pratomoyudha
pratomoyudha
undefined
10 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
pratomoyudha · 4 years ago
Text
Terapi Kompleks Bulan September
Tumblr media
Sumber foto: Shutterstock
Tulisan ini saya buat karena saya harus mengevaluasi diri. Porsi menulis saya saat ini sudah lebih sedikit dibandingkan dulu. Membiasakan diri untuk kembali menulis adalah keharusan, untuk menjaga dan mengasah hal yang sulit saya dapatkan...  
-----
Jakarta - Siang itu, September 2014 saat jam istirahat kerja, saya diajak makan bareng oleh seorang rekan kerja. Hari itu kebetulan berita cukup landai, tidak ada momen darurat yang harus dibuat berita dengan segera. 
Lagipula, saya sudah menyimpan beberapa draft tulisan di cms kantor. Jadi, tinggal publish saja dan gak akan makan waktu lama.
Saya kerja di sebuah media online nasional, sebagai kuli tinta, wartawan, reporter atau jurnalis lah sebutannya. 
Sejak SMA saya memang cukup aktif dalam tulis menulis. Beberapa kali tulisan saya dimuat di sebuah koran regional, mengisi segmen anak muda. Saat kuliah pun saya aktif di UKM jurnalistik.
Meski demikian, menulis buat saya adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Saya suka menulis dan punya minat dalam menulis, tapi, saya tidak bisa menulis dengan baik dan benar. 
Satu “penyakit” yang paling akut kala saya menulis adalah “tulisan yang jumping”.
Iya, jumping alias lompat. Maksud lompat di sini bukan berarti saya nulis sambil lompat lompat kaya kodok. 
Maksudnya adalah pembahasan dalam tulisan yang tidak dijembatani dengan baik sehingga terasa melompat dari satu paragraf ke paragraf lainnya.
Misalnya di sebuah paragraf saya membicarakan tentang anak kecil yang dibuang oleh ibunya. Tapi kemudian di paragraf berikutnya tiba-tiba saya bicara soal kucing yang mati dilindas oleh mobil tanpa ada kalimat yang menghubungkan kedua paragraf itu. 
Terlalu jauh bukan korelasinya? Bahkan hampir tidak ada korelasinya sama sekali. Inilah yang disebut jumping dalam sebuah tulisan.
Masalah inilah yang sering saya alami berkali-kali meski sudah sering menulis. Mungkin ini karena pikiran saya yang terlalu random dan tidak sistematis dalam melihat sesuatu.
Kembali ke cerita bersama rekan kerja tadi...
Jakarta memang tengah panas-panasnya waktu itu. Bukan cuma soal cuaca, tapi, juga konstelasi persaingan politik yang masih menyala bara apinya, meski presiden baru telah terpilih dan tinggal menunggu waktu pelantikan.
Di bawah terik matahari kami berjalan berdua menyusuri trotoar di kawasan Warung Buncit. Sekitar 50 meter dari kantor ada tempat makan yang cukup enak dan harganya pas di kantong. Makanan rumahan memang, tapi rasanya oke punya, setidaknya buat kami berdua. 
Setelah sepakat, kami berjalan ke tempat itu sambil menghisap mild menthol. Ya, kebetulan rokok kami sejenis.
Sampai di lokasi kami segera memilih tempat duduk. Tidak begitu ramai karena jam istirahat kantor sebenarnya sudah usai. Hanya saja buat kami, jam istirahat itu fleksibel. Tidak melulu harus jam 12 sampai jam 1 siang, yang penting stok artikel berita kami aman sampai sore nanti.
“Yud, besok kita bikin fokus apa nih,” kata rekan membuka obrolan setelah memesan makanan.
“Soal ***** aja gimana? Kayanya menarik sih,” jawab saya sambil ngunyah bakwan plus cabe di tangan kiri.
“Boleh juga, nanti disiapin aja materinya dari sekarang, yang detail ya. Jabarin juga sebab akibatnya, terus dampak buat pengguna di Indonesia apa. Biar ada kedekatan emosi sama pembaca,” lanjutnya.
“Siap...”
Bos saya yang satu ini memang dikenal sangat detail soal penulisan. Gayanya yang kalem, kasual, tapi killer saat mencecar narasumber dengan pertanyaan.
“Yud, tulisan lu makin ke sini makin oke, tapi masih sering jumping,” sambil nyengir dan tanpa aba-aba dia berkata demikian. 
Seketika, saya yang sedang mengunyah bakwan pun langsung berhenti.
“Iye mas, sorry, hehehe...,“ sambil nyengir kuda saya minta maaf.
“Ga apa-apa, salah kaya gini biasa kok. senior juga masih bisa jumping juga. Tapi, kaya gini harus tetep diminimalisasi, jangan dibiarin,”
“Iya mas, ada saran ora?” tanya saya. 
“Gini Yud, lu harus bisa mulai berpikir secara sistematis, jangan random. Lu harus bisa liat sebuah kejadian mulai dari sebab sampai akibat secara berurutan. Kebiasaan cara berpikir seperti ini bakal membuat gaya tulisan lu lebih berkembang dan meminimalisasi kemungkinan jumping tadi,”
Mimik wajahnya kemudian berubah serius, dan saya malah bengong sambil ngunyah bakwan.
“Oke mas, diusahakan. Makanya jangan kalau gue jumping gitu tolong langsung tegor aja yak,”
“Iya pasti. Tapi lu juga harus nyoba. Caranya....”
Belum sempat melanjutkan kalimat, makanan datang. Kami pun langsung menyantap makanan tanpa ba-bi-bu. 
Makanan bersantan memang paling nikmat disantap siang hari, ditambah minum es teh manis. Selanjutnya, biar udud yang jadi penutup. 
“Lu harus punya blog, Yud,” rekan saya kembali membuka pembicaraan soal tulisan. 
“Emang kenapa?” tanya saya polos. 
“Buat latihan deskripsi dan urutan,” jawab dia singkat. 
Saya ingat mimik wajahnya yang kembali serius. Ketika itu ia mengatakan, blog adalah sarana latihan yang terbaik, untuk mengasah kemampuan menulis. 
"Isi blognya yang sederhana aja. Ceritain kegiatan lu sehari-hari. Dari situ, lu bisa nulis lebih sistematis juga bisa ngelatih gimana lu mendeskripsikan sesuatu,” kata dia. 
“Betul juga,” pikir saya dalam hati. Saya cuma bisa ngangguk ngangguk denger perkataan dia. 
Dari situ saya mulai menulis blog di platform blogger. Namun entah kenapa blog yang sudah saya isi dengan beragam tulisan itu hilang tanpa jejak. Wkwkwk...
-----------
Tadi malam, saya kembali ingat peristiwa di atas. Dari situ saya mencoba untuk kembali bercerita di blog ini, walaupun tidak akan setiap hari mengisi konten. 
Setidaknya, agar saya bisa menjaga hasil latihan saya selama beberapa tahun, agar penyakit “jumping” itu tidak kembali. 
Buat saya, ini jadi sebuah terapi kompleks di bulan September. 
0 notes
pratomoyudha · 5 years ago
Text
Segelas Wedang untuk Istri
Tumblr media
Parungpanjang Kamis, 24/12/2020
Pagi ini tidak seperti biasanya. Istriku, semalam suntuk sulit tidur. Sejak Rabu (23/12/2020) pagi ia memang sempat mengeluh tidak enak badan. "Masuk angin kayanya," begitu katanya.
Pagi itu aku sedang tidak ada di rumah. Harus mengurus masalah pengembalian DP rumah dari pengembang, yang belum jelas juntrungannya kapan akan dikembalikan. Karena tidak mengambil cuti dan sambil kerja remote, alhasil harus berangkat lebih awal.
Lewat videocall istriku bilang mulai badan mulai gak karuan. Mendengar itu, aku pun sebenarnya ingin segera pulang. Tapi mau tidak mau harus membereskan urusan terlebih dahulu.
Sayangnya, urusan tersebut baru selesai sekitar jam 2 siang. Aku pun tidak bisa langsung pulang ke rumah, karena ada penugasan liputan konferensi persi via Zoom. Yah, Zoom memang jadi primadona selama pandemi ini. Kami semua mengalihkan aktivitas lewat Zoom, termasuk meliput konferensi pers.
Istriku kembali menelepon, memintaku segera pulang. Setelah ashar, bergegas aku nyalakan Vario hitam itu dan tancap gas. Perjalanan menuju rumahku di Parungpanjang sekitar 1 jam.
Sampai di rumah, istriku terlihat cukup lelah. Tapi ia masih memaksakan diri mengajak anak kami bermain di luar. Anak-anak usia balita di lingkungan perumahanku memang seringkali main tiap sore hingga jelang magrib.
Pada malam harinya, ia demam.
Panasnya lebih dari 38 derajat. Tentu ada kekhawatiran soal covid, apalagi pandemi ini masih belum selesai. Tapi selama ini kami tidak keluar rumah. Kalaupun keluar, masker dan hand sanitizer selalu jadi andalan. Jadi, prasangka itu kami sampingkan.
Sepanjang malam beberapa kali istriku bangun, minum air putih sebanyak banyaknya. Orang demam memang dianjurkan minum air putih yang banyak bukan?
Sampai kemudian di pagi hari, panasnya turun tapi kepalanya masih nyeri.
Saya tidak mengambil cuti. Jadi, mau tidak mau, harus kerja sambil diselingi dengan sedikit pekerjaan rumah yang tidak bisa dihandle istri karena sakitnya.
Walau begitu, istriku tetap mendominasi. Aku hanya kebagian mencuci piring, dan sedikit pekerjaan lain.
"Ini kehebatan wanita," pikirku.
Wanita memang sebenarnya lebih perkasa dari pria. Istriku buktinya.
Dalam kondisinya yang tidak sehat, ia masih bisa mengurusi rumah tangga. Memasak untuk sarapan, sampai memandikan anak. Ini antara istriku yang kelewat hebat atau aku yang ndak tau diri ya.
Tapi istriku memang hebat. Sedangkan aku, hanya bisa membuatkan istri segelas wedang, dengan harapan bisa meredam sedikit sakit di kepalanya.
0 notes
pratomoyudha · 5 years ago
Text
Google yang Gamang
Tumblr media
Menyebut nama Google, yang terlintas dengan cepat dalam pikiran kita adalah sebuah mesin pencari. Identitas -atau lebih tepatnya DNA- tersebut memang tidak bisa dilepaskan dari perusahaan. Ia berpijak pada prinsip bahwa kebutuhan informasi akan melampaui semua batasan. Mendapat kesukesan dari bisnis mesin pencari, Google terus mengembangkan produknya sampai sekarang. Fokus bisnisnya terhadap pengguna, membuat kita, manusia teknologi, menggantungkan hidup padanya. 
Istilah "tanya sama mbah Google" adalah bukti bahwa ilmu pengetahuan semakin mudah dicari. Meski risiko distorsi informasi semakin menjadi-jadi, "mbah Google" tetap menjadi tempat bertanya segala hal duniawi.
Pengembangan produk milik Google berjalan semakin cepat. Keputusan mengakuisisi Android pada 2005 adalah hal tepat yang bisa membuatnya semakin menjadi raksasa. Dari Android inilah kemudian muncul layanan-layanan Google yang membuat pengguna menggantungkan hidup. Bahkan tak hanya itu, dari Android pula Pixel dilahirkan. Pixel adalah ponsel pintar buatan Google sepenuhnya. Sebelum membuat Pixel, Google juga sudah menjajaki bisnis ponsel pintar melalui Nexus. Berbeda dengan Pixel, dalam menggarap Nexus, Google hanya mengelola desain, pengembangan, pemasaran, dan dukungan perangkat. Sementara untuk urusan produksi, semua dilakukan oleh mitra OEM. Pixel generasi pertama dirilis pada 2016 lalu, dan sejak saat itu pula Pixel dibuat dengan spesifikasi high-end demi menarik perhatain kalangan kelas atas. Chipset yang digunakan selalu Snapdragon seri 8, seri paling kencang di antara yang lain. Sampai pada 2019 lalu, Google harus menelan pil pahit. Penjualan Pixel 3 dan Pixel 3 XL yang dirilis pada 2018 lalu, tidak mencapai kata "memuaskan". Laporan media teknologi Arstechnica mengatakan bahwa penjualan duo Pixel 3 bahkan lebih rendah dari Pixel 2. Harga saat diluncurkan memang bisa dibilang cukup mahal. Pixel 3 dibanderol dengan harga 799 dollar AS atau Rp 12,1 juta (kurs 2018) dan Pixel 3 XL dibanderol 899 dollar AS atau Rp 13,6 juta. Harga ini lebih mahal ketimbang Pixel 2 ketika pertama kali dirilis. Gagalnya Pixel 3 memenuhi ekspektasi penjualan, membuat Google berbenah diri. Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk "turun derajat". Pixel 3A dan Pixel 3A XL meluncur pada pertengahan 2019 dalam ajang Google I/O. Kedua Pixel tersebut dibanderol dengan harga yang "lebih murah", namun, dengan software kamera yang masih sama dengan Pixel reguler. Memang, sektor kamera menjadi andalan dari ponsel ini. Pixel 3A dijual dengan harga setengah dari Pixel 3 reguler. Hasilnya, Google mengklaim bahwa penjualan Pixel versi "murah" memuaskan. Pada saat pertama kali diluncurkan, Google bahkan memberikan potongan harga dan bonus melimpah untuk mendongkrak penjualan. Perubahan strategi ini berlanjut sampai Pixel 4A yang dirilis Agustus lalu. Namun, alih-alih strategi bisnis, Google terlihat gamang dalam menghadapi bisnis ponsel pintar. Beberapa hari lalu, Pixel 5 diperkenalkan kepada publik. Ekpektasi adanya perubahan besar pada ponsel ini terkubur. Pixel 5 yang tanpa embel-embel huruf "A" di belakangnya, justru membawa spesifikasi kelas menengah. Padahal tradisi Google, Pixel tanpa huruf "A" selalu membawa spesifikasi kelas atas, flagship sebutannya. Pasar menengah memang menarik. Ada begitu besar permintaan di sana. Namun, beda dengan segmen atas yang hanya dikuasai segelintir pemain, pasar menengah justri lebih hiruk-pikuk, apalagi vendor asal China semakin menguasai di sana. Absennya chipset kelas atas pada Pixel 5 mengundang mengundang sejumlah pertanyaan. Apakah Google sudah sadar betapa sulitnya bersaing di industri smartphone? Atau jangan-jangan Google sudah menyerah dengan ponsel kelas atas dan ingin "menjajah" segmen lebih bawah? Pertanyaan tersebut tentu hanya Google yang bisa menjawab. Namun, di sana, terlihat ada kegamangan yang memuncak. Ambisi Google untuk bersaing di industri ponsel flagship mulai diragukan.
0 notes
pratomoyudha · 6 years ago
Text
Mas Nukman dalam Ingatanku Waktu Itu
Bekerja sebagai pewarta teknologi membuatku harus bersinggungan langsung dengan beragam hal berbau tekno, salah satunya tentu saja media sosial. Banyak fenomena terjadi di sana apalagi waktu itu 2014, di mana politik Indonesia mulai memanas.
Aku yang diberi tugas ini diminta untuk "meminjak" mulut seorang pakar. Tak banyak referensiku waktu itu, karena memang masih sangat awam. Setelah diskusi menentukan apa saja yang akan dibahas, atasanku mengoper nomor kontak seorang pengamat medsos lewat grup WhatsApp. Nukman Luthfie, di situ tertulis namanya.
Waktu itu atasanku meminta untuk membahas fenomena politik yang terjadi media sosial. Panas, itulah sebabnya. Karena kala itu kancah perpolitikan lambat laun merayap, menggerus kewarasan di ranah maya.
Di situlah untuk pertama kalinya aku berinteraksi dengan Mas Nukman. Meski tak bertatap muka, beliau punya kharisma yang bisa dirasakan. Gaya bicaranya paling ramah ketimbang narasumber lain yang aku hubungi.
Ketika berbincang, ia tak berusaha mendominasi. Ia interaktif. Ketika selesai menjawab satu pertanyaan, ia bertanya kembali padaku dan meminta pendapat. Di situlah uniknya. Aku tidak seperti sedang mewawancara, malah seperti tengah berdiskusi panjang lebar. Ia juga adalah orang yang bisa akrab meski hanya bertemu lewat suara.
Santun tapi tegas, dan tidak meninggikan diri. Itu hal yang membekas untukku pribadi. Ketika mengajukan beberapa pertanyaan, beliau menjawab dengan bercerita panjang lebar, membahas pertanyaan yang aku ajukan dengan komperhensif. Sampai-sampai tagihan telepon pascabayarku membludak bulan itu, karena berbincang dengannya sekitar satu jam lewat operator yang berbeda. Hahaha.
Buatku, mas Nukman adalah sosok yang bijak melihat media sosial, lewat dua sisi. Ia adalah pribadi yang baik, dan aku yakin, Allah akan menjaganya di alam sana.
Tumblr media
Selamat jalan Mas Nukman. Terima kasih atas perbincangan yang singkat waktu itu.
0 notes
pratomoyudha · 7 years ago
Text
Kembali ke Habitat
Akhirnya setelah sekian lama, gw ada waktu untuk ngisi blog ini lagi. Aktivitas gw sejak beberapa minggu ini memang terasa lebih padat dari sebelumnya. Bukan cuma karena persiapan nikah, tapi juga karena gw punya kerjaan baru sekarang.
Dibilang baru juga sih engga, karena memang gw pernah bergelut dengan pekerjaan ini sebelumnya. Memang gak begitu lama sih, tapi yaa setidaknya gw udah begitu paham kondisinya.
Kerjaan baru ini boleh dibilang rejeki baru juga buat gw sendiri. Buat gw pribadi ini adalah kesempatan buat “tobat”. Maksudnya adalah, gw ngerasa selama ini setidaknya 2,5 tahun terakhir gw merasa “berdosa” meninggalkan pekerjaan yang tengah gw geluti ini. Ketika gw ditawari kesempatan buat kembali, kenapa enggak?
Oya, fyi kerjaan gw ini adalah juru ketik di sebuah media online. Besar sih medianya dan keren pula. Tapi tanggung jawabnya besar juga. Ga ada toleransi buat kesalahan, karena kalo salah yang ada gw bikin malu media tempat gw bekerja ini. Tapi ya sejauh ini sih gw nikmati aja. Ikuti aja alurnya.
--
Baiklah, gw pengen sedikit cerita aja tentang hari ini. Hari yang sama aja kaya biasanya. Memang sih besok tu udah libur panjang, jumat tanggal merah. Tapi apalah arti merah buat pekerja media. Kalender tu item semua. Hahaha.
Jadi hari ini ada kabar mengejutkan dari kantor. Di weekday terakhir bulan Maret ini ada cukup banyak temen kantor gw yang resign. Di redaksi setidaknya ada tiga orang kawan, dan di luar redaksi ada dua yang gw kenal. Jadi total hari ini ada 5 perpisahan. Yaa ga apa-apa sih, yang penting traktirannya ga dirapel lima-limanya. Satu-satu lah biar afdol resignnya. :p
Tapi sebenernya yang bikin gw kaget adalah salah satu petinggi juga ikut resign. Yaa ga tinggi banget juga sih jabatannya. Setara manager lah..
Tapi ya udah lah ya. rejeki orang beda-beda. Kali aja dia abis resign langsung jadi bos besar. Aamiin...
0 notes
pratomoyudha · 7 years ago
Text
"Flash Sale" yang Semakin Memuakkan
Tumblr media
sumber gambar: aitinesia
Nganggur, 28 Feb 2018
Beberapa waktu lalu sekitar akhir 2017 Xiaomi meluncurkan dua varian ponsel terbarunya yakni Redmi 5 dan Redmi 5 Plus dan pada bulan lalu dua ponsel yang menyasar pasar menengah ini secara resmi masuk ke Indonesia.
Xiaomi sebagai produsen ponsel dengan harga terjangkau memiliki basis penggemar yang sangat besar di negara berkembang salah satunya Indonesia. Mi Fans---begitu kata mereka, rela mengantre panjang untuk mendapat setiap tipe terbaru ponsel asal Tiongkok ini.
Xiaomi memiliki banyak penggemar tak lain karena harga ponsel yang dipasarkan selalu berada di bawah para pesaingnya, tentu saja dengan spesifikasi yang tinggi sehingga dengan mudah menarik minat para pecinta gadget.
Untuk dua tipe terbaru ini juga (Redmi 5 dan Redmi 5 Plus) dibanderol dengan harga yang cukup murah. Namun untuk penetapan harga ini Xiaomi juga memiliki strateginya tersendiri yang kemudian bersinggungan dengan strategi distribusi. Xiaomi dengan cerdik membuat dua harga berbeda dalam dua distribusi penjualan yakni offline dan online.
Khusus untuk online, biasanya perusahaan menawarkan harga yang lebih murah sekitar dua atau tiga ratus ribu ketimbang offline. Prediksi saya, jalur online memang banyak memotong anggaran pengeluaran untuk distribusi sehingga pengguna bisa mendapat harga yang lebih murah.
Namun sayangnya harga murah ini hanya bisa didapatkan melalui flash sale alias penjualan cepat dengan jumlah stok barang yang terbatas. Biasanya Xiaomi menggandeng beberapa e-commerce sekaligus. Terakhir yang digandeng untuk flash sale Redmi 5 dan Redmi 5 Plus adalah Shopee dan JD.id.
Pada dasarnya kampanye flash sale ini cukup menarik karena menawarkan produk baru secara eksklusif dengan keterbatasan jumlah dan waktu. Dan juga teknik flash sale ini cukup menjadi andalan bagi para produsen karena dapat membuat image bahwa barang yang mereka pasarkan memang sangat dicari di pasar sehingga tak jarang para e-commerce yang digandeng seringkali membuat pengumuman besar seperti "SOLD OUT DALAM 3 MENIT" setelah kampanye berakhir. Tentu saja ini untuk membentuk citra bahwa publik sangat tertarik dan antusias dengan barang yang dijual sehingga seluruh stok bisa dijual hanya dengan hitungan menit.
Tapi pertanyaannya adalah, seberapa banyak barang yang distok untuk kepentingan flash sale ini? Apakah hanya dalam jumlah puluhan unit atau ratusan?
Tentu saja sulit untuk kita memprediksi seberapa banyak barang yang disediakan untuk kampanye penjualan cepat ini, entah itu banyak atau memang sedikit. Karena bisa saja kalimat itu hanya akal-akalan produsen dan distributor untuk memainkan emosi publik agar semakin penasaran dengan barang yang dijual.
Saya pun pernah mencoba ikut berburu flash sale ini. Waktu itu saya mencoba untuk mendapatkan Redmi 5A yang dijual dengan harga di bawah Rp 1 juta, padahal harga normalnya sekitar Rp 1,3 juta di pasar.
Flash sale dimulai sekitar pukul 11 siang atau 12 siang waktu itu, saya agak lupa. Tapi yang jelas pembeli hanya diberi waktu selama sekitar satu jam untuk mendapat ponsel Redmi 5A ini. Persiapan sudah saya lakukan mulai dari registrasi akun di e-commerce tempat penjualan, melengkapi data diri, alamat, hingga kartu kredit pun sudah saya siapkan di hadapan.
Saya berburu flash sale ini dari kantor. Internet kantor yang cukup cepat mungkin bisa saya andalkan supaya tidak kehabisan barang dan bisa "mencuri" kesempatan lebih besar dari calon pembeli lain. Semuanya sudah siap. Sudah registrasi, hingga metode pembayaran pun sudah saya siapkan supaya bisa lebih cepat.
Jam menunjukkan tepat pada waktu dimulainya penjualan cepat. Saya langsung buka alamat situs yang sudah saya simpan. Tak lama halaman terbuka, ternyata flash sale masih belum dimulai. "Mungkin butuh selang waktu satu atau dua menit," begitu pikir saya. Maklum, kita kan memang tidak tahu jam mana yang menjadi acuan dimulainya flash sale ini.
Selang satu menit kemudian saya kembali refresh halaman tersebut dan saya cukup terkejut. "STOK HABIS". Tulisan dengan ukuran cukup besar ini membuat pupus harapan untuk mendapat ponsel dengan harga yang lebih murah. Saya coba cek di e-commerce lainnya juga serupa. Stok telah habis, entah siapa yang membelinya.
Kecewa tentu saja, tapi itu saya jadikan pelajaran bahwa saat Anda mengikuti flash sale jangan pernah luput dan lepaskan pandangan Anda dari laptop. Coba terus refresh halaman tempat promo ini berlangsung.
Oke, itu cerita pertama.
Karena masih penasaran, saya kembali mencoba ikut flash sale. Tanggal 27 Februari pukul 11.45 siang secara tidak sengaja saya melihat di linimasa Facebook sebuah banner promosi penjualan cepat Xiaomi yang akan dimulai pada pukul 12.00.
"30 MENIT LAGI". Begitu bunyi tulisan yang telah diposting seperempat jam sebelumnya. Artinya penjualan akan dimulai pada pukul 12.00. Melihat tulisan itu sontak membuat saya membuka halaman e-commerce tempat penjualan dilakukan, dan ternyata memang belum dimulai.
Berbekal dari pengalaman lalu, saya tidak luput sedikit pun dari halaman muka e-commerce itu. Minus 2 menit saya sudah refresh berulang-ulang halaman tersebut, tujuannya agar tidak "kecele" seperti sebelumnya.
Pukul 12.00 penjualan belum dimulai. Saya terus refresh halaman itu dan pada akhirnya sebuah link dengan tulisan "Enjoy" muncul. Link itu langsung mengarahkan saya pada halaman pembelian. Tanpa ba-bi-bu langsung saya klik tombol "beli" yang ada di sisi kanan gambar ponsel. Saya klik, kemudian muncul ikon berputar menandakan proses tengah dijalankan.
Apa yang terjadi? Ikon terus beputar sekitar satu menit. Karena penasaran, saya coba refresh halaman itu. Hasilnya, saya kembali ke halaman pertama dan tombol "beli" yang awalnya menyala kini jadi buram. Serta pada informasi jumlah stok barang muncul tulisan "stok habis".
"Sial," pikir saya kemarin. Untuk kedua kalinya saya gagal dalam flash sale.
Kemudian dalam rasa super kesal yang tertahan itu saya ingat beberapa waktu sebelumnya saya menonton sebuah review ponsel Xiaomi ini dari seorang Youtuber. Pada awal video dia bilang "Ponsel ini akan dijual dengan cara flash sale. Hih, flash sale," ujarnya dengan mimik muka yang saya ingat betul betapa ia sangat muak dengan flash sale ini. Dan saya tengah merasakannya.
***
Teknik jualan seperti ini memang cukup menarik dan seringkali digunakan untuk "memainkan" emosi calon pembeli. Jumlah barang yang didistribusikan dengan terbatas membuat mereka semakin penasaran sehingga demand barang akan meroket.
Kondisi inilah yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh produsen. Xiaomi membuat seolah demand alias permintaan pasar untuk ponsel tersebut menjadi sangat tinggi. Kemudian kondisi ini "dijual" pada supplier komponen agar si produsen bisa mendapat harga lebih murah. "Oh, penjualannya sangat menjanjikan," mungkin pemikiran itu yang ingin dibentuk oleh Xiaomi dalam benak supplier komponen. Tentu saja, dengan mendapat harga komponen yang lebih murah, Xiaomi bisa menekan harga produksi untuk keuntungan.
Tapi lama kelamaan teknik ini bisa membuat para pembeli jadi semakin muak dan bosan dipermainkan. Apalagi kebanyakan mereka yang ikut flash sale tidak membeli hanya satu atau dua unit. Biasanya ada pemborong yang membeli sampai 10 unit sekaligus guna dijual kembali.
Flash sale secara sepintas memang sangat menarik apalagi dengan menawarkan harga yang berbeda sampai 300 ribu dari harga biasa. Tapi jika proses dan kejadiannya seperti ini terus, lama kelamaan orang juga muak dengan gimmick ini.
Sekian curhatan saya. Huft.
False Hope Hurts More
0 notes
pratomoyudha · 7 years ago
Text
Tentang Saya dan Kami bagi Seorang Kapten
Tumblr media
Bangun tidur, 15 Feb. 2017
Barcelona kala itu tengah dilanda kegalauan. Frank Rijkaard yang telah melatih selama lima musim memutuskan untuk berhenti. Di 2008, Barcelona diterpa kegamangan, soal siapa yang cocok menjabat sebagai suksesor Rijkaard.
Satu nama kemudian muncul. Kandidat terkuat ketika itu adalah Jose Mourinho, pelatih yang tahun sebelumnya baru saja meninggalkan London Biru--lebih tepatnya dipaksa meninggalkan London oleh sang saudagar Rusia karena prestasi yang tak kunjung membaik. Padahal 4 tahun sebelumnya Mourinho membawa FC Porto melampaui batas kemampuannya, menjuarai Liga Champions.
Jose Mourinho juga adalah seorang Barcelona. Ia pernah menjadi asisten pelatih (lebih tepatnya penerjemah) mendiang Bobby Robson dan Louis van Gaal di Catalan. Mourinho tak sekadar menjadi penerjemah saat era Van Gaal di Barcelona. Ia juga diberikan peran tambahan oleh mentornya itu mengelola tim A dan B di Barcelona. Xavi Hernandez adalah salah satu hasil binaan Mourinho yang sukses melejit dan bahkan menjadi salah satu legenda.
Seharusnya tidak sulit lagi Barcelona memutuskan pada siapa kursi kepelatihan: Mourinho calon terkuatnya. Jiwa Barcelona sudah cukup melekat dan kemampuannya sebagai seorang pelatih tak perlu diragukan lagi. Direktur Olahraga Barcelona pun sudah sangat terkesan dengan performanya.
Tapi ada satu hal yang mengganjal, yang membuat semua rencana buyar seketika. Bayangan kesuksesan Barcelona di tangan Mourinho hanya tinggal angan, aura kemenangan pun hilang entah kemana. Manajemen tim memilih untuk membatalkan perekrutan Mourinho dan mengangkat Guardiola sebagai pelatih.
Alasannya sederhana. Karena Mou (panggilan Mourinho) lebih banyak menekankan kata “saya” daripada “kami (Barcelona)”.
Penggalan cerita di atas saya ambil dari ulasan berjudul “Ego Seluas Lapangan Bola”. Diceritakan bagaimana keputusan bisa berubah total hanya karena perbedaan satu kata yang diucapkan.
Dari cerita di atas bisa kita simpulkan bahwa Barcelona sangat berhati-hati dalam memilih seorang pelatih. Karakter, aspek inilah yang paling menentukan. Memilih pelatih artinya memilih seorang pemimpin, juru racik, serta menara komando baik di luar maupun di dalam lapangan sehingga perlu pertimbangan matang untuk mendapat nama yang tepat.
Karakter seorang pemimpin yang tepat salah satunya adalah dengan tidak membawa kata “saya” di setiap kepentingan. Ia akan selalu membawa kata “kami” karena ia adalah representasi dari sebuah kumpulan heterogen yang memiliki satu tujuan yang sama.
Secara harfiah, “saya” dan “kami” memang sangat berbeda artinya. “Saya” mewakili tunggal sedangkan “kami” adalah jamak.
Artinya, mereka yang selalu membawa kata “saya” ketimbang “kami” dalam kepentingan kelompok memiliki egoisme yang sangat tinggi. Mementingkan pribadi daripada kelompok yang bahkan ia pimpin sendiri. Egonya sudah terlalu besar, seluas lapangan bola mungkin--sama seperti judul artikel yang sedikit isinya saya kutip.
Saya, saya dan saya adalah kata yang harusnya paling dihindari oleh seorang yang berada di pucuk organisasi. Bukan cuma dalam sepak bola, tapi juga dalam segala aspek kehidupan. Keputusan seorang pemimpin akan berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak, pada siapa saja yang ada dalam organisasinya. Sehingga sangat tidak layak jika ia selalu mengatakan saya, saya dan saya.
Mungkin sejenak ia hilaf dan kalap, bahwa bicara soal manusia adalah segalanya tentang makhluk sosial. Tak ada yang tunggal kecuali Tuhan YME, tak bisa dipelihara sebuah ego sentris yang mementingkan individu daripada kelompok. Ia memang harus berada terdepan, tapi bukan berarti ia selalu di depan tanpa menoleh ke belakang.
Ia harus ingat, ada orang-orang yang mengikutinya di belakang. Orang yang bahkan ia tidak sadar juga menjadi tameng untuknya, orang-orang yang ada di bawahnya yang berusaha sekuat tenaga dan jiwa untuk mencapai satu tujuan akhir. Maka seorang pemimpin takkan bisa mengatakan “saya”, ia adalah “kami”.
Sama seperti kisah Jose Mourinho dan Barcelona. Barca adalah kolektivitas, kebersamaan dan kehati-hatian dalam serangan spartan. Sehingga tidak akan pernah bisa diatur oleh seorang yang individualistis, berpikir untuk dirinya sendiri, mengutamakan kesuksesan pribadi. Tidak. Bukan hanya Barca, semua kelompok pun sejatinya demikian. Takkan ada yang sanggup jika dipimpin oleh seseorang yang selalu “saya-is-me” dan anti pada “kami-is-me”.
0 notes
pratomoyudha · 7 years ago
Text
Layakkah Kami, Para Blogger Disetarakan dengan Awak Media?
Tumblr media
Commuterline, 9 Feb. 2017
Pikiran itu tiba-tiba muncul setelah melihat judul sebuah berita di halaman pertama Harian Kompas. Hari Pers Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Februari ini mendorong sebuah pertanyaan keluar yakni: Apakah para blogger bisa disetarakan dengan para jurnalis?
Saya akan sedikit cerita tentang latar belakang saya. Sedikit saja. Saya pernah bekerja di sebuah media nasional, sebagai jurnalis (dan mungkin akan terulang). Tidak lama memang, hanya sekitar satu setengah tahun yang boleh dibilang belum cukup dewasa kehidupan saya sebagai jurnalis waktu itu.
Hidup sebagai jurnalis adalah sebuah "keasyikan" tersendiri. Bahkan tidak jarang hal ini bisa menjadi candu bagi para penikmatnya. Setiap hari, tantangan yang dihadapi selalu berbeda. Bertemu orang baru, kawan baru, bahkan "musuh" baru bisa saja terjadi di lapangan setiap saat. Itu yang membuatnya menjadi nikmat, ada "greget" tersendiri yang bisa saya rasakan ketika itu.
Oke, cukup.
Kemudian, saya beralih pekerjaan, masih dalam lingkup media, tapi 180 derajat sangat berbeda. Pekerjaan saya kali ini sangat bersinggungan dengan apa yang disebut "ngeblog". Sebagai penulis dan pengembang konten, tidak jauh-jauh jobdesk yang saya hadapi dengan pekerjaan saya yang sebelumnya. Tapi tetap, perbedaannya 180 derajat.
Dalam jobdesk yang saya dapat di kantor ini, saya diminta untuk banyak menulis, menghasilkan konten untuk memperkaya kuantitas dan kualitas tulisan namun dengan gaya yang berbeda dengan media arus utama. Jelas, gaya tulisan yang harus saya anut adalah gaya para blogger yang lebih personal, bisa mengandung subjektivitas, dan tentu dengan sudut pandang berbeda.
Jurnalis dan blogger punya karakteristik yang berbeda, punya kekuatan serta tanggung jawab yang berbeda.
Sulit? Jelas sulit. Terbiasa dengan gaya tulisan arus utama yang bertumpu pada kejadian, objektivitas, serta aktualitas membuat saya pusing setengah mati. Pasalnya, meski tulisan blogger (bisa dianggap) lebih bebas, fleksibel, dan ringan, saya harus menyisipkan opini dalam tulisan agar nilai-nilai tulisan tidak hilang dan hambar. Beropini ga susah-susah amat kok, tapi memertahankannya yang sulit. Itu. Opini yang disisipkan harus berdasar kenyataan, data, dan ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Lalu apa kemudian blogger bisa dibilang lebih hebat dari jurnalis? Jawabannya: tidak demikian.
Jurnalis dan blogger punya karakteristik yang berbeda, punya kekuatan serta tanggung jawab yang berbeda. Seorang jurnalis adalah representasi dari sebuah media, artinya tanggung jawab yang diemban bukan lagi secara personal, tapi juga korporat. Bahkan ketika seorang jurnalis melakukan kesalahan-salah pemberitaan misalnya- yang disorot bukan hanya persona pribadi, namun juga institusi. Lagipula jika kita bicara soal sumber informasi, mau tidak mau harus kita akui bahwa media arus utama adalah kiblatnya dan para blogger belum sepenuhnya bisa mencapai titik ini. Makanya saya bilang tanggung jawab moralnya para jurnalis ini lebih besar.
Meski memang dalam beberapa momen atau waktu bisa saja para blogger mengambil peranan sebagai sumber berita utama. Tapi itu di beberapa waktu saja dan kendati demikian, inilah yang jadi kekuatan para blogger.
Ruang gerak blogger, menurut saya lebih bebas dan tidak terbatas. Kami (atau mereka) para blogger tidak dikukung oleh kode etik institusi maupun jurnalistik. Hanya saja ada UU ITE yang boleh jadi acuan agar kebebasan inu tidak kelewat batas. Karena itu, blogger harus bisa mengambil sudut pandang berbeda dengan arus utama dalam angle tulisan.
Saya ambil contoh ketika muncul wacana pemblokiran Whatsapp oleh Menkominfo Rudiantara karena adanya konten pornografi dalam fitur GIF. Media arus utama jor-joran memberitakan sebab dan akibat dari wacana ini, tak sedikit kemudian pro dan kontra muncul. Dari kasus ini, blogger bisa mengulas dengan sudut pandang lain. Misalnya, menceritakan kisah unik seorang Rudiantara menghadapi laporan-laporan konten negatif di Whatsapp atau mungkin cerita di lingkungan sekitar dari para pengguna Whatsapp yang merasa "terancam" dengan wacana ini.
Intinya, yang ingin saya tekankan adalah, blogger dan awak media memiliki lingkup dan kekuatan berbeda. Keduanya bisa saling melengkapi kepingan-kepingan informasi yang tercecer di dunia maya. Blogger dapat memberikan sudut pandang lain atau bisa sebagai penyeimbang bagi media arus utama. Dan di sisi lain, media arus utama bisa menjadi kiblat informasi para blogger untuk mengembangkan sebuah fenomena dalam tulisan.
.... maaf tulisannya kentang, soalnya KRLnya keburu nyampe di stasiun Parung Panjang.
0 notes
pratomoyudha · 8 years ago
Text
Pengalaman Saya saat Membeli Rumah Subsidi
Tumblr media
sumber foto: Rumah.com
Semua orang pasti punya target dalam hidupnya. Termasuk saya dan teman-teman kuliah waktu itu. Suatu saat kami kumpul di kosan salah satu kawan, kami sharing berbagi cerita soal target masing-masing setelah bekerja.
Waktu itu kalau tidak salah baru semester 5 atau 6, mungkin masih prematur untuk membicarakan target setelah mendapat pekerjaan. Tapi biarlah, yang kami bicarakan toh untuk masa depan, tidak ada salahnya bukan?
Dalam kamus kami, kesuksesan ditandai dengan "memiliki" sesuatu. Sebenarnya salah anggapan ini, karena sukses bukan hanya dinilai dari materi. Tapi tak apa bukan, selama ini jadi motivasi kami untuk lulus dan mendapat pekerjaan dengan cepat?
Sebagaimana yang diinginkan kaum adam, rerata teman-teman saya ingin punya kendaraan setelah lulus dan bekerja nanti. Ada yang ingin beli motor (lumayan) gede seperti Ninja 250, ada juga yang ingin beli mobil BMW lawas karena hobi, ada juga yang ingin keliling Indonesia, pokoknya macam-macam lah pikiran kami. Anak muda memang pantas dan layak untuk bermimpi bukan?
Tapi saya memutuskan berbeda dengan kawan yang lain. Saya tekankan, sebelum usia 25 tahun, saya ingin punya rumah sendiri. "Entah bagaimana itu caranya, tapi saya harus bisa" kira-kira seperti itu lamunan saya dahulu.
Muluk-muluk tidak?
Kalau kata beberapa teman sih, iya.
Jika dipikir dengan logika, harga rumah tentu saja mahal bukan? Setidaknya untuk downpayment rumah tipe 36/72 saja bisa lebih dari 50 juta dengan cicilan 3 jutaan selama 15 tahun. Apalagi jika dihitung-hitung kalau kami lulus tepat waktu maka kami bisa lulus di usia 22 atau 23 tahun. Dan hanya berjarak 2 tahun saja menuju 25.
Dengan pengalaman kerja selama 2 tahun, apa bisa mendapat uang lebih dari 50 juta dan membayar cicilan 3 jutaan itu? Logikanya sih tidak. Hahaha... Tapi tak apa lah. Namanya juga target, bisa tercapai bisa juga tidak.
Tapi ternyata ada jalan keluar dari cita-cita saya ini. Pemerintah memiliki program rumah subsidi dengan bunga flat hingga cicilan selesai. Bunganya hanya sebesar 5 persen, berbeda dengan non-subsidi yang bunganya floating bahkan bisa mencapai 12 persen. Program rumah subsidi inilah yang coba saya manfaatkan untuk membeli rumah pertama.
Saya browsing, mencari tahu kelemahan dan kelebihan program rumah subsidi dari pemerintah ini. Setelah browsing, cari informasi dengan masuk ke beberapa forum serta blog, ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan.
Pertama, rumah subsidi ini hanya bisa dimiliki oleh pekerja dengan pendapatan pokok (gaji pokok) di bawah 4 juta rupiah. Kedua, pepatah "ada harga ada rupa" berlaku di sini. Pasalnya dari beberapa ulasan yang saya baca, permasalahan utamanya adalah unsur kerapian rumah hasil bangunan pengembang.
Ketiga, tidak boleh memilih sembarang developer, harus yang sudah berpengalaman membangun rumah subsidi. Keempat, aturan-aturan yang cukup ribet untuk diikuti. Poin ini saya maklumi karena pastinya agar program ini tepat sasaran. Ada poin-poin lainnya yang terlalu panjang untuk saya tulis.
Tapi syarat yang paling utama sebenarnya adalah pendapatan pokok tidak boleh lebih dari 4 juta rupiah dan tidak boleh dalam kondisi tengah mencicil rumah di lokasi lainnya. Kedua syarat utama ini jelas bisa saya penuhi, hehe. Wong gaji pokok saya malah jauh di bawah UMR Jakarta dan ini rumah pertama saya kok. *Malah tjurhat*
Setelah meneguhkan hati untuk ikut dalam program rumah subsidi ini, langkah kedua yang saya lakukan adalah mencari lokasi dan pengembang yang terpercaya.
Namanya rumah subsidi, lokasinya pasti agak terpencil dan tidak berdekatan dengan kota besar. Pada Januari lalu saya sempat datang ke pameran properti di JCC. Saya kumpulkan brosur-brosur rumah subsidi dan memang semua rumah subsidi itu lokasinya cukup jauh dari kota. Ini sempat membuat saya ragu sebenarnya. "Percuma murah, kalo jauh dari peradaban," pikir saya waktu itu.
Dari beberapa brosur yang saya kumpulkan ada beberapa lokasi tempat para pengembang membuat rumah subsidi ini. Awalnya saya tertarik dengan salah satu pengembang di daerah Pondok Afi, Bekasi.
Embel-embel "Bekasi" ini yang membuat saya tertarik awalnya. Saya kira lokasinya dekat dengan kota, tapi setelah tanya sana-sini ternyata aksesnya cukup bikin amsyong. Ditambah dengan unit yang belum readyalias kita masih mesti menunggu rumah tersebut berdiri.
"Sudah jauh, rumahnya belum tentu jadi pula," itu pikir saya. Memang, jika ingin membeli rumah subsidi kita harus pintar memilih developer. Ada beberapa kasus di mana karena developer kekurangan modal akhirnya proyeknya mangkrak dan ujung-ujungnya didemo oleh pembeli yang sudah terlanjur memberi dp. Ngeri bukan? Makanya harus teliti.
Lanjut...
Pilihan kedua jatuh pada pengembang dengan lokasi di Bojong Gede, Bogor. Dari awal rencana saya memang ingin membeli rumah di Bogor daerah Bojong Gede atau Cilebut. Saya pikir lokasi pengembang tersebut dekat dengan stasiun, tapi ternyata tidak. Saya sempat survei ke lokasi dan ternyata jauhnya naudzubillah.
Memang sih, keunggulannya perumahan dari developer ini sudah ready stock. Jadi kita tidak perlu was-was. Tapi jaraknya itu terlalu jauh dengan stasiun. Ditambah dengan adanya sutet dekat perumahan tersebut. Batal lah saya ambil rumah ini.
Masih galau soal lokasi, akhirnya saya coba mencari ke daerah sebelah barat Jakarta. Seperti Tangerang, Serpong, dll. Daerah Serpong dan sekitarnya sudah pasti mahal. Apalagi adanya BSD membuat harga properti di sana semakin melambung jauh. Mau tidak mau saya harus cari ke daerah "yang lebih pinggir" lagi. Sempat saya mencari ke daerah Sudimara hingga Cisauk. Tapi harga di sana sudah fantastis.
Tidak sengaja di internet, saya temukan pengembang rumah subsidi yang perumahannya berlokasi di daerah Parung Panjang. Lokasinya tidak jauh dari Cisauk, hanya beda satu stasiun kalau tidak salah. Waktu itu saya langsung ingat ada teman saya yang membeli rumah di Perumnas Parung Panjang dan lokasinya cukup dekat dengan stasiun.
Teman saya ini pun satu kantor dengan saya. Saya coba kontak dia, sekadar tanya-tanya plus minus lokasi tersebut dan akhirnya saya bisa ambil beberapa simpulan. Daerah Parung Panjang ini sebenarnya masuk wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Padahal lokasinya sudah sangat berbatasan dengan Provinsi Banten. Lokasi ini menurut saya cukup potensial, karena akses menuju Jakarta sudah cukup mudah dengan adanya KRL dan waktu tempuh hanya sekitar 30-35 menit ke stasiun Palmerah dekat kantor tempat saya bekerja.
Oke, saya coba cek kondisi langsung ke TKP. Beberapa hari setelah tanya-tanya pada kawan saya ini, saya coba mendatangi daerah Parung Panjang. Kulturnya di sana adalah Sunda yang sangat kental. Cocok dengan saya yang memang darah Sunda.
Di sana kekurangannya adalah jalanan yang "ngebul" alias berdebu. Karena banyak truk-truk besar pengangkut batu lewat jalan utama tersebut. Juga masalah air. Parung Panjang termasuk dataran tinggi sehingga butuh kedalaman lebih dalam jika ingin mengebor sumur. Jangan berharap pada PDAM karena memang belum semua titik terjamah di sana.
Tapi untungnya, perumahan yang saya incar ini tidak berdekatan dengan jalan utama. Dari stasiun perumahan tersebut berjarak sekitar 1 kilometer. Butuh waktu sekitar 10 menit perjalanan menggunakan motor untuk mencapainya. Tidak masalah sih menurut saya, malah lebih baik kondisinya seperti ini. Tidak dekat dengan jalan utama yang bikin sesak nafas.
Oke, kemudian saya lanjut perjalanan ke perumahan. Pemandangan di sana masih sangat kental dengan kondisi perkampungan. Sawah masih berjajar rapi dengan kerbau pembajak menghiasi di atasnya. Ternyata jauh dari jalan utama yang bikin sesak nafas ini, masih ada udara sejuk di sana. Bahkan ketika saat saya sampai di lokasi, kondisinya baru saja diguyur hujan. Dingin, tidak seperti di Jakarta.
Di sana saya disambut oleh marketing developer bersangkutan, dia menyambut saya dengan segelas teh manis hangat dan beberapa cemilan jajanan pasar. Gaya bicaranya khas orang marketing yang tengah memburu mangsanya, yaitu saya. Tapi saya tidak mau tertipu begitu saja, karena itulah saya cukup bawel pada orang marketing ini.
Program rumah subsidi memang diperuntukkan masyarakat kelas menengah ke bawah dengan pendapatan terbatas. Oleh karena itu uang tanda jadi (dp) pun dibuat serendah mungkin. Tapi saya sarankan Anda jangan tertipu dengan gimmick di brosur yang menerangkan bahwa dp rumah subsidi hanya berkisar antara 4 hingga 8 juta rupiah.
Memang benar sebesar itulah uang dp untuk rumah subsidi ini, tapi jangan lupa ada biaya-biaya tidak terlihat yang mengekor di belakangnya.
Biaya itu di antaranya adalah biaya notaris, biaya perubahan izin Hak Guna Bangunan (HGB) ke Surat Hak Milik (SHM) kemudian ada beberapa biaya lainnya yang menyusul. Jika ditanya berapa total biaya di muka ini, jawabannya relatif, pintar-pintar Anda menawar saja. Tapi untuk amannya Anda setidaknya harus menyiapkan dana maksimal 30 juta untuk semua biaya itu.
Besar? Tidak juga sebenarnya. Karena jika dibandingkan dengan rumah komersil, biaya ini hanya sepertiganya saja. Bayangkan dengan uang 30 juta, Anda bisa mulai mencicil rumah dengan cicilan sekitar 900 ribu selama 20 tahun. Lumayan terjangkau bukan?
Setelah beberapa kali survei ke banyak lokasi, saya putuskan untuk membeli rumah subsidi di Parung Panjang ini. Pertimbangannya adalah lokasinya yang tidak begitu jauh dari stasiun, sumber air yang memadai, lokasi yang potensial dan rumah yang ready stock. Empat pertimbangan utama saya membuat saya yakin untuk mengambil rumah di daerah ini.
--
Setelah deal, saya mulai mencicil uang pembayaran pertama tadi yang jumlahnya sekitar 30 juta. Banyak teman saya bertanya-tanya dari mana dapat uang segini hanya dengan kurun waktu bekerja sekitar 2 tahunan. Tidak sedikit juga yang menganggap bahwa uang tersebut saya dapatkan dari orang tua.
Tidak, tidak. Ini adalah rumah pertama saya dan saya tidak ingin melibatkan orang tua dalam hal apapun. Apalagi masalah biaya. Kenapa? Karena buat saya, ini adalah bagian dari harga diri. Punya rumah sendiri tanpa bantuan orang tua adalah sebuah kebanggaan sendiri. Maaf ya bukan saya sombong, tapi ini masalahnya soal pride. :(
Lantas dari mana saya dapat uang 30 juta itu? Pinjam uang? Tidak juga. Sejak awal lulus (bahkan sebelum lulus) saya sudah punya side-job. Apapun saya lakukan untuk mendapat uang tambahan dengan jalan yang halal tentunya.
Kadang saya mendapat project SEO dan SEM, kadang jadighost writer, bahkan saya narik ojek onlinejuga di sela-sela kerjaan. Apapun itu, asal halal. Ya gak? Maka dalam waktu 2 tahun terkumpulah uang yang bisa menutupi pembiayaan awal rumah tersebut.
Akhirnya setelah beberapa bulan dan proses akad, rumah mungil ukuran 30/60 itu resmi mulai saya cicil. Saat ini belum saya tempati memang karena masih harus ada renovasi di bagian dapur. Hehe.
Keluarga dan teman-teman sering bertanya, "Kenapa sih ngotot pengen beli rumah. Padahal kan bisa setelah nikah, apalagi rumahnya daerah terpencil gitu?"
Kalau ditanya seperti ini saya sering bingung jawab apa. Hahaha. Saya sih bodo amat dengan ejekan "rumah di pinggiran" atau "rumah terpencil" atau "rumah kurcaci" (karena ukurannya yang mungil), persetan, yang penting saya sudah memenuhi target saya yakni memiliki rumah sendiri. Meski sedikit meleset karena usia saya hamper 26 saat ini.
Rumah adalah benda yang layak untuk dijadikan investasi. Semakin lama, harganya semakin naik dan memilikinya lebih cepat, lebih baik bukan?
Apalagi saya sering ingat dengan perkataan bos saya di CNN dulu,"Derajat tertinggi seorang lelaki adalah ketika ia bisa berinvestasi,"inilah yang juga memecut semangat saya untuk bisa membeli sebuah hunian.
Jadi, untuk anak muda seusia saya dengan pendapatan yang pas-pasan, jangan pesimistis dulu. Kalian tetap bisa punya rumah sendiri kok.
Begitulah.
0 notes
pratomoyudha · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Ia cantik, pemurah dan sedikit pemarah. Tapi ia adalah musik yang ajaib. Setiap ia berkata aku diam. Isi kepala yang penuh jaring laba-laba ini tetiba beku dalam sekejap. Hanya setiap perkataannya yang kemudian terngiang, seperti deru kipas angin di malam yang panas. Mengubah menjadi sejuk, dan aku kemudian terlelap hingga fajar.
0 notes