Tumgik
#tsuluts
ummahistoria · 3 years
Text
Liburan ke Rumah Nenek
Disclaimer : berisi curhatan nggak penting dengan gaya bahasa campuran anak Jaksel versi Alternate Universe (wqwqwq). Karena geregetan pengin cerita tapi gak tau mau cerita ke siapa yang enak diajak ghibah curhat.
Dari judulnya berasa lagi bikin tugas karangan bebas pas SD tiap habis beres liburan semester. Hahaha
Tetap sama sih latar belakangnya, beda zaman dan isi cerita, tapi... Ini kok orangnya masih yang di SD juga ya? Duh.
Minggu kemarin baru sempat ke rumah nenek karena kesibukan di rumah. Ceilah.. sok banget sibuk, padahal seharian malah tidur hahaha
Lagi ngobrol depan teras, tetiba mata Ayah salah fokus merhatiin lukisan kaligrafi di dinding. Nanya-nanya deh tuh ke kakek, bikin kayak gitu siapa dan dimana. Soalnya ayah mau pesan buat masjid di dekat rumahnya.
Tetiba mamah nyeletuk, yang saat itu lagi asyik temu kangen sama mesin jahit Butterfly-nya. "Lah.. si Wahdah kan kerjaannya begitu dulu pas kuliah. Bikin-bikin kaligrafi bareng temennya."
Berasa dipuji dong, apalagi kalo dipuji sama orang tua sendiri tuh kek another level aja bahagianya wkwk
Tapi yaa, kalo bikin kaligrafi di masjid mana saya sanggup? :')
Inisiatif mau rekomendasiin temen. Ayah nanya, "Temennya cowok?" Iya. Aku kepikirannya ke seseorang di Bandung, eh mamah malah nyaut nyebut nama seseorang yang di Jakarta. Haduh, Mak. Berasa langsung 'deg' gitu.
Berasa kayak belum bisa move on, padahal nggak juga.
Tapi yaaa, berasa buat apa sekolah jauh-jauh rantau ke Tasik sama Jatinangor, yang diinget emak tetep aja tuh orang.
Ketimbang disebut nggak bisa move on malah lebih setuju ke statement yang pernah di baca di twitter (lupa siapa yang post).
Secara sadar nggak sadar sebenernya kita itu bakal jatuh cinta sama orang dengan karakteristik yang sama. Semacam menetapkan tipe idealnya begitu.
Setelah dipikir-pikir, dua manusia ini punya banyak kesamaan :
1) Lahir di tahun yang sama dan sama-sama bulan Mei kek saya, jadi kalo tiap ulang tahun ya bolak-balik saling ngucapin dan kadang kasih hadiah. "Selamat ulang tahun jugaaa", jadi gampang inget.
2) Dari suku yang sama, dan kalo ngomong logatnya ya sama.
3) Prefer punya bakat yang sama ; sama-sama jago kaligrafi dan seni islami kek hadroh, mana posisinya potensi vokalis juga.
4) Sama-sama pinter akademiknya. Ini orang berdua rangking di sekolahnya. Tapi ya ini, selalu jadi motivasi saya juga buat belajar. Ya malu dong naksir orang pinter, tapi guenya oon mah huhu minimal kudu rangking juga deh biar gak kelihatan oon-nya :')
Pantesan, berasa kek nggak pernah beda orang. Jadi yaaa, kemungkinan kalo interest lagi sama seseorang, tipenya hampir sama. Bukan nggak bisa move on. Udah, tjoy!
Tapi akhirnya, karena gue gak berani menghubungi tuh orang berdua. Canggung, yang satu udah tunangan dan yang satu lagi kemungkinan-udah-ada-lagi. Jadinya sok-sokan mau ngerjain sendiri. Duh, mana pake khat tsuluts 😭 gak apa-apa deh, butuh uang juga soalnya haha uang memang mengalahkan segalanya.
Tiap momen lebaran gini emang sering bikin deg-degan kayak mau lamaran (kerja) heuheu
3 notes · View notes
ayojalanterus · 3 years
Text
Islam dan Adaptasi
Tumblr media
 KONTENISLAM.COM - Oleh: Ahmad Sarwat, Lc, MA   Dalam beberapa hal, Sunnah Nabi itu bisa dimaknai sebagai inisiasi atau kepeloporan. Atau gampangnya sebut saja penemuan. Jadi pengertiannya segala hal yang diinisiasi, dipelopori dan ditemukan pertama kali oleh Nabi SAW, dimana belum pernah ada orang yang melakukan hal itu sebelumnya. Dalam hal hukum syariah yang ditetapkan Allah lewat wahyu samawi, semua detail hukum syariah Islam masuk hitungan ini. Kalau pun para nabi terdahulu juga pernah diperintahkan untuk mengerjakaan hal yang sama, tetap saja tidak identik. Puasa Daud misalnya, meski berlaku pada kita, namun hukumnya tidak sama. Bagi Nabi Daud dan umatnya, puasamacam itu hukumnya fardhu, tapi bagi kita hukukmnya Sunnah. Sedangkan di luar urusan peribadatan, hampir seluruh yang dikerjakan Nabi SAW sifatnya tidak ada yang kepeloporan, inisiasi atau pun penemuan. Naik kuda, memanah atau berenang, meski dikerjakan oleh Baginda Nabi SAW, namun sejak ribuan tahun sebelumnya manusia di dunia ini sudah melakukannya. Peranan Nabi SAW hanya mengenalkan kembali apa yang sudah dipakai generasi sebelumnya, bukan sebagai orang yang pertama kali jadi penemunya. Berobat pakai madu, jintan hitam, kay, dan sekian banyak jenis pengobatan herbal lainnya, juga sudah digunakan umat manusia di berbagai belahan bumi jauh berabad-abad sebelumnya. Peranan Nabi SAW hanya mengenalkan kembali apa yang sudah dipakai generasi sebelumnya, bukan sebagai orang yang pertama kali jadi penemunya. Namun dengan segala keterus-terangan ini bukan berarti kita jadi kurang hormat kepada Baginda Nabi SAW. Apalagi mendegradasi posisi kemuliaan Beliau SAW. Sama sekali tidak. Justru kita malah menjaga kesucian Nabi SAW dari hal-hal yang hanya akan mengotori fakta hakikat diri Beliau. Tidak perlu kita membuat kamuflase-kamuflase yang penuh rekayasa atas sosoknya. Jangan dibiasakan kita bertindak kurang jujur dengan menambah-nambahi apa yang sebenarnya bukan jati diri Beliau. Jangan Sematkan Pada Nabi Jangan katakan Beliau SAW ahli astronomi dan peta bintang. Sebab Beliau sendiri pun menyewa ahli penunjuk jalan yang bisa membaca peta bintang di malam hari untuk hijrah ke Madinah. Jangan katakan Beliau ahli strategi perang, sebab posisi pasukan yang Beliau SAW tetapkan di Perang Badar masih perlu dikoreksi ulang oleh para shahabat. Jangan katakan Beliau ahli pertanian, sebab analisa Beliau tentang urusan penyerbukan bunga kurma rada meleset dan akibatnya hasil panen berkurang. Saat itu Beliau SAW sendiri secara profesional mengakui : antum a'lamu diumuri dunya-kum. Kalian lebih paham urusan dunia kalian. Jangan katakan Beliau fisikawan, kimiawan, matematikawan dan lainnya. Sebab faktanya kita tidak menemukan penemuan ilmiyah di bidang-bidang itu dalam Sirah Nabawiyah. Nabi Sosok Yang Terbuka Namun tidak mengapa kalau kita katakan bahwa sosok Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang terbuka dengan segala teknologi yang ada di masanya. Bahkan wawasan beliau lebih mendunia. Perang Ahzab tahun kelima itu sukses karena beliau mengadaptasi gaya pasukan Persia, yang menggali parit sebagai benteng. Teknik itu pertama kali digunakan di tanah Arab. Koin emas Dinar yang beredar di Syam dan Romawi tidak beliau tolak, bahkan jadi alat tukar yang sah dan diakui di Mekkah Madinah. Demikian juga dengan koin perak (Dirham) yang digunakan bangsa Persia, tetap Beliau SAW gunakan di negeri Arab. Beliau SAW tidak merasa harus bikin koin sendiri sebagai alat tukar. Dinar dan Dirham itu alat tukar milik orang kafir, bahkan gambarnya pun gambar raja-raja kafir. Dinar dan Dirham bukan mata uang ciptaan Rasulullah SAW, karena sejak ribuan tahun sebelumnya digunakan bangsa-bangsa di dunia. Islam Adaptif Dengan sebegitu terbukanya Nabi SAW terhadap perkembangan sains dan teknologi umat manusia di zamannya, maka begitulah yang juga diteruskan oleh para shahabat penerusnya. Mereka begitu adaptatif terhadap semua teknologi yang digunakan bangsa manapun, sehingga terserap ke dalam peradaban Islam lewat seleksi yang terstruktur. Di bidang arsitektur, umat Islam di masa berikutnya banyak mengadaptasi gaya Eropa. Padahal Eropa saat itu identik dengan pusat Kristen. Sultan Muhammad Al-Fatih di tahun 1453 M menaklukkan ibukota Romawi Timur, Konstantinopel, umat Islam pun merengsek ke jantung Eropa. Dan terjadilah akulturasi yang indah. Sejak itulah masjid di seluruh dunia mengikuti gaya arsitektur Eropa Timur yang bercirikan kubah. Tapi coba perhatikan ciri arsitektur masjid Demak dan Kudus di masanya, nyaris tidak ada kubahnya. Bentuknya sangat berbeda, karena pengaruh arsitektur Turki belum sampai sini kala itu. Seni kaligrafi Arab juga ikut berkembang menyesuaikan diri dengan negeri yang dulunya masih belum terislamkan. Kita mengenal ada banyak gaya khat kaligrafi indah yang justru asalnya bukan dari Mekkah atau Madinah. Ada khat Naskhi, Farisi, Diwani, Riq'ah, Tsuluts, Kufi dan lainnya. Padahal itu bukan asli Mekkah Madinah. Seni baca Al-Quran atau yang dikenal dengan Ilmu Nagham dan Maqamat juga berkembang mengadaptasi langgam-langgam yang jauh diuar batas negeri Arab aslinya Mekkah dan Madinah. Ada Bayati, Nahawand, Jiharka, Rass,  dan seterusnya. Peradaban Islam Menyerap Kita tidak perlu malu untuk mengakui bahwa di masa keemasan umat Islam dulu, kita memang banyak menyerap ilmu tersebut dari ilmuan Barat. Ada begitu banyak manuskrip dari Eropa yang kita bawa pulang ke negeri Islam untuk dipelajari, diteliti bahkan tidak sedikit yang diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Toh semua itu bukan hal yang najis. Sebab para cendekiawan muslim sudah punya bekal aqidah yang kuat, tidak mudah goyah begitu saja. Apalagi metode ilmiyah yang mereka pakai bisa memilah mana unsur yang baik dan bisa dikembangkan, dan mana unsur tidak baik lalu dibuang. Adaptasi di Indonesia Tapi itu semua terjadi di tengah dunia Islam sana. Lalu bagaimana dengan kita bangsa Indonesia? Mampukah kita menyerap unsur asing tapi kemudian memilah dan mengolahnya menjadi sejalan dengan agama kita? Untuk beberapa hal, menurut hemat saya mampu. Contoh sederhananya adalah dalam seni makanan dan bidang kuliner. Begitu banyak menu makanan kita sehari-hari yang kalau dilacak asal-muasalnya dari negeri non Islam, khususnya Negeri China. Mereka aslinya memasak dengan bahan-bahan yang tidak halal. Namun masuk ke negeri kita, semua diadaptasi ulang disesuaikan dengan ketentuan syariah kita. Jadilah mie ayam, padahal aslinya mie babi. Jadilah bakso sapi padahal aslinya di Tiongkok sana bakso babi. Jadilah bakmi, bakpao, bakwan, bakpia, dan bak bak lainnya. Bahkan orang Sunda bisa merekayasa sesuatu yang di negeri asalnya tidak ada yaitu batagor alias bakso tahu goreng. Siomay pastinya asli China, tapi kita lebih akrab dengan istilah Siomay Bandung. Sebagian lagi ada yang masih lekat dengan nama kecina-cinaan, tapi sudah jadi muallaf semua. Ada Wonton, Fuyunghay, Kwe-ti-Yauw, Nih mi ap, Kaoya, Jiaozi, Nian Gao, dan nama-nama lainnya. Semua berhasil diadaptasi disini sehingga statusnya jadi halal. No pork, no lard, no angchiu, no yang haram-haram lah pokoknya. Tidak berhenti hanya sampai makanan, tapi dalam busana dan pakaian pun kita banyak melakukan adaptasi. Baju pak ustadz rata-rata baju orang China. Bahkan nama bajunya pun masih asli China yaitu baju Koko. Koko itu panggilan Kakak laki-laki. Dan yang paling khas adalah sarung. Banyak pengamat mengatakan bahwa sarung itu bukan pakaian asli Indonesia. Padahal sarung identik dengan pakaian khas para santri. Konon sarung dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India sana di abad 14 Masehi ke Nusantara. Dan jadi pakaian masyarakat di pesisir pantai. Kalau kita ke Saudi atau Mesir, lalu lihat ada orang pakai sarung, pastilah dia orang Indonesia, Malaysia, Brunei. Sebagian orang Bangladesh dan Tailand ada juga yang sarungan. Yang jelas kalau orang Arab asli malah tidak ada yang sarungan. Ada sebagian teman cerita, entah benar entah becanda, katanya orang Mesir itu kalau lagi mau jima' dengan istrinya, mereka pada pakai sarung. Jadi kalau kita bertamu ke rumah orang Mesir di malam hari, kok tuan rumahnya sudah pakai sarung, segera pamit saja. Soalnya takut mengganggu urusan rumah tangga. Tinggal nanti orang Mesir bingung lihat orang Indonesia, shalat ke masjid lima waktu kok pada pakai sarung semua? Emangnya habis shalat pada mau ngapain? Lebih kaget lagi lihat anak-anak santri. Mereka mikir, kok kecil-kecil sudah pada pakai sarung ya? Emangnya . . . ah sudah lah. Dasar orang Mesir, mikirnya pakai ukuran mereka saja. (fb)
from Konten Islam https://ift.tt/3lW3G7w via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/08/islam-dan-adaptasi.html
1 note · View note
afifi-marzuki · 4 years
Photo
Tumblr media
Bersamamu, Nahwu ⁣⁣⁣ (part 1) ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ “Fif, coba baca ini...” begitu beliau menyodorkan sebuah kitab berkhot tsuluts. Dahi ini mengernyit, bingung ku dibuatnya. Padahal ternyata itu hanya sebuah judul kitab, kitab dasar pula. Malu pastinya, padahal waktu itu sudah naik ke tingkat 3 (kelas 2 SMP) di pondok @albinaa.ibs. Mungkin bahasa muka beliau bisa diterjemahkan seperti ini, “Lho! Kamu sudah dua tahun di pesantren, kok gak bisa baca ini?”.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Ternyata, beliau ambil lagi kitab itu, “Kalau begitu, baca yang ini deh,” sambil membuka beberapa halaman kitab itu. Lidah ku terbata-bata mengeja harokat dari huruf akhir. Beliau tersenyum.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ “Boleh lah kamu ikut lomba atau olimpiade ini itu, tapi harus seimbang, justru ini yang paling penting, anak pesantren ya baca kitab.” ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Rahimahullah rahmatan wasi’ah, beliau yang ku panggil uak (bahasa sunda, panggilan untuk ayah atau ibu), yang jadi salah satu motivator penyemangat sampai hari ini, tepatnya jadi titik balik. Beliau, Dr. Umay M. Dja’far Shiddieq, semoga Allah memberi rahmat dan ampunan kepada beliau dan kita semua, serta menerima segala amal kebaikan beliau. Rahimahullah rahmatan wasi’ah.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Ceritanya bersambung...⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Nah, Libur Shoifiyyah (libur musim panas) kali ini, kita mau murojaah kitab al Muyassar fii ‘ilmin Nahwu, karyanya Kiai Aceng Zakaria hafizhahullah ta’ala. Yuk murojaah bareng, karena masih social distancing, kita ketemu di dunia maya ya. Gabung di link ini ya (bit.ly/ms1441-nahwu) atau klik lewat bio ya.⁣⁣⁣ ⁣⁣ 📷 @lynnuham⁣⁣ (di Medina, Saudi Arabia) https://www.instagram.com/p/CBaB6BKFCw_/?igshid=1hgop9q2rs2t0
0 notes