Tumgik
#halaljepun
albadrln · 8 years
Text
Saya ingin membahas tentang lebarnya pendapat komunitas muslim tentang halal dan haram makanan di Jepang. Tujuan artikel ini bukan untuk memberi petunjuk atau bahkan fatwa seperti: makanan halal itu yang seperti ini-ini dan haram itu-itu. Melainkan, lebih berfokus ke realitas di lapangan. Bahwa banyak perbedaan pendapat ttg batasan makanan yang boleh dikonsumsi muslim di Jepang.
Pembaca bisa menimbang antar pendapat satu dan pendapat yang lain di artikel ini kemudian mencari lebih lanjut dalil-dalil pendukungnya. Artikel ini juga tidak akan mengutip dalil atau kaidah halal haram dalam islam karena penulis tidak memiliki kapasitas disana. Sekali lagi, fokus artikel ini adalah lebarnya spektrum pendapat di lapangan.
Juga di luar scope artikel ini untuk memberi daftar produk/merek snack yang halal dan produk/merek yang haram. Jika Anda mencari hal tersebut, saya sarankan untuk membaca artikel dari KMI Sendai dan PPI Tokodai berikut. Atau situs yang sering menjadi acuan teman-teman, halaljepun. Untuk kaidah yang lebih ilmiah, silakan kunjungi ustadz terdekat.
Sekali lagi yang harus dicatat bahwa pendapat-pendapat disini bukanlah pendapat saya dan saya tidak meng-endorse-nya. Saya juga akan berusaha untuk bersikap netral dan menyembunyikan yang mana yang pendapat saya atau yang biasa saya/teman-teman lakukan agar tidak ada judgment kepada pemegang pendapat seberangnya. Juga yang mana pendapat yang “mainstream”, karena mainstream bagi lingkungan saya mungkin berbeda bagi lingkungan lain.
Artikel ini pada akhirnya bertujuan sebagai pengaya dan titik diskusi, bukan sebagai pendakwa atau titik acu.
Konsensus: Daging Babi dan Minuman Alkohol itu Haram
Dari lebarnya spektrum yang akan kita bahas, terdapat satu konsensus utama yakni daging babi dan minuman beralkohol itu haram. Dengan demikian, artikel ini dengan sengaja mengesampingkan pendapat orang yang katanya islam tetapi entah kenapa masih makan daging babi dan minum alkohol.
Penekanan yang ada di dalam konsensus ini adalah kata daging dan kata minuman. Daging dalam artian, babi masih berwujud otot atau gilingan. Minum dalam artian, alkohol masih berwujud cairan nyata yang dapat diminum. Makan daging babi yang masih tampak seperti daging dan minum alkohol yang masih dalam bentuk minuman tidak termasuk dalam bahasan artikel ini. Jelas HAROM.
Namun, turunan dari kedua zat ini, masih fair game. Karena penekanan dari dua benda tadi berbeda, bahasan keduanya dalam artikel ini bisa berbeda. Dengan penekanan di daging, turunan babi  yang berupa daging (e.g. bacon, ham) tidak akan masuk dalam bahasan ini. Dengan penekaan di minum, tidak akan ada bahasan tentang minuman beralkohol, tetapi akan ada bahasan ttg turunan alkohol yang bukan minuman disini.
Daging Biasa: Yang Dijual dan Dimakan Orang Jepang
Perbedaan pendapat dimulai dari daging supermarket biasa. Dengan kata lain daging sapi dan ayam yang dijual dan dimakan oleh orang Jepang.
Pendapat pertama mengatakan bahwa sama seperti di negara manapun (Indonesia misalnya), kita tidak bisa memastikan kalau si hewan yang udah jadi daging itu dipotong dengan cara islami atau tidak. Pendapat ini memegang prinsip “kalau tidak tahu, ya bole-bole aja…“. Di Indonesia pun, siapapun yang menjual, apakah dia orang Tionghoa, Batak, Sunda, atau Jawa, tidak pernah ada yang mempertanyakan atau menelusuri detail sejarah si daging, atau latar belakang sang penjual.
Pendapat lain mengatakan bahwa Jepang adalah negara non-muslim. Bahkan non-ahli kitab alias politeis. Dari fakta tersebut ditambah deduksi, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar daging yang dijual bebas disini tidak dipotong dengan cara islami, alias tidak halal. Memang tidak semua, tetapi pemegang pendapat ini lebih berhati-hati dengan daging dan menjauhi semua makanan lokal yang mengandung daging. Persis seperti vegetarian.
Orang dengan pendapat pertama tidak akan ragu untuk masuk ke restoran Jepang dan memandang orang dengan pendapat kedua menyakiti/memaksakan diri, tidak menikmati hidup, atau fanatik mungkin. Sebaliknya, orang dengan pendapat kedua tidak akan memakan bahkan madu kalau ada kanji daging di komposisinya dan memandang pendapat pertama sebagai ceroboh atau ignorant.
Efek dari kedua pendapat ini sangat besar. Sebagian besar diskusi atau kontroversi pendapat di artikel ini tidak akan berlaku bagi pemegang pendapat pertama. Sebaliknya orang dengan pendapat kedua akan memburu kanji 肉 pada setiap produk berkemasan dan mengeliminasinya.
Daging Australia
P.S. Menu Saizeriya yg paling atas ada bacon-nya, jadi tetep aja ga boleh dimakan
Perpanjangan dari topik sebelumnya, terdapat juga perbedaan pendapat antara daging ahli kitab daging yang diimpor dari negara ahli-kitab (baca: barat i.e. Benua Australia, Benua Eropa, Benua Amerika).
  Saya belum pernah mengunjungi negara ahli-kitab (baca: negara dengan mayoritas penduduk beragama kristiani), jadi saya tidak tahu bagaimana komunitas muslim disana membedakan antara daging sapi halal dan tidak halal. Kami yang di Jepang ini penasaran juga. Mungkin ada yang bersedia menulis?
Yang jelas, dua pendapat yang berbeda mencuat.
Satu pendapat, negara ahli-kitab? OK. Negara politeisme? NOK.
Satu pendapat lain, mau ahli mau pakar, tunjukkan dulu logo halalnya baru OK.
Konsekuensinya adalah saat pergi ke restoran. Misalnya, beberapa tahun lalu Sukiya – restoran sashimi daging dan ikan – rumornya mengimpor daging dari Australia. Dengan demikian, sebagian orang makan disana. Sebagian yang lain, kalau diajak nggak mau karena tetap nggak jelas dari Australianya agen halal atau agen biasa. Sayangnya, Sukiya kabarnya tidak memakai daging Australia lagi saat saya datang ke Jepang, sehingga saya tidak mengalami langsung konflik tersebut.
Contoh yang lebih modern (2017) adalah adanya menu dengan Daging Australia di Saizeriya. Nah, boleh dimakan nggak tuh?
Daging Ayam Brazil Halal
Daging ayam berlogo halal yang paling mainstream di Jepang adalah produk impor dari Brazil. Biasanya bermerk Seria atau Sadia. Daging ayam ini dijual di toko-toko halal. Toko Jepang mainstream seperti Gyoumu Supa dan Amica juga menjualnya. Terkadang saya juga nemu ayam utuh ini dijual di random warung atau supermarket yang nggak ada bau-bau toko halalnya.
Daging ini ada logo halalnya. Jadi, halal?
Tidak menurut sebagian brader dari Pakistan dengan alasan yang tidak saya pahami. Yang jelas, mereka agak nggak suka kalau disuguhi daging ayam yang diolah dari ayam utuh Brazil berlogo halal ini.
Mereka -brader- tidak percaya bahwa logo halal di produknya itu valid. Brazil gitu loh? Emangnya siapa yang kepikiran orang islam kalau dengar kata “Brazil”. Saya tidak begitu mengerti tapi isu yang saya dengar adalah sebagai berikut. Rumornya ada syekh dari brader-brader tersebut menanyakan entah ke supliernya atau importirnya atau perusahaan di Brazilnya dan pas ditanya (atau dikunjungi? entahlah) jawaban yang mereka beri tidak meyakinkan.
Begitulah.
Jadi brader makan daging mana? Para brader beli daging halal yang disembelih di Jepang. Mungkin karena yang punya tokonya adalah brader juga, jadi mereka kenal dan yakin atau gimana gitu.
Saya menemukan banyak logo halal yang unik-unik di Gyomu Supa, misal halal Denmark, Eropa, Filipin. Negara-negara yang nggak kita pikirkan kalau bakal ada lembaga sertifikasi halalnya lah. Dan logo halal adalah tanda paling mudah bagi kita untuk mempercayai kehalalalan sebuah produk. Agak ragu juga sebenarnya dengan logo halal yang nggak pernah dengar sebelumnya tersebut. Kemudian ada berita juga di Korea, kasus pemalsuan logo halal ini sangat mewabah. Namun, kalau kita tidak mempercayai tanda halal di produk ini, apa lagi dong yang bisa kita percaya ya…
Mirin, Seperti di Sushi atau Udon atau lain-lain
Topik selanjutnya: Mirin. Zat yang belum pernah saya denger pas di Indonesia ini adalah bumbu dapur berupa cairan yang mengandung alkohol berkadar tinggi, biasa dipakai untuk tumisan atau makanan berkuah. Hal yang sangat menyebalkan karena muslim di Jepang hobi makan sushi, soba, dan udon. Karena, well, makanan tersebut adalah makanan Jepang buanget yang tidak mengandung daging sama sekali.
Toko udon favorit di Toyohashi.
Ditambah lagi banyak rumor ttg toko sushi sana boleh, toko sushi sini ada mirinnya, toko sushi situ cuma menu tertentu bertebaran hampir secara periodik, membuat komunitas flip-flop dan bingung menyikapi sushi. Hal inilah yang membuat kasus spesifik ini patut dicatat di artikel ini.
Beberapa orang mengabaikan apakah sushi mengandung mirin atau tidak. Sebentar… Mengabaikan mungkin kata yang terlalu kasar. Lebih tepatnya, membuat asumsi by default sushi itu boleh dimakan sampai ada bukti (atau rumor) kalau dia mengandung mirin.
Beberapa benar-benar mengabaikan rumor tersebut. Wong sushi gini… Mana bisa mabuk makan sushi banyak-banyak, walaupun ada mirin-nya.
Beberapa yang lain agak paranoid, menjauhi sushi yang pernah terdengar rumor bahwa ia berimirin, barang sedikitpun. Atau bahkan semua jenis sushi.
Ada yang bertanya, orang Jepang memakai mirin untuk minum-minum nggak? Kemudian dilanjutkan, kalau diminum banyak-banyak memabukkan nggak? Kalau nggak kan berarti ya boleh aja, bermirin atau tidak.
Pertanyaan yang pertama jawabannya iya, zaman dulu kala [1].
Mirin was originally meant for drinking, but has been used as a seasoning since the end of the Edo Era … Chiba, Machiko, J. K. Whelehan, Tae Hamamura, Elizabeth Floyd (2005). Japanese Dishes for Wine Lovers. Kodansha International. p. 12.
Untuk pertanyaan kedua, entahlah. Karena dulu dipakai untuk minum-minum, ya kemungkinan besar memabukkan juga kali ya. Sehingga bisa disimpulkan karena banyaknya memabukkan thus haram, ergo, sedikitnya pun haram.
Sumber: japanguide.com. Basic for Muslim Travelers in Japan.
Setidaknya itu pendapat sebagian orang. Sebagian komunitas lainnya melihat, produknya atau makanannya, bukan komposisinya. Dengan kata lain, sushinya bukan mirinnya. Hal yang membawa kita ke topik berikutnya.
Makanan Ber-(senyawa)-alkohol
Bagaimana kalau makanan tersebut disiram alkohol, kemudian 1 detik kemudian ia menguap lalu hilang sama sekali?
Bagaimana kalau makanan tersebut berkadar alkohol yang sangat sedikit? Alkohol dari alam? Durian, tape, legen beralkohol tetapi undoubtly halal kan?, sekali lagi bagi sebagian besar pendapat.
Bagaimana kalau makanan itu tadinya berbahan alkohol, tapi sekarang bukan berwujud alkohol? Cuka aja boleh…
Semua variasi ini bisa memiliki spektrum pendapat masing-masing, pendapat sejumlah kepala yang ada. Perbedaan ini dikarenakan beda interpretasi antara khamr dan alkohol. Khamr, memabukkan. Hampir semua alkohol memabukkan. Yap, hampir tapi tidak semua.
Tidak cuma kita-kita yang tidak memiliki kapasitas untuk menjawabnya, para ahli pun sepertinya tidak bisa memberikan jawaban yang simpel, jelas dan konsisten. Titik temunya sulit disepakati. Setiap sertifikasi halal pun punya standar persentase alkohol maksimal masing-masing. Nah, apalagi orang-orang yang dibawah kayak kita. Pasti eksekusinya juga pusing dan tidak konsisten.
Contoh tidak konsisten misalnya, sebut saja si A* sangat suka durian. Kan halal. Namun, choco-chips yang ada kanji 酒 sake-nya, menjauhi. Padahal mungkin persentase alkohol di durian lebih besar dari pada di snack tersebut dan nggak pernah dengar tuh ada orang mabuk makan choco-chips banyak-banyak. But who knows…
*) Siapa itu si A. Karena batasan netralitas pendapat di artikel ini, saya tidak akan memberitahu siapa itu A. Wink.. wink..
Tidak hanya soal alkohol tadi, soal perubahan senyawa molekuler juga sepertinya masih menjadi perdebatan para ahli. Molekul ini dari babi, tapi udah berubah, atau cuma untuk dimakan bakteri dan bakteri menghasilkan molekul lain. Topik sulit yang tidak akan dibahas di artikel ini. Hal ini terkait dengan zat-zat komposisi yang akan menjadi topik selanjutnya. Yap, bahan makanan jadi bahan pertimbangan buat makan di Jepang disini. Nggak kayak di Indonesia. Ada zat yang meragukan dan ada yang tidak.
Minuman “Keras” Alkohol Nol Persen
Sebelum membahas lebih lanjut ttg zat meragukan tersebut pada komposisi makanan dan zat turunannya, mumpung lagi membahas Alkohol, mari kita sisipkan topik ttg minuman tidak beralkohol.
Es teh manis?
Bukan lah. Misalnya, bir non-alkohol atau wishkey zero alkohol, dan semacamnya. Katanya di arab banyak yang kayak ginian.
Foto dari Non-alcoholic beverage [Wikipedia]. Saya nggak beli lho!
Kalau saya, kok ragu kalau itu boleh diminum. Alkohol nol persen ya apa sama dengan tidak memabukkan? Yang jelas ada muslim yang yakin kalau minuman tersebut boleh diminum.
MUI sendiri menfatwakan bahwa makanan dengan nama haram (misal: teh merek Whiskey) atau makanan yg direkayasa supaya jadi berasa seperti rasa makanan yang haram (bumbu perasa babi yg nggak dari babi), jadi haram juga (Fatwa MUI 4/2003).
Meskipun masalah legalitas seperti hukum, fatwa, dan dalil di luar bahasan artikel ini, terkait dengan fatwa tadi, bagaimana dengan bir pletok? Ginger ale? Wine (Wine is not emulator)?
Balik ke Jepang. Disini bir dan semacamnya dijual bebas di mana saja, di warung pun buanyak variasinya. Saya sih jarang mendengar eksistensi minum keras zero alkohol disini, dan kayaknya komunitas disini juga tidak terlalu peduli dg eksistensinya. Well, move on ke topik selanjutnya.
Zat Turunan pada Ingredients
Nah, saatnya membahas gajah di ruangan. Nggak gajah juga sih, kan senyawa zat kecil-kecil. Zat turunan yang saya maksud ini ditemukan di bahan makanan, tertulis di daftar komposisi di balik kemasan makanan.
Sumber: ameblo.jp. Coklat tanpa nyukazai. Pernah dapat coklat ini dari anak SMP Jepang pas pertemuan pertama Aichi Scholarship. Mereka jualan coklat ini untuk charity katanya.
Saya tidak pernah paham the extend of “watch-out”-items in the ingredients, gimana tuh Indonesianya, ttg lebar/jangkauan/cakupan zat-zat yang harus diawasi di daftar komposisi. Kadang saya main ke komunitas/orang lain yang saya jarang berinteraksi, ternyata mereka menjauhi bahan-bahan yang selama ini tidak pernah saya pikirkan harus diawasi.
Daftar ini bisa melebar luas, termasuk tetapi tidak terbatas pada: lemak, gelatin, shortening, jelly, nyuukazai (emulsifier), margarin, butter, karamel, cream, yeast, asam amino, soyu (soy sauce), white vanili, dll.
Bahan-bahan makanan yang dijauhi tersebut biasanya karena tidak jelasnya asal muasal mereka. Kebanyakan dari keluarga turunan babi, misalnya emulsifier dari babi dan seterusnya. Namun ada juga emulsifier yang bukan dari babi. Karena tidak tahu yang mana, jadi tidak jelas lah.
Setiap item di watch out list itu bisa menimbulkan pendapat yang berbeda-beda.
Nah menyikapi hal ini secara umum pun bisa menjadi pendapat yang berbeda juga. Kaum kalau tidak tahu tidak apa-apa, tidak akan melihat eksistensi tulisan tersebut di komposisi. Kaum paranoid akan memburu semua kanji dan kana dari daftar list mereka dan menjauhi semua makanan bertuliskan kanji-kana tersebut. Kaum takut tapi penasaran rasanya kayak mana akan menelpon si pembuat makanan untuk memastikan bahan makanan tadi terbuat dari apa.
Kaum yang terakhir saya sebut tadi biasanya akan dipandang jadi hero (atau jadi villain?) ketika mengumumkan produk ini boleh-tidak boleh karena alasan ini ana itu. Yang akan dibahas pada dua topik terakhir.
Double Derivative: Makanan Berkomposisi Bahan yang Produk Pasaran/Satuannya Berkomposisi Meragukan
Namun sebelum membahas dua topik tadi, mari sedikit mengekstensi topik sebelumnya sedikit. Mungkin sudah jelas di judul yak, ttg.  “Makanan Berkomposisi Bahan yang Produk Pasaran/Satuannya Berkomposisi Meragukan”.
Maksud loehh?
Lihat kembali di daftar “watch-out”-items pada topik sebelumnya. Dua item terakhir adalah soyu dan white vanili. Ekstrak kedelai dan vanila putih. Hal yang kalau dilihat dari namanya, tidak ada bau-bau mencurigakan. Bukan? Namun, ada beberapa orang yang menjauhinya dengan argumen sebagai berikut.
Beralkohol
Tidak beralkohol
Jadi, soyu itu soy sauce alias saus kedelai. Soyu sebagai produk di supermarket, botolan, satuan ada yang mengandung alkohol (kanji 酒) dan ada yang tidak. Jadi ada yang boleh ada yang tidak. Are you with me?
Nah, ada produk makanan lain tuh. Misal apa deh, roti kek atau snack. Eh, dilihat di belakang bungkusnya ada tulisan soyu. Jeng-jeng-jeng…. Nah lho, nah lho. Boleh nggak tuh?
Karena fakta di lapangan yang bisa kita saksikan sendiri (di supermarket, misal) bahwa ada soyu yang boleh dan nggak boleh, meragukan, ergo si roti tadi juga meragukan sampai diketahui si soyu ini komposisinya bagaimana. Jadi, rotinya mending dijauhi.
Yang lain berpendapat, chotto matte! soy sauce ya soy sauce. White vanili ya white vanili. Jangan menyetarakan produk bahan dan produk jadi. Produk pabrik dan produk konsumen. Logikanya, pabrik kalau memesan dan mencantumkan bahan ya bahan murni. Bukan bahan turunan. Kalau turunan berarti bahannya bahan tadi juga merupakan bahan dan harus dicantumkan juga, bukan? Kalau begitu, produk yang mengandung coklat semua meragukan karena ada coklat yang mengandung alkohol ada juga yang tidak.
Argumentasi pada topik terakhir ini cast doubt, apa lagi ini indonesianya, memancarkan bayang keraguan pada daftar komposisi itu sendiri. Bisa dipercaya atau tidak kah?
Untung saja ada kaum takut tapi penasaran pengen nyoba yang terdepan dalam mengonfirmasikan hal-hal tersebut ke produsen langsung. Bisa nunggu laporan mereka lah. Eh.. Tapi kalau daftar komposisi di kemasan nggak bisa dipercaya,  konfirmasi dari produsen bisa dipercaya nggak ya? Hm…
Halal Berbatas: Waktu/Serial Number/Tempat/Bungkus
The taste doesn’t bother interest me anyway.
Bahasan gajah di ruangan (ttg zat turunan dalam komposisi) ini merujuk kepada satu kesimpulan. Kehalalan di sini sifatnya limited dan temporer.
  Bertanya “ttg kit-kat itu halal apa nggak?” jawabannya bisa bermacam-macam tergantung siapa yang menjawab. Dan macam-macam lagi tergantung kapan, kit-kat yang mana, yang dijual dimana, bahkan yang serial numbernya dengan akhiran apa.
Ada juga produk milk-tea yang as bizzare as it sounds, um, seaneh kedengarannya, berbeda status kehalalannya bergantung pada ukuran botol. Yang sedang boleh, yang kecil nggak. Padahal produk yang sama dengan tulisan komposisi yang sama.
Hal tersebut sangat biasa di kehidupan komunitas muslim di Jepang.
Makanan Dari Teman
Artikel ini memperlihatkan bahwa setiap ada topik pasti ada pendapat yang berbeda di antaranya. Nah, kalau makanan itu untuk diri sendiri sih nggak masalah. Namun, di dalam komunitas tentu interaksi, tukar pikiran, dan tukar makanan pasti akan terjadi. Bagaimana dengan spektrum pendapat yang berbeda-beda tadi?
Apakah kita harus mengecek kalau semua parameter di atas sama nilainya dengan teman yang memberi kita makan tadi? Tentu saja pada topik ini juga ada perbedaan pendapat lagi. Ada yang nanya banget, ada yang nanya secukupnya, ada yang cuek.
Misal yang soal brader tadi, katanya sampai ngamuk dan menolak kalau disuguhi daging halal brazil. Saya sih tidak menyaksikan langsung gimana cara mereka menolaknya. Katanya sih beberapa tahun lalu terjadi, dan sepertinya mereka sudah mulai melunak akhir-akhir ini.
Saya akan melanggar batasan netralitas artikel ini khusus untuk topik ini. Kalau saya, asal saya tahu yang memberi makanan atau minuman tadi muslim, kecuali makanan tadi sangat-sangat mencurigakan, saya tidak akan menanyakan ini halal nggak? atau lebih parahnya lagi parametermu bagaimana?.
Nobody will refuse or question the halal status of rendang. Sumber foto: Rendang [wikipedia].
Menurut saya, burden of proof, duh apa lagi ini Indonesianya, beban pembuktian kehalalalan jatuh kepada dia yang membuat dan memberi makanan tersebut. Dan sebagai muslim, kita cukup percaya dengan keislamannya dan yakin dia tidak berniat mencelakakan. Ini juga sebagai penghormatan terhadap pendapat masing-masing. Meskipun berbeda pendapat, muslim tetap bersaudara.
Meskipun begitu, dua paragraf terakhir di atas nggak jelas juga tuh dengan klausa “kecuali sangat-sangat mencurigakan”. Mencurigakan itu yang bijimana? Duh duh duh…
Mujtahid dan Mujtahid Mutlak
Pada akhirnya, setiap pendapat adalah milik pribadi masing-masing. Setiap pribadi harus berijtihad, memutuskan bahwa saya berpendapat begini untuk topik ini dan begitu untuk ropik itu.
Ada prinsip bagus dari ustadz yang menjadi imam di Masjid Toyohashi (atau yang datang dari Indonesia untuk pengajian? saya lupa siapa).
Wara’ itu untuk diri sendiri. Bukan untuk orang lain.
Dan bagi yang bingung memutuskan pendapat, selalu ada mujtahid mutlak di sekitar kita. Ini sebenarnya istilah guyon yang dicetuskan oleh salah satu bapak-bapak di Toyohashi. Jadi bukan mustahid mutlak kayak imam syafii gitu bukan. Disini maksudnya, orang-orang yang kalau “berfatwa” roti merek ini itu boleh, chiki ini itu nggak, dan memakannya, pendapat itu bakal mutlak dipakai oleh komunitas di sekitarnya.
Syarat jadi mujtahid mutlak ini tidak sulit. Punya kecenderungan untuk peduli ttg halal dan haram. Jadi, minimal bukan omnivora-lah, apapun dimakan. Punya kecenderungan untuk update informasi. Nggak gaptek-gaptek dan kuper-kuper amat. Dan yg terpenting punya kecenderungan untuk bisa membaca kanji. Beres. Saya juga pernah menjadi mujtahid mutlak bagi anak-anak SMP Indonesia yang datang ke Jepang. Mereka belanja di kombini dan saya dengan otoriter men-dictate, ini boleh, ini jangan.
Biasanya tiap komunitas punya orang seperti ini, dan pendapatnya juga berbeda antata mutlaker di komunitas satu dan lain. Pernah dengar cerita juga, ada anak yang dianggap alim karena dia rajin sholat mengaji dsb, memiliki pendapat pertama di topik pertama artikel ini, jadi teman-temannya pun berpendapat yang sama.
Di internet, kaum penanya produsen tadi juga bisa direfer dan dipakai pendapatnya secara mutlak. Biasanya mereka mengepos di Facebook, group, atau blog-blog. Situs halal yang saya refer di awal artikel juga salah satu contohnya.
Mujtahid mutlak daring sedang beraksi.
  Jika Anda bingung ttg suatu kasus halal haram suatu produk, membaca artikel ini mungkin akan tambah bingung. Untuk pembaca yang sudah membaca sampai paragraf ini, saya ucapkan: Selamat atas achievent Anda membaca artikel 3000 kata ini. Maaf karena mungkin saya tidak menjawab pertanyaan Anda. Dan terima kasih telah meluangkan waktumu untuk membaca blog ini.
Penutup
Topik berikutnya, terdapat juga perbedaan pendapat dari bagaimana makanan tadi itu ditutup. Penutupnya turunan dari babi atau nggak.
Bercanda-bercanda…
Artikel ini sudah terlalu puanjang dan membahas hal yang cukup luasss…. Mau mengedit supaya lebih ringkas, kok capek ya. Jadinya, bingung deh mau menutupnya bagaimana.
Pokoknya gitu lah ya.
Di Jepang, halal haram itu pusing. Nggak gampang kayak di Indonesia. Namun, semoga tidak ada konflik dikarenakan perbedaan pendapat di atas. Tidak perlu keras mengoreksi dan berbantah-bantahan. Mari melembut dan tersenyum. Saling menghormati pendapat masing-masing, dan terus berusaha belajar dan memperbaiki diri. Sepertinya itu lebih baik.
Sama-sama perantau kita di Jepang sini, mari kita saling bahu membahu.
Jika ada pertanyaan, pendapat, cerita silakan kasih komentar di artikel ini atau lebih baik lagi tulis di blogmu. Mungkin bisa memperkaya wawasan ttg topik ini lebih luas lagi.
^^.. Wassalamualaikum.
Spektrum Halal Haram Makanan di Jepang Saya ingin membahas tentang lebarnya pendapat komunitas muslim tentang halal dan haram makanan di Jepang. Tujuan artikel ini…
0 notes