sebuah tempat yang menenangkan untuk mengingatkan terkait pemaknaan perjalanan kehidupan yang berlalu
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Adulting
People Come. People Go. People Change. People Grow.
Aku baru menyadari ternyata sulit menjabarkan definisi operasional dari kata dewasa. Padahal sudah nggak terhitung seberapa banyak aku mengglorifikasi dewasa dalam tulisan-tulisanku. Aku kira definisi dewasa sudah begitu jelas sampai aku nggak perlu menjelaskannya lagi, tapi sesimpel ditanya definisi dewasa itu apa malah membuat aku merenung lama karena nggak menemukan penjabaran yang pas.
Dengan segala kehidupan rapat-rapat panjang, pertemuan-pertemuan singkat, banyak canda tawa, sampai sedikit air mata yang terjadi hari ini, nggak menyangka akan membuatku tergerak untuk meluapkan segala perasaanku jadi tulisan di sini. Sepanjang perjalanan dari RK ke Timah jadi momen merenung atas segala kehidupan yang terjadi. Memang benar terlalu mahal harga yang dibayar atas rasa syukur bila itu hanya tentang membandingkan dengan diri orang lain.
Aku menyadari diriku saat ini banyak sekali perubahan dan pertumbuhannya. Teman-teman sekolahku apalagi Tiara pasti nggak percaya bila saat ini aku dikenal dengan karakterku yang terstruktur—berangkat dari karakter si impulsif mentok ini. Bahkan saat kehidupan dakwah waktu itu goal hidupku yang menjadi ahlul follow up rasanya terlalu mewah untuk diri seonggok kentang ini.
Aku tau diriku banyak dibentuk oleh orang-orang yang kutemui. Semua kakak yang berjasa membantuku menghadapi segala halang rintang, mendengar keluh-kesahku, memberikan segala nasihat kehidupan itu kukenang selalu dalam tiap capaian milestone hidupku. Nggak akan ada di sini tanpa mereka, dan izin Allah tentunya.
Tapi hari ini justru aku baru menyadari bahwa ternyata aku melupakan jasa abang-abang yang ternyata juga banyak membantuku dalam membentuk pola pikirku hingga menjadi terstruktur seperti saat ini. Orang-orang yang nggak kuingat karena memang tidak akrab secara personal dan berinteraksi sebatas kebutuhan saja. Setelah kupikir-pikir lagi banyak pemikiran, pertimbangan, dan pengambilan keputusan yang aku contoh dari mereka juga.
Aku jadi paham soal menggebu-gebunya jiwa muda. Aku menyadari setahun terakhir rasanya aku penuh amarah dalam menghadapi hal yang terjadi tidak sesuai harapan. Aku banyak khawatir, banyak menangis, banyak frustasi. Bahkan aku merasa sendiri dan sepi. Padahal aku benar-benar tau merasa hanya berjuang sendirian itu sebuah pemikiran yang harus dibuang jauh-jauh. Tidak dicintai dan merasa tidak dicintai kan dua hal yang berbeda.
Ketenangan itu bersumber dari keyakinan—ini yang selalu sama. Dalam satu bulan terakhir aku sedang memperbaiki keyakinanku. Baik keyakinan dalam mengambil keputusan maupun keyakinan dalam mengupayakannya. Keyakinan itu adanya di pikiran, sedangkan ketenangan itu adanya di jiwa.
Ternyata aku sudah mengantuk. Itu dulu luapan perasaan hari ini. Semoga aku bisa sering menulis lagi.
1 note
·
View note
Text
Tentang November
Highlight November ini berputar di ranah pengeluaran. Kejadian tak terduga datang beruntun hingga aku pun rasanya diburu walau aku menjalaninya penuh kesadaran dan ketenangan. Sedih dan senang datang dalam satu paket dengan sabar dan syukur tentunya.
Kematian gawai kesayanganku tentu saja membuat kaget tapi nggak terlalu kaget untukku. Saat dia tiba-tiba layarnya menyala darderdor aku langsung menyadari bahwa aku harus mengikhlaskannya. Sejak sebelumnya aku juga tau konsekuensiku nggak melakukan servis seharga gawai baru memang tinggal perkara waktu. Tapi aku nggak menyangka keesokan harinya aku harus mengikhlaskan juga ban belakang motorku yang pecah beserta helmnya yang menyusul beberapa jam setelahnya. Juga tiket kereta pulang-pergi dari Jakarta ke Surabaya dengan agenda coblosan itu. Menyala pengeluaranku.
Tapi justru aku nggak khawatir soal rezeki karena Allah Maha Kaya. Prinsip dan keyakinanku masih sama bahwa uang bisa dicari karena rezeki datangnya dari Allah. Dan begitulah takdirnya, rezeki itu datangnya dari arah yang nggak disangka-sangka. Aku nggak mau mendahului takdir, tapi aku juga nggak mau menutup mata atas segala nikmat yang Allah kasih. Alhamdulillah ala kulli hal.
Dari segala hiruk pikuk yang terjadi, aku justru merasa aneh dengan diriku dan segala perasaannya. Ada beberapa orang yang rasanya tiba-tiba aku merasa jauh. Bahkan aku nggak ingat kapan aku memperhatikan dengan benar. Tapi sepertinya memang aku yang mengambil jarak aman antar manusia. Aman dari marabahaya apa memangnya? Jangan tanya karena aku juga nggak tau.
November ini punya banyak cerita. Sudah, dan akan, seperti yang sudah-sudah. Bahkan sejak di Smala, 3 bulan penutup tahun selalu jadi bulan-bulan yang menyimpan banyak cerita pertumbuhan eksponensial.
Semoga selalu yang baik-baik. Tentu saja kalau bisa diminimalisir proses nangis-nangisnya.
0 notes
Text
Word of Affirmation
Rewatch Hosplay yang kesekian kalinya nggak membuat air mataku berhenti tiap disuguhkan dengan kehangatannya. Aku benar-benar selalu tersentuh ketika segala huru-hara kehidupan datang dan di tiap ujung perasaan lelahnya ada yang menyemangati dan mengapresiasi. Air mataku selalu jatuh dalam dialog kecil seperti saat perawat yang menyemangati Dokter Heo Sun-bin setelah dia merasa bersalah karena membentak dokter madyanya saat melakukan penanganan pada pasien, padahal dia yang benar. Divalidasi dengan bilang, "keputusanmu tepat, aku di pihakmu," benar-benar menghangatkan hati. Aku sangat relate dengan betapa sulitnya untuk membuat sebuah keputusan dari pilihan-pilihan yang sulit tapi mau nggak mau harus kita ambil betapa sulitnya itu. Ada kalanya kita harus mengambil keputusan sulit di saat ini untuk memudahkan kehidupan di masa yang akan datang. Dan kadang, nggak semua orang bisa melihat kemungkinan kesulitan di masa depan yang akan datang dari pilihan-pilihan keputusan yang bisa diambil saat ini. Sehingga sebagian orang mengambil keputusan menimbang dari pilihan mana yang lebih mudah dilakukan saat ini, bukan dampak dari semua pilihannya.
Juga momen saat Dokter Jae-min IGD merasa kecewa saat apresiasi banyak dilambungkan pada profesor spesialis yang berhasil melaksanakan operasi. Padahal dokter IGD juga bersusah payah menyelamatkan pasien pada masa krisis pertamanya yang mana akhirnya pasien bisa melakukan operasi. Aku sangat salut dengan Dokter Bong Gwang-hyun yang menasihati dokter madyanya dengan bilang, "toh semua diuntungkan ketika pasien selamat, apa pentingnya siapa yang berjasa?" Dia merasa cukup dan bangga saat pasien selamat. Dokter nggak menyelamatkan pasien untuk pujian. Selama sudah mengusahakan yang terbaik itu artinya sudah menjalankan tanggung jawab dengan baik. Tapi, dia tetap bilang ke Dokter Jae-min, "kalau kamu masih merasa mengganjal, aku tau kok kerjamu bagus."
Aku sangat paham tentang bait di idealisme kami soal kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia, tidak mengharap harta benda, atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekadar ucapan terima kasih. Tapi sebagai manusia, hatiku jadi lega dan bahagia ketika mendapatkan validasi. Bukan highlight validasi seperti ditepuk-tangani atau penekanan soal apa yang sudah kulakukan. Sekadar ucapan seperti angin lalu tapi dari hati itu yang benar-benar menghangatkan.
Sehingga aku jadi ingin selalu penuh cinta supaya bisa menyampaikan hal-hal baik pada orang-orang di sekitarku. Walau aku kadang penuh amarah, tidak peka, dan mengutarakan perasaan bukan hal yang mudah buatku, tapi akan selalu diusahakan. Semoga bisa, semoga mampu.
0 notes
Text
Alergi Dingin
aku kayaknya alergi dingin,
cuek,
dan dry text.
0 notes
Text
Hustle Lyfe
Agustus benar-benar darderdor tanpa henti menyerang kehidupanku. Dari satu kegiatan besar ke kegiatan besar berikutnya. Sampai-sampai aku di titik mau mati karena merasa nggak sanggup. Tapi, perkara kesanggupan bukan hak kita untuk menentukannya. Allah kan memang sudah kasih jatahnya sesuai kesanggupan masing-masing. Makanya aku memilih lari daripada ingin mati.
Di tengah-tengah momen pe-"lari"-anku itu, ada satu momen di mana aku menangis setelah lari. Kukira segala residu emosiku jadi reda setelah lari, ternyata dia masih bisa tumpah ruah di taman firdaus. Aku capek. Benar-benar capek.
Kehidupan di titik itu terasa sangat berat. Lebih-lebih dari yang sudah-sudah. Aku merasa sangat terbebani dengan beratnya amanah di pundak. Sampai-sampai rasanya lari jadi satu-satunya solusi supaya aku nggak beneran lari dari kenyataan. Waktu itu aku berpikir apakah ini saatnya aku menyelesaikan petualangan seru dan mendebarkan yang selama ini aku agung-agungkan itu? Aku benar-benar ingin pulang.
Dan berlalulah Agustus dengan segala huru-haranya. Tanggal 31 Agustus jam 4 sebelum subuh tiba-tiba aku harus mengantar seorang adik ke UGD di Kuala Lumpur karena sakit gigi tak tertahankan. Berat sekali jadi seorang penanggung jawab. Aku takut tapi aku nggak boleh takut. Tentu saja aku harus bertanggung jawab, dan aku bertanggung jawab. Alhamdulillah ala kulli hal, itu sudah terlalui. Satu dari sekian banyak drama kehidupan yang terjadi. Pergi ke Rumah Sakit di Luar Negeri itu menyeramkan, tau. Apresiasi untuk diriku, keren banget sudah berani dan melaluinya.
Setelah sampai di penginapan aku telfon mama. Udah mau nangis tapi aku cerita dulu segala huru-hara dan bilang jadi akan pulang. Qadarullah visaku tertolak untuk ke Jepang jadi aku bisa pulang ke Surabaya. Setelah telfon, aku nangis sejadi-jadinya di balkon waktu itu.
Hari terakhir, hampir selesai. Setelah ini terlewati semuanya. Rasa lelahku mulai terlihat ujungnya. Sejujurnya aku senang pulang ke Surabaya. Karena buatku, Jepang nggak pernah kuniatkan sebagai liburan yang sambil menyelam minum air. Dari awal segala huru-hara ini, kalau bisa dari awal aku nggak ikut aku nggak mau ikut. Haha. Kalau bisa aku nggak handle acara ini ya aku nggak mau handle. Capek banget banget banget. Makanya kalau ada orang yang nanya atau ngobrol soal keseruannya, selalu kujawab satu paket sama kepusingannya. Sejujurnya, aku sih banyakan pusingnya daripada serunya. Semoga yang lain masih merasa banyak serunya dibanding pusingnya. Dan semoga nggak terlalu pusing dan tentunya nggak terlalu sedih dengan ketidakhadiranku.
Tapi bener, aku juga banyak belajar. Poin utamanya soal manajemen perasaan, manajemen ekspektasi, pengambilan keputusan sulit, juga keberanian. Aku sering merasa sendirian padahal aku punya orang yang harusnya bisa aku andalkan. Aku khawatir soal delegasi tugas karena aku merasa nggak cukup bagus dalam hal itu. Tapi tekanan yang ada sudah begitu terlihat hilalnya dan nggak ada pilihan lain selain maju ke depan.
Setelah ini, ayo kita atur lagi hidup ini pelan-pelan dan lebih tertata. Kita buat mimpi-mimpi baru sekaligus cara merealisasikannya. Dewasa berat, tapi lebih berat kalau nggak kita sikapi dengan dewasa.
1 note
·
View note
Text
Memaknai Keputusanmu di Antara Pilihan
Orang lain hanya akan melihat keputusan yang kamu ambil, mereka tidak akan pernah melihat pilihan-pilihan yang kamu miliki.
Sehingga, ketika kita hanya dinilai dari keputusan kita, jangan berkecil hati. Sejatinya mereka tidak pernah tahu struggling-nya kita terhadap pilihan-pilihan yang ada saat itu. Dan keputusan kita saat itu adalah keputusan terbaik dari semua pilihan yang kita miliki.
Mari kita lihat dengan hati yang lebih lapang pada setiap pilihan yang kita miliki. Sebab, dalam hidup ini kita tidak perlu menjelaskan kepada semua orang tentang pilihan yang kita ambil.
Meski dinilai tidak menguntungkan, memilih yang tak pasti, memilih yang sulit, memilih yang nggak ada uangnya, dsb.
Selama kamu yakin sama pilihanmu dan mau sama risikonya. Ambil dan jalanilah, kemudian tutup telinga.
Pada akhirnya, kita perlu percaya kepada Allah bahwa keputusan yang kita ambil lahir dari ilham yang diberikan-Nya. Ada hal-hal yang tidak kita tahu soal masa depan, rasanya mungkin khawatir dan menakutkan. Tapi percayalah, jarak antara kita dengan banyak kebaikan di depan, kadang hanya di masalah keberanian buat mengambil keputusan. (c)kurniawangunadi
564 notes
·
View notes
Text
Bukan Soal Sekraf
Sejauh ini, aku masih paling suka dengan konsep Smala yang membuat pengandaian bahwa scraf adalah sebuah amanah. Lokasinya yang pas disematkan di pundak dengan segala warna warni yang menjelaskan akan statusnya. Sangat cocok jadi pengandaian beban berat amanah yang ada di pundak.
Aku masih ingat tulisan Sanifa sepuluh tahun lalu cerita soal jampi-jampi subuh yang mampu meluruhkan kesombongan. Sebuah momen penanaman nilai bahwa amanah itu berat, terasa segala tanggung jawabnya ada di pundak kita, dan dilantangkan saat matahari terbit dengan penuh keyakinan untuk siap mengembannya, pastinya diiringi tangis dalam tiap pelafalannya. Sukses meluruhkan kesombongan. Karena pada momen itu kita disadarkan bahwa dengan besarnya amanah yang ada dan akan datang ke pundak kita, diri ini bukanlah siapa-siapa melainkan seorang hamba. Diri ini nggak akan mampu untuk mengemban amanah yang begitu besar, kecuali atas izin Allah.
Akhir-akhir ini aku memikirkan kenapa hidup ini terasa berat. Padahal sebelumnya kita sudah melalui yang berat-berat juga. Sebelumnya, kita sudah pernah melalui yang lebih berat bahkan. Tapi, kenapa Allah tetep kasih kehidupan yang berat? Ada-ada aja kehidupan.
Tapi ternyata kehidupan orang lain juga sama beratnya. Common Humanity, kalo kata Self-Compassion. Beruntungnya pada momen-momen berat selalu Allah hadirkan pengingat-pengingat lewat jalan yang nggak disangka-sangka. Ngobrol sama Kak Rafa malamnya emang jadi momen yang tepat menceritakan segala hal yang terjadi ini--khususnya soal perasaan. Seperti yang sudah-sudah juga bahkan sampai bisa disimpulkan oleh Tisa, aku memang sulit mengungkapkan perasaanku ke orang lain. Hanya orang-orang yang benar-benar kurasa bisa mendengar ceritaku yang akan kuceritakan terkhusus soal perasaanku, nggak cuma hal-hal yang aku lewati. Anaknya memang agak judgmental. Gapapa karena hidup kita sepertinya kita sendiri yang harus paling mengerti keputusan yang kita ambil.
Hidup ini berat. Butuh banyak keputusan. Butuh banyak pertimbangan. Apa sih yang dikejar?
1 note
·
View note
Text
Wraping Up My 25th Era
Aku baru pulang sehabis dari margo. Hujan. Iya, dingin, perih, sepi. Kak Is sama Gar lagi pulang. Cuma aku yang nggak pulang.
Qadarullah, tanggal 1 kemarin malamnya aku meriang hebat. Sampai semua obat aku jembreng di kasur karena nggak ketemu obat panasnya. Setelahnya, aku berkemul sampai pagi. Tiba-tiba ada ketukan pintu dan semua aku dirayakan.
Siangnya aku nangis sambil jemur baju. Entah kenapa, tiba-tiba dia mengalir begitu aja. Aku tiba-tiba merasa kesepian karena sendirian, tapi di sisi lain aku sangat sadar banyak cinta yang kudapatkan dari orang-orang di sekitarku.
Semakin dewasa aku jadi semakin menyadari bahwa aku ini pemarah. Aku gampang kesal melihat kerjaan orang yang nggak beres. Aku baru benar-benar menyadarinya kemarin. Kayak, kalau nggak beres mending aku yang handle aja. Padahal itu hal yang sepele. Tapi, justru karena hal yang sepele harusnya aku nggak perlu merasa kesal. Dewasa ini, aku jadi langsung tau solusi dari masalah itu apa--nggak ribut lempar-lemparan dan salah-salahan--dan kukerjakan supaya tidak ada tumpah darah yang terjadi. Cuma aku yang ternyata berdarah dan babak belur. Haha.
Aku tau sepertinya ini ujianku di masa ini. Ujian kesabaran dan kesyukuran. Satu paket, tidak dijual terpisah. Aku jadi sadar kenapa orang dewasa kadang suka marah-marah. Karena aku tiba-tiba juga jadi begitu. Nggak bisa dinormalisasi, sih.
Intinya, perasaan orang lain adalah tanggung jawab orang lain. Tanggung jawab orang lain adalah tanggung jawab orang lain. Kamu nggak perlu merasa bertanggung jawab. Dan kamu nggak perlu marah-marah!
0 notes
Text
What Ifs
Beberapa hal yang terjadi di kehidupanku belakangan selalu membawa tema tertentu dalam sebuah fase perjalanan hidup yang bisa diambil hikmahnya. Beberapa bulan belakangan membuatku banyak belajar soal bagaimana cara orang bekerja.
Nggak ada yang salah dan benar karena perintahnya hanyalah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu." Nggak ada ayatnya yang bilang bekerjalah kamu hanya di kerjaan yang kamu mampu. Nggak ada juga hadist yang bilang bekerjalah kamu dengan added value dan performa terbaik. Nggak ada juga aturan yang bilang bekerja lemburlah kamu sampai sabtu minggu.
Kemarin Raniah sempet tanya soal keuangan dan kehidupan duniawi. Aku nggak menyangka juga sampai di titik membuka konsultasi keuanganku yang baru setahun menabung dan mengatur cash flow ini.

Jadi, setelah dipikir-pikir, aku juga sering bertanya-tanya kenapa ya aku mau (dan dengan senang hati) mengerjakan kerjaan yang yaa emang dari awal nggak ada di jobdesk dan baru dibutuhin tapi itu di bayanganku itu akan membantu kerjaan kita di masa depan (bisa jadi bahkan bukan kerjaan diri sendiri tapi orang lain). Belum lagi kerjaan-kerjaan lain yang dibutuhkan segera (bukan soal sistem untuk masa depan), entah itu marketing, assign SDM, review MoU, workflow, dan kerjaan-kerjaan yang bukan expertise ku. Tapi karena entah dorongan untuk belajar ini dari mana datangnya, bikin tetep diusahakan aja walau aku juga masih kentang.
Jadi kalau ada pressure yang kadang kupersepsikan mempertanyakan kemampuanku, seringnya bisa melemahkan keyakinanku. Kayak, gue juga gabisaaaa cuuuyy makanya ayo bantuin. Tapi aku kan sudah cukup dewasa untuk memutuskan mencari solusi atau mau main lempar-lemparan aja.
Kadang aku jadi takut kehilangan diriku sendiri dan terbawa arus. Aku juga capek. Haha. Tapi aku nggak mau kehilangan keyakinan. Aku juga nggak suka misuh-misuh dengan serius ke orang lain karena balik lagi aku malah akan mengerjakannya dengan perasaan yang berat padahal tujuanku selalu seru dan mendebarkan. Tiap orang punya caranya masing-masing. Sambat tapi tetep dikerjain adalah bentuk profesionalitas, aku setuju. Tapi kalau bisa dikerjakan dengan sepenuh hati, aku pasti pilih yang itu.
Cukup sekian sesi sambat yang sangat gamblang ini. Aku berharap dengan tulisan ini kamu ingat bahwa kamu pernah di fase menghadapi lagi trauma yang muncul tapi dari orang-orang yang berbeda. Memang ujian itu datangnya kalau nggak dari orang yang kita sayang ya datangnya dari diri sendiri.
Dan tervalidasi, bahwa keyakinan pun banyak turunannya. Yang pertama jelas keyakinan sama Allah. Tapi perkara keyakinan sama Allah itu perlu diturunkan jadi strategi dan action plan dan keyakinan menjalankannya. Cemas dan khawatir adalah teman setan. Semoga kamu selalu punya keyakinan dan selalu bisa menguatkan keyakinanmu saat imanmu naik-turun.
1 note
·
View note
Text
I Think I Deserve to Cry
Sejujurnya, aku nggak pernah marah ketika banyak huru-hara kehidupan yang datangnya bertubi-tubi tanpa aba-aba. Justru, momen ini aku ada di puncak "seru dan mendebarkan" yang kuagungkan itu, walau capek setengah mati dan jadi sering bersuara keras untuk menyalurkan emosi besarku. Selebihnya, aku banyak ketawa-tawa karena hampir gila tapi aku nggak pernah memaki.
Di sisi lain, aku tau aku banyak kurangnya. Menyebalkan karena satu kalimat saja bisa membuka keran air mata. Queen itu selalu ada, cuma bedanya sekarang aku lebih dewasa menanggapi segala celotehannya dan menemaninya sampai dia tidur kembali.
Chat panjang Vandri di grup jujur membuatku terharu sampai ingin menangis. How nice it is to have someone that has your back. Sebuah definisiku soal Dream Team. Mungkin itu juga jadi alasan kenapa waktu itu asabiqunal awalun nggak mempermasalahkan kerjaan yang bukan core-nya, bukan keahliannya, bukan jobdesk-nya, tapi tetep dikerjain. We have each other's back. Beda lagi soal dependable person--akan ditulis di waktu yang lain dengan Kak Zahra sebagai tokoh utamanya.
Kadang kita emang nggak pernah tau kapan kita bisa naik level. Goa-ku seringnya masih sama dengan kedalaman dan kegelapan yang bervariasi. Kentang dan segala ceritanya yang dihasilkan dari bisikan Queen. Walau aku juga kadang sok sombong ke Ghina soal pertumbuhan perkentangan ini, pada dasarnya manusia memang makhluk lemah. Nggak bisa mengandalkan siapapun selain Penciptanya.
Tapi lemah dan melemah itu kan berbeda. Kadang ujian kita muncul dari antah berantah, kadang dari orang lain, seringnya dari diri sendiri.
Dan bagiku, semuanya nggak pernah tentang menang-kalah, untung-rugi, ataupun nyaman-gelisah. Bertumbuh, itu yang mahal.
Ditulis supaya jadi pengingat kalau kamu bisa nggak tenggelam dan mendekam dalam goa seperti yang sudah-sudah saat dihantam ombak kehidupan.
0 notes
Text
Keyakinanmu bukan Keyakinanku
Perasaanmu adalah tanggung jawabmu. Dan aku nggak perlu merasa bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Harusnya aku nggak merasa kecil dan jadi tidak percaya diri.
Agaknya lucu karena ternyata kejadian "traumatik" 5 tahun lalu masih ada jejaknya di masa sekarang. Aku kira kita bisa belajar dan bertumbuh dari kejadian itu aja tanpa perlu mengingat-ingat sakitnya. Ternyata, itu masih jadi titik lemahku.
"Bersamamu kita akan jalani semua, jangan takut untuk melangkah bersamaku," rasanya ingin ku ulang-ulang selalu untuk mengungkapkan perasaanku. Karena dibandingkan dengan orang lain, entah kenapa aku jadi mengerdil dan haus validasi. Padahal, kapasitas dan kapabilitasku kan nggak ditentukan sama performa orang lain.
Aku tau aku hanya perlu jadi katak tuli dan melakukan yang terbaik seperti biasa. Tapi, agaknya memang lebih dewasa bila aku mengakui perasaan yang mengganggu ini dan menerimanya. Aku juga masih perlu belajar dan akan terus berbenah untuk jadi lebih baik dan lebih bisa diandalkan. Kayaknya, kedepannya bila perasaan ini masih menganggu, aku juga nggak boleh minta maaf karena apa salahku kalau orang lain memang begitu bersinar? Yang salah kalau aku jadi merasa kecil dan nggak berusaha, kan?
Belajar dari kejadian sebelumnya, aku nggak akan berusaha mati-matian untuk membuat orang lain yakin kemana arah kapal ini akan melaju. Mari sama-sama menjadi dewasa dengan bertanggung jawab atas perasaan masing-masing. Tinggal kita jalani saja dengan sadar dan bertanggung jawab atas peran yang harusnya kita ambil.
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ٣
Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu. (Q.S. 93:3)

1 note
·
View note
Text
Orang-orang Lemah
Aku tau kayaknya hatiku penuh atas segala emosi yang ada di dalamnya. Aku juga tau kalau pulang memang jadi jawaban yang rasanya paling tepat. Aku tau.
Tapi aku nggak tau ternyata chat dari Mbak Lusi bisa membuatku tersedu-sedu saking terharunya. Memang benar orang word of affirmation itu orang-orang yang lemah. Dikasih kata-kata aja udah baper. Cuma aku nggak menyangka aku selemah ini. Huh, menyedihkan.
0 notes
Text
Puncak
Terkadang aku nggak tau apa yang terjadi dalam hidupku karena rasanya dia berjalan begitu cepat. Bisa jadi hawa kota Jakarta yang serba cepat yang membuat otakku jadi rumit karena terlalu cepat memikirkan banyak hal. Apa sih yang dikejar?
Hari ini aku rapat lagi bersama Kak Zahra. Menata ulang kehidupan yang berantakan, salah satunya. Dalam segala dinamika proses kehidupan Busdev yang kita jalani bersama, kita sama-sama sadar kita banyak bertumbuh. Dan hal yang paling menyenangkan dari bertumbuh adalah memiliki orang lain yang sama-sama bertumbuh. Melihat orang bertumbuh itu sangat membahagiakan.
Proses pertumbuhan biasanya disertai ketidaknyamanan. Karena dia membuat kita mengeluarkan segala daya upaya untuk bertransformasi, bertumbuh. Kami kebetulan ditakdirkan melalui proses yang sama. Dan beginilah hasil pertumbuhannya. Lucunya, aku suka bertanya-tanya ketika melihat orang lain di kondisi yang sama, kenapa nggak berusaha bertumbuh juga dengan usaha yang sama?
Aku sadar pasti nggak benar-benar 100% sama, tapi 11-12 lah. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kita harusnya nggak menilai performa orang lain dari performa kita. Jangan menilai saya berdasarkan perilaku orang lain, kalo kata Abah. Titik awal tiap orang itu berbeda, wadah tiap orang untuk bertumbuh juga berbeda, pengali orang untuk bertumbuh juga berbeda.
"Dari segala hal yang udah kulewati aku jadi sadar kalau ternyata kita bukan anak kecil lagi."
Tanggung jawab. Keputusan. Konsekuensi. Makanan sehari-hari.
Aku bersyukur sudah futsal hari ini. Dadaku nggak sepenuh kemarin. Tapi kepalaku jadi makin sakit. Mari kita tidur.
0 notes
Text
Cinta
Aku habis nonton film Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Sedikit spoiler.
Dari filmnya, aku jadi makin tau jatuh cinta itu nggak kayak di film-film. Mungkin karena makin dewasa, kita makin tau mana porsinya perasaan mana porsinya logika. Aku ini nggak anti-cinta. Aku juga ngerasain geli di ujung jemari kaki dan kupu-kupu aneh di perut kalo lagi jatuh cinta. Kayak cerita-cerita cinta manis anak remaja.
Tapi, mengutip kalimat di film, "romansa itu adanya di kepala kita aja." Surpraisingly, bener. Kita selalu bisa meromantisasi kejadian yang sebetulnya biasa aja pas der kejadiannya. Kemampuan meromantisasi ini sih yang menurutku bisa jadi cara untuk memupuk cinta. Maksudnya balik lagi, romansa itu adanya di kepala kita aja. Tergantung persepsi kita melihat sesuatu. Mungkin karena itu akhirnya teori love language itu berlaku.
Contoh. Orang yang love languagenya seneng dapet act of service, bisa baper cuma perkara diturunin injekan kaki penumpang pas boncengan naik motor. Padahal buat yg nurunin injekannya itu ya gitu doang. Biasa aja. Tapi jadi baper karena di kepalanya, nurunin injekan motor itu bentuk perhatian yang romantis banget.
Intinya, aku makin yakin kalau cinta itu kata kerja. Bukti kita cinta itu dengan melakukan sesuatu. Sejungkir balik apapun kita mencintai seseorang, belum tentu dia akan merasa dicintai kalau dia nggak mempersepsikan segala rupa bentuk cinta yang udah kita kasih adalah cinta. Dan begitu pula sebaliknya. Hal biasa yang dilakukan orang lain tanpa maksud apapun, bisa kita maknai sebagai bentuk cinta kalau kita mempersepsikannya begitu. Semua adanya di otak kita aja.
Makanya, menurutku soal cinta itu nggak selalu akan resiprokal. Mencintai itu beda bab dengan merasa dicintai. Banyak juga cerita-cerita orang yang punya hubungan sehat dengan pasangan halalnya yang masih sering tanya, "kamu sayang nggak sama aku?" Bukan berarti pasangannya nggak cinta, bisa jadi karena orang ini nggak merasa dicintai dengan cara yang diinginkan. Terus kalo dijawab, "sayang kok," bakal ditanggepin, "nggak keliatan tuh." Haha. Cintoh kasusnya ini ditemukan dari video-video yang berseliweran di tiktok.
Kesimpulannya, cinta itu kata kerja. Jatuh cinta itu dipersepsikan oleh otak kita yang akhirnya bisa memacu segala reaksi dalam tubuh kita. Makanya mungkin itu kenapa akhirnya di kajian cinta-cintaan, perempuan banyak diminta membentengi hatinya (dulu aku kesel karena kajiannya banyakan tema untuk perempuan, kenapa yang laki-laki ga ada kajian buat ga caper gitu). Soalnya, jatuh cinta itu gampang kalau kita udah "bukain pintunya". Terus muncul lah cabang-cabang pemikiran, "kayaknya dia kok baik banget ya," "apa aku suka sama dia ya?" "kayaknya dia suka deh sama aku," "kayaknya kita sefrekuensi sih," "nyambung banget ya kalo ngobrol sama dia," dan sebagainya dan sebagainya dan dor begitulah celah-celah terbuka untuk setan masuk.
Hahahaha. Kayaknya, aku emang ekstrem kanan kalo soal ini. Perkara interaksi yang akhirnya muncul nggak berdasarkan kebutuhan. Sotoy banget anak orang ini ngomongin soal cinta. Padahal degdegan dan kepikiran juga kalo emang lagi dikasih ujian jatuh cinta.
Semoga aku nggak berstandar ganda soal interaksi dan jatuh cinta ini. Dan semoga Allah selalu melindungi orang-orang yang lemah karena jatuh cinta.
2 notes
·
View notes
Text
Naik Turun
Senangnya dengan adanya tumblr yang archieve-nya bisa di-scroll adalah flashback kejadian masa lalu yang udah tersimpan ini. Selalu merasa bersyukur dengan diriku di masa lalu yang melakukan hal-hal yang membantuku di masa sekarang. Kayak, alhamdulillah banget dulu aku kepikiran itu jadinya sekarang nggak sesulit itu karena udah ada awalannya.
Aku sedang berpikir lagi pertanyaan yang dulu sering aku lontarkan. Kenapa ya orang tuh bisa berubah jadi lebih buruk? Kenapa nggak terus baik aja gitu? Kayak, kasian gak sih kalo terus jadi buruk dan berakhir buruk? Terus kalo udah nggak ada hal baik lagi dalam dirinya, keburukannya bisa jadi seburuk apa?
Tapi aku kayaknya baru dapet jawabannya. Kita bertumbuh itu memang bisa jadi soal fokus. Apa ujungnya yang bisa mendorong kita menuju ke sana? Kalo nggak ada ujungnya, ya nggak fokus. Main dulu, haha hihi dulu, dsb.
Selain itu, bisa jadi memang kita sedang berfokus aspek yang lain. Sehingga aspek yang kita sudah tumbuhkan, jadi nggak bertumbuh lagi karena kita sedang fokus menumbuhkan yang lain. Nggak seribet itu. Tapi soal kehidupanku ternyata hal-hal yang dulu nggak aku pikirkan bisa lakukan, ternyata bisa juga. Hal-hal baik yang aku lakukan dan fokuskan malah nggak aku lakukan lagi. Sedih, tapi memang ini jadi reminder banyak hal yang dulu pernah aku lakukan dan bisa senantiasa kutumbuhkan.
Kesimpulannya, pertumbuhan manusia menurutku memang bisa naik dan turun. Tapi, aku percaya, kalau ditarik jauh dari awal sampai ujung, grafiknya akan naik. Ketenangan itu bersumber dari keyakinan, maka yakinlah.
0 notes
Text
Curcol

Oh, why can't we for once say what we want, say what we feel?
Oh, why can't you for once disregard the world and run to what you know is real?
Kayaknya betul soal kesulitan mengungkapkan perasaan dipengaruhi dari kesiapan lingkungan menerima perasaan kita. Manusia nggak suka dengan penolakan, makanya seringnya ditelen sendiri. Tapi, kayaknya soal memahami perasaan dan mengurainya serta mengungkapkan kebutuhan kita juga bagian dari proses pendewasaan. Orang lain bukan cenayang dan kita kayaknya nggak akan sanggup kalau terlalu menyimpan banyak sudut gelap di dalam hati yang nggak pernah diungkapkan.

knp orang bisa so sweet sekali??
1 note
·
View note
Text
Perasaan
Kayaknya, aku emang nggak expert soal ini. Haha baru nulis kalimat pertama aja udah menetes ini air mata. Aku sangat paham bahwa perasaan manusia itu valid dan benar adanya. Hanya saja sepertinya aku terlalu terbiasa untuk merasa nggakpapa kalau itu terkait perasaanku. Haha kenapa jadi makin menjadi-jadi menetesnya.
Aku habis nonton video orang-orang di tiktok yang pakai sound mengapa bintang bersinar. Banyak yang cerita soal kisahnya sekarang begini karena dulu begitu dan segala macam. Itu yang membuat aku sadar kayak, wah ternyata semua orang ingin perasaannya yang nggak pernah diomongin atau bahkan nggak mampu dia deskripsikan dan ungkapkan itu tervalidasi--seenggaknya sama dirinya sendiri.
Aku nggak pernah heran dengan orang yang mood-nya turun atau tiba-tiba nggak semangat pas bareng-bareng karena aku paham soal perasaan orang lain itu valid. Paling aku akan memastikan apakah aku turut andil dalam perubahannya itu. Defaultnya aku selalu memberi ruang pada orang lain ketika energinya terlihat mulai memengaruhi orang lain.
Setelah dipikir-pikir lagi, kenapa aku melakukan itu karena ketika jadi sudut pandang orang pertama pelaku utama, aku selalu membereskan perasaanku sendiri. Aku nggak mau perasaanku jadi memengaruhi orang lain. Bukankah seharusnya sebagai orang dewasa aku mampu untuk mengelolanya?
Tapi sepertinya itu malah membuatku jadi memendam perasaanku sendiri. Ternyata perasaanku juga butuh divalidasi--terlebih sama diriku sendiri. Oh, ternyata aku juga capek ya. Boleh kok merasa nggak nyaman. Nggak harus mikirin orang lain terus lho. Kamu sendiri nggakpapa?
Kayaknya emang aku sudah berjalan terlalu jauh. Sudah saatnya pulang dan mencari tempat berteduh.
Emang boleh sedewasa ini?
0 notes