Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Pada kenyataannya, lagakmu selalu menjadi bumbu rindu yang tak mampu ku tolak
Unknown
0 notes
Text
Terkadang dalam proses mencintai, kau bahagia melihat ia telah menemukan pria idamanya .
Unknown
0 notes
Text
Menulis akanmu hanya semakin membuatku rindu. Aku berhenti sebab rindu yang belum bisa menepi.
adhimm
0 notes
Text
Aku pernah merasa begitu butuh, sampai akhirnya kau yang menyadarkan ku, bahwa mencintaimu hanya membuatku semakin rapuhh.
Unknown
0 notes
Text
Misi Petaka - 2
2 regu penyelamatan telah diterjunkan di 2 titik berbeda dipulau tempat pesawat itu jatuh. Regu pimpinan Arjun berjumlah 10 orang. Arjun terlihat memberi pengarahan kepada anggota timnya.
“Pulau ini sama sama belum pernah kita jelajahi. Kita harus fokus dan konsentrasi melihat kondisi sekitar yang mengindikasikan tanda-tanda pesawat itu jatuh. Hutan ini tidak biasa. Lihatlah disekeliling kalian. Pohon-pohon menjulang sangat tinggi dan besar-besar. Daun dan rantingnya menutupi hampir 90% cahaya matahari. Jika malam tiba pasti hutan ini akan sangat dingin.”
Arjun menatap kearah anggotanya dengan mantap. Mereka mendengarkan dengan khidmat penjelasan Arjun. Sekilas yang nampak diwajah Arjun hanyalah ketenangan dan keberanian seorang petualang. Namun disisi lain Raka sempat melihat ekspresi lain dari wajah itu. Raka sangat tahu bagaimana arjun. Raka sedikit terkejut melihat ekspresi arjun yang berbeda. Kengerian nampak di wajahnya. Rakapun merasakan hal yang sama dengan arjun. Kali ini berbeda.
Briefing selesai. Arjun memerintahkan anggotanya untuk mendirikan tenda gantung dibeberapa pohon yang dapat dijangkau. Arjun mempunyai firasat tidak baik kali ini. Hutan di pulau ini seakan memiliki aroma mistis yang kuat. Suasana gelap, tanah yang begitu lembab, suara hewan-hewan liar semakin membuat suasana mistis terasa lebih lengkap.
….
Arjun mulai memimpin penyelamatan itu. Raka tidak ketinggalan berjalan tepat dibelakangnya. Peralatan-peralatan ala petualang menempel di punggung masing-masing. Mereka berjalan menyusuri semak-semak liar berduri. Tidak jarang mereka harus membuka jalan dengan memotong beberapa tanaman yang menghalangi jalan. Terkadang mereka berhenti untuk melihat tanda-tanda jatuhnya pesawat seperti ranting pohon yang patah. Benda benda yang jatuh dari dalam pesawat. Bekas daun yang tersambar api ketika pesawat mulai menukik jatuh. Semua tanda-tanda mereka perhatikan secara detail. tidak ada kata lengah dan bersantai-santai. Mereka harus segera menemukan korban sebelum menjadi mangsa hewan-hewan buas yang menjadi penghuni pulau ini.
Pencarian hari pertama tidak menghasilkan apapun. Mereka berkoordinasi lagi. Memulai pencarian hari kedua. strategi baru disusun lagi ala Arjun dan Raka. Menerjang semak belukar. Menyeberang sungai. Memanjat tebing-tebing curam. Membabat tanaman liar. Mereka tidak mengenal lelah. Tubuh mereka telah dipaksa oleh adrenalin yang semakin terpacu kencang. Apalagi ditambah latihan-latihan mereka yang berat.
Hingga malam pun tiba. Mereka memilih untuk sejenak beristirahat. Arjun memerintahkan anggotanya untuk jaga malam bergiliran. Raka terlihat masih sibuk menambah kayu bakar perapian agar binatang buas tidak mendekat.
Raka masih disibukkan dengan pikirannya ketika menjelajah hari pertama. Saat perjalan menerabas semak belukar mata raka tertuju pada sebuah celah pohon yang amat besar di sisi jalan tempat ia berjalan. Feeling Raka mengatakan ada sesuatu didalam sana. Namun jarak terlalu jauh untuk dilihat dengan mata telanjang. Raka berinisiatif mengeluarkan binocularnya. Dia berhenti sejenak lalu mengarahkan binocularnya ke arah celah pohon itu. Dia menzoom lensar binocularnya. Masih sedikit buram, dia mencoba lagi hingga akhirnya dia melihat sesuatu yang tersusun rapi didalamnya. Sekilas ia melihat sebuah benda berbentuk seperti kepala. Dia memutar lagi binocularnya dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia melihat beberapa tengkorak kepala manusia tersusun rapi didalam celah pohon itu. Bentuk susunannya seperti piramid. Ia lantas mengambil kamera lalu mengabadikan apa yang baru saja ia lihat.
“Jef, kau jaga perapian ini. Aku ingin menemui Arjun sebentar.” Pinta Raka kepada salah seorang anggota Arjun.
“Baik.” Jawab orang itu singkat.
Raka berjalan menuju tenda gantung tempat Arjun beristirahat. Ia menaiki tangga yang terbuat dari tali untuk sampai ke tenda Arjun.
“Jun, apa kau diatas?.” Tanya Raka
“Ya, Rak. Ada apa ?” Jawab arjun.
“Aku ingin memberitahumu ……….. “
Blaaarrrr …..
Tiba-tiba suara dentuman hebat mengagetkan mereka berdua. Mereka mencari sumber suara itu. Asap hitam tebal membumbung keatas. Arjun segera mengeluarkan binocularnya untuk melihat asap itu lebih dekat. Jarak yang lumayan jauh dari tempat arjun dan timnya berkemah.
Arjun melompat turun.
“Hei, apa kalian mendengar dentuman ?”Tanya arjuna kepada seluruh anggotanya.
“Ya bos, kami mendengarnya.” Jawab mereka serempak.
“Ada asap hitam tebal membumbung keatas, apakah ada kemungkinan ini ledakan dari pesawat ?” Tanya arjun meminta pendapat anggotanya
“Menurutku tidak bos, jika memang ada ledakan dari pesawat harusnya itu sudah terjadi sejak menghantam tanah.” Jawab salah seorang anggota.
Arjun menatap Raka meminta sebuah saran. Raka mengangguk seakan akan paham bahwa tatapan itu meminta persetujuan untuk melanjutkan pencarian malam ini juga.
Arjun segera memerintahkan anggotanya untuk bersiap-siap dan menuju ke arah sumber suara. Mereka kembali berjalan dikegelapan malam. Lolongan serigala dan anjing hutan menghiasa langkah-langkah berani mereka. Mereka semakin dekat dengan sumber asap yang membumbung ke langit. Akhirnya mereka melihat sebuah onggokan pesawat terbelah menjadi dua di dekat sumber asap. Sepi. Arjun dan Raka melihat dari jauh tempat itu sepi. Arjun mengisyaratkan kepada anggotanya untuk berhenti. Mereka berjongkok layaknya militer saat ingin menyerbu sebuah tempat.
“Rak, sepertinya ada yang tidak beres. Aku tidak ingin mengambil resiko untuk mendekat lebih dari ini. Kau punya solusi?” tanya arjun
Raka berpikir sejenak. Jika ditempat itu ada sesuatu yang lain pasti ia akan reflek ketika ada seseorang yang datang.
“Jun, tunggu sebentar. Lihat 1 meter didepanmu. Bukankah itu jebakan ?” Mata Raka masih menelisik area 1 meter didepannya.
Arjun mendekat pelan-pelan. Diambilnya satu ranting kering lalu dia sentuh salah satu ujung jebakan itu dan benar puluhan kayu yang ujungnya dibuat runcing mendadak melesat dari bawah tanah dan ujungnya mengarah ke atas. Jebakan yang siap untuk membuat korbannya menderita.
Dari balik pohon-pohon disekitar pesawat jatuh muncul beberapa lampu senter menerangi wajah Arjun dan anggotanya. Satu persatu lampu senter itu menampakkan si empunya. Beberapa orang dewasa dengan muka takut dan waspada keluar dari balik pohon-pohon besar. Pakaian mereka terlihat compang camping. Ada beberapa wanita yang mengintip dari balik pepohonan itu. Ditangan mereka terdapat beberapa balok kayu yang ujungnya dibuat runcing dan yang lain terlihat memegang parang yang terangkat keatas.
“Siapa kalian !” Teriak salah satu dari mereka.
Arjun dan Raka masih kesulitan untuk melihat siapa mereka. Lampu senter masih terus menyorot kedua wajah mereka. Arjun memberikan isyarat kepada Raka untuk mengangkat tangan.
“Raka, angkat tanganmu. Aku yakin mereka adalah orang-orang yang ada dipesawat. Lihat baju mereka. Tidak mungkin orang pergi ke hutan dengan setelan jas seperti yang ada di ujung sana.” Arjun terkekeh pelan. Raka mengangkat tangan. Diikuti oleh semua anggota arjun.
“Pak, tenanglah. Kami dari SAR PUSAT yang dikirim untuk misi pencarian dan penyelamatan insiden kecelakaan pesawat. Kami disini untuk membantu. Bukan untuk menyakiti kalian.”
“Mana bukti jika kalian regu penyelamat ?” Seorang pria paruh baya menyahut dengan cukup lantang.
Arjun dan Raka saling berpandangan. Mereka mengangguk bersamaan. Beberapa detik kemudian mereka berdua melepaskan semua peralatan yang tergantung ditubuh mereka.
Arjun meraba sarung senjatanya. Ia mengangkatnya keatas. Menunjukkan kepada orang-orang kalap didepannya.
“Ini pistol sungguhan. Anggota kami adalah militer. Jika kalian semua bersikeras menyerang, saya rasa tidak akan berimbang antara balok kayu dan sebuah pistol.”
“Kami adalah utusan Komandan Brata. Gugus tugas 12. Detasemen Penanggulangan Kecelakaan Lalu Lintas Udara.” Imbuh Raka .
Tiba-tiba satu pria berumur 40 tahunan muncul dari balik sebuah puing pesawat. Perawakannya tegap. Menggunakan setelan seperti seorang pilot. Dia maju kedepan. Terlihat memberikan isyarat kepada orang-orang yang masih bersungut sungut untuk melempar parang dan tombaknya kearah kami.
“Komandan Brata ? Operasi Laut Hitam ?”
Pria itu mendekat kearah Arjun dan Raka. Lalu berbisik pelan
“Bersiap-siaplah, kita sedang menghadapi bencana sesungguhnya.”
….
“Semuanya ikut aba-abaku. Mereka manusia. Sepertinya mereka penghuni asli di pulau ini yang bermutasi gen menjadi kanibal. sepertinya mereka menganggap setiap yang berbeda dengan mereka adalah musuh.”
Semuanya saling berpandangan. Arjun masih memantau lembah yang terhampar beberapa meter di depannya. Rombongan manusia dengan iringan musik kematian itu masih berjalan dibawah sana. Tabuhan gendang kematian bertalu-talu. Mereka berjalan bagai lidah api. Obor-obor mengarah keatas. Mereka meneriakkan yel-yel kematian.
Mereka berjalan beriringan menuju bangkai pesawat. Sedangkan dibelakang arjun dan raka beringsut manusia-manusia normal yang ingin segera keluar dari bencana ini. Arjun mengalihkan pandangannya. Dia melihat anak-anak yang tak berdosa harus menghadapi suasana seperti ini. Anak-anak itu beringsut sembunyi ditubuh orang-orang dewasa yang bisa mereka jadikan tempat berlindung. Anak-anak tau apa selain rasa takut .
Raka melihat salah seorang dari rombongannya berjalan mengendap-endap maju. Raka mulai curiga. Salah langkah sedikit akan berakibat fatal. Raka berusaha mencegahnya. Namun tiba-tiba terjadi gerakan yang tidak diperhitungkan. Pria dewasa itu berlari menuju rombongan monster itu dan berteriak parau. Tangannya mengayunkan parang yang dibawanya. Namun naas sebuah panah api terlebih dahulu menembus jantungnya.
Semua rombongan monster itu melihat ke arah pria tadi berlari. Arjun dan rombongannya segera bertiarap diantara semak-semak. Cahaya bulan masih terlihat kesulitan untuk menembus rimbanya hutan ini. Seorang kepala suku dari rombongan monster itu terlihat berbicara dengan beberapa anggotanya. Lalu dalam beberapa detik sekitar 5 orang telah menyebar disudut yang berbeda. Mereka berusaha mencari Arjun dan Rombongannya untuk dijadikan santapan makan malam.
“Jun, arah jam 10. Sepertinya dia mengetahui posisi kita.” Raka memantau dari ujung binocular yang dilengkapi dengan penglihatan malam hari.
“Oh shit.” Arjun mengumpat. “Raka, kau dengan 5 anggota pergi duluan dengan rombongan. Aku dan yang lainnya akan menahan mereka.”
“Apa kau gila, aku tidak mau pergi. Aku akan tetap disini denganmu.” Bantah Raka.
“Ingat misi kita adalah misi penyelamatan. Nyawa korban pesawat itu lebih utama daripada nyawa penyelamat!” Arjun tak mau kalah.
Arjun sangat memahami bagaimana pentingnya nyawa korban. Tim penyelamat dituntut untuk melakukan tugas sebaik mungkin bahkan jika itu merenggut nyawa mereka sendiri. Arjun dan Raka tidak pernah menyangka jika misi yang harusnya berjalan baik-baik saja berubah menjadi malapetaka.
Raka terdiam. Ia sangat memahami karakter Arjun. Sahabat petualangnya selalu mengutamakan kepentingan orang lain di atas segala galanya. Raka percaya Arjun orang hebat. Dia tidak akan mati dihutan ini. Tidak. Raka belum siap jika harus menghadapi momen menyakitkan itu.
Raka memilih menuruti perintah Arjun. Raka dan rombongan mulai mengendap endap mundur. Wanita dan anak-anak diposisi paling depan. Lalu disusul laki-laki. Raka melihat kebelakang. Melihat sahabatnya yang sudah bersiap-siap. Pisaunya tergenggam erat ditangannya. Beberapa orang dari rombongan monster itu mulai mendekat. Obor terlihat berayun ayun tepat 2 meter didepan posisi Arjun dan 5 orang anggotanya. Raka percaya kepada Arjun. Raka memilih untuk tetap memandu rombongan untuk menuju titik penjemputan. Raka yakin Arjun akan kembali dengan selamat.
“Maafkan aku, Arjun.”
….
Srettttt !
Jleppp !
2 dari rombongan monster itu terkapar didepan Arjun. Pisaunya cukup ampuh untuk menghadapi monster ini pikirnya. Namun semuanya belum selesai. Rombongan monster lain ikut mendekat dan mengetahui posisi Arjun. Anggota tim Arjun kalah dalam medan laga. Mereka sekarat. Nafas mereka tersengal-sengal. Kini Arjun sendiri. Sedangkan rombongan monster itu semakin banyak mendekat. Dikeluarkannya senjata andalannya dari sarungnya.
Dor ! dor ! dor !
5 orang dia kirim ke Neraka. Namun panah-panah api membidik tubuh Arjun. Sesekali dia tiarap. Bersembunyi dibalik pohon. Melompat. Namun panah-panah api itu semakin menjadi-menjadi. Teriakan-teriakan bak orang gila menggema dilembah. Arjun bergidik ngeri dengan teriakan itu.
Jleb …..
Arjun melihat kearah dada kanannya. 1 panah api berhasil mengenai sasarannya. Rombongan monster itu semakin berteriak-teriak menggila. Arjun merasakan ada darah segar merembes menuju bajunya. Arjun berfikir akan mati. Namun dia telah berjanji dengan Raka akan menemuinya lagi. Arjun berlari terhuyung-huyung ke manapun dia bisa menjauh dari rombongan monster itu. Matanya mulai berbinar-binar. Namun sesekali dia masih melesatkan tembakan ke arah rombongan monster itu.
Dor ! dor !
2 orang kembali terkapar. Arjun masih terus berlari. Badannya semakin lemah. Dia berkali kali jatuh. Arjun tidak memperdulikan langkahnya. Dia melepas semua peralatan yang menempel dipunggungnya. Dengan sisa-sisa tenaganya arjun berlari kencang menerabas semak belukar dan tanaman berduri. Bajunya sobek disana sini. Duri-duri tanaman itu mendapatkan mangsanya. Tubuh arjun bersimbah darah dari sayatan-sayatan terbuka di badannya.
Braakkk ….
Srokkkkkk ……
Arjun terjatuh. Terperosok masuk kedalam sesuatu. Matanya mulai berkunang-kunang parah. Sedikit cahaya bulan menembus wajahnya. Dia tersenyum . Lalu gelap.
-Tamat
0 notes
Text
Misi Petaka - 1
Langkah Arjun terhenti ketika mendengar suara genderang ditabuh bersahut-sahutan. Tangannya reflek memberikan isyarat berhenti kepada teman-temannya yang berada dibelakang. Suara genderang itu mengerikan. Seperti iringan musik kematian. Semakin mendekat dan semakin jelas terdengar ….
“Sial !” Arjun sedikit mengumpat.
Arjun melihat mata pisau fixation bowie sedikit cuil setelah bertarung dengan kawat gerigi milik paman Arya. Dia masih membolak-balikkan pisau itu dengan seksama. Meraba disetiap sisinya khawatir terdapat cuilan yang lain. Dia menghela nafas lega. Pisau pemberian paman Steven dari perusahaan SOG ini adalah barang yang sangat dia jaga. Arjun sangat suka model pisau ini. Tidak besar dan tidak terlalu kecil. Pas untuk kegiatan jelajah alam liar.
Dari sekian banyak kegiatan outdoor. Lintas rimba adalah kegiatan yang sangat Arjun tekuni. Materi tentang survival kit, navigasi, topografi, hingga prinsip-prinsip yang harus dimiliki oleh petualang telah melekat erat di sanubarinya.
Menyusuri sebuah hutan tanpa mengenal seluk beluk hutan tersebut merupakan tantangan yang sangat berbahaya. Butuh mental dan jam terbang yang tinggi untuk dapat pulang kembali dengan selamat. Bagaimanapun juga teori akan bertransformasi menjadi penerapan riil ketika telah terjun ke medan laga. Dan juga pengalaman dalam praktek lapangan berperan sangat penting untuk menunjang keselamatan.
Arjun menyadari sedari tadi masih membelai-belai pisau kesayangannya. Dia menyarungkan kembali pisau itu. Lantas beranjak menuju mobil jeep sebelum sebuah tangan berhasil menepuk bahunya.
“Arjun !”
Seseorang memanggilnya. Arjun menoleh. Speechless. Terpana. Antara percaya dan tidak percaya dengan siapa yang berdiri didepanku.
“Raka !? Raka Wibisana ?! Ini kau benar Raka ?!
Adalah Raka. Sahabat petualang Arjun dari semenjak SMA kelas 3. Dia adalah sosok yang sangat luar biasa. Cerdas. Petualang sejati. Arjun dan Raka berpisah ketika menginjak semester 3 kuliah. Raka memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri dan melanjutkan hobinya di sana. Entah sudah berapa hutan di dataran Eropa yang sudah dia taklukkan.
“Assalamualaikum, Arjun !” Salam Raka.
“Waalaikumussalam Raka, aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi sahabatku !” Mereka berdua berpelukan melepas kerinduan sebagai sahabat yang sudah tertahan bertahun-tahun. Raka sibuk dengan petualangannya, pun Arjun begitu.
“Wow, beda sekali kau sekarang, Raka ? Semakin kekar saja kau.”
“Haha, kuliahku disana banyak waktu luangnya ,Arjun. Ya aku sering pergi ke gymnastic dan seperti biasa melanjutkan petualangan-petualangan yang sempat terhenti. Lalu bagaimana denganmu ?” Tanya Raka.
“Seperti yang kau lihat.” Arjun mengisyaratkan tangan ke baju yang sedang dikenakannya. “ Aku menjadi instruktur mahasiswa pecinta alam di beberapa universitas disini. Selain itu aku mengisi waktu kosong dengan mendaki gunung, memanjat tebing, dan apapun kegiatan yang berhubungan dengan alam.” Balas Arjun.
“Eh ayo masuk dulu, kita minum kopi sambil ngobrol-ngobrol didalam lebih enak.”
Mereka berdua asyik membicarakan pengalaman masing-masing. Tampak disudut ruangan itu seekor burung elang bertengger gagah diatas sebatang kayu tanpa rantai yang mengikat kedua kaki burung itu.
Raka bercerita tentang pengalaman dia menjelah hutan Aokigahara di Jepang yang terkenal dengan banyaknya kasus bunuh diri disana. Bercerita tentang Black Forest di Jerman. Dan hutan-hutan lain yang membuat Arjun tampak terpesona dan ingin mengikuti jejak sahabatnya itu.
Arjun masih mendengarkan sahabatnya bercerita. Tiba-tiba hp Arjun berbunyi. Terlihat nomor yang tidak asing.
Panggilan Masuk
“SAR PUSAT”
Arjun segera menjawab panggilan itu. Terdengar suara serak diseberang sana.
“Arjun ! “ Sontak suara itu sedikit mengagetkan Arjun.
“Siap, Pak ! ada apa ?” Tanya Arjun.
“Ada kecelakaan lalu lintas udara.Sebuah pesawat dilaporkan mengalami kerusakan mesin dan jatuh dipulau yang kita sendiri belum pernah menjamah pulau itu. Presiden memerintahkan kami untuk segera menuju lokasi jatuhnya pesawat agar bisa segera mengevakuasi korban yang ada. Malam ini segera menuju markas pusat dan kami akan memberikanmu nama-nama yang nanti akan bekerja dibawah komandomu. Jelas ?!”
“Siap, Jelas, Pak !” Jawab Arjun mantap.
Tidak ada tedeng aling-aling bagi arjun dalam masalah seperti ini. Seperti biasa dia selalu semangat jika mendapatkan sebuah panggilan tugas.
Arjun segera meraih remot tv. Menyalakannya dengan terburu-buru. Terpampang diheadline berita kecelakaan pesawat boeng 737. Diberita disebutkan pesawat mengalamai mall fungsi dan terbakar diudara sesaat sebelum menghantam pulau ditengah laut lepas.
“Oh shit!” Jawab Arjun dan Raka serempak.
“Raka ! setelah sekian lama aku tidak meminta bantuanmu, maka kali ini aku akan meminta bantuanmu.”
Raka menatap Arjun. Mencoba menerka apa yang akan dikatakan Arjun kepadanya.
“Kau ikut aku dalam misi penyelamatan pesawat ini” Tegas Arjun tanpa basa-basi.
Raka tersenyum. Ini yang dia tunggu setelah lama berpisah. Kembali berjuang bersama dalam misi penyelamatan berselimut petualangan. Raka mengangguk. Arjun tersenyum.
“Aku akan tunjukkan kau sesuatu.” Kata Arjun
Arjun berjalan menuju sebuah lemari buku besar. Dia melambaikan tangan dua kali didepan lemari itu. Terdengar suara decitan kecil. Lemari itu terangkat dan bergeser teratur. Raka hanya bisa menatap takjub dengan apa yang dia lihat.
Lemari terbuka. Sebuah pintu baja mengkilat kokoh berdiri dibelakang sana. Lagi lagi Arjun mendekatkan matanya kesebuah sensor pendeteksi retina. Pintu baja bergeser cepat. Arjun melambai ke arah Raka. Mempersilahkan masuk.
Arjun menuju lemari besi diujung ruangan. Arjun membukanya. Lagi-lagi lemari besi itu dilengkapi dengan sistem keamanan canggih. Pintu lemari berdecit sedikit membuka perlahan. Arjun menyalakan lampu kecil didalam lemari itu dan terlihat banyak peralatan petualang lengkap berharga mahal terpajang rapi didalam lemari itu. Raka belum berhenti dari rasa takjubnya. Matanya masih berlari kemana-kemana menjelajah seluruh isi lemari itu.
“Ayo Raka bantu aku mengeluarkan semua barang-barang yang kita perlukan.” Pinta Arjun
“Sebentar. Bukankah SAR PUSAT sudah menyediakan semua alat-alat yang digunakan untuk penyelamatan nanti arjun ?” Raka penasaran, kenapa Arjun harus repot-repot membawa peralatan sendiri jika SAR sudah menyediakan.
“Memang begitu, tapi komandan tahu. Aku meragukan alat-alat yang disediakan SAR. Aku lebih nyaman menggunakan alat-alatku sendiri. Kami sudah berteman sejak lama.” Arjun tersenyum kepada Raka sambil membelai tas ransel kesayangannya.
“Alasan yang tepat, dengan alat pribadi maka seseorang bisa memperkirakan resiko keamanan penggunaan alatnya sendiri dan tentu prioritas kenyamanan juga penting. Tapi aku tidak bekerja di SAR, bukankah nanti bermasalah ? ” Tanya Raka
“Calm down, Raka. Komandan mempercayakan misi ini kepadaku, dia membiarkanku membawa siapapun sebagai teman dalam misi penyelamatan ini. Kau kira aku bekerja di SAR ? ” Jawab Arjun santai sambil melirik kearah Raka.
“Baiklah kalau begitu mari kita bereskan.” Sahut Raka tak kalah semangat.
Mereka berdua segera menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Gerakan mereka lincah dan gesit pertanda bahwa mereka sudah terbiasa dan berpengalaman dalam hal itu. Karmantel, pisau komando, pelampung, parasut, dan alat-alat lain sudah tertata rapi.
Arjun berjalan sedikit menuju ujung ruangan. Dia mengangkat tangannya ke arah kaca yang menempel di ujung ruangan itu. Sementara di sisi lain Raka memandang Arjun dengan tatapan heran. Pikirannya mencoba menerka-nerka apa yang akan dilakukan Arjun. Raka mengambil kursi kecil didekatnya lalu duduk dengan pandangan tetap tertuju kearah arjun. Arjun mulai menempelkan telapak tangannya di kaca dan tiba-tiba muncul cahaya hijau seperti memindai tangan Arjun.
Izin masuk diterima…
Membuka pintu rahasia …
Gubraaakkk …
Ben terjatuh dari kursinya karena terkejut bercampur penasaran dengan kecanggihan ruangan ini. Arjun menoleh kearah Raka dan sedikit meledeknya.
“Duduk saja tidak bisa bagaimana mau menyelamatkan orang ?” Ejek Arjun sambil tertawa kecil. “Kemarilah, aku tunjukkan kau sesuatu. kata Arjun dengan wajah meledek.
Raka menganggukkan kepala tanda oke. Mereka berdua memasuki ruangan seperti lift. Pintu ruangan itu menutup secara otomatis. Arjun bergumam “Grey Room”. Suara seperti robot kembali menyahut “Grey Room Opened” . Perlahan-lahan lift mulai berjalan dan semakin cepat. Raka masih terpana dan tidak bisa berkata-berkata selain takjub dengan apa yang dia lihat.
Lift berhenti. Pintu membuka perlahan-perlahan. Terlihat berbagai jenis senjata api tertata rapi di almari penyimpanan yang terletak disepanjang lorong ruangan itu. Gudang senjata. Ya . Arjun membangun fasilitas canggih ini semua semata-mata untuk menunjang pekerjaan dan hobinya. Arjun juga sangat menyukai dunia intelijen, terlebih fasilitas-fasilitas yang dimiliki berbagai macam biro intelijen di dunia.
“Nanti kau boleh memilih dari sekian banyak senjata ini mana yang kau suka, Rak. Tenang” Tutur Arjun
“Serius, Jun ?” Tanya Raka seakan tidak percaya.
“Aku serius, kawan” Jawab Arjun sembari tersenyum.
“Ayo kesini aku akan mengambil senjata kesukaanku.”
Arjun membuka kotak kaca di tengah ruangan. Klik terdengar suara kunci terbuka. Arjun mengambil pistol kesayangannya. Desert Eagle. Kaliber 50 mm. Ia mengangkatnya dengan gesit. Memutar-mutarnya sebentar. Cekrekkkkk … dengan gerakan tiba-tiba senjata itu sudah mengarah ke pelipis Raka. Raka terkejut bukan main. Ia mundur satu langkah. Arjun pun tertawa meledek temannya.
“Jangan bergerak tiba-tiba jika tidak ingin membuat penembakmu panik”.
“Sial, kau selalu tidak berubah. Kau kira lucu dengan menodongkan senjata seperti itu ke kepalaku.” Raka sedikit kesal dengan apa yang telah dilakukan Arjun.
“Sekali lagi kau seperti itu, RPG yang akan berada dikepalamu, Jun.” Balas Raka mantap.
Tawa mereka berduapun menggema diruangan kedap suara itu.
0 notes
Text
Di Bengkel itu Kenangan Ada
“bagaimana mungkin kau bisa meyakinkan diriku sementara kau sendiri tidak cukup yakin untuk tetap denganku.”
Kalimat yang membuatku kepalaku menunduk lemah. Kau katakan itu saat pertemuan terakhir kita di bianglala pasar malam. aku tidak pernah menduga bahwa malam itu adalah dimensi terakhir aku menikmati manis senyummu. Bagaimana tidak, setelah sekian lama kita bersama. Tidak terhitung lagi berapa dan bagaimana kita menghabiskan waktu yang selalu bersama. Kau sentakkan lamunan bahagiaku. Menghantam besi-besi bianglala yang masih berputar seolah tidak peduli dengan hatiku yang remuk redam sebab kau memilih mengakhiri.
Bianglala itu seakan lebih lama berputar. Aku tidak sabar dan ingin melompat saja rasanya dari atas ini. Ya, kau sangat suka bianglala. Hampir setiap kali ada pasar malam alih-alih kau berkumpul dengan teman-teman sosialitamu kau malah lebih memilih memaksaku untuk menemanimu menaiki bianglala. Benar, kau selalu takut menaikinnya sendirian. Aku masih ingat ketika kau merengek seperti bayi ketika aku sedang sibuk-sibuknya menulis draft novelku. Jika sudah seperti itu kau akan mengeluarkan jurus bujuk rayumu yang anehnya sampai saat ini aku tidak bisa menolaknya. Bagaimana aku akan menolak, kau selalu membujukku dengan raut muka sok memelas yang malah membuatku gemas. Dan pada akhirnya selalu kuiyakan ajakanmu itu.
“Setelah bianglala ini selesai berputar, pergilah, Jo. Pergilah sejauh yang kau bisa tanpa menoleh kebelakang lagi.” Aku memandangmu. Namun yang tampak malah seperti kuntilanak. Rambutmu yang panjang menutupi seluruh wajahmu. Punggungmu sedikit berguncang saat kau mengatakan kalimat itu. Oh maafkan aku, Nadia. Jangan menangis, Nadia. Kumohon.
“Ini tidak seperti yang kau ….”
“Sudahlah, Jo ! hentikan omongkosongmu.” Ucap Nadia dengan rautmukanya yang telah basah airmata.
Kau memandangku lekat-lekat. Kau mencoba mencari kebenaran dalam mataku. Airmatamu masih sesekali menetes. Aku tidak mampu berbuat apa-apa.
Bianglala akhirnya berhenti. Operatornya memandangi aku dan Nadia dengan tatapan menuduh. Pasti dia pikir kami berdua sedang bertengkar. Tapi memang begitulah adanya.
“Nad, izinkan aku mengantarmu pulang.” Pintaku pelan kepada Nadia yang anehnya dia masih menurut saja.
Aku dan Nadia berjalan dengan jarak yang cukup membentang. Tidak ada lagi kata dekat diantara kami. Hingga aku membuka pintu mobilku dan Nadia masuk dengan buru-buru.
“Jo, aku mencintaimu.” Tiba-tiba Nadia membuyarkan fokusku. Aku memandanginya sesekali. Aku hanya tersenyum sedikit, kembali fokus ke jalanan ramai kota Solo ini.
“Namun orangtuamu tidak pernah mencintaiku seperti kau mencintaiku, Nadia.” Aku sedikit terkekeh. Mengusap wajahku yang sangat memelas waktu itu.
Namaku Jo, sudah barang tentu orang-orang memanggilku, Jo. Aku hanya seorang tukang bengkel dengan mobil butut yang kurawat setiap hari sehingga nampak seperti alphard bagiku. Mobil warisan ayahku yang telah meninggal ini telah menjadi legenda. Kadang digunakan untuk mengangkat jenazah, sembako, bantuan kemanusiaan dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu mobil tua bermerek impala ini sering batuk-batuk. Orang-orang memutuskan untuk meninggalkannya dan menggunakan mobil baru yang lebih layak pakai. Akhirnya mobil ini paten hanya aku yang menggunakannya. Tidak ada yang berubah dari segi penampilan. Hanya saja aku menyayangi mobil ini seperti aku menyayangi diriku sendiri. Ya aku tahu ini bukan mobil mewah. Tapi ini lebih dari cukup untuk melindungi dari terik panas dan guyuran hujan.
Saat itu aku dibengkel. Rutinitas setiap hariku memperbaiki apa yang perlu diperbaiki dari mobil-mobil para orang kaya biasa hingga para elit. Ini bukan bengkelku, melainkan bengkel temanku yang telah sukses membuka banyak cabang bengkel ditempat lain. Oh ya kalian lebih tepat menyebutku montir. Hidupku biasa saja. Tinggal dirumah kontrakan kecil seadanya membuatku cukup untuk lebih dari sekedar bertahan hidup.
Hingga suatu ketika sebuah mobil sedan mer-c merapat di depan bengkel tempatku mengais rejeki. Lampu seinnya berkedip-kedip. Terlihat bberapa pria dewasa mendorong mobil itu dari belakang. Lalu beberapa detik kemudian muncul seorang wanita muda berparas ayu dari balik pintu kemudinya. Dia melambai ke arah orang-orang tadi, sepertinya mengucapkan terimakasih. Oh mobilnya mogok, analisaku. Dia mulai berjalan kearahku yang kebetulan sedang mengisi bahan bakar kompresor.
“Mas.” Panggil wanita itu. Aku pura-pura sedikit kaget agar tidak terlalu ketahuan jika dari tadi aku sudah tau kehadirannya.
“Ya, mbak. Ada yang bisa dibantu?” sambilku mengelap tanganku yang belepotan oli.
“Mobil saya nggak bisa jalan mas, kalau dimasukkan persenelnya gak ngangkat. bisa tolong di cek kenapa ya.” Ujarnya lembut.
Aku segera mengeceknya. Parah pikirku, mobil sebagus ini kanvas koplingnya sudah rusak.
“Sudah mbak.” Wanita itu sedikit terkejut melihatku secepat itu mengecek mobilnya. Padahal sebenarnya ini masalah umum yang sering aku temui juga di beberapa pelanggan. Mungkin wanita itu belum pernah mengalaminya.
“Mobil mbak ini kanvas koplingnya sudah aus. Perlu diganti. Tapi nggak bisa diperbaiki sekarang soalnya stok sparepart buat mobil ini lagi kosong.”
“Yaah, nggak bisa sekarang ya mas? Soalnya besok mau saya pakai. Gimana dong.” Wajahnya memelas. Terlihat lucu menurutku.
“Tempat suku cadangya di jogja soalnya mbak. Bisa sih diambil sekarang tapi nunggu bengkel tutup habis ashar nanti. Dan kalau mbak mau nunggu.”
“Ya gapapa mas, sekalian nanti saya ikut boleh ?” ujarnya tiba-tiba.
Baru kali ini aku pergi mengambil suku cadang ditemani wanita cantik. Semakin membuatku pede berjalan dengan mobil bututku ini. Wanita yang kuketahui namanya Nadia itu sama sekali tidak merasa risih dengan mobil yang interiornya sangat jadul ini. Malah kadang dia memujinya. Dan setiap kali dia memuji aku hanya bisa tersenyum. Selama perjalanan aku dan Nadia banyak mengobrol. Dan akhirnya kami pun dekat.
Waktu demi waktu aku lalui bersamanya. Terkadang dia rela menemaniku berjam-jam dibengkel hanya untuk mengoleskan oli diwajahku. Jika sudah dia akan tertawa senang sambil menyubit pipiku berkali-kali. Terkadang juga aku dan Nadia malah justru bermain oli bekas saat pelanggan sedang tidak ada. Hidupku tidak pernah sebahagia ini sebelum Nadia datang. Dia memberikan warna baru yang aku butuhkan. Namun terkadang aku tersiksa dengan kesedihan yang kadangkala selalu datang. Aku dan nadia berbeda. Aku hanya seorang montir dan nadia anak konglomerat. Bagai langit dan bumi. Akan ada suatu saat nanti aku akan terjatuh dengan pilihanku ini.
Seperti malam itu, Nadia mencoba mengenalkanku kepada orangtuanya. Aku berkali-kali menolak sebab aku merasa tidak pantas untuk mendampingi wanita seperti Nadia ini. Namun Nadia tidak pernah jera membujukku. Dia bilang akan baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Akhirnya aku luluh juga. Aku persiapkan malam itu dengan pakaian terbaik yang ku beli bersama Nadia. Nadia berkali-kali memujiku bak romeo. Tampan kata nadia. Tapi percayalah, aku tidak setampan apa yang Nadia bilang.
Aku berhenti didepan gerbang rumah Nadia. Rumah yang sangat besar. Satpam rumahnya memintaku untuk meletakkan mobilku diluar pagar saja . lagi lagi mobil butut. Aku mengiyakan satpam itu. Aku berjalan kearah pintu depan rumah Nadia. Memencet bel perlahan. Pintu terbuka dan Nadia menyambutku dengan senyumannya yang amat sangat manis. Setidaknya menambah keberanianku. Aku masih berpegang pada perkataan nadia bahwa semua akan baik-baik saja. Kusingkirkan grogi dan segala rasa yang tidak enak lainnya. Toh kata Nadia aku tampan. Setidaknya ini modal awalku untuk percaya diri.
Nadia mempersilahkan aku untuk duduk diruang tamu. Ada orangtua dan 1 abangnya menunggu disana. aku berjalan perlahan menuju kursi. Kududukkan diriku pelan-pelan. Tatapan mata orangtua dan abangnya terpusat padaku. Mereka memulai pembicaraan pada intinya.
“Adek ini kerja apa kalau boleh kami tahu?” aku menatap nadia. Berusaha mencari keyakinan disana jika pekerjaanku sebagai montir ini cukup untuk mengambil hati orangtuanya. Nadia mengangguk.
“Mmmm pekerjaan saya montir di bengkel mobil, pak.” Terlihat orangtua Nadia salingpandang. Aku menundukkan kepala. Aku sudah bisa merasakan tanda-tanda tidak beres malam ini.
“Nadia , ikut kami sebentar.” Orangtua Nadia mengajak Nadia untuk keruangan lain. Aku tidak bisa mendengar suara mereka, namun aku bisa menangkap pergerakan mereka yang mengindikasikan ketidaksukaan mereka terhadap pekerjaanku. Nadia keluar membanting pintu.
…….
“Aku mencintaimu, Jo.” Ujar Nadia sembari terisak.
“Tapi tidak untuk orangtuamu kan, Nadia ? aku tidak mau membuatmu menjadi anak yang durhaka kepada orangtuanya. Aku akan menyudahi ini, Nadia. Kau tau kutipan bahwa cinta tidak harus memiliki ? itu kadang ada benarnya. Aku mencintaimu, namun untuk memilikimu rasanya bukan hakku. Aku hanya berhak mencintai bukan memiliki.” Jelasku ke Nadia.
Malam itu aku mengantar Nadia pulang. Abangnya sudah menunggu digerbang rumahnya. Dia menatapku dengan tatapan kasihan.
“Bang, saya pamit. Salamkan kepada bapak ibu. Sampaikan ke Nadia nanti bahwa cinta adalah proses, dia akan menemukan cinta barunya, cepat atau lambat ini hanya masalah waktu, siapapun pendampingnya nanti, saya selalu berdoa untuk kebaikan Nadia dan keluarga. Saya pergi, bang.”
-selesai
0 notes