Photo
the serpent was a woman, and the woman shall touch like god /// erasure poem of genesis // r.i.d
2K notes
·
View notes
Text
I’m very fond of you, tbh.
this post is dedicated to the man who changed one’s life from a dim-lit box to a whole universe, to the most dedicated, deep and honest man.
Ide untuk menulis tulisan ini sebetulnya sudah muncul cukup lama sih, kalau nggak salah dari tahun 2017 atau 2018 awal aku pernah buat draft nya di notes hp tapi selalu aja berakhir jadi draft. Dulu, tulisan ini ingin dibuat sebagai appreciation post aja, sebagai ungkapan terimakasih yang bertele-tele, sebagai wujud rasa syukur atas eksistensi manusia ini tapi sayangnya dari semua ide menulis yang ada, ide tulisan ini selalu yang paling sulit diketik dan diungkapkan. Banyak alasan yang menjadi penghambat untuk aku menulis ini tapi yang paling jelas adalah aku nggak ingin tulisan ini berakhir menjadi trashy hanya karena ketidakcakapan aku dalam menulis. This idea, this person I want to say thankyou deserve everything but my trashy writing. Aku ingin mengungkapkan perasaan suka sesuka-sukanya, jatuh sejatuh-jatuhnya, kagum sekagum-kagumnya dalam kata-kata sesempurna mungkin. Sayangnya, aku nggak bisa jadi biar lah tulisan ini yang nanti menggambarkan perasaan ini ala kadarnya. But still, I hope this reaches your heart tho..
hmm so tell me how to convey this abstract thing-so-called feelings by words?
Aku nggak tahu bagaimana cara mendeskripsikan seseorang dengan baik jadi satu-satunya yang menjadi kerangka aku dalam menulis adalah satu pertanyaan yang selalu muncul :
do you ever look at someone and out of the blue, you feel a pure happiness, and a sudden blast of bless and bliss — all in one time ?
When I am experiencing this feeling, I am -then, overwhelmed by happiness- feel that words fail to convey all these feelings inside so instead to write it out i chose to enjoy this feelings alone.
Banyak hal-hal yang aku pelajari dari dia mulai dari belajar ikhlas, belajar menerima, belajar membaca buku (lagi), belajar untuk berani dan percaya serta belajar-belajar lain yang terangkum dalam sesi bicara kita yang bahkan aku hampir selalu menemukan bahwa tiap saat di tiap obrolan dia pasti punya kata-kata bijak yang kemudian membuat aku kagum. Kesungguhannya, kesabarannya, bahkan jokes receh nya yang jujur nggak nyambung jadi hal-hal paling menarik untuk aku nanti, dengar, dan contoh.
I love how he still cracking jokes when I am 90% ready to cry, I love how humble he is, I love the way his brow furrowed to expressed his dislike, I love to listen his ramblings about phylosophy of life and death, being in joy and being depressed, gain more and lose even more. His laugh is a serotonin boost, his thoughts are insight, his words are hug and his hug is heaven. In short, I am smitten.
My dear, I am forever grateful that we get to know each other. Beyond alhamdulillah(s) and blesses, I really wish you a happy love and life. I legit don’t know how to manage the happiest i am when I am with you nor I don’t know how (much) in love do I have to be, but if there’s still greater way to shower you with love, then I’ll be in this shit forever.
I hope this reach you in time,
when you doubt yourself,
when you think low of yourself,
please do remember that you’re always worth being loved not because of your achievement but because you are a precious human being.
0 notes
Text
Honestly if there's anything this year has taught me, it's that romantic love can be kind of fickle.
Not to drag anyone who found some kind of romantic love this year, but I've found that romantic love just doesn't work for me. Even a ten year relationship that seemed so solid fell apart in front of my eyes.
However, platonic love has never let me down, especially this year. The past couple years I've met people I didn't even think would be so important to me when I met them, and now it's plain to me that they are pieces I didn't even know were missing. A couple of them I freely call my soulmates, and they mean the universe to me. And I hope they know that and that I try to show them every single day.
Not to mention my family has been such a rock to me. Just fucking ride or die all the way. And I know I'm very lucky considering I have friends who's families are the actual worst and one day I'm gonna fight them.
I guess my point is...don't worry about romantic love so much. It's no greater than platonic love, and, at least in my experience, is much more temporary. Give your love to people who show their love to you when you need it most, regardless of what the relationship is. Hold on to them like a life line. Never take love for granted simply because it's platonic and not romantic.
9 notes
·
View notes
Text
between faith & love
Agustus kali ini cukup berbeda dengan Juni dan Juli yang lalu. Setelah menghabiskan Juni dan Juli dengan senang-senang dan santai-santai, pada akhirnya Agustus ini aku seolah sedang mempersiapkan diri sendiri untuk menyambut dunia perkuliahan (lagi). Agenda - agenda rapat, dan kegiatan pulang pergi kampus setiap hari selama Agustus ini sudah cukup membuat aku pusing, lelah, and.. well yeah, welcome back to college life!
Sebetulnya nggak banyak yang aku lakukan selain mempersiapkan dekorasi untuk ospek mahasiswa baru dan proker Pemira yang sudah lumayan lama aku abaikan.
Ditengah-tengah kerumitan, kesumpekan dan kecemasan yang kupendam, sejujur-jujurnya aku butuh teman bicara, teman cerita untuk bertukar sudut pandang yang harapannya, semoga saja bisa memberi aku wawasan dan insight yang baru, yang fresh. Dulu, aku selalu merasa bahwa ngobrol dengan orang-orang yang nggak begitu nyambung sama aku cuma kegiatan sosial aja, kegiatan basa basi, kebutuhan kita sebagai makhluk sosial. Tapi, lama-lama aku merasa karena mereka sudah ‘sejalan’ sama pikiranku lama kelamaan semua ide dan semua perbincangan makin gak kerasa fresh lagi.. . And ever since I thought about this, aku jadi merefleksikan diri dan mulai menjadikan kegiatan mengobrol sebagai pembelajaran serta healing buatku pribadi.
Aku jadi tekun buat membaca, mendengar serta lebih semangat bertemu banyak orang lebih banyak. Di tengah-tengah usahaku untuk keluar dan mencari insight baru, aku akhirnya menyapa dia lagi, bertukar kabar, dan berjanji untuk bertemu untuk sekedar mengobrol. Jadilah sebulanan ini kami dekat lagi, dengan artian sebagai teman yang saling mendukung satu sama lain.
( I dont even really know why, but the moment I was going to type to tell more about him feels so hard, and hurtful ).
Dulu, sekitar satu tahunan yang lalu aku dan dia sama-sama bertemu ‘at the lowest point of our life’. Kita kemudian jadi penghibur dan penyemangat satu sama lain, dan dengan semua-mua kelebihan yang dia punya akan naif dan bohong kalau aku bilang aku nggak tertarik dengan dia. Yes, i am interested with him the moment I saw him but later when I know his story, all the loves become a ‘platonic love’. Eh, btw aku nggak begitu paham banget sih mengenai platonic love ini apa, yang kutahu platonic ini ditemukan oleh Plato dan merupakan cinta yang tulus tanpa ada ketertarikan secara seksual maupun romantisme lawan jenis. And oddly, i found this kind of love very fast on him. Like, very fast. Normalnya, butuh waktu untuk kita semua dapat dengan tulus mencintai dan menerima seseorang tapi dengan dia, aku merasa aku hanya perlu mendukung, dan membuat dia merasa dicintai bahkan dengan segala kekurangan yang ia punya. Aku lama kelamaan memosisikan diriku menjadi garda terdepan dalam urusan support menyupport, apapun, asal itu baik dan dia bahagia, aku akan usahakan. Sounds like a heroine, aren’t I eh?
Dan begitupun sebaliknya. Dia sukses jadi peringkat 5 besar orang-orang penting versi Yasmin. Kita pada akhirnya membentuk diri kita sama-sama, dengan semua kesabaran, dan semangatnya untuk selalu, selalu positif aku jadi merasa hidup rasanya akan selalu baik-baik saja asal ada dia, dan aku. Masing-masing dari kita jadi ‘rumah’ tempat pulang sementara, dan tempat belajar. Aku dinobatkan sebagai supporter #1 oleh dia, dan dia aku nobatkan sebagai panutan tempat aku look-up dan improve.
And just like that, our days gone by - off and on. You know when you have a home that even you don’t come regularly you know you always, and will always can go back and rest there?
Kembali ke topik awal, beberapa hari lalu kita bertemu lagi, bertukar sapa, bertukar kabar, bertukar-tukar apa yang ada di pikiran dan perasaan. Perbincangan malam itu hampir ditutup sebelum kemudian dia mengaku bahwa sebetulnya, all this time he has a crush — and even a relationship thingy, with someone. Don’t expect me to get jealous, because I know I love him — in platonic way. Aku mulai bercanda dan bertanya ‘kenapa nggak dari dulu ngomong?’ ya terang aja, I told him all the boys in my life dan dia nggak pernah sungguh-sungguh cerita ke aku mengenai crush nya (?) It’s unfair.
Dan detik selanjutnya saat dia menjawab, aku betul-betul merasa blank. Aku nggak tahu apa malam itu warung pecel lele memang lagi ramai, atau memang isi kepalaku yang seketika ramai saat mendengar jawabannya. Yang aku tahu, sesaat setelah itu hanya ada bising yang sunyi, dan ratusan tanya yang nggak berbunyi. Oke, anggap aku berlebihan tapi nyatanya malam itu aku betul-betul merasa pusing, dan bising. Aku nggak perduli kalau malam itu aku keliatan bego banget dengan pasang muka cengo karena aku memang betul-betul sebingung itu.
Aku tahu, aku tahu. Dari kali pertama aku tahu maupun mulai mengenal dia. He’s just too good to be true, kayak, mana mungkin ada manusia sesempurna dia? Yang sial adalah,
As reality always bites us, in this household we just do not believe that the perfect person exists which means that there has to be something brewing behind him.. .
DULU, saat dia menceritakan masalah pekerjaannya dan lain-lain, aku merasa bahwa ternyata hidup memang adil kok. Dia yang notabene nya hampir, sempurna ternyata karirnya tidak sebagus yang terlihat dari luar, dibalik semuanya dia diam-diam sama hopeless nya dengan aku. Jadi, setelah aku tahu bahwa si mr.too good to be true ini ternyata punya backstory yang cukup pait, aku buru-buru mengemasi semua kecurigaanku atas sesuatu yang dia sembunyikan tadi. Oh, ternyata dia memang nggak sesempurna itu. Udah, gitu aja pikirku saat itu.
Selang beberapa bulan menuju tahun, surprisingly aku dan dia sama-sama mendapat ‘keberuntungan’. Aku akhirnya bisa berdamai dengan diri sendiri, dan berhasil mencentang salah satu dari dream check-lists milikku dan dia dapet promosi di pekerjaannya, proyek-proyeknya nya sukses luar biasa, dan akhirnya semuanya beban serta tekanan yang selama ini dia pikul perlahan berkurang. We are taking baby steps towards what we call success, and I’m just extremely happy for us. Sesaat, aku kadang berpikir akan ada kejutan apa lagi yang bakal dia hadapi?. Aku nggak berniat jahat, sama sekali nggak tapi kita semua tahu bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan dan begitupun sebaliknya.
I am so, so, so happy watching him being the very best of him but in the very same time, I become anxious for no reason, for overthinking the bad things that might happen to him in the future.
Dan iya, sekian lama aku bertanya-tanya akhirnya malam ini di warung pecel lele, pertanyaanku terjawab juga. He’s coming out, to me.
He’s confused with his sexual orientation.
Yaampun, aku bahkan nggak tahu should I address this as a happy or a bad news? I’m happy, of course, that he finally found the love he’s been longing for so long time, that he finally found arms to fall right into.. but, we know this kind of love it’s not as simple as the averages, right?
Perjalanan menemukan cinta, dan kasih sayang sendiri saja sudah sedemikian sulitnya apalagi kalau termasuk kategori prohibited love? Lebih lebih lagi, di lingkungan seperti lingkungan kita yang belum terbuka dengan orang-orang dengan pandangan seperti dia?
Aku nggak lantas berharap supaya Indonesia menjadi negara yang seterbuka dan sebebas USA atau Thailand akan perihal LGBTQ ini, aku sendiri pun jujur aja belum punya pandangan dan pegangan yang kokoh atas isu ini. Satu-satunya yang kupegang adalah aturan agama bahwa hal ini salah, dan nggak boleh. Aku belum belajar apa-apa, dan dia datang dengan kabar ini. Reaksiku? Aku merasa bodoh dan sedih.
Bodoh, kenapa nggak sedari dulu aku belajar dan bertukar pikiran tentang hal ini ke orang-orang dan menggali lebih dalam? Karena selama ini aku merasa aku dan lingkungan ku bakal jauh dari isu ini jadilah aku mengabaikan isu-isu dan perihal LGBTQ. Juga, sedih, karena in this very moment aku sadar bahwa aku nggak bisa lagi menjadi supporter #1 dia. Akan ada waktu dimana aku nggak akan lagi membenarkan hal ini hanya karena Ia ‘bahagia’ karena nyatanya, bagiku dan keyakinanku hal ini adalah s a l a h .
Aku lantas jadi sadar, yaAllah ya Tuhanku ternyata aku ini memang cuma makhluk kecil, yang bahkan seperti sekarang ini, ingin mempunyai keinginan untuk membenarkan pun aku nggak bisa. Aku ingin bisa terus mendukung dan membenarkan, tapi ketika kemudian itu memang salah aku nggak bisa tetap ngotot kan? Coba bayangkan, punya keinginan aja aku nggak bisa.. Jadi, sadar nggak sekecil apa kita dihadapan Tuhan?
Dia masih bercerita, dan aku buru-buru mengadu iman dan kasih sayang untuk berperang dalam waktu sepersekian menit. Berharap ketika ia menyelesaikan ceritanya aku sudah menemukan pemenang yang akan kujadikan jawaban — entah iman, atau kasih sayang? . Sayangnya, nggak mudah memutuskan sesuatu yang fatal hanya dalam waktu sesebentar itu. Atas nama iman, dan self-discipline berupa syariat agama aku memilih untuk tetap di pijakan bahwa hal ini selamanya adalah salah, meski diam-diam aku sudah kebelet nangis karena aku terlanjur sayang, dan nggak tega harus membayangkan kesusahan yang akan dia hadapi dengan entah ujian, atau berkah berupa perasaan cinta yang dia miliki.
Malam itu, ditemani riuh rendah isi kepala dan suara minyak panas milik abang pecel lele kami berdua dihadapkan lagi oleh kenyataan bahwa sejatinya kami ini hanya manusia kecil yang mengemis kasih sayang Tuhan. Aku, mengemis Allah untuk selalu berbaik hati padaku dan dia, supaya bagaimanapun nantinya dia akan tetap ‘baik-baik saja’ serta dia, yang mungkin diam-diam mengemis rahmat Allah untuk memberi jawaban dalam semua kegundahan yang dia rasakan saat ini.
Dibarengi dengan tawa yang canggung dari dia, aku diam-diam merasa hambar di seruputan es tehku. Entah tawar dari es yang sudah lama mencair atau dari tanya-tanya yang tak terjawab. Untuk kesekian kalinya, aku merasa ini diluar kapasitasku. Everything feels beyond my ability. Untuk menjawab, atau bahkan menduga jawaban aja aku nggak mampu, atau tepatnya aku nggak tahu..
Beranjak dari tukang pecel lele, aku lalu hanya bisa memberi harapan-harapan berupa bagaimanapun nantinya, aku selalu dan selalu berdoa dan berharap yang terbaik untuk dia, serta permohonan maaf karena aku sendiri merasa nggak puas dalam memberi jawaban dan tanggapan. Aku merasa betul-betul nggak enak nggak bisa membantu dia karena kita berdua sama-sama merasa dead end,
“Don’t apologise, even your only presence can give happiness. I hope you remember that”
Yang kemudian buru-buru diaminkan dalam hati olehku. Tuh kan, nggak perduli seberapa buntunya dia selalu, selalu ingin membawa positive vibes padahal kan menujukkan emosi yang sebetulnya kadang-kadang perlu juga,
“I just want to make you the happiest man you ever be, you know that, right?”
Yang ini kata-kataku yang lalu ditanggapi sembari bercanda olehnya, ‘lo mellow banget sih apaan’. Nggak tahu, aku pun nggak tahu kalau kabar dari dia bisa membuat aku se-mellow ini, sesedih ini, serta sebingung ini sampai sampai dua hari setelahnya aku mendadak sering menangis diam-diam. Untuk melegakan tangis yang cuma keluar secuil-cuil, aku sengaja ‘menyakiti’ diri sendiri dengan menonton ulang Call Me by Your Name yang sukses, sukses, membuat mataku bengkak di pagi hari Idul Adha.
you know I just want to make him the happiest man he ever be, right?
0 notes
Text
for once, i want to cry to release all the feelings inside..
0 notes
Photo

Bila Tuhan berkata; usahamu merapal pinta dalam sujud belum sebanyak Aku memberimu nikmat. Bagaimana?
Bila Tuhan berkata; upayamu mengucap syukur atas apa yang kamu dapat belum sebanyak Aku memberimu kemudahan hidup. Bagaimana?
#aksarannyta #ntms (at Titik Nol Kilometer Yogyakarta) https://www.instagram.com/p/BxY2EdegSI6/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=afn7idhn3ha0
127 notes
·
View notes
Text
Bab III : PENUTUP
3.1. Kesimpulan
I’ve done torturing myself today,
finally made up my mind in the middle of May,
here’s thing I want to say :
I’m done for all of this, for the torture that im putting myself just because i wont let you go, for all the 3 AM tears I wished noone know, and for all the hard feelings that hard to swallow,
I’m not gonna lie, so i will admit this: i had a whole awesome & remarkable year, thanks to you for everything that once shared.
‘i amused you, but i bored you’, and now for everything we are going through, i wish may happiness always upon you! It’s May already, but to start a new chapter I’m not so ready, oh, and i didnt mean to be greedy but let me tell you this as a clarity, deep inside, i still craving you oh my dear remedy.
Depok, May 13th 2019
0 notes
Text
Perihal Selingkuh
tulisan ini muncul mulanya sebagai jawaban dari pertanyaan random seorang teman SMA gue.
teman gue yang ini emang sering banget nanya hal-hal yang pada akhirnya jadi trigger gue dalam menulis. hehe.
Kembali ke topik, sebetulnya gue enggak tahu apakah ada jawaban yang konkret atas pertanyaan tersebut atau enggak. Karena kalau menurut opini gue pribadi - in my really honest opinion - kita nggak akan bisa nemu jawaban pasti mengapa seseorang bisa selingkuh, atau melakukan cheating karena bagi gue, apa-apa yang menyangkut perasaan sifatnya adalah abu, alias kita nggak akan pernah menemukan jawaban hitam atau putih ya karena seperti yang kita ketahui, perasaan adalah hal yang abstrak, yang bahkan mekanisme cara kerja serta perubahannya tidak bisa kita ketahui. Pun dengan penyebab seseorang berselingkuh, yang pastinya beragam dan berbeda-beda tiap orang. Tapi dari yang paling umum, yang dapat gue simpulkan adalah selingkuh, atau cheating dalam bentuk apapun biasanya berakar pada ketidakmampuan kita menghadapi suatu halangan dan rasa takut kita dalam bersikap jujur ketika menghadapi halangan tersebut.
Setiap hubungan tentu memiliki halangannya masing-masing ; rasa jenuh/bosan, sifat pasangan yang ternyata nggak sesuai dengan kita (atau ekspektasi kita), visi, jokes, atau cara pandang yang mulai berubah dan gak sejalan lagi, perihal sibuk dan pergantian prioritas yang lalu berujung pada bertemu orang baru yg dirasa lebih ‘klop’ dengan kita. Bagi gue, ketika kita memutuskan untuk berkomitmen dalam suatu hubungan tentu kita akan menemui halangan. Halangan-halangan tersebut ada justru untuk menguji kita ; seberapa kuat perasaan, kemauan, serta ikatan diantara kita dalam menghadapi halangan tersebut?, Semakin sering kita menghadapi halangan bersama, semoga aja semakin kuat ikatan serta chemistry yang muncul.
Gue pribadi ’belajar’ mengenai hal ini dari pertemanan gue dengan sahabat dekat gue. Bahkan, dalam berteman pun, banyak banget halangan yang kita hadapi hingga rasa-rasanya sampai sudah nggak tahu berapa pertengkaran yang telah kita lewati, yang paling gue ingat bahkan ada satu waktu dimana kita benar-benar terlalu lelah buat mengeluh mengenai satu sama lain sehingga kemudian kita lebih memilih diam untuk sementara waktu. Nothing goes easily, they say. Dan menurut gue, hal ini benar adanya karena dari berkali-kali ribut dan tenggang rasa dengan sahabat gue, gue dan dia justru memiliki ikatan yang lebih dalam satu sama lain kayak, ada saat-saat dimana gue tidak perlu menyuarakan apa yang gue rasa karena ternyata dia sudah paham duluan atau kala gue bersedih gue nggak perlu repot-repot menjelaskan karena sedikit-banyak dia sudah hapal betul apa-apa yang bisa membuat gue bersedih. Yang gue pahami, ikatan-ikatan seperti ini boleh jadi terbentuk karena kita sudah seringkali melewati banyak halangan dan masalah bersama.
Yang namanya menghadapi suatu halangan atau masalah memang enggak pernah enak. Kita dibayangi rasa takut, takut masalahnya tidak selesai, takut gagal dalam menghadapi masalah, takut salah langkah dan takut-takut lainnya. Halangan buat kita takut, halangan juga yang memaksa kita keluar dari zona nyaman. Alih-alih menaklukan halangan tersebut, kadang kita justru cari jalan pintas berupa lari dari masalah kemudian beralih ke orang lain. Selingkuh, atau cheating dalam bentuk apapun itu bagi gue adalah hal yang salah. Gue pribadi pun (sayangnya) pernah.
Suatu saat gue ada dalam posisi hubungan ‘jalani aja dulu’ (duh pls wkwk). Meskipun hubungannya terkesan enggak jelas dan gak berlandaskan apapun, gue tetap menghargai dia karena sedikit-banyak gue merasa sudah memberi harapan ke dia, serta kita berdua juga tahu arah hubungan ini akan kemana, perilaku kita terhadap satu sama lain pun udah selayaknya orang punya hubungan jelas. Sayangnya, di tengah jalan gue — kita, menemukan banyak perbedaan dan yang lebih disayangkan lagi, gue, nggak cukup cinta untuk sekedar ingin meleburkan perbedaan. Gue selalu percaya, perbedaan itu ada bukan sebagai benturan yang memisahkan tapi sebagai pelajaran untuk tiap orang agar bisa berkaca dan memandang lebih luas lagi lewat kacamata orang lain. Namun saat itu, gue bahkan merasa tidak ingin untuk sekedar memahami perbedaan, pasalnya, perasaan gue ke dia tidak cukup besar untuk memerjuangkan hubungan yang entah milik siapa. Disitulah kali pertama gue melakukan cheating. Gue lalu berlaku curang, berupa membohongi dia dan bahkan diri sendiri mengenai perasaan gue ke dia. Gue berpura-pura meyakinkan diri sendiri bahwa gue akan suka, akan sayang, padahal jelas-jelas gue tahu gue memang nggak pernah betul betul suka, atau sayang ke dia. Sesudahnya, bukannya memberanikan diri untuk jujur, gue justru memilih untuk ‘bertemu’ orang lain dan meninggalkan masalah gue begitu aja. Gue membiarkan dia bertanya-tanya mengenai perubahan perasaan dan sikap gue, sedangkan gue malah asik dengan orang lain padahal saat itu bisa aja kan gue langsung bicara jujur? Kita semua tahu bahwa berbicara jujur itu sulit, dan gue mempersulit semuanya dengan memilih ‘jalan pintas’ berupa bertemu dengan orang lain. Meski nggak secara resmi ‘selingkuh’, gue tetap merasa gue telah berlaku curang karena sudah membohongi perasaan dia (dan gue) serta diam-diam memilih bertemu orang lain daripada menyelesaikan masalah yang ada. Cerita pengecut gue tadi ditutup dengan perbincangan kita di telepon mengenai perasaan yang sudah berubah dan keinginan untuk menyudahi apa yang sudah kita bangun. Di akhir cerita gue memang memberanikan diri untuk jujur, tapi butuh waktu — yang harusnya gue pergunakan untuk berpikir, malah gue gunakan untuk senang senang sama orang lain. Cerita ‘cheating’ gue bagi sebagian orang boleh jadi sah-sah saja selama gue dan dia tidak punya ikatan beneran, tapi bagi gue, apapun ikatannya, gue sudah salah karena menyepelekan kepercayaan orang terhadap gue, terlebih gue sudah berbohong ke diri sendiri.
Selingkuh, cheating, atau apapun itu ada karena kemalasan kita untuk bicara jujur mengenai masalah yang tengah dihadapi. Kala bosan, dan perbedaan datang kita kerap mendiamkan halangan-halangan tersebut, berharap waktu akan menghapus dan semua akan baik seperti semula. Padahal, berapa lama sih waktu akan menghapus? toh halangan lain akan datang lagi. Kita malas, (atau malah takut) untuk berbicara jujur dan terbuka, dengan alasan menjaga perasaan katanya.
Padahal nyatanya mungkin kita cuma takut gagal dalam menghadapi masalah tersebut. Kita lebih memilih untuk mencari pelarian atas masalah tersebut, berupa bertemu orang lain.
Kita alpa lalu lupa bahwa sejatinya tiap orang, tiap hubungan memiliki halangannya masing-masing. Cepat atau lambat hanya masalah waktu saja kan? Kala kita menemukan orang lain yang dirasa lebih tepat, mengapa kita kerap memilih hanya diam daripada jujur mengenai perasaan yang telah berubah? Saat nanti kita terpikir untuk memilih ‘jalan pintas’ ini, ayo coba tanya sekali lagi ke diri sendiri, kita ini sedang menjaga perasaan orang lain atau menjaga ego sendiri?
1 note
·
View note
Quote
Iya, ini dunia. Makanya lelah, makanya resah, kadangkala ingin menyerah. Iya, ini dunia.. Cuma sementara, nanti juga pulang, nanti juga hilang semua lelah ini.
(via menyapamentari)
82 notes
·
View notes
Quote
Entah
Aku sedang lelah. Semua membuatku resah. Membuatku ingin menyerah. (via rekatakusuma)
51 notes
·
View notes
Text
bottle you guys my tears
you know that feeling of sorry to, literally, everyone? feeling sorry because i cant give you guys all of my best, cant be strong as you guys ever wished, cant be the very best of me.
I don't want to die, sometimes wish I'd never been born at all.
so i bottle you guys my tears with a note that im sorry for loving you guys bad.
-- note for everyone.
0 notes
Text
I still remember that day when you left me without any goodbye the day when i was feeling left, and replaced.
You kept me in your maze, And I melted by your gaze. But I can feel you forgetting me now and all i feel is just a sorrow.
I dont ask you to explain everything, even i found this is counfusing, because do you know, darling?
nothing saddens me like the thought that I become ugly to someone who once thought all the stars were in my eyes.
P.S. : Ini tulisan dari 2017 lalu. Tidak tertuju untuk siapa-siapa kok, kalau gak salah ini ditulis selepas mendengarkan cerita teman yang hampir ditinggal pacarnya (saat itu).
0 notes
Text
“Kita itu sebenarnya tidak punya apa-apa, tapi selalu merasa kehilangan.”
ini kata kata dari punggung kaos seorang mas-mas yang mengantre ATM didepan saya.
0 notes
Text
libur.
Setelah akhirnya setahun hampir tidak dapat libur, Januari 2019 ini akhirnya saya libur. Saya nggak punya banyak jadwal selain main dan ketemu beberapa teman, tapi, satu hal yang harus saya capai di liburan ini adalah betapa saya ingin beristirahat dengan tenang. Bayangkan dong, 2018 kemarin saya benar-benar nggak punya libur. (kampus lama saya selalu punya jadwal liburan yang lebih pendek dan beda dari kampus lain), ditambah kesibukan saya menjadi mahasiswa baru (lagi) yang betul betul mengambil jatah libur saya.
Minggu pertama saya di rumah, saya selalu bangun pagi dengan perasaan deg degan dan takut, ‘hari ini aku balik ke Depok gak sih?’ ‘hari ini aku ngerjain tugas apa sih?’ rutinitas selama satu semester berupa menghabiskan akhir pekan dengan mengerjakan tugas di rumah ternyata sudah dengan cepat dihapal oleh tubuh saya. susah banget untuk saya sadar kalau saya lagi liburan. memang beneran liburan.
Mungkin, adaptasi yang serba buru buru dan emosi yang tidak kunjung stabil menjadikan saya penuh rasa lelah dan kerap spaced-out sepanjang 2018 ini. Di kampus terdahulu, saya terbiasa nggak belajar dan nggak nugas tapi di kampus baru, bahkan gak ada tugas pun saya harus belajar. Ya nggak apa apa. Meski sering merasa lelah (fisik dan mental), saya mencoba tetap enjoy dan nggak cerita ke Mama (bisa marah beliau kalau tahu sekacau apa hidup saya di kosan.duh.)
Terlepas dari segala keluh kesah edisi 2018, saya ingin meminta maaf sekaligus berterima kasih terhadap diri sendiri karena sudah bisa bertahan sejauh ini. I dont expect myself for being that strong, too.
Betapa saya ingin nangis banget sepanjang perjalanan pulang dari kampus ke kosan. Betapa saya ingin gak masuk kuliah selama berhari hari. Betapa saya memaksa diri saya supaya tetap ceria dan terlihat perfectly okay padahal saya bener bener lelah dan ingin nyerah.
Depok malam dan perjalanan pulang menuju kosan selalu jadi waktu yang menyenangkan untuk berdiam diri, berpikir, merenung, dan .. ya diam aja. Kadang saya mikir, bisa tidak ya kira-kira saya cuti dari hidup ini? mengajukan banding, atau menawar Tuhan perihal berat-ringannya satu hari untuk dijalani, atau bernegoisasi dan membuat kesepakatan tentang periode hidup saya. Atau, bisa tidak ya surat pengunduran diri yang hendak saya tujukan ke kampus lama justru saya tujukan ke Tuhan?
Tapi sayangnya nggak bisa. Saya nggak punya alamat Tuhan. Saya juga tahu sih, separah apapun hidup ini, ia tetaplah berkah yang harus saya syukuri. Ia bukan barang yang bisa saya nego, bukan pula UKT yang bisa saya pinta banding. Lantas biasanya setelah itu, saya minta maaf. Kepada Tuhan.
Bukan saya benar-benar ingin mengakhiri, Hanya saja saya lelah. Saya ingin pulang. Saya ingin ke rumah, meskipun saya enggak punya. Apa jangan-jangan Tuhan sudah muak dengan semua lakon yang saya coba perani sehingga Ia memberi saya jalan yang sebegini berat supaya saya kembali pada-Nya? Bisa jadi. They say life is about keep learning. Tapi saya ingin mengeluh bahwa terlalu banyak dan terlalu berat hal hal yang harus saya pelajari hanya dalam satu hari saja, pun, saya jenuh.Saya ingin ke rumah, tertidur selelap-lelapnya sampai semua kepanikan dan kecemasan yang saya tekan ini pudar perlahan.
I’m not really good at expressing feelings so i gonna quote a lyric by LANY, ‘this hurts like hell but I keep telling myself its gonna better’ .
Ada waktunya saya bersikap irasional dengan menyangkal kemampuan saya sebagai manusia biasa. Saya terlalu sering pura pura kuat menahan semua cerita sendiri, sampai kepala dan punggung saya nyut-nyutan. Tapi saya nggak menegluh perihal sakit lagi ke Mama (atau saya akan dipaksa ikut yoga & clean eating. saya gamau meski butuh). Apa ya, saya cuma ingin menjadi saya versi terbaik.
Saya nggak mau mengeluh secara terang-terangan atau menyalahkan teman-teman dekat saya sebagai pelampiasan. Saya nggak pernah cerita ke orang-orang secara jelas tentang semua rasa yang saya rasa. Saya hanya bilang ‘lelah’, ‘bosan’, meskipun aslinya saya ingin mati aja sekalian. Saya terlalu terbiasa dianggap bijak atau dewasa jadi saya nggak ingin menunjukkan sisi lemah saya. Egois kan.
Pada akhirnya, saya terbiasa meninggalkan semua uneg-uneg yang saya rasa menjadi bangkai yang tak terkubur. Dan saya lupa lagi untuk memanusiakan diri sendiri.
A random long thought, padahal isinya sambat doang.
1 note
·
View note