sleepingmuggle
sleepingmuggle
Sleeping Muggle
1 post
You can read what imagination is.
Don't wanna be here? Send us removal request.
sleepingmuggle · 2 years ago
Text
Craziest School Squad Prologue
6 bulan sebelum Pagelaran Hujan pagi yang tidak seindah di hari-hari sebelumnya. Sebagian siswa SMA Dasa berkabung atas kepergian Kinanthi, si gadis penari lugu dengan malam yang kelam. “Jadi, kapan kau akan membuka diskusi kasus ini dengan tim, Man?” celetukku sembari menemani Wega Leksmana keluar dari Jonaran Cemetery. “Aku sudah baca file polisi, Won. Mau mendengarkannya?” Tentu setelah Leksmana mengatakan itu, ia melihat jelas raut wajahku berubah seketika. Berita kepergian Kinanthi tak lebih dari 24 jam, dan orang yang kupanggil Mana itu sudah berhasil menembus keamanan polisi. Oh bukan, bukan dia yang melakukannya. Pasti Teja, siswa pendiam bau bawang yang selalu berkutat dengan macbook hitam. “Kita nggak pernah tangani kasus kematian kayak gini, Man. Kamu yakin?” “Well, sayangnya ini bukan hanya kematian si penari yang akan kita jelajahi. Ada untaian benang rumit dibaliknya, Won.” Aku terdiam sebentar sembari menatap sejuknya embun pagi di daerah Jonaran, menutup samar-samar pandanganku dari pasar di seberang jalan. Leksmana melanjutkan, “Aku akan mampir beli onde-onde sebelum ke perpus kota, kau mau ikut dan mendengarkan apa yang kutemukan di file kepolisian? Atau nanti sore saja bersama yang lain?” “Onde-onde adalah hal ketiga yang paling aku suka dalam hidup ini. Hal kedua adalah mendengarkan observasi ‘Sherlock’-mu dalam tiap-tiap kasus kita, Man.” “Such a good combo,” tambahku. “Yang pertama?” “Ya?” “Hal pertama yang paling kau sukai, Wono. Apa?”
“Seharusnya dirimu tak perlu bertanya. Udah jelas Raden Rara Tanira—” “Jayawardana.” Leksmana melengkapi ucapanku dalam menyebutkan nama perempuan itu. Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Barangkali kamu belum tahu, Won. Kinanthi itu siswi kelas 2 IPA C, prestasinya biasa-biasa aja, tapi dia lihai dalam menggerakkan tubuhnya. Kinanthi gabung ke ekstra Tari dan tahun ini, udah dua penghargaan emas yang dia bawa pulang buat SMA Dasa. Aku yakin dua teman kita di tim lebih mengenal Kinanthi daripada Aku dan polisi.” Dia mulai membuka obrolan tentang kasus tahun kedua kami usai menikmati satu onde-onde. “Laporannya cukup jelas. Pukul sebelas malam lewat sepuluh menit, Kinanthi ditemukan tergeletak bersimpah darah di bagian leher dan kepalanya. Sudah tak bernyawa di anak tangga lantai 2, lorong B. Tubuhnya terkapar dengan empat luka tusuk di leher sisi kanan atas, dekat tulang rahang bawahnya. Tim forensik menduga alat tusuknya itu pisau, namun tidak ditemukan di lokasi sama sekali. Selain luka tusukan itu, Pak Warno memberikan saksi kalau beliau melihat warna kulit wajah Kinanthi merah sekali, seperti darahnya yang ingin keluar dari sana. Tidak ada luka benturan sama sekali, yang menandakan dia tidak jatuh dari anak tangga begitu saja.” Aku hanya bisa bergidik ngeri mendengarnya. Sudah bertanya-tanya siapa yang tega melakukan itu ke seorang siswi SMA. “Kondisi sekolah udah sepi tanpa ada ekstra lain lembur, kecuali ekstra film yang sebelumnya produksi di studio belakang sampai pukul delapan malam. Polisi udah interogasi dua orang. Pak Warno dan Glade si ketua ekstra film yang lembur shooting itu. Dari catatan dan audio record yang kudengar, Glade menyesali keputusannya untuk shooting malam hanya demi kejar timeline produksi. Dia juga ngaku tak kepikiran untuk menemani Kinanthi sampai dijemput ojol.” “How? Bego banget dah dia nggak nemenin Kinanthi.” Selaku dengan ketus. “Aku tak melihat wajahnya di pemakaman tadi.” Setelah itu Leksmana memberikan jeda karena onde-ondenya sudah habis.
“Terus interogasi Pak Warno gimana?” “Hummm. Apa, ya?” Temanku ini sedang mencari sesuatu di benaknya, “Nggak ada hal penting di laporan Pak Warno. Si tua itu terus menerus panik di ruangan interogasi.” Lagi-lagi dia menjeda ucapannya. “Seharusnya ada satu orang lagi yang diinterogasi Pak Cahya.” Dahiku mengerut, “Sokap atuh Pak Cahya?” “Detektif yang nanganin kasus Kinanthi ini. Dia melewatkan satu orang, entah disengaja atau tidak.” “Siapa yang belum diinterogasi? Anak ektra film lainnya?” “Bukan, kawan. Dia yang selalu menemani korban kita kemana-mana, sahabatnya dari kecil. Ningsih.” “Kok bisa Pak Cahya nggak interogasi dia?” “Entah. Mungkin karena dia sibuk, atau sengaja melewatkan hal kecil yang tak ada hubungannya dengan pembunuhan.” “Jadi, Leksmana si pemimpin Craziest School Squad ini akan menginterogasi Ningsih?” “Bertukar buku lebih tepatnya.” Aku kembali mengingat ucapan dia di depan cemetery tadi, perpus kota adalah tujuan dia selanjutnya setelah menikmati onde-onde pasar. Jadi usai memesan taksi online, kini aku dan Leksmana duduk bersila di lantai tiga perpustakaan kota. Menyandarkan punggung sembari membaca buku-buku yang sama sekali tak kupahami. “Bagaimana kau sama sekali tak kelihatan sedih, Ning? Padahal semalam sahabatmu kehabisan darah.” Aku mendengar Leksmana menyambut kehadiran Ningsih dengan kalimat panas barusan. “Kematian dia memang membuatku shock. Tapi aku benci padanya belakangan.”
...
tbc.
1 note · View note