dalam bahasa ibunya, enggan terintegrasi berusaha dilawan dalam peniruan ini. Bahkan beberapa Jerman-Turki memiliki aksen Jerman yang kental yang tidak bisa dibedakan dari orang Jerman pada umumnya. Meskipun demikian secara bersamaan, penolakan halus atas dominasi bahasa Jerman juga dilakukan oleh Jerman-Turki dengan cara tetap berbahasa Turki. Dalam ranah domestik, penggunaan bahasa Turki dilestarikan dan menjadi sebuah keharusan. Hal ini merupakan upaya untuk menjaga ikatan dengan Turki sebagai bagian dari diri mereka. Jerman Turki melakukan peniruan agar dapat menjadi seperti orang Turki. Bagi Jerman-Turki, ungkapan ekspresif seperti cinta dan marah lebih tersimbolkan dengan baik melalui Bahasa Turki daripada Bahasa Jerman. .
Salah satu peniruan lain adalah mengikuti German ways dengan meniru pola pikir Jerman yang berpendidikan, sistematis, terstruktur, tepat waktu, berpakaian terbuka dan tidak terlalu kaku dalam agama. Memiliki pendidikan yang layak, menjadi merupakan salah satu bentuk peniruan Jerman-Turki agar dapat menjadi seperti Jerman. Melalui sistem pendidikan Jerman, mereka dapat menempuh hingga di bangku universitas. Bahkan di Turkipun, Muhrat menjalani pendidikannya di sekolah Jerman di Istanbul. Status yang didapat melalui pendidikan ini membedakan mereka dengan Turki di Jerman yang bekerja kasar. Mereka melawan stereotip Turki yang tidak berpendidikan. Mereka berusaha membuktikan bahwa mereka berbeda dengan Turki dalam pembayangan streotip tersebut.
Kesimpulan
Kebijakan politik Kanselir Jerman Angela Merkel untuk ‘membuka pintu’ Jerman bagi para migran, pencari asilum dan pengungsi telah memberikan gelombang pendatang yang seakan tidak ada habisnya. Sebanyak 964.574 pencari suaka tiba di Jerman dalam waktu sebelas bulan di awal tahun 2015[9], sehingga dapat diperkirakan 1 juta migran, pengungsi dan pencari suaka telah tiba di Jerman pada awal tahun 2016. Hal ini membuktikan Jerman telah menjadi negara destinasi migran paling diminati nomer dua sedunia setelah mengalahkan U.K dan Kanada, mengambil posisi tepat di bawah Amerika Serikat.
Beriringan dengan hal itu muncul penolakan keras oleh masyarakat Jerman terhadap kebijakan tersebut. Hal ini terlihat dari kekalahan Angela Merkel di Berlin. Dilansir dari Surat Kabar Online Tempo[10], Partai politik yang berkuasa di Jerman, Kristen Demokrat Union (CDU), kalah oleh partai anti-Islam dan imigran pada pemilihan umum parlemen daerah di Berlin. CDU bertengger di posisi ketiga dengan hanya mendapatkan 19 persen dukungan. Posisi pertama adalah partai sayap kiri, Sosial Demokrat (SPD), yang mendapat 30 persen suara. Disusul dengan partai anti-imigran, Alternatif untuk Jerman (AFD) dengan 21 persen suara pada pemilu 4 September 2016 yang lalu.
Kemenangan partai anti muslim, dan anti migran di Jerman menunjukkan meningkatnya xenophobia dan islamphobia di kalangan masyarakat. Kekhawatiran dan penolakan dari masyarakat Jerman pada mulanya muncul atas dasar kegelisahan ‘perubahan permanen’ ke negara itu, hadirnya migran telah membuat ‘wajah’ Jerman berubah. Hal ini terlihat dari banyaknya toko Kebab di sudut-sudut Kota Jerman, wanita berjilbab di jalan, orang-orang berkulit sawo matang menaiki trem, Toserba Asia dan lain sebagainya. Selain itu, kekhwatiran terorisme, meningkatnya kriminalitas, tingginya angka pengangguran juga menjadi keprihatinan tersendiri.
Ketika melihat sejarah, kekhawatiran akan orang asing, terorisme, kejahatan, pengangguran, dan perubahan permanen sebenarnya telah dialami oleh masyarakat Jerman satu dekade lebih dan memuncak kembali pada tahun 2016. Kebijakan politik Angela Merkel, bukanlah pemicu pertama kali Jerman menerima satu juta ‘orang asing’ di negaranya. Hal ini sudah terjadi pada tahun 1955, ketika paska perang dunia II Jerman Barat merekrut ribuan guest worker dan gagal memulangkan mereka sehingga kebanyakan dari mereka menetap, melakukan reunifikasi[11] keluarga dan menjadi permanen migran. Salah satu kelompok migran terbesar di Jerman ialah Turki
Sejarah kedatangan Orang Turki di Jerman berawal dari pekerja tamu hingga kini menjadi migran, tidak lepas dari stereotip, permasalahan diskriminasi, eksklusi, dan keterasingan.Satu dekade telah berlalu sejak pekerja tamu yang berasal dari Turki menginjakkan kakinya di Jerman. Anak-anak mereka telah lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Istilah Jerman Turki kemudian muncul untuk mewakili keturunan yang lahir di Jerman, atau orang Turki yang bekerja di Jerman dan memiliki keterikatan terhadap Jerman.
Jerman Turki berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, baik dan buruk, inklusi dan eksklusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, di representasikan sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengeksklusikan Jerman Turki dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Peniruan merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan strerotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Melalui peniruan hasrat untuk menjadi seperti Jerman dan seperti Turki terakomodasi. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Dalam peniruan tersebut terjadi ambivalensi, yakni, tidak hanya terjadi peniruan, tapi juga penolakan dalam konteks ini Jerman- Turki tetap mempertahakan ke-Turki-an mereka. Hal tersebut memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga. Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah hibriditas Jerman-Turki.
Hibriditas Jerman-Turki ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keberpihakan (sense belonging) kepada dua negara, yakni Jerman dan Turki. Sehingga dalam hal ini, identitas tidak lagi bisa di tempatkan dalam oposisi biner. Hal ini juga diungkapkan oleh Stuart Hall :
Orang yang dalam suatu aspek berbeda dengan mayoritas-‘mereka’ ketimbang ‘kita’—sering kali ditampilkan dalam bentuk representasi biner semacam ini. Tampaknya mereka direpresentasikan melalui sudut ekstrim yang sangat bertentangan, terpolarisasi, biner—baik/buruk, beradab/primitif, jelek/ menarik, menjijikan-karena-berbeda/menarik-karena-asing-dan-eksotis. Dan mereka sering kali harus menjadi kedua hal tersebut pada saat yang sama! (Hall, 1996 : 229)
Hibriditas Jerman-Turki memperlihatkan bahwa mereka bukanlah ‘liyan’ bagi masyarakat Jerman ataupun Turki. Mereka adalah keduanya. Mereka berada di antara ruang transnasional Jerman dan Turki.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kegelisahan Jerman akan ‘orang asing’ perlu dikritisi kembali. Kewarganegaraan kemudian tidak bisa sepenuhnya menjamin seseorang dapat diterima secara kultural sebagai anggota dari sebuah negara. Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan ‘orang asing’? karena sebenarnya segala bentuk hibriditas hadir dari sebuah bentuk budaya yang telah hibrid. Sehingga kita seharusnya tidak terjebak dalam representasi biner tentang ‘kami’ dan ‘mereka’, tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menjadi warga negara.
Daftar Pustaka
Barker, Chris . 2016,Cultural studies: Teori & Praktik. Yogyakarta; Kreasi Wacana,
Bhaba, Homi K. 1994 The Location of Culture: Routledge.
Bienarcki dan Waldrof. 1981 .“Snowball Sampling Problems and Technique of Chain Referall Sampling” journal sociological methods & research, Vol. 10 No. 2. November 141-163 Sage Publications, Inc.
Hall, Stuart, and Paul du Gay. 1996 .Questions of Cultural Identity: SAGE Publications.
Kaya, Ahyan. 2007. German-Turkish Transnational Space: A Separate Space of Their Own. German Studies Review, Vol. 30, No. 3 (pp. 483-502 Published by: on behalf of the The Johns Hopkins University Press German Studies Association.
Mandel, Ruth. 2008. Cosmopolitan anxieties: Turkish challenges to citizenship and belonging in Germany. Duke University Press.
Malinowski, 1992. Bronislaw.Malinowski and the Work of Myth. Princeton University Press.
Silverstein, Paul.A. 2005. Immigrant Racialization and the New Savage Slot: Race, Migration, and Immigration in the New Europe . Source: Annual Review of Anthropology, Vol. 34 (2005), pp. 363-384.
Spradley, James P. 2007 Metode Etnografi . Tiara Wacana :Yogyakarta.2005
Woodward, 1997. Kathryn.Concept of Identity and Difference. In Identity and Difference. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage, 7-62.
Karim. 2009. Cinta Lintas Budaya : Sebuah Dinamika Kehidupan Di Antara Dua Identitas (Studi tentang Kawin Campur di Kota Yogyakarta dan Freiburg, Jerman), Fakultas Ilmu Budaya UGM. Skripsi.
Media Online
Bloomberg. Germay Top Migration Land After U.S in New OECD Ranking, http://www.bloomberg.com/news/articles/2014-05-20/immigration-boom-propels-germany-past-u-k-in-new-oecd-ranking. 2014 [diakses 2 Juni 2016]
Express. Germany Accepts ONE MILLLION migrats this year after Merkel throws open door, http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx. 2015 [diakses 5 Desember 2015]
Spiegel. The Rise of German’s New Right, http://www.spiegel.de/international/germany/refugee-crisis-drives-rise-of-new-right-wing-in-germany-a-1067384.html. 2015 [diakses 9 Februari 2016]
Tempo. Pemilu Parlemen, Partai Merkel Kalah oleh Partai Anti Islam, https://dunia.tempo.co/read/news/2016/09/05/117801758/pemilu-parlemen-partai-merkel-kalah-oleh-partai-anti-islam 2016 [diakses 4 Oktober 2016]
[1]Alex Webb, “Germany Top Migration Land After U.S in New OCD Ranking” , diakses dari http://www.bloomberg.com/news/articles/2014-05-20/immigration-boom-propels-germany-past-u-k-in-new-oecd-ranking
[2] Rebecca Perrig, “Germany Accept ONE MILLION Migrants This Year After Merkel Throws Open Door” diakses dari http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx
[3] Melanie Aman dkk, “The rise of Germany New Rights” diakes dari http://www.spiegel.de/international/germany/refugee-crisis-drives-rise-of-new-right-wing-in-germany-a-1067384.html
[4] Penyatuan kembali
[5] Penulis memberikan contoh lain, lebih jelasnya dalam istilah Black American menerangkan kata sifat, variasi dari Orang Amerika yang berkulit hitam.
[6] Mandel, 2006: 181
[7] Etnografi, ditinjau secara harafiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Sehingga kemudian istilah etnografi mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut (Marzali dalam Spradley 2007:vii)
[8] Terjemahan : Disini (Jerman), mereka memanggilku orang asing, di Turki mereka memanggilku Almanya.
[9] http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx
[10] https://dunia.tempo.co/read/news/2016/09/05/117801758/pemilu-parlemen-partai-merkel-kalah-oleh-partai-anti-islam pada 10-4-16 , 10:52
[11] Penyatuan kembali
0 notes
Text
Menilik Peran Perempuan Dalam Pendidikan Pangan
tulisan ini diterbitkan di Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta Volume 6 No 3 Juli-September 2018

“Hari ini mau makan apa?” merupakan pertanyaan rutin yang ibu saya tanyakan setiap pagi sebelum Ia pergi ke pasar. “Sayur” jawab saya pendek dengan tidak terlalu spesifik. Sop berisi wortel, kubis, kembang kol dengan potongan daun bawang, dan seledri adalah konsekuensi dari jawaban saya. Tersaji di meja makan dengan tempe garit serta sambal trasi matang.
Sebuah pertanyaan yang sangat sederhana tentang apa yang ingin dikonsumsi, menunjukkan salah satu peran perempuan dalam menjaga keberlangsungan pangan keluarganya. Kewajiban menjaga kecukupan gizi , nutrisi, dan kesehatan keluarga berada di tangan perempuan yang terkadang tidak disadari dan dianggap sebagai hal yang wajar. Memasak sebagai pekerjaan dapur bukan hanya perihal mengolah bahan pangan menjadi panganan, tapi juga dimulai dari pemilihan bahan pangan yang segar, bergizi dan sesuai dengan anggaran rumah tangga.
‘Sayur’ yang diterjemahkan oleh ibu saya dengan sangat sederhana : wortel, kubis dan kembang kol dalam genangan kuah tumisan bawang putih. Sop ini keluar dari dapur, menuju ke piring makan saya semenjak saya masih balita. Tak ayal, hingga kini ketika saya memikirkan sayur , relasi yang muncul adalah sop, lengkap dengan tempe garit dan sambal. Saya kemudian menyadari bahwa pola konsumsi seseorang dibentuk tidak jauh rumah, hanya dari dapur, dan apa yang tersaji di piring makan.
Perihal pemilihan wortel, kubis, dan kembang kol untuk di dalam sop, ternyata juga membentuk pengetahuan saya tentang jenis-jenis sayuran yang bisa dimakan dan tidak dimakan. Atau paling tidak jenis sayuran yang wajar dan tidak wajar berada di dalam sop. Secara tidak sadar ada selera yang terbentuk, membentuk sebuah batasan yang tidak tampak. Betapa kagetnya saya ketika kini saya mengetahui bahwa ada ratusan sayuran di luar wortel, kembang kol dan kubis, yang ‘tidak wajar’ menurut saya, tapi wajar bagi orang lain untuk dimasukkan ke dalam sepanci sup. Atas hal ini saya teringat perkataan Lono Simatupang, bahwa makanan bukanlah hanya soal pengetahuan, melainkan soal pengalaman ketubuhan khususnya pengalaman lidah[1]. Dari situ perlahan-lahan pola konsumsi terbentuk, berkenaan tentang kecenderungan untuk menyukai sesuatu atau tidak menyukai yang lain. Sering tidak disadari bahwa subyek yang memiliki andil besar dalam mendidik pola konsumsi adalah kaum perempuan yang merupakan landasan ketahanan pangan keluarga.
Dari Empat Sehat Lima Sempurna Hingga Mustika Rasa
Jika melihat kembali sejarah, di masa Presiden Sukarno, perempuan memiliki posisi penting dalam perumusan strategi pangan nasional. Sukarno beranggapan bahwa persoalan pangan adalah hidup matinya bangsa. Di masa pemerintahannya, Sukarno telah menerapkan beberapa strategi pangan nasional yang bergerak dari pusat maupun dari peri-peri. Salah satunya adalah konsep “Empat Sehat, Lima Sempurna” dirumuskan oleh Poerwo Soedarmo (1904-2003) tahun 1951. Soedarmo melihat masyarakat di awal kemerdekaan masih berpijak pada pola makan asal kenyang dan belum terfokus pada makanan sehat bergizi. Sehingga empat sehat lima sempurna diharapkan dapat menjadi strategi pangan untuk merampungkan permasalahan malnutrisi yang banyak terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan. Melalui Lembaga Makanan Rakyat dan Lembaga Perbaikan Makanan Rakyat yang dibentuk pada Januari 1951, Soedarmo merumuskan secara sederhana kandungan gizi dalam bahan makanan, antara lain: karbohidrat dalam nasi, jagung, dan ubi; protein dalam daging, ikan, dan kacang-kacangan; vitamin dalam sayur; dan mineral dalam buah. Empat bahan makanan tersebut cukup memenuhi syarat kesehatan. Untuk menyempurnakannya, Soedarmo menyarankan masyarakat agar mengonsumsi susu.[2]
Propaganda empat sehat lima sempurna ini, sejalan dengan keinginan Sukarno untuk berdikari secara ekonomi dengan swasembada pangan. Caranya ialah dengan menolak sistem impor pangan dan memaksimalkan produksi pangan lokal Indonesia. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati di lumbung’, karena tanah air kita kaya raya[3]. Ucapan Soekarno yang terkenal adalah “Go to hell with your aid”[4] yang menunjukkan keseriusannya untuk tidak tergantung dengan bantuan ekonomi luar negeri.
Peran perempuan dalam pendidikan pangan telah disadari oleh Presiden Sukarno pada masa pemerintahannya. Sukarno menyadari bahwa posisi perempuan sebagai pusat keluarga sangat penting, seperti yang dikatakan oleh Hildred Geertz (1983 : 49) bahwa kedudukan wanita dalam masyarakat Jawa pada umumnya sangat kuat. Sebagian besar pekerjaan-termasuk berbagai corak pekerjaan seperti kerja sawah ladang, dagang kecil, jual-beli borongan, usaha kecil, membantu rumah tangan dan mengajar-semuanya terbuka bagi wanita. Oleh karena itu, dibawah Lembaga Makanan Rakyat dan Lembaga Perbaikan Makanan Rakyat terdapat organisasi-organisasi wanita seperti Gerwani, Aisyah, Perwari dan organisasi wanita lainnya sebagai motor penggerak propaganda swasembada pangan[5].
Bermula dari dapur sebagai titik fokus dalam membentuk pola konsumsi masyarakat, Para Ibu mencatat apa saja yang biasa mereka konsumsi dan dari mana asalnya. Seperti beras, bawang, kecap, garam, gula, minyak, hingga sabun dicatat agar bisa ditelusuri, apakah merupakan produk lokal atau impor.[6] Jika ternyata merupakan produk impor, maka haruslah dihindari atau dikurangi pemakainnya dan berusaha mencari subtitusi menggunakan produksi lokal yang berasal dari daerah lain di Indonesia. “Iya, misalnya dalam satu kampung itu juga dicatat, kayak bapak atau ibu A itu produksi kecap. Terus di selatannya ada yang produksi tempe atau tahu, semuanya itu dicatatat. Jadi dalam satu kampung pasti ada yang memproduksi sendiri bahan pangan mereka” kata Ita Fatia Nadia (penulis dan aktivis perempuan di Yogyakarta)[7]. Pencatatan yang dilakukan oleh kaum ibu, menjadi panduan bagi rumah tangga untuk mencari bahan pangan lokal yang ada di sekitar mereka untuk konsumsi pangan sehari-hari. Apa yang didapat ibu-ibu kemudian diterapkan dalam rumah tangga, sehingga membentuk konsumsi keluarga yang berbasis pada produk lokal pada saat itu.
Keseriusan Sukarno terlihat ketika pada tahun 1967 , terbitlah sebuah buku masakanan nasional pertama kali berjudul “Mustika Rasa” . Buku ini dirangkum oleh Istri Sukarno sendiri yakni Hartini, para pamong praja, ahli kuliner hingga ahli gizi atas perimintaan Sukarno[8]. Pengerjaan buku resep ini memakan waktu tujuh tahun dari tahun 1960 hingga tahun 1967, hingga akhirnya diterbitkan oleh Departemen Pertanian. Menteri Pertanian Brigadir Jenderal dr Aziz Saleh mengatakan bahwa “Maksud pokok ialah supaja ‘kookboek’ itu merupakan penundjuk djalan bagi rakjat Indonesia didaerah manapun, bagaimana bahan-bahan makanan jang terdapat didaerahnja itu dapat diolah mendjadi makanan lezat jang berfaedah.”[9] Pemilihan terbitan kitab resep kuliner Indonesia menunjukkan bagaimana Sukarno melihat pentingnya pengarsipan atas pegetahuan perempuan. Resep masakan sangat erat dengan ranah domestik perempuan baik dari menanam, mengolah bahan pangan lokal hingga menjadi masakan untuk konsumsi rumah tangga.
Strategi pangan nasional yang dicetuskan oleh Soekarno tenggelam pasca lengser tahun 1965 ketika orde baru mulai mengambil alih.Melihat bagaimana sangat berpengaruh perempuan dalam hal politik di era sebelumnya, membuat Suharto mengekang perempuan dalam Panca dharma[10]. Panca Dharma Wanita tersebut sangat membatasi perempuan, domestifikasi dan depolitisasi perempuan dengan hanya mengurusi suami, anak dan rumah tangga sama sekali tidak memberikan perempuan ruang untuk menikmati dan melakukan hal-hal sebagaimana sebagai subjek manusia.[11] Berkembangnya Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tahun 1967 semakin memperkuat konstruksi struktur domestik perempuan dalam rumah tangga. Bergesernya kekuatan politik, juga mengubah peran perempuan dalam pendidikan pangan. Jika di masa Sukarno, perempuan menjadi agen dan memiliki agensi dalam swasembada pangan, di era Suharto perempuan merupakan objek yang dihilangkan subyektifitasnya dalam pendidikan pangan. Sehingga meskipun konsep Empat Sehat Lima Sempurna besutan Soedarmo masih diterapkan lewat Posyandu dan PKK, namun sayangnya swasembada pangan yang berdasarkan diversifikasi masa Sukarno bergeser menjadi berorientasi pada beras di masa Soeharto. Konsep Empat Sehat Lima Sempurna yang tadinya mencanangkan bahwa karbohidrat tidak hanya ada dalam nasi saja namun juga pada jagung, ubi dan umbi-umbian menjadi terkikis. Karbohidrat seolah olah hanya dapat terpenuhi dengan mengonsumsi nasi. Hingga muncul istilah “Belum kenyang ketika belum makan nasi”. Perihal ketergantungan akan nasi ini terinternalisasi lewat dapur-dapur rumah tangga, sehingga sangat mempengaruhi pola konsumsi masyarakat hingga sekarang. Bahkan swasembada beras àla Orde Baru ini nyatanya justru menghasilkan ”kelaparan tersembunyi” (hidden hunger) di berbagai wilayah ketika beras lambat laun meminggirkan sumber-sumber karbohidrat lainnya[12].
Pasca orde baru, ketergantungan beras berlangsung hingga sekarang, tercermin pada dibukanya keran impor beras setiap tahunnya. Pada tahun 2018 ini saja, Bulog menyebut secara total ada sekitar 1,84 juta ton beras impor yang akan direalisasikan hingga September 2018.[13] Keputusan impor dilakukan karena adanya kekurangan pasokan stok bulog yang berada di bawah 1,5 juta ton yang disinyalir dapat menyebabkan harga beras melonjak di pasar. Ketergantungan pada beras sebagai karbohidrat utama di Indonesia membuat masyarakat melupakan kumungkinan jagung, sukun, ubi rambat, singkong, sagu, kacang-kacangan menjadi pengganti karbohidrat.
Berdasarkan refleksi historis kebijakan pangan ini, kita bisa melihat bahwa perempuan memegang peran penting dalam membentuk pola konsumsi sebuah negara. Propaganda empat sehat lima sempurna menggunakan perempuan sebagai penggerak agar strategi pangan dapat terinternalisasi hingga pada rumah tangga. Pengetahuan tersebut dibekukan dalam buku resep Mustika Rasa yang juga memiliki unsur politis sebagai estafet pengetahuan tentang swasembada pangan. Hingga domestifikasi dan depolitisasi Order Baru terhadap perempuan menunjukkan perempuan tidak bisa lepas dari struktur sosial dan politik yang dibentuk oleh negara. Sehingga apa yang kita makan hari ini, seperti sesendok sop panas dengan tempe garit dan sambal, dibentuk pula oleh sistem kekusaan ekonomi, sosial , politik yang lebih kompleks dari yang bisa kita bayangkan.
[1] Lono Simatupang dalam Salim ,“Demokrasi Makan(an)” Gong IX,104, September,2008, hal 8
[2] Hendaru Trianggono, “Empat Sehat Lima Sempurna” https://historia.id/ragam/articles/empat-sehat-lima-sempurna-DEZqX., diakses 4:17 9/8/2018
[3] Alwi Shahab, “Politik Berdikari Bung Karno” https://alwishahab.wordpress.com/2001/10/27/politik-berdikari-bung-karno/
[4] ibid
[5] Wawancara dengan Ita Fatia Nadia tanggal
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Silvita Agmasari, “ Mustika Rasa, Kitab Kuliner Indonesia Warisan Sukarno Telah Terbit Kembali“ https://travel.kompas.com/read/2016/08/14/210400327/Mustika.Rasa.Kitab.Kuliner.Indonesia.Warisan.Soekarno.Terbit.Kembali
[9] Hardjohutomo, H. (1967). Mustika Rasa. Jakarta: Departemen Pertanian.
[10] Panca Dharma Wanita, yaitu: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.
[11] Fitri Lestari, “ Menilik Kembali Peran Perempuan di Masa Orde Baru “ https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/menilik-kembali-peran-organisasi-perempuan-di-masa-orde-baru
[12] Fadli Rahman, loc. cit
[13] MIchael Reily, “ Bulog datangkan 1,84 Juta Ton Beras Impor Hingga September” https://katadata.co.id/berita/2018/08/27/bulog-datangkan-184-juta-ton-beras-impor-hingga-september diakses pada 9/14/2018
3 notes
·
View notes