Quote
Kita harus menjadi gila agar tetap bertahan hidup.
Risma Yunita
2 notes
·
View notes
Text
Party Kusyuk.
Well, It is such a blessing to have someone who can join in your weirdness, isn’t it? I am blessed because she is weird, and I am weird, and therefore we can be weird together. We can laugh at our silly things together, we can mock each other (without having one of us get offended, of course), we can do our own things together. in other word: we can be alone together. we can share limitless unimportant yet meaningful topic together (?). I can be myself, my other self, my true self when I am with her without the fear if someday she will leave me for who I am. But, I have to deal with the fact that someday she will leave me. It is not because of me, but because of her. It is her dream and we have talked about it many times, and I accept the fact that she will fulfill her very-dream.
And I will not stop her, because I cannot stop her. All I can say to her is “Good luck with your life. I have known your dream, and I believe that you can reach it. I have known you, and if someday you will be gone, I am ready to face the truth. Do everything that sets you on fire. I will do mine. And someday we have to meet. We have to meet again even for a brief of time, just to make sure how far we have been going. We have to meet again. You introduce me to your spouse, and I will introduce you to my spouse. Our children have to play together! Hahahaha”
She was the one who can enjoy wherever I take her with me. We love to travel. We love to go back to nature (she is more adventurous than me). By trusting our intuition, we go somewhere unknown (sometimes we find a beatiful place to visit, and sometimes we don’t), we get lost together. But wherever it is, we end up having a deep conversation about life.
In Magelang, we have our favorite place if we want to escape from the hustle and bustle of life.
In Jogjakarta, we have just found the treasure. (someday I will tell you about this.)
Okay, speaking of party kusyuk, the idea just came out from my mind.
Yesterday, we have decided to meet. She needed a place where she could enjoy the day, she wanted to finish her work, and I also needed a place where I could learn to write again or read a book. We have decided the place, it is a cafe near my boarding house.
But, when we were going to go, the rain was falling and we couldn’t help but stayed. I told her, that we could make our own cafe in my boarding house. We could make our own room, so that each of us could finish our things together. She agreed.
We waited until the rain stopped, and we went outside to buy our favorite foods, martabak manis and gorengan. Sooooo yummy!
We rearranged the guest room in my boarding house to be our workroom. We knew that we needed music, so I took my speakers from my room then put them there. We needed foods and drinks, so I put our martabak manis, gorengan, a glass of milk, and a glass of coffee there. I took my books and everything I needed to be done, so did her.
We played reassuring songs from our favorite bands: Coldplay (Always In My Head, Fix You), Sigur Ros (Hoppippola, Olsen Olsen, and Heysatan), M83 (Wait), and many others.
That was our kind of party. That was how we spent our time together. That’s why we called it as party kusyuk because it was more silence than crowd. That’s why we called it as party kusyuk because it was a musing time. That’s why we called it as party kusyuk because we became more aware of our own self.
In the middle of our conversation, we made a promise. We will become more productive than ever before. We will make bit by bit improvement, everyday. We will become more independent than ever before because we are women with power and nothing can stop us from reaching our dream. We have learnt that joy comes within us, that we are the captain of our own ship, that we are the one who are responsible of our life. We promise to support each other, instead of only complaining our vulnerability. We promise. We promise.
1 note
·
View note
Text
Inside of Us
Inside of us
There is an ordinary world
Wanting to be known
Inside of us
There is an innocent child
Seeking to be hugged
Inside of us
There is a great love
That needs to be found
Inside of us
There is an echo
Keep telling us
That we deserve
to be loved
unconditionally
despite
our vulnerability
0 notes
Text
Perlukah Sanksi Pidana bagi Anak di Bawah Umur?
Oke, kali ini saya ditantang sama seseorang buat nulis sesuatu yang berhubungan dengan hukum. Tantangan ini spontan aja muncul ketika kami lagi nongki-nongki asik di angkringan makan nasi kucing sama es good day carrebian. (duh, nak nan dek. Jadi pengen.) Lha to, salah fokus. Oke balik lagi ke laptop ye.
Nah, di tengah-tengah obrolan kami yang gak mutu, tiba-tiba entah saya atau dia duluan terbesit ide buat nulis. Saya ditantang untuk nulis sesuatu yang berhubungan dengan hukum. Saya tanya, oke apa? Saya dikasih dua pilihan, mau tirai satu apa tirai dua (halah!), hehehe becanda. Saya dikasih pilihan mau nulis topik apa. Yang pertama, dia minta opini saya tentang perlu gak sih hukuman pidana bagi anak di bawah umur? Nah, yang kedua, saya agak samar-samar dengernya karena pas itu saya salah fokus merhatiin dia (piye toh), kalo saya ngga salah nangkep, bagaimana opini saya tentang emansipasi wanita. Apasih emansipasi wanita? Pantas gak wanita berjuang layaknya laki-laki. Kira-kira seperti itu yang saya tangkep. Nah, untuk saat ini saya lebih tertantang buat nulis opini tentang yang pertama.
Sebagai orang yang asing di dunia perhukuman, yang ngerti sedikit banget tentang pendidikan, okelah ini sedikit saya persembahkan tulisan saya yang apa adanya.
Jengjengjeng.... serius mode ON. Hahaha.
Perlukah Hukuman Pidana bagi Anak di Bawah Umur?
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang hukuman pidana bagi anak, marilah kita pahami dulu apa itu yang dimaksud tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana atau hukuman pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak.
Beberapa peristiwa perilaku menyimpang yang saya lihat di sekitar baik itu melalui televisi, atau saya dengar di radio, atau saya baca di koran online, atau bahkan saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, membuat saya bertanya-tanya, apakah tindakan kejahatan seperti pencurian, penjambretan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan yang dilakukan anak di bawah umur dapat dikategorikan sebagai tindak pidana? Misalnya, kasus pembunuhan yang dilakukan anak berusia 8 tahun terhadap temannya sendiri, dapatkah dikategorikan sebagai tindak pidana? Atau kasus pencurian motor yang dilakukan anak berusia 14 tahun, dapatkah dikategorikan sebagai tindak pidana? Sudahkah ia pantas disebut sebagai manusia yang dapat bertanggungjawab atas perbuatannya? Mengingat anak usia 8 tahun dan 14 tahun jika dilihat dari tahap perkembangannya masih belum mapan dari tingkat kecerdasan emosional, intelektual, dan mental. Lalu, adilkah jika anak di bawah umur dijatuhi hukuman pidana?
Sebelum melangkah lebih lanjut, kita cari tahu dulu apasih makna dari anak dibawah umur? Nah, mengutip dari hukumonline.com, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau biasa disingkat UU SPPA, membagi 3 definisi anak yang berhubungan dengan tindak pidana yaitu:
1. Anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, adalah anak yang belum berusia 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana.
3. Anak yang menjadi saksi pidana, adalah anak yang belum berusia 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. (hukumonline.com)
Kali ini, saya cukup membahas tentang anak yang berkonflik dengan hukum aja ya. Batasan umur 12 tahun bagi anak yang berkonflik dengan hukum untuk dapat diajukan ke sidang didasarkan karena beberapa faktor perkembangan psikologis anak itu sendiri yang belum matang baik secara intelektual, mental, maupun emosionalnya. Maka dari itu, anak di bawah usia 12 tahun dianggap belum bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nah, gimana jadinya kalau ada anak usia 9 tahun mencuri motor tetangga? Apakah itu termasuk tindak pidana? Pantaskah ia mendapatkan sanksi pidana?
Nah, ngutip dari hukumonline.com lagi nih, (hihi dasar tukang kutip, gak modal yo luweh), seorang pelaku tindak pidana itu bisa dikenakan dua sanksi. Yang pertama, namanya sanksi tindakan, berlaku untuk pelaku yang usianya di bawah 14 tahun. Yang kedua, namanya sanksi pidana, berlaku untuk pelaku yang usianya 15 tahun ke atas. Jadi, kesimpulannya, untuk kasus yang saya sebutkan diatas tadi, anak berusia 9 tahun hanya dikenakan sanksi tindakan saja, bukan sanksi pidana. Sanksi tindakan yang dikenakan kepada anak tersebut meliputi (Pasal 82 UU SPPA): pengembalian kepada orangtua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal/pelatihan, dan pencabutan surat izin mengemudi (lah, SIM bukannya minimal 17 tahun yak?Ahsudahlah).
Beda lagi ceritanya kalau sang pelaku adalah anak berusia 17 tahun, misalnya. Sanksi yang dikenakan tidak hanya sanksi tindakan, melainkan juga sanksi pidana. Sanksi pidana bagi anak meliputi pidana pokok dan pidana tambahan. Yang termasuk dalam pidana pokok yaitu: pidana peringatan, pidana dengan syarat (meliputi pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, dan pelayanan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara. Sedangkan pidana tambahan meliputi perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat.
Bingung ya? Bingung kan? Yaelaaah..... sama! (toss)
Tenang, saya ga akan bahas terlalu dalam soal pasal-pasal karena saya pun hanya orang awam yang ndak ngerti hukum, oke saya akan lebih concern dengan pertanyaan utama tadi, perlu ngga ya kira-kira hukum pidana bagi anak di bawah umur?
Diberi pertanyaan kaya gitu, saya mulai geleng-geleng kepala sambil pegang dagu, sambil menerawang ke atas melihat langit bertabur bintang (Iki apasih malah melankolis?). Berhari-hari saya bertapa, bertanya pada diri sendiri, kenapa eh kenapa, kok gitu sih...
Akhirnya saya sedikit mendapat pencerahan. Ada orang yang nyalain senter soalnya. Hehehe.
Menurut saya, seorang anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang melakukan kesalahan. Yang artinya, ia sendiri tidak menyadari dan tidak mengharapkan hal tersebut terjadi jika ia paham (paham ya, bukan sekedar tahu) bahwa apa yang dilakukannya adalah tindakan yang merugikan. Baik merugikan diri sendiri, orang lain, ataupun keduanya. Anak yang melakukan kesalahan baik itu kesalahan yang merugikan dirinya sendiri, atau kesalahan yang merugikan orang lain perlu dibina dan dibimbing, diarahkan agar tidak melakukan kesalahan itu lagi. Apalagi, kesalahan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Mengapa perlu dibina dan dibimbing? Dilihat dari segi psikologis, anak yang masih di bawah umur tahapan perkembangannya masih belum sempurna baik dari segi emosional, intelektual, mental, dan lain sebagainya. Mereka membutuhkan bimbingan orang yang lebih dewasa di sekitar mereka untuk mengenal dunia dan segala isinya. Toh, jikapun yang mereka lakukan termasuk tindak pidana, bukan hak orang dewasa untuk menghakimi sang anak yang bersalah tersebut. Justru sebaliknya, anak pelaku tindak pidana tersebut harus dibimbing, diarahkan ke pemahaman yang lebih baik tentang hidup. Menjadi tugas orang dewasa untuk memberikan pemahaman kepada anak tentang konsekuensi dari tindakan yang ia lakukan. Jika ia berbuat baik, maka akan memetik kebaikan pula. Jika ia berbuat buruk, maka ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal pula. Anak harus diberikan pemahaman tentang tanggungjawab. Baik itu tanggungjawab untuk diri sendiri, orang lain, ataupun Tuhan agar tercapai keselarasan hidup. Anak perlu diberi pengertian, bahwa jika mencuri itu tidak baik karena berarti mengambil hak milik orang lain tanpa izin, dan itu berarti ia tidak bertanggungjawab kepada dirinya sendiri maupun orang lain.
Menurut saya, baik sanksi tindakan maupun sanksi pidana yang dikenakan kepada anak pelaku adalah wujud pemberian efek jera. Pemberian efek jera memang perlu supaya anak tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari, supaya anak lebih memahami tentang norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan agar anak lebih bertanggungjawab. Tetapi, efek jera pun harus sesuai porsinya. Efek jera tidak boleh melupakan hak-hak anak.
Terakhir, saya hanya ingin menambahkan sedikit tentang perlindungan anak. Hak-hak anak yang disebutkan pada Pasal 3 UU SAPP, menurut saya sudah melindungi hak-hak anak.Namun, saya ingin menambahkan ada satu hak yang menurut saya sangat krusial tetapi masih luput dari perhatian, yaitu hak dijauhkan dari labelling.
Hayo, yang dulu ngaku anak IPS masih inget teori labeling pas pelajaran sosiologi kan? Yup, labeling itu pemberian cap/label atau konotasi buruk, misalnya si pemabuk, si pencuri, si pembunuh, sehingga meskipun ia tidak lagi melakukan penyimpangan tetap diberi gelar sebutan pelaku menyimpang, yang justru dari hal tersebut ia akan tetap melakukan penyimpangan karena terlalu dicap oleh masyarakat. Bayangkan jika seorang anak yang berkonflik dengan hukum telanjur dicap buruk oleh masyarakat sekitar, dikucilkan mungkin, atau bahkan tidak diterima lagi di masyarakat? Yang dikhawatirkan adalah, hal tersebut justru akan memperkuat konsep dirinya bahwa ia adalah seorang penjahat. Sudahkah terpikirkan solusi untuk ini?
Beberapa bagian nyuplik dari:
www.hukumsumberhukum.com
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang-diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak
14.09.2016
21:57
Risma Yunita
Mahasiswi pecinta es oyen.
1 note
·
View note
Text
In life, we need to have something that we do with enthusiasm, with love. And I think, each of us has something which we enjoy doing; we are willing to spend hours on, without the need of both others' recognition or agreements.
For me, it is writing. It is writing, something which I enjoy doing either I am happy or sad. It is writing, something that I love to spend my hours on, that I don't care whether others will love me or leave me for what I am doing. It is writing, which makes me back to life when I am at my lowest point and I have nobody to talks to. It is writing which makes me feel like I am not alone eventhough nobody is around. It is writing which brings me to another dimension of life. It brings me to another universe which I can't find when I am with people. It is through writing that I can understand my journey, my solitary journey in this unknown world. It is writing that I love doing. It is writing that I am willing to spend my hours on. And eventhough I am not a writer or an author, I still love writing. I don't know, what kind of love is this, but when I am writing it is because I write with enthusiasm, I write with love, I write to love (both to love myself better and other beings).
Here what I know for sure,
When you have something you doing with enthusiasm, with love (what is love?), with full of your energy, without complaining, without the need of others’ agreement, without seeking for others’ recognition, keep doing it. Keep digging it. Keep learning on it. Never stop despite the voice in your head that keeps telling you it is impossible. Never stop eventhough inside of you there is fear. Fear of failure, fear of oblivion, fear of imperfection. Do it. Keep doing it because you find it meaningful, keep doing it because when doing it, you find yourself there. You find yourself in the noise of the unknown universe. Keep doing it because you find yourself there..
0 notes
Text
Nerakanya dan Nerakaku
Pak Yusuf, guru SD saya, pernah mengajari saya dan teman-teman sekelas saya bahwa kalau kamu lewat di depan orang yang sedang solat, maka kamu akan berubah menjadi anjing budukan.
Pak Yusuf juga mengajari bahwa memberi selamat hari raya yang bukan hari raya agamamu, melawan kehendak orang tua, mempertanyakan ajaran agama, bahkan dijilat anjing, akan mengirimmu ke neraka kelak saat kau mati. Ia kemudian bercerita tentang neraka. Dimana pendosa-pendosa dibakar dengan api yang tak terbayang panasnya. Penggunjing akan ditarik keluar lidahnya sebelum dipotong dengan parang berkarat. Pelacur akan ditusuk kemaluannya dengan besi panjang yang membara hingga menembus ke kerongkongan. Dan neraka itu abadi. Tak ada mama dan papa yang bisa menebusmu keluar dari sana.
Saya tau, bahkan saat itu, bahwa pak yusuf belum pernah ke neraka. Tapi saya mempercayainya. Sebab ia guru agama, dan ia tak mungkin salah.
Di saat yang sama, pengasuh saya juga mengajari saya bahwa apabila saya menelan biji buah-buahan maka akan tumbuh pohon dari ubun-ubun saya. Dia juga mengajari bahwa apabila saya tidak menghabiskan nasi di piring saya, setiap butir nasi akan menangis. Suatu hari, tak sengaja saya menelan biji jeruk. Tak bisa tidur saya membayangkan sakitnya batang pohon jeruk tumbuh menembus tengkorak dan kulit kepala. Hari berlalu tanpa ada pohon jeruk yang tumbuh dari kepala. Tak ada suara tangis dari tong sampah yang menampung nasi yang membusuk.
Hari itu saya belajar bahwa orang dewasa yang malas memberi penjelasan kepada anak kecil tentang aksi dan konsekuensi, akan memilih untuk menakut-nakutinya dengan berbohong. Memang lebih repot menjelaskan bahwa menelan biji jeruk mungkin memang ada bahayanya, dan nasi yang sudah kau masak sebaiknya kau habiskan, sebab makanan adalah anugerah yang tidak untuk disia-siakan.
Tapi saya tetap percaya pada cerita Pak Yusuf tentang neraka. Sebab neraka jauh lebih serius dibanding nasi yang menangis. Sebab dia guru agama, dan agama itu dari Tuhan, dan Tuhan itu takkan salah. Belum terpikir saat itu bahwa agama punya banyak interpretasi, bukan hanya interpretasi pak Yusuf.
Selepas SD saya tak lagi banyak memikirkan Pak Yusuf dan ajaran-ajarannya. Perjalanan hidup saya hingga saat ini melewati berbagai gelap dan terang. Tanjakan, turunan, dan tikungan. Drama, komedi, horor, dan laga. Setiap berkah dan petaka telah dan masih mengajari saya pelajaran baru.
Salah satunya adalah pelajaran tentang manusia. Bahwa setiap manusia punya kemampuan berbuat keji dan juga baik. Tapi kita semua dilahirkan dengan kompas bernama hati nurani, agar kita tidak hilang arah. Itulah mengapa ada istilah ‘baik hati’ dan tidak ada 'jahat hati’. Tapi kita juga punya pikiran yang konon adanya di kepala. Apabila hati adalah channel vertikal kita dengan Sang Pencipta, pikiran itu umpamanya alat rekam, ruang data dan sistem proses dari semua faktor eksternal yang horizontal. Bila dibuka lebar-lebar, akan semakin banyak isinya. Tapi bila tidak dijaga oleh hati, maka ia akan mengambil alih dan menguasai semena-mena. Itulah kenapa saya percaya pada pepatah “Ikuti kata hati.” Sebab hati adalah diri kita yang sebenar-benarnya tanpa pengaruh duniawi. Sayangnya hati lebih suka berbisik, sementara pikiran berteriak, sehingga kadang hati tidak terdengar.
Semua ini berhubungan erat dengan neraka versi pak Yusuf, dan mungkin juga neraka yang diajarkan kepadamu. Mereka mengajari kita untuk berbuat baik untuk imbalan surga. Dan menjauhi pantangan agama untuk menghindari siksa neraka. Sadar tidak sadar pikiran kita menyerapnya. Bukan hati kita. Pikiran kita mulai mengkalkulasi amal, ibadah dan kebaikan sebagai investasi akhirat. Bukan sebagai perbuatan manusiawi yang didorong oleh rasa. Lama kelamaaan hati menjadi tumpul.
Kita kemudian merunut pada kitab suci untuk melihat apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Bila tak ada imbalannya, kita enggan berbuat baik. Bila tak ada hukumannya, kita tidak ragu bertindak tolol. Kita memperdebatkan salah dan benar sampai saling bunuh. Sementara itu hati kita tak terpakai. Padahal di dalamnya lah semua jawaban terdapat. Pada setiap hati manusia terdapat versinya masing-masing tentang salah dan benar, baik dan buruk. Tapi entahlah mengapa saya yakin, setiap versi akan menunjuk ke arah yang sama. Arah cinta dan respek pada sesama. Cinta sebagaimana semestinya cinta. Bukan cinta picisan yang disimbolkan dengan gambar 'hati’ valentine merah muda.
Apakah saya seseorang yang selalu bisa mengikuti kata hati? Sama sekali tidak. Saya dibesarkan di lingkungan dimana pikiran mendominasi dan perasaan jarang dibiarkan apa adanya. Saya adalah orang yang masih memikirkan pendapat orang lain dan keuntungan bagi diri sendiri apabila saya melakukan sesuatu. Seorang teman dekat saya, Kelly, bahkan pernah menyindir saya “Tika, you always feed your mind with so much nutritions, but why do i see a starving heart?” Saya masih punya perjalanan yang teramat panjang untuk jadi seorang yang seimbang.
Tapi syukurlah saya tidak lagi takut pada neraka versi Pak Yusuf. Sebab bila saya masih diteror bayangan siksa kubur, perbuatan baik saya akan didasari rasa takut, bukan ketulusan. Perbuatan buruk saya pun tidak akan berbuah pelajaran, melainkan dihantui hukuman yang menanti. Kemudian saya akan mencari jalan keluar melalui ritual-ritual cuci dosa, merasa suci kembali dan melakukan kesalahan yang sama lagi.
Syukurlah Semesta mengingatkan saya berulang-ulang kali akan aksi dan konsekuensi. Setiap perbuatan saya yang baik selalu dianugrahi perasaan tenang dan berkah yang tak disangka. Begitu pula perbuatan saya yang egois, selalu disertai konsekuensi buruk. Imbalan maupun hukuman tidak langsung diturunkan seperti petir badai. Melainkan melalui jalan-jalan yang bercabang menuju kesempatan berikutnya.
Saya tidak tau apakah surga dan neraka pak Yusuf itu nyata atau tidak. Pak Yusuf, maupun saya, maupun kalian belum pernah ada yang pergi kesana dan kembali. Siapalah saya ini untuk membantahnya? Tapi surga dan neraka yang kini saya yakini ada di sini, di hidup yang saya jalani. Andai saja hati bisa berbicara lebih lantang, dan pikiran mau berhenti ngoceh sesaat, pasti lah kita semua hidup di surga setiap hari.
28 notes
·
View notes
Text
Mengapa merayakan Hari Kartini?
“Kartini itu keren. Tapi banyak sebenernya yang sama kerennya atau lebih keren, tapi nggak dimunculkan oleh Soeharto. Jadi sebenernya gue pun mixed feelings tentang Kartini. Ya itu karena sosoknya pernah digunakan Soeharto dan direduksi jadi “only” ibu-ibu. Itulah kenapa kita merayakan Hari Kartini dengan berkebaya & berkonde. Padahal Kartini itu mengadopsi pemikiran Marxis & sosialis dengan kesetaraan gender.” -Tera
“Alasanku merayakan Kartini karena aku ingin hidup dalam dunia yang adil terhadap semua gender. Dan dari Kartini lah ide bahwa perempuan harus mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki dimulai. Jadi aku sangat berterima kasih dengan Kartini dan juga mengerti bahwa kondisi beliau saat itu sangat berat untuk melawan tatanan adat dan lingkungan yang masih menganut feodalisme yang kental. Di tengah-tengah situasi itu, Kartini telah mencoba dengan segala kemampuan yang ia bisa. Sekaligus berstrategi agar statusnya sebagai istri dalam adat Jawa tetap dapat ia jalani.
Bagiku, Kartini adalah contoh nyata bahwa perempuan dengan segala keterbatasannya bisa tetap berbuat sesuatu untuk memajukan sesamanya, lingkungannya dan tentu juga menciptakan ruang untuk dirinya berkembang.” -Dina
“Merayakan Hari Kartini adalah merayakan pemikiran-pemikirannya. Bukti bahwa nilai dan prinsip feminisme tidak hanya lahir dari dunia barat. Kartini adalah tokoh panutan bagi banyak perempuan karena kecerdasan dan pemikirannya yang kritis, bukan sekedar pahlawan bersanggul dan berkebaya.” -Shera
“Hari Kartini adalah pengingat bagi saya bahwa bangsa ini memiliki hutang sejarah yang harus dipenuhi kepada perempuan.” -Syaldi
“Her life might be short and her legacies such as her letters and school are often overlooked but theres no doubt that she’s a proper heroine worth knowing for being a champion for equality.” -Julian
“Sebetulnya ada beberapa pahlawan perempuan di Indonesia. Namun Kartini yg membuka wawasan terhadap dunia luar. Pendidikan standar Eropa yg menurut Kartini, patut diketahui oleh seluruh perempuan Indonesia.” -Nova Ruth
“RA Kartini mengingatkan kita tentang pentingnya solidaritas dan membimbing anak bangsa dari segala latar belakang agar mereka semua dapat mencapai cita-citanya. Sosok kartini telah membangun Indonesia dengan menunjukkan pentingnya kerja sama, emansipasi wanita, dan pastinya sekolah bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terima Kasih Ibu Kartini.” -Rossa
“Kartini adalah pahlawan Indonesia yang tidak boleh kita lupakan. Dia berjuang untuk perempuan selama kehidupannya, dan dampaknya masih terasa sampai hari ini.” -Kate
2 notes
·
View notes
Quote
Lucu juga kalau mengingat kadang-kadang sangat mengkhawatirkan sesuatu dan ternyata tak ada yang perlu dikhawatirkan
(via tanpagula)
5 notes
·
View notes
Text
7:55 am
Why does society tend to ignore failures/mistakes?
We live in a world where mistakes are unacceptable, intolerable.
Even when we were still a child, our parents tend to protect us from making mistakes. As if mistakes are unforgivable things in the world.
Children get punished because of their mistakes. I remember when I was a child, I have a friend who was learning to read. His Dad taught him to. One day, he was asked to read some familiar words through his book. Instead of spelling “mandi“ (take a bath in English), he misspelled “madin“. His Dad reprimanded him because of his stupidity. His Dad scolded him.
Was he wrong for making mistakes when he was still learning to read?
Was he stupid because he couldn’t spell the word correctly?
Of course not.
He was not stupid because he misspelled mandi with madin.
He was not stupid because he has tried to read.
He was not stupid because of making mistakes along his learning process.
Stupid person is someone who chooses to stop learning because of mistakes. Either the mistakes she/he has made in the past or their fear of making mistakes.
1 note
·
View note
Quote
The most important thing we learn at school is the fact that the most important things can’t be learned at school.
Haruki Murakami (via quotemadness)
I agree. This is why I don’t go to school just to catch after the highest grade. Perfect GPA doesn’t appeal to me. I don’t believe that the higher the grade I have achieved, the better person I become. I don’t find myself there. I am not good at school, I am an average person who is so reckless when it comes to study in class. But, I believe in myself that I am not a bad person despite my recklessness. I learn better through my surroundings, through people around me, through reality. I learn better from those whose eyes reflect sadness, fear, regret, and dissapointment, and how badly they need a hand to hold onto.
4K notes
·
View notes
Quote
It is so rare in this world to meet a trustworthy person who truly wants to help you, and finding such a person can make you feel warm and safe, even if you are in the middle of a windy valley high up in the mountains.
Lemony Snicket (via quotemadness)
7K notes
·
View notes
Text
Separation.
Two things are merged
Then they diverge
Two things are bound
Then they are separated
Separation
Like a butterfly and the flower
It suck its nectar
Then it leaves
Separation.
3 notes
·
View notes
Quote
You simply be yourself. You just sit there, do your own things, occupied with your own world. Sometimes, you see me being busy with my things, and you still don't care about that. Not that kind of "I don't care about you", on the contrary, it is because you care so much about me that you give me space to truly express myself, to let myself get overwhelmed in my fantasy world. You never try to change me. You know my weakness more than my strength, but you never try to change me. Instead, you let me be myself, you give me freedom instead of boundaries. Thank you. I like being by your side. You might not understand, maybe?, that your existence matters a lot to me.
1 note
·
View note
Quote
"And when I felt like no one, absolutely no one, was capable of understanding what was going on inside me—not a shaman, not a psychoanalyst, not even my husband—you materialized to explain it to me. . . It’s loneliness. Even though I’m surrounded by loved ones who care about me and want only the best, it’s possible they try to help only because they feel the same thing—loneliness—and why, in a gesture of solidarity, you’ll find the phrase “I am useful, even if alone” carved in stone. Though the brain says all is well, the soul is lost, confused, doesn’t know why life is being unfair to it. But we still wake up in the morning and take care of our children, our husband, our lover, our boss, our employees, our students, those dozens of people who make an ordinary day come to life. And we often have a smile on our face and a word of encouragement, because no one can explain their loneliness to others, especially when we are always in good company. But this loneliness exists and eats away at the best parts of us because we must use all our energy to appear happy, even though we will never be able to deceive ourselves. But we insist, every morning, on showing only the rose that blooms, and keep the thorny stem that hurts us and makes us bleed hidden within. Even knowing that everyone, at some points, has felt completely and utterly alone, it is humiliating to say,”I’m lonely, I need company. I need to kill this monster that everyone thinks is as imaginary as a fairy-tale dragon, but isn’t.” But it isn’t. I wait for a pure and virtuous knight, in all his glory, to come defeat it and push it into the abyss for good, but that knight never comes. Yet we cannot lose hope. We start doing things we don’t usually do, daring to go beyond what is fair and necessary. The thorns inside us will grow larger and more overwhelming, yet we cannot give up halfway. Everyone is looking to see the final outcome, as though life were a huge game of chess. We pretend it doesn’t matter whether we win or lose, the important thing is to compete. We root for our true feelings to stay opaque and hidden, but then . . . . . . instead of looking for companionship, we isolate ourselves even more in order to lick our wound in silence. Or we go out for dinner or lunch with people who have nothing to do with our lives and spend the whole time talking about things that are of no importance. We even manage to distract ourselves for a while with drink and celebration, but the dragon lives on until the people who are close to us see that something is wrong and begin to blame themselves for not making us happy. They ask what the problem is. We say that everything is fine, but it’s not. . ."
Paulo Coelho “Adultery”
2 notes
·
View notes