upside-downlogic
upside-downlogic
The girl who sees phosphene all the time
80 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
upside-downlogic · 1 month ago
Text
Muhasabah (eww)
Saya rasa kedewasaan tidak hadir beriringan dengan usia yang bertambah atau asam garam kehidupan yang diicipi—iya itu juga—namun tidak serta-merta. Kedewasaan lahir dari seberapa kenal kita dengan diri sendiri.
Sedari dulu, Ibu saya sering kali menyuruh saya muhasabah dan saya selalu menentang sambil berpikir “Urusan agama gaada hubungannya sama kehidupan nyata.” Saya yang kurang lebih berjiwa sekuler ini tidak suka bila apa-apa dihubungkan dengan agama. Beberapa akan bilang sombong, yang lain bilang arogan—saya tidak menentangnya, toh memang mungkin mereka benar tapi saya masih tidak mau berubah. Ini bukan cerita sukses tentang seseorang yang tidak beragama lalu bertaubat dan menjadi taat beribadah. Di bidang itu saya masih sama—saya masih menganggap Surga dan Neraka bisa jadi sama dengan Atlantis.
Pasalnya Ibu saya bilang, “Itu introspeksi diri, bukan acara-acara yang di Masjid.” Dan benar, bodohnya saya yang baru tahu muhasabah artinya benar-benar introspeksi diri, refleksi diri, evaluasi diri, you name it. Kata itu secara harfiah berasal dari bahasa Arab hasaba yang berarti memperhitungkan. Lucunya belakangan ini saya seperti sedang dipaksa untuk muhasabah. Padahal kala itu Ibu saya tidak berniat menjadikan kata itu sebagai tema besar dalam hidup saya. Yah, anggaplah ini hutang yang saya bayar ke Ibu.
Ceritanya kemarin ini saya habis marah besar kepada mantan kekasih saya. Marah yang saya tahan lebih banyak di dalam pikiran dan saya pakai tenaganya untuk memeluk diri sendiri (secara harfiah). Perkaranya sepele, hanya karena saya melihat ia habis melakukan satu aktivitas yang sedari dulu saya selalu ingin lakukan tapi tertahan antara tidak berani atau tidak benar-benar niat. Setelah energi emosinya habis, saya lalu ber-muhasabah.
Apa yang membuat saya begitu marah padanya?
Premis #1
Saya merasa aktivitas ini adalah milik saya. Saya yang tahu lebih dulu tentang aktivitas ini, saya yang sudah berencana sejak dulu untuk ikut aktivitas ini, bahkan saya yang mengenalkan hal ini pada mantan kekasih saya. Saya marah karena saya merasa ia mengambil sesuatu yang saya pikir adalah milik saya. Bodohnya, padahal tidak pernah ada hutang piutang di antara saya dan aktivitas ini. Tidak ada satupun hal yang mengikat kepemilikannya kepada saya selain my own childish sentiment.
So in the quiet hours of that dawn, it was really my inner child who raged against my past lover.
Premis #2
Saya aslinya marah pada diri saya sendiri dan memproyeksikannya pada mantan kekasih saya. Saya marah pada diri yang penakut, yang apa-apa hanya ingin tapi tidak pernah benar-benar melakukannya, si tukang mimpi, si tukang omong kosong. Bahkan setelah hubungan saya berakhir dengan mantan kekasih, lalu saya diberikan wejangan dan dukungan dari orang lain untuk melakukan hal yang mau saya lakukan dari dulu namun belum, aktivitas ini sudah terlintas kembali di pikiran saya. Namun saya yang penakut dan tukang mimpi ini tidak bergerak. Saya benci akan diri saya yang itu—dan itulah mengapa saya marah.
My anger toward him wasn’t really about him. It was the reflection of an old self-hatred I’ve never truly healed.
Dan setelah ber-muhasabah itulah saya tenang. Saya mencoba merelakan hal-hal yang saya klaim adalah milik saya—termasuk hubungan saya dengan mantan kekasih—sebagaimana anak-anak terhadap mainan favoritnya, serta berperan menjadi ibu yang meminta maaf atas perilaku buruk anak-anaknya. Anak kecil itu mungkin tidak akan pernah dewasa, namun ibu yang mengayominya akan bertambah dewasa semakin ia mengenali dan memaafkan anak kecil yang ia bawa terus dalam dirinya ini.
1 note · View note
upside-downlogic · 3 months ago
Text
Aku menulis lagi karena sedang begitu riuh ripuh pikiranku saat ini. Menggenggam jiwa yang berlayar begitu kencang dan belok kesana kemari, bersembunyi, terbit lagi, melaju lagi—jiwa yang tidak bisa kugenggam seberapapun banyak kutawarkan makanan hangat dan selimut untuknya pulang. Justru, semakin banyak makanan hangat dan selimut yang kusajikan, semakin bergelora hasratnya untuk mengarungi lautan lagi. Sialnya, aku pun tak bisa ikut bertualang dalam kapalnya. Tak pernah ditawari, serta aku tidak berani lagi meminta izin padanya—setelah kejadian hampir diputusnya jangkar kapal supaya ia tidak perlu berlabuh lagi. Aku tidak ingin mengukung jiwa yang bebas dan keras itu dengan ambisi untuk melunakkannya. Sekedar bertahan dalam gubuk reyot namun hangat ini, menunggunya pulang, walaupun riuh ripuh pikiranku saat ini.
2 notes · View notes
upside-downlogic · 4 months ago
Text
There are times. There are bad times. When I miss people I shouldn’t be missing. The way the conversation flows. The way the attention isn’t divided. The way the sentences are beautiful. The way I feel adored. Still. Those are bad times. I shouldn’t be thinking it.
0 notes
upside-downlogic · 1 year ago
Text
Smoking for Dummies 101
“Mbak, ada rokok Esse yang Honey Pop?” Bagaimanapun ia berusaha mati-matian melantangkan suaranya, getaran lirih masih terdengar di nadanya. Gelagat dan raut wajahnya gelisah. ”Sama lighter ada ya?”
Wanita di balik kasir memberinya sekotak rokok yang diinginkannya serta dua pilihan lighter—satu dengan plastik transparan berisi cairan naphtha berwarna biru sedangkan lainnya berwarna hitam pekat dengan merk rokok terkenal tertulis dengan jelas di pembungkusnya. Ia memilih yang transparan.
Rokok dan lighter. Dua benda tersebut terasa asing di tangannya.
Sedikit karena malu dan takut, ia cepat-cepat melempar benda yang baru sekali seumur hidupnya ia beli untuk dirinya sendiri itu ke dalam keranjang belanjaannya—bercampur bersama tumpukan tissue, pembalut wanita, micellar water, kapas, dan croffle hangat untuk sarapan paginya. Pagi ini ia bangun dengan kepala berat, bukan hal jarang yang dialaminya akhir-akhir ini, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini dalam dua puluh delapan tahun hidupnya, ia mau merokok.
Tiga harian yang lalu ia mengontak satu-satunya teman dekatnya di Jakarta yang ia tahu merokok. Rokok yang nyaman buat noob apa? Temannya tahu ia suka apapun yang manis. Dan sekarang benda itu sudah berbaring manis di dalam keranjang belanjaannya.
Seorang perempuan dewasa membeli rokok di Supermarket dengan uangnya sendiri seharusnya bukan menjadi pemandangan aneh, tapi lagi-lagi di dalam kepalanya ia membayangkan semua orang di sekelilingnya sedang mengamatinya dan berbicara di balik mukanya.
’Cewek tapi belinya rokok.’
’Ih dokter tapi ngerokok.’
’Ciye nggak punya lighter, pasti baru pertama kali ngerokok.’
’Cewek nggak bener pasti.’  
Sebuah penggalan dialog nyata antara dirinya dengan seorang laki-laki terus terputar di kepalanya seperti rekaman kaset rusak, ’Walaupun gue ngerokok, gue nggak suka lihat cewek ngerokok dan gue nggak mau punya cewek ngerokok.’ Saat ini laki-laki itu sudah tidak lagi ada di dalam hidupnya, dan ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang diinginkan laki-laki itu, setan, bahkan ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang diinginkan siapapun.
Ia tidak pernah melihat dirinya akan mengisap gulungan tembakau dalam sehelai kertas, ataupun bercita-cita untuk menjadi penikmat zat adiktif dalam bentuk apapun termasuk nikotin, bahkan semua pendapatnya sebelumnya tentang rokok selalu menentangnya dengan keras. Namun siapa yang mengira sekarang ia berada di dalam kamarnya dengan jendela terbuka lebar, kipas angin menyala ke arah jendela, sebuah wadah bekas clay-mask wajah kosong menyamar sebagai asbak, serta sebatang rokok di sela-sela jarinya.
11:24
Ia membakar ujung rokoknya.
11:24:32
Asap putih yang keluar dari ujung rokoknya sudah tidak tampak lagi. Rokoknya mati dalam 2 isapan. Tolol, bahkan ia tidak mengerti cara menyalakan rokok dengan layak.
11:25
Ia mencoba sekali lagi membakar ujung rokoknya.
11:25:39
Rokoknya mati lagi. Menyerah, ia mengambil handphone-nya dan lantas mengetik di web browser-nya. ’How to smoke a cigarette’. Bahkan malaikat Raqib dan Atid sepertinya tidak bisa menahan tawa melihat kelakukan manusia bodoh ini.
Smoking for Dummies 101: Lesson 1. Ternyata kau harus mengisap rokoknya dalam-dalam saat membakar sisi ujung berlawanan dari rokok untuk mempertahankan si tembakau terus terbakar sampai puntungnya.
11:28
She got the hang of it. She is now smoking—the thing she hated the most all her life.
Batang rokok pertama dan kedua dihabiskannya seperti seorang pelari menghabiskan karbohidrat satu hari sebelum maraton. Ke laut semua idealismenya tentang bahaya rokok dan kebenciannya terhadap rokok. Pikirannya runyam. Ia tidak tahu lagi apa yang benar dan salah, apa yang ia sukai dan tidak, apa yang ia inginkan dan tidak. Semua yang ia lakukan dalam hidupnya, keputusan-keputusan yang ia ambil, seperti tidak lagi ada maknanya. Mungkin ia bukan benar-benar membenci rokok, bahkan bisa jadi ia tidak benar-benar percaya bahaya rokok itu nyata, pendapat yang ia suarakan keras-keras itu sepertinya cuma produk dari kepercayaannya akan apa yang benar dan salah—moralitasnya. Moralitas yang ia jaga baik-baik dan menguasai hampir semua aspek dalam hidupnya.
Jangan berhubungan dengan suami orang; Rambut perempuan Indonesia warnanya hitam; Jaga keperawanan sampai menikah; Minta maaf walaupun kamu yang disakiti; Merokok membahayakan dirimu dan orang lain. Lantas apa yang didapatkannya dari menjaga moralitasnya? Berkali-kali ia yang berakhir sakit dan menghabiskan air mata, sementara orang lain menari-nari menonton parodi hidupnya. Di bawah alam sadarnya, aksi mengisap racun kimia dalam bentuk lintingan-lintingan kertas putih ini mungkin adalah caranya membalas dendam. Dendam yang berhulu dari orang-orang yang menyakitinya dan berhilir pada dirinya sendiri. Apakah manusia-manusia tidak baik di dunia ini sebenarnya hanya manusia-manusia tersakiti? Manusia-manusia yang lelah dan reyot, hingga mereka tidak sanggup lagi mempertahankan tiang-tiang moralitasnya. Lagipula untuk apa berlaku benar jika tidak ada hadiah di sisi lainnya? Pada hakikatnya manusia hanya bagian dari kerajaan hewan dengan perilaku-perilaku primitif melekat di tubuhnya, sekalipun manusia itu mengenyam pendidikan formal selama 21 tahun dalam hidupnya.
Selama pikirannya berkecamuk, tujuh batang rokok sudah habis diisapnya satu demi satu. Bersamaan dengan puntung demi puntung rokok yang berguguran di wadah clay-mask kosong di depannya, napasnya semakin pelan dan tenang. Ia masih belum tahu apakah ia suka merokok atau tidak, namun yang ia tahu pasti adalah satu moralnya sudah dihancurkannya hari ini—dan ia menyukainya.
1 note · View note
upside-downlogic · 2 years ago
Text
Am I really stepping out from a 3-year-old relationship? God help me
2 notes · View notes
upside-downlogic · 4 years ago
Text
Prolog
The blinding multi-color lights kept flickering from the cars’ taillight in front of me, obscured by the non-stop heavy downpour since this afternoon. I thought the lights were beautiful like a mosaic art-piece I once saw in a cutting-edge exhibition a while ago. The beauty felt almost ethereal. The lights hypnotized me right until a loud car horn from behind send me back to earth—apparently the red had turned green. This whole atmosphere of late-night driving by the downpour in this ever-lovely city send me back to a specific point of time few years ago when I was not alone in the car and a lame old local song was playing in the car radio. I remembered clearly the bad singing as if it was happening just yesterday. All the giddy feeling I caught every time I got too excited hearing his voice over the phone, the never-fading ear-to-ear smile every time he turned his face to me, and all the night filled with loud desperate tears that followed after he left me. In an instant, the memories rushed back. I remembered it all clearly and remembered why I tried to forget them in the first place. The story was not uncommon to tell, but every broken heart is a great love story.
0 notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Pesan dalam Botol
Ada beberapa pesan yang seiyanya ingin kusampaikan padamu. Banyak malah. Sebagian besar pesan cinta dan rindu, bagian yang paling tidak pantas pula. Mencintaimu seperti aku belajar mengendalikan ombak besar di tengah lautan. Berkali-kali aku berupaya, tenggelam, timbul ke permukaan, berupaya, tenggelam lagi, timbul lagi, berulang-ulang hingga tubuhku menyerah. Aku selalu berupaya untuk pulang ke daratan. Dimana aku melihat cahaya mercusuar itu begitu terang, mengembalikan ingatan atas hangatnya pelukanmu, nyamannya obrolanmu. Mimpi akan kedamaian yang dibawakan oleh mercusuar itu tak pernah berhenti membuatku memperjuangkanmu, memperjuangkan kapal ini agar tidak karam, agar bisa menepi di daratan. Maaf ternyata aku kurang kuat menjadi wanita hebat itu, wanita yang bisa mendaratkan kapal megah ini. Maaf ternyata kapal ini harus berakhir karam di dasar lautan, setidaknya itu lebih baik daripada terus terombang-ambing ombak besar yang bisa menghancurkannya. Cahaya mercusuar yang terang benderang itu, terus berpendar, aku bahkan dapat melihatnya dari dasar laut menembus dalamnya air laut. Cahaya mercusuar itu tidak pernah mati, hingga mungkin aku sendiri yang akan lebih dulu mati. Mungkinkah cahaya mercusuar yang kulihat itu hanya imajinasiku saja? Kudengar orang yang mau mati suka melihat hal-hal yang tidak benar-benar ada, melainkan hal yang paling berharga dalam hidupnya muncul sekelebat sebelum akhirnya ia benar-benar mati. Konon hal itu terjadi agar ia bisa mati dengan tenang. Mungkinkah aku kini sudah mau mati, di dalam kapal megah yang kujaga sampai akhir hayatku ini? Ya, mencintaimu seperti belajar mengendalikan ombak besar di tengah lautan, dan aku tidak pernah menyesal berlayar dengan kapal ini.
0 notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
HARI 1: AKU DAN DALAMNYA
Aku sering melihat rupaku di cermin hingga tiap lekuk-lekuk dan sudut-sudutnya kuhafal dengan baik. Relung dangkal berbentuk bulan sabit di antara kedua mataku yang membuat hidungku pesek khas mongoloid. Tahi lalat yang suatu hari muncul begitu saja di ujung hidungku dan dengan santainya memutuskan untuk menetap disana. Otot kelopak mata kiriku yang melorot hingga selalu membuatku terlihat seperti orang mengantuk di saat-saat tidak pas. Bibirku yang tebal dan berwarna gelap menjadikanku terobsesi dengan gincu demi terlihat lebih menarik. Bentuk rahangku yang terlalu persegi seringkali kupulas dengan photoshop supaya lebih runcing dan feminin di foto-foto media sosialku. Aku bisa saja lanjut sampai berhalaman-halaman membahas rupaku di cermin, namun bukan itu yang mau kau tahu kan. Kau mau tahu apa yang ada di dalam, yang rupanya tidak bisa terlihat di cermin waktu aku lagi gosok gigi pagi-pagi. Ah sial kau, beri aku waktu dulu untuk merenung oke?
...
...
...
Botol listerine di kamar mandiku sudah mau kosong namun masih belum juga kutemukan kata-kata yang pas demi memenuhi keingintahuanmu itu, padahal sudah kuhabiskan setiap malam saat lagi kumur-kumur sambil mengaca memikirkannya. Oke, karena sudah kelewat ngaret, akan kujawab saja sekarang. Waktu aku lagi di kantor namun sedikit banyak makan gaji buta.
Sedikit demi sedikit kulit cokelatku kukupas layaknya kulit pisang. Dimulai dari kepala dulu yang isinya paling banyak. Ternyata sulit. Kepalaku keras seperti batok kelapa. Kurasa itulah yang menjadikanku tidak mau mendengar kata orang lain. Susah dikasih tahu. Setidaknya sampai sudah kubuktikan sendiri ucapannya itu benar. Kalau sudah punya keinginan, harus kesampaian. Ambisi, tapi kadang jadi obsesi. Ibuku bilang aku keras kepala, ia benar, padahal ia belum pernah mencoba mengupas kepalaku. Heran.
Di dalam kulit kepalaku yang keras itu, banyak barang-barang berserakan. Dari yang penting sampai yang tidak penting. Banyak sekali isinya. Mungkin ini yang membuat aku suka jadi autistic, tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku suka mikir, tapi kadang kebanyakan mikir. Banyak dan beragam hal menarik perhatianku. Sekalinya tergaet, aku bisa tidak berhenti mendalaminya sampai akar. Sayang, kepalaku ini tidak punya rak buat meletakkan isi-isinya. Semua jadi berantakan. Sering aku sendiri lupa harus mengambilnya di bagian mana dalam kepalaku. Waktu ingin menceritakan hal-hal yang kupikir menarik ini ke orang lain, kocar-kacirlah makhluk-makhluk kecil di kepalaku mencari dimana aku simpan isi pikiran itu. Rasanya ingin bilang begini ke diriku sendiri, mbok ya rapihin isi kepalamu itu dulu toh, jangan disamain sama kamarmu yang berantakan!
Terdapat di antara tumpukan-tumpukan barang berserakan tersebut, satu tombol merah yang letaknya tidak tersembunyi. Tombol yang agaknya sudah longgar hingga sering kali tidak sengaja terpencet. Sekalinya terpencet, tidak ada cara lagi untuk membatalkan efek jangka panjangnya. Satu kata berwarna putih tertulis jelas-jelas di atasnya dalam huruf kapital. IMPULSIVITAS.
Aku lanjut mengupas mencapai mata. Tempat hal-hal gemerlap silih berganti menjadi hiburan untuk jiwa dangkalku. Seperti warna kuning yang selalu membuatku ceria, every shades of yellow, apalagi kalau warna kuning ini bersinggungan dengan warna ungu. Selain itu aku juga nenikmati segala jenis seni visual. Menurutku seni visual tidak harus dipajang dalam galeri atau museum, menikmati seni visual bisa sambil berjalan-jalan di kota, bahkan di alam terbuka. Banyak hal cantik yang bisa kau temukan disana. Hal yang membuatku senang lainnya tentu menonton film. Needless to say, I cannot pick between Harry Potter, GOT, or HIMYM. But if I gotta choose one thing to simply describe me, then it would be hopeless-romantic for sure (all thanks to Ted Mosby).
Lalu semakin ke bawah, sampailah di bibir. Disini kata-kata mengalir deras seperti air terjun. Namun teman-teman terdekatku, yakin tahu jelas bahwa aku ini dasarnya seorang introvert. Aku suka bersosialisasi, namun aku tidak terlalu mahir melakukannya. Apabila terpapar dalam situasi sosial terlalu lama, aku bisa menjadi tidak nyaman sampai ke titik muak dan gelisah. Jelas aku lebih nyaman bersosial dalam cakupan yang kecil dibanding yang besar. Aku bisa saja mendekam di kamar berhari-hari dan tidak terganggu dengan itu, dorongan untuk keluar rumah buatku lebih bersumber dari kebutuhan memuaskan mata dibanding memuaskan bibir. Itu juga alasan aku suka sendirian dalam keramaian, mengamati, mengobservasi manusia-manusia di sekitarku, hingga akhirnya aku menemukan ceritanya sendiri dalam kepalaku.
Namun dibalik daging-daging di permukaan tubuhku yang bisa dikupas lalu dimakan ini, lebih dalam lagi ada organ yang sangat rapuh. Tempat perasaan-perasaanku bersemayam. I feel things loudly, louder than my mouth, louder than my logic. And that’s exactly why my emotions rule almost every aspect of my life. Si perasa. Si cengeng. Si baper. My friend once told me I was like a time bomb with the igniter easily provoked. Aku meledak-ledak. Ya, mungkin itu maksudnya. Rasanya aku ingin tidak terima, tapi aku tidak bisa membantah. Kalau bisa, aku ingin mengikis perasaanku beberapa sentimeter, agar tidak terlalu tebal. Agar aku bisa menakar sedikit perasaanku saat mencintai seseorang, atau saat membenci seseorang. Ujungnya, agar aku tidak mudah sedih-sedih lagi.
Sebenarnya aku mau lanjut lagi lebih bawah, ke organ yang ada di antara kedua pahaku. Namun sudah, lihat betapa menulis ini membuatku menyadari satu sifat lain tentang diriku. I am such a narcissist to write all these words about myself. No wonder I spend so much time looking at myself in the mirror while I’m brushing my teeth.
2 notes · View notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Falling into Love - Allan Watts
Well now really when we go back into falling in love. And say, it's crazy. Falling. You see? We don't say "rising into love". There is in it, the idea of the fall. And it goes back, as a matter of fact, to extremely fundamental things. That there is always a curious tie at some point between the fall and the creation. Taking this ghastly risk is the condition of there being life. You see, for all life is an act of faith and an act of gamble. The moment you take a step, you do so on an act of faith because you don't really know that the floor's not going to give under your feet. The moment you take a journey, what an act of faith. The moment that you enter into any kind of human undertaking in relationship, what an act of faith. See, you've given yourself up. But this is the most powerful thing that can be done: surrender. See. And love is an act of surrender to another person. Total abandonment. I give myself to you. Take me. Do anything you like with me. See. So, that's quite mad because you see, it's letting things get out of control. All sensible people keep things in control. Watch it, watch it, watch it. Security? Vigilance Watch it. Police? Watch it. Guards? Watch it. Who's going to watch the guards? So, actually, therefore, the course of wisdom, what is really sensible, is to let go, is to commit oneself, to give oneself up and that's quite mad. So we come to the strange conclusion that in madness lies sanity.
1 note · View note
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Fire Monster
We were on the edge of our youth
You realize I was no longer your safety net
The stakes are real right now
Time could no longer be contained, so does your fire
Blasting through windows and ceiling of your own belief
Making it visible and the sky darken
You are everything I’ve come to know since I was a child
Yet you have become a fire monster as I grow up
1 note · View note
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Agaknya sudah lapuk bahasan ini dalam buku ceritaku. Berbelas bulan habis hanya berputar dalam halaman yang itu-itu saja. Mencinta membenci mencinta membenci. Sudah kutuangkan kopi hitam panas di cangkir spesialku untuk melepas kalut namun tetap tidak menjelma simpulan. Belakang ini baru kutemukan sebabnya karena si tukang kopi nihil tiba—karena saat ia, halaman lapuk itu seolah ditumpahkannya air kopi hingga tidak ada pilihan selain mengeringkan halaman yang tak lagi berupa itu. Kini ada namun samar, tak terbaca. Pula si tukang kopi lalu mengambil alih pena redupku dan mulai menulis kisahnya dengan air kopi hitam miliknya di buku ceritaku. Kata pertama dalam babnya—Kala.
1 note · View note
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Mengiang di lorong-lorong, memenuhi bilik-bilik di kepalaku. Untaian kata dan lantunan nada yang berpilinan erat. Menikah mereka menjadi sah di diriku.
Dan ku menari dalam diam, dalam pikiran yang seaslinya bergemuruh. Sahut menyahut gema suara dan gerakan. Liar. Tak berbatas.
Berlayar semakin jauh kapal yang membawa pesan manis ini mengarungi kosong udara dan gesekan-gesekan angin. Berlayar semakin jauh ia.
Renjana yang bergemuruh.
Hasrat yang bergemuruh.
Tarian dan suara yang bergemuruh.
Ombak yang bergemuruh.
Rasa yang bergemuruh.
Berteriak-teriak habis. Aku menuju kau.
(10 Juli 2020)
1 note · View note
upside-downlogic · 5 years ago
Text
How nice it is to have someone says you are the girl of my dream
0 notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
I am in love with your mind
0 notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Aza & Kama .1
(Februari 2020)
Aku tidak ingin mencoba menjadikan apa yang kurasakan itu sebagai sebuah perumpamaan. Di satu sisi memahami bahwa tubuhku merongsok makin jauh dari cantik, sementara jiwaku terus berkibar mencari arah angin tujuannya. Faham benar manusia hanya diberi waktu sedemikian sempit untuk menjelajahi dunia yang tanpa batas, rasanya seperti tidak adil. Tapi adakah keadilan? Sungguh aku merasa semua jiwa di dunia ini apabila ditanya apakah ia mendapatkan keadilan, aku bisa bertaruh putus lidahku tidak ada yang akan menjawabnya ya. Mungkin ada, saat ia sedang insyaf. Tapi ketika disuruhnya menjawab masa demi masa, jawabannya pasti tidak konsisten lagi. Keadilan itu hanya sebuah konsep yang dibuat oleh manusia di saat kedudukannya sedang lebih baik dibanding yang lain. Tengok si penegak keadilan, aparat polisi yang sedang ditangkap dan dimasukkan ke penjara karena kelakuannya sendiri pun akan menjawab keadilan yang selama ini ditegakkannya pada para kriminal menjadi tidak adil lagi. Betapa mudah konsep adil itu diporak porandakan, terutama saat anda sedang dipepet keadaan.
Seperti aku—yang merasa betapa tidak adil dunia ini pada waktuku. Beranjak tua tidak pernah terlintas di otakku sebelumnya. Namun belakangan melihat perempuan-perempuan yang sepuluh tahun tahun lebih muda dariku cekikikan genit ramai-ramai seperti tidak berbeban, mengobral senyum manis di wajahnya yang tanpa keriput dan bercorak oleh jejak sinar matahari, membuatku begitu kesalnya sampai menangis. Betapa tidak adil dunia ini padaku—tunggu! Tahan! Waktu mudaku belum cukup. Aku bahkan belum sempat menjelajahi taman belakangku.
Pun matahari tidak memberiku istirahat barang sebentar saja. Ia kabur begitu cepat menuju ufuk bumi, tidak memberikan kesempatan untuk aku menyelesaikan tugas harian yang kurencanakan selesai hari ini. Sementara besok tugas lain akan bertambah lagi tak henti-hentinya, seperti tumpukan arang kayu bakar dibawah api yang menyala.
Pandanganku beralih ke telepon genggamku, dengan serba-serbi teknologi canggih yang sungguh tak kubutuhkan sama sekali, baru saja ia berdering nyaring. Satu nada artinya sebuah pesan masuk.
Jangan lupa besok ya. Ditunggu :)
Dua simbol di belakang pesan itu seakan membuat intonasi pengucapan si penulis pesan menjadi naik di akhir, trik yang bagus. Ah, aku semakin tidak bisa tidur. Serta merta jariku menekan satu-satunya nomor yang kusimpan di daftar favorit, berharap-harap si empunya nomor belum tidur lelap. Satu nada panggil, dua nada panggil.
​“Oi Za, ada ape? Jam berapa nih?” Suara di seberang jaringan terdengar serak dan kasar. Khas orang baru bangun tidur.
​“Jam satu Kam. Masa udah tidur sih lo jam segini?”
​“Ah elah Za, semua orang jam segini juga udah tidur kali. Besok kan kerja.”
​“Ah lo, kayak kerja bener aja. Sok-sokan besok kerja.”
​Sayup kudengar suara satu tarikan dan hembusan napas yang cukup keras dari sisi Kama. “Ada apa?” Bertanya begini, suara laki-laki di seberang jaringan teleponku ini berubah menjadi halus sekali. Seketika membuatku ingin bergerak mengusap rambut gondrongnya.
​“Kenapa ada konsep adil ya Kam? Siapa coba yang nyiptain pertama? Siapa dia sampai dia berhak menyebut satu hal adil dan yang lain tidak? Siapa yang menunjuknya menjadi si penegak keadilan?”
​“Hah?”
​“Iya. Anggaplah kita hidup di jaman dulu waktu negara belum ada, belum ada profesi, belum ada undang-undang, belum ada hukum. Apakah konsep adil jaman itu berbeda dengan jaman kita sekarang?”
​“Iya, gue faham pertanyaan lo Za. Maksud gue, hah lo bangunin gue jam satu buat ngebahas hal beginian?” Hilang sudah nada halus di suaranya.
​Aku diam.
​Memang sepertinya aku kelewatan kali ini, ditambah kami sedang sibuk masing-masing dan jarang berhubungan lagi beberapa hari terakhir.
​“Kalau berdasar sama apa yang pernah gue baca sih Za, sori kalo salah ya soalnya gue udah lupa-lupa inget juga. Jadi Plato pernah bilang kalo keadilan itu menekankan pada harmoni dan keselarasan. Ya karena Plato sendiri tipikal idealis abstrak gitu yang mengakui adanya kekuatan-kekuatan di luar manusia, jadi mungkin memang konsepnya agak irasional dan abstrak juga. Dia mendefinisikan keadilan sebagai ‘the supreme virtue of good state’ atau intinya sebenarnya adalah keadaan dimana manusia mengesampingkan irrational desire mereka untuk mencicipi segala kenikmatan dan mendapatkan kepuasan diri sendiri sampai menyebabkan mereka melepas fungsi mereka di khalayak. Intinya sih menurut Plato ini semua hal di bumi udah ada fungsinya masing-masing untuk mencapai harmoni, nah state of being itulah yang dicapai oleh keadilan.” Diamku dipecahkan oleh Kama. Aku senyum-senyum sendiri mendengar penjelasannya yang panjang bak ceramah shalat jumat di tengah malam begini. Senyum-senyum yang dia tidak tahu. Perasaan lega muncul di pikiranku, bahwa manusia ini masih mau meladeni pertanyaanku yang tidak berpola dan tidak menganggapku pengganggu.
“Tunggu, tunggu. Kalo artinya itu sama aja sama konsep moralitas dong?”
​“Nah iya, dia tuh memang gunain bahasa Yunani yang maknanya nyerempet morality kalau diartiin secara literal. Wait, wait let me google it… Dikaisyne! Yap, that’s the word. Sebenarnya konsep keadilan itu ada banyak yang menjelaskan, Aristoteles, John Rawls, Thomas Aquinas, tapi menurut gue memang si Plato ini yang paling abstrak. Yang lain ada yang menilik dari sisi negara, agama, atau tatanan hukum lainnya.”
​“Hmm gue suka sama konsep Plato sih yang paling primitif hahahaha, abstrak kayak gue. Berarti kalo pake konsepnya Plato, adil tuh tidak selalu sama ya. Karena fungsi tiap objek dan orang jelas beda-beda. Tapi gue tetap merasa tidak adil kenapa Nia Ramadhani bisa cantik banget dan nikah sama orang kaya terus dia hidupnya jadi super nikmat. Apa coba?”
​“Ya mungkin untuk mencapai harmoni memang fungsi dia jadi istri pejabat, coba bayangin kalo dia jadi tukang cuci piring di McD? Either dia akan ngomel-ngomel dan kerjaannya jadi tidak bener, atau ujung-ujungnya Ardie Bakrie makan di McD, ketemu Nia Ramadhani lagi ngambilin piring kotor, terus naksir, terus ngawinin doi.”
​“Hahahahahaha, bodo deh lo! Tapi kalau itu mah kan jadinya konsep takdir dong?”
​“Ya maksud gue adalah setiap orang punya fungsinya masing-masing kan. Kayak gue, sering banget merasa tidak adil kenapa di saat orang-orang bisa cuti tanggal merah, atau weekend, atau lebaran, gue harus tetap masuk jaga? Gue selalu merasa itu nggak adil, tapi ya lagi-lagi itu fungsi gue di masyarakat. Jadi untuk gue berlaku adil, gue tidak boleh meninggalkan fungsi gue dan malah mau enak-enak liburan. In the end, semua ada porsinya masing-masing.”
​“Tapi kan gaji lo gede? Itu bukan sih yang membuat pekerjaan lo menjadi adil dengan workshift-nya yang berat?”
​“Hey kata siapa? Gue harus bilang berapa kali ke lo gaji lo lebih besar dari gue?”
​“Eh iya maaf gue lupa. Habis di otak gue dokter selalu identik dengan kaya. Berarti sebenarnya apa yang lo jalanin sekarang memang tidak adil dong?”
​“Hmm nanti yah kita bahas itu, gue lagi not in the mood nih. Jadi Azelia, kenapa lo bangunin gue pagi-pagi buta karena perkara adil dan tidak adil ini?”
​Aku tertegun. Malu mengakuinya. Ah, tapi sejak kapan aku bisa malu di depan Kama? Mungkin karena faktor kita sudah lama tidak berbagi cerita akhir-akhir ini hingga lidahku tidak lagi seluwes biasanya di hadapan Kama.
​“Gue… gue tadi habis lihat sekelompok perempuan gitu di kantor gue. Kayaknya anak kuliahan deh. Terus gue tiba-tiba merasa minder. Gue merasa tua dan tidak menarik lagi dibanding mereka. Mana Agus sama Naren ngomongin mereka terus lagi, caper banget deh. Terus gue merasa hidup tidak adil aja, gue belum puas ngehabisin waktu muda gue. Rasanya masih banyak yang mau gue kejar dan belum tersampaikan…”
​“Za,” Kama menyela omonganku yang belum selesai. Nadanya rendah namun tegas, membuatku seketika terdiam. “Banyak banget yang harus dibenahin dari omongan lo tadi. Yang tidak adil tuh bukannya hidup ke diri lo, tapi lo ke hidup lo. Ingat tentang konsep berhenti berusaha mencicipi segala kenikmatan? Gue mau revisi kata-kata gue. Kenikmatan yang dimaksud itu kenikmatan yang irasional. Kayak pikiran lo sekarang. Karena masih banyak kenikmatan lain yang sebenernya bisa lo cicipi tanpa lo menjadi tidak adil. Satu, lo masih muda. Kata siapa lo sudah tua? Bukannya bulan lalu lo habis ikut Full Marathon di Bali? Mana ada orang tua yang bisa ikut Full Marathon dan setelahnya masih merengek-rengek ke gue mau waterfall-hopping? Kedua, lo sama sekali jauh dari kata tidak menarik. Ya… buktinya waktu kita ke Uluwatu kemaren lo banyak banget tuh disamperin monyet kan?”
​“Hahahaha si tolol, emang lo tuh kalau muji pasti kalau bukan ada maunya, ada plot twist-nya di akhir. Udah ah tidur tidur, besok lo jaga jam berapa by the way?”
​“Jaga pagi gue. Pokoknya kalau besok gue ketiduran di IGD salah lo ya.”
​“Iye iye, nanti gue traktir lo all you can eat deh.”
​“Nah gitu dong, baru namanya young and rich. Gue kangen ngobrol sama lo sih Za.”
​“Shuuuut.”
1 note · View note
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Aku ditemukan oleh pengembara yang sedang berkelana
Dikatakannya padaku aku mengingatkannya akan hujan
Yang lama tidak ia temukan dalam perjalanannya yang jauh
0 notes
upside-downlogic · 5 years ago
Text
Dermaga Pembuangan Rasa
Aku ingin berlari ke dermaga
Supaya menyaksikan desir ombak itu
Yang sudah tenang menabrak beton
Aku ingin berlari ke dermaga
Supaya habis luapan napasku
Dan kencang aliran darahku
Aku ingin membunuh perasaanku
Lalu kulempar ke dalamnya air laut
Yang berbaris di bawah kakiku
Seperti menunggu diberi makan
Aku ingin membunuh perasaanku
Dia yang paling kuat, yang pegang kendali
Aku dibuatnya mabuk kepayang
Dibuai angan-angan bodoh
Aku ingin membunuh perasaanku
Sebelum dia membunuhku lebih dulu
Pelan-pelan, lalu sekejap
Perasaanku sialan
0 notes