Tumgik
#bus malam cepat
andromedanisa · 10 months
Text
Ujian itu bernama, keyakinan..
Jika Allaah sudah berkehendak, dibelahan bumi yang jauh sekalipun. Jika memang takdirnya bertemu dan bersatu, maka mereka akan bertemu dan bersatu dalam kebaikan.
Sebab jika memang jodoh, Allaah akan menggerakkan kedua hati seseorang, bukan hanya salah satu diantaranya.
Pagi ini berjalan-jalan santai dengan ibu, ketika perjalan menuju pulang kerumah. Kami berdua mampir disalah satu teman dekat ibu yang sudah sepuh. Tahun ini memasuki usia 79 tahun, Masya Allaah sepuh sekali. Namun ingatan dan cara bicara beliau ini masih Masya Allaah baik sekali.
Dalam pertemuan kami, banyak sekali hal yang dibicarakan, dan banyak sekali hikmah yang saya dapatkan. Perihal takdir dan kehendak Allaah kepada hamba-hambaNya.
"mohon doanya ya, Bu. Mb Nisa ini sudah empat tahun menikah namun belum Allaah karuniai keturunan. Dua kali keguguran, semoga Allaah beri ganti dengan yang lebih baik lagi." Ucap ibuku kepada teman ibu yang sepuh itu.
"Qadarullaah, ya mb Nisa. Nggak apa-apa, Insya Allaah, baik. Yang penting kita sebagai manusia harus yakin, bahwa Allaah memberikan yang terbaik untuk kita. Mungkin terlihat sedikit lama, tapi percayalah pasti ada kebaikan yang sudah Allaah siapkan nantinya. Karena jika Allaah sudah berkehendak, sekalipun jauh dan nggak mungkin untuk ukuran manusia, hal itu akan terwujud diwaktu yang tepat." Ucap teman ibu dengan mata yang begitu berbinar sambil menatapku.
"Anak perempuan saya yang keempat mbak, dia paling sukses diantara ketiga kakaknya yang laki-laki. Menikah diusia 33 tahun sempat membuat saya dan suami khawatir sebagai orangtua. Perempuan usia segitu sudah waktunya menikah.
Berkali-kali gagal proses ta'aruf sebab dinilai kurang cantik, tak menyurutkan keyakinannya, bahwa takdir Allaah tidak pernah salah. Kalau dihitung-hitung mungkin sekitar lima belas kali gagal saat proses nadzor, mbak.
Singkat cerita, waktu aku ke rumah Malang, saya itu sakit. Dan pergilah berobat ke dokter. Saat itu saya diantar suami dan yang berjaga dokter laki-laki. Ketika diperiksa kami banyak ngobrol tapi saya nggak pernah bilang kalau saya punya anak perempuan yang belum menikah. Intinya, saya diminta untuk kontrol lagi satu minggu jika dirasa masih ada keluhan.
Satu Minggu saya ndak kontrol, karena saya harus balik ke Surabaya esok harinya. Ternyata malam harinya waktu saya dan suami silaturahmi ke rumah kerabat yang lain. Dokter tersebut telpon kerumah saya yang di Malang, nah yang nerima telpon itu anak perempuan saya.
Sampai rumah, anak perempuan saya bilang, "Bu, tadi ada telepon dari dokter A temen ibu katanya. Minta tolong ibu telpon balik, ini nomernya." Anak saya ngasih nomer yang sudah dia catat tadi waktu tadi mereka ngobrol.
Lalu, cepat-cepat saya hubungi dokter tersebut dan bilang kalau mungkin saya nggak bisa balik kontrol pekan depannya. Ketika saya telepon, dokter tersebut malah minta izin mau datang kerumah mau nadzor anak perempuan saya katanya. Saya masih kaget, langsung mengiyakan saja tanpa sempat bertanya kepada suami. Dan benar, keesokan harinya dokter tersebut dateng kerumah mbak, dan bilang kalau dia ini seorang dokter, duda punya anak satu, istrinya sudah meninggal setahun yang lalu karena sakit. Dan kedatangannya disini mau nadzor anak perempuan ibu buat menjadi calon istrinya.
Ditemuin sama Bapak diajak ngobrol panjang lebar dari jam 8 sampai jam 4 sore. Setelah sholat Dzuhur, suami saya bertanya ke anak perempuan saya tentang dokter laki-laki ini dan tentang niat baiknya ini. Siapa yang menyangka mbak Nisa. Anak saya yang sebelumnya nggak pernah pacaran ini, selalu menjaga diri, nggak pernah saya tahu dekat dengan siapa, suka sama siapa, nggak panik dengan usianya yang belum menikah yang penting baginya adalah belajar tentang persiapan pernikahan. Allaah gerakkan hatinya mau untuk proses dengan dokter tersebut. Setelah mereka nadzor dan banyak berbincang. Mereka berdua sepakat untuk lanjut ketahap berikutnya. Dan akhirnya mereka menikah, dikaruniai tiga orang anak.
Anak perempuan saya ini mbak, Masya Allaah sekali. Dia mungkin memang tidak cantik seperti perempuan pada umumnya, tapi hatinya sungguh cantik. Terkadang saya sebagai orangtuanya sampai mikir, ya Allaah apa bisa anakku ini menikah meski parasnya tidak cantik. Namun Allaah menjawab keragu-raguan saya. Allaah datangkan seseorang yang tampan, berbudi baik, bertanggung jawab dan menerimanya apa adanya. Kadang suka nggak nyangka aja dengan kisah perjalanan anak perempuanku ini mbak, namun sekali lagi sayapun takjub dengan kuasa Allaah. Sekalipun mustahil untuk ukuran manusia, tidak ada yang mustahil untuk Allaah. Jika memang jodoh, akan ada jalannya. Jika memang sudah Allaah kehendaki, akan terwujud sebagaimana sukarnya dalam proses itu.
Anak perempuan saya, selalu bilang gini ke saya, "Bu, tidak ada yang sulit bagi Allaah jika Allaah sudah menghendaki. Yakin saja sama Allaah, sebab Allaah sudah menjamin semuanya dengan ukuran kita sebagai manusia. Insya Allaah, keyakinanmu pada Allaah nggak bergeser dengan apapun Bu. Sekalipun usiaku untuk menikah nanti mungkin sudah tidak muda lagi."
Saya selalu membesarkan hati orang-orang yang sedang menunggu apapun itu dengan kisah ini mbak, bahwasanya Allaah Maha Mendengar doa para hambanya yang berdoa dengan penuh keyakinan kepadaNya. Tidak akan tertolak sebuah doa, sebab Allaah mengabulkan semua pinta hambaNya. Saya dulu sampai hampir putus asa, saya sampai mikir bagaimana kalau saya meninggal sementara anak saya masih belum juga menikah. Namun keyakinan saya hanya satu, bahwasanya Allaah tak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan saya. Ketika saya diuji sebuah penantian tentang jodoh anak saya. Maka Allaah sudah menyiapkan balasan terbaik setelahnya.
Takjub sekali rasanya mendengar kisah yang penuh hikmah ini. Amalan apa yang dia lakukan sehingga kebaikan itu datang kepadanya dengan banyak kebaikan yang tak terduga-duga. Perihal keyakinan penuh kepada Allaah. Bahwa hanya karena sedikit terlambat, bukan berarti tidak pernah sampai. Semua penantian akan sampai diwaktu yang tepat menurut Allaah.
Before we question Allah timing, we must ask the more important question: am I ready to receive the answer to my prayer?
395 notes · View notes
brotherhood79 · 9 months
Text
18 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Jika dirasa-rasa, kehidupan ini lucu juga. Kita yang membuat ekspektasi, ketika tidak tercapai kita marah-marah. Lalu, menyalahkan diri sendiri. Padahal hasil bukanlah kendali kita. Barangkali ekspektasi kita yang terlalu tinggi, belum tersupport oleh kapasitas diri kita yang masih terlalu rendah. Aku jadi teringat dengan sebuah ayat Al Qur’an yang mengatakan, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan untuk mengatakan, 'kami telah beriman' TANPA diuji?!...” Apakah setelah menetapkan ekspetasi, tidak akan ada ujian untuk mengetahui kesungguhan diri untuk mencapainya? Sesuatu yang barangkali selalu ingin dihindari manusia, UJIAN.
Ada hal yang yang pernah terpikir olehku, membayangkannya akan menjadi hal yang menyenangkan jika aku benar-benar berada pada situasi itu. Namun, nyatanya di hari ke-100 aku menjalaninya, mungkin masih hitungan jari aku benar-benar menjalani peran ini dengan bahagia.
Suara riuh anak-anak terdengar hingga dalam rumah. Teriakan goal sesekali terdengar, membuatku ingin sekali segera menontonnya seperti hari-hari sebelumnya. Tinggal sedikit lagi apa yang aku masak siap disajikan di atas meja makan. Menu nutrisi penting untuk tubuh jompo kami, jangan sop. Kuah telah mendidih sempurna, rasa sudah pas, dan wortel sudah cukup empuk untuk digigit. Kumatikan kompor, kuambil eros, kugayung jangan sop beserta isinya dari panci ke mangkok. Kubawa menu terakhir ke atas meja. Voila! Makan malam sudah siap, waktunya bersantai sejenak menonton pertandingan anak-anak di depan rumah.
Tanah luas itu tepat berada di depan rumah kontrakan. Satu-satunya tanah yang paling luas yang ada di perumahan ini. Tanah yang seringkali dijadikan tempat tanding bola, badminton outdoor, sampai acara nikahan tetangga. Fasum serbaguna tempat menjalin silaturahmi antar tetangga, juga tempat berita terbaru dengan cepat menyebar.
“Tante Rayya!!!” suara pertama yang kudengar saat membuka pintu pagar rumah. Mbak Anggun melambaikan tangan si bungsu ke arahku. Kubalas dengan lambaian tangan paling tinggi dan senyum seriang mungkin. Kuberjalan menuju mereka dan membiarkan pintu pagar terbuka sedikit. Kugerak-gerakkan jari jemariku, membuat pertunjukkan sederhana yang membuat si bungsu tertawa riang. Dia mengangkat tangannya seakan-akan memberitahu bahwa aku pengen digendong tante Rayya. Kusambut tangan itu, lalu kugendong putri kecil yang baru berusia enam-belas bulan itu.
“Kok telat, dhek?” tanya mbak Anggun ketika mengalihkan si bungsu kepadaku.
“Iya, mbak. Menu makan malam kali ini sedikit ribet,” jawabku sekenanya.
“Merayakan sesuatu?”
“Enggak. Permintaan paksu.”
“Oh…,” jawab mbak Anggun mengakhiri topik permenuan.
“Itu siapa mbak?” tanyaku sambil menunjuk seorang gadis yang baru muncul dari belokan jalan menuju ke arah lapangan, melewati kami dengan senyuman, lalu masuk ke rumah yang berjarak tiga rumah dari rumahku.
“Itu Gina. Putri sulung Bu Joko. Dia dulu merantau ke Medan. Udah hampir satu bulan ini dia ditugaskan di Surabaya. Jadi, bisa pulang sebulan sekali. Nggak kayak dulu, setahun sekali aja sudah untung.”
Gina. Pertama kalinya ada seseorang yang membuatku teringat akan masa laluku sejak kepindahanku ke perumahan ini. Gadis berkerudung krem, ber-PDL mirip dengan yang pernah kupakai dulu, bersepatu safety dengan besi di bagian atasnya, dan tentu dengan ransel yang barangkali berisikan laptop, takut tiba-tiba si bos besar bertanya mendadak tidak peduli staffnya sedang cuti atau tidak.
***
Tahun lalu...
Menjejakkan sepatu safety di tengah tanah yang lebih sering berlumpur di kala hujan adalah salah satu scene kehidupan yang telah kubayangkan sejak mengenal apa itu praktek kerja lapangan saat kuliah. Bau semen yang begitu khas. Pepohonan yang hampir tidak ada sama sekali. Lonjoran besi di mana-mana. Tentu, tak ketinggalan, tangga scaffolding yang ngeri-ngeri sedap saat menaikinya. Tangga yang kubenci sekaligus kusuka dalam satu waktu. Karena dengannya-lah aku bisa mendapati pemandangan kota dari lantai tertinggi dan menjadi perempuan pertama yang menikmatinya sebelum menjadi viral saat gedung ini telah sempurna.
Bulai Mei yang digadang-gadang akan memasuki musim kemarau, ternyata telah mengalami cuaca yang labil dan upnormal. Sudah seminggu lebih hujan turun terus menerus tanpa henti, menyebabkan pergeseran jadwal pengecoran sangat di luar prediksi. Pawang hujan? Sayangnya itu tidak bekerja. Allah rupanya tidak menulis takdir bahwa pawang hujan itu akan berhasil dalam misinya kali ini. Seminggu lebih kami hanya bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan. Untungnya, lantai basement, mezzanine, lantai 1, lantai 2 dan lantai 3 telah tuntas proses cor. Pekerjaan arsitek dan Mechanical Electrical (ME) bisa masuk, sambil berharap hujan segera berhenti dan proses pengecoran lantai 5 segera dilakukan.
Hari ini, hari pengecoran pertama setelah off tujuh hari. Dengan semangat yang mulai membara lagi, aku mengikuti proses pengecoran yang memakan waktu satu hari penuh untuk memenuhi separuh bekisting plat lantai 5 yang telah diisi oleh besi-besi yang teranyam.
Roger... roger... Readymix terakhir datang! Readymix terakhir datang! Siap-siap test slump! Akhirnya, sebentar lagi pengecoran hari ini selesai.
"Rayya... Rayya... Rayya...," suara handy talky memanggilku.
"Ya, pak!" jawabku.
"Mbak, kamu order berapa kubik? Ini kenapa sisa banyak sekali?"
Deg! Aku yang mendengar pertanyaan itu langsung menutup mata dengan tangan kiriku. Teringat sebuah kertas berisi rincian BOQ yang digunakan acuan untuk order readymix ke supplier setiap harinya. BOQ yang kubaca adalah BOQ lama untuk pengecoran tertulis untuk pengecoran plat dan balok sekaligus 72 meter kubik. Sedangkan untuk pengecoran hari ini di jadwal baru hanya 65 meter kubik. Artinya tujuh meter kubik tersisa.
"Order tujuh puluh dua meter kubik, pak," jawabku dengan sedikit cemas. Aku telah melakukan sebuah kesalahan dan aku baru tersadar di detik-detik terakhir pengecoran malam ini akan tuntas.
"Gimana sih kamu, mbiaaaak! Kamu baca BOQ lama? Kesepakatan kita kan di rapat kemarin hanya 65 meter kubik!!!"
"Iya, pak! Maaf!" jawabku lemah. Sudah terbayang bagaimana marahnya Pak Roto yang berusaha semaksimal mungkin mempercepat pekerjaan di lapangan, namun, aku mengacaukannya.
"Pak Roto! Pak Roto! Ijin masuk, pak!" Aku mendengar suara yang tak asing masuk menyela percakapan kami.
"Iya, Ryan! Kamu ada area yang bisa dicor malam ini?!"
"Ada, pak. Tujuh meter kubik siap diterima di area tower A sisi utara."
"Oke, Ryan. Yok, semuanya siapkan jalan menuju tower A sisi utara! Segera! Beton makin mengeras. Duit ini! Duit. Yok, segera habiskan! CEPET! CEPET! CEPET!" Seketika nafasku lega. Tujuh meter kubik beton terselamatkan malam ini.  
Suara handy talky masih terdengar riuh. Bintang-bintang yang meramaikan langit malam seakan menyapaku dan bertanya apakah kau baik-baik saja? Lampu-lampu yang memberikan terang cahaya untuk para pencari nafkah di atas anyaman besi di lantai 5 itu seakan memberitahu ini pengecoran terakhir hari ini, sebentar lagi kita akan istirahat. Tenanglah. Sisa tujuh kubik itu telah ada solusinya. Are you okay, Rayya?
"Belum pulang, mbak?" suara di belakangku membuat kuterkejut. Portofon terlepas begitu saja. Buk. Jatuh tepat di luar railing balkon Site Office, untung tidak sampai terpantul ke luar lebih jauh. Aku menunduk dan melihat sebuah tangan sedang mengambil portofon melalui sela-sela railing yang tidak terlalu rapat, lalu memberikannya padaku seraya berkata, "Sampeyan terlihat lelah."
"Hehe. Makasih, pak! Maaf ya, merepotkan. Kalau nggak ada bapak, aku bisa pingsan mempertanggungjawabkan kelebihan orderan malam ini."
"Tenang mbak. Tadi tukangku mau kerja lembur menyiapkan balok dan plat untuk jadwal pengecoran besok. Dan udah diceklist. Kalau bisa dicor malam ini, kenapa nggak! Toh, kita semua yang untung kan," Ryan menoleh ke arahku, 
“He’em.”
"Sampeyan nggak pulang, karena khawatir ta, mbak?
“Nggak. Lagi pengen aja mengamati proses cor hari ini. Udah lama nggak lihat proses cor malam ditemani semarak lampu di atas sana.”
“Hahaha. Apa istimewanya, mbak?”
“Suka aja. Malam nggak selamanya ditemani bintang-bintang. Juga nggak selamanya mendapatkan cahaya rembulan. Lampu-lampu itu selalu menemani proses cor hingga tetes beton terakhir. Seakan pagi atau malam tak ada beda cahayanya. Sama-sama terang.”
“Puitis sekali. Biasanya manusia-manusia yang puitis punya tingkat kekhawatiran yang tinggi.”
“Bisa jadi iya. Bisa jadi enggak. Karena khawatir itu akan selalu ada membersamai manusia. Itu salah satu bentuk ujian manusia.”
“Sampeyan tak perlu terlalu mengkhawatirkan kejadian malam ini! Perjalanan masih panjang. Masih ada sepuluh lantai lagi.”
“Haha! Iya masih sepuluh lantai lagi ya. Masih panjang perjalanan drama proyek ini!”
“Namanya juga hidup, mbak. Kalau nggak ada drama, kata anak muda, nggak asyik,” ucap Ryan menirukan ekspresi anak muda, “Hidup itu ada yang bisa kita kendalikan, ada yang tidak. Dan kita tidak perlu mencemaskan hal yang tidak bisa kita kendalikan.”
"Sepakat! Dan kenyataan bahwa kita punya tingkat kekhawatiran yang tinggi membuat hidup lebih berwarna. Seperti malam ini. Kukira akan mulus, ternyata jantungku berdegub lebih kencang di saat-saat terakhir, ketika mengetahui aku kelebihan order. Antara merasa bersalah membuat kekacauan atau merasa beruntung akhirnya target kita hari ini terlampaui tanpa terencana. Hahaha. Allah itu Maha Baik ya!”
“Hahaha. Jantungku juga berdegub kencang sekarang, mbak."
"Mulai… Udah, ah! Makasih untuk ruang tujuh kubiknya. Jangan kapok kerja satu tim denganku. Ingat istri dan anak di rumah.” Aku menepuk bahunya dan membalikkan badan, melangkah meninggalkannya, dan masuk ke dalam kantor. Aku berjalan menuju meja kerjaku yang terlihat sangat berantakan dari jarak sepuluh meter. Barangkali jika ada orang-baru melihatnya, ia tak akan percaya bahwa pemilik meja itu adalah seorang wanita berkerudung yang dulu sering mendapatkan imej seorang ukhti. Sayangnya imej itu perlahan luntur semenjak aku memutuskan bergabung dengan kontraktor ini tiga tahun lalu. Rok yang biasa kupakai, kini telah menggantung di lemari selama sekian tahun. Aku belum pernah memakainya lagi. Tugas negara yang mengharuskan berteman dengan lumpur, tangga scaffolding, dan tumpukan material, membuatku harus memilih untuk menggantinya dengan celana. Setiap hari. Bahkan di jadwal cutiku, sekalipun.
Kertas berisikan gambar kerja, surat perintah cor, notulen rapat, dan memo-memo lainnya berantakan menutupi hampir seluruh meja hingga menyisakan satu luasan kecil yang telah tertutupi oleh sebuah tas kertas berwarna coklat. Aku berhenti tepat di depan mejaku sendiri. Mulai berpikir, apakah aku memesan makanan dari ojol, kurasa tidak. Tanganku reflek meraih tas itu dan membukanya. Sebuah buku bercover dua manusia yang berada di depan dua lukisan. Lukisan bunda maria dan langit-langit Masjid Hagia Sophia. Buku yang telah lama menjadi incaranku itu telah sampai di mejaku begitu saja. Aku melihat ada sebuah note di dalam tas itu.
"Buku untuk menemani perjalanan bertemu keluarga di kampung halaman. Semoga cutimu menyenangkan ya, mbak!"
Aku pun menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia penyelamat tujuh kubik betonku.
----
Esok harinya…
Bunyi sirine kereta terdengar. Gerbong besi yang konon tingkat keamanannya ditemukan oleh Eyang Habibie saat di Jerman ini bergerak perlahan membawaku menuju kampung halaman yang kurindu. Seperti biasa, tempat favoritku di samping jendela. Rumah-rumah penduduk yang hanya selemparan batu dari rel, terlihat sangat padat. Pemandangan anak-anak berlarian kejar-kejaran membuat senyuman akhirnya mampir di pagi ini. Pakaian yang tergantung pada kawat di pinggir rel pun tak mau kalah tampil dengan anak-anak kicik itu. Kereta semakin mempercepat lajunya ketika telah lepas dari kampung pinggir rel itu. Pemandangan berganti dengan berjajarnya kendaraan yang sedang antre hendak melewati pembatas kereta api. Kereta api sungguh menjadi rajanya kendaraan di darat ini.
Pramusaji mulai berlalu lalang menawarkan sarapan pagi atau sekadar camilan dengan kadar msg yang bikin nagih. Tapi ku hanya melihatnya, tak memanggilnya. Masih enggan untuk menyarap di jam sepagi ini. Ku melihat jam tangan di pergelangan kiriku, masih dua jam lagi kereta ini sampai pada kampung halamanku.
Aku membuka goodie bag yang sedari tadi sudah memanggil-manggil untuk kubuka. Kuraih sebuah buku yang masih dalam bungkusnya. Novel perjalanan 99 Cahaya di Langit Eropa. Aku sudah pernah membaca ulasannya di mana-mana. Itu yang membuatku tertarik untuk membacanya. Tak kusangka, Ryan memberikannya tepat di saat jadwal cutiku tiba dan di tengah huru hara cuaca yang tak menentu penyebab keterlambatan progress di lapangan dan tragedi tujuh kubik beton. Sungguh laki-laki yang jika ia masih single, kuingin sekali berdampingan dengannya seumur hidup.
Hanum Rais Salsabila. Wanita yang pernah kekeuh untuk menjalani LDR dengan suaminya, akhirnya memilih untuk membersamai suaminya, Rangga, yang sedang melanjutkan studi di benua Eropa. LDR? Akankah esok aku juga akan LDR dengan suamiku? Seperti kebanyakan pekerja proyek lainnya? Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan tanpa tahu kapan akan terjawab, karena hilal imam pun belum nampak. Berkarir terus di dunia perproyekan? Hm…sepertinya cukup empat tahun saja, tidak lebih. Karena aku memilki impian menjadi seorang dosen, dosen yang memiliki pengalaman di lapangan. Menjadi dosen pun artinya menetap di satu domisili. Lalu bagaimana jika mendapatkan suami yang tetap memilih bekerja di proyek? Akankah aku tetap menuju impianku, ataukah berubah haluan mengikuti ke manapun suamiku nanti pergi. Ah…persoalan ini rumit tanpa solusi sebelum bertatap muka dengan my future husband. 
Roda kereta sekali lagi menderit. Berhenti di stasiun S, stasiun ke-5, selama 10 menit. Seperti di stasiun sebelumnya, di stasiun ini juga ramai dengan penumpang naik. Meskipun terhitung stasiun kecil, stasiun ini telah menjadi pusat mobilitas tertinggi di kotanya.
Sepuluh menit termasuk waktu yang pendek. Penumpang yang hendak naik, telah mempersiapkan diri di belakang garis kuning. Ketika kereta benar-benar berhenti, mereka sat set wat wet memasuki gerbong kereta agar tidak tertinggal. Aku yang telah satu jam berada di dalam gerbong kereta mengamati aktivitas di luar yang sudah mulai lengang.
“Hey!” seorang laki-laki tiba-tiba duduk di sampingku. Seketika aku menoleh ke arahnya dan cukup terkejut dengan kehadirannya. “Ga nyangka ya, bisa ketemu di sini.”
“Hey!” jawabku dengan muka bingung. Laki-laki yang sudah empat tahun tak pernah jumpa, hari ini Allah kirimkan tanpa duga di sampingku. Terbesit di pikiranku, anak ini kenapa tahu aku duduk di sini? Dia secret admirer? Stalker ku yang tak pernah kutahu?
“Sebuah kebetulan yang Allah takdirkan ya,” ucapnya sambil menunjukkan tiket kereta yang tertulis nomor kursi beserta gerbongnya. Tiket yang wujudnya berbeda dengan yang kupegang. Tiket yang menunjukkan dia memesannya beberapa jam sebelum kereta ini datang. On the spot. Takdir ilahi.
“Ikutan reuni hari ini?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Emang ada reuni?” jawabku yang baru sadar dari lamunan dan membetulkan posisi duduk.
“Ada. Kamu ga ikutan ikatan alumni kampus?”
“Nggak.”
“Pantes. Hari ini ada reuni kampus. Kabarnya sih akbar gitu. Mau bareng ke sana?”
“Kamu beli tiket dadakan hanya untuk reuni kampus? Sungguh anak kampus beneran. Nggak berubah, ya?” tanyaku menoleh dengan menghadapkan tubuh sedikit serong ke arahnya.
“Hahaha. Enggak. Dadakan beli tiket karena dipanggil bos besar. Harus segera sampai sebelum adzan dhuhur berkumandang.”
“Kamu kerja di Malang, sekarang?”
“Nggak. Aku kerja di kota ini. Bos besar di kota Malang.”
“Oh…”
“Mau ikutan reuni nggak? Ayo, datang bareng. Udah lama kita nggak dateng acara bareng.”
“Nggak. Aku mau jumpa bapak ibu.”
“Udah, ikut aja. Ntar aku anterin sampe rumah.” Deg! Anak ini! Tetap dengan sifatnya. Tidak berubah. Sekali jumpa denganku, aku harus turut serta dengannya. Dia pun akan rela membayarnya dengan mengantarkanku sampai depan pintu rumah dalam keadaan perut kenyang dan bertemu bapak ibu sekadar menceritakan kegiatanku bersamanya di hari itu. Takut akan dicap sebagai teman putrinya yang nggak baik.
Iya. Teman. Kami hanya teman. Teman yang seringkali memunculkan gosip bahwa kami memiliki hubungan lebih. Gosip itu pun sempat membuatku mempertanyakan kejelasan hubungan kami.
“Yo,” tanyaku saat kami memutuskan belajar bersama di teras perpustakaan.
“Hm,” jawabnya pendek sambil menulis tugas kuliah.
“Kita jadian aja, yuk!” ajakku to the point yang membuat Rio menghentikan gerakan pulpennya. 
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. “Nggak, ah!” jawabnya tanpa menatapku.
“Kenapa?” desakku dengan menatapkan mataku ke arah matanya walau aku harus menempelkan pipiku di atas meja dan kakiku sedikit berjinjit. Demi melihat ekspresi wajahnya yang masih menunduk mengerjakan tugas kuliah.
Akhirnya dia meletakkan pulpennya dan menatapku dalam-dalam, “Aku suka kamu. Kamu itu istri-able, bukan pacar-able. Aku lebih seneng ngejaga kamu dengan hubungan seperti ini. Tidak perlu terbebani dengan perasaan kita masing-masing. Karena perasaan yang kita miliki itu sudah fitrah. Kalau pun suatu saat nanti akhirnya kita terpisah jarak dan waktu, kamu nggak perlu mencemaskan aku, aku pun tidak akan mencemaskanmu. Aku punya impian, kamu pun punya impian. Kita raih impian kita masing dulu. Jika sudah waktunya, nanti pasti akan bersama. Percaya!” Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman menyakinkanku.
Mendengar jawabannya, aku hanya bisa diam. Terpaku. Berpikir keras. Dia suka aku? Sejak kapan? Jadi, selama ini dia menghabiskan banyak waktu denganku, karena dia ingin menjagaku? Kok bisa sih? Momen yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Dan hari ini ingatan akan momen itu tetiba muncul kembali setelah sekian tahun. Sikapnya. Cara bicaranya denganku. Sama. Tidak berubah.
“Kamu suka baca buku?” sekali lagi dia membuyarkan lamunanku.
“Oh, ini? Nemenin aja. Biar ga bosen di kereta. Ga ada yang diajak ngobrol.”
“Oh… buku bagus itu. Sembilan puluh sembilan cahaya di langit Eropa. Seorang Napoleon Bonaparte yang diduga tertarik dengan islam, sengaja membangun Eropa dengan titik awal di Arc de Triomphe menuju Ka’bah. Jika dugaan itu benar, sungguh Islam benar-benar telah memberikan cahaya di seluruh muka bumi ini. Panglima selevel Napoleon tunduk dengan cahayaNya,” penjelasannya membuktikan bahwa ia masih sama dengan Rio yang dulu. Lelaki cerdas. Suka membaca sekaligus menganalisa. Aku selalu kagum dengan cara dia berpikir.
“Dan negeri Eropa telah sedemikian pesat berkembang dengan mengamalkan nilai-nilainya, sayang mereka belum mengimani agama ini,” tambahku.
“Sepakat!” ucapnya menoleh ke arahku seraya menyodorkan gawainya, “Simpan kontakmu di hape ini ya.”
Pertemuan tak terduga yang menjadi awal hubungan kami terajut kembali. Setahun lagi, satu impianku sempurna aku jalani. Bekal pengalaman di lapangan menambah portofolio dan rasa percaya diriku untuk memulai karir di dunia pendidikan formal. Rio pun begitu, satu impiannya akan sempurna ia jalani, satu tahap lagi menjadi Site Engineer Manager termuda di perusahaan yang sudah ia incar setahun sebelum kelulusan.
***
Calon imam mulai nampak hilal. Namun, jawaban atas pertanyaan, akankah aku menjalani hubungan jarak jauh setelah menikah, bagaikan memasuki taman labirin. Bingung, pusing, serasa masih jauh menemukan muaranya.
Menikah tidak sebercanda itu. Menikah artinya siap untuk membangun sebuah peradaban baru penerus generasi penjaga bumi. Memang, semua-muanya sekarang serba berteknologi, bahkan yang jauh menjadi dekat. Tapi, apakah sebuah pernikahan jarak jauh hanya satu-satunya pilihan, padahal kita masih bisa memilih pilihan lain yang lebih Allah ridhoi? Takut rezeki akan seret karena harus resign dari kerja dan memilih untuk mengusahakan selalu bersama? Bukankah menikah sendiri adalah sebuah rezeki? Rezeki yang harus dijaga. Bukankah Allah menakdirkan seorang manusia yang menjadi pasangan kita untuk menjadi penenang jiwa, pembuka pintu rezeki untuk kita? Tentu, secanggih apapun teknologi, bonding yang paling powerfull adalah ketika bertatap muka langsung, bukan dengan video call. Secanggih apapun teknologi, keberkahan rumah tangga akan lebih banyak turun ketika sepasang suami istri lebih sering bercengkrama di bawah satu atap rumah, bukan dalam satu forum chatting teknologi. Secanggih apapun teknologi, manusia akan lebih merasa tidak sendirian, ketika pasangannya berada dalam jangkauan penglihatannya, walau tidak sedang beraktivitas yang sama. Ah… ketika keduanya menjadi pekerja proyek yang harus berpindah-pindah domisili memang memiliki konsekuensi ini. Menikah dengan LDM atau salah satu bersedia untuk ikut ke manapun pasangannya ditugaskan. Dan itu yang menjadi dilemaku ketika Rio datang kepada orangtuaku memintaku menjadi istrinya, sebulan setelah pertemuan kami di kereta kemarin. Berdiskusi dengan orangtuaku pun serasa ah…sudahlah!
“Kamu bakal resign?” tanya mama terkejut ketika aku menyampaikan rencana resignku.
“Iya, Ma.”
“Kenapa? Kenapa kamu harus resign?” Mama terlihat mulai menunjukkan emosi ketidaksetujuannya terhadap rencanaku.
“Aku nggak mau LDR-an Ma setelah nikah,” terangku.
“Kamu yang nggak mau atau Rio yang nggak ngijinin kamu berkarir?” Mama memulai pertanyaan-pertanyaan menyelidik.
“Rio ngijinin aku berkarir. Akunya nggak mau LDR-an abis nikah, Ma,” aku masih santai menjawab segala pertanyaan Mama.
“Rayya. Menjadi istri itu nggak harus selalu di rumah aja! Kamu bisa berkarya di luar rumah,”
“Ma… ini pilihan Rayya. Rio juga nggak maksa Rayya buat ikut dia ke mana pun penempatannya. Kenapa mama emosi, sih?”
“Karena wanita tanpa kemandirian finansial hanya akan membuat dia tidak berdaya, Rayya!!”
“Tapi kemandirian finansial juga akan membuat wanita tersebut abai terhadap suaminya, Ma!!”
“Rayya!” Plak! Tamparan mendarat di pipiku.
Pertama dalam seumur hidup, mama menamparku. Aku tercengang, wajahku memerah panas, air mataku menggenang. Aku tinggalkan mama di ruang makan, dan BRAK! Aku tutup pintu kamar sekeras yang kubisa. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi gagal. Sekeras apapun aku menahannya, ia tetap jatuh.
Tamparan? Hanya berdiskusi tentang hal itu, mama sampai menamparku? Salahnya di mana? Ketika nggak setuju, haruskah dengan menampar? Toh, apa yang aku utarakan adalah sebuah fakta. Kesibukan mama di luar rumah membuat mama abai terhadap ayah.
Tubuhku terasa tegang dari ujung rambut hingga ujung kepala. Jantungku berdegub kencang, nafasku cepat, membuat aku berjalan mondar mandir entah sudah berapa putaran. Aku paksakan duduk di tepi ranjang, kupaksa bernafas lebih sadar, tapi air mata tetap mengalir dan pikiran secepat kilat me-recall memori-memori masa lalu. Tanganku masih mengepal, emosi tak tertahankan membuatku memukul-mukul bantal dan teriak sekencang mungkin. Aku tidak peduli apa kata tetangga.
Tok! Tok! Tok!
“Rayya… Ayah boleh masuk?”
Aku tidak menyahut panggilan ayah. Tak lama, Ayah sudah duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Kami menghadap ke arah luar jendela, ke titik yang sama.
“Nak, maafkan mamamu ya! Dia sama sekali nggak bermaksud menampar kamu. Itu refleks dari emosinya yang memuncak.” Aku masih sesenggukan, kepalan tanganku mulai merenggang.
“Kamu lihat pohon itu, Nak? Mungkin usianya seusiamu lebih mudah beberapa tahun. Kamu inget nggak, kalau kita yang menanamnya bersama-sama saat kamu umur tiga tahun? Kamu merengek terus untuk ikut ayah merapikan halaman itu. Rengekanmu sungguh membuat gempar tetangga jika ayah tidak menuruti. Akhirnya, ayah mengizinkan kamu ikut menanam beberapa pohon. Salah satunya pohon ini. Dulu, dia hanya setinggi ini ketika di tanam,” ayah memanjangkan lengan kirinya, “sekarang, tingginya sudah melebihi atap rumah kita. Banyak hal yang ia lewati. Panas matahari yang membakar. Hujan badai yang membuatnya basah kuyup. Petir menggelegar yang selalu tertarik dengannya. Lihatlah, ia semakin berdiri kokoh. Dari ranting yang setebal lengan ini, menjadi pohon yang kita peluk pun tak sanggup mempertemukan jari jemari tangan kiri dan kanan kita. Dari daun yang tidak bisa melindungi kita dari terik matahari, menjadi rimbunan daun yang jika kita duduk di bawahnya kita bisa berteduh sepanjang hari. Nggak ada hidup yang santai kayak di pantai terus menerus, Nak. Mungkin ini salah satu badai kecil yang harus kamu hadapi.”
“Trus aku harus gimana, Yah?” tangisku mulai mereda dan kepalan tanganku mulai membuka.
“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Terima semua emosi yang menghampirimu. Salurkan semuanya. Nggak ada yang salah dengan emosi itu,” ucap ayah sembari mengelus kepalaku, “Kami, orangtuamu, hanya manusia biasa, Nak. Seringkali kami khilaf terhadap kamu. Marah. Ngomel. Atau sampai memukul kamu. Kami pun sama denganmu, berusaha memahami kamu, tapi terkadang tidak paham jalan pikiran kamu. Ada banyak hal yang berbeda antara kami dan kamu. Suatu saat, ketika kamu sudah menjadi kami, kamu akan mengerti,” ayah merangkulku.
“Tapi sakit, Yah! Mama nggak harus ngomong gitu kan di depan Ayah tadi,” kuletakkan kepalaku di pundak ayah. Sandaran paling nyaman dan paling menenangkan.
“Pssst!”
“Kenapa ayah selalu diam? Kenapa ayah nggak ngomong?” aku menegakkan kepala dan memutar tubuhku sedikit menghadap ke arah ayah.
“Pernah, Nak! Ayah pernah,” ayah tetap menghadap ke arah keluar jendela dengan wajahnya yang tetap meneduhkan. “Tapi, setelah itu, Ayah sadar. Mama kamu hanya seorang manusia biasa, yang asal penciptaannya dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang akan selalu bengkok. Tulang rusuk yang jika dipaksa untuk lurus, ia akan patah. Ketika patah, ia tak lagi bisa berfungsi menjaga hati si empunya tubuh. Dan Ayah tidak ingin mamamu patah. Ayah memilih untuk mengalah agar kapal ini tetap berlayar. Jika tidak ada salah satu dari kami yang mengalah, sudah sejak lama kapal ini karam, Nak.”
Dari wajah ayah, aku melihat bahwa pohon yang telah menjadi kokoh dan rimbun itu adalah ayah. Ayah yang menjadi ayah rumah tangga untukku, anak semata wayangnya. Ayah yang menjadi kepala sekolah untuk guruku, mama. Guratan pada wajahnya mengisyaratkan bahwa telah banyak kejadian besar dalam rumah tangganya yang telah ia taklukkan dengan usaha maksimalnya. Telah banyak hal yang tentu ia korbankan agar kapalnya tetap berlayar mengarungi samudra kehidupan yang penuh kejutan.
“Mamamu hanya khawatir dengan kamu, Nak. Ia sadar sekali, walau wajahmu sangat mirip dengan Ayah, namun karakter dan sifatnyalah yang ada pada diri kamu. Mamamu tahu kalau kamu nggak akan betah terus menerus di dalam rumah dengan aktivitas rumah yang monoton. Mamamu tahu kalau kamu suka pekerjaan yang menantang, dan mengurus pekerjaan domestik itu kurang menantang.”
“Trus, yang tentang kemandirian finansial? Selama ini aku melihat mama bertindak seenaknya terhadap ayah. Mentang-mentang menghasilkan duit sendiri, aku nggak mau merasa lebih tinggi dari suamiku nanti, Yah.”
Ayah tersenyum, “Setiap awal pernikahan, tidak semua pasangan baru memiliki finansial yang cukup, Nak. Dulu, Ayah belum seperti sekarang. Ayah belum bekerja dengan penghasilan yang tetap dan cukup setiap bulannya. Sedangkan Mamamu, sudah. Ayah belum bisa memberikan sepenuhnya kebutuhan lahir Mama kamu. Kebutuhan dapur pun kadang sebulan cukup, kadang enggak. Sisanya ditutupi oleh penghasilan Mama kamu. Mama kamu khawatir kalau Rio yang sekarang seperti Ayah yang dulu. Mamamu hanya ingin memastikan kamu tidak perlu mengalami apa yang ia alami dulu di awal pernikahan.”
“Rio kan sudah kerja empat tahun, Yah!”
“Itu belum menjamin pengaturan keuangannya baik, Rayya. Kamu sudah pernah membicarakannya?”
Aku terdiam, karena memang aku belum pernah menyentuh topik itu sama sekali. Aku masih merasa itu hal tabu untuk diobrolin di awal.
“Bicarakanlah, Nak! Agar itu bisa membuat kamu lebih tenang menjalani rumah tanggamu nanti. Mama dan Ayah memiliki sebuah kesepakatan yang kami buat agar Ayah nyaman, Mama nyaman, dan kapal ini tetap ajeg walau badai menghadang. Salah satunya tentang pengaturan keuangan. Di dalam agama kita, berlaku hukum keterpisahan harta antara suami dan istri. Itu yang kami sepakati di awal. Mungkin mama terkesan abai terhadap Ayah, tapi sebenarnya tidak. Kami memiliki waktu bersama untuk membicarakan segalanya dan menyepakati solusinya. Kami menjalankannya dan tidak mempedulikan apa kata orang. Karena kamu adalah buah hati ayah mama, ketika tadi kamu mengeluarkan statement itu, perlu menurut ayah meluruskannya.”
Kalimat-kalimat ayah membuatku makin terdiam. Ada banyak hal yang tidak kutahu tentang pernikahan. Yang kutahu ayah dan mama selalu bertemu setiap hari, setidaknya saat sarapan dan makan malam. Saat itulah kami membicarakan segala hal tanpa distraksi gawai. Setelahnya, mereka tak banyak bicara dan sibuk dengan urusannya masing-masing, walau berada dalam satu tempat. Ternyata itulah cara mereka mendukung satu sama lain, memberikan ruang berkarya untuk menumbuhkan potensi yang ada.
Satu atap. Ruang berkarya. Bertumbuh. Keberkahan. Banyak kata kunci yang berseliweran dalam benakku, memberikan andil pada keputusan besar yang akan kubuat. Menikah, pasti. Rio adalah lelaki yang entah sejak kapan ia berhasil mencuri perhatianku dan membuatku yakin bahwa kami bisa bertumbuh bersama. Berfokus pada rumah, ini yang masih kupertimbangkan. Keinginan paling besar dalam hidup setelah pernikahan adalah bisa sering bertatap muka dengan suami membicarakan banyak hal tentang masa depan keluarga kami.
"Abis nikah, aku resign, ya! Aku bakal ikut kamu di mana pun penempatan kamu," kataku kepada Rio saat kami mulai membicarakan masa depan di teras perpustakaan yang sering kami singgahi dulu waktu kuliah.
"Kamu yakin bakal melepaskan karir kamu, Rayya?" kata Rio yang cukup terkejut dengan pernyataanku.
"He'em. Bulan depan kita sudah menikah. Tepat empat tahun aku menimba ilmu di dunia perproyekkan. Kurasa cukup dan satu impianku telah sempurna tercapai. Waktu yang tepat untuk mencoba hal baru," jawabku mantap.
"Apa yang membuatmu mengambil keputusan itu? Kamu pintar. Kamu punya nilai akademis yang baik. Dan kamu punya kesempatan besar untuk meniti karir di perusahaanmu sekarang. Aku ga masalah kalau kita nanti harus LDM. Toh, aku kerja setiap hari dan hampir selalu lembur. Terus gimana dengan rencana sekolahmu?"
"Aku masih ingin lanjut sekolah, tetapi mungkin itu bisa kita bicarakan lagi. Hal terbesar yang ingin aku capai dalam pernikahanku adalah aku pengen kita jumpa setiap hari nantinya. Aku pengen kita bisa pillow talk mendiskusikan banyak hal untuk masa depan keluarga kita. Tanpa alat komunikasi untuk menghubungkan jarak kita yang jauh. Dan tentunya, aku pengen mencium tanganmu setiap pagi saat kamu berangkat kerja dan mendoakanmu dalam jarak dekat. Urusan rumah serahkan saja padaku," aku menatapnya sambil tersenyum, "tentu dengan satu syarat."
"Apa itu?" tanyanya menyelidik.
"Kasih aku uang jajan khusus, ya! Hahaha," jawabku sambil tertawa.
"Hmm... baik," jawab Rio dengan senyum manyun lalu membetulkan posisi duduknya, "betewe, terima kasih, ya! Sudah mau mengalah untuk selalu bersama saat menikah nanti. Jujur, aku tidak berekspektasi kalau kamu bakal memutuskan hal itu. Tentang sekolahmu nanti, insya Allah akan aku dukung."
"Itu soal prinsip, Rio," jawabku. Keputusan telah dibuat. Ada rasa deg-degan membayangkan seorang Rayya yang suka lembur, sering ngeluh kalau pulang larut, selalu pakai PDL setiap hari, akan menjadi Rayya yang sering berada di rumah, mengerjakan segala hal di rumah agar suaminya senang saat pulang rumah rapi, makan malam sudah tersedia. Uwuuu banget.
***
Hari ke-30 setelah resepsi pernikahan.
Mendapatkan keberkahan, memang harus mengalahkan ego. Surga tak didapatkan hanya dengan tawa riang. Karena tawa riang yang terlihat menyenangkan, seringkali membawa manusianya terjerembab dalam neraka.
Tiga puluh hari berada di rumah saja, ternyata memang bukan Rayya yang sebelumnya. Benar kata ayah dan mama. Pekerjaan rumah itu monoton dan kurang menantang bagiku. Tak seperti hari-hari sebelum menikah, awal pagi selalu terisi dengan semangat membara, ada perasaan bahwa aku akan menemui sesuatu yang menyenangkan di tempat kerja. Setelah pernikahan, awal pagi seperti itu hanya bertahan seminggu. Selebihnya, aku harus terus mencari hal yang membuatku bisa tetap bersemangat mengawali hari. Mulai dari nonton Youtube Devina Hermawan untuk menemukan resep simple tapi endeus, sampai cek out peralatan mbenthel untuk menemani sore yang kadang gabut. Tapi semuanya tetap tidak bertahan lama. Aku harus terus mencari sesuatu yang membuat Rayya yang dulu kembali. Rio pun merasakannya.
“Yang,” ucap Rio suatu saat makan malam di hari ke-50 pernikahan kami.
“Hm…,” jawabku pendek sambil mengunyah makanan.
“Nggak pengen balik kerja?” tanyanya agak kurang jelas karena sedang mengunyah makanan.
“Kenapa, yang?” tanyaku balik ketika suapan terakhir telah sempurna kutelan.
“Biar kamu bisa ceria seperti dulu.”
“Emang sekarang nggak ceria?” tanyaku sambil merapihkan meja makan dan menunggu Rio selesai dengan makanannya.
“Enggak,” jawabnya menggeleng. Ia telah menghabiskan seluruh makan malamnya.
“Kok bisa?” aku menyandarkan diri ke kursi makan.
“Yang… gapapa banget lho, kalau kamu mau kerja lagi. Aku dukung. Dulu kan aku pernah bilang, gapapa banget kalau kamu mau meniti karir dan kita LDRan.”
“Tapi aku tetep nggak mau LDRan, Yang.”
“Oke, kamu nggak mau LDRan. Kamu cari kerja yang bisa kerja dari rumah aja. Karena kamu yang sekarang seperti bukan kamu. Ga bisa diajak bercanda seperti dulu. Bawaannya sensi mulu. Padahal dulu kalau aku becandain, reaksi kamu ga seserius itu. Aku nggak tau ya, kamu ada pikiran apa. Ini hanya dugaanku. Kamu kangen kerja ya?”
“Aku nggak tau aku kangen kerja atau nggak, Yang. Tapi rasanya aku useless di rumah ini. Ya…meskipun pekerjaan domestik setiap hari ngantre, tapi masih ada perasaan yang nggak bisa aku jelasin dengan kata-kata.”
“Hayuk, aku bantu menemukannya.”
“Apa?”
“Yang bikin kamu bingung.”
“Yakin?”
“Emang kamu sudah tau?”
“Kemarin aku mulai menuliskan apa yang bikin aku kayak gini. Hanya, ini perlu divalidasi sama kamu.”
“Coba apa aja?”
“Sepertinya karena aku terbiasa untuk menghasilkan uang sendiri, Yang. Mendapatkan uang bulanan dari kamu, seharusnya bisa sama bahagianya ketika mendapatkan uang dari keringat sendiri. Nominal besarannya sama. Beban kerjanya lebih ringan.”
“Hey, mengurus rumah itu nggak ringan, Sayang.”
“Ringan. Hanya monoton. Itu yang membuat tantangannya tak sebesar ketika aku di proyek dulu. Selain itu, aku tidak berjumpa dengan manusia lain. Tidak ada yang bisa kuajak ngobrol.”
“Kamu nggak pernah maen ke rumah mbak Anggun, istrinya mz Pras, teman kantorku? Kan rumahnya di depan kita.”
“Pernah. Tapi feelnya berbeda.”
“Fix, kamu memang butuh kembali ke dunia sipil, Yang.”
“Gitu, ya?”
“Iya. Kamu rindu dengan duniamu, Yang.”
“Kamu ga papa?”
“Aku nggak papa. Aku ridho. Asalkan aku tetap menjadi prioritas pertama kamu,” jawabnya memberikan senyuman menyakinkan itu lagi.
Berada di tempat asing, tanpa teman dan keluarga, membuatku lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Ingin sonjo, tapi mulai dari mana. Seringnya, bukan aku yang mendahului, tetapi para ibu-ibu tetangga yang memulai. Tanah luas yang di depan kontrakan menjadi penyelamatku dari kesendirian. Ibu-ibu tetangga tiba-tiba menyapa dan mengajak bergabung menonton anak mereka bertanding. Seringkali aku iyakan. Setidaknya aku telah mencoba untuk membaur dan memperkenalkan diri kepada mereka. Tapi, tetap saja ada sebuah ruang yang kosong tak bisa terisi oleh hal-hal itu. Entah apa itu.
Hingga, suatu ketika ada yang menelponku. Di hari ke-100, di pagi hari setelah Rio berangkat kerja. “Halo, Assalamu’alaikum,” aku menjawab telepon dari nomor yang asing bagiku.
“Wa’alaikumsalam, Rayya. Ini Bu Kris,” suara empuk di seberang sana membuatku teringat akan masa lalu yang menyenangkan. Ada rasa yang mulai mengisi ruang kosong itu. Tapi aku belum tahu apa.
“Eh, bu Kris. Apa kabar? Maafkan nomornya belum tersave,” jawabku basa basi.
“Nggak papa. Kamu sekarang di mana?”
“Di Banyuwangi, Bu. Ibu di Banyuwangi?”
“Iya. Ibu di Banyuwangi. Sekarang sedang di hotel Amaris. Kalau Rayya tidak sibuk, boleh kita bertemu?”
“Jam berapa ibu senggang?” aku langsung mengiyakan. Sudah lama aku tidak berjumpa dengan Bu Kris. Sudah lima tahun berlalu.
“Rayya senggang jam berapa?”
“Sekarang senggang, bu.”
“Sekarang aja, yuk! Ibu tunggu di restoran hotel, ya.”
“Baik, bu,” kataku bersemangat. Bu Kris. Wanita yang pernah menjadi atasanku saat aku magang di kantor BUMN besar. Wanita yang sudah seperti ibuku sendiri. Ibu ideologisku.
Tak banyak kata, kulaju motor menuju Hotel Amaris. Ada banyak hal yang terlintas di dalam ingatan. Pengalaman magang pertama selepas lulus kuliah. Pertama kali mengenal dunia kerja yang nyatanya mengharuskan kita memberikan toleransi terhadap hal-hal yang tidak sesuai teori di perkuliahan. Pertama kali gejolak batin muncul begitu hebat dan Bu Kris lah yang memegang tangan ini agar tidak masuk dalam pusaran kegalauan yang terlalu dalam. Semoga hari ini pun Bu Kris membawa berita baik. 
“Hai, Rayya,” teriakan Bu Kris membuatku menoleh, lalu menuju ke arahnya.
“Assalamu’alaikum, bu!” aku meraih dan mencium punggung tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Wah, Rayya makin bersinar saja wajahnya. Sini, duduk!” bu Kris menepukkan tangan ke kursi sebelah tempat ia duduk.
“Makasih bu. Ada agenda apa, bu di sini?” tanyaku basa basi di sampingnya.
“Ada yang harus ibu urus di sini. Tapi ibu nggak bisa lama-lama di kota ini.”
“Ibu sudah berapa hari di sini?”
“Sejak kemarin siang. Turun pesawat, ibu langsung menuju lokasi. Ibu mikir, siapa ya yang bisa ibu delegasikan untuk melanjutkan tugas ini. Semalaman ibu mikir. Iseng ibu buka instagram dan story kamu muncul. Jadilah, pagi ini ibu telpon kamu. Untung nomor kamu nggak ganti,” ucap Bu Kris dengan logat bugisnya yang khas, “Terus terang, kerjaan ibu di kantor pusat sedang menumpuk dan harus selesai akhir bulan ini. Dan agenda ini permintaan pak Bos.”
“Kerjaannya tentang apa?” ruang yang kosong itu terasa mendapatkan angin segar.
“Jadi, pak Bos punya lahan di sini. Beliau ingin membuat rumah lengkap dengan kebun pangannya. Apa ya istilah yang sedang in sekarang ini, per..per…”
“Permaculture, bu?”
“Nah, iya! Rayya tahu tentang permaculture?”
“Sedikit bu.”
“Bagus. Belajar yang banyak tentang itu ya! Tugas ini rencananya ibu delegasikan ke kamu. Pak Bos juga sudah tahu kinerjamu. Kukira dia akan setuju kalau project ini kamu yang handle. Kamu masih di sini dalam jangka lama kan?”
“Insya Allah begitu. Nanti saya diskusikan dengan suami ya, bu!”
“Kenapa? Suamimu melarang kamu kerja?”
“Oh, nggak, bu. Malah sebaliknya. Saya dulu yang terlalu keukeuh untuk berhenti bekerja dan memilih untuk mengurus rumah saja. Ternyata, mengurus rumah lebih melelahkan dan membosankan. Tantangannya tidak sesuai dengan saya. Hehe”
“Haha. Rayya… Rayya,” Bu Kris menepuk bahuku, “seringkali Allah menguji hambaNya dengan ekspetasi yang ia buat sendiri.”
Aku bengong mendengar kalimat bu Kris. Allah sedang menguji keinginanku? Apakah aku serius menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengerjakan pekerjaan rumah, ataukah aku bisa berpikir lebih realistis bahwa berkarya pun tak masalah bagi seorang istri?
“Okeh, nanti bicarakan dengan suamimu ya. Semoga apapun keputusan kalian, ridho Allah menyertai.”
“Amin.” 
Pagi yang membawa angin segar, walau Banyuwangi di atas jam 10 pagi sudah sangat membuat gerah. Sepulang dari Hotel Amaris, aku beraktivitas melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai. Kali ini, mengerjakan rumah lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku. Apakah benar adanya bahwa aku rindu dunia sipil? Ah, jika sepulang dari berjumpa Bu Kris membuatku lebih bersemangat, artinya benar. Aku memang rindu.
“Yang,”
“Hm…”
“Tadi aku jumpa dengan Bu Kris.”
“Bu Kris siapa?”
“Ohya, aku belum cerita ya. Jadi, dulu setelah lulus kuliah, aku mendaftar magang di perusahaan A. Nah, Bu Kris ini atasan aku.”
“Oh… iya. Trus?”
“Dia menawariku kerjaan.”
“Kerjaan apa?”
“Kamu tahu permaculture kan? Salah satu list impian yang aku tuliskan bulan lalu?”
“Kemandirian pangan?”
“He em. Nah, Pak Bosku dulu itu punya tanah di sini. Mau bangun permaculture itu. Luasnya memang hanya 500m2. Rumah tinggalnya juga maunya dibangun sederhana aja. Mendengar itu tadi, seakan gayung bersambut tau nggak, Yang?”
“Kamu mau mengambil kesempatan itu?”
“He em.” jawabku tersenyum mantap.
“Nah, kita dong! Cahaya mata yang selalu kurindukan sudah kembali.”
“Heh?”
“Iya, aku ijinin kamu mengurus project itu. Aku percaya, kamu bisa atur waktu antara pekerjaan, suami, dan rumah.”
“Aaaah, terima kasih, Sayang!” kupeluk Rio dan kucium pipinya. Barangkali jika ku ditanya, hal apa yang aku syukuri saat ini, aku akan menjawab, memiliki Rio sebagai teman hidup sekaligus teman bertumbuh.
17 notes · View notes
dooddlehen · 1 year
Text
Money, Pain & Love Chapter 2
Cast:
Lee Jeno - Jonathan Atmadja
Na Jaemin - James Hartono
Karina - Jane Widjaja
Winter - Michelle Salim
Additional Cast:
Minji - Maureen Atmadja (Adik Jonathan)
Lee Donghae - Daniel Atmadja (Papa Jonathan)
Tiffany - Tiffany Atmadja (Mama Jonathan)
Nam Gong Min - Gerald Hartono (Papa James)
Baekhyun - Bryan Salim (Papa Michelle)
Taeyeon - Tiana Salim (Mama Michelle)
Kim Seo Jin - Serena Widjaja (Mama Jane)
Tumblr media
Setiap minggu, keluarga-keluarga konglomerat dan bangsawan di Jakarta mengadakan pertemuan makan malam yang tak terlupakan. Kali ini, keluarga Jonathan, James, Jane, dan Michelle turut hadir seperti biasa. Acara makan malam tersebut selalu diselenggarakan di hotel-hotel mewah seperti Ritz Carlton, Grand Hyatt, dan Fairmont, menambah suasana kemewahan dan elegan. Tema makan malam kali ini adalah untuk menyambut keluarga baru yang baru saja pindah dari Makassar ke Jakarta. Mereka memiliki bisnis yang bergerak di sektor batu bara di bawah naungan perusahaan keluarga Jonathan. Kenaikan pangkat kepala keluarga, atau ayah dari keluarga tersebut, menjadi Country Sales Manager telah meningkatkan kekayaan mereka secara signifikan. Salah satu anak dari keluarga tersebut, Kevin, ternyata juga bersekolah di British Academy Jakarta dan merupakan adik kelas dari Jonathan dan James. Menariknya, Kevin berada dalam satu kelas yang sama dengan Michelle, menambah suasana keakraban dalam lingkaran sosial mereka.
Kevin: (sambil mendekati Michelle) Eh, hai Michelle! Ternyata kamu juga datang ke sini.
Michelle: (senyum tanpa menjawab)
Tumblr media
James: (dari kejauhan, dengan muka kesal) okb sialan berani banget dia deket deket Michelle (minum wine)
Jonathan: (dengan mulut penuh makanan) jauhh James, lu lebih ganteng.
James: (melihat muka Jonathan sambil senyum sarkas) diem Jon mending lu lanjut makan.
Jonathan: ok
James: dih
Ibu Kevin: (datang mendekati keluarga Michelle sambil bersalaman) Halo, Pak Bryan dan Ibu Tiana! Senang sekali bisa bertemu dengan kalian. Ini anaknya, Michelle, ya? Cantik banget ya anak nya bu. (menghadap ke arah Michelle) Hai, Michelle, kamu satu kelas dengan Kevin, kan?
Tumblr media
Tina: (menatap Michelle) Oh iya?
Kevin: (cepat-cepat menjawab) Iya, kami juga punya proyek Biologi bareng, loh! Michelle, nanti kamu bisa datang ke rumahku juga. Aku baru pindah ke daerah PIK, tahu kan?
James: (mendekati mereka dengan kesal) Chelle.
Tumblr media
Michelle: (hampir menjawab, tetapi terpotong oleh James)
Tiana: (melihat James dan tersenyum) Oh, James, di mana Mama kamu?
James: (tanpa melepaskan pandangannya dari Michelle) Mama ada di sana, Tante.
Tiana: Ini James bu, anak nya Gerald Hartono. Pacar Michelle.
Mama Kevin: (melihat James dengan ekspresi tidak senang) Oh? Halo, James.
James: Halo (mengulurkan tangan untuk bersalaman) James Hartono, anak Gerald Hartono pemilik Hartono Hospital Group dengan 50 cabang rumah sakit di seluruh Indonesia. Senang bertemu denganmu tante dan Melvin.
Kevin: (memperbaiki James yang salah menyebut namanya) Kevin!
James: (sambil memegang tangan Michelle) Om Tante, aku pinjem dulu ya Michelle.
Tumblr media
Bryan: (mengangguk) Setiap hari kamu pinjam Michelle, sampai kamu lupa muka anak Om sendiri. (bercanda)
Michelle: (malu) DAD!
James dan Michelle lalu mendatangi meja Jonathan dan Jane sambil berpegangan tangan.
James: Siapa tuh babe? Bangsat banget OKB-nya, sok akrab lagi.
Jonathan, yang tadi lagi makan, langsung nengok ke arah James.
Jonathan: Itu Kevin, anak karyawan bokap gue.
James sama Michelle duduk di kursi meja mereka.
James: Anak karyawan bokap lu? Buang aja tuh bokapnya. Anaknya aibin aja.
Michelle: ( sambil nyentuh tangan James biar dia tenang) James, jangan gitu dong.
Jane yang tadi cuma duduk bengong, liat muka kesel James jadi gemes dan mengejek.
Tumblr media
Jane: Kevin? Kevin yang proyek bareng lo, kan, Chelle? Lucu banget tuh anak. Beliin makan siang juga kemarin.
Jane senyum-senyum ngejek, Jonathan langsung ketawa sambil nyindir James.
Tumblr media
Jonathan: omg! serius babe?
Michelle pukul tangan Jonathan dan ngelirik sinis ke arah Jane.
Michelle: Jane, gausah mulai deh, udah tau kan dia bisa meledak kalo dipanasin.
James: (James lihat ke arah Michelle) Kok kamu belain Kevin sih?
Michelle kebingungan dan gak jawab James.
Jane: (Bercanda dan mengejek Michelle) Iya, Chelle, kenapa lu belain Kevin?
Michelle pegang tangan James buat tenangin dia.
Michelle: Babe, gausah takut, kan kamu tau gue sayang sama kamu
Jane: (senyum dan nambahin) Iya, James, Kevin kan kerja di bawah keluarga Jonathan juga, jadi gausah takut. Kalo dia sok genit dikit, keluarganya bakal tendang dia sendiri. Iya kan, babe?
Jonathan: ( senyum sambil angguk) "Iya, sayang."
James: Pokoknya aku gak suka ya Chelle kamu berdua sama dia, kalo ada project pun ajak aku. Mau ke rumah dia kek ke mana kek pokoknya I have to be there.
Michelle kaget denger kata kata James dan memilih untuk diam dan mengangguk.
Jonathan: udah udah tegang amet bro, masa seorang James Hartono takut sama Kevin? Bocah okb. Malu James sama ukuran rumah lu. Kamar lu aja segeda ruang tamu dia.
Jane: ew? serius babe?
Jonathan: Kan papa aku yang kasih rumah nya.
Kevin yang sedang duduk di kejauhan melihat mereka tertawa sambil menyantap makan malam nya. Lalu pandangan Kevin tertuju kepada Michelle, lalu tangan James yang ada di pundak Michelle. Merangkulnya penuh dengan posesif. Di situ Kevin merasa dia tidak ada apa apa nya di bandingkan mereka.
Sekali lagi, mereka adalah sekelompok anak kolongmerat yang hidup di atas peraturan dan pemerintahan. Meskipun terlihat sombong dan egois, yang terlontar dari mulut mereka adalah fakta. Fakta bahwa mereka tumbuh besar dengan kekayaan melimpah dan merasa bebas melakukan segala hal tanpa ada konsekuensi. Seiring berjalannya waktu, mereka berubah menjadi sekelompok remaja yang dengan mudah menilai dan memutuskan jalan hidup orang lain yang berada di bawah mereka. Bagi mereka, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar, namun bagi orang-orang yang terkena dampaknya, rasanya seolah-olah mereka tengah berada dalam neraka yang tiada akhir.
#dooddlehen #dooddlehenstory
10 notes · View notes
ichakhr · 1 year
Text
Khawla
Sombrero, Januari 2016
Terpasang jelas di dinding kamarnya. Sebuah rancangan rumah mewah bergaya American style favoritenya.
Khawla, Gadis kelas tiga SMA yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas dengan cita-citanya menjadi seorang arsitek sukses dimasa yang akan datang. Ia selalu tersenyum tiap kali melihat dinding kamarnya dan juga gambar-gambar arsitektur lainnya yang disimpannya di laci meja belajar. Cita-citanya dirasa makin menguat kala Ia dinyatakan lulus dari SMA dua minggu lalu. Sejumlah jadwal tes masuk Universitas yang sudah Ia mantapkan untuk dipilih dan siap Ia jalani satu-persatu dengan setumpuk buku latihan soal yang sudah bulak-balik ia kerjakan. Ya! Khawla siap menjemput impiannya dengan sungguh-sungguh. Tak jarang Ia sampai tertidur di meja belajarnya karna tanggal ujian sebentar lagi tiba.
Pukul dua dini hari menjadi malam yang menegangkan bagi Khawla
“Khawla…. bangun. Ayo kita harus segera pergi, kemasi baju dan juga barang barangmu yang tidak ingin kau tinggalkan dirumah ini. Cepat Khawla”. Ibu Weli, Mama Khawla terlihat sibuk Manyiapkan beberapa tas.
Dengan mata setengah meram dan bingung luar biasa Khawla bangun dengan setengah nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Melihat Mamanya mengemasi barang ke tas ransel yang cukup besar.
“Mah kita mau kemana malam-malam begini aku ngantuk”
“Pssstt jangan berisik, ikuti saja apa yang Mama katakan, diluar gang sudah ada mobil yang akan menjemput kita. Secepatnya kita akan pergi dari sini. Kita tidak punya banyak waktu!”
“Aku harus bawa apa Mah? Papa kemana?”
“Mama tidak bisa jawab sekarang dimana Papamu. Pokoknya bawa apapun yang kamu ingin bawa. Tapi tinggalkan handphone dan laptop kamu disini karna kita tidak akan kembali kesini”
“Tidak mau! Ini handphone dan laptopku dan ini rumah kita kenapa kita harus pergi meninggalkan semua ini?” Ada bendungan air di mata Khawla.
“Dengar Khawla! Dengarkan Mama, semua ini bukan milik kita, kita tidak bisa tinggal disini, kita harus pergi sejauh mungkin. Kamu akan menyesal kalau kamu tidak dengarkan Mama sekarang”.
Dengan wajah panik dan tangan gemetar serta jantungnya yang ikut berdebar sangat kencang Khawla menuruti perkataan Mamanya dan mulai membereskan baju-bajunya.
Berjalan perlahan. Khawla, Mama dan kedua adiknya, Fasha yang masih berumur delapan bulan dan Hisyam berumur dua tahun  menghampiri mobil kijang hitam didepan gang agak jauh dari rumahnya, didalamya ada lelaki separuh baya memakai topi kupluk dan jaket hitam sudah siap memegang stir mobil.
Sambil melihat ke jendela Khawla menangis memandangi rumahnya yang Ia tinggali selama delapan belas tahun dengan banyak pertanyaan dibenaknya yang tak bisa Ia katakan saat ini.
••• Pelabuhan Simaya menjelang terbitnya Fajar •••
Tak sedikitpun pertanyaan Khawla terjawab, Mamanya sibuk menggendong Fasha beserta dua tas besar dan Khawla membantu menggendong Hisyam yang masih tertidur dan menggendong satu ransel besar berisi baju dan barang pribadinya. Sesekali adiknya terbangun dan menangis karna tidak nyaman. Khawla begitu lelah dengan perjalanan darat hampir empat jam dan untuk pertama kalinya menaiki kapal laut dan tidak bisa tidur karna goyangan kapal laut yang cukup kencang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Mukanya pucat pasih tapi Ia tahan sampai di pelabuhan kota tujuan hampir duabelas jam lamanya.
Sesampainya di Pelabuhan Tarari rasanya semua isi perut Khawla keluar, pahit terasa ke seluruh mulutnya, matanya berair dan lemas sekali tapi Ia dan keluarganya harus melanjutkan perjalanan darat dengan bus ke kota tujuan.
“Ini dimana?” Gumam Khawla. Ia benar-benar asing disini dan hanya memperhatikan orang sekitar, tak sanggup bertanya-tanya lagi ke Mamanya karna energinya sudah habis diperjalanan. Ia hanya mengikuti kemana Mamanya melangkah dan baru Ia bisa tidur di bus.
••• Kota Antennae •••
Mamanya membuka kertas kecil berisikan tulisan singkat Jalan Polala IV no. 10 Kecamatan Lininam, Antennae. Mereka sampai disebuah rumah kecil berisi dua kamar, satu kamar mandi yang menyambung dengan dapur, ruang tamu kecil dan teras tanpa pagar. Amat jauh berbeda dengan rumahnya di Sombrero yang bisa dibilang dikawasan komplek mewah.
Mengeluarkan kunci dari tas kecilnya, Bu Weli membuka pintu rumah kecil itu
“Ini rumah siapa Mah?” Tanyanya heran sambil celingak-celinguk kedalam rumah yang tidak berpenghuni itu.
Karna waktu sudah menunjukkan waktu tengah malam, Khawla merebahkan badannya dan meletakkan semua tasnya di lantai. Mama dan kedua adiknya masuk ke kamar depan.
Aduh! Khawla sedikit menjerit karna kasurnya yang dikira empuk sepertinya dirumahnya dahulu ternyata hanya berbahan kapuk yang cukup keras. Tapi raganya tak mampu lagi berkutik. Ia melihat ke langit-langit rumah yang kini mereka tinggali.
“Oh Tuhan… apa aku sedang bermimpi saat ini? Tolong bangunkan aku sekarang juga.
Mimpi buruk ini sudah terlalu panjang, aku ingin bangun”. Tak sadar Khawla terlelap.
••••
Suara adzan subuh berkumandang, Bu Weli membangunkan Khawla dengan nada yang sama setiap paginya.
Matanya terbuka, masih di kamar  di rumah kecil dengan plafon warna coklat mudah yang sudah sedikit berdebu.
“Jadi aku tidak mimpi yah?”
Seusai solat subuh Khawla sudah melihat situasi diluar rumah. Jarak antar rumah yang cukup jauh tak membuat Khawla khawatir karna di komplek rumah lamanya juga sesepi ini.
“Ini Mama beli kue didepan sana, sarapan dulu. Gimana perutmu sudah baik setelah mabuk laut kemarin?”
“Iya.. sudah lebih baik” Singkat padat dengan wajah yang tak bisa tersenyum ceria seperti biasanya.
“Mana senyummu yang selalu Mama lihat di pagi hari?kok….”
Khawla memegang tangan Mamanya seolah menghentikan omongannya.
“Mama fikir aku bisa tersenyum pada kondisi seperti ini? Dengan rasa bingung,takut,marah. Mama fikir aku masih bisa seperti Khawla yang biasanya?”.
Bu Weli menarik lagi tangannya yang hendak mengambil kue yang dibelinya di tukang kue keliling selepas subuh tadi. Wajah lelahnya seakan menyimpan banyak cerita rahasia.
“Khawla, Papamu bilang Ia melakukan kesalahan yang sangat besar dan harus pergi, Mama pun tidak tau yang pasti jauh dari Sembrero. Dan Papa ingin Mama, Kamu, Hisyam dan juga Fasha juga pergi jauh dari Sombrero agar kita selamat dan Papa hanya berpesan pada Mama untuk segera meninggalkan Sombrero tanpa membawa handphone dan juga laptop”.
“Memangnya Papa berbuat salah apa Mah? Kenapa Papa memilih pergi begitu saja? Kenapa Papa meninggalkan kita semua kenapaa?”.
“Mama juga tidak tahu apa yang Papamu perbuat Nak, sungguh Mama tidak tau”.
Tak percaya sama sekali hal ini terjadi padaku Kugantungkan angan dan citaku di kota Sombrero Seluruh kehidupanku ada disana. Di kota yang ku cintai itu Tapi kini ku harus menelan pahitnya roda hidup yang berputar kebawah Semua harus ku kubur dalam-dalam Dan pelan-pelan harus menerima kota asing bernama Antennae. Lalu bagaimana dengan teman-temanku? dunia ku? dan juga mimpi-mimpiku?
Tangis mereka berdua pecah diruang tamu kecil itu. Sambil menutup mulutnya rapat rapat. Tak ingin kedua adiknya terbangun karna jarak mereka ke kamar tempat adiknya tidur sangat dekat. Khawla merasakan sesak di dadanya, tak ada kata yang bisa terucap hanya tangis yang Ia tahan kuat kuat, air mata yang tak berhenti berlinang, tenggelam dalam kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapinya. Semua jadwal ujian masuk Universitas yang akan segera dijalani seakan lenyap, gambar-gambar arsitektur bangunan tertinggal dikamar bersama kenangan delapan belas tahun hidupnya di kota Sombrero. Kini yang Khawla fikirkan hanyalah bagaimana bertahan hidup di kota ini bersama Mama dan kedua adiknya yang masih kecil sedangkan mereka tak banyak membawa barang dan meninggalkan ATM.
Uang lembaran yang mereka bawa dari Sombrero tidak seberapa. Dalam kesedihan yang mendalam Khawla sudah harus putar otak bagaimana Ia bisa mencari pekerjaan di kota yang baru Ia datangi ini. Tanpa gadget semua terasa sulit, Khawla terbiasa membuka handphone dan laptopnya untuk mencari informasi, tapi kini Ia harus terbiasa tanpa hal itu.
••• Keesokan harinya •••
Mencoba ke pusat kota dengan menggunakan bus, bermodal tanya sana sini sampai juga Khawla di keramaian pusat kota Antennae, hal yang sangat Ia rindukan ketika tinggal di Sombrero dulu.
Langkah demi langkah dan matanya tak berhenti melihat ke kanan dan kiri, apakah ada yang bisa Ia kerjakan dan menghasilkan uang walau Ia tak tau punya keahlian apa. Toko demi toko Ia masuki, memastikan apakah ada lowongan pekerjaan untuknya, bahkan menjadi tukang cuci piring pun tak masalah asal Ia dan keluarganya punya uang tambahan. Sudah setengah hari lebih Khawla berjalan tanpa tau arah pasti apa yang dituju. Perutnya kelaparan dan Ia pun terpaksa berhenti di Bapak tukang siomay pinggir jalan raya, memesan satu porsi siomay tanpa pare dan kol. Sambil mengunyah dengan lahapnya, tanpa sengaja Ia mendengar percakapan dua orang disebelahnya.
“Eh kamu jadi resign kah? Kerjaan yang ini lebih cuan kan?”
“Insya Allah jadi tapi lagi cari pengganti nih, Koh Acoh mau ada pengganti dulu baru aku bisa caw dari tokonya”.
“Oh udah dapet?”
“Belum nih, sepupu ku pada gak mau, mereka juga udah pada kerja soalnya, lagian gajinya gak seberapa memang, tapi pemiliknya baik banget sebenernya walaupun cerewet hahaha”.
Mendengar sebuah informasi berharga ini tanpa fikri panjang Khawla memberanikan diri bertanya ke dua orang yang tidak Ia kenal itu.
“Permisi mba maaf kalau saya lancang, tidak sengaja mendengar percakapan mba tadi, apa mba ini masih mencari orang yang mau bekerja di toko? Kebetulan saya sedang mencari pekerjaan, berapapun upahnya saya mau. Oiya sebelumnya perkenalkan nama saya Khawla”
Kedua mba itu saling bertatapan.
“Oh iya benar saya memang lagi cari orang untuk pengganti. Kamu tinggal dimana? Kamu terlihat muda, masih kuliah yah? Saya Pia”.
Khawla menyerahkan KTP nya ke Mba Pia yang berambut pirang itu.
“Saya sudah lulus SMA tapi belum melanjutkan kuliah karna saya ingin bekerja dulu sambil mengumpulkan uang untuk daftar kuliah”.
“Oh kamu pendatang yah? belum tau banyak daerah sini dong?”
“Iya Mba saya baru saja pindah ke kota Antennae, sebelumnya saya tinggal di kota Sombrero”
“Hoo begitu, oke boleh saya minta nomor handphone mu? Nanti saya infokan kelanjutannya besok yah karna saya harus izin Koh Acoh dulu”
“Maaf handphone saya rusak dalam perjalanan ke kota ini, tapi bisa beri saya alamat tokonya saja? saya pastikan datang di waktu yang diminta besok entah saya diterima atau tidaknya tidak apa-apa saya akan datang. Khawla terpaksa berbohong mengatakan hp nya rusak.
“Hoala okelah kalau begitu, saya tuliskan alamat dan letak tokonya yah”
Setelah mendapatkan kertas berisi tulisan alamat toko sembako di pasar kamis tempat mba Pia bekerja, Khawla tersenyum sumringah sepanjang perjalanan pulang, padahal Ia belum pasti akan bekerja tapi rasanya senang sekali. Tak sabar Ia beri tahu Mamanya dirumah.
“Mah.. lihat ini salah satu toko di Pasar Kamis, besok aku datangi untuk menggantikan Mba Pia yang tadi aku jumpai di tukang siomay, semoga aku bisa diterima, lumayan kita ada uang untuk menyambung hidup.
“Alhamdulillah.. kamu tidak apa kan La?” Mamanya tau ini sangat berat untuk Khawla, sejak kecil Ia hidup berkecukupan, belum pernah mencari uang sendiri tapi Ia tau anaknya juga bukan anak yang manja jadi Ia harus yakin Khawla bisa menghadapi ini meski akan terseok-seok.
“Enggak papa Mah, aku belum tau kerjanya gimana tapi jadi penjaga toko sembako ya paling melayani pembeli gitukan ya Mah? Bisalah aku dikit dikit, aku kan jago berbicara hahaha”
“Mandi dulu sana bau asam! Hahaha nanti Mama buatkan telor ceplok setengah matang kesukaanmu yah”.
Khawla masuk ke kamarnya, dibalik pintu Ia duduk bersandar. Memijit mijit kakinya yang terasa kebas karna berjalan jauh sekali, membiarkan air matanya menetes terus menerus tapi ia pastikan tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, Ia tak mau mmebuat Mamanya sedih.
••• Di Pasar Kamis Toko Jaya Abadi •••
“Koh ini Khawla yang aku ceritakan kemarin di whatsapp, Dia pendatang, baru lulus SMA dan pengen kerja disini, gimana koh?”.
“Eh elu orang masih muda beneran mau kerja disini?”
“Iya Koh, saya siap bekerja apapun karna butuh sekali uang untuk Mama dan adik dirumah”
“Lah Bapak lu kemana emang?”
“Em…”.
Raut wajah Khawla mendadak berubah, campuran rasa sedih, kesal dan marah rasanya ingin Ia ledakkan tapi Ia sadar ini bukan tempatnya dan bukan jawaban yang tepat untuk ia utarakan saat ini.
“Sudah sudah tidak usah lu jawab gue udah bisa baca. Iya lu boleh kerja disini tapi gue coba dua minggu ya kalo lu oke nanti lanjut.
Wajah bingung sekaligus lega dirasakannya bersamaan dan tak lupa Ia pun mengucapkan terima kasih berulang kali ke Mba Pia dan juga Koh Acoh.
“Selamat ya Khawla sekarang resmi jadi anak buah Koh Acoh hahaha”.
Hari-harinya kini disibukkan dengan belajar melayani pembeli dan mencoba menghafal semua harga sembako dan bahan bahan kue di toko yang sudah cukup terkenal di kalangan orang pasar.
Benar ternyata Koh Acoh memang cerewet, si newbie ini benar-benar kelimpungan dengan semua instruksinya, cepat dan selalu penuh gelora semangat macam tak ada jeda Ia berbicara, suaranya juga kencang membuat Khawla mengalami culture shock pertamanya dan sesekali terdengar membentak, tapi tidak. Koh Acoh bukan sedang marah marah, memang nada bicaranya demikian, Khawla mulai terbiasa meski setiap pulang kerumah terasa remuk sekujur tubuh karna ia tidak ingin dinilai lambat dalam penilaian kerjanya di dua minggu pertama ini jadi Ia usahakan bisa mengikuti irama Koh Acoh dan juga pegawai yang lain.
“La, lu kagak punya hp? Kalo nanti sewaktu-waktu gue butuh tanya elu gimaa?”
“Ehm.. kan aku senin sampai sabtu setengah hari kesini koh, tenang aja hehe”
“Heh bukan gitu kalo tiba tiba lu sakit trus gak bisa berangkat kerja gimana coba?
“Tapi aku belum punya uang koh buat beli hp”
“Yaudah gini deh, nih gue ada hp agak jadul sih tapi masih bisa dipake jadi kalo ada urgent lu telfon gue yak, ini udah ada nomornya jadi lu tinggal pake”
“Wah makasih banyak koh makasih”.
“Heh tapi itu gue pinjemin bukan buat elu hak milik ya”
“Siap Koh”.
Nyaris sebulan Khawla tak memegang hp setelah Mamanya minta untuk ditinggalkan dirumah lamanya di Sombrero. Rindu sekali Khawla punya hp lagi, Ia juga rindu dengan teman-temannya, sudah lama Ia pergi tanpa kabar ke teman teman terdekatnya. Tapi ini belum waktunya untuk mellow, Ia harus kembali bekerja karna toko sedang ramai-ramainya.
                                                                       •••
“Mah, lihat aku dipinjami hp sama Koh Acoh untuk komunikasi takut tiba-tiba aku sakit dan gak bisa mengabari koh Acoh”.
Dengan cepat Mamanya mengambil hp pinjamannya itu.
“Khawla, jangan membuka komunikasi dengan siapapun di Sombrero saat ini, kembalikan saja hp ini ke bos mu”. Mamanya terlihat panik sekali.
“Mah ini cuma bisa untuk telfon dan sms aja, Khawla menariknya kembali.
lagian ini sudah diisi kartu dan nomor Koh Acoh, aku tinggal pakai saja dan ini tidak bisa untuk internet kok”.
“Oh Mama fikir... Yasudah kalau tidak urgent tidak usah dipakai, lagi pula itu hp pinjaman kan? Kalau rusak nanti kamu kena ganti loh”.
“Iya siap Ma aku simpan saja”.
Khawla terlihat menuruti permintaan Mamanya tapi nyatanya tidak, Diam-diam Ia sempat mencatat nomor teman dekatnya di Sombrero dan berniat menghubungi mereka saat di pasar nanti dan mencari tau sebenarnya apa yang terjadi pada keluarganya.
Di Sore hari koh Acoh menegur Khawla karna sejak habis makan siang tadi kerjanya tidak fokus, berkali kali pembeli harus mengulang karna Khawla tidak dengar dan ada satu pembeli yang marah-marah karna pesanannya salah terus
“La elu lagi kenapa? Tumben banget lu gak fokus, muka lu pucet begitu lu sakit?” Niat hati ingin menegur Khawla Koh Acoh malah jadi kasian karna melihat muka Khawla tiba-tiba memucat dan seperti orang linglung.
“Gapapa Koh, aku sehat kok cuma tadi tiba-tiba nge blank aja karna kepikiran sesuatu”
“Ayok fokus La fokus nanti pelanggan marah lagi ke gue karna salah mulu pesenannya”
“Iya Koh maaf ya Koh”
Satu jam selepas solat dzuhur tadi rupanya Khawla berhasil menghubungi teman dekatnya di Sombrero, Kasih. Hanya bisa berbicara sebentar saja karna waktu yang diberikan untuk solat, makan dan istirahat tidak banyak.
Selama perjalanan pulang Khawla memilih turun bus lebih jauh dari rumahnya, Ia benar-benar tidak bisa berfikir jernih karna terlalu shock mendengar berita dari Kasih tadi kalau Papanya (Pak Soebandi) diberitakan menjadi terduga kasus korupsi bernilai milyaran rupiah.
Aku memang tidak sedekat itu dengan Papa dan aku tidak tau persis pekerjaan Papa tapi aku benar-benar tidak percaya  kalau Papa melakukan hal yang melanggar hukum Apa sebab itu juga Papa ingin kita pergi jauh dari Sombrero? Apa sebab itu Mama menyembunyikan cerita ini? Mama gak mungkin gak tau kan?atau memang Mama tidak tau? Kalau Mama tau kenapa Mama gak jujur kepadaku? Lalu sekarang Papa dimana? dipenjara? atau…..
Semua pertanyaan dan kenyataan itu benar-benar membuat kepala Khawla rasanya mau pecah.
Sedih, kesal dan marah semua jadi satu di satu waktu dan tanpa sadar Ia meremas remas botol kemasan air mineral yang sudah habis dan melemparnya kearah taman pinggir jalan sambil berteriak.
“Aduuuh”. Ada suara orang dibalik pagar tanaman, botol itu tepat mengenai kepalanya, segera Khawla mendekat ke sumber suara itu.
“Heii kamu yang lempar botol ini? Sakit tau ih.. udah buang sampah sembarangan, kena kepala orang lagi, gerutu laki-laki berumur sekitar tiga tahun lebih tua dari Khawla itu sambil mengusap usap kepalanya.
“Maaf, maaf ya Mas, saya tidak sengaja, benar-benar tidak sengaja”.
Terlihat muka pucat dan linglung Khawla kala itu membuat laki-laki itu merasa iba, lagi ada masalah kali ya nih cewe, gumamnya dalam hati.
“Yaudah lain kali hati-hati Mba, oiya diambil itu sampahnya, buang ketempat sampah”.
“Iya..” tak bicara banyak segera diambilnya sampah botol itu dan pergi meninggalkan laki-laki itu.
Sesampainya dirumah Khawla kaget melihat Adiknya Hisyam sedang muntah-muntah dan Adiknya yang paling kecil, Fasha ikut menangis.
“Maaaahh Hisyam kenapa?” Tanyanya panik.
“Enggak tau tadi habis makan, tidur lalu kebangun dan bilang perutnya sakit trus begini” Mamanya bingung sekali ingin mengurusi Hisyam atau mendiamkan Fasha yang menangis kencang. Segera Khawla menggendong Hisyam dan membawanya ke UGD terdekat sambil meminumkan adiknya air dicampur garam dan gula agar tidak dehidrasi.
Setelah diperiksa dokter, ada kemungkinan Hisyam keracunan makanan karna baru saja Hisyam yang pertama makan nasi dan lauk yang Mamanya beli di warung makan tadi siang.
“Ya Allah maafin Mama nak, harusnya tadi Mama dulu yang makan jadi biar Mama aja yang keracunan bukan kamu”.
“Sudah Mah jangan menyalahkan diri sendiri begitu, insya Allah Hisyam sudah gapapa tadi kata dokter sudah diberi obat dan di infus tadi juga dokter bilang paling tidak dirawat inap dulu satu malam karna perlu observaasi lebih lanjut kalau tidak ada keluhan besok bisa pulang”.
“Syukurlah nak kamu gapapa”. Mamanya mencium kening Hisyam yang sudah tertidur sambil menggendong Fasha.
Tak tega melihat kondisi keluarganya saat ini, Khawla urun untuk menanyakan berita yang Ia dapatkan dari Kasih di Sombrero. Lebih baik aku fokus dulu untuk Hisyam cepat pulih dan balik kerumah nanti baru akan kutanyakan perihal berita Papa di Sombrero pada Mama. Oiya aku harus beri tau Koh Acoh untuk izin kerja besok.
••••
“Biar aku saja yang menjaga Hisyam di rumah sakit, aku sudah izin kerja untuk hari ini, Mama dan Fasha pulang saja kasian Fasha kalau harus ikut menginap disini lagi pula hanya satu orang yang diizinkan menginap menemani pasien, jadi biar Khawla saja ya Mah”.
“Iya.. besok pagi Mama kesini lagi ya”.
Khawla duduk di dibangku samping tempat tidur Hisyam, Ia tidak bisa jauh jauh karna adiknya masih sering menangis dan tidak betah dengan selang infus yang berada ditangannya
Suasana ruang rawat yang sepi semakin membuat isi kepala Khawla makin berkecamuk dan saat ini Ia berfikir ingin cari pekerjaan lain. Karna setiap pagi sampai sore di toko dalam pasar membuat Khawla tidak berkembang, Ia masih ingin sekali berkuliah suatu hari nanti jika uangnya sudah cukup, dan saat Ia mendapat kepastian bagaimana Papanya.
―Kita kembali ke Kota Sombrero. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mengagendakan pemeriksaan terhadap dua mantan komisaris PT. Manouvol yakni Chiko dan Bagas pada hari ini. Chico dan Bagas dipanggil sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan penjualan dan pemasaran PT. Manouvol―
Nama PT yang tidak asing baginya, lalu Ia mendekatkan dirinya ke TV ruang rawat inap yang dipasang diatas mendekati atap. Memastikan apa yang Ia dengar dan lihat adalah benar. Selama hijrah ke kota Antennae, Khawla tidak pernah melihat siaran TV lagi karna dirumahnya sekarang mereka tidak memiliki TV dan di toko seringnya tidak dinyalakan, jadi baru saat ini Khawla melihat TV dan menonton berita lagi.
―Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SP (Soebandi Pratama,47) dan RR (Rachmat Rihardjo,45) yang saat ini masih menjadi buron. Dalam kasus ini SP dan RR diduga telah menerima aliran dana hasil pencairan pembayaran pekerjaan mitra fiktif senilai sembilan puluh tujuh milyar rupiah―
Khawla menjatuhnya dirinya ke samping tempat tidur Hisyam yang sudah tertidur, ternyata benar yang Kasih katakan kalau Papaku menjadi terduga kasus korupsi dan sekarang statusnya adalah buron. Jadi Papaku benar-benar terlibat korupsi? Dan sekarang Papa kabur entah kemana. Berarti aku anak seorang koruptor?
Khawla menutup mukanya rapat rapat sambil menangis , Ia sangat terpukul dengan berita yang baru saja Ia lihat di TV. Dirinya masih ingin percaya kalau apa yang Kasih katakan itu tidaklah benar dan Ia masih ingin tau kebenaran itu dari mulut Papanya sendiri tapi nyatanya Papanya kabur yang kemungkinan besar menandakan dirinya benar benar terlibat kasus ini.
Hancurnya sekali hatinya saat tau Papanya yang selama ini Ia hormati tega berbuat hal seperti ini. Lalu bagaimana kalau yang aku makan selama ini adalah harta haram dan sudah menjadi daging dan darah yang mengalir di tubuh ini? Tega sekali Papa pada kami. Oh Tuhan semoga engkau mengampuni dosa Papaku dan semoga Engkau mengampuni kami yang secara tidak sadar menikmati hasil pekerjaan kotor. Lelah menangis semalaman, Khawla tertidur bersandar besi tempat tidur sampai dibangunkan oleh cleaning service yang bertugas pagi ini untuk pindah ke kursi.
Setelah observasi terakhir, dokter bilang Hisyam sudah boleh pulang siang ini. Suster sudah melepaskan infusannya dan Khawla membereskan barang-barangnya ke dalam tas menunggu Bu Weli dan Fasha datang.
“Alhamdulillah yah dek kamu gak harus menginap disini, Mama sedih lihat kamu di tusuk jarum begini, yuk sekarang kita bisa pulang kerumah”. Khawla bantu dorongkan kursi roda kedepan lobby, mereka memesan taksi dekat RS.
“Kamu baik-baik saja? Semalam bisa tidur?”
“Sedikit” Jawabnya singkat.
Bu Weli melihat raut wajah anaknya yang sangat kusut tapi Ia berfikir Khawla begadang menjaga adiknya sepanjang malam. Dan mereka pun sampai di rumah. Menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mamanya, hingga larut malam tiba ketika dua adiknya benar benar terlelap, Khawla menarik tangannya dan mengajaknya ke teras depan dan duduk dibangku plastik warna hijau menghadap  jalanan tanpa pagar sebagai penyekat.
“Mama tau apa tentang Papa sampai detik ini? beri tau aku yang Mama ketahui dan Khawla mohon Mama jangan bohongi aku, jangan tutupi apapun dariku lagi”. Khawla mencoba menahan air matanya.
“Aku sudah tau beritanya kalau Papa tersandung kasus korupsi bernilai milyaran rupiah dan status Papa saat ini adalah buronan polisi”.
Bu Weli kaget darimana Khawla tau hal ini padahal selama pindah ke Antennae mereka tidak melihat siaran TV, hp yang dipinjamkan bosnya pun hanya bisa untuk sms dan tellfon
“Aku tau dari berita di TV  ruang rawat saat menemani Hisyam di RS semalam”. Seolah bisa menebak isi hati Mamanya.
“Kenapa Mama gak jujur sejak awal soal ini? Dan kenapa Papa harus kabur? Berarti benar Papa korupsi uang perusahaan?”.
“Maaf kalau kamu harus tau ini lebih cepat sebelum Mama memberitahumu, sama sekali tidak ingin menutupi semua ini darimu, hanya saja kalau kamu tau hal ini dari awal Mama yakin kamu pasti tidak akan mau pergi dari Sombrero”.
“Jelas aku tidak akan mau pergi dan aku juga tidak akan membiarkan Papa kabur dari masalah yang Ia buat sendiri, Papa harus bertanggung jawab dan kita juga harus membantu polisi agar Papa bisa mempertanggungjawabkan kesalahannya Mah, bukan malah kabur menjauh dari sana”.
“Tapi kita tidak membawa apapun dari sana kan nak, kita tidak bawa ATM, uang, eletronik dan apapun, kita tidak salah”.
“Tapi kita salah membiarkan Papa kabur dan kita juga salah menutupi keberadaan Papa saat ini dari tim penyidik”.
“Mama takut Papamu dipenjara, Mama juga tidak siap di cemooh semua orang disana, Mama tidak siap membesarkan kalian seorang diri dengan status istri seorang koruptor”.
“Mau sampai kapan mah? Cepat atau lambat semuanya akan terkuak, mau berapa lama Papa bersembunyi seperti ini? Mama fikir polisi akan berhenti mencari Papa dan kasus ini ditutup dengan kaburnya Papa? tidak Mah!
Bu Weli kali ini menangis sejadi jadinya, sudah lama rasanya Ia ingin meluapkan emosinya seperti ini tapi selalu ditahan karna tidak ingin Khawla dan adik-adiknya tau kalau Papanya seorang koruptor dan menjadi buron. Atas permintaan suaminya juga untuk membawa anaknya pergi jauh dari Sombrero dan memulai hidup baru dengan lingkungan baru di Antennae dan berjanji untuk tidak buka suara perihal keberadaannya. Namun bangkai tetaplah bangkai, mau di tutupi serapat apapun tetap akan tercium juga.
“Sekarang apa yang Mama harapkan dengan menyembunyikan Papa? keutuhan keluarga? yang aslinya tidak pernah utuh? keluarga kita memang terlihat seperti keluarga normal pada umumnya, bahkan mungkin orang lain melihatnya sebagai satu keluarga yang sempurna dengan kepala keluarga yang mempunyai posisi penting di perusahaan besar, berkecukupan bahkan lebih dari cukup, memiliki anak laki-laki dan perempuan. Semuanya terlihat ideal tapi sesungguhnya aku tidak merasakah se hangat itu didalamnya. Papa ya seorang orang tua, orang tua yang dihormati, pemberi segala keputusan dan memenuhi semua kebutuhan sandang pangan dan papan kita tapi apa pernah Papa tau bagaimana anak-anaknya? Kurasa tidak.
Rumah yang bukan ‘rumah’ untukku, Tak dapat lagi menahan beratnya bendungan air mata yang akhirnya dibiarkan jatuh, tak seberat kala merasakan kekecewaan yang teramat sangat pada Papanya sendiri yang sudah benar-benar menghancurkan hatinya dan juga mimpinya.
Malam ini menjadi malam yang paling mendung seumur hidupku. Aku dan Mama masih menangis di teras rumah.
••••
Sesungguhnya Khawla juga kecewa pada keputusan Mamanya yang hingga kini tak juga mau memberi taunya keberadaan Papanya tapi Ia ingin mengesampingkan sedikit masalah hidupnya saat ini mencoba untuk tidak terus berlarut dengan kesedihan yang mendalam. Khawla ingin hidup normal kembali entah bagaimana rencananya kedepan.
Khawla kembali bekerja besok pagi dan yang Ia fikirkan sekarang adalah menghidupi keluarganya dari kedua tangannya yang harus sepuluh kali lebih kuat dari sebelumnya.
―6 bulan kemudian―
Tidak seperti hari biasanya, hari ini Khawla sudah mantap memutuskan tidak lagi bekerja di toko Koh Acoh dan Ia sudah menyiapkan kata-kata pengunduran dirinya. Walau cerewetnya bukan main, tapi koh Acoh bos yang sangat baik dan dia membolehkan Khawla melamar pekerjaan lain tanpa harus mencarikan penggantinya terlebih dahulu karna koh Acoh juga merasa Khawla masih sangat muda, Ia berhak mencari pengalaman diluar sana yang lebih luas lagi. Khawla sudah memiliki cukup uang untuk membeli handphone yang sesuai dengan budgetnya saat ini, dan Ia sudah mengembalikan handphone pinjaman Koh Acoh sebelum pamitan dari toko.
Beberapa hari lalu saat Khawla sedang mengobrol dengan pegawai toko sebelah, Ia mendengar ada toko kue baru yang cukup besar, lokasinya gak jauh dari Pasar Kamis yang sedang buka lowongan pekerjaan. Khawla ingin mencoba melamar disana. Posisi yang dibutuhkan yaitu kitchen prep dan front –of-house. Khawla tertarik di front of house, selain kriteria yang dibutuhkan tak perlu sarjana, Ia juga merasa cukup cakap dalam berbicara dan pengalaman menjadi pegawai toko Jaya Abadi selama hampir setahun membuatnya belajar banyak melayani pelanggan dengan baik. Selang seminggu pengumuman calon pegawai, Khawla dipanggil untuk menjalani test kedua setelah lolos tes administrasi di toko cake and pastry tersebut, dengan semangat Ia datang dengan pakaian hitam putih ala pegawai orientasi. Ada sepuluh orang yang menjalani tes kedua yaitu praktek akan diambil dua orang.
Seminggu kemudian ternyata Khawla lulus sesuai harapannya. Hari pertama Khawla bekerja di toko kue tersebut rasanya membahagiakan sekali, selain harum dari pastry dari kitchen yang menyerbak ke seluruh bagian toko yang bahkan sejak melewati pintu masuk sudah tercium, lingkungannya yang pasti bersih dan yang paling Ia sukai adalah ketika memakai seragam Vimallya’s cake and pastry, terlihat chic dan keren sekali. Seluruh staff baru diajak berkeliling seluruh bagian toko sampai ke dalam kitchen dan office yang terletak di lantai dua untuk berkenalan dengan seluruh bagian di Vimallya dan ada yang membuat Khawla sedikit kaget ketika menyapa salah satu Specialty Chef yang wajahnya tak asing baginya tapi sama sekali tak ingat dimana mereka pernah bertemu. Ketika waktu pulang, tak sengaja Khawla bersinggungan dengan Chef tadi, ekspresi Khawla terlihat sekali memandanginya terus sambil mengerutkan alisnya lalu dengan santainya Chef itu nyeletuk.
“Gimana?masih gak inget pernah ketemu saya dimana? Masa sih gak inget pernah merasa menimpuk kepala saya dengan botol? Hahaha”.
Ah iya, Khawla baru ingat dan rasanya malu sekali karna saat itu dirinya sedang kalut.
“Saya gak sengaja kok Chef saat itu hehe”
“Hahaha iyaa santa. Inikan udah diluar kantor, gak usah panggil Chef segala, panggil aja Kafka”.
Kafka.. nama yang bagus dan tiba-tiba ada senyum ikhlas yang muncul di wajah manis Khawla.
Ah apasi kamu La baru juga kenal hahaha, gumamnya.
Hari demi hari Khawla makin terlihat makin dekat dengan Kafka lebih dari sekedar rekan kerja.
Kafka orang yang sangat humble kepada semua orang, Ia juga dikenal ramah dan sopan.. Buat Khawla, Kafka menjadi orang yang slalu bisa menghiburnya. Ada saja kelakuannya seperti bukan Chef Kafka yang Ia kenal saat bekerja, ada saja yang mereka tertawakan bersama seakan semua hal di dunia ini lucu untuk ditertawai Sebagai seorang Chef, Kafka juga tidak pelit membagi ilmunya kepada Khawla, di akhir jam kerja mereka sering menghabiskan waktu untuk praktek membuat sebuah resep baru dari sisa bahan kue yang sudah tidak dipakai dan dihitung. Bagai saling mengisi, akhirnya mereka menjalin kasih.
Atas saran Kafka juga Khawla mendaftar kuliah jurusan manajemen kuliner atau tata boga untuk jenjang karirnya lebih baik dari sekedar menjadi front-of-house di Vimallya’s cake and pastry.
Kehidupan Khawla dan keluarganya kini lebih baik, dipekerjaan yang lebih baik dan disamping orang yang berhasil menyentuh hatinya dan juga membantunya memperbaiki hidupnya yang semrawut selama dua tahun belakangan. Kepada Kafka juga Khawla menceritakan semua kisah hidupnya dan Papanya yang masih buron hingga detik ini, meski awalnya kaget tapi Kafka menerima semua masa lalu Khawla yang membuatnya justru makin kagum dengannya.
Empat tahun kemudian Khawla dinyatakan lulus sebagai Sarjana Manajemen.  Pada hari bahagia ini, Khawla membuat perayaan kecil-kecilan di suatu Caffe dengan mengajak keluarganya dan juga Kafka makan bersama.
Waiters Caffe mengantarkan pesanan sambil memberikan kartu seukuran A5 dari seseorang dengan isi pesan :
[Selamat ya Khawla kamu sudah lulus kuliah kuliner dan Papa turut bahagia atas pencapaianmu di Vimallya cake and Pastry]
“Papa?”. Khawla mematung membaca surat tersebut.
Ada sesosok laki-laki setengah abad yang berjalan mendekati meja Khawla dan keluarga.
Sungguh mengejutkan ternyata itu Pak Soebandi, Papa Khawla. Pertemuan seorang Ayah dan Istri serta anak-anaknya setelah hampir lima tahun terpisah karna keadaan.
Bu Weli sangat terkejut melihat suaminya kini ada didepan matanya dan langsung memeluk erat suami yang sangat Ia cintai dan rindukan itu. Campur marut perasaan Khawla saat ini, Ia masih diam mematung ditempatnya berdiri dari kursi.
Senang akhirnya Ia bertemu Papanya lagi setelah lima tahun berpisah dengan cara yang paling menyakitkan.
Marah mengingat beberapa tahun silam Ia, Mama dan Adiknya harus hijrah ke Antennae karna ulah Papanya sendiri dan sedih mimpi Khawla saat di Sombrero pupus walau kini Ia sudah merangkak ke mimpinya yang baru.
Sakit menahan luka yang ditorehkan Papa kandungnya sendiri.
Khawla mendekati Papanya perlahan dan Ia mengepalkan tangannya sambal menahan tangis yang pecah begitu saja.
Papanya memeluk putri pertamanya begitu erat
“Maafkan Papa nak”.
Masih menangis dipeluk Papanya, secara tiba-tiba sekelompok Polisi mengepung meja itu
“Pak Soebandi, anda kami tangkap atas dugaan kasus korupsi lima tahun silam” dan polisi langsung memborgol kedua tangannya.
“Pak.. apa ini Pak..” Pak Soebandi sangat terkejut kenapa bisa ada Polisi sebanyak ini disini dan Ia masih mencoba untuk menahan diri untuk tidak ikut ketika dua orang polisi mulai menariknya ke mobil yang berada tepat didepan Caffe itu
“Pahhh..Papaa, Pak Polisi jangan bawa suami saya”. Teriak Bu Weli histeris sambal menangis, Fasha, adik bontot Khawla yang kini berumur lima tahun ikut menangis melihat Mamanya menangis seperti itu. Hisyam memeluk Mamanya dari samping.
Khawla masih menangis sambal menunduk.
Setelah lima tahun lamanya menjadi buronan, didepan mereka semua akhirnya Pak Soebandi telah dibawa oleh pihak yang berwajib untuk mejalani proses hukum sebagaimana mestinya.
Caffe saat itu menjadi ramai karna proses penangkapan Pak Soebandi.
Kafka menggengam tangan Khawla, mencoba menguatkannya.
Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, termasuk Khawla dan Mamanya ikut dimintai keterangan oleh tim penyidik. Setelah melakukan sidang demi sidang, Hakim memutuskan bahwa Pak soebando dijatuhkan hukuman penjara selama delapan tahun dan juga denda sejumlah uang. Rumah di Sombrero juga sudah disita.
Mereka semua sudah pasrah dan mencoba menguatkan satu sama lain. Mereka tetap tinggal di Antennae, dirumah sederhana itu.
Hari pertama Papanya mendekam di penjara, Pak Soebandi mendapatkan surat pertama dari Anaknya.
――
Untuk Papa yang Aku cintai, Aku tidak tau apa yang Papa rasakan saat ini. Melalui surat ini aku ingin mencurahkan seluruh hatiku kepada Papa. Yang pasti aku sangat marah, sangat sedih dan sangat kecewa atas apa yang Papa lakukan selama lima tahun ini. Kalau saja aku tau hal ini, lima tahun lalu takkan kubiarkan Papa pergi meningalkan kami dan membiarkan kami hijrah ke kota baru dan menjalani hidup disana tanpa Papa, memulai hidup dari nol yang sangat tidak mudah untuk aku jalani sebagai anak yang baru saja lulus dari sekolah menengah. Secara tidak sadar Papa juga telah menghancurkan mimpiku menjadi arsitek, aku gagal mengikuti sejumlah tes Universitas yang telah aku siapkan jauh-jauh hari. Membuatku jauh dari teman temanku di Sombrero dan menjadi orang asing di Antennae. Aku harus bekerja disini, mencari uang demi uang untuk menghidupi Mama dan kedua Adikku. Ya.. mungkin Papa sudah tau semua hal ini dari Mama kan? Tapi aku juga ingin Papa tau juga, Papa tetaplah Papaku bagaimanapun kesalahanmu dimata hukum. Papa yang aku hormati, yang telah membesarkan aku dan juga Adik-adik. Maafkan anakmu ini ya Pah, karna hanya dengan cara ini Khawla baru bisa benar-benar memaafkan Papa setulus hati Khawla dan Khawla akan mencoba ikhlas atas semua yang terjadi pada keluarga kita. Khawla akan terus melanjutkan mimpi-mipi Khawla yang baru di Antennae. Ku harap setelah ini keluarga kita makin membaik ya Pah dan bisa memetik pelajaran dari apa yang sudah kita lewati bersama. Aku ingin tidak ada lagi kebohongan didalamnya, ketidakjujuran dan ketidakterbukaan satu sama lain dikeluarga ini, Aku ingin rumah benar-benar ‘rumah’ yang hangat untukku pulang. Aku tunggu Papa sampai masa tahanan Papa berakhir, dan kita akan berkumpul kembali setelah Papa menebus semua kesalahan yang Papa perbuat. Salam sayang, Khawla Anakmu yang sudah melaporkanmu ke Polisi
――
• Flashback •
Khawla menemukan sejumlah surat dengan nama samaran, tapi Khawla tau persis itu bahasa Mama dan Papa Ketika berbicara. Jadi selama ini mereka saling bertukar kabar melalui surat surat ini? Kok aku tidak tau ya? Gumamnya sambal membaca semua surat secara cepat karna takut ketauan Mamanya.
Khawla segera mencatat alamat alamat yang tertera disitu, dan Ia segera melaporkannya ke Polisi. Tapi tidak mudah karna di semua surat tersebut ternyata ada beberapa alamat berbeda dari pengirim, mungkin Papa berpindah-pindah tempat selama ini. Akhirnya Khawla punya ide untuk memancing Papanya datang melalui Mamanya, Setelah lulus kuliah nanti Khawla ingin membuat perayaan kecil-kecilan dan ingin sekali Papanya ada disitu, dan tepat perkiraan Khawla, Mamanya menyampaikan hal itu kepada Papanya. Khawla mengatur strategi dengan tim kepolisian yang akan menangkap Papanya di Caffe yang sudah Khawla siapkan dan semua berjalan sesuai rencana.
••••
Di suatu sore yang indah di Antennae
Kafka sedang berada diruang tamu rumah Khawla dan berniat untuk melamar Khawla didepan Mamanya dan juga Adik-adiknya. Kafka mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.
“Khawla, bersediakah kamu menjadi teman yang setiap hari ada disampingku? Yang kupanggil dengan sebutan Istri?”. Kafka gugup sekali.
Khawla menengok ke Mamanya meminta persetujuannya, Mamanya mengangguk dengan penuh senyuman. Ia juga bahagia sekali Putri pertamanya sudah dilamar lelaki baik Bernama Kafka.
Yes Chef!!
Semua tawa menyertai keduanya yang insya Allah akan membina hubungan yang lebih serius lagi.
----------TAMAT------------
15 notes · View notes
Text
Diam diam suka kamu
Setiap individu pasti mempunyai kisah masa lalu masing masing tak terkecuali aku.
Kalian pasti punya kisah tersendirinya masing masing.
Kali ini aku ingin untuk bercerita
Guys aku harap kalian tidak pernah yang namanya membenci sebuah pertemuan
Sekalipun ada kekecewaan yang hadir di waktu yang kau sendiri pun tidak pernah mengundangnya.
Ini kisah tentang pria berusia 21 tahun.
Sebut saja dia Raju karna memanggilnya dengan nama aslinya akan membuatku terkurung dalam imaji yang tak kunjung usai.
Setiap kita pasti pernah mengagumi bahkan mencintai seseorang.
Kalian pasti sudah tau bagaimana defenisi rasanya.
Aku tidak perlu lagi menjabarkannya
Tapi, jika nanti cintamu bertepuk sebelah tangan apa yang akan kau lakukan?
Yuk simak ulasan singkat aku
Cinta adalah kata kerja yang tidak bisa dipaksakan. Sebuah perasaan yang tidak bisa kau atur-atur sesuka hatimu. Dia hadir seakan tak mengerti ruang dan waktu. Tapi dibalik semua rasa yang hadir itu kau diajarkan tuhan untuk belajar ikhlas menerima,
Ikhlas menerima bilamana lelaki yang bernama Raju tidak memilihmu, tidak mempercayaimu menjadi teman hidupnya.
Kau harus berhati baja untuk menerima segala keputusan yang semesta berikan.
Dan yang terpenting bukan dengan siapa nanti kita bersanding tapi siapa yang mampu menerimamu dengan segala kondisi yang ada dan siap setia sepanjang perjalanan menuju peristirahatan terakhir.
Disela sela aku dan pekerjaanku ibu mengirim pesan via whatsapp.
Ibu: jaga kesehatan ya kak, kurang-kurangin begadangnya lakukan semua sesuai porsinya ibu sayang kakak.Good night kesayangan ibu.
Malam itu tepat pukul 21.44 aku masih berkutat dengan deadline naskah yang harus dikirim  2 bulan kedepan kali ini harus  rela mata pandaku semakin tajam jika dipandang.
Aku: sayang ibu banyak-banyak , sehat terus ya bu semoga mentari esok pagi secerah senyuman ibu yang selalu kakak rindu setiap paginya.
Ah, lagi-lagi pesan ibu membuat mataku sulit terpejam sebelum semuanya selesai ibu adalah salah  satu alasan utama aku masih bertahan  sampai detik ini dari segala kondisi yang pernah hadir melampaui batas kemampuanku.
Mataku masih saja terfokus pada layar persegi,  sambil nyelam minum air rasanya fokusnya terbagi- bagi malam ini antara deadline naskah untuk di eksekusi 2 bulan kedepan serta tugas akhir yang menuntutku untuk segera diselesaikan.
Story wa
Raju:  aku selalu gagal memahami makna di balik hujan yang kuterima ..#terjebakAgain 20 menit yang lalu
Me : lebih baik terjebak hujan dari pada terjebak kenangan wkwkwk.   Pandanganku, terhenti pada status raju
Raju sedang mengetik…
Raju :  tidak lagi..:V
Singkatnya balasan raju ku yakin dia tidak ingin membahas kisah nya lebih detail lagi, pesan singkatnya hanya ku balas oke.
Aku mulai beralih ke pekerjaanku tapi rasa ingin ku terhadap balasan raju lebih besar sehingga naskahku kubiarkan berdiam ditempat
Pesan masuk
Raju :  yaah, kau mungkin benar, terlalu naif mengatakan tidak. Aku ini sebenarnya basah oleh air hujan atau air mata, sedang dibanjiri genangan entah kenangan.
Pesannya yang seketika masuk langsung cepat untuk kubalas bahkan tanpa jeda waktu
Raju sedang mengetik…
Malam kian larut, pekerjaan ku terbengkalai karena terbawa larut pada chattingan dengan raju, ingin sekali rasanya untuk kusudahi tapi rasa penasaran ku terhadap perasaan raju belum selesai aku belum mengetahui apakah raju masih pada perasan yang lama pada raya atau sudah benar-benar tak mengharapkannya.
Me: bahkan hujan dapat menyembunyikan basahnya pipimu sebab tetesan air mata. Sedangkan kenangan yang dalampun akan mampu kau lewati ketika kau punya tekad terus berjalan dan menerobos derasnya kenangan yang seakan tak ingin berpindah tempat.
>>> wkwkw, eh maaf ya raj, aku kebawa dengan suasana hujannya.
Sambil berucap pada diri sendiri, “ra kamu harus bisa ngontrol perasaan kamu jangan sampai terbawa perasaan ingat posisi kamu”. Kata-kata itu kerap kuucap saat perasaan itu pelan-pelan telah mencuri sedikit hatiku.
Raju: yaah, tak apa..  menurutku kau tak salah dan tak juga benar. Hujan memang berbeda .. membangunkan kenangan yang lama terlelap, seperti memanggil pulang nama seseorang yang telah pergi tapi ingatan tentangnya masih menetap.
Me: jadi kau benar-benar masih pada perasaanmu yang dulu?
Jika kenangan masa lalumu itu memiliki perasaan yang sama denganmu, apa yang akan kau lakukan?
Membiarkannya pergi atau menjemputnya kembali?
Kuharap pertanyaan ini tidak berlebihan, bisikku dalam hati. Aku hanya ingin mengontrol harapanku raj, aku tak ingin berlebihan dan memaksakan jika hatimu tak berpihak padaku. Aku akan mundur teratur secara perlahan karena jika kupaksakan dengan cepat aku takut itu hanya menyakitiku lebih dalam aku butuh penyesuain.
Pesan masuk
Raju : Tidak, aku tak ingin mengingatnya lagi dan aku tidak mau berurusan dengannya lagi
Ku mohon jauhkan aku dari hal-hal yang membuatku terhubung dengannya..
Me : baiklah jawabku
 Aku bingung harus bahagia atau sedih atas pernyataan yang kau berikan raj, tapi yang ku tau namanya masih ada dihatimu kau hanya berusaha untuk melupakannya tapi tidak benar-benar telah melupakannya.
Aku masih saja menatap layar handphone itu, untuk benar-benar memastikan kau tak membalas chat ku lagi atau kau akan memberi kata selamat tidur atau apa saja aku masih menunggu dan menatap layar ponselku.
Hampir 20 menit,
Pesan masuk
Raju:  tidurlah ra, karena aku juga akan tidur, aku rasa hari ini sudah cukup.
Ada saja tingkah terselubungmu yang mampu membuatku tertawa sendiri sambil dipandangin tembok bisu hingga terpingkal-pingkal sendiri.
terkadang kita terlalu rapi menyembunyikan perasaan dikala ramai tapi terlalu rapuh saat dalam kesunyian.
Aku tau ini perilaku yang tidak sehat dalam sebuah hubungan, berpura-pura menjadi pahlawan untuk orang lain, padahal hal sebenarnya akulah yang paling ingin memilikinya. Sadar diri adalah rumus terbaik yang pernah aku lakukan. Untuk saat ini bisa menjadi teman berbagi ceritamu saja sudah menjadi hal yang membuatku berarti tiap harinya.( sebuah tulisan diary malam ini).
bersambung...
11 notes · View notes
dewisetiyanip · 7 months
Text
Satu persatu momen yang dinanti di bulan Oktober ini terlewati (1)
Momen yang paling mendebarkan tentu saja saat-saat menanti kelahiran sholihah kami, Ghaisa. Menjelang 39w belum ada tanda-tanda melahirkan. Saat USG di usia 38w, didiagnosa pengapuran plasenta, detak jantung janin lemah dan harus CTG untuk memastikan kondisi janin, disuruh makan siang dulu lanjut CTG 25 menit (ternyata benar karena bunda kelaparan belum makan siang, jadi djj lemah, baru tau kalau bisa berpengaruh😅). Sudah panik takut kenapa-kenapa dan harus segera tindakan caesar.
Alhamdulillah aman, tapi kepikiran karena plasenta udah mulai mengalami pengapuran (aliran nutrisi dari tubuh ibu ke janin bisa jadi terganggu).
Alhamdulillah sepekan setelahnya, tepat di usia kehamilan 39w, Ghaisa lahir, tepat di saat ayahnya libur kuliah, sesuai doa ayahnya agar adik bisa lahir waktu ayah ndak kuliah, biar bisa full menemani tanpa harus izin.
Kehamilan kali ini MasyaAllah Tabarakallah penuh ujian di perjalanannya. LDM diusia kandungan 32w, tinggal berdua toodler yang baru memasuki masa mengenal emosi dan sering tantrum (mungkin tangki cintanya kurang terisi karena jauh dari ayah :')). Tapi Alhamdulillah Allah mudahkan proses kelahirannya, minim trauma. Alhamdulillah pasca persalinan pun pulih lebih cepat.
Kamis, 12 Oktober 2023
Tumblr media
Pagi hari masih mencuci pakaian, mengantar Rara ke Paud, ikut jalan pagi bersama. Udah disuruh Bu Guru Rara untuk istirahat, keliatan dah pegang pinggang kayak ngga sanggup jalan. Masih sempet jajan soto sama Rara.
Mulai kontraksi intens dari siang ke sore, tapi ngga terlalu kerasa (apa karena terabaikan yak). Tetap beraktivitas seperti biasa. Perut kencang, mulas, pinggang berasa pegel ketarik.
Waktu asar keluar flek dikit, menjelang magrib udah makin sakit, habis shalat magrib, rebahan bentar, eh ketuban pecah, ke bidan, waktu diperiksa udah bukaan lengkap MasyaAllah. Bidannya bilang mukaku ngga kaya orang mau melahirkan jadi sempat disuruh nunggu lumayan lama dulu waktu sampai di tempat bidan.😅
Suami pun kaget juga, agak "dimarahin" kok ngga bilang kalau udah sakit banget. Aku cuman bisa hehehehe, kan aku emang gitu kan. Berusaha terlihat baik-baik saja walau rasanya sakit mau guling-guling, candaku.
Laa haula wa laa quwwata illa billah
Dzikir yang terucap saat di perjalanan sampai menjelang persalinan. Dzikir yang sama yang kuucapkan ketika dulu melahirkan Rara, sambil diselingi istighfar. Tapi kali ini lebih singkat.
Jam 7 sampai tempat bidan, setengah 8 sudah lahir Ghaisa. MasyaAllah Tabarakallah.
Dulu waktu melahirkan rara, cukup panjang prosesnya. Pukul 8 malam, keluar flek, ke bidan, dicek masih bukaan 1-2, ditunggu sampai jam 10 belum nambah, disuruh pulang. Jam 2 dini hari ketuban pecah, ke bidan lagi, tapi baru bukaan 5-6, dari jam 2 sampai jam 8 pagi cuman bisa terbaring sambil mencengkram tangan suami sambil dipijit mamah~
Selalu, apa yang Allah tetapkan, itulah yang terbaik 🫶
Bismillah,
___
3 notes · View notes
inabeewrt · 9 months
Text
Tumblr media
PERSAHABATAN
Tempat tinggal seluas 3 x 7 
“Terimakasih banyak tuan, saya bingung harus berbuat apa ke tuan untuk membalas budi ini semua” ucap Sari, “yaa sama sama, tidak masalah sari santai saja” jawab pria ber-jas berkacamata hitam diikuti senyuman yang tulus.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” suara music di radio
                “wah betul juga, yok sar kita jalan ke tunjungan” ajakkan dari ibu, Sari hanya mengangguk. Sebab sari tidak tahu menahu tentang dunia luar. Walau tempatnya tidak jauh dari gubuknya. Pria berjas dan ibunya membawa sari ke tunjungan untuk melihat betapa indahnya kota Surabaya. Berjalannya mereka di trotoar yang indah sejuknya udara.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” bunyi sound penyebrangan jalan.
                Dengan kagumnya Sari menatap ke jalan, Gedung Gedung berdiri kokoh. Tempat tempat nongkrong anak muda, hiasan hiasan yang begitu indah. Ada bangku bangku di trotoar, melihat jalan yang lebar ukurannya 3 mobil. Lalu lalangnya mobil, motor, bis. “waah seperti ini” kata Sari yang tidak menyangka bisa melihat ini juga. Menolehlah Sari ke orang dermawan berada disebelah kanannya, lagi lagi dengan tatapan penuh cairan mata yang akhirnya jatuh sebab tak tertampung. Tiada henti hentinya ucapan terimakasih keluar dari mulutnya, karena bingung sudah kehabisan kata kata untuk mengungkapkan rasa syukur. Suara yang terbata bata dengan diiringi isakkan tangisan yang dari tadi ditahan. Pria tersebut membalasnya dengan senyuman.
                Pulanglah mereka bertiga melewati jalan yang berbeda, kali ini si Pria yang membawa kursi roda Sari sambil berbincang kehidupannya selama ini. Saat sampai didepan rumah, Pria Berjas hitam Kembali ke rumah Sari dengan membawa jajanan dan boneka beruang kecil dari mobilnya. “Ini untuk mu Sar” lagi lagi dengan senyuman sederhananya. Begitu gembiranya Sari menerima semua ini yang tidak terduga begitu cepat dalam satu hari.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” suara vlog dari HPnya Sari
                “sudah sudah tidur, sudah malam. Besok – besok  kita main lagi kesana kalau kamu masih penasaran” “baik bu” jawab Sari. Ibu menggendongnya untuk memindahkannya ketempat tidur.
Kamar Tidur tembok warna putih
                “bim-bim-bim” suara Alarm HP berbunyi pukul 8.00 seperti biasa langsung mematikan Alarm tersebut. Kali ini sorotan mata biru langsung menuju sudut ruangan, ada kursi roda bersandar di tembok dan di atasnya ada boneka teddy bear. “ehh dah bangun anak mamah…” sapa ibunya, Sari membalas senyuman manis.
                Setelah makan, mandi, minum ia ingin sekali menggunakan kursi roda sendirian tanpa bantuan dorongan. Sari pun berlatih dijalanan beraspal yang tiada kendaraan lalu lalang. Mundar mandi roda berputar dengan anyunan tangannya sari ke roda. Tidak butuh waktu lama, Sari berlatih beberapa hari sudah sangat lihai memainkannya. Sari berjalan menggunakan kursi roda bahkan bukan hanya ke depan rumah saja,ia juga sudah sering sekali pergi ke taman.
3 Bulan kemudian……
“hemmm walaupun sekarang punya kursi roda, lama lama bosen juga hanya melihat mereka bermain sedangkan aku berdiam disini” bergumam dalam hatinya. Ia menunduk sambil melihat ke kakinya yang tidak berdaya. Sesekali melirik kedepan melihat anak anak seumurannya yang seru sekali bermain lompat tali. Terdengar suara riang gembiranya mereka bermain, semakin membuat iri.
                “heiii siapa nama kamu ?”
Sari langsung mengarahkan perhatiannya ke kiri dengan mencerminkan wajah bingung alis yang terangkat.
                “hei.. hei.. haloo, ada orang, siapa namamu ?” laki laki berumur 9 tahun menyapa dengan melambaikan tangannya ke depan wajah Sari. Laki laki ini menahan tawa melihat Sari yang mukanya kebingungan dan bengong.  “oh yaa, Sa-Sari” jawabnya. “ohh Sari, kok kamu sedih terlihatnya. Sendirian saja ?” tanya lelaki itu , “iya” “yaudah yuk main bareng sama ku saja. Kita main… ” “loh temanmu yg disana bagaimana ?” Sari memotong pembicaraan, “yang disana? Biarkan saja, disana juga sudah ramai” “btw aku bawa layangan loh, yuk main” sambungnya lelaki itu.
                Lelaki yang tak jauh tingginya dari Sari pun mengambil layangan yang ada di dalam tasnya. Ia meminta Sari untuk memegangkan layangan tersebut untuk di Tarik benangnya oleh lelaki itu. Sett-sett-sett tak lama kemudian layangannya pun terbang tinggi. Sebuah kertas berbentuk segiempat yang melayang layang di udara. Angin yang meniup begitu kencang membuat layangannya semakin terbang tinggi. Sampailah pada posisi layangan dengan angin yang stabil, Sari diberikan benang tersebut untuk memainkannya.
                “kamu sendirian saja sar?” tanya lelaki itu, “iyya” “memang rumahnya dimana?” sambung menanya, “dekat kok, di jalan keputih” . sedang asik asiknya mengobrol, layangannya pun di hampiri oleh layangan milik orang lain, Sari mukanya langsung panik kedua alisnya mendekat, dengan mulut terbuka sedikit. Tangannya masih memegang benang tersebut dengan gemetar. “ehh kenapa Sar?” . Sari langsung melemparkan benang ke lelaki itu. Hap -  Dengan lihainya lelaki itu beradu lawan Bersama layangan orang lain.
Tass…. Suara benang yang terputus.
                Sari murung Kembali, ujung bibir yang menurun dan kepala tertunduk. “maaf yaa..” kata Sari, “gapapa bukan salahmu kok, besok kita main lagi dehh gimana ?” “baiklahh” jawab Sari. Lelaki tersebut menghantarkan pulang Sari hingga depan rumah. “dahh sampai” kata Sari dengan gembiranya, lelaki ini pun membalas dengan tertawa kecil. “oiyaa aku lupa menanyakan namamu, siapa nama kamu ?” tanya Sari
“Namaku Bizar…” jawabnya sembari senyum terlihat gigi putihnya.
Bersambung……..
2 notes · View notes
galeri-md · 9 months
Text
PULANG
Pagi guys 👋
Aku kembali dengan membawa sebuah cerita huhu🤗
Pada hari minggu lalu aku ngerasa sedih banget terus kasihan sama ayang aku. Selin itu aku juga sangat dilema banget, di suatu sisi hubungan kita berjarak.
Terkadang suka mikir pengen cepat² di nikahin wkwkkww😅..
Pada hari itu aku bener² dilema atas semuanya karena doi aku sakit🥹 tidak banyak yang bisa aku buat selain mendoakan dia semoga cepat sembuh.
Pada saat itu mamah doi nelpon aku nanyain kabar doi karena susah buat di kabarin, mungkin mamah doi takut dia kenapa napa, kebetulan pada saat itu dia sendirian di kontraka
Saat ituh juga aku berusaha nelponin dia karena aku juga takut dia kenapa napa, setelah sekian lama menghubungi doi aku yang keras kepala akhirnya ya allah dia muncul juga dan alhamdulilah dia masih bisa senyum🤗🤗...
Pada saat itu juga aku ngobrol sama mamah ayang untuk nyuruh dia pulang aja dulu biar ada yang rawat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Setelah beres ngobrol sama mamah ayang aku langsung bergegas nyari rentalan mobil buat jemput ayang ke bandung setelah nyari untungnya ada di tetangga aku rental mobilnya nah aku belum pastikan bakal deal rental mobil nya karena aku belum nanya sama ayang akhirnya aku nanya tuh ke dia ini ituhh dan jawaban dia malah gak papa gak papa pdhl aku tau dia sakit emng sihh agak keras kepala orang nya untung aku nya sabar huhuhu benerkan sayang🤣😁....
Setelah berunding lama ini ituh akhrinya doi mau pulang tapi naik bus nah di situ aku langsung inisiatif buat pulang juga karena aku gak mau dia kenapa napa karena di sendiri kan di bus nya ituh,,
Nah setelah itu aku izin sama bos aku mau pulang dan di izinin akhirnya aku bilang sama doi
"Aku juga mau pulang dan aku bakal nunggu di terminal huhu..."
setelah lama perjalan doi aku akhirnya doi aku sampe juga tuhh. "Puji tuhan aku bisa kembali menatap wajah ayang yang manis dan imut secara langsung huhuhuhu🖤"
Setelah ketemu biasa aku bawain barang ayang karena aku kasian sama dia dan kita beli buah²han dulu buat nanti di rumah..
Udah beres beli buah buahan kita masuk bus untuk arah pulang ke karangnunggal dan seperti biasa kita nunggu di bus 1 jam gila gak tuh sampe ngetem bus 1 jam maaf yah ayang ke 2X nya kita nunggu di bus selama itu tapi aku seneng bisa ngobrol sama ayang bisa.
"Aku bisa pengang tangan ayang , tatap menatap dan bahkan aku ngasih pundak aku buat dia karena aku gak mau dia sampe gimana"
Dan alhasil kita jalan tuh arah pulang dan banyak keberesamaan kita pas di bus ituh🫶
Singkat cerira kita sampai pada pukul 22.15 dah kita berhenti di rumah bibi karena ayah ayang nuunggu di rumah bibi. kita berdua minta di jemput sama ayah karena kondisi sudah malam dan mungkin orang tua ayang takut kita kenapa yahh adik adik💃
"Dan akhirnya dimana kesedihan yang melanda kebahagian datang dengan indah"
"Akhirnya kita sampe rumah. Aku bisa tenang, aku bisa merasakan lagi kasih sayang orang tua ayang yang sangat tulus dan sangat berarti buat aku makasih mamah bapak meski kalian bukan orang tua asli aku tapi kasih sayang kalian lebih dari kasih sayang orang lain bahkan lebih dari siapapun semoga kalian sehat" jangan lupa mamah bapak selalu bahagia🥰.."
Maaf guys aku sengaja di sini aku ceritakan kebaikan orang tua ayang kepada aku hehe lovee uu more kalian di sana♥️
Lanjuttt!!!!!!!!
Setelah sampe, aku sama ayang biasa kita makan ini itu lah, ngobrol bareng nyeritain ayang yang pas susah di hubungin karena takut kenapa napa hahaha ada-ada aja nih si ayang mah🤣..
Dan akhirnya aku sama ayang bisa ngobrol banyak hall pokonya banyak yang kita lakukan pas malam ituhh dan pada saat itu juga aku yang harus ngerawat doi karena aku gak mau doi sampe kenapa napa
Singkat cerita malam pun usai dan seperti biasa pas mau solat subuh aku selalu di bangunin sama ayang huhuhuhu😆
Pagi hari yang indah datang dimana kita bisa sarapan bareng 1 mangkok bubur ber 2.
"Bukan gak modal cuma akan lebih indah jika bersama di nikmatinnya huhu bahagia sekali bisa nyuapin si keras kepala itu dan akhirnya dia yang habisin gembul banget ternyata"
maaf yah sayang huhuhu☺️..
Setelah ituh seperti biasa aku kan kalau ke rumah ayang tidak pernah ketinggalan untuk mancing akhirnya aku mancing di temenin ayang setelah lama mancing dan gak banyak hasilnya akhirnya bapak datang buat ngambil ikan dan akhirnya aku sama bapak turun ke empang buat ngaherap ikan biar banyak dapat ikan nya dan alhamdulilah banyak ternyata hahahaha..
Dan setelah ituh kita pulang ke rumah dan selalu ikan nya tuh pasti di bakar hehe karena pavorit juga sihh...
Dan setelah ituhh seperti biasa kita menjalani seperti biasanya ngobrol terus yah pokonya aku ngerasa sangat bahagia banget pas pulang ituhh tidak ada yang bisa ngalahin bahagianya pas waktu ituh tidak lama namun bahagianya bakal selalu ke ingat sampe nanti🥹🖤
"Makasih yah sayang sudah memberikan kebahagian yang pantas dan indah buat aku, maaf kalau aku belum bisa sempurna buat ngasih perhatian ke kamu sayang semoga aku dan kamu selalu bahagia sampai nanti sampe kita punya cucu hahaha😅"
Boleh yah seberharap ituhh huhuhu..
Kita lanjut nanti yah guys masih banyak hal hal indah yang aku rasakan pas pulang ke rumah ayang huhuhu🙏✨✨✨
Lovee Uuu More Sayang🖤🖤🖤🖤Bahagia Selalu Sayang🥰🥰🥰🥰🥰
Dendi
Tasikmalaya, 10 September 2023 {11.05}
4 notes · View notes
ceritabanyu · 10 months
Text
Pernah ada cerita kala itu, kala ku mengharap akan keinginan merubah keadaan diri untuk menjadi lebih baik lagi. Mengubur segala gejolak perasaan yang terlalu dalam untuk diungkapkan. Namun semua itu hanyalah anganku, yang aku sendiri tak hendak untuk melangkahkan kaki untuk mewujudkannya.
Sebuah perjalanan kala sore hari mengalur jalur negeri kejayaan peradaban Jawa itu. Masih teringat semua, suasana perjalanan sore dan suasana bus malam itu dan moment yang mungkin akan begitu menyakitkan bila mengingatnya. Bukan untukku, namun pada seseorang yang mengharapkan sesuatu dariku.
Kediri kota itulah yang menjadi tujuanku sore itu. Dan malam yang berlalu begitu cepat dan sebuah pengharapan yang tak mungkin kupenuhi dengan keadaanku di kala itu. Sejujurnya aku merasa bersalah karena memberikan harapan. Harapan besar yang tidak mungkin kupenuhi. Namun itu jauh akan lebih baik daripada dia mengetahuai hakikat diri ini yang sebenarnya.
Semilir suasana sentimental Kediri terasa kembali saat ini dibenakku. Mengingat semua harapan yang mengalun diudara sana dan impian yang berada di ufuk senja. Sungguh aku tak tahu harus bagaimana, perasaan itu masih begitu menggelayut dalam hati namun apa daya jarak itu seolah tak pernah bergeser sedikitpun sejauh apapun kumencoba.
Mungkin cukup bagiku untuk merasakan suasana itu, tanpa perlu bisa mendekap perasaan yang selama ini begitu didamba oleh hati ini. Kuterima apa adanya semua itu, biarlah semua itu kan berlalu jua bersama waktu.
2 notes · View notes
ayukarima · 2 years
Text
Haemodialysis
Malam ini, aku duduk termenung di atas meja belajarku, berteman dengan gemercik air dalam aquarium, dan sedikit hembusan angin dingin pertanda hujan akan turun. Aku putar kembali ingatan-ingatanku selama dua minggu penuh di ruang hemodialisa. Teringat pasien-pasienku yang terbaring lemah dengan mesin dan ginjal buatan di sampingnya.
Hatiku berdesir, kenangan bersama mereka muncul satu-persatu. Aku mulai merasa memiliki mereka, menjaga pun menemani kala pagi dan sore, layaknya seperti keluarga sendiri, terasa dekat sekali. Lantas aku juga merasa turut bertanggungjawab atas kehidupan mereka. Langkah kaki amat berat saat akan berpamitan untuk melanjutkan amanah di bagian lain.
Hampir dini hari, perlahan hujan penuh sejuk kesyukuran mulai turun, bau tanah mulai tercium. Sebentar, tunggu ya, aku ambil kopiku dulu. Aku lanjutkan ceritanya nanti.
(23.38)
---
“Mbak, hari ini hari terakhir di sini ya? Berarti minggu depan nggak bisa ketemu lagi?”
“Iya Bu, tapi gapapa, Ibu harus tetap semangat ya.” Kataku menahan haru
Waktu berlalu begitu cepat ya?
“Nduk, mesin iku ora ngilangi penyakitku. Tapi mung biso mbantu ndawake umurku. Biyen to nduk, pisanan aku ngerti kudu dikumbah getih e, aku nangis, isuk sore ora doyan mangan. Tapi saiki aku wes legawa, pokoke wes enjoy, lha arep piye maneh to nduk, tak wolak-walik kahanan e tetep koyo ngene, hoo to?”
Cerita salah seorang pasien yang mulai menumbuhkan penerimaan perihal keadaannya. Begitu antusias aku mendengarkan, aku mengangguk tersenyum sebagai tanda mengiyakan.
Pada waktu yang sama, aku sadar betul sedang membelakangi sepasang suami-istri, sudah nenek-kakek, aku menebak usia mereka berkisar 60 tahunan. Diam-diam aku menangkap sedikit perbincangan antara mereka.
“Ngopo kok sirah e digujengi? Uti mumet? Tak nyet-nyet (tak pijiti) po? Awak e rasane piye? Adem? Uti arep kemulan ora?”
“MasyaAllah, gemati banget!” Gumamku dalam hati
---
Sambil berkeliling injeksi obat, aku mengedarkan pandangan melihat jajaran sekitar. Aku terpaku pada seorang Bapak paruh baya, dengan hati-hati aku menuntun langkah dan bertanya:
“Bapak, piyambakan mawon?”
“Njih, kula piyambakan terus, Mbak, boten enten sing ngeterke.”
Tidak seperti pasien kebanyakan yang datang di antar, kemudian ditunggu oleh pasangan, anak, menantu, maupun sanak saudara. Sedikit ada rasa penasaran, kuberanikan diri bertanya pada teman sejawat.
“Pak, Bapak yang di ujung selatan itu memang selalu datang sendirian ya?”
“Iya dek, Bapaknya ndak mau merepotkan keluarganya. Sekali dua kali memang pernah di antar, tapi itu saja saat Beliau sedang nge-drop. Sering ditengok ya dek.”
“Njih, Pak, siap.” Jawabku mantap
Ku ingat-ingat lagi, sepertinya Bapak tadi tidak benar-benar sendiri, Beliau membawa radio kunonya dengan antena cukup tinggi yang selalu menemani kala bosan menanti darah dicuci.
---
Melihat lingkaran keluarga baru yang sedang menjalani ujian ini, sungguh membuka mata dan hatiku. Alangkah luar biasa, mereka begitu tegar dan kuat. Malu rasanya, saat mengingat diri belum mampu berhenti mengeluh dan merengek.
Aku belajar dari mereka, yang terus mengucap alhamdulillah, tetap menumbuh rimbunkan syukur tatkala tekanan darahnya tidak membumbung tinggi. Aku sangat tersentuh.
Aku belajar dari keteguhan dan secercah keyakinan mereka tentang indahnya rencana sang Maha Kuasa atas hidup mereka. Keyakinan bahwa Tuhan tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Melalui tulisan ini, kiranya kita mampu sebentar saja memberikan ruang dan waktu khusus untuk mendoakan mereka; semoga yang sakit diberikan nikmat sehat tanpa meninggalkan sakit yang lain, dan yang sehat semoga diberikan kemudahan untuk melakukan kebaikan bagi sesama. Aamiin.
Ini pengalaman penuh hikmah dan perenungan.
Aku belajar banyak dari keluarga baruku, pasien-pasienku, alhamdulillah.
20 November 2022 II 00.56
9 notes · View notes
rekosaputrajaya · 1 year
Text
Bus Kota
“ dek besok jadi kan?” sebuah pesan singkat yang dikirimkan kepadanya, untuk memastikan tentang rencana yang telah dijadwalkan sebelumnya.
“ iya jadi mas…” jawabnya singkat.
Setelah mendapatkan kepastian tentang agendaku esok hari, aku kembali memfokuskan diriku untuk mengerjakan deadline yang harus aku selesaikan agar esok bisa leluasa menikmati hari libur ku untuk bertemu dengan dia.
Desir angin pagi seimbang dengan segarnya udara pagi ini.. bergegas bersiap menuju kota yang sarat akan memorial,, pagi ini ku berangkat dari rumah menggunakan aplikasi ojek online menuju stasiun kereta api, karena ku berencana untuk KRL menuju kotanya. ini kali pertama ku menggunakan KRL ini, sengaja ku datang pagi-pagi agar mendapatkan tempat duduk.
“dek mas udh di kereta ni, nanti turunnya distasiun mana ya?”
“ ihhhh… kebiasaan ya ngabarin dadakan ditanya dri tadi malam gak di jawab. di stasiun J…. mas”
“duh tpi ini mas pesennya tdi untuk di stasiun k.. loh gmn?
“Gpp mas, itu klo stasiun j lebih dekat soalnya”
“okeh..”
masih sangat jelas ketika pertama kali menginjakkan kaki ke kota ini untuk bertemu dengannya. Dengan berbekalkan motor sewaan dan google map ku tempuh jarak yang memisahkan  demi kembali berjumpa dan bercengkerama bersama. Kali ini Ku pijakkan kembali kaki disini, tapi kali ini beda dari sebelumnya kali ini kami sepakat untuk menjelajahi kota ini menggunakan alat transportasi umum sebagai bentuk pengaplikasian ilmu yang sebelumnya kami dapatkan bersama saat pertama kali berjumpa, yaitu tentang jejak karbon.
“mas udh smpai nih distasiun”
“okeh.. tunggu bntr lgi smpai ni”
Ku perhatikan setiap sudut stasiun yang memiliki nuansa bangunan lama ini, ku rekam dengan baik di ingatanku. Tak terasa ternyata dia telah tiba, dengan turun dari angkutan umum.
“haii..”
“haii.. gmn kabarnya” tanyaku
“alhamdulilah baik.. mas gmn?” tanya dia kepadaku
“hemm… ya seperti ini lh, agak kurang baik sih ini” jawabku
“loh kenapa?” tanya dia dengan serius
“laperrrrr “ jawabku sambil ketawa
“oalah… iya udh yok sarapan, disana ada bakso “
“yokkk…”
Di bawa cerahnya Mentari di kota ini kami menyelusuri jalanan menuju tempat untukk sarapan, yang kemudian dilanjutkan jalan menuju halte bus, sesuai dengan rencana sebelumnya hari ini kami menyelusuri kota ini dengan angkutan umum dan random tanpa rencana sebelumnya mau kemana. Hal pertama yang kami coba yaitu naik angkutan umum yang terintegrasi dengan sistem yang ada dikota ini, naik bus yang memiliki pelayanan dan sistem pembayaran yang sangat memudahkan. Ini merupakan salah satu wish list yang ingin dilakukan ketika dikota ini dan hari ini list yang usdah lama dia buat itu akhirnya bisa terwujud, asik menikmati kota sembari bercerita dengan penumpang lain yang silih berganti. Tak terasa ternyata sudah ditujuan akhir sehingga kami pun memutuskan untuk turun dan menuju alun-alun kota untuk kemudian menuju salah satu pasar yang legendaris dan makan disana..
Setelah makan, kembali menyelusuri jalanan dengan berjalan kaki sembari bercerita ria tentang aktivitas masing-masing. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, hingga malam pun datang.
“dek, kemana lagi ni?” tanyaku
“mas maunya kmna? Jawabnya
“tadi kita sudah kesini, sana, situ. yang dekat-dekat sini apa ya?” tanyaku
“hemm,,, ada Ini, itu dan di ujung jalan ada Gramedia”
“yokk ke gramedia aja”
Kembali berjalan dibawah sinar rembulan yang begitu cerah malam ini.. aku pun meminta dia untuk mengabadikan moment ini dengan membuat video vlog ala-ala..
Di Gramedia ini kami mencari beberapa list buku bacaan yang sudah kami miliki sebelumnya beserta buku catatan aktivitas untuk tempat menuliskan apa saja harapan dan keluh atau kesah tentang kita yang akan kembali ditukarkan ketika nanti kami kembali bersua kembali.
Hari ini ku sadari bahwa Bahagia itu sebenarnya sederhana tergantung dengan bagaimana dan bersama siapa kita menjalaninya, bersamamu ku bisa menikmati hari ini dengan begitu ini. Tak perlu mewah tapi kita bisa tertawa bersama bagai anak kecil yang tak pernah ada masalah, tapi ada juga saatnya kita serius membahas tentang tujuan yang ingin kita capai bersama.
“Kita sudah tau bahwa Tujuan kita menuju kebahagian yang abadi nanti disisi-Nya, saat ini kita bebas ingin mencapainya melalui jalan yang mana tak mesti dalam satu jalan yang sama. Bisa jadi jika saat ini kita bersama akan karam tak sampai tujuan. Mari kita buat jalan yang berbeda saat ini akan menjadi bahan cerita indah dan penguat ketika nanti pada saatnya kita dalam satu wadah bersama ”.
5 notes · View notes
askmera · 1 year
Text
Kamis Malam, 04 Mei 2023
" Ke IGD aja yaa.. "
katanya, dengan raut wajah penuh panik dan khawatir melihat seseorang tengah maringis sakit sambil memegangi perut dan berkali-kali berguling karna tak tahan dengan nyeri hebat yang ia rasakan.
" Gak kuat, bi.. " sahutku gemetaran..
" Temen mbi gk bales wa, kita ke IGD langsung aja "
Ajaknya sambil menyiapkan beberapa berkas dan keperluan untuk dibawa.
...
Di perjalanan, tengah malam dengan rintik hujan yang cukup membasahi tutup kepala..
Berkali-kali meringis karena sakit yang tak kunjung reda, rasanya seperti di tusuk-tusuk oleh benda yang tajam. "Argggghhh.. " aku mengerang, tak kuat dengan rasa sakit yang aku rasakan.
Berkali dia menengok kaca spion, sambil terus berucap
" Sabaar yaa, sebentar lagi"
Aku mengeratkan pelukan, takut tak kuat sampai tujuan.
Sampai pada saat sakit itu sesaat berhenti, aku terdiam. Merasakan tubuh semakin lemas.
"Yaa Allaah, jika jatah umurku telah habis malam ini, dibawah air hujan, aku memohon ampunan" batinku.
Sampai pada sesaat kemudian, suara lembutnya menyadarkanku,
"yaang... "
Untuk sekedar menjawab pun aku lemah,
Ia terus melajukan motor dengan hati-hati namun ia atur lebih cepat dari sebelumnya.
"yang.. "
Kembali dia memanggilku dengan sesekali kepalanya menoleh kesamping. Memastikan bahwa aku masih sadar.
Entah kenapa, saat seperti ini aku justru berpikir, apakah dia sedang memikirkan kepergianku? Karena dia begitu khawatir hingga terus memanggilku, takut jika ternyata wanita yang sedang bersamanya kini tak lagi hidup.
"emmm... " Sahutku,
Tapi dia tak lagi menjawab apapun, mungkin dengan gumamamku saja cukup untuk membuatnya yakin, bahwa aku masih bersamanya, masih dengan kesadaran meski sudah sangat lemah.
Beruntung jalan yang kami lalui tidak banjir, padahal biasanya jika tengah hujan dengan intensitas waktu yang cukup lama, jalanan ini sudah terkepung banjir.
Ah, terimakasih YaRobb.. engkau mudahkan..
Setelah kurang lebih 20 menit perjalanan, sampailah kami di sebuh rumah sakit. Satpam yang berjaga sigap menyiapkan kursi roda untukku duduki, aku dibawanya masuk kedalam ruangan. Kemudian tak lama sepasang perawat mendekat, memeriksa tensi dan suhu tubuhku.
" ibu, kesini hujan-hujanan? "
" ini, suhunya tidak terdeteksi, Mungkin kedinginan "
Yaa, walaupun tidak terlalu lebat, tapi memang karena aku hanya memakai jaket tanpa jas hujan. Jadi, jaket yang kupakai cukup basah.
Kemudian, seorang dokter menyapaku. Disambung dengan perawat tadi yang kemudian menjelaskan hal-hal yang berkaitan denganku setelah ia melakukan pemeriksaan awal dan beberapa kali memberikan pertanyaan.
" Masih 24 tahun ya, Bu "
" Yaa, dok " jawabku.
Entah apa yang dokter itu pikirkan dengan pertanyaan itu. Aku hanya bisa terdiam, menunggu suamiku menyelesaikan pendaftaran. Berharap ini tidak terlalu parah. Sebab ini bukan kali pertama aku ke tempat ini, merasakan kembali suntikan di 2 titik di lengan tanganku.
Ah, semoga tidak akan pernah kembali kesini lagi untuk yang ke 4x nya ..
Bersyukur, karena tidak perlu waktu lama di rawat. Aku bisa kembali pulang setelah apoteker menjelaskan dosis obat yang harus aku konsumsi juga larangan - larangan yang harus aku perhatikan.
Alhamdulillaah 'ala kulli haal, aku merasa lebih baik. Mungkin obat mulai bereaksi. Rasa sakit mulai hilang, hanya tersisa sedikit lemas dan linu di tangan.
" Kata mbi, udah jangan makan pedas lagi ! Apalagi asam, lambung nya udah sangat parah itu ! "
" Yaa pak dokter " ledekku ..
" Dibilangin suka gk nurut, katanya gkmau kesini-kesini lagi "
" hehe... Kata dokter kan tadi hindari makanan pedas, bukan tidak boleh makan pedas yah "
" ngeyeel .. malah ketawa lagi, gk liat tadi mbi khawatir " jawabnya sambil menghidupkan mesin motor, kemudian kami pun pulang ..
Yaa robb, terimakasih dan mohon ampun, karena sekali lagi hamba yang lemah ini tidak bisa menjaga dengan baik karunia yang engkau berikan. Tubuh ini, engkau titipkan untuk aku jaga dan merawatnya. Tapi aku, merasa tubuh ini benar-benar milikku, hingga lupa malah mendzoliminya.
Ampuni Yaa robb.. semoga aku bisa menuai hikmah dengan sebenar-benarnya .
Terimakasih karena engkau juga telah membersamakan aku dengan seseorang yang begitu khawatir melihatku kesakitan, begitu menyayangiku dengan penuh ketulusan. Semoga engkau memberikan kesehatan dan limpahan kasih sayang untuknya. Dan jadikan kami suami dan istri sedunia dan seSyurga - Mu.
Aamiin Yaa robbal 'Alamiin..
5 notes · View notes
sitihajrul · 1 year
Text
Dunia Rana (Bagian 4)
Rana memulai kehidupan barunya di kampus sebagai mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru, ia sibuk beradaptasi dengan lingkungan, suasana, dan cara belajar yang baru. Selain beradaptasi dengan ilmu baru, ia juga beradaptasi dengan teman-teman baru. Teman-temannya berasal dari sekolah yang berbeda. Bahkan berasal dari kota atau pulau yang berbeda. Tidak seperti Rana yang berasal dari kota yang sama dengan kampusnya.
Rana dikenal sebagai anak yang aktif di kelas. Ia selalu menanyakan materi-materi yang belum ia pahami. Tak jarang ia bertanya kepada dosen atau langsung mencari jawabannya di perpustakan. Ia sangat dikenal di kalangan mahasiswa seangkatannya maupun di kalangan senior. Ia sangat giat belajar sampai tidak pernah mementingkan hal-hal lain. Ia sudah bertekad akan selesai kuliah tepat waktu dan membantu perekonomian keluarganya.
 “Ran, lagi sibuk?” sapa Kak Seto.
“Hah? Eh? Enggak, Kak. Aku cuma lagi rapihin catatan. Kenapa, Kak?” jawab Rana sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.
“Kamu mau ngajar di Bimbel Elite? Dekat kok dari kampus tinggal naik metromini sebentar.”
“Oh, yang ada di perempatan dekat rumah sakit ya, Kak?”
“Nah, iya betul. Di sana kekurangan pengajar biologi.”
“Emang bisa, Kak? Aku kan baru semester tiga.”
“Bisa kok, kamu part-time aja, paling ngajar jam empat sore sampai tujuh malam. Nanti harinya disesuaikan sama jadwal kuliahmu. Gimana?
“Hmmm… aku izin bapak dulu ya, Kak. Boleh?”
“Oke, besok kasih jawaban ya soalnya butuh cepat nih.”
“Iya, Kak. Terima kasih ya, Kak, atas tawarannya.”
“Santai, Ran. Ditunggu ya. Daaah…”
Rana sebenanrnya ingin langsung menerima tawaran kak Seto. Namun, ia harus meminta izin kepada bapaknya. Rana memang selalu meminta izin kepada orang tuanya, apa pun kegiatan yang akan ia lakukan.
Sepulang kuliah, Rana menghampiri ibunya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Kemudian ia mencuci tangan dan segera membantu ibunya di dapur. Setiap ada kesempatan untuk membantu pekerjaan ibunya, Rana selalu berusaha membantu karena ia sudah jarang membantu pekerjaan rumah semenjak kuliah. Setelah makanan tersaji di meja, mereka langsung berkumpul di meja makan, seperti hari-hari sebelumnya.
“Bu, Pak, Rana boleh mengajar di bimbel?” Rana membuka pembicaraan tanpa ada ragu sedikit pun. Ia sudah pasrah dengan apa pun jawaban dari kedua orang tuanya.
“Loh, memang Rana kekurangan uang jajan, Sayang?” jawab sang bapak dengan lembut sambil menatap wajah anak gadisnya.
“Tidak, Pak. Uang jajan cukup kok, tetapi Rana tadi dapat tawaran dari kakak kelas Rana, katanya mereka kekurangan pengajar biologi. Setelah Rana piker-pikir, lumayan juga, Pak, sebagai batu loncatan untuk Rana. Di sana juga bisa menambah pengalaman Rana dalam mengajar. Hitung-hitung latihan, Pak.”
“Oh, begitu. Bapak tidak melarang Rana untuk mengambil kesempatan itu, tetapi Rana tetap harus memprioritaskan kuliah ya. Jangan sampai terlalu asik bekerja sampai lupa dengan kewajiban utama. Janji?”
“Insyaallah, Pak. Kalau Rana tidak bisa mengatur waktu dengan baik dan belajar Rana terganggu, Rana akan segera mengundurkan diri.”
Keluarga Bahagia itu pun melanjutkan obrolan mereka malam itu dengan penuh kebahagiaan. Satu per satu anggota keluarga saling bercerita tentang perjalanan mereka hari itu. Seperti itulah pemandangan setiap hari di keluarga Rana. Keluarga yang penuh keharmonisan.
*
Rana pun menerima tawaran mengajar tersebut. Baginya itu adalah kesempatan untuk menambah pengalaman mengajarnya. Selain itu, ia juga bisa mendapat uang tambahan untuk meringankan beban orang tuanya. Rana pun semakin sibuk dengan seluruh kegiatannya di kampus maupun di bimbel. Penghasilan yang ia peroleh dari mengajar juga sengaja ia simpan sebagian dan sebagian lagi terkadang digunakan untuk membeli buku referensi, pakaian, atau membelikan jajan untuk adik-adiknya. Sedikit pun tidak ada perubahan pada diri Rana, ia justru semakin menampakkan auranya menjadi wanita dewasa yang kuat.
Tidak terasa Rana sudah berada di tahun terakhir kuliahnya. Ia tidak sabar untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada semester tujuh ini, Rana dan teman-temannya malakukan kegiatan praktik mengajar selama enam bulan di sekolah. Kegiatan wajib ini dilakukan untuk memberi kesan mengajar sesungguhnya kepada para mahasiswa keguruan. Para mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok mengajar. Setiap kelompok terdiri atas 4 – 6 orang. Setiap kelompok akan ditugaskan di sekolah yang sama.  
Rana dan ketiga temannya, Nana, Lita, dan Saka, ditugaskan di sebuah SMA di daerah Duren Sawit. Kebetulan rumah Rana berada di daerah Cempaka Putih. Setiap hari, Rana harus sudah berada di sekolah sebelum pukul tujuh pagi. Akhirnya sang bapak selalu mengantarnya ke sekolah setiap pagi agar Rana tidak terlambat ke sekolah dan tidak memberi kesan kurang baik.
Suatu hari, setelah mengantarkan Rana sampai ke depan gerbang sekolah, bapaknya bergegas pergi ke pabrik –tempat ia bekerja– di daerah Pulogadung. Namun, bapak Rana mengalami kecelakaan di tengah perjalanan. Motor yang ia tumpangi oleng setelah tak sengaja masuk ke lubang. Ia tak bisa mengendalikan laju sepeda motornya dan akhirnya terjatuh. Kepalanya menghantam aspal. Darah mengalir deras dari kepalanya karena helm yang ia gunakan terlepas dari kepalanya saat menghantam aspal. Bapak Rana segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawanya tak tertolong. Seorang Bapak dengan empat anak itu wafat tanpa berpamitan kepada istri dan empat anaknya. Kejadian itu pun seperti petir di siang bolong. Istri dan keempat anaknya tak pernah membayangkan kepergian kepala keluarga mereka akan secepat itu. Rana histeris memeluk sang Bapak yang sudah tak bernyawa itu. Rana tidak percaya bahwa pagi itu adalah kenangan terakhir antara ia dan bapaknya. Banyak andai-andai yang ia pikirkan, tetapi itu semua sudah terjadi dan tidak mungkin kembali.
Dunia Rana runtuh. Dunia Rana berubah. Dunia Rana berantakan. Ia tidak tahu bagaimana cara melalui dunianya yang baru ini. Dunia yang secara mendadak datang menghampirinya. Dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia kembali menangisi kepergian cinta pertamanya, bapak yang sangat ia cintai.
“Bapaaaaaak, kenapa tidak menunggu Rana lulus, Pak. Sebentar lagi Rana lulus kuliah, Pak. Bapak belum melihat Rana diwisuda, Pak!” tangis Rana pecah di atas gundukan tanah yang mengubur jasad bapak dan dunianya. Teman-teman dan kerabat yang menghadiri pemakaman itu turut menangis melihat kepedihan Rana sore itu. Tika memeluk Rana, ia mencoba memahami kepedihan yang Rana rasakan.
*
“Ran, bapak kamu selalu mendukung pilihan hidup kamu kan?” suara Farraz di telepon.
“Iya.”
“Apa syarat dari bapakmu?”
“Aku harus tanggung jawab dengan pilihanku.”
“Nah, berarti kamu harus menyelesaikan tanggung jawabmu sekarang, Ran. Ini pilihan kamu untuk jadi guru, kamu harus selesaikan kuliahmu dan jadilah guru hebat seperti yang kamu cita-citakan. Bapak kamu pasti sedih kalau tahu kamu terus terpuruk seperti ini.”
Awalnya Rana tidak memikirkan ucapan Farraz atau Tika. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan bapaknya. Bapaknya tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya menangis menatap Rana. Sejak saat itu, Rana menata kembali dunianya. Ia kembali ke kampus dan menyelesaikan praktik mengajar di sekolah setelah hampir dua minggu ia tidak datang sama sekali. Rana telah kembali meski bukan Rana yang dahulu. Dunia Rana kembali tertata meski berbeda dengan dunia Rana sebelumnya.
***
2 notes · View notes
imas-rifki-sahara · 1 year
Text
SELIMUT RINDU (Bagian 2)
Rintik hujan mulai turun. Cepat-cepat aku membuka pintu pagar sambil melindungi kepalaku dari guyuran air hujan dengan tas ransel yang kupakai. “Assalamu’alaikum bundaaaa......” sapaku se semangat mungkin. Kucoba menyembunyikan segala kegelisahanku di hadapan ibu. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya dengan masalah yang sedang kuhadapi. Sejak bapak meninggal, kehidupan kami penuh tantangan. Terutama dari segi ekonomi. Dulu bapak bekerja sebagai satpam di salah satu bank bumn, sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga tulen tanpa pekerjaan sampingan. Almarhum bapak memang tipe suami yang sangat memuliakan istrinya. Tidak diizinkannya ibu bekerja agar ibu fokus mengurus rumah tangga terutama aku. Hingga suatu hari, tanpa pernah kami bayangkan sedikitpun, tiba-tiba bapak meninggalkan kami untuk selamanya. Bapak mengalami kecelakaan saat pulang kerja dan meregang nyawa di tempat kejadian.
Semenjak itu, kehidupanku dengan ibu betul-betul berubah. Aku yang saat itu baru saja lulus SMA, sempat mengurungkan niat untuk melanjutkan kuliah. Aku ingin membantu ibu beradaptasi setelah kepergian bapak. Di hadapanku, ibu mencoba kuat, meski aku tau, dalam ketegarannya, kutemukan isak tangis di setiap sujudnya. Butuh waktu setahun untuk membuat ibu kembali ke dapur. Tempat itu menyimpan banyak kenangan bagi ibu dan bapak. Beliau berdua banyak menghabiskan waktu di sana. Nyaris dalam satu tahun pertama setelah kepergian bapak, ibu tidak pernah menyentuh alat-alat dapurnya. Perihal kebutuhan makanan kami, ibu lebih banyak membeli masakan matang di warung daripada memasak sendiri. Sedangkan aku, sejak kecil tidak pernah diizinkan oleh ibu untuk membantu nya belajar memasak dengan alasan, aku diminta fokus belajar agar bisa melanjutkan kuliah di universitas terbaik di negeri ini, yang tempatnya masih satu kota dengan tempat tinggal kami.
Perlahan-lahan kami mulai beradaptasi. Ibu mulai berjualan kue dan menerima permak jahitan di rumah untuk menyambung kebutuhan hidup kami. Sedangkan aku, berhasil masuk ke universitas impian kami dan aku juga berhasil berkuliah disana tanpa mengeluarkan biaya. Memang benar apa yang dituliskan dalam kitab suci kami, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.
“wa’alaikumussalam sayangnya bundaa” jawab ibu atas salamku. Beliau rentangkan kedua tangannya dan bersiap memelukku. Kusambut pelukannya, hangat dan terasa nyaman. Sejenak, hilang semua kegundahanku, kupeluk erat beliau, rasanya tidak ingin kulepaskan.
“bun, maaf ya hari ini Sarah pulang telat tanpa memberitahu Bunda” ucapku, masih dalam pelukan ibu. “gak apa apa sayank. Tapi tolong jangan diulangi ya. Karena ini membuat ibu khawatir Sa” sambung ibu.
Kulepaskan pelukannya, “baik bu, Sarah janji akan selalu mengabari ibu jika Sarah pulang telat” jawabku meyakinkan ibu.
“Alhamdulillah, yaudah sekarang kamu segera mandi dan kita makan malam bersama. Ibu tadi membuat sayur trancam kesukaanmu” lanjut ibu. Aku mengiyakan dan bergegas mandi serta ganti baju, kemudian bergabung dengan ibu yang sudah menunggu di meja makan.
Sambil menyuapkan nasi ke mulutku, aku mengambil ancang-ancang untuk memulai obrolan dengan ibu soal ajakan Zian. Kutarik nafas dalam beberapa kali. Sepertinya, ibu menangkap tingkah ganjilku.
“tumben banget nih anak ibu makan sayur trancam seperti tidak berselera begitu? Ada apa Sa? Apakah ada masalah dengan pengajuan judul skripsimu?” tanya ibu mulai membuka obrolan. Ibuku bukanlah tipe orang tua yang suka mengintrogasi anaknya. Jika ada aku sedang ada masalah, biasanya ibu tidak akan menanyakan langsung apa masalahku, namun beliau akan memancing obrolan yang mengarah kesana. Jika aku tidak nyaman dan masih belum ingin bercerita, biasanya beliau cukup dengan memberi nasehat kepadaku tanpa menyinggung masalahku. Namun sepertinya kali ini berbeda, karena beliau langsung bertanya ke inti masalah, tanpa ada intro pembuka. Rasa-rasanya, wajahku benar-benar kusut sampai ibu langsung bertanya seperti itu.
“emmmm....bun.... bunda ingat nggak sama temenku yang namanya Zian?”tanyaku hati-hati.
Ibu berpikir sebentar, kemudian menjawab “bunda lupa tepatnya yang mana. Tapi, kalo tidak salah ingat, kamu pernah cerita soal dia ke bunda. Kamu bilang kalo kamu punya teman yang sama-sama suka baca series novel Artemis Fowl”.
“nah iya betul yang itu bun!” tanpa kusadari aku merespon cepat tanggapan ibuku.
Ibu menghentikan makannya sejenak, menarik kursi dan mendekatiku “wah sepertinya ada yang menarik untuk dibicarakan nih” ucap ibu sambil tersenyum memandangku dengan tatapan sedikit meledek.
Aku menjadi serba salah dengan ucapan ibu, makananku belum habis tapi tiba-tiba aku merasa kenyang. Sayur trancam yang biasanya menjadi favoritku kini terasa hambar dan saat kumakan seperti tercekat di tenggorokan, bertabrakan dengan kata-kata yang ingin keluar dari mulutku.
“gimana gimana, bunda siap mendengarkan nih. Tapi habiskan dulu makanannya” ucap ibu memberi lampu hijau untuk bercerita.
Demi mendengar ucapan ibu, aku langsung bergegas menghabiskan makananku dan membereskan meja makan kami. Setelah mencuci piring dan perlengkapan makan lainnya, aku bersiap menceritakan maksud Zian kepada ibu.
Pelan-pelan kuceritakan kepada ibu tentang siapa Zian, dimana kami pertama bertemu, hal apa yang membuatku tertarik padanya dan bagaimana hubungan kami selama ini.
“wah dari ceritamu, sepertinya Zian adalah sosok yang menarik ya Sa? Atau jangan-jangan ceritamu berlebihan, jadi sebetulnya Zian biasa saja, namun karena kamu tertarik sama dia, jadi kamu mendeskripisikannya dengan sedemikian menarik?” tanya ibu menggodaku.
“ih enggak bun. Zian memang baik dan menarik hihi. Selama ini belum ada yang membuat Sarah se nyaman ini selain Zian bu. Sarah merasa kalo Zian tuh ngertiin Sarah banget bu. Bahkan sebelum Sarah ngomong, Zian sudah bisa menebak apa yang akan Sarah sampaikan. Canggih kan bu hihihi” ucapku menjelaskan panjang lebar soal kelebihan Zian yang aku rasakan. Menceritakannya mengundang kupu-kupu berkumpul di perutku. Rasanya menggelitik, dan pipiku sepertinya juga bersemu merah karena malu kepada ibu.
“hahahaha Sarah... Sarah, ya pasti Zian adalah yang paling ngertiin kamu, lhawong sebelum sama Zian, kamu gak pernah dekat dengan cowok manapun” ledek ibu.
Aku menekuk wajah, demi mendengar respon ibu terhadap penjelasanku soal Zian.
“loh kok jadi cemberut begitu sih hahhahaha ,,,, terus lanjutan ceritanya bagaimana?” tanya ibu memintaku untuk melanjutkan cerita.
“Zian ingin main ke sini bun...” jawabku menggantung. Hanya itu yang mampu kusampaikan kepada ibu. Ternyata nyaliku belum cukup besar untuk menyampaikan niat Zian kepada ibu. Pikirku, biar Zian sajalah yang menyampaikan sendiri maksudnya kepada ibu.
“yaudah kalo mau ke sini ya ke sini saja. Gak harus ijin ibu kan?” balas ibu
“boleh gitu bun?” tanyaku balik
“lah.... kenapa gak boleh? Hahahha” tanya ibu dilanjutkan tawa renyahnya
“hmmm ... kalo nanti tetangga berpikiran yang tidak-tidak bagaimana bun?” tanyaku khawatir.
Ibu mulai bingung mendengar pertanyaanku.
“kenapa Sarah mengkhawatirkan omongan tetangga. Kan Zian kesini bukan mau ngapa-ngapain Sarah” ucap ibu sambil tersenyum. “Zian boleh main ke sini. Kapanpun itu” lanjut ibu.
Setelah itu kami membicarakan hal lain. Hatiku sedikit tenang karena ibu telah mengizinkan Zian datang ke rumah. Aku tidak sabar memberitahu Zian tentang respon ibu. Semoga saja besok kami bisa bertemu di taman kampus seperti biasa.
********
Keesokan paginya, aku pergi ke kampus dengan semangat karena akan bertemu Zian. Jika kufikir-fikir lagi, rasanya aku malu dengan diriku sendiri. Mahasiswa tingkat akhir yang lebih memikirkan pernikahan daripada menyelesaikan skripsinya. Di lain sisi aku membela diri, bukankah pernikahan juga bagian dari masa depan. Siapa sih yang tidak ingin saat wisuda nanti sudah punya pendamping wisuda yang halal. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Rasanya keren sekali, menjadi seorang istri sekaligus mahasiswa. Kalo lagi malas mengerjakan tugas ada yang nyemangatin. Ada tempat berbagi keluh kesah. Punya sobat sambat yang tidak akan menceritakan keluh kesah kita ke orang lain. Aduhai indah nian semua itu dalam bayanganku.
“drttt .... drttt.... drttttt” gawaiku bergetar, tanda ada pesan yang masuk. Kuambil benda mungil dengan cashing berwarna biru muda itu. Kulihat di layar tertera nama “sunbaenim” yang merupakan nama Zian di kontakku. Aku sengaja menamainya dengan bahasa korea karena itu merupakan bahasa yang kusukai. Dan rasanya lucu saja menamai kontak Zian dengan sebutan itu.
“Sa, maaf aku tidak bisa datang ke taman. Ayah nyuruh aku datang ke kantornya”
Ada selisik rasa kecewa saat membaca pesannya. Kumulai mengetik balasan “aku sudah nunggu kamu hampir satu jam. Masa pertemuan kita batal?” pesan terkirim
2 menit ..... 3 menit... dan 5 menit pesanku belum mendapat jawaban.
10 menit kemudian baru Zian membalas pesanku
“kata ayah, kamu disuruh nyusul kesini Sa” isi balasan pesan Zian
“aku takut Zi. Aku belum pernah bertemu dengan ayahmu. Lagian ayahmu itu wakil dekan Zi. Aku tambah malu nanti” balasku.
Kemudian Zian menelfonku untuk meyakinkan bahwa tidak apa-apa aku menyusul ke kantor ayahnya. Kucoba mengumpulkan segenap keberanianku bertemu dengan ayahnya untuk pertama kalinya. Aku menaiki bus kampus dan turun di fakultas tempat ayah Zian mengajar. Fakultas tempat ayah Zian mengajar merupakan fakultas paling elit di kampusku. Dan ayah Zian merupakan salah satu dosen dan merangkap sebagai wakil dekan tiga di sana. Sesampainya di sana, kulihat Zian sudah menungguku di pintu masuk. Dia melambaikan tangan ke arah aku sambil tersenyum. Aku sedikit berlari ke arahnya.
“Zi beneran ini aku gapapa ketemu ayahmu?” tanyaku khawatir
“gapapa, ayah sendiri yang memintamu datang. Aku sudah menceritakan tentang rencana pernikahan kita ke ayah” jawab Zian dengan wajah berbinar.
Aku kaget, kuhentikan langkahku dengan tiba-tiba sampai Zian hampir menubrukku.
“kamu seriuss???” tanyaku kaget. “lalu bagaimana respon ayahmu Zi? Aku kan belum ngasih jawaban ke kamu gimana-gimananya” lanjutku
“ayah merespon dengan baik. Dan memangnya kamu bakalan ngasih jawaban tidak untuk ajakanku?” tanyanya sambil mengerlingkan mata. “yuk ah, ayah pasti sudah menunggu” ajaknya.
Hatiku semakin berdesir, segerombolan kupu-kupu terasa sedang menari di dalam perutku. Tidak kusangka, janji temu siang itu dengan Zian berakhir dengan pertemuan dengan calon mertuaku. Kira-kira bagaimana ya kesan pertama kami saat bertemu nanti. Selama ini aku hanya mengenalnya melalui karya-karya besar dan beberapa kebijakannya yang digunakan oleh pemerintah dalam bidang perekonomian. Dan hari ini, aku akan bertemu langsung dengannya sebagai seseorang yang spesial dalam hidupku. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya dalam hidupku, akan ada skenario seperti ini. Rasanya seperti terlalu sempurna untuk diriku yang biasa ini.
3 notes · View notes
khodijaturrohimah · 1 year
Text
Tikus-tikus kecil (1)
Suara tikus terdengar samar-samar saling bersahutan dari dalam selokan. 1, 2, 3, 4 suara. Rupanya seekor tikus betina dewasa dan tiga anaknya sedang mempersiapkan hal besar untuk masa depan mereka. Pelajaran tentang perburuan makanan. Selama ini ibu tikus satu-satunya pencari makan untuk keluarga kecil itu, tapi kini sudah saatnya para tikus kecil belajar untuk mencari makan mereka sendiri.
Pelajaran pertama.
"Manusia adalah makhluk yang jahat, jangan sampai terlihat apalagi tertangkap. mereka benci tikus seperti kita."
"Tapi kenapa mereka membenci kita bu? Bukankah kita sesama makhluk hidup harus saling menyayangi?" Tikus 1 bertanya kepada ibunya dengan perasaan tidak terima.
"Itulah kejahatan manusia nak, mereka membenci apa saja yang mereka mau bahkan kadang tanpa alasan yang jelas."
Pelajaran kedua.
"Jangan sembarangan masuk ke dalam rumah manusia, pastikan ada tempat untuk masuk dan keluar. Kita tidak mau masuk dan terjebak di dalam bukan?"
Para tikus kecil mengangguk-angguk tanda mengerti. Siapa juga yang mau terjebak di dalam sarang makhluk jahat macam manusia.
Pelajaran ketiga.
“Jangan meninggalkan jejak apapun jika tidak ingin dikejar sampai mati.”
“Jejak seperti apa yang ibu maksud?” Kali ini tikus 2 yang bertanya.
“Remah-remah makanan yang kalian ambil, kotoran yang tidak seharusnya keluar, maupun bunyi-bunyian yang mungkin muncul dari gesekan tubuh kalian dengan benda-benda di sekitar.”
"Tapi peraturan utama adalah yang pertama, kalian masih ingat?" Ibu tikus menekankan kembali pelajarannya siang itu.
Para tikus kecil serempak menjawab.
"Manusia adalah makhluk jahat dan jangan sampai tertangkap."
Ibu tikus puas mendengar jawaban anak-anak tikus, tandanya mereka menyimak dengan baik apa yang diajarkan.
Rencananya tengah malam nanti mereka akan masuk ke dalam salah satu rumah milik manusia. Menurut ibu tikus rumah itu adalah tempat yang paling tepat untuk mulai belajar mencari makan, karena ada lubang selokan yang tidak tertutup sehingga akan mudah untuk masuk dan keluar, selain itu dapurnya terpisah dari rumah utama jadi mereka bisa menjelajah dengan lebih aman. Kalau nanti mereka sedikit ceroboh kemungkinan manusia-manusia di rumah itu tidak akan mendengarnya.
Matahari mulai tenggelam dan digantikan oleh bulan yang cahayanya hanya remang-remang, tandanya sudah semakin dekat dengan waktu yang telah ditetapkan. Kekhawatiran nampak jelas di wajah para anak tikus, tapi di sisi lain mereka juga nampak begitu bersemangat. Degup jantung mereka tidak lagi dalam kecepatan satu ketukan, sama halnya dengan hembusan nafas para anak tikus, begitu cepat dan tidak terkendali. Lalu bagaimana dengan ibu tikus? Dia berusaha menyembunyikan ketakutannya, karena dia tahu ini adalah perjalanan hidup dan mati.
"Setelah ini kita akan menelusuri selokan menuju rumah yang ibu maksud. Jangan terlalu jauh dariku tapi juga jangan terlalu dekat. Ibu akan masuk lebih dulu dan memeriksa keadaan."
Ibu tikus mulai melakukan pemanasan untuk setiap sendi dan otot di tubuhnya. Ia tak mau jika tiba-tiba muncul kram otot saat sedang dalam perjalanan pertama bersama anak-anaknya. Setelah menarik nafas panjang tiga kali ia mulai berjalan perlahan menyusuri selokan diikuti tiga tikus kecil yang kakinya gemetaran. Ibu tikus telah memantau rumah tujuan mereka sejak satu minggu yang lalu, ia juga sudah beberapa kali masuk untuk mencari makanan. Dengan mengandalkan hidungnya yang sensitif ia menelusuri kembali bau yang sudah dihafalkan satu minggu ini. Langkah kaki para tikus mulai melambat, tandanya tempat yang mereka tuju sudah sangat dekat.
"Ibu naik dulu, kalau aman kalian bisa ikut naik ke atas."
"Bagaimana kami tahu kalau sudah aman bu?" Tikus 1 bertanya dengan suara takut-takut, mungkin karena dia berada tepat di belakang ibu, jadi ia merasa bertanggung jawab dengan pergerakan para anak tikus selanjutnya.
"Ibu akan menggoyangkan ekor, kalian perhatikan baik-baik."
Ibu tikus segera keluar dari selokan dan memeriksa keadaan sekitar. Gelap. Pintu ditutup. Lampu rumah mati. Sunyi. Sepi.
"Manusia-manusia itu sudah terlelap rupanya." Batin ibu tikus. Waktu yang tepat untuk mengajak para anak tikus berkeliling. Digoyangkan ekornya kuat-kuat sebagai tanda situasi aman. Tikus 1. Tikus 2. Tikus 3. Satu persatu mereka keluar dari dalam selokan. Untuk pertama kalinya mereka masuk ke dalam wilayah manusia, daerah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.
"Ikuti ibu."
Dengan berbaris berurutan para tikus menyusuri ruangan secara perlahan, melewati sela-sela berbagai macam barang yang berserakan. Kardus, ember, mesin cuci, dan tumpukan kotak makan plastik. Kemudian satu persatu tikus-tikus meniti kabel yang menjulur dari atas meja. Melewati belakang rak piring, kompor, wadah bumbu dan sampai di bak cuci piring. Makan malam mereka tersaji di antara tumpukan piring kotor. Sisa nasi, sayur, dan tulang ayam. Para tikus kecil kegirangan melihat banyaknya makanan yang ada.
"Ssst, jangan berisik. Ayo segera makan dengan tenang, setelah ini akan ibu tunjukkan tempat yang lain."
Dengan penuh semangat dan kehati-hatian para tikus makan sisa makanan yang ada. Perut masing-masing tikus sudah cukup terisi. Saatnya melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya. Ibu tikus kembali berjalan di depan diikuti anak-anak tikus. Mereka kembali menyusuri jalur yang telah dilewati, namun setelah turun melalui kabel, ibu tikus berbelok ke arah lain. Tempat sampah.
Ada banyak makanan yang masih layak untuk dikonsumsi. Buah potong, lauk pauk yang hanya dimakan sebagian, sisa nasi, dan masih banyak lagi. Sekali lagi para tikus berpesta dengan penuh kehati-hatian. Setelah tak mampu lagi untuk makan, mereka kembali ke sarang mereka. Malam ini tikus-tikus tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya karena perut terisi penuh dan hati yang bergembira. Meski malam ini cukup dingin tapi hal itu tidak mengganggu kesenangan tikus-tikus kecil, mereka tidur saling berhimpitan untuk menghangatkan satu sama lain.
Dalam tidurnya tikus 1 bermimpi dapat makan sampai kenyang seperti malam ini setiap hari. Tikus 2 bermimpi makan buah-buahan secara utuh, bukan hanya sisanya saja tapi yang banyak daging dan airnya. Tikus 3 bermimpi tinggal di rumah yang penuh dengan makanan, bukan lagi di selokan dingin dan lembab ini. Meski akhirnya mereka terbangun dan kembali kepada kenyataan yang ada tapi mimpi malam itu terus melekat di dalam ingatan para tikus kecil. Mimpi-mimpi ini lah yang akan mengantarkan mereka pada perjalanan selanjutnya, meski itu akan menjadi ekspedisi dengan pertaruhan nyawa.
Tanpa sadar para tikus kecil sudah masuk ke dalam jebakan dari rasa nyaman yang berujung pada keserakahan. Tapi siapa juga yang tidak ingin hidup nyaman. Bukankah itu tujuan dari kehidupan ini?
...
2 notes · View notes