Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Musik this! Musik that! Kolektif this! Kolektif that!.. stop your fuckin' bullshit, big mouth!!
Emang musik mati kalau ga ada kamu dan teman-teman KORPORASI-mu yang pake embel embel kolektif di sana? Emang seberapa berpengaruh kamu dan teman-temanmu yang berusaha menjadi tengkulak dengan ngebayar rendah band-band lokal ke korporasi yang lagi kamu jilatin lubang boolnya? Emang kota ini butuh kamu dan "kolektif"-mu? Emang kota ini diselamatkan industri kreatifnya oleh tangan-tangan seperti kalian? Emang sebegitu penting koneksi orang-orang ibukota yang juga sok penting itu ke kota ini?Emang temen-temenku butuh itu? Emang kami butuh itu? Emang aku butuh kalian? TUNGGU DULU!!!!!

EMANG SIAPA KALIAN? para rasul? juru selamat? pembawa kayu salib industri musik lokal?
Kalian cuma komplotan orang-orang kaya atau ironinya beberapa dari kalian cuman orang-orang miskin dari kelas yang sama sepertiku tapi dengan gaya selangit yang mencoba fit in dengan teman-teman kayanya agar cuma terlihat seperti orang-orang penting bukan? Sebagian besar dari kalian bahkan tidak punya etos kerja kolektif!

Aku ingat sekali, suatu waktu diskusi diadakan oleh media yang juga sebenernya gak jelas juga arahnya ini, dengan beberapa speaker berisi orang-orang congkak di sebuah bar hotel bintang 5. Seperti dugaanku semua orang yang menjadi speaker semua isinya orang orang boring dan sok penting (tentu saja jika kalian bukan orang dengan dua sifat di atas gak akan mau menjadi speaker di sana haha). Satu di antara mereka berbicara dengan mulut besarnya soal koneksinya dengan band-band besar ibukota dan jasanya membawa mereka ke mari dan karena jasanya kota ini jadi seolah jadi jalur perdagangan penting bagi industri musik. Satu di antaranya yang lagi-lagi juga bermulut besar berbicara soal kolektif yang dia bangun dari bawah blah blah blah, di kepalaku aku cuma menjawab "bukannya kamu salah satu bootlicker brand HS Sampoerna bahkan dari acara pertamamu ya??"
Jika saja tidak ada bir gratis di sana aku juga gak sudi untuk mendengarkan gerombolan mulut besar itu saling menceritakan pencapaian-pencapaian palsu yang mereka bangun jauh di dalam kepala mereka sendiri.
Tetapi minum 3 gelas bir gratis sambil mendengarkan omong kosong rasul-rasul juru selamat dan tengkulak-tengkulak ini nampaknya enak juga hahhaha, setidaknya perasaan terhiburku terbayarkan.
Sungguh indah sekali kota ini dan diskusinya dengan juru selamat dan tengkulak yang saling bergandengan tangan.
7 notes
·
View notes
Photo


“A Day for Destroying Things” by Katy Batsel
1K notes
·
View notes
Text

Alvilda - C'est Déjà L'heure
Summer-y female French power pop that just hits the spot!
4 notes
·
View notes
Text





phoebe bridgers, chinese satellite // (left) ??? // (right) charles wright, across the creek is the other side of the river. from "Caribou: Poems" // weyes blood, something to believe // ocean vuong, on earth we're briefly gorgeous // eforest on tumblr // ??? // sue zhao, dialogues on love #2 // sylvia plath, elm
47 notes
·
View notes
Text
Cotswolds Intimate Session Gigs

Setelah kurang lebih setahun tidak pernah sama sekali datang dan menonton gigs karena masa pagebluk yang belum juga berhenti dan membuat saya agak sedikit takut berhimpitan dengan banyak orang terutama di pertunjukan–pertunjukan musik. Namun pada akhirnya, saya memberanikan diri untuk menonton intimate session gigs yang diadakan oleh salah satu band post-punk yang sudah saya ikuti sejak beberapa tahun lalu dari surabaya yaitu Cotswolds dengan jarak venue satu jam perjalanan.
Saya datang terlalu awal kemarin bukan karena terlalu rajin hahaha, tapi karna tertipu dengan jadwal gigs di poster yang berbeda dengan kenyataan di lapangan alias molor. Hal klise yang sedikit menjengkelkan tetapi juga saya rindukan karena agak menarik sedikit memori saya tentang budaya gigs yang sering saya datangi atau bahkan saya organisir bersama kawan–kawan di Mendadak Kolektif dulu sebelum wabah besar ini datang dimana kasusnya mirip seperti itu.
Dan gigs akhirnya dibuka setelah beberapa jam saya dan beberapa kawan menunggu hampir 2 jam lebih. Saat memasuki venue saya sedikit amaze dengan konsep seperti di skatepark dan formasi personil yang saling berhadap–hadapan melingkar di tengah ramp skate. Konsep yang saya rasa sangat intim sesuai dengan tema intimate session yang mereka katakan di poster karna kita yang menonton bisa memilih angle untuk melihat performer dengan lebih leluasa dari manapu bahkan di atas ramp skate kalau kita mau. Dengan penonton sekitar belasan orang membuat saya flashback lagi di hari dimana saya pertama kali menonton mereka di sebuah studio gigs pada 6 tahun yang lalu di acara #SNKSruputTour2015.

Mereka membawakan 12 lagu ditambah satu lagu dari Smashing Pumkins berjudul 1979 yang tidak ada di rencana setlist mereka. Semuanya membuat saya dan beberapa penoton secara tidak sadar menggerakan badan mengikuti tempo dan ambience gitar yang dreamy abis hahaha. Beberapa lagu andalan saya seperti European Ocean yang liriknya gampang sekali dinyanyikan karna cuma berisi dua kata seperti judul yang diulang–ulang. Tidak lupa All This Mess, Fire dari EP pertama mereka dan juga Marra yang entah sangat mengingatkan saya dengan Teddy, mendiang mantan vokalis mereka yang sudah meninggalkan mereka beberapa tahun lalu yang juga ikut dibawakan sebagai penutup setlist. Gigs pertama saya setelah setahun akhirnya selesai juga dan tentunya meninggalkan memori–memori menyenangkan untuk dapat ditarik lagi di masa–masa setelah ini semua berakhir dan gigs–gigs lainnya rajin diadakan lagi.

0 notes
Text
PUNK KOK SEKSIS!!!
mengamati keramaian media sosial twitter beberapa waktu yang lalu tentangsalah satu personil band punk asal bali yang mencuit-kan kalimat bernadahomofobik dan seksis yang ditujukan kepada beberapa laki-laki korea selatanyang mengubah wajahnya menjadi lebih cantik yang menurutnya kurangmaskulin, dan saya yakin cuitan tersebut dia tulis dengan sadar karenasetelah nya si personil band punk ini banyak me-retweet ucapan–ucapan penggemarnya yang juga mengamini kalimat yang dia tulis.
tentu saja kita memang tahu di korea selatan sana industrialisasi budaya sangat massive dan tentunya nilai jual utamanya adalah penampilan si artis yang juga tidak dapat dipungkiri banyak diantara mereka melakukan operasi plastik entah pria atau wanita dan saya yakin beberapa diantara mereka juga terpaksa melakukannya agar karirnya tidak redup, tapi saya tidak sedang membahas tentang itu, yang akan saya bahas disini adalah sikap homofobikdan seksis yang keluar dari mulut seseorang yang mengklaim dirinya punk dan memang seperti kita tahu bukan kali ini saja dia melakukannya, beberapawaktu lalu juga mencuitkan kata kurang pantas dan berbau seksis kepadasalah seorang penyanyi wanita.
tetapi tentu saja dia bukan satu–satunya self-proclaimer punk yangmelakukan hal tersebut, sering juga saya jumpai entah dari lingkaranpertemanan saya sendiri ataupun kasus–kasus lain diluar kota, bahkan beberapa ada yang sampai ke ranah pelecehan seksual bahkan sampaiperkosaan dan tak jarang ada beberapa kawan si pelaku yang juga self-proclaimer punk malah melindungi temannya tersebut dan biasanya alasanmereka standard saja seperti tidak mau scene yang mereka bangun hancur karna telah disusupi oleh predator padahal alih–alih melindungi scene yangna telah disusupi oleh predator padahal alih–alih melindungi scene yangmereka lakukan menurut saya justru penghancuran scene itu sendiri secaraperlahan.
sebagai refleksi, kita termasuk saya didalamnya terkadang lebih senangmengomentari gaya anak jalanan yang juga mengklaim diri mereka sebagai punkkarna kelakuan mereka kita anggap tidak mencerminkan attitude punk samasekali, tetapi lupa bahwa kita sendiri ternyata juga tidak terlalu punkseperti yang kita kira karna masih menolerir perbuatan–perbuatan seksisyang dilakukan oleh teman–teman kita atau bahkan kita sendiri.
kita juga lupa kalau punk itu sendiri sebenarnya counter-culture terhadapstatus quo di masyarakat termasuk seksisme dan homophobia didalamnya.bukankah punk seharusnya jadi wadah yang aman bagi semua orang? dan sayarasa naif sebenarnya bagi kita menganggap tindakan–tindakan tersebut adalahbuah dari ketidaktahuan sedangkan kita hidup di era dimana semua informasidapat diakses dengan mudah.
memang, melemparkan ucapan–ucapan berbau seksis dan homofobik kepada oranglain (bahkan meskipun itu dengan nada bercanda sekalipun) ada di palingdasar piramida kekerasan seksual namun bukan berarti kita boleh menolerirperbuatan tersebut karna bisa saja kebiasaan permisif kita terhadapperbuatan yang kita anggap sepeleh tersebut bukan tidak mungkinmenjadikannya efek bola salju yang dimana membuat kita menolerir perbuatankekerasan seksual yang lebih besar lagi misal saja menolerir perbuatanpemerkosaan seperti berbagai kasus yang sudah–sudah.
untuk itu, siapapun yang membaca ini termasuk diri saya sendiri mari kita ciptakan ruang komunitas yang aman dan nyaman untuk semua orang agar slogan–slogan yang familiar ditulis dibelakang baju kita "no sexism", "no homophobia" ataupun slogan–slogan baik lainnya tidak cuma berakhir omong kosong di sablon kaos yang hanya untuk dilihat dan dipakai untuk agar terlihat keren saja.
0 notes
Photo
La batalla de Chile: La lucha de un pueblo sin armas - Tercera parte: El poder popular (Patricio Guzman, 1979)
17K notes
·
View notes
Photo










1944 Warsaw Uprising - the major World War II operation held by the Polish resistance Home Army (in Polish: Armia Krajowa, AK), a tragic 63-day struggle to liberate the Polish capital city from the Nazi Germany.
The operation was undertaken between 1st August - 2nd October (2 months and 1 day in total), around the time when the Allied troops were breaking through the Normandy defenses. The Uprising was meant to be synchronized with the arrival of the Red Army, but Stalin gave the Soviet troops other instructions - they stopped their march at-hold just at the other bank of the Vistula River, around 20 km from the locations where the main fights took place in Warsaw, cutting the Polish troops from the outside help.
The massive losses were counted to around 150,000 - 200,000 deaths of civillians, killed mostly in mass executions [see for example: Wola Massacre]. In comparison, both German and Polish millitary forces counted around 20,000 deaths each. Between 600,000 - 650,000 inhabitants of the city were expelled, of whom around 150,000 sent to Nazi German labour and concentration camps.
Around 93% of the city was left in ruins (including the buildings later intended for demolition because of their poor technical condition), what makes the Warsaw Uprising one of the largest battles fought by civillians and ill-equipped combatants. The systematic desctruction of the city was a result of the Nazi Germany planned destruction of Warsaw, which had started already around the beginning of the war.
Operated by the Polish resistance army and being remembered as a struggle of the hundreds of thousands inhabitants of the Polish capital city, the Warsaw Uprising was a heroic fight of the Poles. But there were also numerous representatives of other nationalities that had joined the Polish units in the name of the old Polish motto: “for our freedom and yours”.
Among them were foreigners living in Warsaw before the war, single soldiers escaped from the German POW camps, refugees from the forced labour in Germany, even a few deserters from the Nazi and Soviet armies. Of the well-documented, the most numerous were Slovak, Hungarian and French volunteers, few Belgian, Dutch, Greek, British and Italian people, one Romanian, one Australian and even one Nigerian [see: August Agboola Browne]. Vast majority of the 348 Jews deported from the Netherlands, Greece, Germany and Hungary, who had been held in the “Gęsiówka” (the Nazi German concentration camp at the Gęsia street in Warsaw) also joined the Home Army after being liberated by the Polish insurgents. Slovaks forming the Platoon 535 were the only foreigners entitled to fight under their own banner and uniforms, as the organization collaborating with the Home Army since 1942, long before the outbreak of the Uprising [x].
Outside Poland the 1944 Warsaw Uprising is sometimes mistaken with the Jewish Warsaw Ghetto Uprising which took place a year earlier, in 1943.
Informative websites:
Warsaw Rising Museum’s website with the extensive photo library
WarsawUprising.com with detailed FAQ, timeline, stories of the witnesses, resources and more, all available in English.
website of the 1944 Warsaw Uprisig Remembrance Association
All pictures via Wikimedia Commons.
Check also the pictures of the city after the war under the tag Maria Chrząszczowa (Polish photographer who documented the ruins and the process of rebuilding the city).
1K notes
·
View notes
Photo

On this day, 22 June 1908, the Red Flag Incident took place in Tokyo, Japan, marking the beginning of the move of the imperial government to crush the socialist movement. Celebrated anarchist Koken Yamaguchi was released from prison and was met by crowds waving red flags carrying anarchist communist and revolutionary slogans, and singing communist songs. Police violently attacked and broke up the demonstration and arrested 10 prominent activists, later giving them lengthy prison terms. More information about this period in this pamphlet about the Japanese anarchist movement: https://libcom.org/library/anarchist-movement-japan Pictured: Kanno Sugako, one of those arrested https://www.facebook.com/workingclasshistory/photos/a.296224173896073/1151619301689885/?type=3
92 notes
·
View notes
Photo

On this day, 5 May 1818, Karl Marx was born in Trier, Germany. Living until the age of 64, Marx was a journalist, revolutionary socialist, philosopher and economist, and one of the most influential figures in world history. He dedicated his life to the the cause of the working class, and inspired hundreds of millions with his works, including Capital. Over a century later, Capital remains the most incisive critique of the capitalist system. While his ideas have been used by some to justify politicians and political parties acting on behalf of the working class, Marx was clear that ultimately “The emancipation of the working class must be the work of the working class itself.” This is a great account from a friend of his of going on a pub crawl with Marx in London in the late 1850s: http://bit.ly/1SQUBrr http://bit.ly/2V2sKbM
300 notes
·
View notes
Photo

On this day, 28 April 1969, students and workers took to the streets of Tokyo, engaging in running battles with police and erecting barricades, creating an 800-metre area which they dubbed the ‘Ginza Liberated Area’. This is a great history of Japan’s radical movement at that time: http://bit.ly/2n20cTP http://bit.ly/2DDjqFt
160 notes
·
View notes
Photo


Alex Knost testing out a bonzer recently scored on Craigslist in Hawaii.
photo: Russo
203 notes
·
View notes