Text
Seperti halnya takut untuk naik pesawat, apalagi saat take off dan ada turbulensi di udara, saya juga memiliki beberapa ketakutan yang baru saya sadari.
Pertama, saya takut akan kekosongan, ini baru saya sadari beberapa waktu lalu. Setelah melahirkan, saya mengalami banyak perubahan, di luar dan dalam diri saya. Saya merasa bahwa hidup saya seperti sudah selesai. Setiap hari saat bangun pagi yang saya pikirkan adalah bagaimana melalui hari ini, dan setiap malam saya bersyukur karena 1 hari sudah terlewat. Sampai sekarang setiap kali mengingat masa-masa itu, hati saya terasa berat. Bahkan saat menulis ini pun mata saya masih berkaca-kaca mengingat betapa beratnya saat-saat itu. Yang saya rasakan saat itu adalah kekosongan, hati saya kosong, jika bukan untuk melihat bayi saya bertumbuh, saya merasa tidak punya tujuan lagi hidup di dunia.
Kedua, saya takut melihat perubahan yang begitu cepat. Saat saya berkeliling di tempat yang pernah saya tinggali, saya menyadari ada banyak sekali perubahan, banyak bangunan baru, banyak tempat baru, bahkan sekolah lama saya juga sudah banyak berubah. Banyak bayi-bayi baru yang lahir, orang-orang di sekeliling saya juga bertumbuh, anak-anak mulai beranjak dewasa, dan orang-orang dewasa mulai menua. Hal ini membawa saya pada ketakutan ketiga, yaitu takut kehilangan.
Takut kehilangan, sebuah hal yang paling umum dirasakan manusia. Tapi bagi saya, kehilangan adalah satu hal yang mungkin tidak akan pernah bisa saya tangani. Karena itu waktu bersama orang-orang yang saya cintai adalah hal yang paling berharga dan paling saya jaga.
Beberapa ketakutan kadang membuat kita kehilangan semangat, kadang juga justru memompa semangat. Kafang kita berusaha sebisa mungkin untuk menghindar, atau berusaha melatih diri untuk terbiasa. Di atas semua itu, hal yang paling saya takutkan adalah hal-hal tersebut datang saat iman saya sedang dalam keadaan paling lemah. Saya takut tidak punya pegangan dan akhirnya merasa putus asa pada keadaan. Karena itu saya selalu meminta agar diuji saat iman saya dalam keadaan baik, dan hati saya dalam keadaan lapang serta ridha terhadap takdir.
0 notes
Text
Sejak punya bayi, urusan ke kamar mandi menjadi tidak sesederhana dulu 😂. Maryam selalu menangis jika bundanya hilang dari penglihatannya. Sepertinya belum pernah ada orang lain yang menangisi ketiadaanku selain Maryam 😂. Aku akhirnya menyadari, bahwa aku sedibutuhkan itu. Ada yang menggantungkan kebahagiaannya, bahkan hidupnya, padaku. Aku yang ingin mencari kebermanfaaatan di luar, yang ingin diapresiasi, yang menginginkan validasi dari dunia, ternyata cukup 1 orang saja sudah cukup membuatku berarti.
Aku pun mulai menikmati momen ini. Kegiatan rutinku di rumah, yang sederhana dan mungkin terlihat tak berarti, ternyata sudah memberikan kehidupan bagi seseorang. Aku menikmati hari-hari biasaku, yang ternyata luar biasa untuknya.
My dear Maryam, setiap kali kamu mencapai milestone baru, aku menyadari, bahwa kelak kamu akan mampu menjalani hidupmu tanpaku lagi. Dan sekarang, selama kamu masih menangisi ketiadaanku, aku akan menikmati setiap momen bersamamu. Bunda sayang padamu, Maryam. ❤
13 notes
·
View notes
Text
HARI-HARI BIASA
Mungkin tak banyak yang tau, bahwa kebersamaan kami berdua dimulai dari sebuah lamaran sederhana di ruang tamu rumah kos saat kami masih berkuliah. Tidak ada acara istimewa, hanya pertemuan kedua orang tua. Tidak ada hidangan spesial, bahkan tidak ada satupun foto dokumentasi yang kami ambil di hari bersejarah itu.
Hari pernikahan pun, jika saja bukan karena hajat orang tua dan keluarga, kami tentu lebih memilih merayakannya dengan sederhana saja.
Setelah menikah, tidak ada perayaan bulan madu, tidak ada liburan istimewa ke tempat-tempat indah, kami justru lebih antusias untuk pindah ke kontarakan kami, dan memulai hidup bersama sebagai pasangan.
Hampir semua hari-hari istimewa yang kami lalui bersama, berlalu begitu saja, tanpa perayaan, bahkan tanpa foto-foto indah untuk dipajang sosial media. Terkadang hanya sebuah ucapan singkat di pagi hari, lalu sisanya berjalan seperti biasa. Ulang tahun kami bersama, ulang tahun pernikahan pertama dan kedua, bahkan ulang tahun pertama anak kami, Maryam, hanya berlalu begitu saja. Sejujurnya kami bahkan tidak mengerti apa urgensi dari perayaan perayaan itu. Memakan banyak waktu, energi, materi. Padahal pemaknaan sebuah momen tidak harus dilakukan dengan perayaan.
Setelah menikah kami tidak pernah pergi berduaan ke tempat-tempat indah. Kencan favorit kami adalah ke toko buku, menghabiskan waktu di sana lalu pulang dan mampir ke restoran fast food favorit kami.
Lantas, jika hari-hari istimewa hanya terlewatkan begitu saja, jika kami belum pernah mengunjungi tempat-tempat indah bersama, lalu apa yang kami simpan dalam memori kebersamaan kami?
Jawaban kami sama: hari-hari biasa yang kami lalui bersama. Saat kami membicarakan tentang momen apa yang kami rindukan, jawaban kami sama, sarapan pagi bersama dengan kopi dan roti bakar kesukaan kami. Momen berpisah untuk berangkat kerja. Momen bertemu kembali di malam hari selepas hari yang panjang, berpelukan, makan bersama, saling bertukar cerita, atau sibuk dengan hobi masing-masing, tapi tetap bersama.
Bahkan sejak Maryam hadir, sebagian besar momen yang kami nikmati adalah hari-hari biasa yang kami habiskan di rumah. Bergantian menjaga Maryam, bergantian menidurkannya, bermain bersama, bercerita bersama. Rumah sederhana kami dipenuhi dengan kehangatan dan kebahagiaan.
Suatu hari nanti kami akan mengunjungi tempat-tempat indah, mungkin kami juga akan merayakan hari-hari istimewa. Tapi tempat yang kami rindukan tetaplah rumah, dan hari-hari yang kami rindukan adalah hari-hari biasa.
1 note
·
View note
Text
Salah satu misi dari pergerakan islam adalah membangun keluarga tarbiyah. Murabbi kita sekarang mungkin bukan orang tua kita. Tapi kita berharap generasi selanjutnya bisa merasakan tarbiyah dari orang tua mereka sendiri. Kita berharap anak-anak kita kelak menjadi mutarabbi kita sendiri. Keluarga itu pilar peradaban. Membangun keluarga berarti membangun peradaban.
-yang selalu terngiang dari materi tarbiyah siang tadi.
0 notes
Text
Membaca ini mengingatkan saya pada diri saya 2 bulan yang lalu. Bahkan mungkin sampai sekarang.
Saya melahirkan di kampung suami dan sampai sekarang masih di sini sementara suami saya sudah kembali ke Bogor. Keluarga suami saya sudah seperti keluarga sendiri, alhamdulillah saya diberikan Allah keluarga yang sangat baik di sini. Meskipun begitu kadang saya tetap merasa kosong.
Hari-hari pertama rasanya berat. Suami balik ke Bogor dan saya di sini baru belajar bagaimana mengurus bayi. Semuanya terasa baru. Saya ingat dulu setiap maghrib saya saat semua jendela dan pintu mulai ditutup, saya merasa panik sambil berusaha menahan air mata yang udah mau meledak.
Setiap kali mendung apalagi hujan, hati saya sesak. Hati saya akan sedikit membaik saat matahari bersinar terik. Saat rumah sedang sepi, saya suka ke halaman belakang dan menikmati matahari. Parahnya, 1 bulan pertama justru lebih banyak hujan. Jadi hati saya justru lebih banyak sedihnya.
Bayi mungil ini dulu sering menangis, susah untuk disusui, sering sekali muntah, badannya yang mungil begitu rapuh di pelukan saya. Saya sering panik saat dia menangis atau muntah. Malamnya sering lapar sehingga jam tidur saya benar-benar berantakan. Keseharian saya hanya berkutat dengan menyusui, menggendong, dan mengganti popok dan membersihkan pup.
Kehadiran Maryam mengubah banyak hal. Dan entah kenapa saya merindukan kehidupan saya yang 'normal'.
"Saya tidak pernah membencinya. Tapi saya merasa hidupnya telah merenggut hidup saya. Mengubah yang dulu nyaman menjadi harus banyak penyesuaian"
Dulu saya takut berpikiran seperti itu karena takut dijudge sebagai ibu yang tidak baik. Saya sering bertanya pada diri sendiri dan berusaha menemukan jawaban.
Mungkin karena jauh dari suami.
Mungkin karena kangen keluarga di kampung.
Mungkin karena pandemi ini, sejak Maret hanya di rumah saja.
Mungkin ini, mungkin itu.
Sementara saya mencari jawaban, saya yakin betapapun Maryam mengambil banyak hal dari diri saya, tapi cinta saya tidak pernah berkurang bahkan semakin menggila setiap harinya.
Dia tidak pernah meminta untuk dilahirkan.
Dia yang bahkan untuk tidur saja masih butuh bantuan untuk ditidurkan.
Dia yang hanya bisa menangis saat lapar, haus, kepanasan, kedinginan, atau tidak nyaman.
Dia yang kadang frustasi jika kemauannya tidak dipahami.
Dia yang membuat saya merasa dibutuhkan.
Saya semakin takut dia terluka, saya semakin takut kehilangan dia.
Betapapun saya merindukan hari-hari 'normal' saya. Saya tidak akan pernah mau menukar 'kenormalan' itu dengan kehadiran Maryam.
Dan betapapun orang-orang menilai saya sebagai ibu yang tidak baik, saya tetaplah ibunya. Satu-satunya yang rela mempertaruhkan nyawa untuk kehadirannya.
Dan saya bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang mencintainya sedalam saya mencintainya.
Mungkin bagi beberapa orang yang tahu bahwa saya adalah pribadi yang tempramen, saya dianggap tidak pernah menahan diri dari emosi yang saya rasakan. Sesungguhnya sering, dan yang tampak di permukaan adalah kemarahan yang bahkan sudah tersaring.
Punya anak membuat saya wajib menahan diri lebih baik lagi. Pada banyak kesempatan, saya betul-betul meluapkan kemarahan padanya bahkan pernah dengan kasarnya sentuhan. Mungkin Allah menciptakan anak saya dengan wajah yang memelas untuk melembutkan hati saya yang keras, karena seringkali melihatnya terkejut atau terdiam membuat saya menyesali segala kemarahan.
Saya tidak pernah membencinya, dia satu-satunya manusia hidup yang tidak pernah melukai saya. Tapi saya merasa bahwa hidupnya telah merenggut hidup saya, mengubah yang dulu nyaman menjadi harus banyak penyesuaian. Saya sering menyesali keberadaannya, tapi saya tidak pernah ingin dia diambil dari saya. Saya sering berpikir untuk mencelakakannya, tapi saya tidak pernah ingin dia terluka. Sering ketika saya punya kesedihan atau tangis yang tidak bisa saya bagikan pada manusia lain, di pelukannya yang mungillah saya membagi air mata diam-diam. Saat itu saya menyadari, bukan dia yang butuh saya sebagai ibunya tapi saya yang butuh jiwanya yang bersih.
Di banyak waktu, saya menyadari bahwa ternyata saya belum siap menghadapi konsekuensi menjadi ibu. Ilmu bisa dicari, tapi kesiapan jiwa seharusnya sudah dipupuk jauh-jauh hari.
Lalu, karena merasakan beberapa tekanan yang mungkin saya sendiri yang ciptakan, ternyata saya tidak bisa juga selalu terbuka memperlihatkan emosi. Barangkali bisa disebut tidak ikhlas, tapi ternyata di masa ini saya takut disebut pemarah, saya takut dibenci karena emosi-emosi saya terlihat.
Akhirnya saya sering menutup diri. Berpura-pura ramah pada anak padahal sedang lelah. Berpura-pura tertawa padahal seluruh tubuh sedang letih dan hati terluka. Menahan emosi berubah menjadi menahan kesedihan. Takut, jika kemudian ada yang melihat saya marah, saya akan dibenci. Baru kali ini saya merasakan ketakutan yang demikian.
Ternyata, pada proses kita mengendalikan dan memperbaiki diri, kita tetap butuh seseorang yang padanya kita tidak khawatir dianggap gila atau buruk. Kita tidak khawatir dibencinya, kita tidak khawatir dianggap manusia paling tidak beradab.
Semua orang terlihat bahagia punya anak. Jadi saya merasa menjadi manusia yang paling kasar, paling gagal sebagai ibu, paling tidak berguna, paling mengerikan di muka bumi, karena pada diri saya lebih banyak keluhnya daripada syukurnya. Lebih banyak sedihnya daripada senangnya.
Kata seorang teman yang pernah sama gilanya menjadi ibu, "tunggulah 3 bulan, semua akan lebih mudah."
Malam ini tepat 3 bulan. Perjalanan memang terasa lebih mudah dan terkendali. Banyak bantuan dari sana sini. Banyak ilmu dibagi. Punya partner beranak yang selalu siaga. Tapi yang masih sulit berjalan ternyata jiwa saya sendiri. Menyembunyikan banyak emosi ternyata membuat diri begitu sedih. Membuat saya merasa bahwa saya tidak berhak marah atau lelah. Seperti bersembunyi di tengah keramaian.
Untuk pertama kalinya, saya merasakan kesepian, setelah sekian lama lupa bagaimana rasanya.
Hai Jiwa, semoga perjalanan ini membuatmu makin dewasa tanpa lupa betapa kamu tetaplah manusia. Semoga suatu hari menemukan dirimu kembali, yang lebih tenang dalam segala situasi, yang lebih baik mengendalikan segala ambisi, dan yang lebih mencintai diri sendiri. Semoga segera bisa berkawan dengan diri sendiri.
150 notes
·
View notes
Text
1 September 2020
Kami terlahir sebagai orang tua untuk seorang putri kecil cantik.
Terima kasih yang tidak terkira untuk orang tua dan keluarga. Setiap bantuan, dukungan, dan doa amat sangat kami syukuri.
Terima kasih untuk teman-teman atas doa-doa tulusnya.
Dan untuk si kecil kami, terima kasih telah berjuang bersama. Sebagaimana kami yang berjuang melahirkanmu ke dunia, kamu pun berjuang dengan caramu sendiri untuk sampai ke pelukan kami. Kami jatuh cinta, kami takjub, ternyata ada cinta yang seperti ini.
Di atas itu semua, Segala puji hanya bagi Allah.. Yang memampukan kami melewati perjalanan ini. Dan semoga juga memampukan kami untuk perjalanan panjang ke depan sebagai orang tua.
2 notes
·
View notes
Text
"Celakalah engkau! Apakah pernikahan hanya dibangun di atas cinta? Lalu di manakah takwa, tanggung jawab, dan rasa malu?"
-Umar bin Khattab ra.-
1 note
·
View note
Text
Selamat tinggal 2019, masa2 adaptasi yang luar biasa. Terima kasih untuk semua pembelajarannya.
Halo 2020, semoga bisa terus membiasakan diri dalam belajar. Menghindari distraksi tak perlu. Kembali membangun rutinitas produktif, dan konsisten menjalani kebiasaan2 baik.
0 notes
Text
perempuan
Ada saatnya perempuan menjadi terlalu kekanakan dalam mengungkapkan rindu. Ada saatnya ia terlalu berlebihan dalam mencemburu. Ada saatnya ia terlalu panik dalam menghadapi masalah. Ada saatnya ia tidak bisa mengambil keputusan. Bahkan ada saatnya ia tidak mengerti apa yang diinginkannya, tidak tau harus berbuat apa, dan semuanya terlihat tidak benar di matanya.
Dan laki-laki, saat itupun kalian akan berada dalam kebingungan, mengahadapi persoalanmu, dan menghadapi ketidakdewasaannya
Hanya saja ada yang tidak terlihat olehmu. Bagaimana ia berusaha membalikan suasana hatinya. Bagaimana ia berusaha menjadi logis dan rasional kembali. Bagaimana ia berusaha menyederhanakan setiap kerumitan di kepala. Bagaimana ia mempertimbangkan setiap pilihan beserta konsekuensinya. Bagaimana ia menelaah satu-satu maksud hatinya. Bagaimana ia berusaha meletakkan logika diatas perasaan, dan bagaimana ia berusaha menahan drama dan emosi dan yang siap meledak kapan saja.
Ah, perempuan, yang ingin terlihat tangguh, tapi juga tidak ingin kehilangan sisi keperempuanannya :D
0 notes
Text
daripada menyebut ini masa penantian, lebih baik menyebutnya masa pendewasaan diri. Menanti itu pasif, mendewasakan diri itu aktif.
Dulu saya menulis ini in terms of meniqa. Sampai akhirnya saya sadar, menikah hanyalah salah satu fase sebagaimana fase-fase lain yang telah dan akan kita lewati. Dan di setiap fase itu membutuhkan kedewasaan dalam levelnya masing-masing. Seorang teman pernah menasihati bahwa kedewasaan itu bukan tujuan, tapi proses. Artinya kita tidak akan pernah sampai pada titik dewasa, kita hanya akan terus mendewasa sesuai dengan tuntutan fase yang sedang kita jalani ^^
1 note
·
View note
Text
dekade
Ikutan juga ah, mau nulis tentang satu dekade ke belakang.
2010: masuk kuliah.
2011: masih menikmati kuliah. Gabung dengan dakwah kampus. Amanah pertama: jualan kaos kaki di teras mushallah.
2012: lupa ngapain aja di tahun ini. Kalau nggak salah ikut PKM bidang kewirausahaan. Didanai dikti alhamdulillah.
2013: kuliah. Seminar proposal. KKN. Magang.
2014: seminar hasil, ujian komprehensif, yudisium. Menyelesaikan amanah di LDK.
2015: wisuda. Magang untuk mengisi waktu, cari pengalaman dan cari uang tambahan. Pertama kali menang kompetisi nasional. Ikhtiar kejar beasiswa sambil persiapan S2. Lulus LPDP. Pengayaan bahasa 4 bulan di ITB.
2016: ditolak kampus idaman. Diterima di Matematika Terapan IPB alhamdulillah.
2017: gegalauan kuliah. Belajar keras biar bisa bertahan wkwk. Kolokium.
2018: Seminar hasil. Sidang. Lulus di detik2 terakhir sebelum pergantian semester. Kerja di Bekasi. Dilamar. Alhamdulillah.
2019: pindah kerja di Bogor lagi. Menikah ❤. Alhamdulillah.
0 notes
Text
Sebagai seorang muslim saya sadar, islam itu bukan hanya sekedar ritual, bukan hanya perkara keyakinan, tapi juga pandangan dan pegangan hidup yang harus saya implementasikan semampu saya.
0 notes
Text

Setiap kali melihat foto ini saya selalu menahan haru. Betapa perjanjian yang mengikat kita adalah perjanjian yang sangat kuat.
Selamat tanggal 30, sayang..
Untuk ratusan tanggal 30 lain yang akan kita lewati bersama, jangan pernah lelah berjuang, sebagaimana aku yang tidak akan pernah lelah membersamai.
1 note
·
View note
Text
"Aku jelas tidak mau bertaruh dengan probabilitas sekecil itu!" Suara Banyu sedikit berteriak.
"Kamu dengan egomu dan aku dengan harga diriku jelas tidak akan bisa bertemu!" Lanjut Banyu setelah gadis di depannya hanya diam tanpa ada tanda-tanda hendak menjelaskan sesuatu.
"Sampai disini saja, Senja. Maaf telah memasuki duniamu terlalu jauh." Suara Banyu mulai merendah. Terdengar helaan napas panjang bersamaan dengan suara langkah kaki.
Senja akhirnya mengangkat wajahnya, tapi hanya punggung Banyu yang terlihat semakin menjauh. Masih sama, jalannya cepat sekali.
Pandangan Senja kabur, ada yang hangat di pelupuk matanya. Sedetik kemudian ia pecah.
1 note
·
View note
Text
Bentuk perjuanganku adalah dengan tetap membersamai, seburuk apapun keadaan yang menghantam, seberat apapun cobaan yang bertandang.
Aku tidak akan pergi.
19 notes
·
View notes
Text
Dear self,
Tetaplah seperti ini, yang selalu bahagia untuk hal-hal sederhana.
:)
2 notes
·
View notes
Text
Ajari hatimu makna keteguhan dan kemandirian, agar ia kuat, tak mudah jatuh, tak mudah patah, tak mudah baper, tak sembarang berharap, dan tak selalu meminta perhatian.
2 notes
·
View notes