zulfajihan-blog
zulfajihan-blog
JIHAN
1 post
stay pretty . be educated . dress well . get money . 
Don't wanna be here? Send us removal request.
zulfajihan-blog · 6 years ago
Text
[K7119290] - [Zulfa Jihan Hanifa] - Pendidikan Guru Sekolah Dasar - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
K7119290 - Zulfa Jihan Hanifa - Pendidikan Guru Sekolah Dasar - Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
A. Latar Belakang 
           Ketahanan pangan merupakan isu multidimensi yang sangat kompleks. Isu ini meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan lingkungan. Ketahanan pangan merupakan agenda prioriotas dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan berbagai negara dan lembaga Internasional. Ketahanan pangan erat hubungannya dengan produksi pertanian. ASEAN yang berada pada garis 28 LU - 11 LS dan 95 BT - 141 BT , wilayah yang tergolong beriklim tropis dan bercurah hujan tinggi serta matahari yang bersinar sepanjang tahun. http://fp.uns.ac.id
           Berdasarklan data yang bersumber dari World Bank (2017), Indonesia memiliki luas lahan pertanian terluas daripada negara negara ASEAN lainnya. Luas lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 570.000km . Dengan adanya data mengenai luas lahan pertanian ini seharusnya Indonesia menjadi negara dengan tingkat ketahanan pangan terbesar di ASEAN . http://fp.uns.ac.id/
B. Tujuan Artikel Ilmiah 
           Menganalisis ketahanan pangan di Indonesia terhadap negara asean lainnya. http://fp.uns.ac.id/
C. Pembahasan 
            Produktivitas merupakan perbandingan output dengan input. Oleh karena itu dengan ukuran produktivitas sumber daya harus dikelola dan dimanfaatkan untuk dapat mencapai hasil optimal. Ukuran-ukuran produktivitaa bisa bervariasi tergantung pada aspek - aspek output dan input yang di guankan sebagai agregat dasar. Misalnya: indeks produktivitas buruh, produktivitas biaya langsung, produktivitas bjaya total produktivitas energy dan produktivitas bahan mentah. http://fp.uns.ac.id/
            Pengertian produktivitas ini merupakan penggabungan antara konsepsi efisiensi usaha (fisik) dengan kapasitas tanah. Efisiensi fisik mengukur banyaknya hasil prosuksi yang diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi. Jika efisiensi fisik kemudian di nilai dengan uang maka menjadi efisiensi ekonomi. Sedangkan kapasitas dari sebidang tanah tertentu menggambarkan kemampuan sebidang tanah untuk menherap tenaga dan modal sehingga memberikan hasil produksi bruto yanh sebesar-besarnya pada tingkatan teknologi tertentu. Jadi secara teknis produjtivitas merupaka perkalian antara efisiensi (usaha) dan kapasitas tanah. http://fp.uns.ac.id/
Ketahanan pangan tercapai jika semua orang, setiap waktu, mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang aman dan bermutu sesuai dengan kebutuhan gizi dan preferensinya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (FAO dan WWC, 2015). Ada empat dimensi utama dalam pembahasan ketahanan pangan. Pertama adalah ketersediaan pangan yang merupakan sisi suplai dari ketahanan pangan yang ditentukan oleh tingkat produksi pangan, tingkat stok, dan selisih antara ekspor dan impor pangan. Kedua adalah akses pangan yang diukur dengan akses secara fisik dan secara ekonomi, yang berarti bahwa secara fisik pangan harus terjangkau dalam jumlah yang mencukupi. Akses pangan secara ekonomi, yang berarti bahwa konsumen, utamanya masyarakat rawan pangan mempunyai daya beli yang cukup untuk mengakses pangan. Ketiga adalah pemanfaatan pangan, yaitu suatu dimensi yang terkait dengan kecukupan gizi dan keamanan pangan. Keempat adalah stabilitas, yaitu stabilitas dari dimensi pertama sampai ketiga sepanjang waktu (Teng, 2013). http://fp.uns.ac.id/
Ketersediaan pangan merupakan persyaratan utama terciptanya ketahanan pangan karena pada subsistem inilah awal dari bahan pangan diproduksi. ASEAN merupakan kawasan produsen pangan karena sebagian besar bahan pangan pokok bagi penduduk kawasan ini diproduksi di kawasan ini. Kawasan ini juga merupakan pemasok bahan pangan pokok dunia, utamanya beras, minyak sawit, dan produk perikanan. Selanjutnya, akan dibahas ketersediaan empat komoditas pangan penting di kawasan, yaitu beras, gula, jagung, dan ubi kayu. http://fp.uns.ac.id/
            Kawasan ASEAN merupakan salah satu kawasan produsen beras di dunia. Data AFSIS (2014) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 kawasan ASEAN memproduksi beras sebesar 134,1 juta ton, menurun menjadi 132,7 juta ton pada tahun 2014. Dari sejumlah beras yang diproduksi tersebut, pada tahun 2013 diekspor sebesar 15,9 juta ton, dan meningkat menjadi 18,5 juta ton pada tahun 2014. Adapun impor beras ASEAN pada tahun 2013 hanya sekitar 2,1 juta ton, turun menjadi 1,9 juta ton pada tahun 2014. Ketergantungan kawasan terhadap impor beras, yang dihitung berdasarkan rasio ketergantungan impor (impor dependency ratio) adalah 1,86% pada tahun 2013, turun menjadi 1,71% pada tahun 2014.
             Ketahanan stok beras ASEAN yang diukur dengan rasio stok terhadap penggunaan (stock to utilization ratio) pada tahun 2013 adalah 30,48%, naik menjadi 36,34% pada tahun 2014. Dari data neraca ekspor dan impor beras dapat diketahui bahwa negara net eksportir beras adalah Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Enam negara anggota lainnya adalah net importir beras.
             Indonesia merupakan negara penghasil beras terbesar di kawasan ASEAN, tetapi karena konsumsi beras penduduknya yang besar jumlahnya, maka Indonesia juga merupakan negara pengimpor beras.
Berdasarkan data BPS (2015), produksi beras Indonesia  adalah  44,72  juta  ton  pada  tahun 013, turun menjadi 44,45 juta ton pada tahun 2014. Menurut data AFSIS (2014), impor beras Indonesia mengalami penurunan dari 472 ribu ton pada tahun 2013, menjadi 230,2 ribu ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor beras Indonesia turun dari 1,13% pada tahun 2013, menjadi 0,55% pada tahun 2014.
             Demikian halnya dengan rasio stok terhadap penggunaan beras Indonesia juga mengalami penurunan dari 6,23% pada tahun 2013, menjadi 5,22% pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor beras Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan rasio ketergantungan impor beras rata-rata di kawasan ASEAN mengindikasikan bahwa posisi ketersediaan beras nasional relatif cukup baik di kawasan ASEAN.
           Kawasan ASEAN juga merupakan kawasan surplus gula karena menurut data AFSIS (2014) produksi gula ASEAN pada tahun 2013 diperkirakan sebesar 17,85 juta ton, naik menjadi 19,32 juta ton pada tahun 2014.
          Ekspor gula ASEAN pada tahun 2013 adalah 7,20 juta ton, naik menjadi 9,96 juta ton pada tahun 2014; sedangkan impor gula kawasan ini pada tahun 2013 adalah 4,90 juta ton, naik menjadi 5,04 juta ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor gula di kawasan ASEAN adalah 34,97% pada tahun 2013, naik menjadi 35,14% pada tahun 2014. Rasio stok terhadap penggunaan gula ASEAN adalah 64,30% pada tahun 2013, turun menjadi 63,22% pada tahun 2014. Data neraca ekspor dan impor gula menunjukkan bahwa Thailand, Vietnam, dan Filipina merupakan negara net eksportir gula.
          Produksi gula Indonesia mengalami sedikit kenaikan, yaitu dari 2,55 juta ton pada tahun 2013 menjadi 2,59 juta ton pada tahun 2014. Berbeda dengan kondisi produksi gula di kawasan ASEAN yang merupakan wilayah surplus gula, Indonesia merupakan negara pengimpor gula. Impor gula Indonesia meningkat dari 2,22 juta ton pada tahun 2013 menjadi 2,32 juta ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor gula Indonesia naik dari 45,87% pada tahun 2013 menjadi 46,07% pada tahun 2014; sedangkan rasio stok terhadap penggunaan gula Indonesia turun drastis dari 1,63% menjadi 0,27% pada 2014 (AFSIS, 2014). Kondisi demikian menunjukkan bahwa kondisi ketersediaan gula di Indonesia cukup lemah jika dibandingkan dengan kondisi kawasan ASEAN secara keseluruhan.
          Kawasan ASEAN sebenarnya merupakan kawasan produsen jagung, tetapi mengingat kebutuhan akan jagung di kawasan yang tinggi, kawasan ini menjadi kawasan pengimpor jagung. Pada tahun 2013 kawasan ASEAN memproduksi 39,58 juta ton jagung, naik menjadi 40,80 juta ton pada tahun 2014. Ekspor jagung pada tahun 2013 adalah 1,6 juta ton, naik menjadi 2,61 juta ton pada tahun 2014. Impor jagung kawasan ASEAN pada tahun 2013 adalah 10,42 juta ton, meningkat menjadi 13,27 juta ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor jagung di kawasan ASEAN adalah 21,9% pada tahun 2013, naik menjadi 26,66% pada tahun 2014. Rasio stok terhadap penggunaan jagung di ASEAN cukup tipis, yaitu 10,14% pada tahun 2013, naik menjadi 13,10% pada tahun 2014 (AFSIS,2014). Data juga menunjukkan bahwa Myanmar, Kamboja, dan Thailand merupakan negara net eksportir jagung di kawasan ASEAN.
          Indonesia sebenarnya merupakan negara produsen jagung terbesar di kawasan ASEAN,  namun  karena  kebutuhan  jagung  di Indonesia yang besar, terutama untuk pakan ternak, maka Indonesia pun juga menjadi negara pengimpor jagung. Menurut data BPS (2014), produksi jagung pada tahun 2013 adalah 18,51 juta ton, naik menjadi 19,01 juta ton pada tahun 2014. Menurut data AFSIS (2014), impor jagung Indonesia pada tahun 2013 adalah 3,26 juta ton, meningkat menjadi 4,32 juta ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor jagung Indonesia adalah 15,50% pada tahun 2013, naik menjadi 20,02% pada tahun 2014. Posisi ketergantungan impor jagung Indonesia sebenarnya lebih kecil dibandingkan dengan ketergantungan impor jagung di kawasan. Demikian halnya dengan kondisi rasio stok terhadap penggunaan jagung di Indonesia sedikit lebih baik dari rasio stok terhadap penggunaan jagung di kawasan ASEAN, yaitu 8,12% pada tahun 2013, naik menjadi 16,55% pada tahun 2014 (AFSIS, 2014).
            Kawasan ASEAN merupakan kawasan penghasil ubi kayu. Produksi ubi kayu di kawasan ini pada tahun 2013 adalah 75,71 juta ton, meningkat menjadi 76,63 juta ton pada tahun 2014. Ekspor ubi kayu dari kawasan ini adalah 31,83 juta ton pada tahun 2013, meningkat menjadi 34,41 juta ton pada tahun2014. Impor ubi kayu kawasan ASEAN adalah 4,95 juta ton pada tahun 2013, meningkat menjadi 5,90 juta ton pada tahun 2014. Rasio ketergantungan impor ubi kayu kawasan ini adalah 10,32% pada tahun 2013, meningkat menjadi 11,98% pada tahun 2014. Adapun rasio stok terhadap penggunaan ubi kayu kawasan ini adalah 14,72% pada tahun 2013, turun menjadi 12,01% pada tahun 2014 (AFSIS, 2014). Data juga menunjukkan bahwa Thailand, Vietnam, dan Kamboja merupakan tiga negara eksportir ubi kayu terbesar di kawasan ASEAN. Indonesia sebenarnya merupakan negara produsen ubi kayu kedua terbesar di kawasan ASEAN setelah Thailand. Menurut data BPS (2015), produksi ubi kayu Indonesia pada tahun 2013 adalah 23,94 juta ton, turun menjadi 23,43 juta ton pada tahun 2014. Menurut data AFSIS (2014), sebagian besar produksi ubi kayu Indonesia dikonsumsi dalam negeri, hal ini ditunjukkan dari rasio ekspor ubi kayu Indonesia yang sangat kecil, yaitu 0,15% pada tahun 2013 dan 0,22% pada tahun 2014. Adapun rasio stok terhadap penggunaan ubi kayu Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan dengan ASEAN, yaitu 9,49% pada tahun 2013 dan 10,54% pada tahun 2014.
D. Kesimpulan
          Indonesia mempunyai tingkat ketersediaan pangan yang cukup baik di kawasan ASEAN. Hal ini dapat dinilai dari tingkat produksi beras dan jagung yang tinggi di kawasan, serta angka ketergantungan impor beras dan jagung yang cukup rendah. Bahkan Indonesia mempunyai potensi sebagai negara eksportir besar untuk komoditas ubi kayu.
         Indonesia mempunyai kondisi akses pangan yang sedang di kawasan, karena tingkat PDB per kapita dan angka kemiskinan yang sedang. Namun demikian dari segi pemanfaatan pangan, Indonesia dinilai masih relatif kurang baik dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN pada umumnya, karena Indonesia mempunyai GHI di bawah Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
          Indonesia mempunyai masalah stabilitas pangan yang kurang baik, karena menghadapi relatif tingginya harga pangan dan tingginya fluktuasi harga pangan. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya ketergantungan impor Indonesia terhadap impor pangan pokok, seperti gandum, jagung, kedelai, dan gula.
          Masuknya Indonesia ke dalam pasar tunggal ASEAN dapat dipandang sebagai peluang sekaligus tantangan dalam meningkatkan ketahanan pangan nasionalnya. Agar Indonesia mendapatkan manfaat positif dari masuknya ke dalam pasar tunggal ASEAN, maka disarankan untuk melaksanakan langkah-langkah strategis sebagai berikut:
1.meningkatkan kemandirian pangan nasional
2. mengembangkan pangan lokal
3. meningkatkan akses pasar, dan
4. meningkatkan kerja sama dalam penanganan masalah pangan.
        Guna melaksanakan langkah-langkah strategis tersebut diperlukan dukungan kebijakan sebagai berikut:
1.melanjutkan upaya peningkatan produksi dan produktivitas pangan pokok secara berkelanjutan;
2.mengembangkan industri pangan lokal dari hulu ke hilir, dan meningkatkan promosi produk pangan lokal di pasar domestik dan pasar internasional;
3.meningkatkan infrastruktur, sistem logistik, rantai pasok, serta mening-katkan kelembagaan dan peningkatan sistem informasi pasar;
4.menerapkan standardisasi kualitas dan keamanan pangan;
5.meningkatkan kerja sama dalam penanganan masalah pangan di kawasan; dan
6.memanfaatkan perdaganan pangan kawasan untuk penanganan masalah pangan manakala produksi pangan nasional tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri.
http://fp.uns.ac.id/3496/
http://fp.uns.ac.id/3496/
http://fp.uns.ac.id/3496/
http://fp.uns.ac.id/3496/
http://fp.uns.ac.id/3496/
3 notes · View notes