Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sahas
Bayangkan kau sedang berjalan di gang sempit, amat sempit sehingga orang-orang yang melewatinya hanyalah mereka yang terjebak jalan pintas peta digital dan terhalang fisika untuk memutar balik motornya yang sisi-sisi stangnya tergores dan membuat orang-orang itu dua kali lipat lebih kesal.
Lalu -masih di gang sempit imajiner yang ada di kepalamu itu- kau mendengar teriakan dari belakang, hanya suara manusia tanpa gesekan stang dan rontaan knalpot yang malang, kau terlampau jauh dalam imaji -yang juga di dalam imajimu- tentang makhluk-makhluk yang kau tonton minggu lalu sehingga pada situasi itu kau seakaan burung hantu yang dicabut kemampuan spesialnya sehingga lehermu terlalu kaku untuk sekadar mencari celah untuk memberikan sudut matamu kesempatan mengintip. Kau mulai memperpendek jarak waktu dan memperpanjang jarak hantaran kanan kiri kaki.
Ingin sekali kau memejamkan mata namun otakmu menawarkan skenario akan adanya makhluk itu saat kau kembali membuka kelopak. Kau mencoba memberikan narasi balasan dalam imaji -yang lagi, masih dalam imajimu- bahwa gang ini amat meriah dengan menumpahkan semua warna yang pernah kau lihat, namun di ujung sana -masih dalam imaji di dalam imajimu- tanpa kau undang, badut dengan lipstik termerah yang pernah kau lihat -lebih merah dari yang dua puluh tahun lalu memberimu mimpi buruk- tersenyum dengan tatapan yang dengan jitu memfokuskan seluruh cahaya pada pupil.
Kau buru-buru menghapus imaji itu sebab rasa takutmu menaklukan kebingungan tentang siapa yang lebih seram, badut di ujung gang atau makhluk entah apa yang -setelah kau kembali merasakan tapak kakimu di gang ini- terasa makin dan amat dekat. Namun setidaknya badut itu telah musnah, diikuti dengan cahaya yang semakin menjauh. Kau terpikir untuk menoleh dan menghadapi makhluk di belakang. Entah berapa ratus langkah kemudian, tekatmu bulat.
Burung hantu itu kembali merasakan leher tanpa rantai. Krak. Entah kenapa bunyi itu terngiang begitu kau cukup berani untuk menoleh. Cukup berani ternyata tidak cukup menggambarkan keberanianmu yang terlimpah ruah, kau tatap dalam makhluk itu, kau tersenyum.
Lalu kau kembali berjalan. Dan berjalan. Dan kau merasa tanganmu tercengkeram kencang. Kau pun kembali tersenyum. Cengkeramannya lebih kencang. Kau mengatur nafas. Cengkeramannya makin kencang. Kau pun membuka bibir.
"Saya terima nikah dan kawinnya dengan mas kawin tersebut. Tunai"
Tegas.
Lugas.
Dan gang itu benar meriah.
Dan meluas.
Dan indah.
0 notes
Text
23
Mereka bilang hidup adalah pendewasaan,
Tidak membanting remote tv saat kesebelasanmu kalah nol lima,
Juga mencari lawan jenis terbaik untuk bereproduksi,
Dan kau buatkan akun instagram sebelum tangisnya berhenti,
Karena anak teman-temanmu tidaklah lucu.
Mereka bilang menjadi dewasa adalah tentang memaknai tanggungjawab,
Mencuci piringmu sehabis makan,
Dan tidak lupa menggosok gigi sebelum tidur,
Sebab pergi ke dokter berarti lembur tiga malam,
Sebab lembur tiga malam berarti pergi ke dokter.
Mereka bilang tanggungjawab lah yang membentuk dirimu,
Menghisap cerutu Gurkha tengah malam di dalam mobil keluaran terbaru
Atau bermain gitar dan mengutuk orang yang membuang abu panas di kakimu,
Tengah malam,
Dari dalam mobil keluaran terbaru.
Mereka bilang dirimu tidak berguna,
Memenuhi data sensus saja,
Kau pasti tak kenal bahagia,
Tawa hanyalah lipstik menor samarkan derita.
Mereka bilang penderitaanmu adalah ubur-ubur kotak yang menyengat bayi hiu,
Tujuh meter di bawah laut,
Empat kilometer dari tepi pantai Vanuatu.
Mereka bilang, dimanakah Vanuatu?
0 notes
Text
33%
Putih masih terlampau seram
Terangnya tuntun ke karam
Kilaunya pekat temaram
Hitam beri harapan
Juga sunyi penuh derapan
Ia hinggap tak kenal kapan
Erat dekapan
Apa itu abu?
Mungkin telapak kaki ibu
Atau gersang mengombak debu
Entahlah
Aku selasa,
tak kenal rabu.
1 note
·
View note