Text
some people hurt you, some people don't care about you. some people treat you like nothing. you began questioning things, why life is unfair. and you started asking yourself if life is still worth fighting for. you don't know the things that make you happy anymore.
maybe all you need is someone you can rely on, someone to trust, someone who can listen to your thoughts or just be with someone you really want. but you don't always get what you want and get disappointed.
you keep asking all over again, why do you keep wanting people who don't want you back? you keep asking yourself "am i worthless?" you sink deeply into depression that you don't even know the value of your own life.
you hated this life that much that you wanted it to end. but what you didn't know is that you have your own value, your own purpose. that there are people who actually love and care for you. that there are things in life that can make you happy. so before you give up, i want you to know that you are not alone.
please don't give up on life. you are way more valuable than you know.
you are precious. you are worthy.
0 notes
Text
My Stories.
Untitled Story.
Part I: Love It If We Made It.
Part II: Tonight.
0 notes
Text
Untitled Story.
Part II: Tonight.
Packing bukan suatu hal yang menyenangkan bagi Rey, namun Disa–wanita yang hobi berpergian itu menjadikan packing sebagai stress relievernya.
“Udah kelar belum, Dis?” Tanya Rey, sambil memaksakan resleting tasnya.
“Sabar, harus rapih.” Jawab Disa sambil masih berkutat dengan baju-bajunya.
“..Re, astaga, bukan gitu lho packingnya.” Sambung Disa setelah melihat bertapa kacaunya hasil packing Rey.
“Nanti sampe rumah juga dibongkar lagi, kan?” Jawab Rey.
“Bukan gitu! Berantakan banget. Sini gue packing ulang.” Ucap Disa sambil mengambil alih tas yang sedaritadi Rey pegang.
Kembali menunggu, pasalnya Rey bukanlah orang yang hobi berpergian. Weekend milik Rey dihabiskan di kamarnya, mendengarkan musik, bermain game, bermalas-malasan, sesekali bergabung dengan anak kost yang lain untuk ngopi atau bermain kartu.
Sedangkan Disa–kegiatan travelling, menjelajahi tempat-tempat baru, serta bertemu dengan orang yang baru, adalah hal yang sangat ia senangi.
Begitulah gambaran Introvert vs. Extrovert ala Rey dan Disa.
Rey berjalan menuju ke arah balkon, membakar rokoknya.
Sesekali Disa melirik ke arah Rey yang sibuk berkutat dengan rokok dan gawainya, sambil melipat kembali baju-baju milik Rey.
Sungguh, Disa tidak sama sekali menyukai pria perokok, namun kenapa rasanya sangat berbeda saat Rey yang melakukannya. Aneh, pikirnya.
“Pagi, rokok. Siang, rokok. Sore, rokok. Malem, rokok.” dumel Disa.
“Kan pake duit gue?” Ucap Rey sedikit sinis.
Disa berdecak kesal.
“Kesehatan lo itu penting. Lo tuh udah hobi ngerokok, ngopi, begadang, kerja terus. Belum lagi minum, atau ngisep ganja.” Omel Disa.
“Ngobat juga kan lo?” Tanya Disa lagi.
“Udah enggak.” Jawab Rey ketus.
“Dulu, iya.” Sambung Disa lagi.
“Abis gue bingung mau ngapain lagi, Dis. Bosen. Hidup gue ya cuma buat kerja, sisanya ya cuma biar gue seneng aja.” Jawab Rey lagi santai.
“Kesenangan bisa dicari dengan hal lain, kan? Gak harus ngerusak badan lo dan kesehatan lo.” Ucap Disa lagi.
“Tapi, gue sehat kan?” Tanya Rey dengan cengiran yang sedikit menyebalkan.
“Terserah deh, susah ngebilangin lo.” Ucap Disa ketus.
“Said someone who’s addicted to sex, that’s kinda hypocrite.” Balas Rey terkekeh sambil mengepulkan asap rokoknya.
Tidak bisa membantah, Disa hanya memasang wajah kesal sambil merengut.
“Lo kenapa gak open BO sih, Dis?” tanya Rey.
Seketika sebuah sendal jepit melayang ke arah kepala Rey, membuatnya sedikit memekik.
“Emangnya gue lonte?” Tanya Disa sedikit marah.
Rey hanya terdiam sambil mengelus kepalanya.
“Gue kayak gitu baru sama 2 orang. Gue gak bisa having sex sama yang gak bikin gue nyaman.” Jawab Disa.
“Siapa?” Tanya Rey.
Sebuah pertanyaan yang tidak penting karena Rey sendiri pun sudah tau jawabannya.
“Ardan, sama lo. Emangnya lo, fuckboy.” Jawab Disa sambil menaruh baju baju Rey ke dalam tasnya dengan sedikit kesal.
Rey terkekeh.
“Gue bukan fuckboy, gue having sex sama pacar doang. Baru lo doang yang bukan pacar tapi udah begini begitu.”
Keheningan membalut ruangan di antara keduanya.
“Enakan gue apa Ardan?” tiba-tiba pertanyaan usil meluncur dari bibir Rey, membuat Disa sedikit kaget.
Disa tidak menjawab, tangannya berkutat dengan resleting tas Rey yang sulit untuk digerakkan.
Sebenarnya Rey tau persis bahwa ia lebih ‘oke’ dibanding Ardan, ia bertanya hanya sekedar untuk ego boosting saja.
“Harus banget gue ngegedein ego lo mulu?” Ucap Disa.
“Lo kan fuckboy, lebih banyak pengalamannya dibanding Ardan yang...”
“Kalo lo nganggap gue sebagai fuckboy, lo kok mau sih tidur sama gue?” Potong Rey.
“Lo nyaman sama gue, Dis?” Cecar Rey lagi.
Disa menghiraukan pertanyaan Rey.
“Udah ah lo nanya mulu, banyak bacot deh.” Ucap Disa kesal.
“Bunda lo nelfon tuh” Sambung Disa sambil melayangkan pandangannya ke atas gawai milik Rey yang terletak di atas meja balkon.
‘Bundaku 🖤 is calling’
Rey dengan gesit mengangkat gawainya.
Disa mengulum senyuman yang tidak bisa ia tahan.
Lucu. Pikirnya.
Bagi Disa, Rey adalah pria yang lemah lembut dan penyayang, sifat keras dan rebelnya hanyalah topeng saja.
Rey tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun, ia memiliki cara dan jalan hidupnya sendiri tanpa merugikan orang lain.
Misterius, itulah kata pertama yang membuat Disa penasaran dengan Rey.
Di saat pria lain melayangkan sejuta gombalan untuk memikat hati Disa agar mau diajak bertemu, Rey saat itu hanya bertanya ‘Lo suka musik apa?’.
Di saat yang lain meminta Disa meluangkan waktu untuk sekedar mengangkat videocallnya, Rey hanya berkata ‘Lo ngapain mau videocall gue, Dis? Males ah’.
Di saat yang lain meminta Disa mengirimkan foto bugilnya, Rey hanya berkata ‘Kirimin gue meme lucu dong’.
Begitu juga saat pertama kali bertemu, first impression Disa kepada Rey tak jauh dari kata ‘cuek’, ‘lucu’, ‘unpredictable’, ‘sopan’.
Belum lagi wawasannya yang cukup luas dan selalu terbuka.
Hal yang membuat Disa nyaman, ia bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan Rey.
“Dis, ayo berangkat sekarang.” Ucap Rey setelah selesai berbincang dengan Bundanya lewat telfon sambil mematikan rokoknya.
Rey kemudian beranjak dari kursi balkon, sibuk mencari jaket kesayangannya.
“Bunda gue udah masak banyak, ada ayam suwir juga. Kesukaan lo kan?” Ucap Rey dari kejauhan.
Seketika Disa terdiam.
Batinnya sedikit mengutuk atas desiran hati yang tak jelas apa maksudnya.
Namun ia mengerti.
Disa menggelengkan kepala, mencoba sedikit sadar akan posisinya saat ini.
‘Semua hanya pura-pura, Disa.’ Benaknya, menyadarkan hatinya bahwa apa yang ia lakukan hanyalah sandiwara belaka.
2 notes
·
View notes
Text
honestly, you fail all the time, but you aren’t a failure until you start blaming someone else for that.
0 notes
Text
Untitled Story.
Part I: Love It If We Made It.
Siang hari di Jakarta yang terik dan penuh kemacetan, diiringi suara bising klakson, Disa melangkahkan kaki ke arah sebuah coffee shop ‘kekinian’. Ujung matanya mencari-cari seseorang yang telah menunggunya.
“Hai, lama ya nunggunya?” tanya Disa sambil sedikit tersenyum, menghampiri orang yang ia cari sedari tadi.
“Oh, hai...” jawab lawan bicaranya, seorang pria yang mengenakan kaos polos hitam dibalut jaket canvas berwarna hijau army.
“...nggak terlalu lama kok, Dis.” pria itu tersenyum hangat, mempersilakan Nadisa untuk duduk di depannya.
“Wajar lah, dari Bandung ke Jakarta ‘kan memang butuh waktu yang nggak sedikit.” tambah pria itu lagi.
Nadisa merespon pernyataan sang pria dengan mengangguk sedikit terkekeh. Masih sedikit canggung, walaupun hari itu adalah pertemuan ke-3 antara Disa dan sang pria.
“Lo udah pesan minum, Re?” tanya Disa kepada pria itu.
“Belum, lo mau pesan?” tanya Rey.
Disa mengangguk sembari membuka-buka menu yang ada di tangannya.
“..jangan pesan kopi, ya, Dis?” ucap Rey.
Seketika Disa cemberut, dengan raut muka yang sedikit ‘bete’, ia menghela nafas.
‘Lucu sekali’ pikir Rey. Rey hanya tersenyum.
“Nanti sakit perut lagi, ‘kan udah tau nggak bisa minum kopi, kenapa masih suka bandel, sih?” tambah Rey lagi.
“Kan kopi enak!” jawab Disa sedikit tidak santai.
“Iya, yaudah, teserah deh.” Rey merespon Disa dengan apa adanya.
Pasalnya, Disa memang seseorang yang susah sekali untuk diberitahu. Rasanya Rey seperti bosan dan enggan untuk memarahi Disa perihal kesehatannya ataupun tingkah lakunya.
Pertemuan ketiga Rey dan Disa tak semudah pertemuan pertama mereka. Berasal dari aplikasi, mereka merencanakan untuk bertemu, setelah sebelumnya mereka berdua bercerita tentang hal kecil, hal besar, hingga membuka aib satu sama lain.
Pertemuan pertama dan kedua mereka diawali dengan makan bersama dan dilanjutkan menginap di salah satu hotel di Kota Jakarta.
Friends with benefit, orang-orang bilang seperti itu.
Pertemuan ketiga pun berujung sama, bertukar peluh untuk melampiaskan nafsu belaka. Hanya sekedar teman, tanpa perasaan, atau mungkin belum.
“Holy shit” kutuk Rey sembari membenarkan posisinya, berbaring di sebelah Disa sambil sama-sama mengatur nafas.
“Capek.. tapi enak” ucap Disa
“tapi capek” tambahnya lagi.
Rey hanya terkekeh.
“Lo sama mantan lo gimana sekarang, Dis?” Tanya Rey seketika.
“Ya gitu deh, Ardan udah gak sengotot dulu semenjak tau gue sama lo deket” jawab Disa.
Rey sedikit menghela nafas lega, seraya memandang langit-langit kamar hotel, ia secara tak sadar tersenyum tipis.
“Tapi..” lanjut Disa.
Rey seketika menolehkan wajahnya ke arah Disa yang berada di sampingnya. Memasang wajah bertanya-tanya, menunggu Disa melanjutkan kata-katanya.
“...dia masih suka ngajakin ketemuan, sih.” sambung Disa.
“..menurut lo, gimana?” tanya Disa yang menolehkan wajahnya, menatap Rey.
“Oh..” Rey kembali melihat ke arah langit-langit. Mencoba berpikir saran apa yang akan ia lontarkan.
“Ya menurut gue, kalau sekedar ketemu sih ketemu aja, Dis. Emang kenapa?” kata Rey sambil berdiri dan menggunakan celananya. Kemudian berjalan menuju nakas, mengambil sebatang rokok.
“Gapapa sih, gue cuma khawatir aja.” Jawab Disa.
Rey menyelipkan rokoknya di antara sela bibirnya, membakarnya lalu menghisap rokok itu.
“..lo kan tau gue sama dia udah bareng-bareng selama 5 tahun, Re. Ada kebiasaan gue dan dia yang masih belum bisa gue ubah dengan kebiasaan lain” tambah Disa.
Rey mengangguk, membuka pintu balkon seraya menghembuskan asap rokoknya.
“Gue terkadang masih kangen bareng-bareng sama Ardan” lanjut Disa.
“Tapi kan lo tau gimana makian orang tua Ardan setelah tau anaknya 5 tahun berhubungan sama lo, Dis.” ucap Rey mengingatkan.
Disa tersenyum kecut.
“Lo juga tau mantan lo kasarnya kayak apa, Dis. Pekan lalu, pas lo ngambil barang-barang lo di kosan dia juga lo sambil nelfon gue kan?” tanya Rey.
“Lo kayak gitu, karena takut kan Ardan bertindak kasar sama lo?” sambungnya lagi.
“Iya sih, gue takut dipukul” jawab Disa sambil sedikit tertawa.
“Walaupun gue tau saat itu Ardan gak akan mukul, tapi tetep takut.” Disa menjelaskan.
Rey menggaruk kepalanya, sebelah tangannya masih berkutat dengan rokoknya yang belum habis.
“Ya gue sih terserah lo, gue di sini bukan siapa-siapa lo juga” kata Rey.
“Kita cuma temen, Dis. Gue cuma mau bantu lo doang kok. Sisanya lo yang menentukan mana yang baik buat lo, gitu kan?” jelas Rey.
Disa tertegun dengan jawaban Rey yang terlihat peduli namun tidak peduli. Ada benarnya juga, semua pilihan hidup Disa, memang hanya dia yang bisa menentukannya.
“Lo sama mantan lo gimana, Re?” tanya Disa iseng.
Rey terkekeh.
“Lo kenapa tiba-tiba nanyain mantan gue sih?” tanya Rey.
“Lo aja nanyain mantan gue, kenapa gue gak boleh nanyain tentang lo dan mantan lo?” Balas Disa.
Rey memang orang yang tertutup, kisah masalalunya ia simpan rapat-rapat dan ia buang jauh-jauh.
“Gue sama dia baik-baik aja. Kayak orang gak kenal sih. Gue yang menjauh.” Ucap Rey.
“Gue kalau udah nggak suka sama orang, ya gue cabut. Gak kayak lo...”
“Gak kayak gue yang gak bisa lepas sama mantan gue” Lanjut Disa
Rey mengangguk.
“Nyokap gue udah nanyain mulu kapan gue bawa pacar ke rumah” Rey tertawa, mengalihkan pembicaraan.
“Ya bawa lah. Lo tuh ganteng, kerjaan udah ada, punya usaha, income stabil, nyari cewek gampang” kata Disa.
“Gak segampang apa yang lo ucap” bantah Rey.
“Gue punya trust issue, Dis. Sampe sekarang gue susah banget percaya sama orang, nyaman sama orang”
“Tapi sama gue, lo nyaman?” tanya Disa.
Rey sedikit kaget dengan ucapan Disa.
“Ya karena gue tau lo gak bakal suka sama gue, Dis. Beda” Jawab Rey asal.
Disa hanya mengangguk sambil menenggak air mineral botol yang ada di sampingnya.
“Lo mau gak gue ajak ketemu orang tua gue?” Tanya Rey to the point.
Disa hampir menyemburkan air yang baru saja ia minum.
“Cuma ketemu aja, pura-pura jadi pacar gue. Sama kayak apa yang gue lakuin buat bikin mantan lo gak berulah. Mau kan? Kita saling ngebantu lah.” Bujuk Rey.
Disa sedikit berpikir.
“Nyokap lo, baik kan?” Tanya Disa.
“Ya baik lah, gila. Lo trauma ya gara-gara pernah kena semprot mantan calon mertua lo?” Ledek Rey.
“Iya sih, gue agak takut gitu sekarang kalau ketemu ibu-ibu” Jawab Disa sambil tertawa.
“Besok ya, Dis? Gue minta tolong, sekali aja.” Tanya Rey lagi.
“Okay. Tapi kalau nyokap lo marah-marah gue langsung pulang ke Bandung ya?” Jawab Disa.
“Gak bakal marah, nyokap gue baik kok. Kalau nyokap gue marah, lo boleh marahin gue balik. Deal?” Rey menunggu persetujuan Disa.
“Deal” Jawab Disa sambil tersenyum.
6 notes
·
View notes
Text
hari ini, 23 oktober 2020.
di kamar kosanku, dalam keadaan tidak sehat.
beberapa minggu ke belakang, rasanya aku seperti tidak pernah merasakan apapun.
rasanya seperti hampa saja.
sampai akhirnya aku mulai kembali terlarut dalam pikiranku sendiri.
tidur tidak teratur kembali menjadi sebuah kebiasaan. kebiasaan lama yang buruk, tentunya.
tepat dua hari yang lalu, aku terserang flu dan batuk berdahak. akibat dari tidak tidur sehari penuh.
tidak biasanya aku begini, mungkin karena memang imunitasku sedang tidak baik.
tapi tetap saja aku menghisap rokok, memang dasar...
huh..
setidaknya sekarang aku bisa merasakan sesuatu, walaupun yang kurasa adalah lelah.
setidaknya sekarang aku bisa merasakan bahwa aku juga manusia.
0 notes
Text
first post.
akan selalu ada awalan dalam setiap langkah yang akan kita ambil.
sekecil apapun langkah kita, penilaian awal akan selalu menjadi parameter terpenting untuk terus berkembang.
mengawali pembukaan halaman ini, aku ucapkan bismillah, dibarengi dengan harapan-harapanku. salah satunya, semoga aku bisa belajar banyak dari diriku sendiri.
1 note
·
View note