nfsuofficial
nfsuofficial
SELF-TITLED
9K posts
This is my tumblr. This may contains some short stories, my life experiences, my artworks, and current things I like.
Don't wanna be here? Send us removal request.
nfsuofficial · 8 months ago
Text
Untitled
***
Malam ini aku berkaca, melihat mataku yang sembab. Kepalaku berat, dadaku sesak, hatiku sedih sekali. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku sesedih ini. Apa yang aku sedihkan? Ketakutan? Denial?
Sulit rasanya memahami diri sendiri. Aku tidak yakin aku bisa hidup berdampingan dengan orang lain, berbagi sisa hidup dan ceritaku, yang bahkan kadang tidak ku pahami.
Aku percaya dengan komitmen, tapi aku tidak yakin aku bisa mencintai dan dicintai. Aku bahkan tidak yakin sudah mencintai diriku sendiri seutuhnya, nyatanya ada sisi dari diriku yang belum bisa ku pahami. Bagaimana mau bercerita dan berbagi ke orang lain? Aku bahkan tidak mengerti emosi apa yang kurasakan ini.
Pernikahan terdengar menyeramkan sekali. Rasanya seperti mengerjakan tugas kelompok dengan durasi seumur hidup. Dalam duniaku, aku selalu sendiri. Aku terbiasa sendiri. Bahkan dengan keluarga (orang terdekat dan prioritasku) pun aku dapat membangun benteng yang tinggi. Aku selalu dapat mengandalkan diriku sendiri. Aku terbiasa dengan itu, karena lelah berekspektasi dengan orang lain.
Apakah benar manusia diciptakan berpasangan? Lalu bagaimana dengan orang-orang serakah yang punya lebih dari satu pasangan? Apakah mereka mengambil pasangan orang lain? Apakah itu juga cinta, atau hanya nafsu saja? Kalau poligami juga adalah bentuk rasa cinta, maka lebih baik aku tidak pernah merasakan cinta.
Aku ingin dicintai dan mencintai dengan sederhana tapi tetap penuh. Aku ingin diterima dan menerima dengan setulus hati. Aku ingin diandalkan dan mengandalkan tanpa ada keraguan. Aku ingin dipercaya dan percaya dalam jangka waktu yang lama--selamanya. Aku ingin dimiliki dan memiliki tanpa ada rasa belenggu. Aku ingin didengar dan mendengar, aku ingin dihargai dan menghargai.
Aku ingin memulai petualangan baru tanpa rasa takut, cemas, dan penyangkalan.
***
5 notes · View notes
nfsuofficial · 8 months ago
Text
Tumblr media
It's my 15 year anniversary on Tumblr 🥳
Damn I've been on Tumblr for 15 years?? Didn't it make me tumblr girl enough??😌😏
0 notes
nfsuofficial · 10 months ago
Text
Kini Mereka Tahu
***
Hari itu, hari Jumat di siang hari setelah jam makan siang. Aku membuka pintu, memasuki cafe yang namanya terkenal seantero jagat raya. Aku langsung melihatnya, sedang duduk di pojok, bersandar ke tembok sambil memainkan smartphone. Dia melihat ke arah pintu, melihatku. Masih dalam posisi bersandar seolah sedang malas, dia tersenyum kepadaku. Dia, adalah atasanku. Aku membuat janji wawancara dengannya untuk bahan penulisan tesisku.
Namanya Made, usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku. Menjabat sebagai COO yang juga adalah Wakil Direktur, sahabat owner. Mendirikan, membangun, dan menjalankan perusahaan bersama-sama. Sebagai COO, dia pintar dan berwawasan luas dalam bidangnya, serta tahu keputusan apa yang harus diambil secara cepat dan tepat di situasi tertentu yang mendesak. Kepemimpinannya cenderung santai namun sebenarnya dia perfeksionis dalam hal detail, tapi pada dasarnya tetap mementingkan hasil. Cukup berkarisma untuk menjadi pakbos muda di perusahaan startup. Belum menikah, tapi setahuku dia punya pasangan. Meski workaholic, dia termasuk bos muda yang asik, bisa bercanda dengan karyawan-karyawan Gen Z-nya. Hanya saja, semua sifat baiknya yang orang tahu, hanya bagian dari persona yang dia ciptakan. Hampir 3 tahun aku mengenalnya, bekerja di bawah arahannya langsung membuatku banyak berinteraksi dengannya, memahami karakternya, menemukan sifat aslinya yang tak ia tampilkan dalam persona.
Aku membalas senyumannya, menghampiri, dan duduk di depannya.
"Panas banget." ku bilang (sambil kipas-kipas), membuka percakapan.
"Panas banget ya di luar? Tapi lama-lama di sini dingin kok." ucapnya yang tidak ramah dengan suhu ruangan dingin.
"Pak, makasih ya udah dateng buat wawancara tesis saya." ucapku lagi. Aku memanggilnya 'Bapak', meski di awal proses rekrutmen aku sempat memanggilnya 'Mas'.
"Iya, abis S2 mau ngapain? Lanjut S3? Apa mau nikah? Udah ada cowok belum? Hm?" tanya dia usil dan bertubi-tubi, salah satu hal yang biasa dia lakukan kepadaku.
"Pak Made sendiri kapan mau nikah?" aku membalasnya, ketus.
"Hahaha, salah ya saya nanya. Jadi boomerang ke saya. Nanti saya nikah kalo mba mau saya poligami jadi istri kedua." ujarnya mulai bercanda kurang ajar, juga salah satu hal yang biasa dia lakukan denganku. Dia memanggilku dengan sebutan 'Mbak'.
"Gak masalah sih pak, bapak juga bakal jadi suami kedua saya." jawabku yang tidak pernah mau kalah darinya.
"Oh, haha bisa gitu ya? Oke, deal?" dia mengajakku salaman, aku mengabaikannya.
Aku lalu mulai membuka tas, mengambil laptop dan perangkat lainnya. Aku menyalakan laptop dan bertanya, "pak, password wifi-nya apa?"
"Coba aja langsung konekin, biasanya langsung bisa tanpa password." jawabnya, dan langsung kucoba.
"Gak bisa pak, gak konek. Mungkin harus tetep masukkin password."
"Pake punya saya aja kalo gitu" dia menunjuk modem kecil tanpa kabel yang selalu dibawanya kemana-mana.
"Passwordnya apa pak? Made imoet ya?" tanyaku iseng menggodanya, dia tertawa kecil.
"Passwordnya I love you" dia membalas leluconku, tapi tidak lucu.
"Hurufnya gede kecil gak pak?" kubalas dengan tidak menggubris bercandaannya. Dia kemudian memberiku password wifi-nya yang adalah serangkaian angka dan huruf random. Aku berterima kasih.
Kemudian dia bertanya "di sini dingin banget, mau tukeran tempat duduk gak?" padahal keringatku belum sepenuhnya kering.
"Yaudah pak, saya di situ" jawabku mengiyakan. Kita bertukar posisi, aku di pojok dekat tembok, dia di depanku, yang padahal posisi tempat dudukku lebih dingin karena terpapar AC langsung.
Aku melihat smartphonenya yang sedang diisi ulang tiba-tiba menyala karena muncul notifikasi dari aplikasi yang terkenal untuk mencari jodoh "you have one notification from Timber". Hampir saja terucap di ujung bibirku yang gatal ini "pak, ada notif dari Timber".
Dia mengambil smartphonenya dan memberikan barang-barangku yang ada di kursi sebelahnya. "Oh, di sini malah lebih dingin ya", ujarnya.
"Trus gimana pak? Mau pindah lagi?" aku sedikit kesal.
"Pindah ke situ aja yuk" dia menunjuk kursi di sudut ujung, dekat meja kasir. Aku menuruti kemauannya yang kadang cukup banyak dan ribet.
Kita pindah ke kursi ujung, aku tetap di posisi dekat tembok, dia di depanku. Kita memulai wawancara, aku merekam percakapan kita.
"Kita mulai ya pak."
"Oh, ini formal ya?"
"Enggak pak, santai aja."
Aku memberinya 10 pertanyaan yang berdasar dengan analisis 5W1H, sisanya pertanyaan terbuka untuk mendapatkan gambaran dan pendapat darinya secara luas. Sesuai ekspektasiku, dia bisa memberikan penjabaran yang sangat baik dan kaya akan informasi. Setiap penjelasannya mengandung isi, walau beberapa kali diulang-ulang. Skill komunikasi dan analytical thinkingnya tidak perlu diragukan. Dia memberiku banyak bahan analisis untukku yang sedang stuck, bingung akan menulis apa lagi di bab 4. Setiap jawaban yang ia lontarkan seolah kata-kata yang keluar dari ChatGPT ketika kita mengetik satu pertanyaan.
"Oke sekarang pertanyaan terakhir ya pak"
"Oh udah terakhir? Cepet banget, ada pertanyaan lagi gak?" dia sedikit terkejut, menantangku.
Tentu saja ada pertanyaan-pertanyaan lagi, namun pertanyaan tambahan kutanyakan dari sisiku sebagai HRD, bukan sebagai mahasiswa Magister semester akhir yang sedang menyusun tesis.
"Saya cek dulu rekamannya ya pak, kalo gak kedengeran, kita ulang." kataku bercanda.
"Haha, tahu gitu saya rekam sendiri aja pake hp saya." jawabnya, sedikit kesal. Aku tertawa, senang membuatnya kesal.
Aku berhenti merekam, mengecek apakah rekamannya terdengar dengan jelas. Dia masih berbicara terkait topik tesisku yang sebenarnya kuambil dan kukembangkan dari tugas khusus yang dia berikan kepadaku. Tentu saja aku tidak mendengarnya dengan jelas, aku sedang mendengarkan rekaman, dan dia sadar itu.
"Gimana, jelas gak?"
"Jelas pak" aku mengangguk puas, aman.
Kita lalu lanjut berdiskusi terkait tugas-tugas pekerjaan, isu-isu di kantor, review untuk para subordinate lain yang bekerja di bawah arahannya. Aku melihat gelas es kopinya sudah mulai kosong, aku bertanya "pak Made mau minum lagi? biar saya pesenin."
"Gausah mba. Mba aja silakan kalo mau pesen minum." dia menolak dengan gengsi. Padahal paham betul aku memboykot produk yang dijual cafe ini. Satu-satunya alasanku datang ke cafe ini di cabang manapun, tentu saja karena memenuhi permintaannya yang hobi meeting di cafe ini. Sudah jadi cafe favoritenya.
Dia memegang kedua lengannya, memperlihatkan gestur kedinginan. "Kok masih dingin aja ya, di sini juga."
"Masih kedinginan pak?? Nih mau pake jaket saya?" geregetan, kutawarkan jaket jeansku yang tergeletak ke luar dari tas.
"Gausah. Nanti wanginya nempel, kebayang-bayang sampe mau tidur." jawabnya meledek, tersenyum usil. Tidak kurespon, kuteringat lirik lagu Bernadya 'kuyakin masih ada sisa wangiku di bajumu'.
Kita lanjut berdiskusi, di tengah-tengah penjelasannya, dia tiba-tiba berkata "mba, pengen boker". Jujur, laki-laki memang tidak bisa ditebak, terlepas dari konteks pekerjaannya dan apa yang sedang ia kerjakan.
"Yaudah sana boker pak, jangan di sini" aku mengomel.
"Hari ini saya belum boker, kalo di rumah susah. Sukanya di luar" dia tiba-tiba curhat, salah satu kebiasaannya juga yang suka ia lakukan denganku.
"Ohh hahaha gak betah di rumah ya?" aku menertawakannya.
"Kadang saya kepikiran apa harus beli toilet yang luxury ya biar nyaman boker di rumah"
"Hahahaha!" aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Dia lalu pergi ke toilet dengan tidak nyaman, sepertinya AC cafe membuatnya masuk angin. Aku sering mengejeknya "gak bisa tinggal di Eropa dong pak, kalo gak kuat dingin" "iya, kalo di tempat dingin saya menciut, mengecil" jawabnya membuat ku tertawa membayangkannya.
Sekembalinya dia, aku bertanya "udah?". Dia menggeleng, "toiletnya jelek". Aku tertawa tak habis pikir.
Dia duduk di sampingku, kebetulan kursi sebelah kami kosong. Kita lanjut berdiskusi, tidak terasa waktu Ashar tiba. Aku izin sholat sebentar.
"Saya sholat dulu ya pak, titip barang-barang."
"Iya, nanti saya jual semua."
Setelah ku kembali, dia masih duduk di samping kursiku, sambil mengerjakan sesuatu di tabnya.
Aku duduk di tempatku, kembali menawarkan jika dia mau pesan minuman lagi, kembali dia menolak. Kemudian kita lanjut berdiskusi.
Kita sedang membicarakan kebutuhan onboarding employee, aku bilang "pak, kita butuh ini" sambil menunjuk id card-ku. Dia melihat id card-ku dengan sedikit bingung, "kok beda?".
Aku memakai dua id card, id card kantor sebagai kartu akses gedung dan id card yang kubuat sendiri dengan logo personal brand yang kubuat untuk usaha kecil-kecilan pada masa pandemi, sebagai kartu penyimpanan saldo digital untuk naik transport publik.
"Ini company saya, kalo ini company bapak" kataku dengan santai, sambil membolak-balik id card yang kukalungkan.
"Wihh, punya double job?? Mana sini, coba liat!" terkejut dan penuh rasa penasaran, dia memaksa untuk melihat id card-ku. Meski postur tubuhnya kurus, tenaganya kuat untuk memaksaku memperlihatkan id card yang kupakai. Aku tidak mau kalah, aku belum percaya diri mengenalkan personal brand-ku kepadanya. Aku menahan tangannya sekuat tenaga yang sudah memegang kartuku, bersikeras menolak untuk memperlihatkannya. Aku bisa merasakan kita membuat sedikit kehebohan. Jika terpantau dari kamera CCTV, mungkin kami berdua seperti pasangan yang perempuannya ketahuan selingkuh, dan laki-lakinya penasaran mau lihat siapa si selingkuhan itu dari smartphone perempuannya.
Dia akhirnya mengalah, melepaskan kartuku. Aku melepas tangannya.
"Saya cari sendiri aja di Google." ucapnya, seraya mengambil smartphone, ternyata belum menyerah.
"Enggak ada pak." susah payah kucoba meraih smartphonenya, dia memegang tanganku, menahan.
Pencariannya tidak berhasil, dia malah menemukan brand-brand orang lain yang namanya sama denganku. Aku menghembuskan napas lega. Kita lalu kembali ke mode serius, melanjutkan diskusi.
Masih di posisi duduk yang sama, dia di sampingku tapi kali ini posisinya lebih merapat. Dia bercerita tentang review training yang dijalani subordinatenya, berkata bahwa materi training dari lembaga tersebut mirip seperti assessment yang pernah ia berikan kepada si subordinate pada awal periode pengangkatan. Dia bercerita penuh bangga, aku meledeknya "jie..." dia salah tingkah, mencubit lenganku sambil tertawa kecil.
Hari menjelang petang, senja di luar jendela mulai menampakkan warnanya. Hawa semakin dingin. Persoalan suhu ini belum selesai-selesai.
"Sumpah makin dingin." dia bicara pelan.
"Jujur pak, saya juga ngerasa dingin." kali ini aku mengiyakan. Menjelang malam, angin di luar lumayan kencang.
Dia mendekat dan berbisik kepadaku "gimana kalo kita saling menghangatkan diri...?"
"Enggak mau." langsung kurespon dengan ketus, dia tertawa. Entah apa di pikirannya, laki-laki memang susah ditebak, dan kalau ini adalah isyarat, aku tidak mau mengerti.
Aku melihat petugas cafe mulai menutup jendela-jendela, menandakan cafe sebentar lagi akan tutup. Aku baru menyadari tamu hanya tinggal kita berdua, ditambah dua orang lain yang baru saja beranjak keluar. Cafe ini berada di dalam gedung perkantoran, sehingga tidak heran bila jam operasionalnya mengikuti jam kerja kantor 09.00-18.00.
Aku sedikit panik, mengingat harus mengumpulkan dokumentasi untuk lampiran wawancara ini.
"Pak, kita foto dulu boleh ya?"
"Oh, buat apa?"
"Lampiran wawancara. Boleh ya pak?"
Dia bergegas berdiri dan memberikan smartphonenya ke petugas cafe. Aku terperangah heran. Kenapa dia menggunakan smartphonenya? Ini kan untuk kepentinganku, keperluan tesisku. Ya, aku tahu kamera smartphonenya memang bagus. Tapi, bukankah itu berarti dia juga akan punya foto kita tersimpan di smartphonenya? Kecuali dia menghapusnya nanti.
Tak sempat ku berkata, petugas cafe yang sudah memegang smartphonenya bertanya "fotonya mau landscape atau portrait ya kak?"
"Dua-duanya boleh mba? Fotonya on-cam sama off-cam ya mba." aku menjawab.
"Banyak ya requestnya." dia meledek. Dia yang kumaksud bukan petugas cafe.
Dia kemudian berpindah duduk di depanku, di kursi asalnya. Sambil membuka tabnya, aku berpura-pura mengetik di laptopku.
"Pak, gimmick ya. Ceritanya bapak lagi jelasin, saya ngetik" perintahku, kita berdua tertawa, tapi dia menurut.
Petugas cafe ternyata sudah mulai ambil foto, tanpa kita berdua tahu.
"Pak, gimmick tangannya dong, kayak lagi ngejelasin gitu."
Sambil menahan tawa, dia memainkan tangannya bergaya seolah sedang menjelaskan sesuatu. Petugas cafe selesai mengambil foto kami, memberikan smartphone pak Made kepadaku.
"Boleh dicek dulu kak hasilnya."
Kupikir petugas cafe hanya mengambil empat foto saja, on-cam dan off-cam masing-masing dua. Kugeser layar ke tiga foto lainnya, cukup puas dengan hasil fotonya. Setelahnya pak Made mengambil smartphonenya untuk melihat juga hasil fotonya seperti apa.
"Kok saya lemes banget ya mukanya." katanya.
Aku tertawa, "lemes kayak gabisa boker gitu ya pak?" dia juga ikut tertawa. Dia lalu mengirimkan foto-fotonya kepadaku dan setelah kulihat, ternyata ada lebih dari empat foto yang diambil. Kebanyakan foto off-cam kita yang sedang gimmick sambil menahan tawa. Aku berharap penuh dia akan menghapus foto-foto itu dari smartphonenya.
Waktu menunjukkan pukul 17.30, jam kerjaku selesai, waktunya pulang. Hari Jumat adalah waktuku pulang ke rumah. Bekerja di luar kota membuatku menyewa kos dan pulang ke rumah hanya seminggu sekali setiap hari Jumat.
"Jam 17.30 pak, ayo kita pulang." ucapku semangat. Tapi dia masih menahanku dengan pertanyaan bertubi-tubinya terkait diskusi pekerjaan. Sampai di titik aku tidak lagi menjawab pertanyaannya, aku sibuk mengakses aplikasi ojek online untuk mengecek berapa tarif perjalanan dari cafe ke pool travel.
Aku ingat dua pertanyaan terakhirnya, "kalian seneng gak sih kerja di kantor? Apa kalian merasa kurang diperhatiin sama bos-bos?". Sudah malas aku membahas topik ini, sekalipun mau dibahas tidak akan cukup waktunya, dan aku sudah mau pulang.
"Pak, kalo pesen ojol dari sini, keluarnya dari pintu mana ya?" tanyaku tanpa menggubris pertanyaannya. Untungnya dia merespon pertanyaanku, diskusi pekerjaan berakhir di situ.
Aku terkejut melihat nominal tarif perjalanan yang tinggi, jauh lebih tinggi dari tarif hari Jumat biasanya. Mungkin karena lokasi cafe lebih jauh daripada lokasi kantor ke pool travel.
"Mau bareng saya?" dia menawarkan.
"Emang bapak mau kemana?"
"Saya kan ke arah sana juga, tapi saya mau ambil mobil sewa dulu di deket kantor." dia bercerita besok adiknya wisuda, orangtuanya yang dari luar pulau datang untuk ikut acara besok. Itulah alasan kenapa dia sewa mobil.
"Lama gak ya pak?" tanyaku khawatir, mengingat mobil travel yang kunaiki terakhir berangkat jam 20.00.
"Enggak sih, tinggal ngambil aja. Paling nanti isi bensin dulu ke pom." dia meyakinkanku.
"Oke kalo gitu." aku sudah setuju, meski dalam hati masih ragu.
"Kita berangkat habis Magrib aja ya, saya sholat dulu di masjid seberang." katanya sambil mengecek estimasi lama perjalanan dari titik berangkat sampai tujuan.
Aku mulai ragu lagi, "pak, yakin ya jam 20.00 kita udah sampe sana?"
"Kita usahakan."
"Kalo jam 20.00 kita belum sampe sana gimana pak?"
"Saya anter sampe rumah." responnya asal.
"Bener ya pak??" aku bertanya walaupun yakin 100% dia tidak serius.
"Gila kali ya..." ujarnya, ketidakseriusannya terbukti. Dia lalu keluar dan berdiri di depan pintu cafe, aku masih bersiap merapikan barang-barangku, absen pulang melalui aplikasi HRIS, sambil memikirkan gimana kalau nanti jam 20.00 aku belum sampai di pool dan ketinggalan travel.
Seperti dejavu, aku ingat kira-kira setahun yang lalu aku pernah pulang bareng dengannya karena memang rumahnya searah dengan pool travelku. Namun karena rush hour, macet, dan dia lewat rute yang biasa dia lalui ke rumahnya, bukan rute yang biasa kulalui ke pool, kita masih stuck di kemacetan, dan perjalanan belum separuhnya. Aku memaksakan diri untuk turun duluan dan lanjut naik ojol sampai pool. Ternyata mobil terakhir sudah berangkat, jauh-jauh aku kembali ke kos.
Pada waktu itu dia menyesal, meminta maaf padaku dan memaksaku untuk mengganti biaya ojol yang jatuhnya dua kali lipat kukeluarkan dari perjalanan pulang biasanya. Aku menolak. Dia menawarkan untuk memesan makanan untukku, aku juga menolak, karena waktu itu aku baru saja beli makan. Dia menawarkan untuk memesan dessert, seolah masih berusaha mendapatkan simpatiku. Tapi aku juga kembali menolak.
Tidak mau kejadian itu terulang lagi, aku memutuskan untuk menolak tawarannya, pamit pulang duluan.
"Pak, saya naik ojol dari sini aja." aku menghampirinya keluar dari cafe.
"Oh gajadi? Jadinya naik ojol?" tanyanya seperti ada sedikit nada kekecewaan. Aku mengangguk.
"Yaudah yuk, jalannya lewat sini." kita berdua jalan menuju pintu keluar pejalan kaki. Angin berhembus kencang, menembus jaket jeans yang kukenakan.
Masih sambil memesan ojol, aku bertanya sekali lagi, "pintunya yang ini kan pak?". Dia tidak menjawab tapi langsung mengambil smartphone dari genggamanku.
"Iya, betul di sini." dia mengklik pesan, lalu mengembalikan smartphoneku.
"Habis ini kapan sidangnya mba?" sambil berjalan berdua, dia bertanya.
"Abis ini saya ngerampungin bab 4 dan 5, terus bimbingan, acc, terus sidang di awal Desember. Inshaallah Februari wisuda pak. Terus selesai. Mohon doanya ya pak."
"Oh gitu, iya semangat ya."
"Makasih pak. Selamat wisuda buat adiknya besok."
"Oh iyaa, makasih. Saya nyebrang di sini ya, hati-hati pulangnya." kita berpisah di depan tangga penyebrangan.
"Iya, thank you pak Made." aku melambaikan tangan padanya. Pertemuan kita hari itu berakhir.
Tiap kali kita bertemu, selalu banyak cerita yang kudapat darinya, dengannya. Semua persona yang ia ciptakan di kantor, hanya sebagian kecil dari dirinya.
Sifat baikmu yang orang tau, itu personamu.
Sifat aslimu yang mungkin hanya ditunjukkan ke segelintir orang di dekatmu, setelah aku membuat cerita tentang ini, kini mereka tahu.
***
0 notes
nfsuofficial · 4 years ago
Text
This song forever remains me of Bora Nuna & Sunwoo from Reply 1988🥺💜 but Chanyeol covering this on The Box movie just hits different😭👌🏻💜💜💜✨
7 notes · View notes
nfsuofficial · 4 years ago
Text
"too much darkness for a rainbow"
1 note · View note
nfsuofficial · 5 years ago
Text
Situasi Aneh di 2020
***
Ku pikir saat ini aku sedang berada di situasi aneh. Situasi yang menekanku dari sisi manapun, terasa seperti menyesakkan, tapi aku masih mencerna.
Tidak sedikit orang merasa tahun 2020 ini adalah tahun dengan banyak musibah; bencana, penyebaran virus berbahaya, beberapa legend baik nasional dan internasional meninggal dunia. Tidak sedikit juga orang kehilangan mimpi dan rencana mereka di tahun ini.
Aku dan keluargaku pun turut "merayakan" situasi aneh di 2020 ini. Pertama, bulan Februari, aku mendapat panggilan interview di tempat kerja baru. Situasi yang sudah kutunggu-tunggu setahun terakhir. Singkat cerita, aku berhasil memenangkan situasi ini. Akhir Februari, aku mengajukan resign dari perusahaan lamaku dan mulai bekerja di perusahaan baru di akhir Maret sebagai karyawan probation. Aku pun memulai petualangan baruku. Aku tidak menyebut satu ini situasi aneh, ini situasi menggembirakan untukku. Aku belum beranggapan 2020 adalah tahun yang aneh.
Pertengahan Juni, atasanku mengumumkan bahwa masa probationku akan diperpanjang 1 bulan karena aku dianggap belum memenuhi ekspektasinya. Jika dalam 1 bulan ke depan aku masih belum memenuhi ekspektasinya, aku harus terima konsekuensi bahwa aku tidak akan lanjut di perusahaan tempatku bekerja saat ini.
Kedua, pada akhir Juni, aku memberanikan diri mengambil tes official IELTS yang tentunya dinaungi oleh lembaga edukasi resmi. Setelah 2 bulan aku menginvestasikan tabungan, waktu, dan tenagaku untuk mengikuti bimbingan IELTS, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil tes officialnya di akhir bulan Juni. Aku masih ingat bagaimana selama aku mengikuti bimbel secara daring itu. Setiap hari Senin, Kamis, dan Jumat, aku akan segera bergegas pulang dari kantor lama ke rumah agar bisa menyiapkan modul yang akan aku pelajari, atau agar ada jeda waktu untukku mengerjakan tugas yang tidak sempat kukerjakan di sela-sela jam kerja. Kutolak semua ajakan teman sekantorku yang ingin ke mall untuk membeli sesuatu atau hanya sekedar nongkrong (tentunya hanya di hari Senin, Kamis, Jumat), tak peduli mereka bilang aku sombong, sok, atau memang serius takjub melihat semangat belajarku. Kupikir ini adalah misiku untuk mencapai salah satu visiku: mendapat beasiswa master di Australia. Setelah mendapat restu dari mamaku dan dukungan dari teman-temanku yang satu visi denganku, aku dengan mantap mengeluarkan separuh tabunganku untuk mengikuti bimbel dan mengambil tes officialnya. Bagiku ini adalah langkah yang besar, karena saat itu tabunganku belum seberapa. Bekerja hampir 2 tahun di kantor lamaku dengan gaji kurang lebih UMP Jakarta, tidak terlalu banyak yang bisa kutabung, mengingat lokasi kantor lamaku yang jauh dari rumah, tidak sedikit gajiku yang teralokasi ke transport tiap bulannya.
Namun ternyata, upayaku belum cukup. Awal Juli, pengumuman hasil tes official IELTS keluar. Hasil scoreku pada masing-masing band (section) tidak mencapai standar untuk penerimaan beasiswa Australia Award, dan hasil scoreku overall juga tidak mencapai targetku. Aku kecewa karena sebelumnya saat melaksanakan post test setelah mengikuti bimbel, score overallku sudah mencapai target dan tutorku bilang kemungkinan hasil tes officialnya tidak akan jauh dari ini. Aku sudah optimis akan memenangkan situasi ini, namun ternyata tidak. Mungkin upayaku masih kurang, atau doaku kurang, atau sedekahku kurang sehingga ini belum menjadi rezekiku. Salah satu mimpiku hilang. Padam. Aku merelakannya, mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk kuliah master di Australia, tapi pasti aku akan ke sana. Dan aku masih bisa kuliah master di dalam negeri. Ada 1 kampus manajemen yang sangat direkomendasikan oleh 2 mentor terbaikku di kantor lamaku. Bukan hanya karena mereka memang alumninya, tapi kampus itu memang bagus, memiliki lembaga training, platform rekrutmen, dan penerbit buku. Aku sendiri pernah memakai buku terbitannya untuk referensi skripsiku dulu.
Ketiga, kembali ke akhir Juni, sepulang setelah aku mengikuti tes official IELTS, papaku mendapati amplop coklat yang berisi surat pernyataan bahwa sehubungan dengan status keanggotaan papaku yang sudah purnawirawan POLRI, beliau harus mengalihkan aset rumah dinas beserta mobil ke anggota penerusnya. Terlontar pertanyaan dari mamaku “tinggal di mana kita, pa?”, suaranya terdengar miris. Mengingat selama hampir 21 tahun keluargaku tinggal di rumah ini, aku dan abangku tumbuh besar di lingkungan ini, adikku bahkan lahir di sini. Papaku sendiri yang menemukan rumah dinas ini setelah beberapa tahun ditempatkan di Jakarta dan tinggal berpindah-pindah waktu aku dan abangku masih kecil. Papaku yang mengurus rumah dan mobil yang selama ini kami pakai, tanpa meminta biaya penggantian dari instansinya. Mendengar cerita itu dan ditambah segala kenangan yang kami miliki di rumah ini, hatiku panas, seperti ada lubang, kosong. Rasa panas di hatiku semakin menggebu ketika mengingat status pensiun papaku belum terselesaikan karena ada kesalahan data pada identitasnya. Entah mengapa dan sejak kapan data identitas papaku salah, yang menyebabkan hak pensiunnya sudah diklaim terlebih dahulu oleh anggota lain yang nama dan nomor induk kepolisiannya sama. Papaku sudah menginjak usia pensiun dari 3 tahun lalu, dan dari 3 tahun lalu ia belum bisa mengklaim hak pensiunnya. Dan sekarang, kami diminta untuk keluar dari rumah dan menyerahkan mobil karena status papaku dianggap sudah purnawirawan.
Keempat, hal lain terjadi di saat bersamaan, adikku akan masuk SMA. Sebelumnya ia sudah ditolak di enam sekolah negeri di Jakarta Selatan pada jalur zonasi karena umurnya yang kalah tua. Entah kenapa regulasinya seperti itu, aneh. Dengan adanya surat pemberitahuan itu, orangtuaku langsung memutar otak. Jika kita tidak akan tinggal di Jakarta lagi, lebih baik adikku didaftarkan sekolah di kota lain. Pilihannya adalah Karawang, kota asal mamaku, dan Ngawi, kota asal papaku. Dari segi kenyamanan rumah, rumah Ngawi memang lebih besar dan nyaman, karena belum banyak terisi perabotan. Dari segi lokasi, rumah Karawang lebih baik karena berada di tengah kota, dekat dengan lingkungan sekolah dan keramaian kota layaknya rumah Jakarta. Akhirnya adikku didaftarkan di SMA negeri di Karawang, dan kami memutuskan untuk pindah rumah ke Karawang, rumah sederhana bangunan tahun 1994, yang sudah dihuni duluan oleh nenek-kakekku dengan berbagai perabotan tua di dalamnya, perlahan kami dekorasi ulang agar lebih nyaman ditempati.
Urusan daftar sekolah adikku belum selesai sampai di situ, ternyata pendaftaran di luar wilayah Jawa Barat sudah ditutup dan saat itu sedang berlangsung pendaftaran jalur zonasi. Tentunya adikku tidak bisa menggunakan jalur zonasi karena KK kami masih terdaftar di Jakarta. Saat itu keluargaku masih menempati rumah Jakarta, tanteku menelepon mamaku menyampaikan kabar itu. Belum selesai urusan pensiun papaku, urusan status pekerjaanku yang masih probation, lalu ditambah urusan daftar sekolah adikku yang terhambat, rasanya keluargaku sedang diuji bersamaan. Mamaku yang menampung dan memendam semua pikirannya akhirnya meledak. Siang itu, aku sedang di jam break WFH, aku mendengar mamaku menangis dan makin lama makin histeris. Saat aku keluar, betapa kagetnya aku melihat mamaku di posisi terduduk sambil menendang-nendang meja tanpa sadar dengan kakinya yang habis dioperasi beberapa bulan lalu. Sambil tetap histeris, matanya terpejam, mukanya merah, mamaku menjambak rambutnya. Spontan aku teriak “salah papa, ma!” saat itu aku merasa mamaku seperti menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi pada kami, padahal jelas itu bukan salahnya. Saat itu juga rasanya aku mau menyadarkan papaku jika seandainya urusan pensiunnya langsung diurus dari 3 tahun lalu, apakah saat ini kita akan tetap bertemu masalah ini? Itulah mengapa aku teriak “salah papa” di depan mereka berdua. Di posisi kalut seperti itu, papaku masih terdiam duduk di sebelah mamaku. Aku memegang tangan mamaku kuat agar ia tidak menjambak rambutnya lagi, tapi kemudian ia malah menggigit-gigit lidahnya. Spontan aku memencet kedua pipinya agar ia berhenti. Adikku berlari memegang tangan mamaku sambil menangis, berteriak “mama jangan kayak gini”. Papaku seperti baru tersadar dari lamunan, ia menghampiri mamaku yang sudah terduduk di lantai, memeluk dan mengelus kepalanya sambil meminta maaf. Aku membaca semua surat pendek yang terlintas di kepalaku, kusuruh mamaku beristigfar. Kutahan tangisku sekuat mungkin. Kuucap istigfar sebanyak-banyaknya hingga teriakan mamaku padam. Seumur hidupku, baru pertama kalinya aku melihat kedua orangtuaku berada di posisi terlemah mereka.
Sekitar pertengahan Juli, urusan sekolah adikku akhirnya selesai. Ia berhasil mendaftar di SMA negeri di Karawang menggunakan surat keterangan domisili melalui jalur zonasi. Kami bersyukur ada tanteku yang bersedia membantu dengan segala upayanya dari sana. Kali ini kami memenangkan situasi ini. Adikku dinyatakan lolos dan diterima di SMA tersebut. Siang itu dia tersedu-sedu membaca pengumuman dari smartphonenya, dan kemudian memeluk mamaku. Papaku mengelus kepalanya. Aku tersenyum. Setidaknya satu selesai.
Kembali ke urusan probationku, masih di pertengahan Juli. Hari itu hari Selasa, aku diminta WFO oleh atasanku, padahal jadwal WFO timku adalah hari Kamis. Setelah kutanya teman-teman probationku, ternyata hanya aku dan 1 temanku yang diminta WFO. Kebetulan hari Selasa itu memang jadwal final review temanku. Dengan berbagai macam asumsi yang menimbulkan kecemasan, aku terus berfikir tidak akan terjadi apa-apa, semua akan baik-baik saja. Nyatanya, hari itu aku ikut direview bersama temanku itu. Tanpa persiapan matang, kuterjang semua pertanyaan dari atasanku dan para senior. Aku tidak peduli lagi. Seandainya aku memang sehebat itu dan aku lolos, langkah selanjutnya aku harus cari kost dekat kantor. Tapi jika aku tidak lolos, langkah selanjutnya aku harus cari pekerjaan baru di Karawang, tidak perlu pisah dengan keluarga dan tidak perlu keluar biaya kost, fikirku kubuat simpel. Dua hari kemudian, aku diminta WFO lagi. Aku mempunyai feeling yang kuat bahwa hari itu adalah pengumuman hasil reviewku, dan ternyata benar. Pagi itu aku bertanya ke mamaku, dan kusampaikan skenarioku bagaimana jika aku lolos probation, dan bagaimana jika tidak. Sambil berpamitan dan mencium tangan mamaku, ia bilang “semoga yang terbaik untuk kakak dan semuanya”. Hasilnya, aku tidak memenangkan situasi ini. Hasil review dan kinerjaku selama 4 bulan ini dinilai  masih di bawah ekspektasi. Jujur, aku memang sudah punya feeling yang kuat untuk ini. Aku merasa tidak cukup fit untuk berada di posisi ini, meskipun lingkupnya masih di HR, tapi rolenya tidak sama dengan HR. Jika di kantor lama hampir 2 tahun aku menjadi HR yang mengurusi karyawan dan segala kebutuhannya, selama 4 bulan ini aku menjadi Support yang menghandle dan harus menyelesaikan permasalahan yang ditemui para HR saat menggunakan produk HRIS perusahaanku. Dulu memang sempat terfikir olehku, bagaimana rasanya “diurusi” oleh HR? Selama 4 bulan bekerja di kantor baru, sebagian besar shift kerjaku adalah WFH karena ada pandemi. Aku belum banyak merasakan diurusi secara langsung oleh HR kantorku. Namun setelah menekuni posisi Support yang berada di bawah divisi After Sales, berinteraksi langsung dengan client, aku sadar peranku bukan di sini. Namun meskipun singkat, aku belajar banyak hal di kantor keduaku ini. Di kantor pertama, aku belajar banyak hardskill dan sedikit softskill, dan di kantor kedua, aku belajar sedikit hardskill dan banyak softskill sebagai pelengkap ilmu HR yang kumiliki. Bagaimanapun itu, aku yakin masa depan karirku tidak berhenti di sini. Mungkin saat ini aku disuruh istirahat sebentar, mengingat semenjak lulus sarjana aku langsung bekerja di kantor pertama tanpa jeda, hingga di kantor kedua. Sampai lupa rasanya bersenang-senang tanpa beban seperti waktu kuliah dulu. Mungkin saat ini aku hanya harus lebih bersabar lagi.
Kelima, di akhir Juli, tepat hari terakhir aku bekerja di kantor kedua, aku dan papaku pergi ke kantor Sudin Jakarta untuk mengurus dokumen perpindahan identitas kami. Prosesnya cepat, pelayanannya memuaskan, namun melihat petugas kantor Sudin membolongi KTP kami, hatiku terasa sedih. Bagaimana tidak, itu artinya KTP Jakarta kami sudah tidak berlaku. Seketika terlintas di pikiranku ketika akhirnya aku mendapat e-KTP pertama kalinya. Proses penerbitan e-KTP ku cukup lama, kurang lebih 5 tahun, selama itu aku hanya memegang resi berupa kertas berisi keterangan e-KTP ku sedang dalam proses penerbitan. Setelah 2 tahun resmi memiliki e-KTP, saat ini e-KTP ku sudah tidak berlaku lagi. Begitu juga dengan milik orangtuaku. Melihat proses pencabutan berkas identitas di kantor Sudin Jakarta yang begitu mudah dan cepat, aku berfikir tidak akan lama lagi aku akan punya identitas baru. Kenyataannya: tidak. Karena perpindahan kami dari lokasi asal ke tujuan berbeda provinsi, kami harus mendaftar ke kantor Sudin Karawang. Kebetulan tanteku memiliki rekanan di sana. Tanteku menjelaskan bahwa keluargaku pindah karena papaku sudah pensiun, maka dimintalah surat keterangan pensiun oleh petugas kantor Sudin Karawang, yang mana dokumen itu belum dimiliki papaku sampai saat ini. Lagi-lagi langkah yang diambil keluargaku terhenti. Sampai saat ini, keluargaku belum memiliki identitas resmi, karena papaku belum menerima surat pensiunnya, sehingga kami belum bisa melakukan langkah selanjutnya. Ini sudah hampir 2 bulan setelah pencabutan berkas identitas lama kami, Aku tidak bisa mendaftar program Prakerja untuk mendapat subsidi dan pelatihan dari pemerintah, karena NIK ku sudah tidak valid. Dan yang terburuknya, bahkan aku terlalu takut untuk mengakuinya meskipun hanya dalam hati: aku menyalahkan papaku.
Tahun 2020 ini benar-benar membuatku hampir gila. Pekerjaan, mimpiku kuliah di Australia, identitas resmi, aku kehilangan semua. Rumah lama, mobil lama, lingkungan lama, teman-temanku, entah kapan aku bisa bertemu mereka lagi. Pernah terlintas di benakku, jika kejiwaanku tergores sedikit saja, mungkin aku sudah dirawat di rumah sakit jiwa karena aku pasti sudah kehilangan kewarasanku. Aku benar-benar ingin meledak akhir-akhir ini. Berbagai pikiran di otakku sudah seperti benang kusut dan semakin membesar melebihi kepalaku. Aku merasa muak berada di rumah ini, dengan bermacam situasi yang menguji kesabaranku. Aku tidak bisa keluar, aku tidak bisa menghabiskan uangku dengan sembarangan, dan di luar sana virus covid-19 masih bertebaran. Aku merasa terperangkap di sini. Tuhan, aku rindu diriku yang dulu. Diriku yang paham cara bersenang-senang dan bisa menemukan kebahagiaan tersendiri. Aku tidak ingin kembali ke masa lalu jika pada akhirnya aku akan mengalami situasi di tahun 2020 ini. Aku hanya ingin bertemu diriku di masa lalu dan memintanya untuk menguatkanku. Lalu memperingatkannya kalau bisa, untuk mencegah segala situasi aneh di tahun 2020 ini agar tidak terjadi lagi.
***
2 notes · View notes
nfsuofficial · 5 years ago
Text
Once upon a time in a castle in the deep forest, there lived three people who had their real faces stolen by the Shadow Witch. The boy wore a mask with an awkward smile. Then there was the princess who was loud but all empty inside, and there was also a man who was trapped inside a box. They couldn’t make any facial expressions because their faces were stolen from them. They had no way of understanding each other’s feelings, so they always misunderstood one another and fought.
The Box Man spoke. “If we want to stop fighting and find happiness, we must retrieve our stolen faces.” So they hopped in their camping car and began their journey to find their faces. 
One day, they ran into a mother fox who was bawling, curled up on the snow.
The masked boy asked the mother fox, “Ma’am, why do you keep crying?”  
“Oh, I came out here to find some food but dropped my baby whom I was carrying on my back somewhere in the snow.” The mother fox’s tears had run dry. She wailed while beating her chest. When the masked boy saw that, warm tears started gushing from his eyes. The snow began to melt quickly, and the baby fox, who was frozen under the snow, soon appeared.
The three of them resumed their journey. Soon, they ran into a clown who was dancing naked in a field of thorny flowers. The emotionless princess asked, “Why are you dancing with all your might, knowing you’ll be pricked by the thorns?” “I feel that this is the only way to make people look at me. But it hurts, and no one’s looking at me,” he answered. The emotionless princess walked into the field of thorny flowers and started dancing with the clown. “I’m an empty can, so I won’t be hurt even if I get pricked by the thorns.” When she began hopping and dancing, loud clanking noises echoed from her empty torso. Upon hearing those sounds, people began to flock to where they were. The crowd watched their dance and applauded them.
They began a new journey to find their stolen faces, and the evil Shadow Witch appeared in front of them once again. She kidnapped the Masked Boy, who shed tears on behalf of the mother fox, as well as the Emotionless Princess who danced with the clown. 
“The two of you will never be able to find your happy faces.” After putting such a curse on them, she locked them in a deep, dark mole tunnel. The Box Man found the mole tunnel a few days later, but the entrance was so narrow that he couldn’t go in. “What do I do? I need to take this box off my head in order to go into the tunnel.” That moment, the Masked Boy’s voice reached him from inside the tunnel. “Mister, don’t worry about us. Just run far away. The Shadow Witch will return soon.”
However, the Box Man mustered up the courage to take the box off his head. He then went inside the tunnel and saved the Masked Boy and the Emotionless Princess. Upon getting out of the dark tunnel, the two of them saw the man’s face covered with dirt and grime instead of the box and burst out laughing. They laughed and giggled. While laughing uncontrollably, the Masked Boy’s mask suddenly fell off. The can surrounding the Emotionless Princess’ torso also fell off and made a clanking noise. The Box Man, now out of his box, said this when he saw the two of them finding their true faces while laughing.
“Happy. He’s happy. I’m happy.”
What the Shadow Witch had stolen from them was not their true faces but their courage to find happiness. 
Tumblr media
-Psycho But It’s Okay | “Finding The Real Face”, Episode 16
1K notes · View notes
nfsuofficial · 5 years ago
Photo
Tumblr media
Probably the coolest picture I took in 2020 so far by my phone. P.s. maaf wajah ditempel sticker karena tidak pakai hijab🙏 #grabwheels by @grabid 🛴 (at Di Rumah Aja) https://www.instagram.com/p/B_ZiBobDvBToCZaOYsVq66bS_xsMxqK-R6lxzg0/?igshid=6sd1dc1d3okr
1 note · View note
nfsuofficial · 6 years ago
Text
“Never apologize for being the smartest one in the room.”
— Quentin Beck, a motherfucking traitor
50 notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
“Get out there and find it. Do whatever it takes for your heart to be at peace.”
1K notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Just went life gets messed up
Just when you can't turn back
Sometimes life gets like that
All you got to do is die a little to survive
All you got to do is cry a little to be fine
Cause we are the lonely ones
1 note · View note
nfsuofficial · 6 years ago
Photo
Tumblr media
6//8//19 1st night of #westlifejakarta Kalo kata mama "Nadya dari belom sekolah bangun tidur masih ada beleknya, udah minta disetelin Westlife" (Fangirling skill: excellent since 2000, endorsed by the expert✔️) Terbukti mereka udah om-om guys (dilihat dari jokes receh ala bapak-bapak yg mereka miliki😂) paling pecah Nicky sih, sempat terpikir apa selama hiatus dia diem-diem ikutan standup lol (sayang gak kerekam pas mereka lagi ngelawak🙃). Tapi aku tetep terkesima. Dan Shane, parah sik ganteng banget ternyata om satu itu huft (tapi fav aku masih om Brian, maaf). Dan menurut gua konser Westlife ini konser paling tertib yg pernah gua datangin (mungkin karena penontonnya banyak yg udah dewasa yha), terus pasukan pengamannya juga banyak. Agak ngaret sih pas masuk hall concert dan pas Westlifenya muncul. Terus ngebosenin gitu selama nunggu mereka muncul cuman disetelin iklan-iklan sponsor dan karena gak ada opening, abis nyanyi Indonesia Raya kita nunggu lagi. Ampe gua ketiduran🙃. Tapi secara keseluruhan aku enjoy banget (bisa didengar dari teriakan gua yg tak terbelenggu hampir di setiap lagu🤗). Terima kasih ya om-om Westlife semua, sudah mengajarkanku fangirling sejak dini lol. Sampe ketemu lagi👋 (at ICE Indonesia - Indonesia Convention Exhibition ICE BSD City) https://www.instagram.com/p/B093zqkg8sn8mvs-TkhEhx8KpAkGC9Y-6cWkWw0/?igshid=14aspq8g8xlz9
0 notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Cry in korean
Sometimes kdramas are frustrating because you need to persuade yourself that handsome, cute and charming guys with pure intentions only exist in drama world.
44 notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Tumblr media
6K notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Tumblr media
5K notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Tumblr media
7K notes · View notes
nfsuofficial · 6 years ago
Text
Self care isn’t just drinking water and going to sleep early. Self care is taking a break when things become overwhelming, saying no to things you don’t want to do, allowing yourself to cry, asking for help from those around you, doing things that makes you happy.
Lunas-worlds-blog
3K notes · View notes