Tumgik
#Ayub Purnomo
garamterang · 2 years
Text
Kaya Tapi Tanpa Tuhan
Renungan Jumat, 7 Oktober 2022 Oleh Wahyudi Purnomo Yehezkiel 27:1-25
"Datanglah firman TUHAN kepadaku: "Hai engkau anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai Tirus, dan katakanlah kepada Tirus, yang terletak di pintu masuk lautan, dan yang berdagang dengan bangsa-bangsa di banyak daerah pesisir: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Hai Tirus, engkau berkata: aku kapal yang maha indah."" - Yehezkiel 27:1-3 (TB)
Apa yang salah dengan menjadi kaya? Apakah Tuhan membenci orang kaya? Di Alkitab banyak dicatat orang kaya yang disayang Tuhan dan yang juga mengasihi Tuhan. Misalnya Abraham, perempuan Sunem (2Raj. 4:8), dan Ayub.
Tirus juga kaya, bahkan kaya raya. Suatu kota pelabuhan perdagangan yang kaya raya, makmur dan dihormati bangsa-bangsa sekitarnya. Perikop kita memaparkan relasi perdagangan antara Tirus dengan kota-kota lain. Memang kekayaan Tirus sangat dikenal dan dikagumi. Kapal-kapal Tirus terkenal keindahan, kemegahan, dan kekuatannya karena terbuat dari bahan kayu pilihan milik mereka sendiri (ayat 5-7). Bahkan bangsa-bangsa lain termasuk Israel mengimpor kayu-kayu Tirus ke negeri mereka untuk membangun rumah-rumah dan istana termasuk kuil mereka (2Raj. 5). Namun, sungguh tragis dan mengerikan akhir dari kehidupan kota itu. Tirus harus tenggelam ke dalam laut (ayat 27, 34), hingga lenyap selamanya (ayat 36). Inilah akibat dari satu kota yang kaya, tetapi tidak mengenal Tuhan.
Tidak mengenal Tuhan, itu kuncinya. Tidak mengenal Tuhan mengakibatkan seseorang menganggap bahwa segala sesuatu berpusat pada diri sendiri. Kekayaan yang diperoleh tidak dilihat sebagai anugerah Tuhan, tetapi semata-mata hasil usaha sendiri. Maka lahirlah kesombongan. Itulah yang terjadi pada Tirus. Ia sombong karena merasa kekayaannya adalah miliknya dan segala-galanya. Kekayaan Tirus menjadi berhala baginya.
Refleksi: Tuhan tidak menghalangi orang memiliki banyak harta. Tuhan juga tidak melarang anak-anak-Nya untuk bekerja keras dan kemudian jadi kaya raya. Namun Tuhan tidak ingin bila kekayaan membuat orang lupa akan pemeliharaan-Nya. Saat kekayaan menjadi segala-galanya, ia menjadi berhala. Kehancuran Tirus menjadi pelajaran berarti bagi kita. Mengingatkan dan mengarahkan agar kita tidak menjadi angkuh dan lupa daratan karena segala sesuatu yang kita miliki. Muliakanlah Tuhan dengan apa yang ada pada kita.
0 notes
garamterang · 2 years
Text
Terlambat Sudah, Kereta Penghukuman Sudah Berjalan
Renungan Kamis, 8 September 2022 Oleh Wahyudi Purnomo Yehezkiel 14:12-23
"Hai anak manusia, kalau sesuatu negeri berdosa kepada-Ku dengan berobah setia dan Aku mengacungkan tangan-Ku melawannya dengan memusnahkan persediaan makanannya dan mendatangkan kelaparan atasnya dan melenyapkan dari negeri itu manusia dan binatang, biarpun di tengah-tengahnya berada ketiga orang ini, yaitu Nuh, Daniel dan Ayub, mereka akan menyelamatkan hanya nyawanya sendiri karena kebenaran mereka, demikianlah firman Tuhan ALLAH." - Yehezkiel 14:13-14 (TB)
Terlambat sudah, kereta penghukuman sudah berjalan. Ketika berita bahwa penghukuman atas Yerusalem yang tidak dapat dielakkan diutarakan kepada bangsa Yehuda yang berada dalam pembuangan, mereka yang dalam pembuangan masih mencoba beragumentasi. Argumentasi mereka bukannya tidak berdasar sebab mereka menggunakan kebenaran firman Tuhan yang terdapat dalam Kejadian 18. Allah memperhatikan doa Abraham dan berjanji akan membatalkan penghukuman atas Sodom dan Gomora jika ada 10 orang benar hidup dalam kota Sodom. Terhadap Sodom saja Allah mau menunjukkan kemurahan-Nya apalagi terhadap bangsa-Nya yang sudah dipilih, dipanggil, dan diberikan tanah Perjanjian. Mereka berkeyakinan bahwa Allah pasti akan membatalkan penghukuman-Nya karena masih ada beberapa orang benar di Yerusalem. Apakah demikian?
Firman Allah kepada Yehezkiel menegaskan bahwa Yehuda yang ada di Yerusalem sudah sampai pada tahap dimana pengampunan tidak mungkin diberikan lagi. Pintu kesempatan sudah ditutup. Allah sangat serius dalam pernyataan-Nya sebab Ia menyebutkan tiga tokoh besar dalam sejarah Israel yaitu Nuh, Daniel, dan Ayub. Mereka adalah orang yang setia dan taat kepada Allah walaupun situasi dan kondisi menekan dan memaksa mereka untuk berlaku tidak setia. Namun kebenaran mereka tidak dapat membatalkan penghukuman Allah atas Yehuda. Kebenaran seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain yang tidak benar. Allah sangat konsisten dengan prinsip ini. Walau penghukuman dijatuhkan, tetap akan ada orang-orang yang terluput dari penghukuman yaitu orang-orang yang benar (ayat 22- 23).
Ketika kita mencoba memahami dan menerima prinsip ini memang tidak mudah. Yehezkiel sendiri pun nampaknya bersedih atas apa yang akan menimpa Yehuda yang ada di Yerusalem. Allah dengan kesetiaan-Nya menjanjikan penghiburan yang akan membuat Yehezkiel memahami prinsip Allah (ayat 22-23).
Refleksi: Kesempatan tidak selalu ada. Keputusan Allah tidak selalu akan dapat kita pahami. Kita tidak perlu merisaukan dan memperdebatkan masalah itu. Prioritas utama kita adalah bagaimana agar kesempatan pertobatan atas bangsa kita tidak ditutup dan keputusan Allah yang kadang sulit untuk kita pahami tidak dijatuhkan.
0 notes
garamterang · 4 years
Text
Pendakwa Kita
Tumblr media
Renungan Jumat, 5 Juni 2020 Oleh Wahyudi Purnomo
"Dan aku mendengar suara yang nyaring di sorga berkata: "Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya, karena telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita. Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut. Karena itu bersukacitalah, hai sorga dan hai kamu sekalian yang diam di dalamnya, celakalah kamu, hai bumi dan laut! karena Iblis telah turun kepadamu, dalam geramnya yang dahsyat, karena ia tahu, bahwa waktunya sudah singkat." - Wahyu 12:10-12 (TB)  
Iblis mendakwa orang-orang percaya di hadapan Allah dengan mengatakan bahwa mereka melayani Allah hanya untuk keuntungan pribadi (bdk. Ayub 1:6-11; Za 3:1).
Ayat 10-12. Nyanyian sukacita yang muncul tidak perlu dibahas secara terinci. Yang ditekankan adalah kuasa Allah dan kewenangan Kristus. Saudara-saudara seiman dikatakan mengalahkan Iblis oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka (ay. 11). Mereka menang sebab mereka telah memberikan kesaksian dengan setia bahkan sampai mati.
Iblis, setelah menyadari bahwa ia akan dibinasakan dan dalam waktu yang sangat singkat akan dikalahkan, hanya memiliki kuasa di bumi. Waktu yang singkat menunjuk kepada masa kesengsaraan. Geramnya yang dahsyat mengakibatkan penderitaan bagi orang kudus di mana-mana (Why. 12:11).
Refleksi: Sebagai orang percaya kita selalu diperhadapkan pada kondisi baik maupun kondisi buruk, tetapi baik atau tidak baik waktunya kita harus bersaksi tentang kemenangan Anak Domba di atas kayu salib. Inilah kuasa penghancur untuk menghacurkan kuasa Iblis. Jangan ragu hadapilah segala kondisi dengan kekuatan Kristus dalam diri kita.
0 notes
garamterang · 4 years
Text
Sabar Menanti
Tumblr media
Renungan Selasa, 1 September 2020 Oleh Wahyudi Purnomo Yakobus 5:7-11
"Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi." - Yakobus 5:7 (TB)
Setelah memperingatkan orang-orang kaya yang hidupnya berorientasi pada harta dan kesenangan, Yakobus mengingatkan orang percaya untuk bersabar sampai kedatangan Kristus yang kedua kali. Pada saat itulah kebenaran dan keadilan-Nya dinyatakan. Namun demikian, lamanya penantian akan hari Tuhan kadang-kadang bisa membuat orang beriman bersikap tidak sabar. Maka Yakobus mengingatkan mereka untuk bersabar menantikan-Nya.
Agar orang memahami arti kesabaran, Yakobus memberikan gambaran mengenai petani, para nabi di zaman Perjanjian Lama dan juga Ayub (7, 10-11). Seorang petani bersabar menantikan hasil tanahnya yang berharga. Dalam masa penantian itu, petani bergantung pada hujan yang adalah anugerah Tuhan. Begitulah seharusnya kita mempercayai  pemeliharaan Allah. Maka dapat dikatakan bahwa kesabaran merupakan sikap hati yang berharap dan percaya total pada pemeliharaan dan perhatian Allah. Sementara menanggung derita, kita sabar sebab yakin bahwa tujuan iman kita di dalam Tuhan pasti akan terwujud.
Contoh kesabaran yang lain adalah para nabi di zaman Perjanjian Lama (10). Meski menghadapi penolakan bahkan kematian, para nabi tetap menyuarakan kebenaran Tuhan. Seringkali mereka mati tanpa melihat hasil upaya mereka, yakni pertobatan orang-orang yang menjadi sasaran misi mereka. Walaupun demikian, para nabi setia kepada Allah. Selain bersabar dalam penantian, orang beriman dipanggil untuk sabar menanggung penderitaan. Inilah yang terlihat dalam kisah Ayub. Ia memiliki ketahanan untuk menanggung penderitaan tanpa kehilangan iman. Meski tak mengerti sebab dan alasan penderitaannya, ia tetap percaya pada Allah.
Refleksi: Kita tahu bahwa dunia ini penuh dengan ketidakadilan, penindasan kepada kaum miskin harta dan lemah. Ini yang disebut sistem liberalisasi ekonomi; yang kuat menindas yang lemah. Namun, jika hidup dalam syukur dan bukan dalam kemarahan, dalam keyakinan akan Allah dan bukan dalam sungut-sungut; niscaya kita, seperti Ayub, akan menyinarkan kemenangan di hadapan Iblis yang gagal menjatuhkan kita.
0 notes
garamterang · 4 years
Text
Peperangan Di Sorga
Tumblr media
Renungan Kamis, 4 Juni 2020 Oleh Wahyudi Purnomo
"Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu dibantu oleh malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di sorga. Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya." - Wahyu 12:7-9 (TB)
Masa kesengsaraan itu tidak hanya akan meliputi permusuhan rohani yang besar di bumi, tetapi juga peperangan di sorga. Iblis dan malaikat-malaikatnya akan berusaha mati-matian untuk mengalahkan Allah dan malaikat-malaikat-Nya di sorga.
1. Iblis dikalahkan, dicampakkan ke bumi (bdk. Luk 10:18) dan tidak diizinkan lagi untuk memasuki sorga. Harus dipahami bahwa "sorga" yang bisa dimasuki Iblis ini adalah alam sorgawi, bukan sorga dimana Allah bertahta, ingat peristiwa Iblis bertemu Tuhan di sorga (Ayub 1:6).
2. Sorga akan bersorak-sorai (Wahyu 12:10-12), karena Iblis bukan lagi merupakan suatu kekuatan rohani di udara (Ef 6:12). Pada saat yang sama, hal itu akan mengakibatkan "celaka" atas mereka yang ada di bumi (Wahyu 12:12-13). Kejatuhan Iblis ini mungkin akan menjadi awal dari masa kesengsaraan besar (tribulasi).
Pasal 12-13 memperlihatkan bagaimana rival Allah, yang diwakili si Naga (12:3), binatang yang keluar dari laut (13:1-2), dan binatang yang keluar dari bumi (13:11), yang melambangkan kekuatan triritunggal yang jahat/najis, berupaya mengacaukan karya penyelamatan Allah tritunggal atas dunia milik-Nya. Upaya tritunggal yang palsu itu tidak berhasil. Allah Tritunggal sejatilah yang mengendalikan sejarah, bahkan para musuh-Nya.
Si Naga merupakan musuh Allah yang mencoba merintangi rencana-Nya menyelamatkan kemanusiaan. Dia mencoba menggagalkan rencana itu melalui memusnahkan umat Allah Perjanjian Lama, yang dilambangkan oleh perempuan yang bermahkotakan 12 bintang, yang melaluinya Mesias dilahirkan (5, bdk. Mzm. 2:7). Alih-alih membinasakan Sang Mesias, si Naga justru mendapatkan kekalahan telak oleh karya penebusan sang Anak Domba (11). Dari sudut pandang surgawi, si Naga dan para pengikutnya tersebut dikalahkan oleh Mikhael dan para malaikatnya dan dilemparkan ke bumi (7-9). Perikop ini bukan membahas asal muasal Iblis sebagai malaikat yang memberontak, sebagaimana diajarkan oleh tradisi Yahudi dan Kristen tertentu.
Perikop ini juga tidak boleh dipakai untuk memetakan si Naga dan pribadi-pribadi tritunggal najis lainnya, kepada sosok pribadi, aliran agama, atau bahkan aliran kekristenan tertentu yang dianggap sesat. Perikop ini mencoba menggambarkan bahwa selama bumi belum dipulihkan kembali (Why. 21:1), selama itu pula kejahatan dan antek-anteknya terus merajalela. Namun, dua hal harus terus diingat dan menjadi penguatan dan penghiburan kita. Pertama, kuasa Iblis sudah kalah mutlak pada peristiwa kayu salib, 2000 tahun yang lalu. Kedua, Allah berdaulat, tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi di luar izin-Nya.
Refleksi: Wahyu bukanlah catatan sejarah masa lampau atau gambaran kronologis masa depan. Wahyu memperlihatkan kedaulatan Allah atas dunia ini, atas sejarah, dan atas masa depan dari berbagai perspektif. Dengan demikian kita yang telah menjadi milik-Nya selalu memiliki pengaharapan di masa depan.
0 notes
garamterang · 5 years
Text
Sabar Menanti
Tumblr media
Renungan Jumat, 6 Desember 2019 Oleh Wahyudi Purnomo Yak. 5:7-11
Setelah memperingatkan orang-orang kaya yang hidupnya berorientasi pada harta dan kesenangan, Yakobus mengingatkan orang percaya untuk bersabar sampai kedatangan Kristus yang kedua kali. Pada saat itulah kebenaran dan keadilan-Nya dinyatakan. Namun demikian, lamanya penantian akan hari Tuhan kadang-kadang bisa membuat orang beriman bersikap tidak sabar dan tidak percaya. Maka Yakobus mengingatkan mereka untuk bersabar menantikannya.
Agar orang memahami arti kesabaran, Yakobus memberikan gambaran mengenai petani, para nabi di zaman Perjanjian Lama dan juga Ayub (7, 10-11). Seorang petani bersabar menantikan hasil tanahnya yang berharga. Dalam masa penantian itu, petani bergantung pada hujan yang adalah anugerah Tuhan. Begitu jugalah seharusnya ketergantungan orang percaya pada pemeliharaan Allah. Maka dapat dikatakan bahwa kesabaran merupakan sikap hati yang berharap dan percaya total pada pemeliharaan dan perhatian Allah. Sementara menanggung derita, kita sabar sebab yakin bahwa tujuan iman kita di dalam Tuhan pasti akan terwujud.
Contoh kesabaran yang lain adalah para nabi di zaman Perjanjian Lama (10). Meski menghadapi penolakan bahkan kematian, para nabi tetap menyuarakan kebenaran Tuhan. Seringkali mereka mati tanpa melihat hasil upaya mereka, yakni pertobatan orang-orang yang menjadi sasaran misi mereka. Walaupun demikian, para nabi setia kepada Allah. Selain bersabar dalam penantian, orang beriman dipanggil untuk sabar menanggung penderitaan.
Inilah yang terlihat dalam kisah Ayub. Ia memiliki ketahanan untuk menanggung penderitaan tanpa kehilangan iman. Meski tak mengerti sebab dan alasan penderitaannya, ia tetap percaya pada Allah.
Refleksi: Kita memang tak pernah tahu kenapa harus mengalami masalah. Namun, jika hidup dalam syukur dan bukan dalam kemarahan, dalam keyakinan akan Allah dan bukan dalam sungut-sungut; niscaya kita, seperti Ayub, akan menyinarkan kemenangan di hadapan Iblis yang gagal menjatuhkan kita.
0 notes
garamterang · 5 years
Text
Standar Rohani atau Materi
Tumblr media
Renungan Rabu, 30 Oktober 2019 Oleh Wahyudi Purnomo Ams. 30:1-14
Bentuk dan penyajian kumpulan amsal milik Agur bin Yake dari masa ini berbeda dari kumpulan amsal sebelumnya. Di sini kita dapat merasakan perasaan negatif serupa kitab Pengkhotbah, "Aku berlelah-lelah, ya Allah..." bandingkan dengan keluhan Pengkhotbah akan "jerih lelah yang sia-sia" (Pkh. 1:3; 2:11, dst.). Pertanyaan Agur, khususnya mengenai siapa Allah (ayat 4-5), mirip dengan pertanyaan Allah yang menantang Ayub karena berani mempertanyakan kebijaksanaan Allah (lih. Ayb. 38-42). Bedanya, Ayub mempertanyakan Allah, di sini Agur mengakui keterbatasannya dalam mengenal Allah.
Ajaran hikmat dari Agur mengajak kita untuk menempatkan diri pada posisi yang tepat di hadapan Allah, pencipta dan pemilik alam semesta ini. Kita hanyalah ciptaan-Nya yang terbatas dan fana. Oleh karena itu, penting sekali kita mengakui bahwa sumber hikmat hanya pada Allah dan upaya menambahinya adalah sikap arogan manusia yang hanya menghancurkan diri sendiri (ayat 5-6, 13).
Karena sikap seperti itulah yang membuat kita bisa memaklumi dua permintaan Agur agar dijauhkan dari sumber-sumber godaan untuk menyangkali Tuhan. Biasanya kita cepat mengiyakan bahwa kekayaan yang berlebihan adalah godaan untuk melupakan Tuhan, bahkan mempertuhankan kekayaan. Namun, mengapa kemiskinan pun memiliki potensi yang sama untuk merusak hubungan kita dengan Tuhan? Karena pada dasarnya mengukur hidup ini dengan kaya atau miskin adalah mengenakan standar materi, bukan standar Tuhan. Saat kita, karena miskin merasa lebih rohani dari orang lain (kaya), bukankah kita sedang mengukur kerohanian kita dengan ukuran materi?
Refleksi:  hidup bergantung penuh pada Tuhan, bersyukur untuk anugerah-Nya yang senantiasa cukup (band. Flp. 4:12-13) adalah sikap orang berhikmat. Dampak sikap hidup yang benar di hadapan Tuhan akan berwujud nyata dalam sikap hidup kita terhadap orang lain (ayat 11-14).
0 notes